Jilid 13
Dia pun tak dapat membiarkan harta karun itu jatuh ke tangan kerajaan Ching.
Sebab harta karun itu milik bangsa Han, hasil rampokan raja muda Mo-lay-cing-ong dari rakyat bangsa Han ketika dia menyerbu daratan Tionggoan dulu.
Sekarang dia sebagai bangsa Han wajib melindungi keutuhan harta karun milik rakyatnya, sehingga tidak dikangkangi pihak kerajaan Ching.
Harta karun itu sudah sewajarnya dikembalikan kepada rakyat yang berhak memilikinya, rakyat bumi putera anak keturunan kaisar Hong Te.
Dalam waktu singkat Bong Thian-gak merasa darah yang mengalir dalam tubuhnya mendidih, pikirannya kalut, dia telah mengambil keputusan melakukan usaha besar bagi umat persilatan.
Mendadak terdengar beberapa kali jerit kesakitan berkumandang dari arah gedung kecil di sebelah barat. Perubahan ini terjadi sangat mendadak, sama sekali di luar dugaan, untuk beberapa saat Bong Thian-gak tidak mengetahui apa gerangan yang telah terjadi?
Dengan cepat pemuda itu menengok ke arah sumber suara.
Tiba-tiba tiga sosok bayangan orang meluncur keluar dari balik gedung kecil itu dengan kecepatan tinggi.
Salah seorang di antaranya bergerak cepat dan gesit, bagaikan sambaran petir dia melampaui dua orang yang lain dan langsung meluncur ke arah Bong Thian-gak berada.
Bersamaan dengan berkelebatnya tiga sosok bayangan orang itu, dari arah belakang muncul pula seorang berbaju hijau yang melakukan pengejaran dengan pedang terhunus.
Gerakan tubuh orang itu pada hakikatnya jauh lebih cepat daripada gerakan burung elang, tampak dia melejit dengan enteng dan tahu-tahu sudah melewati kepala kedua orang berbaju hitam di mukanya.
Cahaya pedang berkelebat, dua kali jeritan ngeri yang menyayat hati bergema memecah keheningan malam.
Tahu-tahu kedua orang berbaju hitam itu sudah kena tusukan pedang dan roboh terjengkang ke atas tanah.
Selesai membunuh kedua orang itu, orang tadi mengangkat kepala memandang ke depan, ketika dilihatnya korban ketiga sudah kabur ke depan sana, ia tertawa dingin, lalu sambil melejit dia melakukan pengejaran secepat kilat.
Ilmu meringankan tubuh orang itu benar-benar sangat lihai, di saat sang korban sudah kabur ke gedung dimana Bong Thian-gak menyembunyikan diri, orang itu sudah bisa melampaui orang berbaju hitam dan melayang turun di mukanya, sementara pedangnya langsung dibabatkan ke muka. Tampaknya kepandaian silat orang berbaju hitam itu tidak lemah, melihat jalan perginya dihadang orang, tubuhnya yang hampir menumbuk orang itu segera berputar setengah lingkaran dan berhenti, dengan begitu dia pun berhasil lolos dari tusukan pedang orang itu.
Bong Thian-gak dapat melihat dengan jelas bahwasanya orang itu tak lain adalah Ji-kaucu.
Sedangkan orang berbaju hitam yang sedang melarikan diri itu adalah seorang kakek kurus kering.
Bertemu Ji-kaucu, kakek berbaju hitam tadi nampak sedikit tegang, gugup dan ketakutan, tapi sebagai seorang jago kawakan Bu-lim, dengan cepat pula dia berhasil mengendalikan perasaan dan bersikap tenang kembali.
"Permainan pedangmu sungguh cepat dan buas!" jengeknya sambil tertawa dingin. "Tujuh anak buahku mati di tanganmu!"
Paras muka Ji-kaucu dingin menyeramkan, sama sekali tak nampak perubahan apa pun, katanya kaku, "Kau pun jangan harap bisa lolos dari kematian!"
Mendadak kakek berbaju hitam itu tertawa seram. "Kau adalah satu-satunya orang paling buas dan kejam
yang pernah aku orang she Long jumpai sepanjang hidup."
"Hm, Hek-ki-to-cu Long Jit-seng terhitung seorang buas dan keji pula di sekitar kepulauan di laut timur."
Mendengar perkataan itu, kakek berbaju hitam itu nampak terkejut dan berubah paras mukanya, "Tajam amat pandangan matamu, ternyata kau masih mampu mengenali diriku."
"Ilmu silat Hek-ki-to-cu Long Jit-seng hanya biasa saja, namun ilmu lain seperti iNgo-heng-pat-kwa, ilmu perbintangan dan ilmu bangunan, ilmu tanah dan ilmu membaca peta justru termasyhur di seluruh kolong langit."
Bong Thian-gak yang menyadap pembicaraan itu dari atas wuwungan rumah dapat menangkap semua pembicaraan itu dengan jelas, dia memang pernah juga mendengar nama besar Long Jit-seng sebagai seorang ahli dalam ilmu-ilmu itu.
Padahal Long Jit-seng berdiam di pulau Hek-ki-to yang berada di tengah lautan timur, jauh-jauh dia mendatangi kota terlarang dan muncul di gedung penuh rahasia itu, sebagai orang yang cerdas Bong Thian-gak segera dapat menebak maksud dan tujuan.
Jangan-jangan Long Jit-seng sendiri pun mengetahui juga tentang rahasia harta karun Mo-lay-cing-ong?
Sementara itu Long Jit-seng tertawa terbahak-bahak, "Hahaha, kau terlampau memuji, biarpun ilmu kepandaian itu amat kukuasai, sayang masih belum cukup untuk melindungi keselamatan jiwaku sendiri."
Ji-kaucu tertawa dingin.
"Ai, jika kau bersedia menjawab beberapa pertanyaanku dengan sebaik-baiknya, bisa jadi ilmu yang kau miliki itu dapat menjamin pula keselamatan jiwamu."
"Pertanyaan apa yang hendak kau ajukan? Cepat diutarakan!"
"Kau mendapat perintah dari siapa untuk menyusup ke dalam istana bawah tanah?"
Long Jit-seng tertawa tergelak.
"Selama hidup belum pernah Long Jit-seng diperintah orang, apalagi tunduk di bawah lutut orang lain."
Ketika mendengar perkataan itu, mencorong sinar membunuh dari balik wajah Ji-kaucu, kembali dia berkata dengan suara sedingin salju, "Rahasia istana bawah tanah Mo- lay-cing-ong ditemukan oleh Sam-kaucu perkumpulan kami, kecuali dia membocorkan rahasia itu, mustahil ada orang bisa mengetahui."
"Mengapa kau tidak menuduh Sam-kaucu kalian yang telah bersekongkol denganku?"
"Sam-kaucu baru saja menggabungkan diri dengan perkumpulan kami, Cong-kaucu sangat menaruh kepercayaan kepadanya dan aku pun amat percaya kepadanya."
"Jika demikian, mengapa kau masih curiga?" Ji-kaucu tertawa dingin.
"Lantas darimanakah pihak Hek-ki-to memperoleh rahasia ini?"
"Harta karun Mo-lay-cing-ong sudah diketahui orang seantero jagad. Hehehe, apalagi ketika Mo-lay-cing-ong membangun istana bawah tanah ini, dia telah mengundang seorang ahli tukang kayu."
"Siapakah orang itu?" tukas Ji-kaucu. "Dia adalah Susiok-co, adik kakek!"
"Jadi karena itu kau mengetahui rahasia itu?"
"Betul, sejak tiga puluh tahun berselang aku sudah mengetahui rahasia itu."
"Lantas mengapa kau tidak melakukan pencarian sejak dulu, namun hari ini baru dilakukan?"
"Ilmu bangunan Susiok-co tiada bandingan di dunia ini, terutama ilmu alat rahasia, ya, boleh dibilang tiada kemungkinan bagi orang lain untuk memecahkan."
"Jadi maksudmu, alat rahasia dalam bangunan istana bawah tanah itu cuma dia seorang yang bisa membuka dan mencapai dimana harta karun itu tersimpan?" seru Ji-kaucu sambil tertawa dingin tiada hentinya. Long Jit-seng tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, kalau dilihat dari kemampuan menemukan alat rahasia dalam ruang gedung begitu masuk tadi... terbukti kau pun seorang yang mahir di dalam ilmu bangunan, hehehe ... cuma saja bila kau ingin membuka kedelapan puluh satu bilik bawah tanah serta keempat puluh sembilan lorong rahasianya, aku pikir seumur hidup tak akan dapat kau lakukan."
