Jilid 18
KENAPA ? Tanya Yan Jit dengan paras muka berubah menjadi pucat pias seperti mayat. "Sebab sebelum fajar menyingsing nanti, bila aku masih belum sampai di bawah Layang-
layang tersebut, maka Lim Tay-peng akan mati!"
Sewaktu mengucapkan perkataan itu, wajahnya tampak murung dan sedih sekali. Yan Jit juga tidak berkata apa-apa lagi, dia hanya membungkam seribu bahasa.
Dia tahu, apabila Ong Tiong telah berkata demikian, maka yang diucapkan itu sudah pasti tak bakal salah lagi.
Sebab bagaimanapun juga Ong Tiong jauh lebih memahami keadaan dari pada dirinya. Langit sudah hampir terang tanah.
Datangnya fajar selalu membawa kecemerlangan, kegembiraan serta harapan bagi siapapun juga.
Tapi sekarang, yang diberikan untuk Ong Tiong sekalian hanyalah kematian.
Sebelum fajar menyingsing, bila Ong Tiong tidak berdiri di bawah layang-layang tersebut, Lim Tay-peng akan mati !
Itulah arti dari pada tulisan yang tertera diatas, layang-layang tersebut....
Artinya, bagaimanapun juga Ong Tiong harus ke situ, dia harus mengorbankan jiwanya.
Dengan suara lantang Kwik Tay-lok berseru:
"Aku toh sedari dulu sudah bilang, hanya aku seorang yang dapat ke situ, siapa saja jangan harap bisa menghalangi diriku !"
"Baik, kau boleh pergi" kata Ong Tiong dengan hambar, "tapi perduli kau akan pergi atau tidak, aku tetap akan pergi juga."
"Kalau aku toh sudah pergi, kenapa kau musti pergi juga ?" "Sebab yang mereka cari bukan kau, melainkan aku !"
"Sekalipun kau pergi kesana, belum tentu mereka akan berikan obat penawar itu kepadamu, tentunya dalam hal ini kau lebih jelas daripada diriku bukan ?" seru Yan Jit.
"Yaa aku mengerti."
"Apa yang mereka lakukan tidak lebih hanya merupakan siasat untuk memancing kedatanganmu, cuma satu perangkap yang menanti kau masuk jebakan, sudah pasti mereka telah mempersiapkan diri di sana dan menunggu kau masuk perangkap."
"Soal ini aku jauh lebih mengerti daripada dirimu."
"Tapi kau masih bersikeras hendak pergi juga kesana ?"
"Apakah kau harus membiarkan aku menyaksikan kematian Lim Tay-peng...?"
Napas Lim Tay-peng sudah makin lemah, sepasang giginya saling menggertak keras, wajahnya juga menunjukkan warna abu-abu, itulah suatu warna kematian.
Entah siapapun juga, setiap orang dapat melihat bahwa jaraknya dengan kematian sudah tidak jauh lagi.
Dengan sedih Yan Jit berkata:
"Kami tak dapat menyaksikan dia mati, tapi juga tak dapat membiarkan kau pergi mati !"
Ong Tiong segera tertawa-tawa ujarnya: "Dari mana kau bisa tahu kalau kepergianku kali ini adalah menghantar kematian ?"
"Siapa tahu kalau dengan cepat aku telah kembali lagi sambil membawa obat penawar!" Yan Jit, segera melompat sekejap ke arahnya, kemudian berkata:
"Sebetulnya kau lagi menipu kami? ataukah sedang membohongi dirimu sendiri ?" Akhirnya Ong Tiong menghela napas panjang.
"Aku sendiripun tahu kalau harapanku untuk kembali dengan selamat tidak besar, tapi asal masih ada setitik harapan, aku tetap akan mencobanya. "
"Seandainya setitik harapanpun tak ada?" "Aku masih tetap akan mendatanginya juga."
Perkataan itu diucapkan dengan kata-kata yang tegas dan bersungguh-sungguh. Tiba-tiba Yan-Jit bangkit berdiri, kemudian berseru dengan suara lantang:
"Baik, kalau kau ingin pergi, akupun akan menemani dirimu." Pelan-pelan Ong Tiong mengangguk.
"Ai, kau boleh pergi, siapa saja yang bisa pergi boleh pergi ! Biarkan mereka yang tak bisa pergi tetap tinggal di sini, menunggu orang lain datang untuk menjaganya."
Yan Jit tak mampu berbicara lagi.
"Hei, sebenarnya apa yang hendak kalian lakukan ?" tiba-tiba Kwik Tay-lok berseru tak tahan, "kenapa tidak diucapkan saja secara berterus terang ?"
"Aku akan pergi seorang diri," kata Ong Tiong, "sedang kalian dengan membawa Lim Tay- peng menunggu aku di bawah bukit sana."
"Kemudian ?"
"Kemudian kalian usahakan sebuah kereta untuk menunggu di situ, entah mencuri atau merampas, aku pasti akan berusaha untuk mendapatkan obat pemunah itu."
"Kemudian ?"
"Kemudian kalian duduk dalam kereta dan menunggu kedatanganku, sebelum matahari terbenam nanti, bila aku belum datang juga mencari kalian, maka tinggalkanlah tempat ini."
"Setelah meninggalkan tempat ini, kami harus pergi kemana?" tanya Kwik Tay-lok pula. Ong Tiong segera tertawa, meski suara tertawanya agak menyedihkan.
"Dunia ini sangat luas, masa kalian tak tahu kemana harus pergi ?" Kwik Tay lok juga pelan-pelan mengangguk, katanya:
"Bagus, suatu ide yang sangat bagus, ide semacam ini tak nyana bisa juga kau dapatkan."
"Walaupun ide ini tidak terhitung suatu ide yang bagus, tapi inilah merupakan satu-satunya ide yang baik."
"Bagus sekali, kau demi Lim Tay-peng pergi beradu jiwa, sedang kami harus sembunyikan ekor macam anjing untuk melarikan diri, kau adalah seorang teman baik, tapi kami harus menjadi binatang."
"Apakah kau masih mempunyai cara lain yang lebih baik lagi ?" serunya dengan lantang. "Aku hanya punya satu akal."
"Katakan !"
"Jika ingin hidup, kita harus hidup bersama dengan riang gembira, kalau ingin mati maka kita pun harus mati bersama dengan riang gembira. "
Kwik Tay-lok tetap adalah Kwik Tay-lok, dia bukan Ong Tiong, juga bukan Yan Jit.
Mungkin dia tidak memiliki ketenangan Ong Tiong, mungkin tidak memiliki kecerdasan Yan Jit.
Tapi orang ini justru selalu berpikir menurut perasaan, apa yang diucapkanpun selalu berbobot.
Ketika angin berhembus lewat, kabut yang kelabu baru saja muncul dari tanah pekuburan. Api setan juga lenyap dibalik kabut.
Siapa bilang di dunia ini tiada setan, Siapa yang bilang ?
