Jilid 16
Bong Thian-gak berpaling dan memandang sekejap bahu kanan Keng-tim Suthay yang berdarah, pisau kecil itu masih menancap di bahunya, maka ia berkata, "Suthay, cepat kau balut sendiri lukamu."
Saking sedihnya atas luka yang diderita puteri kesayangannya, Keng-tim Suthay sampai lupa pada luka yang dideritanya, mendengar perkataan itu ia baru merasa bahunya sakit perih.
Pada saat itulah seorang Nikoh tua datang membantu Keng-tim Suthay mencabut pisau kecil itu, kemudian membalut pula lukanya.
"Beruntung Buncu datang memangku jabatan pada hari ini," kata Keng-tim Suthay sambil menghela napas sedih, "kalau tidak, segenap anggota Hiat-kiam-bun pasti akan tewas di ujung pisau terbang Liu Khi, ai, orang persilatan mengatakan pisau terbang Liu Khi lihai sekali, setelah menyaksikan sendiri hari ini, terbukti kelihaiannya memang luar biasa."
Paras muka Bong Thian-gak berubah serius, katanya, "Padahal Liu Khi tidak lebih hanya jago nomor dua dalam Kay- pang."
Ia tidak melanjutkan kata-katanya, tapi Keng-tim Suthay sudah tahu apa maksudnya.
Pelan-pelan Keng-tim Suthay berkata pula, "Tapi Liu Khi sendiripun sudah dipecundangi Buncu."
Sekali lagi Bong Thian-gak menghela napas sedih.
"Aku melepaskan sebuah serangan, sedang Liu Khi hanya melepas tiga pisau terbang, goloknya belum digunakan, tenaga dalam orang ini rasanya jauh lebih tinggi daripada siapa pun."
"Ai," Keng-tim Suthay menghela napas, "andaikata keadaan Thay-kun bisa dipulihkan kembali, maka Hiat-kiam-bun kita pasti dapat menghadapi perguruan atau perkumpulan mana pun."
Tiba-tiba hati Bong Thian-gak bergetar, segera ia bertanya, "Apa kesadaran Thay-kun dapat dipulihkan kembali?"
"Tabib sakti Gi Jian-cau pasti sanggup menyembuhkan sakitnya itu," pelan-pelan Keng-tim Suthay berkata.
"Ya, tugas utama kita sekarang adalah menyelamatkan jiwa Thay-kun, bagaimana menurut pendapat Suthay?"
"Asal Buncu menurunkan perintah, segenap anggota perguruan akan berjuang sekuat tenaga."
Bong Thian-gak termenung sebentar, tiba-tiba tanyanya, "Apakah Ang Teng-siu juga anggota Hiat-kiam-bun kita?" Keng-tim Suthay tersenyum. "Agaknya Buncu masih belum cukup memahami asal-usul serta nama anggota Hiat-kiam-bun kita, silakan Buncu beristirahat di dalam kuil sekalian memeriksa daftar perguruan kita."
Bong Thian-gak tertawa geli, "Hahaha, sekarang aku sudah jadi ketua Hiat-kiam-bun, tapi masih belum tahu anggota perguruan kita, kejadian semacam ini kalau dipikir sungguh menggelikan."
Sembari berkata, Bong Thian-gak dan Keng-tim Suthay bersama-sama memasuki kuil itu.
Keng-tim Suthay mengajak Bong Thian-gak memasuki sebuah ruangan, kemudian memerintahkan kedua gadis berbaju merah untuk melayani keperluan pemuda itu, sementara dia sendiri buru-buru pergi menjenguk Khi Cho.
Bong Thian-gak segera duduk, memandang sekejap kedua gadis berbaju merah yang berdiri di samping pintu. Melihat kedisiplinan mereka, akhirnya ia merasa tak tega, sapanya, "Silakan kalian berdua ikut duduk, tak usah terlalu menuruti peraturan." "Terima kasih Buncu, kami tidak berani." Bong Thian-gak tersenyum.
"Siapakah nama kalian berdua?" kembali ia bertanya.
Pemuda ini merasa kedua gadis itu berwajah cantik, mukanya berbentuk kwaci, putih halus dan berusia di antara tujuh belas tahun.
Setelah termangu sejenak, sekali lagi Bong Thian-gak berkata, "Wah, rupanya paras muka kalian berdua mirip satu sama lain."
"Lapor Buncu," kembali gadis di sebelah kanan berkata dengan merdu, "budak bernama Cay-hong, sedangkan adikku bernama Cay-im, kami adalah dua bersaudara kembar."
"Oh, tak heran paras muka kalian begitu mirip, andaikata tiada perbedaan antara yang tinggi dan pendek, aku benar- benar tak bisa membedakan mana Cay-hong dan mana Cay- im. Entah apa jabatan kalian berdua dalam Hiat-kiam-bun?"
"Kami berdua adalah anak buah Kau-hubuncu, tapi sejak Kau-hubuncu terkena musibah, untuk sementara belum ada jabatan."
Menyinggung soal Kau-hubuncu, Bong Thian-gak segera teringat gadis muda yang tewas terkena tendangan pada alat kelaminnya oleh Thia Leng-juan tempo hari, tanpa terasa ia menghela napas panjang, "Ai, kematian Kau-hubuncu memang harus disesali, sungguh mengenaskan sekali."
Tiba-tiba sepasang mata Cay-hong berubah menjadLmerah, segera tanyanya, "Tolong tanya Buncu, sesungguhnya siapakah pembunuh Kau-hubuncu?"