"Kau telah membantuku melaksanakan sebagian besar tugasku, rasanya aku tak perlu banyak membuang tenaga lagi dengan percuma," jengek Ji-kaucu dingin.
Paras muka Long Jit-seng berubah hebat mendengar perkataan itu, segera tanyanya, "Apa maksud ucapanmu?"
"Aku tahu kau sudah membuang banyak tenaga dan pikiran untuk meraba peta dasar bangunan bawah tanah itu, asal kuperoleh peta rahasia yang telah kau persiapkan itu, bukankah aku bisa membuka setiap bilik dan lorong rahasia itu secara mudah dan cepat?"
Ucapan itu mengejutkan Long Jit-seng, namun paras mukanya sama sekali tak berubah, katanya cepat sambil tertawa dingin, "Kau benar-benar sangat lihai, betul aku memang sudah mempersiapkan sebuah peta lengkap tentang seluruh bangunan istana bawah tanah itu, namun peta itu tak berada di sakuku sekarang."
"Peta itu pasti ada di sakumu," seru Ji-kaucu. Long Jit-seng sadar, bilamana dia ingin meloloskan diri dari cengkeraman maut Ji-kaucu, kuncinya terletak pada peta itu. Menyadari hal itu, Long Jit-seng tertawa terbahak-bahak. "Hahaha, engkau selalu yakin tebakanmu selamanya tepat, namun kau gagal menebak secara tepat kali ini?"
"Bila aku berani membunuhmu, buat apa banyak bicara hal-hal yang tak berguna denganmu?" "Jadi mati-hidupku tergantung pada keputusanku bersedia bekerja sama atau tidak?" Long Ji Seng tertawa semakin keras.
"Hek-ki-to-cu termasyhur sebagai manusia licik dan banyak akal muslihatnya, tentu saja kau dapat membedakan bukan, mana yang menguntungkan dan yang merugikan sebelum mengambil keputusan yang menguntungkan bagi dirimu sendiri."
Long Jit-seng kembali tertawa terbahak-bahak. "Kau amat licik, berhati busuk dan berbahaya, bila tujuanmu sudah tercapai, akhirnya aku bakal mati juga di tanganmu." "Tapi sedikit banyak kau bisa hidup lebih lama." Dari pembicaraan kedua orang itu, bisa diketahui betapa licik dan berbahayanya kedua orang ini, mereka sama-sama cerdas dan bertujuan dalam, kedua belah pihak sama-sama tidak saling percaya.
Ibarat dua ekor rusa bertemu, mereka saling menipu, saling memasang perangkap untuk menjebak lawan.
Sudah barang tentu Long Jit-seng berada pada posisi yang tidak menguntungkan, sebab dia tahu, bagaimana pun juga kepandaian silatnya masih belum sanggup menandingi lawan.
Dalam sekali gebrakan saja pihak lawan mampu menghabisi ketujuh anak buahnya yang berilmu tinggi, peristiwa ini sudah menggidikkan hati Long Jit-seng, apalagi dalam istana bawah tanah masih terdapat begitu banyak jago- jago lihai.
Andaikata pihak Put-gwa-cin-kau benar-benar menghabisi nyawa Long Jit-seng, biarpun dia hendak kabur ke ujung langit pun jangan harap bisa lolos dalam keadaan selamat.
Bong Thian-gak yang mengamati semua peristiwa itu dari atas wuwungan rumah dengan cepat dapat menebak jalan manakah yang bakal dipilih Long Jit-seng.
Sudah jelas jalan "kehidupan" yang bakal dipilih olehnya. Mendadak Bong Thian-gak memperdengarkan suara dinginnya yang menggidikkan dari atas wuwungan rumah.
Tertawa seram itu muncul sangat mendadak dan sama sekali di luar dugaan orang, seketika itu juga Ji-kaucu dibuat terkesiap dan kaget setengah mati.
Mimpi pun dia tak pernah menyangka kalau di situ bakal hadir pihak ketiga yang bersembunyi di atas wuwungan rumah yang berjarak sedemikian dekat dengannya tanpa disadari.
Padahal ia percaya pada ketajaman mata maupun pendengaran sendiri, daun rontok pada jarak sepuluh tombak pun takkan lolos dari pendengarannya, suasana gelap gulita pun bisa dilihat olehnya dengan jelas, tapi mengapa ia tak menangkap suara apa pun?
Nyatanya orang itu dapat lolos dari pendengaran maupun penglihatannya, dari sini bisa diketahui bahwa ilmu silat lawan betul-betul sangat lihai.
"Jago lihai darimanakah yang bersembunyi di atas? Harap segera menampilkan diri."
Dengan suara menyeramkan dan mata bersinar tajam Ji- kaucu mengawasi wuwungan dengan pandangan tak berkedip.
"Mengapa Ji-kaucu tidak berani naik ke atas?" sahut Bong Thian-gak dingin.
"Jadi engkau tak berani turun?" jengeknya. "Siapa bilang aku tak berani?"
Selesai bicara, tubuh Bong Thian-gak segera meluncur turun dari wuwungan rumah, langsung menerkam Ji-kaucu.
Tubrukan Bong Thian-gak dilakukan dengan kecepatan bagaikan kilat, dalam sekejap tubuhnya sudah sampai di atas kepala Ji-kaucu, segulung tenaga maha dahsyat langsung menekan ke atas kepala lawan. Sesungguhnya ilmu silat Ji-kaucu sangat lihai, namun sekarang dia pun tak mempunyai keyakinan untuk berhasil lolos dari ancaman maut itu.
Dalam keadaan begini, Ji-kaucu segera memutar pedangnya menciptakan selapis kabut pedang melindungi batok kepalanya, lalu secepat kilat tubuhnya menyingkir ke samping.
Long Jit-seng adalah seorang cerdas, dia tak mau membuang kesempatan yang sangat baik ini untuk meloloskan diri, secepat kilat dia melejit dan kabur dari tempat itu.
Sesungguhnya tujuan Bong Thian-gak menampakkan diri tadi adalah memberi kesempatan kepada Long Jit-seng untuk melarikan diri, maka dia sama sekali tidak memberi kesempatan kepada Ji-kaucu untuk berganti napas, angin pukulan kedua kembali dilontarkan dengan kekuatan luar biasa.
Cepat Ji-kaucu melejit ke samping, tapi angin pukulan lain tahu-tahu sudah menyambar datang dari arah kiri.
Ji-kaucu benar-benar tidak menduga gerakan lawan begitu cepat, aneh dan luar biasa.
Pada serangan pertama, ancaman datang dari atas ke bawah, maka pada serangan kedua dia telah mengubah arah dengan menerjang dari sisi kiri.
Ji-kaucu tertawa dingin, kali ini dia tidak menghindar, segulung angin pukulan dilepaskan dari sisi kiri untuk menyongsong datangnya ancaman lawan.
"Blam", kedua gulung angin pukulan itu saling bentur, terjadilah angin berputar yang menerbangkan dedaunan kering dan debu.
Akibat bentrokan ini, sepasang kaki Ji-kaucu goyah dan mundur liga langkah secara beruntun. Sepanjang hidup belum pernah dia menghadapi pukulan dahsyat seampuh ini, dalam gusarnya Ji-kaucu segera melolos pedang dan melejit ke arah sisi lawan sambil melancarkan sebuah tusukan.
Reaksinya cukup cepat, tapi gerakan tubuh Bong Thian-gak jauh lebih cepat lagi.
Bong Thian-gak menjejakkan kaki kanannya dan melompat ke atas wuwungan rumah, dengan demikian cahaya pedang Ji-kaucu hanya menyambar lewat di bawah kakinya saja.
Gagal dengan serangan pedangnya, Ji-kaucu dongkol setengah mati, sambil menjejakkan kaki dia mengejar ke atas wuwungan rumah.
Tapi gerakan Bong Thian-gak jauh lebih cepat, begitu tubuhnya berkelebat, tahu-tahu dia sudah berada jauh di sana.
"Hei, kalau jantan kenapa tidak kau hentikan langkahmu?" bentak Ji-kaucu mendongkol.
Sambil membentak dia mengejar terus secara cepat.
Dalam pada itu dari arah gedung bermunculan beberapa sosok bayangan orang, tampaknya orang itu dibuat terkejut oleh ledakan! dahsyat akibat benturan dua kekuatan angin pukulan tadi.
Di antara bayangan-bayangan itu, nampak sesosok bayangan orang bergerak paling cepat, langsung hendak menghadang di depan Bong Thian-gak.
Sayang sekali gerakan tubuh Bong Thian-gak masih jauh lebih cepat lagi, ia tak sampai terhadang oleh lawan.