Yang sedang melayang dibalik kabut sekarang, bukankah merupakan sukma gentayangan yang tak diterima dalam neraka ?
Siapapun tak dapat melihat jelas paras mukanya.
Karena paras mukanya berwarna kelabu, seakan-akan telah melebur menjadi satu dengan kabut dingin yang tebal, hidungnya sudah melebur dengan kabut, mulutnya juga telah melebur dengan kabut.
Yang tersisa tinggal sepasang mata setannya yang berwarna merah seperti api.
Dibalik mata tiada sinar, juga tak bisa mana yang hitam mana yang putih, tapi penuh berisikan sinar kebengisan seakan-akan sedang menyumpahi seluruh orang dan seluruh kejadian yang berada di dunia ini....
Entah tempat manapun yang dipandang oleh sorot mata tersebut, di tempat itu segera akan muncul suatu alamat yang tidak menguntungkan.
Ang Nio-cu segera mengerlingkan matanya yang jeli, kemudian berkata lagi: "Menurut pendapatmu, mungkinkah dia akan datang?"
"Menurut kau ?" sukma gentayangan itu balik bertanya. "Kenapa harus aku yang menjawab ?"
"Sebab kau toh lebih memahami tentang dirinya daripada kami !"
Dengan lemah gemulai Ang Nio-cu maju menghampirinya, kemudian mengerling sekejap ke arahnya sembari berkata:
"Sekarang kau masih cemburu ?"
"Hmmm!" sukma gentayangan itu mendengus:
"Kau anggap aku benar-benar menaruh perhatian kepadanya."
Sorot mata dari sukma gentayangan itu memancarkan rasa benci yang jauh lebih dalam, katanya:
"Selama ada dia, belum pernah kau menemani aku barang seharipun juga. "
Sekarang, sorot mata itu sedang mengawasi daerah di sebelah barat, setiap kuburan setiap tumpukan salju, tak ada yang tertinggal olehnya.
Kemudian sorot mata itu baru memperlihatkan sinar yang penuh dengan senyuman. Siapa saja tak dapat menduga betapa keji dan menakutkannya senyuman semacam itu.
Pada saat itulah, dari balik kabut yang tebal kembali berkumandang suara tertawa yang merdu seperti keleningan.
Bukan keliningan yang merdu, melainkan suara keleningan yang mengandung hawa pembetot sukma.
Bagaikan bayangan sukma saja Ang Niocu muncul dari balik kabut tebal, sambil tertawa katanya:
"Segala sesuatunya telah dipersiapkan?"
Sukma gentayangan itu pelan-pelan mengangguk.
"Kecuali orang itu tidak datang, kalau tidak jangan harap dia bisa pulang dalam keadaan hidup
!"
"Apakah kau sudah lupa siapa yang suruh aku berbuat demikian?" Sukma gentayangan itu tidak berbicara lagi.
Ang Nio-cu tertawa dingin, kembali katanya:
"Untuk berhasil merangkulnya agar berpihak kepada kita, kau suruh aku pergi menemaninya tidur, sekarang kau malahan menyalahkan aku, sebenarnya kau punya liangsim tidak?"
"Tidak !"
Kembali Ang Nio-cu tertawa, katanya:
"Sungguh tak kusangka kaupun bisa mengucapkan sepatah kata yang jujur. "
"Dan kau ?"
"Selama berada di hadapanmu, aku selalu berbicara dengan sejujurnya. " sahut perempuan
itu.
"Bila aku tidak menyuruhmu menemaninya tidur, apakah kau tak akan pergi?" "Aku tetap akan pergi."
"Kenapa ?"
Ang Nio-cu tersenyum.
"Karena aku suka menemani orang lelaki tidur."
Sukma gentayangan itu segera menggertak giginya kencang-kencang, serunya lagi: "Menemani tidur lelaki macam apa ?"
"Kecuali kau, lelaki macam apapun aku suka !"
Sorot mata sukma gentayangan yang penuh rasa benci itu telah berubah menjadi surut penderitaan, tapi sinar matanya justru berubah menjadi terang.
Ang Nio-cu mengawasi matanya itu, lalu katanya:
"Sudah habiskah pertanyaanmu itu ?"
Mendadak sukma gentayangan itu menjambak rambutnya kemudian menempeleng wajahnya keras-keras, teriaknya:
"Kau perempuan rendah !"
Ang Nio-cu tidak merasa terkejut atau takut, juga tidak merasa gusar, malah senyumannya bertambah manis.
"Sebenarnya aku memang seorang perempuan rendah, tapi kau lebih rendah daripadaku." Kembali sukma gentayangan itu menempeleng wajahnya keras-keras.
Ang Nio-cu masih saja tertawa, katanya:
"Bukan saja kau suka kalau melihat aku pergi menemani lelaki lain tidur, suka pula bertanya kepadaku, tiap hari bertanya kepadaku, pertanyaan seperti ini entah sudah betapa kali kau tanyakan kepadaku !"
Tidak membiarkan si sukma gentayangan itu membuka suara, kembali dia berkata lagi: "Karena kau suka mendengarkan perkataan semacam ini, suka menyiksa aku, hanya dikala
aku sedang tersiksa, kau baru menjadi orang, kau baru merasa bahagia."
Sukma gentayangan itu mendesis lirih, sekuat tenaga menariknya keras-keras. Ang Nio-cu segera tertawa cekikikan.
"Apakah kau ingin..."
Mendadak terdengar seseorang berkata dengan suara dingin: "Sekarang bukan saatnya buat kalian untuk berpacaran !" Suara itu lebih dingin daripada es.
Karena suara tersebut memang datangnya dari bawah lapisan salju yang amat tebal. Ang Nio-cu segera tertawa, serunya:
"Rupanya kau telah menyusup ke dalam lapisan salju !"
Selembar wajah tiba-tiba muncul dari balik tumpukan salju yang tebal di atas permukaan tanah.
Itulah selembar wajah yang lebih menakutkan daripada wajah orang mati... "Bagaimana keadaan di bawah ?" Ang Nio-cu bertanya.
"Nyaman sekali" sahut ular garis merah. Kembali Ang Nio-cu tertawa.
"Di dunia ini memang sulit untuk mencari tempat kedua yang jauh lebih segar dari pada tempat kau berada sekarang."
"Apakah kaupun ingin menerobos masuk kemari untuk menemani aku tidur. ?"
"Asal kau punya kesabaran untuk menungguku di bawah, cepat atau lambat aku pasti akan menembus ke bawah."
"Cuma sayang dia tak punya napsu terhadap dirimu" dengus si sukma gentayangan sambil tertawa dingin.
Si ular garis merah memandang sekejap keadaan cuaca, tiba-tiba dia berkata: "Waktu sudah tidak pagi, lebih baik kau pergi mampus saja."
"Menurut pendapatmu, mungkinkah dia akan datang ?" "Pasti akan datang" sahut Ang Nio cu dengan cepat. "Kenapa ?"