Bong Thian-gak malah tertegun mendengar pertanyaan itu, segera ia berbalik bertanya, "Bukankah kalian kakak beradik pernah berjumpa denganku ketika berada di Hong-tok-ciu- lau?"
"Benar," Cay-hong mengangguk.
Bong Thian-gak menghela napas panjang.
"Aku telah menjadi ketua Hiat-kiam-bun pada hari ini, tentunya kalian merasa sedikit di luar dugaan bukan?"
Sekali lagi Cay-hong manggut-manggut, "Tentu saja sama sekali di luar dugaan, namun kami pun merasa gembira memiliki seorang ketua yang kepandaiannya sangat tinggi untuk memimpin perguruan Hiat-kiam-bun."
Pelan-pelan Bong Thian-gak berkata lagi, "Aku tahu siapakah pembunuh yang sebenarnya Kau-hubuncu, di kemudian hari aku pasti akan memberitahukan kepada kalian, ai! Pokoknya aku tak akan membiarkan anggota perguruan kita berkorban dengan percuma." Selesai berkata, dari dalam sakunya Bong Thian-gak mengambil daftar anggota Hiat-kiam-bun. Saat ia membuka lembar pertama, di tengahnya tertulis beberapa huruf.
Bong Thian-gak sangat terharu di samping berterima kasih, dia sama sekali tidak menyangka Keng-tim Suthay telah menyerahkan kedudukan itu sejak dulu, dari sini bisa disimpulkan bahwa dalam tiga tahun ini Keng-tim Suthay tentu berusaha keras untuk menemukan dirinya.
Bong Thian-gak pun membaca lebih jauh.
Nama Thay-kun juga tercantum dalam daftar anggota, dia adalah ketua pelindung hukum Hiat-kiam-bun.
Kemudian di antara kedua belas pelindung lainnya, Bong Thian-gak hanya mengenali dua orang, mereka adalah tabib sakti Gi Jian-cau serta Ang Teng-siu.
Dengan kening berkerut Bong Thian-gak berpikir, "Kumpulan tiga belas pelindung hukum Hiat-kiam-bun mungkin merupakan kekuatan inti perguruan, hanya tidak diketahui dimanakah rombongan itu kini?"
Belum habis ingatan itu melintas, Keng-tim Suthay serta Yu Hong-hong dan Siau Gwat-ciu bertiga telah berjalan keluar.
Keng-tim Suthay bertanya, "Apakah Buncu telah memeriksa daftar nama anggota?"
Bong Thian-gak manggut-manggut.
"Ya, sudah kubaca, hanya banyak yang tidak kupahami serta mohon petunjuk darimu."
"Silakan Buncu bertanya."
"Dari kelompok tiga belas pelindung hukum, apakah setiap orang di antaranya dapat dihubungi?"
"Kecuali ketua pelindung hukum, asal Buncu menurunkan perintah, setiap orang dapat dipanggil dengan segera." "Sebagian besar pelindung hukum ini tersebar dimana?" tanya Bong Thian-gak.
"Kecuali Thay-kun, sembilan orang lainnya menyelundupkan diri dalam Put-gwa-cin-kau, seorang berada dalam kantor cabang Kay-pang kota Lok-yang, si tabib sakti juga berada di kota Lok-yang, masih ada seorang lagi adalah Hongtiang kuil kami, Keng-koan Suthay."
Diam-diam Bong Thian-gak berpikir, "Yang disebut Keng- koan Suthay mungkin si Nikoh tua itu."
Berpikir sampai di situ, maka setelah termenung beberapa saat Bong Thian-gak kembali berkata, "Menurut pendapat Suthay, apakah kedua belas orang pelindung hukum itu perlu dipanggil?"
"Masalah ini silakan ketua yang mengambil keputusan."
Kembali Bong Thian-gak bertanya, "Pada halaman terakhir daftar anggota, tercantum lima nama orang misterius, kelima orang itu bukankah nama-nama orang yang sudah lama tiada?"
"Betul, kelima orang itu adalah si Pukulan nomor wahid dari kolong langit Ma Kong, Pangcu Hek-huo-pang Kwan Bu-peng, Luihong-khek Gi Peng-san, Tui-hun-pit Cia Liang dan Thi- koan-im Han Nio-cu. Mereka adalah jago-jago lihai dunia persilatan yang hilang secara misterius ketika sedang bertamu dalam gedung Bu-lim Bengcu tiga tahun berselang."
"Aku benar-benar tidak mengerti," Bong Thian-gak menggeleng kepala berulang kali, "Ma Kong berlima bukankah sudah bertamu dalam gedung Bu-lim Bengcu di kota Kay- hong? Mengapa dalam semalam saja mereka bisa mati secara misterius, lagi pula jenazah mereka hilang. Tapi seingatku beberapa hari berselang, Khi Cho pernah memerintahkan seorang jagoan aneh untuk menyerangku ketika berada dalam Hong-tok-ciu-lau, waktu itu Khi Cho tampaknya seperti memanggil nama orang itu sebagai Ma Kong, jangan-jangan
...."
Keng-tim Suthay menghela napas panjang. "Sesungguhnya Ma Kong berlima tidak tewas."
"Jadi mereka benar-benar belum mati?" tanya Bong Thian- gak dengan terkejut.
Kembali Keng-tim Suthay menghela napas panjang. "Untuk mengetahui keadaan yang sesungguhnya kejadian
ini, kita harus kembali sejenak peristiwa tiga tahun berselang.
Pada waktu itu Thay-kun mendapat perintah Cong-kaucu untuk menghabisi kelima jago lihai dunia persilatan yang sedang bertamu dalam gedung Bu-lim Bengcu itu, mereka adalah Ma Kong berlima."