Sementara itu Ji-kaucu telah menyusul pula ke sana, mendadak dia berteriak keras, "Sam-kaucu, tak usah dikejar lagi" Ternyata bayangan orang yang mengejar paling cepat adalah Sam-kaucu, ia menghentikan gerakan tubuhnya begitu memperoleh perintah, tapi segera tegurnya, "Ji-kaucu, mengapa kita biarkan musuh kabur begitu saja?"
Ji-kaucu tertawa dingin.
"Ilmu meringankan tubuh orang itu amat cepat, yakinkah Sam-kaucu berhasil menyusulnya?"
Sam-kaucu mendongakkan kepala, empat penjuru amat sepi tak terdengar suara apa pun, sementara bayangan tubuh Bong Thian-gak yang semula berada di depan sana, kini sudah lenyap.
Dengan wajah tertegun Sam-kaucu berkata, "Wah, cepat benar gerakan tubuh orang itu, siapakah dia?
Paras muka Ji-kaucu berubah sangat tak sedap dilihat, namun dia menjawab dengan suara dingin, "Jika dilihat dari ujung lengan baju kanannya yang kosong terhembus angin, tampaknya dia adalah seorang berlengan tunggal."
Walaupun saat kejar mengejar tadi Ji-kaucu belum berhasil melihat raut wajah lawan, namun bayangan tubuh Bong
Thian-gak, terutama ujung lengan baju kanannya yang kosong dapat terlihat olehnya dengan nyata.
"Ah, dia adalah Jian-ciat-suseng!" seru Sam-kaucu tanpa terasa dengan paras muka berubah.
"Sam-kaucu, bukankah kau mendapat perintah untuk menyusun persiapan besar di wilayah Hopak, bagaimana persiapan yang telah kau lakukan hingga jejak kita dapat dibuntuti lawan?"
"Selama aku berada di kota terlarang, yakin belum ada seorang pun yang menemukan jejakku, apalagi identitasku."
"Lantas bagaimana Jian-ciat-suseng bisa sampai di gedung ini?" "Barusan kulihat Si-hun-mo-li kembali ke istana bawah tanah, bisa ditebak Si-hun-mo-li gagal dalam tugasnya dan justru dialah yang memancing kehadiran Jian-ciat-suseng."
Berubah hebat air muka Ji-kaucu.
"Kalau begitu pembicaraanmu dengan Cong-kaucu serta segala macam rahasia kita telah diketahui oleh Jian-ciat- suseng!"
"Tentang masalah itu, kita baru bisa menganalisanya setelah tahu bagaimana cerita Ji-kaucu sampai menemukan jejak Jian-ciat-suseng."
Ji-kaucu tertawa dingin.
"Sam-kaucu mengapa kau tidak berterus terang saja mengatakan bahwa aku pun turut terkecoh oleh kehadiran Jian-ciat-suseng sehingga gerak-geriknya tidak kuketahui sama sekali?"
"Tidak berani, aku tak berani berpendapat demikian." "Sam-kaucu, apakah kau mengetahui tempat tinggal Jian-
ciat-suseng?" tiba-tiba Ji-kaucu menegur dengan suara dingin
menyeramkan.
"Kamar nomor tiga puluh enam Hong-tok-ciu-lau." "Dalam tiga hari, Sam-kaucu harus berhasil membunuh
Jian-ciat-suseng dengan cara apa pun."
"Cong-kaucu telah berpesan, sementara kita tak akan membunuh Jian-ciat-suseng."
Ji-kaucu segera menarik muka mendengar perkataan itu, katanya kemudian, "Kalau begitu segera kubicarakan masalah ini dengan Cong-kaucu, mungkin saja dia mau berubah pikiran." Selesai berkata dia lantas meluncur turun dari atas wuwungan rumah dan langsung menuju ke gedung kecil tadi, Sam-kaucu mengikut di belakangnya.
Mendadak Ji-kaucu berpaling seraya berkata, "Long Jit- seng telah melarikan diri, harap Sam-kaucu segera mengirim orang mengejarnya, bila gagal membekuknya hidup-hidup, mati pun tak apalah."
"Harap Ji-kaucu mengutus orang untuk membantuku," sahut Sam-kaucu cepat.
Sementara itu enam orang berjubah hijau telah bermunculan dari balik gedung.
Mendadak Ji-kaucu berseru kepada seorang berjubah hijau yang gemuk pendek.
"Ang Teng-siu, lekas bawa tiga orang dan bersama Sam- kaucu pergi mengejar Long Jit-seng!"
"Baik!" jawab orang gemuk pendek itu dengan sikap hormat.
Dengan cepatnya dia telah memilih tiga orang rekan untuk mendampinginya, lalu sambil berjalan ke depan Sam-kaucu dia berkata dengan lantaYig, "Ang Teng-siu siap menerima komando Sam-kaucu!"
"Tak usah banyak bicara, ayo kita berangkat," seru Sam- kaucu.
Kelima orang jago lihai Put-gwa-cin-kau itu dengan cepat berangkat meninggalkan gedung itu mengejar Long Jit-seng.
Long Jit-seng keluar dari gedung dengan kecepatan luar biasa, ia kabur secepatnya meninggalkan tempat itu.
Long Jit-seng mengerti, bila orang-orang Put-gwa-cin-kau telah berhasil membunuh orang yang membantunya, dengan cepat mereka akan mengejarnya kemari, maka dia memilih daerah yang sepi di barat kota untuk menyelamatkan diri. Sesudah menempuh perjalanan setengah jam dengan kecepatan tinggi, sampailah dia di tanah kuburan di sebelah barat kota, di situlah Long Jit-seng baru menghentikan perjalanannya.
Suasana di kompleks pekuburan itu hening, sepi dan mengerikan. .
Batu-batu nisan yang terbengkalai porak-poranda menjadikan sekeliling sana sebagai tempat persembunyian yang paling ideal.
Dengan langkah mantap Long Jit-seng langsung menerobos masuk ke dalam kompleks tanah kuburan itu.
Mendadak dari atas sebuah batu nisan Long Jit-seng menyaksikan munculnya sesosok bayangan orang.
Long Jit-seng terperanjat, cepat ia mendongakkan kepala. Orang itu berperawakan jangkung dengan wajah cakap,
termasuk seorang pemuda yang bermata tajam.
Sebilah pedang tersoreng di pinggangnya, sementara lengan baju kanannya nampak kosong, mengikuti hembusan angin malam, ujung baju itu bergoyang tiada hentinya.
Waktu itu dia sedang memandang ke wajahnya dengan senyum di kulum.
Seandainya tiada senyumannya yang ramah, niscaya Long Jit-seng akan menyangka dia sebagai setan gentayangan di tanah kuburan itu.
Dengan terkesiap dan jantung berdebar keras Long Jit-seng menegur, "Kau ini sebetulnya manusia atau setan?"
"Manusia," sahut Bong Thian-gak sambil tersenyum. "Kalau begitu kau ini musuh atau sahabat?"
"Musuh atau sahabat tergantung pada keputusanmu." Paras muka Long Jit-seng berubah hebat, tanyanya lagi dengan gemetar, "Jadi kau adalah anggota Put-gwa-cin-kau?"
"Tidak, aku bukan anggota Put-gwa-cin-kau."
Rupanya Hek-ki-to-cu menjadi ketakutan setengah mati karena mengira Bong Thian-gak adalah anak buah Put-gwa- cin-kau, hatinya baru merasa lega setelah mengetahui dugaannya meleset.
Sambil menghela napas pelan-pelan dia bertanya, "Ada urusan apa kau menghadang jalan pergiku?"
Bong Thian-gak tersenyum.
"Baru saja aku mendirikan sebuah perkumpulan baru dan sekarang sedang 'mencari umat persilatan yang bisa diterima sebagai anggota baru perkumpulan, aku tertarik denganmu."
Tergerak hati Long Jit-seng mendengar tawaran itu, segera tanyanya, "Apa nama perkumpulan itu? Siapa pemimpinnya?"
"Tiong-yang-hwe, akulah Hwecunya."
Mendadak Long Jit-seng tertawa terbahak-bahak, "Hahaha, kau tahu siapakah aku?"
"Long Jit-seng dari lautan timur, seorang tokoh persilatan mahir banyak ilmu."
"Ah, jadi engkau yang membantu meloloskan diriku tadi?" Long Jit-seng terkejut.
Kembali Bong Thian-gak tersenyum.
"Aku tak ingin melihat kau terbunuh atau diperalat Ji- kaucu." "Hahaha, mengapa tidak kau katakan bahwa kau tak ingin melihat harta karun raja muda Mo-lay-cin-ong terjatuh ke tangan orang-orang Put-gwa-cin-kau?" Long Jit-seng tergelak makin keras.