"Sebab kecuali terhadap kita, terhadap sahabatnya selalu baik dan bersedia berkorban" Sukma gentayangan itu mendongakkan kepalanya dan memandang pula keadaan cuaca. Fajar sudah mulai menyingsing.
Sukma gentayangan atau setan penasaran kebanyakan akan pulang ke rumahnya jika fajar telah menyingsing.
"Aku akan pergi mati !" kata sukma gentayangan itu kemudian. "Kalau begitu cepatlah pergi mati !" kata Ang Nio-cu.
Pelan-pelan sukma gentayangan itu berjalan ke samping sebuah kuburan, mengeluarkan sebuah botol porselen dan meletakkannya ke atas kuburan tersebut.
Kemudian diapun secara tiba-tiba lenyap didalam kuburan tadi. Ang Nio cu menghembuskan napas panjang, lalu bergumam:
"Seandainya dia tak akan muncul untuk selamanya, betapa indahnya waktu itu." "Bagaimana indahnya ?" tanya si ular garis merah.
Sambil menundukkan kepala, Ang Nio-cu memandang sekejap ke arahnya, sepasang matanya yang jeli dan bening itu menatapnya lekat-lekat, kemudian berkata dengan lembut.
"Kalau tinggal kita berdua, bukankah keadaan tersebut lebih baik lagi...?"
"Kalau ingin begitu, paling tidak kita harus menunggu sampai semua perempuan yang ada di dunia ini sudah pada mampus semua." kata si ular garis merah dingin.
Ang Nio-cu segera menerjang ke muka dan meludah di atas wajahnya, dengan gemas dia berteriak:
"Sebetulnya kau ini manusia atau bukan?"
"Bukan !" jawab si ular bergaris merah sambil tertawa seram.
Belum habis dia berkata, wajahnya itu sudah lenyap kembali dibalik lapisan salju.
Ang Nio-cu menjadi tertegun untuk beberapa saat lamanya, mendadak saja dia seperti mempunyai banyak pikiran.
Lewat lama kemudian, tubuhnya baru berkelebat ke depan..
Dengan cepat bayangan tubuhnya lenyap pula dibalik kabut yang teramat tebal itu. Layang-layang itu sudah diturunkan.
Langit hanya berwarna putih kelabu, kecuali itu tiada sesuatu yang tampak.
Ong Tiong sedang berjalan dengan sangat lamban, wajahnya masih tetap dingin tanpa emosi.
Sekalipun dalam hatinya merasa takut, perasaan tersebut tak akan dia perlihatkan di atas wajahnya.
Entah siapa saja yang pernah merasakan penderitaan dan siksaan, dia seharusnya dapat menyembunyikan perasaan tersebut didalam hatinya.
Pelbagai perasaan harus disembunyikan didalam hati. Tapi perasaan ibaratnya arak.
Semakin dalam kau simpan, semakin lama kau simpan, justru akan semakin tebal dan keras. Sekarang dia cuma seorang diri.
Teman-temannya tiada seorangpun yang datang.
Apakah mereka telah menghianatinya, ataukah dia telah berhasil menundukkan perasaan mereka ?
Siapa saja tidak tahu.
Siapapun tak dapat membaca kesemuanya itu dari perubahan mimik wajahnya.
Tapi semua orang tahu, di dunia ini tiada perjamuan yang tak bubar, bagaimanapun akrabnya suatu persahabatan, cepat atau lambat akhirnya pasti akan berpisah juga.
Kehidupan manusia memang serba tak menentu, kadangkala berkumpul kadang kala berpisah, tapi berkumpul juga baik, mengapa harus terlampau serius.
Langit masih remang-remang, tapi untung saja masih ada setitik cahaya terang. Walaupun langkahnya sangat lamban, tapi akhirnya sampai juga ditempat tujuan.
Manusia hidup memang demikian, banyak urusan memang selalu begitu, kenapa pula harus terlampau tergesa-gesa ?
Angin masih terasa sangat dingin, dingin bagaikan sebilah pisau, pisau yang menyayat wajahnya.
Pelan-pelan dia berjalan menembusi tanah pekuburan, diam-diam menghitung jumlah batu nisan yang berserakan di situ.
Batu nisan itu ada yang tumbang ada yang sudah lapuk dimakan cuaca, bahkan tulisannya pun sukar dibaca.
Siapakah yang beristirahat didalam kuburan itu? Tiada orang yang memperhatikan lagi. Dikala mereka masih hidup, bukankah merekapun mempunyai kebanggaan, kenis-taan,
gembira dan sedih ?
Tapi sekarang, mereka tidak memiliki apa-apa.
Kalau toh sudah tahu begini, mengapa pula kau selalu memikirkan kebanggaan maupun kenistaan dirimu didalam hati ?
Ong Tiong menghela napas panjang, mendadak ia berhenti berjalan. Sebab dia telah mendengar suara tertawa dari Ang Nio-cu.
Ang Nio-cu sedang tertawa cekikikan dengan suaranya yang merdu bagaikan keleningan. "Aku sudah tahu bahwa kau pasti datang, ternyata kau benar-benar telah datang."
"Yaa, aku telah datang."
Dia telah melihatnya, perempuan itu telah berdiri di bawah sebatang pohon yang gundul di atas permukaan salju, pakaiannya masih berwarna merah darah, seakan-akan masih tetap seperti ketika mereka bersua untuk pertama kalinya dulu.
Tapi waktu yang sudah lewat tak pernah akan kembali lagi, kegembiraan dan kesedihan yang sudah lewat pun akan segera terlupakan.
Sekalipun sekarang belum terlupakan, cepat atau lambat akhirnya pasti akan terlupakan juga.
Ang Nio-cu sedang berdiri di sana sambil mengawasi dirinya, dibalik sinar matanya itu entah terpancar rasa-marah atau murung? Cinta atau benci?
Dia mau cinta juga boleh, benci juga boleh, sebab kesemuanya itu tak menjadi soal.
Akhirnya Ang Nio-cu tertawa.
"Betulkah kau datang untuk mengambil obat penawar bagi Lim Tay-peng ?" tanyanya. "Benar !"
"Kalau demi aku, kau tak akan sudi kemari?" kata Ang Nio-cu sambil menggigit bibir. "Yaa, tak sudi."
Ang-Nio-cu tertawa amat sedih.
"Mengapa sikapmu terhadap teman selalu lebih baik daripada sikap kepadaku ?" "Sebab kau bukan temanku."
"Aku bukan temanmu? Apakah kau sudah lupa ketika kami sedang berkumpul dulu, betapa besarnya perhatianku kepadamu?"
"Aku sudah melupakannya."
Ang Nio-cu menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Bagaimanapun kerasnya ucapanmu itu, aku tahu dalam hati kecilmu, kau tak pernah akan melupakannya."