"Agar bisa menyelamatkan jiwa kelima orang ini, akhirnya Thay-kun memperoleh sebuah cara, dari tempat kediaman si tabib sakti Gi Jian-cau dia berhasil memperoleh lima butir pil Kia-bin-wan."
"Apakah pil Kia-bin-wan (obat pura-pura tidur) itu?" tanya Bong Thian-gak.
"Pil itu diberi nama begitu oleh Gi Jian-cau sendiri, khasiat obat itu adalah barang siapa menelan pil itu, maka denyut jantung serta semua kerja anggota badannya akan terhenti sementara waktu, keadaan mereka tak ubahnya seperti mayat, padahal orang-orang itu tidak mati secara sungguh- sungguh."
"Kalau begitu, setelah Ma Kong berlima menelan Kia-bin- wan, Thay-kun mengangkut tubuh mereka, kemudian keluar dari gedung Bu-lim Bengcu?" tanya Bong Thian-gak.
Keng-tim Suthay manggut-manggut.
"Benar, tubuh Ma Kong berlima pada waktu itu dipindahkan ke kuil Keng-tim-an." "Kalau begitu Ma Kong berlima belum meninggal?" sekali lagi Bong Thian-gak bertanya.
Kembali Keng-tim Suthay manggut-manggut.
"Tentu saja mereka belum mati, cuma keadaan mereka saat ini menyerupai seorang yang tak bersukma dan berpikiran lagi."
"Ai, kalau begitu keadaan mereka berlima tak jauh berbeda seperti keadaan Thay-kun sekarang," ucap Bong Thian-gak sambil menghela napas sedih.
"Ya, keadaan mereka memang tidak jauh berbeda," kembali Keng-tim Suthay mengangguk.
"Apakah Ma Kong berlima masih bisa dipulihkan kesadarannya?" Keng-tim Suthay mengangguk pelan.
"Asal Gi Jian-cau membuatkan lagi semacam pil Hui-hun- wan (obat pembalik sukma) dan mencekokkan kepada mereka, niscaya mereka akan memperoleh kembali kesadarannya."
"Jika begitu Gi Jian-cau belum sempat membuat Hui-hun- wan?" "Soal ini aku kurang mengerti," Keng-tim Suthay menggeleng, "sejak Thay-kun dicekoki pil Kia-bin-wan oleh Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau, si tabib sakti Gi Jian-cau sudah mulai mengumpulkan bahan obat-obatan untuk membuat pil Hui-hun-wan guna menyelamatkan jiwa Thay-kun, sudah tiga tahun Gi Jian-cau belum juga menyelesaikan pekerjaannya, menurut tabib itu, dia masih kekurangan tiga macam obat- obatan."
"Ai, rupanya di kolong langit benar-benar terdapat obat semacam ini," Bong Thian-gak menghela napas panjang selesai mendengarkan kisah itu. Demi meyelamatkan Thay- kun serta Ma Kong berlima, Gi Jian-cau harus berhasil membuat pil Hui-hun-wan. "Ai, saat ini Ma Kong berlima tak lain adalah algojo-algojo andalan Hiat-kiam-bun, tujuan Thay-kun di masa lampau, sebetulnya dia hendak mempergunakan kekuatan sakti mereka untuk melawan jago lihai Put-gwa-cin-kau."
"Seandainya Hiat-kiam-bun kita sampai berbuat demikian, aku rasa ini terlampau kejam, kelewat tidak berperi- kemanusian," ucap Bong Thian-gak sambil menggeleng kepala berulang kali.
Keng-tim Suthay manggut-manggut, "Buncu penuh welas- asih, berjiwa besar dan berpandangan luas, hanya manusia semacam inilah yang pantas disebut seorang pahlawan besar, seorang pendekar sejati."
Bong Thian-gak termangu sebentar, lalu ujarnya lagi, "Bila kita bicara menurut kekuatan serta jumlah anggota Hiat-kiam- bun, rasanya sulit buat kita untuk melawan pihak Kay-pang maupun Put-gwa-cin-kau, tapi kita pun tak boleh hendak memperkuat kemampuan lantas kita memperalat Mo Keng berlima Locianpwe yang sukma, pikiran serta perasaannya telah terkendali.
"Ketika masih berada di Hong-tok-ciu-lau, aku pernah bertarung melawan Ma Kong, menurut pendapatku, walaupun saat ini dia garang seperti harimau dan kuat seperti raksasa, namun berhubung akal budinya telah hilang, akibatnya gerak- geriknya menjadi bodoh, kaku dan lucu, bila berjumpa jago lihai atau mereka yang mempunyai senjata mustika, aku yakin Ma Kong sekalian masih bisa dipunahkan secara mudah sekali.
"Sebaliknya bila kita bisa memulihkan kesadaran serta akal budi Ma Kong berlima, dengan dukungan kekuatan dan pikiran mereka, maka Hiat-kiam-bun kita akan dapat bersaing dengan perkumpulan mana pun di daratan Tionggoan, serta memimpin persilatan."
Keng-tim Suthay segera manggut-manggut. "Pendapat Buncu memang benar, itulah sebabnya kami selalu berharap si tabib sakti membuat pil Hui-hun-wan secepatnya."
"Saat ini si tabib sakti berada dimana?" tanya Bong Thian- gak setelah termenung sebentar.
"Dia berada di suatu tempat rahasia dalam kota Lok-yang." "Masih berada di kaki bukit Cui-im-hong?"