Tiba-tiba Bong Thian-gak menarik muka, kemudian berkata, "Orang-orang Put-gwa-cin-kau tak akan melepas dirimu begitu saja, orang yang menurunkan perintah membunuh atas dirimu adalah Ji-kaucu. Padahal jagoan berilmu tinggi seperti Ji-kaucu banyak terdapat dalam Put- gwa-cin-kau, sedang anak buahmu? Adakah jagoan dari Hek- ki-to yang memiliki kepandaian untuk menandingi Ji-kaucu?"
"Perkataanmu memang benar," Long Jit-seng tertawa, "tapi sayang, biarpun aku bergabung dengan perkumpulan kalian pun sulit rasanya untuk meloloskan diri dari kematian."
Mencorong sinar tajam dari mata Bong Thian-gak, ujarnya dengan suara nyaring, "Biarpun Tiong-yang-hwe belum berkekuatan untuk melawan kekuasaan Put-gwa-cin-kau, namun aku yakin masih sanggup melindungi keselamatan jiwamu."
"Engkaukah Jian-ciat-suseng yang belakangan ini termasyhur namanya dalam Bu-lim?"
"Betul," Bong Thian-gak tertawa, "aku memang seorang cacat." Tiba-tiba Long Jit-seng berkata lagi, "Sepanjang hidupku, aku hanya tahu menurunkan perintah dan memerintah orang lain, belum pernah kuperoleh perintah orang lain untuk mengerjakan sesuatu. Oleh sebab itu, aku ingin melihat dahulu kepandaianmu." Bong Thian-gak tertawa.
"Bila kau bersedia menggabungkan diri dengan Tiong-yang- hwe, berarti kau adalah Kunsu (juru pikir) Tiong-yang-hwe, hal ini sama artinya kau hanya memberi perintah kepada orang lain dan bukan orang lain yang memberi perintah kepadamu."
Long Jit-seng tertawa terbahak-bahak.
"Kau adalah ketua Tiong-yang-hwe, berarti seorang Kunsu masih tetap di bawah tingkatan seorang Hwecu bukan?"
"Long-kunsu," Bong Thian-gak tertawa, "kau ingin mencoba keistimewaanku? Boleh saja, cuma dibanding kecerdasan otak dan akal muslihatmu, aku mengaku kalah darimu." Long Jit-seng tertawa nyaring.
"Soal mengatur siasat dan menyiapkan tipu muslihat, tentu saja bidang itu merupakan pekerjaan seorang Kunsu.
Sedangkan sebagai ketua, syarat yang dibutuhkan selain ilmu silat yang tinggi dia mesti memiliki budi pekerti yang baik.
Sebab biarpun ilmu silat seseorang sangat tinggi, bila dia tidak memiliki kemampuan seorang pemimpin dan kebajikan serta budi pekerti yang baik, jadinya sebuah perkumpulan yang kaku, sebuah perkumpulan tanpa nyawa, biasanya perkumpulan semacam ini tak pernah bisa menggetarkan dunia persilatan."
"Aku mempunyai semacam kemampuan untuk menilai orang dari wajah seseorang dan aku mengerti kau memang memiliki budi pekerti serta kewibawaan sebagai seorang pemimpin. Yang belum kuketahui sekarang adalah kepandaian hebat yang kau miliki."
"Dengan cara apa Kunsu hendak mencoba kepandaian silatku?" tanya Bong Thian-gak sambil tersenyum.
Long Jit-seng tertawa terbahak-bahak. "Sesungguhnya bidang ilmu silat tak perlu dicoba lagi,
sebab dengan nama besar Jian-ciat-suseng, rasanya sudah
lebih dari cukup untuk menggetarkan seluruh dunia persilatan."
"Sungguh tak kusangka begitu cepat Long Jit-seng bersedia menggabungkan diri dengan Tiong-yang-hwe, kejadian ini sungguh merupakan suatu keberuntungan bagi Bong Thian- gak," pemuda itu berseru dengan nada terharu.
Long Jit-seng membenahi pakaiannya, lalu maju ke hadapan Bong Thian-gak dengan hormat, dia membungkukkan badan menjura sambil berkata nyaring, "Hwecu di atas, Long Jit-seng memberi salam atas kebesaran Hwecu." Buru-buru Bong Thian-gak membangunkan Long Jit-seng sambil menyahut, "Long-kunsu tak usah banyak adat "
Belum habis dia berbicara, tiba-tiba Bong Thian-gak merasakan urat nadi pada pergelangan tangan kirinya dicengkeram orang, dengan lima jari tangannya yang kuat.
Pada saat bersamaan, telapak tangan kiri Long Jit-seng disodokkan ke muka.
Mimpi pun Bong Thian-gak tak menyangka Long Jit-seng bakal melancarkan serangan dengan cara sedemikian kejinya.
Perlu diketahui, urat nadi pergelangan tangan merupakan salah satu dari tiga tempat mematikan di tubuh manusia, begitu urat nadi dicengkeram orang, betapa pun besarnya kekuatan tidak mungkin bisa dikerahkan lagi.
Masih mending bagi mereka yang bertangan utuh, Bong Thian-gak hanya berlengan tunggal, bagaimana mungkin dia bisa meloloskan diri?
Itulah sebabnya serangan Long Jit-seng benar-benar merupakan sergapan maut yang kejam dan tak berperi- kemanusiaan.
Bong Thian-gak tidak tahu bagaimana cara untuk menghindarkan diri ataupun berbuat sesuatu, namun dia tetap berdiri tegak dengan senyum di kulum, dengan dada dibusungkan dia menyambut datangnya sergapan Long Jit- seng itu.
"Blam", pukulan dahsyat Long Jit-seng menghajar telak di atas dada Bong Thian-gak.
Dengan cepat Long Jit-seng merasakan telapak tangan kirinya sakit panas dan pedas, seolah-olah baru saja menghantam sepotong lempengan besi baja.
Pada saat itulah Bong Thian-gak memutar pergelangan tangan kirinya dengan leluasa, seakan-akan pergelangan tangannya terdiri dari kapas yang lunak, tahu-tahu saja sudah terlepas dari cengkeraman baja kelima jari tangan kanannya!
Long Jit-seng tertegun, mimpi pun dia tak menyangka ilmu silat Bong Thian-gak telah mencapai tingkatan begitu hebat.
Sambil tersenyum Bong Thian-gak berkata, "Tipu muslihat Long-kunsu benar-benar hebat, jika caramu ini digunakan untuk mencoba kepandaian orang, memang sulit bagi orang lain untuk menghindar."
Long Jit-seng menghela napas panjang, "Hwecu memang pantas disebut seorang Tay-enghiong. Bukan cuma berkepandaian silat tinggi, Hwecu pun welas-asih dan bijaksana."
"Sesungguhnya barusan aku berniat jahat dengan niat menghabisi nyawa Hwecu dalam sekali pukulan. Sedangkan Hwecu pun sudah dapat meraba niat jahat diriku, namun kenyataan kau sama sekali tidak mengungkapnya."
"Ai ... atas kejadian ini Long Jit-seng sungguh merasa menyesal, aku tidak pantas menjadi anggota Tiong-yang- hwe!"
Beberapa patah kata Long Jit-seng itu diucapkan dengan tulus hati dan sejujurnya.
Bong Thian-gak pada dasarnya memang pemuda yang berjiwa besar, sungguh ia dibuat sangat terharu oleh kejadian itu.
Akhirnya sambil tersenyum Bong Thian-gak berkata, "Kata Nabi besar, tiada orang yang luput dari kesalahan. Asal kau bersedia bertobat, dosa apa pun bisa dimaafkan. Tiong-yang- hwe sangat membutuhkan orang-orang berbakat seperti Hek- ki-to-cu."
Berkilat mata Long Jit-seng, segera ujarnya dengan suara lantang, "Sekarang dan detik ini juga Long Jit-seng bergabung dengan Tiong-yang-hwe, selama hidup aku bersumpah akan setia sampai mati kepada Hwecu dan selalu mendampingimu, bila suatu hari aku melanggar sumpah, biar Thian menjatuhkan hukuman berat kepadaku dan mati dengan hulu hati tertembus pedang."
Selesai mengucapkan sumpah, Long Jit-seng segera menjatuhkan diri berlutut dan menyembah tiga kali ke arah langit.
"Long-sianseng, kesetiaan dan ketulusan hatimu mengharukan hatiku," kata Bong Thian-gak kemudian.