Sinar matanya bagaikan kabut, dengan sedih lanjutnya:
"Masih ingatkah kau, suatu ketika sewaktu kita sedang berbaring di puncak bukit Hoa-san, menggunakan awan putih sebagai selimut, menggunakan bumi sebagai ranjang, di dunia ini, seolah-olah tinggal kita berdua saja."
Suaranya makin lama makin rendah, semakin lembut, kemudian lanjutnya lebih jauh:
"Suatu ketika, kita berbaring ditengah gurun pasir yang tiada tepian, waktu itu kita menghitung jumlah bintang yang ada diangkasa sampai sekujur tubuh kita berdua terbenam di tengah pasir....
semua kejadian itu masih ingatkah kau ?" Ong Tiong tidak berbicara.
Kejadian semacam itu memang tak akan dilupakan oleh siapapun juga. Benarkah dia dapat melupakannya ?
Berhadapan muka dengan orang pertama yang dicintainya, benarkah perasaan hatinya bisa dingin dan tenang ?
Ang Nio-cu menatapnya lekat-lekat, dari balik matanya nampak air mata berkaca kaca, lanjutnya:
"Semua kejadian seperti itu tak akan kulupakan untuk selamanya, oleh karena itu aku baru membencimu, membenci diriku karena kau pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun kepadaku, membenci dirimu sehingga menginginkan kematianmu, tapi.."
Dia menundukkan kepalanya rendah-rendah.
"Asal kau bersedia untuk balik kembali seperti sedia kala, asal kau bersedia mengucapkan sepatah kata saja, sekarang juga aku bersedia pergi mengikuti dirimu, entah ke ujung langit sekalipun, aku akan selalu mengikuti dirimu."
"Ke manapun aku tak akan pergi !" tiba-tiba Ong Tiong berteriak sekeras-kerasnya. Suaranya sangat keras, seakan-akan hendak menyadarkan kembali dirinya dari impian. Sambil menggigit bibir Ang Nio cu berkata:
"Kalau tempat manapun tak akan kau datangi, mengapa pula kau datang kemari ?" "Aku datang untuk mengambil obat penawar !" sahut Ong Tiong dingin dan ketus. "Selain itu, tiada alasan lainnya ?"
"Tidak ada !"
"Kau tak ingin datang untuk menengokku." "Tidak !"
Mendadak paras muka Ang Nio-cu berubah menjadi hijau membesi, hijau seperti kalajengking.
Sorot matanya yang lemah lembut dan penuh kemesraan seketika lenyap tak berbekas, dia mendepak-depakkan kakinya berulang kali seraya berseru keras:
"Baik, obat penawar itu berada di belakang sana, pergilah untuk mengambilnya sendiri." Ong Tiong berpaling, dia menyaksikan botol porselen di atas tanah kuburan itu.
"Kali ini kami bersedia memberikan obat penawar itu kepadamu karena kami masih menganggap dirimu sebagai teman. Setelah mendapatkannya, lebih baik cepat-cepat kau tinggalkan tempat ini."
Paras muka Ong Tiong masih kaku tanpa emosi.
Apapun yang dikatakan perempuan itu, tak sepatah katapun yang dipercayai olehnya.
Dia tahu, tak mungkin obat penawar tersebut akan diserahkan kepadanya dengan begitu gampang.
Tapi dia toh maju pula ke depan.
Bagaimanapun juga, apapun yang bakal terjadi, dia harus mendapatkan obat penawar tersebut.
Seandainya obat penawar itu berada didalam air keras, dia akan terjun ke dalam air keras, seandainya obat penawar itu berada di tengah kobaran api, dia akan terjun ke dalam kobaran api.
Lapisan salju terasa dingin tapi lembut.
Ong Tiong hanya cukup maju enam-tujuh langkah saja dengan cepat akan berhasil meraih obat penawar itu.
Dia sudah mengulurkan tangannya.
Botol itu sangat dingin, dingin seperti tangannya mayat.
Dia telah mengambil botol tersebut, tangannya jauh lebih dingin daripada botol porselen tersebut.
Sebab pada saat itulah dia sudah merasakan hawa kematian yang sangat tebal menyelimuti sekeliling tempat itu.
Mendadak dari dalam kuburan itu muncul sepasang tangan yang segera menotok jalan darah Huan-tiam-hiat di atas lututnya.
Sementara itu sepasang tangan yang lainpun pada saat yang bersamaan muncul dari bawah lapisan salju dan secepat kilat melepaskan dua titik bintang yang langsung menyerang kakinya.
Dia segera terjatuh dan berlutut di atas tanah, berlutut di depan kuburan itu.. Kemudian dia baru menyaksikan, di bawah kuburan itu muncul sebuah liang gua. Ternyata kuburan itu hanya sebuah kuburan palsu, didalamnya kosong melompong.
Suara tertawa Ang Nio-cu yang merdu merayu kembali berkumandang datang, katanya sambil tersenyum manis.
"Sekarang, kau benar-benar tak usah pergi ke mana-mana lagi "
Ong Tiong berlutut di depan kuburan, wajahnya masih tanpa emosi, tapi muka itu pucat pasi dan nampak menakutkan sekali.
Dia sangat memahami orang-orang itu, sangat memahami cara kerja dan kekejian orang ini. Dia sedang menunggu, menunggu mereka lakukan tindakan yang lebih keji lagi.
Akhirnya dari dalam kuburan itu berkumandang suara keras:
"Kau kalah !"
Dia tahu, itulah suara Cui-mia-hu. Dimana pun juga, suara pembicaraan dari Cui-mia-hu selalu dingin seakan-akan ucapan yang keluar dari dalam kuburan.
"Yaa aku kalah !"
Terpaksa dia harus mengakui kenyataan.
"Kali ini kau tidak mempunyai kesempatan lagi untuk meraih kembali modalmu !" kembali Cui- mia-hu berkata.
"Yaa memang aku tak punya."
"Tahukah kau, apa yang telah kau kalahkan dalam pertaruhkan?"
"Aku hanya mempunyai selembar nyawa yang kalah dipertaruhkan." "Kau masih memiliki yang lain."
"Apa pula yang kau inginkan ?"
"Kau seharusnya tahu, apa yang bakal di minta sebuah tangan yang dijulurkan dari peti mati ?" "Minta uang ?"
"Betul, minta uang !"
"Bila kau minta uang, maka kau telah salah sasaran." "Aku tak pernah salah mencari orang."
"Yang membutuhkan uang seharusnya aku, dalam harta kekayaan yang kita miliki aku berhak satu bagian, tapi tidak seharusnya kalau kau telan empat bagian yang lainnya sekaligus"
Ong Tiong tidak berbicara, tiba-tiba saja mimik wajahnya berubah menjadi aneh sekali. "Penghasilan yang kita peroleh beberapa tahun itu lumayan sekali" kata Cui-mia-hu. "Yaa, memang lumayan."