"Tidak, selama tiga tahun terakhir ini, Gi Jian-cau sudah menjadi salah seorang buronan yang dicari pihak Put-gwa-cin- kau, mana mungkin dia bisa tinggal lagi dalam Cui-im-hong- san-ceng?"
"Yang paling kukuatirkan adalah keselamatan jiwanya, kalau Suthay telah membuat persiapan yang matang, aku pun tak usah kuatir lagi."
"Dalam tiga tahun ini, demi melindungi jiwa Gi Jian-cau, Pinni telah memerintahkan dua orang jago lihai yang telah kehilangan akal budinya yakni Han Nio-cu serta Cia Liang untuk melindunginya. Beberapa hari berselang, waktu kau hendak berangkat ke Hopak, aku pun telah mengutuskan Sam-hubuncu untuk melindunginya, jadi aku rasa tak ada persoalan lagi."
"Bagus sekali, sekarang aku telah mengetahui secara garis besar keadaan perguruan kita," kata Bong Thian-gak.
"Adakah petunjuk Buncu untuk pergerakan perguruan kita?"
Bong Thian-gak tersenyum, bukan menjawab dia malah bertanya, "Tolong tanya, ada urusan apa Suthay datang ke Hopak?"
"Kedatangan Pinni ke Hopak kali ini, pertama, karena kudengar laporan Khi Cho tentang gerak-gerik Jian-ciat- suseng, dalam hati aku selalu mempunyai anggapan Jian-ciat- suseng sedikit mirip ketua Ko Hong, oleh sebab itu aku sengaja datang ke Hopak untuk membuktikan identitas Jian- ciat-suseng, ternyata Thian memang tidak menyia-nyiakan harapanku, akhirnya Hiat-kiam-bun kami mendapatkan ketuanya.
"Kedua, adalah untuk melihat operasi Khi Cho memantau Si-hun-mo-li, apakah pekerjaannya sudah ada perkembangannya atau tidak."
"Menurut pendapat Suthay, apakah pihak kita perlu turut campur dalam operasi pencarian harta karun peninggalan raja muda Mo-lay-cing-ong?"
Keng-tim Suthay segera menggeleng.
"Kekuatan perguruan kami sangat lemah, untuk bisa turut dalam perebutan harta karun itu, rasanya kita harus menemukan dulu ketua perguruan. Oleh sebab itu sebelum bertemu Buncu, kami hanya bisa menunggu perkembangan perebutan harta karun itu. Dan sekarang bila Buncu mempunyai suatu pandangan, silakan saja diambil keputusan, Tecu sekalian pasti akan turut perintah."
Bong Thian-gak manggut-manggut.
"Suthay memang cerdik dan cekatan, terhadap situasi sendiri maupun keadaan musuh selalu dapat diselidiki jelas, memang tahu diri. Tahu keadaan musuh, setiap pertarungan baru dapat dimenangkan. Ucapan Suthay memang benar, lebih baik perguruan kita bertindak mengikuti perkembangan selanjutnya, perlu diketahui, tugas utama adalah membantu Gi Jian-cau mendapatkan tiga macam obat-obatan yang masih kurang itu hingga Hui-hun-wan dapat dibuat selekasnya."
Keng-tim Suthay tersenyum, "Thian benar-benar melimpahkan rezeki untuk peguruan Hiat-kiam-bun, perguruan kami benar-benar berhasil mendapatkan seorang pemimpin yang arif bijaksana." Bong Thian-gak menghela napas panjang, "Aku berpengetahuan cetek, selanjutnya masih banyak membutuhkan kerja sama setiap anggota perguruan untuk bersama-sama mengangkat nama perguruan kita di mata masyarakat. Terutama sekali Suthay, selanjutnya bilamana ada hal-hal yang perlu dikemukakan, harap kau tak segan- segan untuk memberi petunjuk, di antara kita pun aku harap tidak tersisa garis pemisah antara seorang ketua dengan wakil ketua, karena sepantasnya Suthay lah yang memangku jabatan ketua ini."
Keng-tim Suthay tersenyum, "Bong-buncu masih muda namun gagah dan perkasa, kami tahu kemampuan serta kecerdasan Buncu berada di atas kami dan tak mungkin berada di bawah kami, Hiat-kiam-bun di bawah pimpinanmu pasti akan semakin cemerlang seperti matahari yang makin menjulang ke angkasa."
"Aku kuatir akan menyia-nyiakan harapan Suthay."
Keng-tim Suthay tersenyum, lalu mengalihkan pokok pembicaraan ke soal lain, katanya, "Jika Buncu memang tidak bermaksud mengambil tindakan terhadap harta karun Mo-lay- cing-ong, maka anggota perguruan kita pun rasanya tak perlu dihimpun lagi di wilayah Hopak ini."
"Aku rasa kita pun belum dapat membubarkan mereka dari wilayah Hopak, terutama pada saat ini, perlu diketahui, Thay- kun masih berada di bawah kekuasaan Put-gwa-cin-kau, tentu saja Suthay dan aku tak boleh bersama-sama tinggal di tempat ini."
"Lantas apa petunjuk Buncu?"
"Suthay, silakan kau memberi perintah mewakili aku." "Ah, hal ini mana boleh?"
"Aku belum lama menerima jabatan ketua, terhadap organisasi serta orang yang menjadi anggota perguruan pun belum begitu jelas, bila perintah kuberikan, tak mungkin segenap kekuatan yang kita miliki bisa dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, apalagi Suthay memang Conghubuncu perguruan kita, siapa bilang kau tak berhak memberi perintah?"
"Tapi sebelum memberi perintah, Pinni merasa wajib mohon petunjuk Buncu terlebih dahulu."