Air mata jatuh berlinang membasahi wajah pemuda itu, dengan cepat dia membimbing bangun Long Jit-seng yang masih berlutut, kemudian pelan-pelan ujarnya, "Long- sianseng, mari kita pulang!"
"Hwecu tinggal dimana?"
"Rumah penginapan Hong-tok-ciu-lau." "Tempat itu tak boleh didiami lagi."
"Ehm, ucapanmu memang benar," Bong Thian-gak mengangguk, "entah bagaimanakah pendapat Sianseng?"
"Lebih kurang tiga li di luar kota terlarang terdapat kuil Hong-kong-si, Hongtiang kuil itu Hong-kong Hwesio adalah sahabat karibku, bila Hwecu tidak keberatan lebih baik markas Tiong-yang-hwe dipindahkan saja untuk sementara waktu ke situ."
Bong Thian-gak termenung beberapa saat, kemudian sahutnya,
"Kuil Hong-kong-si pasti merupakan kompleks kaum ibadah, rasanya kurang pantas bagi kita orang-orang kasar dunia persilatan untuk mengganggu ketenangannya." Long Jit- seng tersenyum.
"Di dalam kuil Hong-kong-si hanya berdiam Hong-kong Hwesio serta kedua muridnya saja," tukasnya. "Dalam kuil yang begitu luas hanya didiami mereka bertiga?" Bong Thian-gak heran.
Long Jit-seng manggut-manggut sambil tertawa.
"Hong-kong Hwesio adalah seorang berwatak aneh, belum pernah ada seorang Hwesio pun yang cocok hidup bersamanya, maka itulah kuil Hong-kong-si tak pernah menerima anggota baru."
"Apakah dia akan setuju bila kita menempati kuilnya?" tanya pemuda itu sambil berkerut kening.
Long Jit-seng tertawa.
"Dalam satu tahun ada tiga ratus enam puluh lima hari, boleh dibilang sepanjang hari Hong-kong Hwesio dan kedua orang muridnya hidup mengasingkan diri dalam sebuah kamar gelap tak tembus cahaya, biar langit ambruk atau permukaan tanah merekah mereka bertiga tak bakal meninggalkan kamarnya. Oleh sebab itu kita tak usah meminjam kepada mereka, kita secara langsung pindah saja ke situ."
Makin mendengar, Bong Thian-gak semakin terkejut, tanyanya kemudian, "Apakah mereka tidak bersantap?"
"Rangsum yang disimpan dalam kamar membukit, sepanjang tahun mereka tidak bakal kekurangan rangsum atau air."
'Ai, cara hidup mengasingkan diri Hong-kong Hwesio ini benar- . benar mengagumkan," tanpa terasa Bong Thian-gak menghela napas.
"Hwecu, kalau begitu kita putuskan demikian saja," kata Long Jit-seng kemudian, "besok sebelum senja tiba, kita semua pindah ke kuil Hong-kong-si."
"Kini Long-sianseng adalah Kunsu Tiong-yang-hwe, tentu saja segala sesuatunya akan berjalan menurut perkataanmu," Bong Thian-gak tertawa. Long Jit-seng tertawa terbahak-bahak, "Hahaha, Hwecu begitu percaya menyerahkan beban berat itu kepadaku, mungkin aku tak bisa memikul tanggung jawab ini."
Mendadak paras Bong Thian-gak berubah, serunya cepat, "Ssstt, ada orang datang, bisa jadi mereka adalah anggota Put-gwa-cin-kau."
Baru selesai dia berkata, empat sosok bayangan orang telah menerobos masuk ke dalam kompleks tanah kuburan itu.
Jelas orang-orang itu sudah mengetahui jejak Bong Thian- gak maupun Long Jit-seng, maka tanpa berhenti mereka langsung menuju ke arah mereka berada.
Bong Thian-gak diam-diam terkejut, pikirnya, "Heran, mengapa para pendatang segera mengetahui lokasi kami secara tepat?"
Belum habis ingatan itu melintas, keempat sosok bayangan orang itu sudah berhenti di hadapan mereka.
Mereka berempat adalah orang berjubah panjang hijau, sebilah pedang tersoreng di pinggang masing-masing, sebagai pemimpin adalah seorang pemuda gemuk pendek berkulit putih.
Sementara itu orang gemuk pendek itu tampak tertegun juga setelah bertemu Bong Thian-gak serta Long Jit-seng.
Berkilat sepasang mata Bong Thian-gak, dia merasa orang gemuk pendek itu seakan-akan pernah bersua di suatu tempat, paras mukanya sangat dikenal, setelah tertegun sejenak, berbagai ingatan berkecamuk dalam benaknya.
"Hehehe, tampaknya kehadiran kalian berempat bermaksud untuk membekuk diriku?" jengek Long Jit-seng sambil tertawa dingin. Salah seorang menengok sekejap ke arah pemuda gemuk pendek itu, lalu berkata, "Komandan regu Ang, orang inilah Hek-ki-to-cu Long Jit-seng!"
Mendadak Bong Thian-gak berseru tertahan, lalu pikirnya, "Ang Teng-siu! Kalau begitu dia adalah orang kepercayaan Thay-kun."
Tiga tahun berselang di suatu perkampungan petani, Ang Teng-siu dan seorang dayang Thay-kun telah bekerja sama membunuh seorang pembantu Ji-kaucu, waktu itu Ang Teng- siu pernah memberi pertanyaan kepada Bong Thian-gak bahwa Thay-kun adalah majikannya.
Sementara itu Ang Teng-siu telah berseru dengan suara dalam, "Bunuh mereka semua!"
Begitu perintah diberikan, ketiga orang berjubah panjang itu serentak melolos pedangnya sambil berjalan mendekat.
"Berhenti!" bentak Bong Thian-gak dengan suara dalam.
Di tengah bentakan, Bong Thian-gak melompat ke muka dan menghadang di hadapan Long Jit-seng.
Tiga bilah pedang panjang ketiga orang itu serentak menusuk tubuh Bong Thian-gak dengan kecepatan bagaikan sambaran petir.
Bong Thian-gak tertawa dingin, tubuhnya selincah ikan melejit lewat di antara celah-celah ketiga pedang itu, kemudian telapak tangan kirinya diayunkan ke muka dan ... dua kali dengusan tertahan bergema.
Kedua orang berjubah hijau itu masing-masing terhajar dadanya oleh serangan Bong Thian-gak sehingga terdorong mundur sejauh tiga-empat langkah, pedang mereka terlilit oleh lengan baju kanan Bong Thian-gak yang kosong sehingga sebilah di antaranya mencelat ke udara. Dalam satu gebrakan saja Bong Thian-gak berhasil menaklukkan ketiga orang berjubah hijau itu, kesempurnaan ilmu silat orang ini segera menggetarkan hati semua orang. Untung saja Bong Thian-gak masih punya belas kasihan dengan meringankan tenaga serangannya, coba tidak, bisa jadi ketiga orang berjubah hijau itu akan tewas.
Berubah hebat paras Ang Teng-siu, dengan cepat ia menyerbu ke muka, sebuah pukulan dilontarkan ke arah Bong Thian-gak dengan kecepatan luar biasa.
Bong Thian-gak menggeser langkah kakinya ke samping, tahu-tahu tubuhnya sudah beralih ke samping, setelah itu bentaknya, "Tahan!"
"Apa lagi yang hendak kau ucapkan?" tanya Ang Teng-siu dengan wajah tertegun.
"Bukankah kau she Ang bernama Teng-siu?" tegur Bong Thian-gak sambil menarik muka.
"Betul!" jawab Ang Teng-siu terkejut, "darimana kau bisa tahu namaku? Siapa pula kau?"
Sambil tertawa dingin Long Jit-seng segera menimbrung, "Ketua Tiong-yang-hwe... Jian-ciat-suseng!"
Mendengar nama itu, air muka Ang Teng-siu berubah hebat, serunya kemudian, "Sudah lama kudengar nama besarmu, apakah kau kenal diriku?"
"Apakah Ang-heng mendapat perintah untuk menangkap Hek-kito-cu?" kembali Bong Thian-gak bertanya dengan suara dalam.
Ang Teng-siu termenung sambil berpikir sejenak, kemudian baru menjawab, 'Dengan kehadiran saudara, bagaimana mungkin kami bisa melakukan penangkapan terhadap Tocu?"
"Kalau memang begitu, cepat kalian berempat mengundurkan diri dari sini!" Sebelum Ang Teng-siu sempat menjawab, mendadak dari balik kompleks tanah kuburan yang amat luas itu berkumandang suara seseorang dengan suara merdu.