"Apakah cuma kita berlima yang tahu, berapa besar penghasilan kita semua...?" "Benar !"
"Apakah hanya kita berlima juga yang tahu sebenarnya berapa banyak penghasilan yang kita simpan dan disembunyikan dimana?"
"Benar !"
"Adakah orang ke enam yang mengetahuinya." "Tidak ada !"
"Entah siapapun orangnya, bila uang tersebut berhasil diambilnya, sudah cukup baginya untuk menikmati penghidupan yang cukup dan berlebihan ?"
"Sekalipun seorang yang pemborospun masih lebih dari cukup."
"Tapi ketika kau telah pergi kami baru tahu, rupanya hanya kau seorang yang dapat menikmati uang tersebut!"
"Kau mengira aku telah melarikan uang tersebut ?" seru Ong Tiong.
"Harta tersebut sudah ludas hingga sepeser uangpun tak ada yang tersisa, kau mengira siapa yang telah membawanya lari?"
Ong Tiong menghembuskan napas panjang, katanya:
"Sekarang aku baru tahu, karena apakah kalian datang kemari." Cui-mia-hu juga tertawa dingin.
"Semenjak dulu aku sudah tahu karena apakah kau pergi, harta kekayaan itu sudah cukup membuat siapa saja mengkhianati temannya."
Tiba-tiba Ong Tiong tertawa. Kembali Cui-mia-hu, berkata:
"Kau menganggap kami menggelikan. Mengira kami adalah telur busuk yang bodoh?"
"Aku baru seorang telur busuk yang bodoh, seandainya aku memiliki sejumlah uang seperti yang kalian maksudkan, tak akan kulewati penghidupan semacam ini, kecuali kalau dia itu seorang tolol."
"Penghidupan macam apakah yang kau maksudkan?" "Penghidupan yang miskin !"
Tiba-tiba Ang Nio-cu melayang ke depan dan tertawa merdu seperti bunyi keliningan: "Berapa besar kemiskinanmu itu ?"
"Miskin sekali !"
Ang Nio-cu segera mengedipkan matanya berulang kali, katanya:
"Konon ada seseorang yang dalam semalaman saja telah kalah beberapa puluh laksa tahil perak dalam rumah makan Gui-goan-koan di kata Sian-sia, siapakah orang itu ?"
"Aku !"
"Konon, ada seseorang membeli arak sebanyak beberapa ratus tahil perak selama satu bulan di toko Yan-biau-gwan di bawah gunung sana. Siapa pula orang itu ?"
"Aku !"
"Ada pula satu keluarga yang belakangan ini baru saja mengganti semua perabot rumahnya, bukankah kursi yang ada di ruang kecil di halaman belakangpun, terbuat dari kayu jati, yang harganya paling tidak tujuh tahil perak sebuahnya. Siapa pula orang itu ?"
"Aku !"
Ang Nio-cu segera tertawa, katanya sambil tersenyum:
"Bila seseorang dapat melakukan penghidupan semacam ini, dapatkah orang itu dianggap miskin ?"
"Tidak dapat !"
"Kami sudah mencari kabar, meski tempat ini bernama Hok-kui-san-ceng, namun sejak generasi yang pertama kecuali namanya saja, tidak dijumpai segala sesuatu yang berbau kaya atau mewah."
"Betul !"
"Selama beberapa tahun ini, kau juga tak pernah keluar rumah untuk berdagang ?"
"Bila seseorang bisa hidup bahagia di dalam rumah, mengapa harus keluar rumah untuk bersusah payah ?"
"Memangnya uang bisa terbang datang dari atas langit?" "Tapi bisa digali dari dalam tanah !"
Sekali lagi Ang-Nio-cu tertawa.
"Tak kusangka begitu cepat kau telah mengakuinya !" "Tidak mengaku pun tak bisa !"
"Yaa, memang tak bisa !"
"Kalau toh tidak bisa, mengapa aku tidak mengakuinya saja ?"
Setelah tertawa, tertawa yang sangat dipaksakan, dia berkata lebih lanjut:
"Bila kalian hendak menyelidiki asal-usul seseorang sejelasnya, tulang belakang dari kakek moyang tiga generasi pun akan digali keluar. Bila kau menginginkan seseorang berbicara sejujurnya, bahkan si bisu pun mau tak mau harus buka suara, hal ini aku mengetahui jauh lebih jelas lagi daripada orang lain."
"Oleh sebab itu kau tidak seharusnya pergi." sambung Cui-mia-hu dengan dingin.
"Aaai. sayang, ada banyak orang yang seringkali dapat melakukan perbuatan yang tidak
seharusnya dia lakukan", gumam Ong Tiong sambil menghela napas. "Baik, sekarang kita berangkat."
"Berangkat ? Ke mana?"
"Pergi mengambil kembali tiga bagian yang menjadi hak kami". "Baik, kalian boleh pergi mengambilnya!"
"Mengambilnya di mana?"
"Kalau kau tidak berbicara, dari mana kami bisa tahu uang tersebut disembunyikan di mana ?"
"Kenapa aku harus berbicara ? Aku tidak berbicara apa-apa."
"Kau masih belum mau mengaku?" bentak Cui-mia-hu dengan suara keras bagaikan geledek. "Sekalipun uang itu aku yang mengambil, tapi mengaku mengambil uang adalah satu urusan,
menyanggupi untuk mengambil uang adalah urusan lain."
"Kau menginginkan uang? Atau menginginkan nyawa?" ancam Cui-mia-hu sambil tertawa dingin...
"Bila masih hidup, tentu saja menginginkan nyawa, bila sudah tak bisa hidup terus terpaksa minta uang."
"Kau menginginkan yang bagaimana baru bersedia meluluskan permintaan kami ?"
"Jikalau kalian bersedia mengembalikan nyawaku, akupun bersedia pula mengembalikan uang kalian."
Cui-mia-hu termenung beberapa saat lamanya, tiba-tiba dia berkata keras: "Baik, kembalikan nyawamu."
"Selembar nyawa dengan sebagian uang." "Kau mempunyai beberapa lembar nyawa?"
"Aku mempunyai selembar, Kwik Tay-lok selembar, Lim Tay-peng selembar, Yan Jit selembar, total jendral empat lembar nyawa dengan empat bagian harta."
"Selembar nyawa dengan empat bagian harta !" "Tidak bisa."
"Tidak bisa juga harus bisa, kau ini hidup sedang uang itu mati, kalau toh kami bisa menemukan dirimu, memang tak bisa menemukan uang itu...?"
Ong Tiong juga termenung sampai lama sekali pelan-pelan dia baru menjawab: "Baiklah, kembali dulu nyawanya"
"Nyawa siapa ?"
"Kau mengharapkan siapa yang akan mengembalikan uang kepadamu ?" Ang Nio-cu kembali tertawa, sambil cekikikan katanya:
"Sudah sejak lama aku tahu kalau dia masih terhitung seseorang yang pintar, akhirnya dia tahu juga nyawa siapa pun masih berharga nyawa sendiri."