Bong Thian-gak tersenyum, "Bila demikian, silakan Cong- hubuncu katakan."
"Pinni harus secepatnya pulang untuk membantu Gi Jian- cau mendapatkan ketiga macam obat-obatan yang masih kurang itu, maka Pinni rasa untuk wilayah Hopak terpaksa mesti ditangani oleh Buncu sendiri."
"Pendapat Cong-hubuncu memang mirip dengan pikiranku," Bong Thian-gak manggut-manggut, "berapa banyak kekuatan yang kau butuhkan, silakan saja dibawa."
"Khi Cho, Pat-hubuncu serta Keng-koan Suthay tetap tinggal di sini membantu Buncu, sedang Su-hubuncu, Go- hubuncu, Liok-hubuncu dan Jit-hubuncu turut aku kembali ke Lok-yang."
Bong Thian-gak kembali mengangguk.
"Tugas utama perguruan kita saat ini memang melindungi si tabib sakti, agar secepatnya membuat pil Hui-hun-wan yang sangat penting artinya buat kita. Bilamana Cong-hubuncu menjumpai hal-hal gawat selama di Lok-yang, harap selekasnya kau mengirim berita padaku."
"Bila Buncu tiada persoalan lain, Pinni ingin berangkat ke Lok-yang sekarang juga."
"Baik, silakan Suthay segera berangkat."
Keng-tim Suthay siap beranjak, mendadak dia membalik badan, lalu dari sakunya mengeluarkan sepucuk surat, katanya, "Lapor ketua, dalam surat ini tercantum ketiga macam bahan obat-obatan yang harus kita peroleh secepatnya, andaikata terjadi sesuatu peristiwa di luar dugaan, harap masalah pembuatan pil Hui-hun-wan dilanjutkan oleh Buncu."
Mendengar perkataan itu, hati Bong Thian-gak bergetar, seolah-olah dia mendapat firasat jelek, tapi surat itu diterimanya juga.
"Suthay, andaikata di tempatmu terjadi hal-hal yang di luar dugaan, harap kau selekasnya mengadakan hubungan dengan kami," pesannya lagi dengan suara dalam.
Agaknya Keng-tim Suthay dapat memahami perasaan Bong Thiangak, maka ia hanya tersenyum.
"Hui-hun-wan merupakan benda yang amat penting artinya bagi Hiat-kiam-bun kita, oleh sebab itu semua masalah telah Pinni atur sedemikian rupa hingga terlihat rapi dan tertata secara baik, harap Buncu tak usah kuatir, nah, Pinni mohon diri lebih dahulu."
Maka berangkatlah Keng-tim Suthay dengan membawa empat orang Hubuncu serta puluhan anggota Hiat-kiam-bun kembali ke kota Lok-yang.
0oo0
Dalam waktu singkat, kuil Keng-koan sudah berubah menjadi pusat komando perguruan Hiat-kiam-bun, sekali pun kekuatan Hiat-kiam-bun untuk wilayah Hopak tidak terlalu besar, tapi di bawah pimpinan Bong Thian-gak, kuil Keng-koan telah diubahnya bagaikan sebuah sarang naga gua harimau.
Dalam tujuh hari, nama besar ketua Hiat-kiam-bun, Jian- ciat-suseng Bong Thian-gak telah menggetarkan seluruh dunia persilatan.
Yang paling membuat umat persilatan tercengang dan sama sekali tidak menyangka adalah Jian-ciat-suseng ternyata tak lain adalah ketua Hiat-kiam-bun, berita itu membuat pihak Put-gwa-cin-kau dan Kay-pang merasa amat terperanjat.
Pada dasarnya Hiat-kiam-bun memang sudah merupakan suatu perkumpulan yang sangat misterius dalam Bu-lim, tapi semenjak Bong Thian-gak menjadi ketuanya, setiap anggota Hiat-kiam-bun yang berada dalam Bu-lim tidak lagi menutup wajah mereka dengan kain kerudung merah, mereka semua muncul dengan raut wajah asli.
Ketika mereka mulai memperlihatkan paras muka aslinya, pihak Put-gwa-cin-kau serta Kay-pang baru tahu bahwa di antara para Huhoat Hiat-kiam-bun ternyata terdapat pula anggota perkumpulan mereka.
0oo0 Kegelapan telah mencekam seluruh jagad.
Daerah tujuh li di sekitar kuil Hong-kong-si merupakan tempat paling gelap, sepi dan rawan.
Pada saat itulah terlihat ada sesosok bayangan orang sedang berlari mendekati dari arah barat.
Mendadak suara bentakan keras menggema memecah keheningan, "Siapa di situ?"
Si pejalan malam yang datang dari arah barat telah menghentikan langkah dan mengangkat kepala sambil mengawasi keadaan sekeliling tempat itu dengan seksama.
Di tengah jalan rupanya telah berdiri seseorang, gelak tawa nyaring tadi berkumandang dari mulut si penghadang itu.
Di tengah gelak tawanya, dia maju beberapa langkah, katanya lantang, "Sam-kaucu, selamat bersua, baik-baikkah kau selama berpisah."
Orang yang datang dari barat itu nampak terkejut mendengar teguran itu, sorot matanya yang tajam untuk mengawasi tempat itu. Lawannya adalah seorang lelaki berperawakan sedang berjubah merah, dia berwajah lebar dan berlengan besar, raut mukanya seperti pernah dikenal, tapi tak teringat olehnya dimanakah mereka pernah bertemu.
Setelah hening sesaat, pejalan malam itu tertawa seram, "Hehehe, dari dandananmu itu, rupanya kau adalah anggota Hiat-kiam-bun?"