"Jian-ciat-suseng, kalian sudah terkepung."
Seruan ini sungguh mengejutkan Bong Thian-gak, dia tak pernah mengira di kompleks tanah kuburan itu pun sudah tersembunyi musuh yang siap menyerang.
Dengan cepat Long Jit-seng berpaling.
Dari balik nisan yang porak-poranda dan menyeramkan itu, sekejap mata telah bermunculan dua puluh sosok bayangan orang berbaju merah, mereka semua berdiri di depan nisan kuburan.
Memandang dari kejauhan, yang terlihat hanya sorot mata mereka yang hijau berkilat seperti api setan.
Dari posisi mereka berada, Bong Thian-gak dan Long Jit- seng memang benar-benar sudah terkepung.
"Apakah Ji-hubuncu Hiat-kiam-bun yang berada di situ?" Bong Thian-gak segera menegur nyaring.
Yang berdiri paling dekat dengan Bong Thian-gak adalah seorang perempuan berkerudung merah, dia segera menjawab dengan merdu, "Betul, memang aku."
"Ji-hubuncu, dengarkan baik-baik," seru Bong Thian-gak dengan suara lantang, "aku orang she Bong tak ingin mempunyai perselisihan dengan pihak Hiat-kiam-bun, bila Ji- hubuncu adalah orang pintar, harap kau segera mengundurkan diri dari sini!"
"Mundur boleh saja," sahut Ji-hubuncu Hiat-kiam-bun sambil tertawa seram. "Asal kau tinggalkan Long Jit-seng di sini."
Mendengar ucapan itu, tiba-tiba Long Jit-seng terbahak- bahak. "Hahaha, aku orang she Long sudah tua dan tak bertenaga, bila nona menginginkan aku, aku tak berani menerima!"
"Yang kami inginkan adalah harta karun Mo-lay-cing-ong," kata Ji-hubuncu Hiat-kiam-bun dengan suara dingin, "asal kau Hek-ki-to-cu bersedia bekerja sama, Hiat-kiam-bun tak bakal melupakan jasamu itu."
"Mana ... mana " Hek-ki-to-cu tertawa, "sayang sekali
Hiat-kiam-bun datang terlambat, sebab aku sudah bergabung dengan perkumpulan Tiong-yang-hwe."
"Soal itu aku bisa membicarakan dengan Hwecu kalian."
Sebagai orang pintar, Bong Thian-gak segera dapat meraba duduknya persoalan mendengar pembicaraan itu, agaknya pihak Hiat-kiam-bun juga sudah mengetahui tentang rahasia harta karun milik raja muda Mo-lay-cing-ong itu dan agaknya Long Jit-seng juga telah membicarakan syaratnya dengan pihak Hiat-kiam-bun.
Maka setelah tertawa dingin, Bong Thian-gak berkata, "Cara menyerobot yang dilakukan Hiat-kiam-bun tak bisa diterima kami."
"Biarpun ilmu silat Jian-ciat-suseng tiada tandingan, namun jangan harap bisa menandingi kerja sama tiga orang penjagal berbaju merah kami. Tempo hari ketika masih berada di rumah penginapan, tentunya kau sudah pernah merasakan kelihaian penjagal berbaju merah bukan? Jadi aku tak usah memperkenalkan lagi."
Dengan sorot mata tajam Bong Thian-gak memandangnya lekat-lekat, lamat-lamat dia dapat melihat di belakang Ji- hubuncu Hiat-kiam-bun tiga pasang mata yang menggidikkan sedang mengawasi dirinya dengan sorot mata hijau menyeramkan.
Penjagal berbaju merah memang merupakan algojo-algojo andalan Hiat-kiam-bun. Kalau di dalam pertarungan kemarin Bong Thian-gak masih punya keyakinan, maka sekarang dia sama sekali tidak berkeyakinan untuk bisa menandingi ketiga algojo itu.
Melihat pemuda itu bungkam dan sampai lama belum menjawab, Ji-hubuncu berkata lagi sambil tertawa, "Di bawah pimpinanmu, aku percaya dalam waktu singkat Tiong-yang- hwe bisa tampil sebagai suatu perkumpulan besar dalam Bu- lim, sebagai seorang Tay-enghiong, Tay-hokiat, dia mesti seorang yang tahu gelagat dan bisa menyesuaikan diri dengan keadaan. Jian-ciat-suseng masih bisa mencari kedudukan besar di kemudian hari, kali ini kau mesti menerima dulu keadaan."
Bong Thian-gak mendongkol bercampur geli, dia lantas berkata, "Aku benar-benar berhasrat menyaksikan raut wajahmu, ingin kulihat bibir macam apakah yang kau miliki sehingga begitu pandai bicara."
"Asal kau bersedia melepaskan Hek-ki-to-cu, aku pun bersedia memperlihatkan wajah asliku."
"Aku tahu wajahmu sangat jelek, karenanya aku tak ingin melihatnya lagi," tukas Bong Thian-gak sambil tertawa dingin.
Ternyata perkataan itu membuat Ji-hubuncu Hiat-kiam-bun terbungkam, sampai lama sekali dia tak bicara lagi.
Untuk beberapa saat suasana di sekeliling tempat itu menjadi sunyi senyap, tegang dan mengerikan.
Ang Teng-siu dan ketiga orang berbaju hijau berdiri di tempat semula, mereka juga membungkam.
Mendadak terdengar Ji-hubuncu berkata, "Ang Teng-siu, kau sudah berhasil menemukan Buncu?"
Mimpi pun Bong Thian-gak tak mengira kalau Ang Teng-siu pun berkomplot dengan pihak Hiat-kiam-bun, berarti kedatangan Ang Teng-siu berempat ke situ tadi bukan sungguh-sungguh hendak mencari Long Jit-seng, melainkan sebelum kejadian Ang Teng-siu memang sudah punya janji dengan pihak Hiat-kiam-bun.
Dengan sikap menghormat, sahut Ang Teng-siu, "Lapor Ji- hubuncu, jejak Buncu sudah kami ketahui dengan jelas, cuma saat ini bukan saatnya untuk bicara, maaf kalau aku tak bisa memberi laporan sekarang."
Mendadak Bong Thian-gak tertawa terbahak-bahak, kemudian katanya lantang, "Ji-hubuncu, untuk menyusupkan Ang Teng-siu ke dalam Put-gwa-cin-kau memang bukan suatu pekerjaan gampang, bisa jadi banyak tenaga dan pikiran telah digunakan. Malam ini, bila aku bisa lolos dari pengejaran kalian dan kulaporkan kejadian ini kepada pihak Put-gwa-cin- kau, dapat dipastikan Ang Teng-siu tak bisa melanjutkan pekerjaannya menyusup ke dalam tubuh Put-gwa-cin-kau."
"Hm, tampaknya reaksi pikiranmu benar-benar cepat!" jengek Ji-hubuncu dingin.
Bong Thian-gak tertawa.
"Mana ... mana ... ikan dan telapak beruang tak mungkin bisa diperoleh bersama-sama, Ji-hubuncu, kau jangan kelewat tamak!"
Tiba-tiba Ji-hubuncu Hiat-kiam-bun menghela napas, lalu berkata, "Jian-ciat-suseng, silakan bawa Hek-ki-to-cu meninggalkan tempat ini!"
"Terima kasih atas kemurahan hati Ji-hubuncu!"
Selesai berkata, pemuda itu berpaling ke arah Long Jit-seng dan berkata lebih lanjut, "Long-sianseng, mari kita pergi!"
Tapi baru saja Bong Thian-gak berjalan dua langkah, mendadak dia berpaling lagi sambil bertanya kepada Ang Teng-siu, "Ang Teng-siu, masih kenal padaku?"
Ang Teng-siu tertegun, lalu menggeleng kepala. "Kita baru bersua untuk pertama kali ini, bagaimana mungkin bisa kenal?"
Dengan wajah serius dan bersungguh-sungguh Bong Thian- gak berkata, "Kita pernah bertemu walau Ang-heng belum ingat. Siapa tahu dengan Ji-hubuncu kalian pun merupakan sahabat lama? Waktunya memang sudah lama sehingga tidak ingat lagi."
Habis berkata dia lantas beranjak pergi.
Long Jit-seng mengikut di belakang Bong Thian-gak dengan mulut membungkam, setelah menempuh perjalanan beberapa saat Long Jit-seng berkata, "Hwecu benar-benar seorang naga sakti di antara manusia, sungguh tak nyana Ji-hubuncu Hiat- kiam-bun yang paling sukar dihadapi pun bersedia memberi muka padamu."