"Bebaskan dulu racun yang mengeram dalam tubuhku, kemudian bebaskan jalan darah di tubuhku kemudian aku akan mengajak kalian pergi mengambil uang."
"Racun boleh kupunahkan, tapi jalan darah tak bisa kubebaskan" ucap Cui-mia-hu.
"Bila jalan darahku tidak dibebaskan, setiap saat kalian masih bisa merenggut nyawaku." "Aku toh sudah bersedia untuk mengampuni selembar nyawamu."
"Kecuali nyawa?"
"Asal masih punya nyawa, seharusnya kau sudah merasa puas sekali."
Ang Nio-cu tertawa dan menambahkan pula:
"Betul daripada mati kan lebih baik hidup kau masih bisa memikirkan nyawa bukan ?"
Ong Tiong kembali termenung beberapa saat lamanya kemudian dia pun menghela napas panjang.
"Aaaai... tampaknya aku sudah tiada jalan lain lagi."
"Semenjak kau membawa kabur harta kekayaan tersebut, sesungguhnya kau telah melangkah ke sebuah jalan buntu" sambung Cui-mia-hu dengan nada menyeramkan.
"Bila jalan darah Huan tiau hiat di tubuh seseorang tertotok, mau ke manapun dia pasti tak bisa berjalan sendiri," ucap Ong Tiong.
Ang Nio-cu segera tertawa genit.
"Kau tak bisa jalan, biar aku saja yang menggendongmu. Jangan lupa dulu kau sering kali menunggangi tubuhku."
"Kau mengikuti aku saja!" tukas Cui mia hu dengan dingin. "Lantas siapa yang akan membopongnya?"
"Aku!" tiba-tiba dari atas lapisan salju muncul seseorang bagaikan seekor alas... Ong Tiong pun berada di atas punggung si ular bergaris merah.
Tubuh si ular bergaris merah lembut, empuk, basah dan dingin. Kabut telah buyar.
Tapi udara masih mendung dan berawan tebal, tiada sinar cahaya matahari, tiada sinar keemas-emasan.
Tiba-tiba si ular bergaris merah berkata:
"Jalan ini menuju ke rumahmu"
"Aku hanya berharap jalan ini bukan menuju ke rumah nenek moyangku!" sambung Ong Tiong.
"Kau sembunyikan uang itu di dalam rumahmu ?"
"Seandainya berganti kau, uang itu akan kau sembunyikan dimana ?"
"Tentu saja di suatu tempat yang setiap saat bisa kucomot. Uang itu bagaikan perempuan, lebih baik disimpan pada tempat yang setiap saat bisa diraba."
"Tak kusangka kau pun mengerti soal perempuan." ujar Ong Tiong sambil tertawa. "Justru karena aku mengerti, maka aku baru menghendaki."
"Kau hanya menginginkan uang ?"
"Uang lebih baik daripada perempuan, uang tak dapat menipu dirimu, di dunia ini tiada benda lain yang lebih jujur daripada uang"
"Oleh karena itu, uang bisa disimpan dalam ruang tamu, tapi perempuan tak dapat." "Uang itu berada di ruang tamu ?" seru si ular bergaris merah.
"Dalam sebuah rumah, masih ada tempat mana lagi yang jauh lebih luas dan menyolok daripada ruang tamu ?"
Si ular bergaris merah segera manggut- manggut.
"Benar, semakin menyolok tempat itu, semakin tak akan diperhatikan oleh orang lain." Cui-mia-hu selamanya enggan berjalan di depan siapa saja..
Di dunia ini ternyata terdapat juga manusia seperti itu, sebab sudah tak terhitung jumlahnya ketika dia menyergap dan membunuh orang dari arah belakang pula.
Oleh karena itu, selamanya dia enggan berjalan di belakang orang lain....
Dengan ketat dia mengikuti di belakang Ang Nio-cu, seakan-akan selembar bayangan tubuh si perempuan itu.
Bahkan Ang Nio-cu masih sempat merasakan pula dengusan napasnya yang dingin, dengusan napas yang membawa hawa mayat.
Paras mukanya waktu itu sudah berubah menjadi amat tak sedap dipandang.....
Cui-mia-hu tak dapat menyaksikan paras mukanya, dia hanya dapat melihat tengkuknya.
Dia sedang memperhatikan tengkuknva dengan wajah penuh kenikmatan, sebab di atas kulit tengkuknya yang putih halus itu, bulu kuduknya pada berdiri semua karena terkena dengusan napasnya.
Ang Nio-cu sebaliknya sedang memperhatikan Ong Tiong yang berada di hadapannya tiba-tiba ia berkata:
"Kau mengira dia benar-benar akan membawa kita untuk pergi mengambil uang tersebut?" "Dia sudah tiada pilihan lain" jawab Cui-mia-hu.
"Aku selalu merasakan gelagat kurang benar !" "Bagian mana yang tidak benar ?"
"Dia bukan seorang manusia yang gampang dihadapi, diapun tidak semestinya begini takut mati."
Cui-mia-hu segera tertawa dingin, katanya:
"Perduli dia itu manusia macam apa, sekarang sudah tidak menjadi soal lagi."
"Kenapa ?"
"Sebab sekarang dia sudah merupakan seseorang yang telah mati." "Orang mati ?"
"Kau mengira aku sungguh-sungguh akan mengampuni selembar jiwanya. "
Ang Nio-cu tersenyum.
"Tentu saja aku tahu kalau kau tak akan berbuat demikian, tapi sekarang dia toh belum mati!" "Walaupun belum mati seluruhnya, tapi sudah mati separuh bagian."
"Dia masih mempunyai teman."
"Seorang adalah teman yang sudah hampir mati, sedang dua orang lainnya tak ubahnya seperti menanti saat kematiannya saja. Kami bertiga, entah siapa saja sudah cukup untuk menghadapi mereka, apa pula yang kau kuatirkan?"
Tiba-tiba Ang Nio cu tertawa, katanya:
"Aku bukan merasa kuatir, tapi cuma merasa agak sayang." "Apanya yang sayang!"
Ang Nio-cu tertawa cekikikan.
"Sayang aku belum sempat tidur bersama ketiga orang bocah itu." Mendadak Cui-mia-hu menggigit tengkuknya.
Seakan-akan seekor anjing gila yang tiba-tiba berhasil menggigit seekor anjing betina. Langit masih gelap, oleh sebab itu suasana di ruang tamu pun masih amat gelap.
Daun jendela terbuka lebar, dari luar lamat-lamat masih kelihatan ada dua sosok bayangan manusia.
"Siapa yang berada di dalam?" si ular bergaris merah segera menegur.
"Sungguh tak kusangka matamu makin lama semakin melamur" kata Ong Tiong hambar. Sesungguhnya mata si ular bergaris merah memang tidak begitu bagus.