"Betul," jawab lelaki berjubah merah itu sambil tertawa tergelak, "aku adalah pelindung hukum Hiat-kiam-bun."
"Aku seperti kenal raut wajahmu," seru si pejalan malam dingin.
Lelaki berjubah merah turut tertawa.
"Sam-kaucu, mengapa kau mudah lupa? Aku she Ang bernama Teng-siu!"
Berubah hebat paras muka pejalan malam itu, dia berseru tertahan dan berkata, "Oh, rupanya kau adalah komandan pengawal Ji-kaucu, Ang Teng-siu."
"Betul, memang aku Ang Teng-siu."
Tiba-tiba pejalan malam itu menarik muka, kemudian ujarnya, "Ang Teng-siu, kau pengkhianat, berani amat kau halangi jalanku."
"Sam-kaucu," kembali Ang Teng-siu tersenyum, "mengapa kau punya jalan ke surga enggan dilalui, tiada jalan ke neraka kau terobos."
Sepasang mata pejalan malam yang tajam mendadak mengawasi sekejap keadaan sekitar situ, kemudian berkata dingin, "Ang Teng-siu, berapa orang yang kau bawa malam ini?"
Ang Teng-siu tertawa terbahak-bahak. "Ketua Hiat-kiam-bun serta sepuluh pelindung hukum telah hadir semua di sini."
Pejalan malam itu terkejut, dia segera bertanya dengan gelisah, "Dimanakah Jian-ciat-suseng sekarang? Suruh dia keluar menemuiku."
"Thia Leng-juan, harap tahu diri, malam ini kami memang sengaja menunggu kedatanganmu, kau tak usah kurangajar."
Agaknya Thia Leng-juan sudah merasa gelagat malam ini sangat tidak menguntungkan pihaknya, dia masih berusaha mempertahankan ketenangan, pelan-pelan ujarnya, "Biar naik ke bukit golok atau terjun ke kuali berminyak mendidih, aku sudah pernah merasakan semuanya, memangnya kalian masih mempunyai cara lain yang bisa membuat pecah nyaliku?"
"Sudahlah, kau tidak usah banyak bicara lagi, ketua kami segera akan berjumpa denganmu, lebih baik turuti kami §a)a, kalau tidak, terpaksa kami akan berbuat kasar kepadamu."
"Jian-ciat-suseng berada dimana sekarang?"
Sebelum Ang Teng-siu menjawab, dari balik kegelapan Mudah muncul sesosok bayangan orang menjawab dengan suara dingin, ierlun dan keren, "Thia Leng-juan, aku berada di sini."
"Mengapa kau tidak segera kemari?" "Aku segera akan datang."
Belum habis perkataan itu, sesosok bayangan orang berkelebat ke hadapan Thia Leng-juan dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat,
Thia Leng-juan cekatan sekali, dengan cepat dia menggeser badan menghindar ke sisi kiri.
Biarpun dia menghindar dengan gerakan cukup cepat, namun gerakan tubuh pendatang itu jauh lebih cepat lagi, tahu-tahu lengannya sudah bergerak dan "Plak!!" Thia Leng-juan mendengus tertahan, kemudian orangnya sudah roboh tak sadarkan diri.
Sewaktu Thia Leng-juan sadar dari pingsannya, ia menjumpai dirinya sudah duduk di atas kursi.
Duduk di hadapan seorang pemuda berjubah merah berlengan tunggal, berwajah pucat dan bermata tajam bagaikan sembilu.
Di sisi kiri dan kanan pemuda berjubah merah itu masing- masing berdiri sepuluh orang laki-laki berjubah merah, mereka semua berwajah kereng, bermata tajam dan kelihatan sangat gagah.
Bergidik Thia Leng-juan menyaksikan semua itu, dengan cepat dia teringat akan perbuatannya membunuh Kau- hubuncu Hiat-kiam-bun di kamar tujuh Hong-tok-ciu-lau tempo hari.
Ia pernah berjumpa dengan Jian-ciat-suseng Bong Thian- gak ketika berada di Hong-tok-ciu-lau, bahkan sewaktu terjadi peristiwa berdarah itu, Jian-ciat-suseng hadir pula di tempat kejadian.
Siapa sangka Jian-ciat-suseng tak lain adalah ketua Hiat- kiam-bun, pemuda berjubah merah berlengan tunggal itu.
Terpaksa Thia Leng-juan harus mengeraskan hati menegur, "Apa maksudmu membawa aku kemari?"
"Demi menyelamatkan jiwamu," jawab Bong Thian-gak hambar.
Thia Leng-juan tertegun, "Menyelamatkan aku? Apa maksudmu?"
Bong Thian-gak tertawa dingin.
"Asal kau bersedia menjawab beberapa pertanyaan dengan jujur, aku bersedia menyelamatkan jiwamu, kalau tidak, perbuatanmu membunuh Kau-hubuncu perguruan kami itu, tentu hanya ada jalan kematian bagimu."
Thia Leng-juan mulai berpikir, "Bagaimana pun juga kepandaian silatku tidak mungkin bisa menandingi Jian-ciat- suseng."
Maka dia pun bertanya, "Jawaban apa yang harus kuutarakan?"
"Bagaimana caramu memasuki Put-gwa-cin-kau?"
Thia Leng-juan tertegun, lalu berdiri melongo, lama kemudian baru dia balik bertanya, "Buat apa kau menanyakan hal itu?"
"Kau cukup menjawab pertanyaanku, hati-hati, salah bicara bisa berakibat hilangnya nyawamu," ancam Bong Thian-gak sambil tertawa dingin tiada hentinya.