Bong Thian-gak menghela napas, "Ai, Ji-hubuncu membiarkan kita pergi dengan selamat lantaran jejak Buncu mereka dipandang jauh lebih berharga dari apa pun. Ai, semoga mereka bisa menemukan Buncunya."
"Siapa Buncu mereka?" tanya Long Jit-seng tercengang.
Sekali lagi Bong Thian-gak menghela napas, "Bila dugaanku tak salah, bisa jadi Buncu Hiat-kiam-bun adalah Si-hun-mo-li."
Long Jit-seng terkejut.
"Maksud Hwecu, Si-hun-mo-li adalah Buncu Hiat-kiam- bun?"
Untuk kesekian kalinya Bong Thian-gak menghela napas panjang, "Apa yang barusan kukatakan hanya merupakan dugaan saja, tapi tujuh puluh persen mungkin benar, ai ... mengenai hal ini baru bisa jelas bila dirunut kejadian tiga tahun berselang ... baiklah persoalan ini kita bicarakan di kemudian hari saja." Ternyata setelah berjumpa Ang Teng-siu hari ini, dia segera memperoleh jawaban yang tepat atas beberapa teka-teki yang selama ini belum terjawab olehnya.
Tiga tahun berselang, di dalam perkampungan petani yang menjadi markas kantor cabang Put-gwa-cin-kau kota Kay- hong, dia telah bertemu Ang Teng-siu.
Ang Teng-siu adalah anak buah Jit-kaucu Thay-kun, sedang Ang Teng-siu pun anggota Hiat-kiam-bun, dengan cepat Bong Thian-gak jadi teringat ucapan Thay-kun serta Keng-tim Suthay waktu itu.
"Sembilan hari lagi di Bu-lim bakal muncul sebuah perkumpulan baru."
Ketika Bong Thian-gak muncul kembali di Bu-lim, dia memang sudah berkunjung ke gedung Bu-lim Bengcu di kota Kay-hong serta Keng-tim-an, namun orang-orang yang menghuni di kedua tempat itu tak satu pun yang berhasil ditemukan, tempat tinggal mereka dalam keadaan kosong, sedang kabar penghuninya seolah lenyap begitu saja.
Tiga tahun kemudian, di Bu-lim muncul sebuah partai baru yang disebut Hiat-kiam-bun.
Ketika itu Bong Thian-gak berpikir dalam hati, "Jangan- jangan Hiat-kiam-bun adalah partai baru yang didirikan Toa- suheng Ho Put-ciang atau Keng-tim Suthay sekalian?"
Setelah dua kali perjumpaannya dengan Ji-hubuncu Hiat- kiam-bun, Bong Thian-gak merasa baik nada suara maupun perawakan tubuhnya seakan-akan pernah bersua di suatu tempat.
Akhirnya setelah kemunculan Ang Teng-siu pada hari ini, Bong Thian-gak baru dapat menebak bahwa Ji-hubuncu itu tidak lain adalah puteri Keng-tim Suthay, si gadis jelek.
Hong-leng terletak di atas tanah perbukitan di sebelah utara kota terlarang. Waktu itu seorang pemuda berbaju putih berdiri di atas undak-undakan pintu gerbang, sebilah pedang tersoreng di pinggangnya, ia berwajah tampan.
Sebentar-sebentar ia mendongak mengawasi sang surya yang semakin lama bergeser semakin ke tengah awang- awang.
Akhirnya tepat berada di atas kepala, tengah hari telah tiba.
Pada saat itulah dari jalan raya di kejauhan sana muncul seekor kuda yang dilarikan cepat, kuda itu menuju ke depan undak-undakan batu sebelum penunggang kudanya melejit ke udara dan turun di depan undak-undakan batu pertama.
Orang itu adalah seorang pemuda berlengan tunggal berusia tiga puluhan, berwajah tampan, terutama sorot matanya yang memancarkan sinar kewibawaan.
Melihat kemunculan pemuda berlengan tunggal itu, pemuda berbaju putih tadi berseru sambil tertawa terbahak- bahak, "Hahaha, Jian-ciat-suseng benar-benar memegang janji tidak datang lebih awal, tidak pula terlambat, persis tengah hari."
"To-tongcu sudah menanti lama rupanya," kata Bong Thian-gak sambil tersenyum.
Rupanya tengah hari ini adalah saat dilangsungkannya duel antara Sin-tong Tongcu Kay-pang yakni To Siau-hou dan Bong Thian-gak.
Mendadak To Siau-hou menarik muka, kemudian berkata, "Hari ini aku orang she To dapat bertarung dengan saudara, hal ini sungguh merupakan suatu kebanggaan bagiku."
Bong Thian-gak menghela napas panjang. "Kedatanganku memenuhi janji ini sesungguhnya bukan
untuk berduel denganmu." "Lantas mau apa kau kemari?" seru To Siau-hou dengan wajah berubah.
"Aku datang untuk minta maaf kepada To-tongcu, bila kemarin Hui-eng-su-kiam bersaudara dari perkumpulan kami telah mengusik perkumpulan kalian, harap kau sudi memaafkan."
To Siau-hou tertawa dingin.
"Apakah kau beranggapan sebagai ketua suatu perkumpulan besar akan kehilangan pamor dan derajat bila berduel denganku?" "Oh, tidak!"
"Hm! Selama sastrawan berkelana di Bu-lim, kau selalu berusaha mencari jago-jago lihai kenamaan untuk diajak berduel, selama tiga bulan terakhir ini entah berapa banyak jago lihai yang telah keok di tanganmu ... cuma selama ini kau belum pernah mencari gara-gara terhadap jago Kay-pang, entah lantaran kau jeri pada nama besar Kay-pang ataukah memang tak ingin berselisih dengan pihak kami."
"Aku memang tak ingin berselisih dengan orang-orang Kay- pang," kata Bong Thian-gak sambil tersenyum.
"Seandainya Jian-ciat-suseng berkeinginan menjadi tenar, maka cara yang terbaik adalah mengalahkan para jago Kay- pang, dengan cara ini bisa jadi Tiong-yang-hwe akan berhasil menancapkan kaki untuk selamanya dalam Bu-lim."
"To-tongcu masih muda dan berkepribadian, keberhasilanmu di kemudian hari pasti akan luar biasa, sebagai anak muda yang berjiwa panas, kuanjurkan janganlah kelewat banyak mencari gara-gara, sebab cara ini bukan cara yang baik."
Bong Thian-gak mengucapkan kata-katanya dengan wajah serius dan bersungguh-sungguh.
To Siau-hou tertawa dingin, "Sejak enam bulan lalu kuterima jabatan Tongcu bagian Sin-tong partai kami, belum pernah kujumpai seorang jago lihai yang pantas melangsungkan duel denganku, hari ini aku tertarik duel denganmu. Bila kau enggan berduel melawanku hari ini, silakan kau umumkan pembubaran perkumpulan Tiong-yang- hwe dari dunia persilatan. Kau mesti tahu, tidak semua umat persilatan senang menyaksikan munculnya partai baru."
"Bila kuterima tantangan untuk berduel ini?" tanya Bong Thian-gak sambil menarik wajah.
To Siau-hou tertawa terbahak-bahak, "Hahaha, bila kau sanggup melawanku, To Siau-hou akan mengundurkan diri dari Kay-pang dan selama hidup membaktikan diri untuk Tiong-yang-hwe."
"To-tongcu, kau sedang bergurau rupanya?!' tanya Bong Thian-gak dengan kening berkerut.
"Seorang lelaki sejati tak pernah bicara tanpa tanggung jawab."
"Ai, tidakkah To-heng pikirkan bahwa taruhanmu kelewat besar?"
To Siau-hou tertawa dingin, "Hehehe, jangan kuatir, aku pun mempunyai sebuah syarat."
"Apa syaratmu?"
"Bila kau keok, Tiong-yang-hwe harus dibubarkan dengan segera dan Jian-ciat-suseng pun harus menggabungkan diri dengan kaum pengemis."
"Sayang aku tak bisa menerima syaratmu," kata Bong Thian-gak dengan tersenyum.
"Mengapa kau menampik?" To Siau-hou berkerut kening. "Suatu pertandingan adu kepandaian boleh dibilang suatu
perbuatan yang baik bagi kaum persilatan untuk mengukur
kepandaian silatnya, buat apa kita mesti bertaruh dengan taruhan yang begitu besar? Apakah To-tongcu sudah yakin dapat menangkan diriku?"
Tertegun si To Siau-hou mendengar perkataan itu, katanya kemudian, "Bila kau yakin bisa menangkan diriku, mengapa tidak kau terima keuntungan ini."