Andaikata seseorang hidupnya sepanjang tahun hanya bergelimpangan diantara obat-obatan beracun, ketajaman matanya pasti akan berkurang.
Tapi sekalipun seseorang yang ketajaman matanya lebih cetekpun, asal memandang beberapa kejap saja sudah pasti dapat melihat bahwa kedua sosok bayangan itu tak lebih cuma dua buah orang-orangan dari rumput kering.
Dua buah orang-orangan yang baju belaco. Tiba-tiba Ong Tiong tertawa, katanya:
"Bila kau masih belum melihat jelas, tak ada halangannya kuberitahukan kepadamu, bila aku sudah mati, mereka adalah orang yang akan menjadi anak baktiku, jika kau mati, mungkin kaupun terpaksa harus mempergunakan mereka menjadi anak baktimu."
"Anak bakti semacam ini paling tidak jauh lebih baik daripada sama sekali tak ada." "Oleh karena itu kau lebih suka tak punya anak tak punya cucu ?"
"Lebih baik lagi kalau temanpun tak punya."
Mendadak Ang Nio-cu memburu ke depan, lalu serunya:
"Kemana perginya teman-temanmu ?"
Yang ditanyanya adalah Ong Thong, sebab diantara beberapa orang itu hanya Ong Tiong yang mempunyai teman.
"Mereka menunggu aku di bawah bukit" jawab Ong Tiong. "Mengapa harus menunggu di bawah bukit?"
"Seandainya kau menjadi mereka, dalam keadaan seperti ini kalian akan menantiku dimana ?" "Dia tak nanti akan menunggumu !" sela si ular garis merah.
Ang Nio-cu segera mengerdipkan matanya berulang kali, katanya:
"Selama ini aku selalu merasa kaulah orang yang paling kupahami, tahukah kau apa sebabnya
?"
"Hmm!"
"Karena cuma perempuan yang bisa memahami perempuan, teori ini diketahui oleh siapapun." "Dia adalah perempuan?" tanya Ong Tiong.
"Memangnya kau mengira dia itu lelaki?" "Tampaknya sih seperti lelaki."
"Sekalipun dia memang berwujud lelaki, tapi setelah merendam diri selama puluhan tahun di dalam obat beracun, sudah sedari dulu ia telah berubah menjadi perempuan"
Paras muka si ular bergaris merah berubah menjadi kaku, seakan-akan seekor ular yang kena dicekal bagian mematikannya.
Ang Nio-cu tertawa cekikikan kembali ujarnya:
"Kesemuanya ini sebenarnya adalah rahasianya yang terbesar, sebenarnya tidak seharusnya kuucapkan, untung saja kaupun bukan orang luar, oleh karena itu. "
Sengaja dia merendahkan suaranya, kemudian berbisik:
"Aku dapat memberitahukan lagi suatu rahasia besar kepadamu." "Rahasia apa?"
"Coba tebak, setelah si kelabang besar mati, siapakah yang merasa paling sedih?" "Aku tahu dia adalah sahabat yang paling akrab dengan si kelabang besar itu."
"Kau keliru besar" seru Ang Nio-cu sambil tertawa, "mereka bukan cuma berteman saja, mereka sudah. "
Si ular bergaris merah melototkan matanya bulat-bulat sambil mengawasi perempuan itu tak berkedip, sepasang matanya yang dingin telah berubah menjadi kehijau-hijauan, tiba-tiba saja ia mengarah wajahnya dan meniup satu kali.
Dia tak lebih cuma meniup pelan, tapi Ang Nio-cu harus berkelit dengan tergopoh-gopoh bagaikan sedang menghindari senjata rahasia paling beracun di dunia ini, belum sempat ucapannya di selesaikan, tubuhnya sudah melompat dan berjumpalitan di udara lalu menyusup ke balik rumah.
Cui-mia-hu yang berada di belakangnya sudah turut lenyap tak berbekas. Tiba-tiba Ong Tiong berseru.
"Apa yang dia katakan, tak sepatah katapun yang kupercayai."
"Kau memang sesungguhnya tidak bodoh" jawab si ular bergaris merah cepat. "Tapi kali ini aku telah mempercayainya".
"Kenapa ?"
"Sebab bila apa yang dia katakan bukan ucapan yang sesungguhnya, mengapa pula kau hendak merenggut nyawanya?" kata Ong Tiong sambil tertawa lebar.
"Apakah kau juga menghendaki agar kurenggut pula jiwamu ?" kata si ular bergaris merah dingin.
"Selembar nyawaku ini sudah tidak she Ong lagi, siapa yang menghendaki toh tiada bedanya, tapi kau ?"
"Kenapa dengan aku ?"
"Bila kau mati, siapa yang akan paling sedih ?" "Tiada orang yang akan sedih."
"Adakah orang yang merasa gembira?" "Ada."
"Kau juga tahu kalau dia ( perempuan ) membencimu ?" "Hmmm !" si ular mendengus.
"Mengapa, dia selalu tidak merenggut nyawamu"
"Sebab dia tahu, aku lebih berguna selagi masih hidup daripada setelah mati." "Selanjutnya ?"
"Yaa, selanjutnya dikala hendak membagi uang tersebut ?"
Mendadak paras muka si ular bergaris merah itu berubah menjadi kaku seperti mayat. Ong Tiong segera berkata lebih lanjut:
"Si kelabang besar telah mati, apakah mereka pun merasa amat sedih sekali ?" "Hmm !" kembali si ular bergaris merah mendengus.
"Mengapa, mereka tidak merasa sedih ?"
"Karena lebih enak uang itu dibagi tiga orang dari pada dibagi untuk empat orang." "Seandainya uang itu hanya dibagi untuk dua orang ?"
Si ular bergaris merah segera berpaling dan menatapnya lekat-lekat, kemudian sepatah demi sepatah katanya:
"Sebenarnya kau ingin berbicara apa ?"
"Apa yang ingin kukatakan, tentunya kau sudah memahaminya sedari tadi. "
Sepasang mata si ular bergaris merah yang hijau menyeramkan itu mendadak berubah menjadi keabu-abuan, wajahnya dingin kaku tanpa emosi.
Ong Tiong berkata lebih jauh:
"Jika sebiji bakpao dimakan dua orang, tentu lebih enak daripada dimakan bertiga, teori semacam ini dipahami oleh siapapun. Persoalannya sekarang adalah kedua orang itu dapatkah merasakan bakpao tersebut?"
"Menurut pendapatmu?"
"Aku cukup mengetahui sampai dimanakah kehebatan ilmu silatmu, tentu saja kau tak akan takut terhadap Ang Nio-cu?"
"Hmmm "
"Tapi apakah hubungannya dengan Cui lotoa? Dan apa pula hubunganmu dengan Cui lotoa?
Dapatkah kau menandingi dirinya?"
Si ular bergaris merah tertawa dingin.