Thia Leng-juan termenung lama sekali, tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun.
Setelah tertawa dingin, Bong Thian-gak berkata, "Bukankah kau telah membunuh kawanan jago persilatan golongan putih untuk merebut kepercayaan Cong-kaucu sehingga kau diterima menjadi anggota Put-gwa-cin-kau."
Gemetar keras sekujur badan Thia Leng-juan mendengar itu, bentaknya, "Aku tak pernah membunuh jago mana pun dari Bu-lim Bengcu, aku sama sekali tidak melakukan pembunuhan apa pun."
Mencorong sinar tajam dari balik mata Bong Thian-gak, dia segera mendesak lebih jauh, "Lantas mengapa Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau menaruh kepercayaan padamu? Kau pernah menjadi musuh bebuyutan Put-gwa-cin-kau, apakah kau mempunyai sesuatu persyaratan yang dapat membuat perempuan jalang itu percaya serta tunduk kepadamu?" "Benar, tentu saja aku mempunyai syarat-syarat tertentu," kata Thia Leng-juan.
"Apa syaratnya? Cepat katakan!" hardik Bong Thian-gak. "Tidak sulit bila ingin kukatakan, hanya kau harus
menerangkan dulu kepadaku, apa maksudmu menanyakan persoalan itu?"
"Thia Leng-juan, coba kau lihat wajahku baik-baik, tahukah kau siapa aku?"
Thia Leng-juan tertawa dingin, "Hm, siapa lagi? Tentu kau adalah Jian-ciat-suseng Bong Thian-gak."
"Kau masih ingat dengan seorang sahabatmu yang bernama Ko Hong tiga tahun berselang?"
Begitu mendengar nama Ko Hong, gemetar tubuh Thia Leng-juan dibuatnya, matanya membelalak, kemudian mengamati wajah Bong Thian-gak dengan seksama, seakan- akan dia sedang berusaha mencari sesuatu.
Tentu saja yang dicari olehnya adalah bekas-bekas yang telah menghilang.
Mendadak paras muka Thia Leng-juan berubah pucat-pias seperti mayat, kemudian gumamnya, "Kau adalah Ko Hong, benarkah kau adalah Ko Hong?"
"Benar, aku adalah Ko Hong," jawab Bong Thian-gak nyaring, "aku adalah Ko Hong yang bersama-sama kau dan
Pa-ong-kiong Ho Put-ciang bertiga bertarung membunuh Sam- kaucu Put-gwa-cin-kau yang telah menyaru sebagai Ku-lo Hwesio."
Thia Leng-juan tak dapat membendung air matanya lagi, ia menangis tersedu-sedu seperti anak kecil.
Bong Thian-gak tidak habis mengerti apa sebabnya dia menangis, padahal seorang Enghiong tak akan melelehkan air mata dengan mudah bila tidak sedang bersedih hati. "Thia-tayhiap, kau tentunya tahu bukan persoalan apakah yang hendak kutanyakan kepadamu!" kembali Bong Thian-gak bertanya dengan suara dingin.
Mendadak Thia Leng-juan mendongakkan kepala, kemudian teriaknya, "Ko Hong, bunuhlah aku! Biarpun mati, aku akan mati dengan mata meram!"
Bong Thian-gak berkerut kening, sebab sikap lawan, dia dapat pula merasakan kesedihan hatinya, dia membentak kembali, "Thia Leng-juan, bila kau benar-benar seorang Enghiong, benar-benar seorang leleki sejati, ayolah bicara lebih jelas!"
Thia Leng-juan tidak menjawab, dia hanya membungkam.
Melihat lawan membungkam, Bong Thian-gak bertanya kembali, "Thia Leng-juan, dengarkan baik-baik, aku hanya ingin mengetahui nasib Ho Put-ciang, Yu Heng-sui dan Oh Cian-giok sekalian."
Thia Leng-juan mendongakkan kepala memandang wajah Bong Thian-gak dan termangu, air matanya belum mengering sehingga wajahnya nampak sangat mengenaskan.
Tiba-tiba ia menghela napas, lalu berkata, "Mereka semua telah meninggal dunia."
Ucapan itu bagaikan guntur yang membelah bumi di siang hari bolong, gemetar keras sekujur badan Bong Thian-gak karena menahan emosi, kembali ia membentak, "Apa yang menyebabkan kematian Toa-suhengku sekalian? Siapa yang telah membunuh mereka?"
Gemetar keras tubuh Thia Leng-juan, tanyanya, "Kau menanyakan Toa-suhengmu? Apakah Ho Put-ciang kakak seperguruanmu?"
"Kau tak usah bertanya lagi," tukas Bong Thian-gak, "cepat katakan, apa yang menyebabkan kematian Toa-suheng sekalian?" Pada saat itulah tiba-tiba Thia Leng-juan teringat akan sesuatu, dia berseru tertahan, "Oh Ciang hu mempunyai empat orang murid, salah seorang di antaranya bernama Bong Thian-gak, Ah! Kalau begitu kau adalah murid Oh Ciong-hu Locianpwe yang bernama Bong Thian-gak."
Sinar tajam penuh napsu membunuh memancar dari balik mata Bong Thian-gak, bentaknya, "Thia Leng-juan, kau belum menjawab pertanyaanku, jika kau tidak menjawab dengan sejujurnya, aku akan membunuhmu sekarang juga."
Sembari berkata, dia mengangkat telapak tangannya pelan- pelan.