"Bila kau melepaskan diri dari Kay-pang, sudah dapat dipastikan Pangcu kalian tak akan melepaskan diriku," ucap Bong Thian-gak dengan suara dalam.
"Ya, betul," To Siau-hou manggut-manggut, "tapi bila Tiong-yang-hwemu makin hari makin bertambah kuat, Kay- pang pun tak dapat melepaskan dirimu."
"To-tongcu, kalau kau sudah bertekad hendak adu kepandaian, cabut pedangmu."
Ucapan anak muda itu hambar tanpa emosi.
"Kau tidak melolos pedang?" tanya Giok-bin-giam-lo dingin. "Pedangku dilolos bila keadaan sudah membutuhkan."
Tampaknya To Siau-hou tidak sesombong Mo Sau-pak dari perkumpulan Kim-liong-kiam-san-ceng, dengan cepat tangan kanannya melolos sebilah pedang mustika yang memancarkan cahaya tajam.
Begitu pedang dilolos, To Siau-hou segera miringkan tubuh ke samping, kemudian tubuh berikut pedangnya langsung menyerang sisi kanan Bong Thian-gak.
Jurus serangan yang dipergunakan olehnya sangat lamban dan tiada keistimewaan, seolah-olah serangan dilancarkan dengan santai.
Tapi Bong Thian-gak yang menyaksikan serangan itu justru hatinya begetar, batinnya, "Ah! Tay-kek-kiam, ilmu silatnya seperti beberapa kali lipat lebih maju daripada tiga tahun berselang." Seperti burung walet terbang di udara, Bong Thian-gak melejit ke atas undak-undakan batu ketiga dan meloloskan diri dari serangan itu.
Dengan demikian posisi yang ditempati kedua belah pihak persis pada garis undak-undakan yang sama.
Gagal dengan serangannya, To Siau-hou berseru, "Jian- ciat-suseng memang benar-benar bukan orang sembarangan!"
Sementara berbicara pedangnya kembali diputar, pelan- pelan membacok lagi ke sisi kanan Bong Thian-gak.
Belum lagi serangannya tiba, terasa segulung hawa dingin yang menusuk tulang menyergap wajahnya.
Sesudah menyaksikan jurus kedua ini, Bong Thian-gak baru paham apa sebabnya To Siau-hou memandang begitu serius pertaruhan yang diusulkannya tadi, ternyata Giok-bin-giam-lo yang sekarang sudah bukan Giok-bin-giam-lo tiga tahun yang lalu, kepesatan ilmu silat telah mencantumkan namanya di antara jago-jago lihai.
Dalam tiga tahun yang singkat ternyata To Siau-hou berhasil mendalami ilmu silatnya, maju beberapa puluh kali lipat lebih hebat dari semula, maka dapat dibayangkan kepandaian silat ketua Kay-pang yang mewariskan ilmu silat itu kepadanya benar-benar tak terlukiskan.
Tiba-tiba Bong Thian-gak bergeser dua undak-undakan lagi untuk menghindarkan diri dari tusukan lawan.
Tapi To Siau-hou pun tak malu disebut jago lihai, dia tidak memberi kesempatan kepada Bong Thian-gak untuk menempati posisi di atas yang lebih menguntungkan.
Dengan cepat dia bergeser berebut naik dua undak- undakan, angin serangan dingin diiringi desingan cahaya tajam secara beruntun dan tiada habisnya mengurung Bong Thian-gak di bawah bungkusan kabut cahaya pedangnya. Ilmu pedang itu bukan lain adalah Tay-kek-kiam-hoat, adalah ilmu pedang Bu-tong-pay, ilmu pedang ciptaan Thio Sam-hong cikal-bakal Bu-tong-pay.
Ilmu pedang ini mengutamakan tenaga lembut dan halus, dengan tenang menguasai keras.
Seandainya ada orang bisa melatih ketenangan dan kelembutan Tay-kek-kiam-hoat hingga puncak kesempurnaan, maka jangan harap umat persilatan di dunia ini bisa meloloskan diri dari kurungan cahaya pedang itu dengan selamat.
Tay-kek-kiam-hoat termasuk ilmu andalan Bu-tong-pay, biasanya hanya para Ciangbunjin yang memperoleh warisan ilmu itu, Bong Thian-gak sungguh tak habis mengerti darimanakah Giok-bin-giam-lo bisa mewarisi kepandaian itu.
Jian-bin-hu-li (rase sakti seribu li) Ban Li-biau telah mencuri kitab pusaka seantero perguruan yang ada di dunia ini, sudah barang tentu Tay-kek-kiam-hoat pun tidak terkecuali, itulah sebabnya Bong Thian-gak juga menguasai taktik dan rahasia ilmu itu.
Di tengah kepungan cahaya pedang To Siau-hou yang rapat, dengan gaya yang tak cepat maupun lambat, jurus demi jurus Bong Thian-gak memunahkan semua ancaman lawan.
Dalam waktu singkat To Siau-hou telah mengeluarkan tiga puluh sembilan jurus Tay-kek-kiam-hoat.
Makin bertarung To Siau-hou makin kaget, tiba-tiba dia berpekik nyaring, permainan pedangnya segera berubah, dari ilmu pedang Tay-kek-kiam kini dia pergunakan jurus-jurus pedang yang ganas, cepat dan luar biasa.
Di bawah desakan tiga jurus serangan kilat To Siau-hou, Bong Thian-gak terdesak mundur sejauh tiga undak-undakan. Sekali lagi To Siau-hou berpekik nyaring, tubuh dan pedangnya bersatu-padu, kemudian dari bawah menuju ke atas secepat kilat dia lancarkan tusukan ke tubuh Bong Thian- gak.
Di dalam jurus serangannya kali ini dia telah mempergunakan ilmu pedang terbang yang merupakan ilmu pedang tingkat tinggi.
Tergerak hati Bong Thian-gak, cahaya pedang berkelebat, mau tak mau dia harus melolos pedangnya.
"Trang", benturan nyaring bergema memecah keheningan.
Tiba-tiba saja cahaya pedang sirap, To Siau-hou terdorong sampai undak-undakan batu terakhir, dengan wajah terkejut bercampur seram dia mengawasi pedangnya yang tinggal setengah.
Di atas undak-undakan ketiga belas, berdirilah Bong Thian- gak dengan wajah serius.
Di tangannya terpegang sebilah pedang kayu yang tak bersinar, sementara sorot mata Bong Thian-gak yang tajam sedang mengawasi pedang kayunya yang gumpil sebagian, akhirnya dia menghela napas seraya berkata, "To-tongcu, kau telah tertusuk pedangku ini!"
Sembari berkata, Bong Thian-gak segera menggetarkan tangan kirinya dan patahlah pedang kayu itu menjadi dua bagian.
To Siau-hou membuang juga kutungan pedangnya ke tanah, lalu berkata dengan nada yang amat sedih dan duka, "Aku kalah, aku kalah ... tiga tahun berlatih dengan tekun ternyata aku tak mampu menghadapi serangan pedang kayu."
Ketika mengucapkan kata-kata yang terakhir, nada suaranya berubah menjadi sangat lemah seolah-olah setiap saat dia akan menangis tersedu-sedu. Dengan suara lantang Bong Thian-gak berkata, "Menang atau kalah adalah wajar dalam suatu pertarungan, To-tongcu, mengapa kau memandang begitu serius masalah menang atau kalah ini."
To Siau-hou tertawa seram, "Kau berada di pihak yang menang, tentu saja tak akan kau pahami bagaimana rasanya menjadi orang yang kalah."
"Lengan kananku pernah kutung, bukankah ini pertanda suatu kekalahan?" Bong Thian-gak berkata dengan suara dalam, "padahal To-tongcu tidak kalah di tanganku, apa yang terjadi tak lebih hanya senjata yang menjadi kutung belaka."
Tertegun To Siau-hou mendengar perkataan itu, serunya, "Kau berhasil menang tapi tidak sombong maupun tinggi hati, sikapmu jauh berbeda dengan apa yang tersiar selama ini."
Bong Thian-gak menghela napas panjang, "Ai, apa yang tersiar di Bu-lim memang selalu ditambah dengan bumbu di sana sini supaya kedengarannya hebat dan menggemparkan."
Mendadak paras muka To Siau-hou berubah serius, kemudian ujarnya dengan nada bersungguh-sungguh, "Di antara kelompok kaum pengemis, ilmu silatku ada pada urutan keempat, seandainya kau ingin mengalahkan pula ketiga orang jago lihai kami, rasanya kau mesti berlatih diri lagi selama sepuluh tahun sebelum niatmu itu terlaksana."
Bong Thian-gak tersenyum.