Bila seseorang hanya tertawa dingin belaka dalam suatu keadaan, itu berarti dia sudah tak mampu berbicara lagi, ini menandakan kalau perasaan hatinya sudah mulai tidak tenang.
Bagi seseorang yang sama sekali yakin terhadap setiap persoalan yang sedang dihadapinya, dia akan jarang sekali memperdengarkan suara tertawa dingin semacam itu.
Maka Ong Tiong segera berkata lebih lanjut:
"Oleh karena itu, jika kaupun ingin merasakan bakpao itu, lebih baik cepatlah mencari akal lain."
Si ular bergaris merah memikir sejenak, akhirnya tak tahan diapun bertanya: "Apa caranya ?"
"Mencari orang yang lain untuk membantu kau merampas kembali bakpao tersebut."
"Siapa yang harus kucari ?" sekali lagi si ular bergaris merah itu tertawa dingin. "Pertama orang itu jangan terlalu serakah"
"Adakah manusia semacam itu dalam dunia?" "Aku adalah seseorang yang tidak terlalu serakah"
"Dulu mungkin aku manusia macam begitu, tapi sekarang aku sudah mengerti, lebih baik bakpao itu dimakan berdua daripada sama sekali tidak merasakannya"
"Kedua ?" si ular bergaris merah itu kembali menatap tajam-tajam. "Kedua, Orang itu harus tidak melebihi dirimu."
"Kenapa, harus tidak melebihi diriku ?"
"Sebab bila dia tidak melebihi dirimu, dia tak akan berani bermain gila di hadapanmu." "Kau tidak melebihi diriku ?"
Ong Tiong tertawa.
"Seandainya aku lebih tangguh daripada dirimu, mengapa aku harus minta kau gendong sekarang ?" Dari balik mata si ular bergaris merah yang berwarna kelabu, mendadak terpancar setitik sinar terang.
"Kau benar-benar akan berdiri dipihakku?" dia bertanya. "Mau tak mau aku harus berdiri dipihakmu."
"Kenapa !"
"Sebab dipihak mereka sana sudah terlampau sesak."
Sorot mata si ular bergaris merah kembali memancarkan sinar tajam, katanya kemudian: "Apa saja yang bisa kau lakukan buatku?"
"Aku masih punya tangan."
"Tanganmu itu bisa melakukan apa?"
"Paling tidak masih bisa menahan seseorang yang lain." Si ular bergaris merah tidak tertawa dingin lagi.
Sebab lambat laun dia mulai merasa mantap dan rencana itupun semakin diyakininya. "Sekarang tinggal satu persoalan saja yang harus diselesaikan," kata Ong Tiong lagi. "Katakanlah !"
"Sanggupkah kau menghadapi Cui lotoa?" "Menurut pandanganmu?"
"Bila sungguh sampai bertarung, aku tak tahu. Tapi jika dilakukan secara mendadak di luar dugaan, maka..."
Mendadak dia menutup mulutnya rapat-rapat.
Si ular bergaris merah juga menutup mulutnya rapat-rapat, setelah itu pelan-pelan dia baru masuk ke dalam rumah.
Cui-mia-hu serta Ang Nio cu sudah menunggu didalam ruangan. Suasana didalam ruangan itu terang benderang.
Di bawah sorotan cahaya lampu, paras muka Cui-mia-hu kelihatan pucat seperti selembar kertas putih.
Selembar kertas putih yang kering dan berkeriput.
Ada sementara orang yang tampaknya sepanjang masa tak dapat terkena sinar, jelas dia adalah manusia semacam itu.
Si ular bergaris merah telah meletakkan Ong Tiong di atas bangku, kemudian ujarnya: "Sudah kalian periksa ?"
"Setiap bagian dan setiap sudut tempat ini sudah kami periksa." sahut Cui-mia-hu.
"Bahkan kakus pun sudah kami periksa," sambung Ang Nio-cu sambil tersenyum, "heran, ternyata tempat itu tidak berbau busuk."
Dia mengerling sekejap ke arah Ong Tiong kemudian katanya lagi.
"Oleh sebab itu aku tahu teman-temanmu itu sudah pasti adalah orang yang suka dengan kebersihan."
"Apa pula yang kau ketahui ?" dengus Ong Tiong ketus. Ang Nio-cu tertawa.
"Aku masih tau kalau orang itu sudah pasti bukan kau."
"Ke mana perginya teman-temannya itu?" tanya si ular bergaris merah tiba-tiba. "Sudah pergi semua !" sahut Cui-mia-hu.
Sekali lagi Ang Nio-cu mengerling sekejap ke arah Ong Tiong, kemudian sambil tertawa genit katanya:
"Tampaknya teman-teman yang kau dapatkan belakangan ini bukanlah teman-teman yang baik."
"Di dunia ini memang tiada teman yang benar-benar bersedia menemani sampai mati" kata Ong Tiong hambar.
Ang Nio-cu tersenyum.
"Suami istri macam begini saja sudah tak ada, apalagi cuma sahabat. "
Kali ini biji matanya mengerling ke arah si ular bergaris merah.
Tapi si ular bergaris merah seakan-akan tidak mendengar perkataan itu, diapun tidak memandang ke arahnya, cuma ujarnya:
"Apakah didalam rumah ini sudah tiada orang lain?" "Cuma ada dua buah orang-orangan !" sahut Cui-mia-hu. "Orang-orangan bukan termasuk orang !" kata Ong Tiong. Mendadak Cui-mia-hu tertawa seram.
"Heeehhh... heeehhh... heeehhh. jangan lupa, ada kalanya orang-oranganpun dapat
membunuh orang."
Paras muka Ong Tiong yang baru saja membaik tiba-tiba sedikit agak berubah.
Cui-mia-hu mengawasi terus raut wajahnya pada saat paras mukanya agak berubah itulah, Cui-mia-hu telah turun tangan.
Jarang sekali ada yang tahu benda apakah yang dipergunakan Cui-mia-hu untuk membunuh orang.
Karena sewaktu membunuh orang dia selalu membunuh sungguhan, sekali turun tangan, pihak lawan tak pernah diberi kesempatan untuk hidup lebih jauh.
Kalau tidak ada keyakinan tersebut, dia tak akan turun tangan.
Hanya orang yang tak pernah menyaksikan dia membunuh orang saja yang tahu senjata apakah yang digunakan untuk membunuh orang.
Hanya empat orang yang pernah menyaksikan dia membunuh orang. Ong Tiong juga pernah menyaksikan.
Senjata yang dipergunakan olehnya untuk membunuh orang adalah dua batang duri.
Dua batang duri yang bertali serat baja, selain dapat merenggut nyawamu, dapat pula membelenggu senjatamu dan mencekik tengkukmu kemudian sekaligus menusuk ke dalam jantungmu.
Itulah sepasang duri pembetot sukmanya yang tiada taranya di kolong langit.
Dalam dunia persilatan terdapat banyak orang yang menjadi tenar karena mengandalkan senjata tunggalnya.