Kesepuluh orang pelindung hukum Hiat-kiam-bun yang berdiri mengelilingi arena mengerti, dalam keadaan demikian asal Thia Lengf-juan salah bicara sepatah kata saja, niscaya dia akan tewas dihajar oleh ketua mereka.
Dalam waktu singkat seluruh arena telah diliputi oleh suasana tegang dan mengerikan.
Thia Leng-juan menggetarkan bibirnya seperti ingin mengucapkan sesuatu, namun tak sepatah kata pun yang terucap keluar, jika dilihat dari kerutan wajahnya serta tubuhnya yang mengejang keras, dia sedang merasakan kengerian yang luar biasa dalam menghadapi kematian.
Namun akhirnya Thia Leng-juan berhasil menenangkan diri, ia menjawab pelan, "Akulah yang telah mencelakai mereka semua."
Belum selesai perkataan itu diucapkan, Bong Thian-gak telah berteriak, "Mengapa kau harus mencelakai mereka?"
Telapak tangannya segera diayunkan ke depan melepaskan sebuah bacokan kilat.
Jeritan ngeri yang memilukan hati segera berkumandang memecah keheningan, badan Thia Leng-juan mencelat ke udara dan melayang keluar lewat daun jendela, kemudian, "Bluk", terbanting ke atas lantai.
Secepat sambaran petir Bong Thian-gak melejit ke udara dan menyusul dari belakang.
Thia Leng-juan telah terkapar di atas tanah, dia berusaha meronta bangun, namun tak berhasil.
Dengan kasar Bong Thian-gak mencengkeram bajunya, lalu mengangkatnya ke atas, bentaknya, "Ayo cepat katakan, mengapa kau membunuh mereka?"
Sementara itu paras muka Thia Leng-juan pucat-pias seperti mayat, tampangnya kelihatan sangat mengerikan, darah segar mengalir keluar lewat ujung bibirnya seperti sumber mata air, membasahi pakaiannya dan menetes pula ke atas lantai.
Pukulan dahsyat Bong Thian-gak telah mengguncang isi perutnya, membuat dia sadar kematiannya sudah dekat.
"Bong ... Bong Thian-gak, sempurna amat tenaga pukulanmu, aku ... aku gembira sekali kau memiliki pukulan tenaga dalam sedemikian sempurna."
"Apakah kau tidak takut mampus?" seru Bong Thian-gak agak tertegun mendengar perkataan itu.
Kembali Thia Leng-juan tertawa pedih, "Pukulanmu barusan telah mengantar aku tak jauh dari kematian, aku ... aku merasa bersalah terhadap segenap rekan-rekan umat persilatan, walau mati, aku mati dengan rela, sekarang ... sekarang aku ingin memberitahukan beberapa hal kepadamu."
Ketika berbicara sampai di situ, secara beruntun dia muntah darah beberapa kali, dengan matanya yang sayu dia pun mencoba memandang sekejap sekeliling tempat itu, kemudian tanyanya bimbang, "Di ... dimanakah aku sekarang?" Bong Thian-gak agak tercengang dan sama sekali tak menduga sikap Thia Leng-juan itu, seandainya dia benar- benar seorang licik yang berakal bulus, mengapa sikapnya dalam menghadapi kematian begitu wajar?
"Tempat ini adalah ruang depan kuil Hong-kong-si, Hong- kong Hwesio dan muridnya berdiam di ruang belakang, sayang sekali mereka tak akan mendengar jeritanmu tadi, sudah barang tentu mereka pun tak akan kemari untuk menyelamatkan jiwamu."
Ucapan Bong Thian-gak itu diutarakan dengan suara datar dan hambar.
Thia Leng-juan berseru tertahan, "Ah! Kau ... kau juga tahu kalau aku tengah bersekongkol dengan Hong-kong Hwesio beserta muridnya?" Bong Thian-gak tertawa dingin.
"Beberapa malam berselang, semua pembicaraanmu dengan Long Jit-seng di ruang belakang telah kudengar semua."
"Kalau begitu kau ... kau juga sudah mengetahui pertemuanku dengan Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau/' kembali Thia Leng-juan bertanya dengan sedih.
Kembali Bong Thian-gak tertawa dingin.
"Tentu saja, aku pun sempat melihat kau seperti ular yang patut dikasihani, tunduk di bawah selangkangannya. Hm, pada saat itu aku malu melihat perbuatanmu, juga merasa kasihan untuk nasibmu, sungguh tak kusangka kau adalah seorang yang tak berguna."
Tiba-tiba dua baris air mata bercucuran membasahi pipi Thia Leng-juan, bisiknya lirih, "Umpatanmu memang benar, umpatanmu memang tepat sekali."
Sesudah mengucapkan perkataan ini, tubuh Thia Leng-juan semakin lama semakin lemah, kerongkongannya mulai gemerutukan. Dia berbisik lagi dengan suara yang sangat lirih, "Kemungkinan besar Ho Put-ciang sekalian belum ... belum mati, kau ... kau harus bekerja sama dengan Hong-kong Hwesio."
Bergetar keras perasaan Bong Thian-gak mendengar perkataan itu, tanyanya, "Apa kau bilang? Toa-suhengku sekalian belum mati? Katakanlah cepat kau, katakan!"
Beberapa kali teriakan beruntun, namun Thia Leng-juan sudah tak sanggup menjawab.
Thia Leng-juan telah menemui ajalnya, tewas seketika.
Tenaga serangan yang maha dahsyat Bong Thian-gak agaknya betul-betul sudah mehancurkan isi perutnya.
Kata-kata terakhir Thia Leng-juan justru menenangkan gejolak perasaan Bong Thian-gak yang sedang dipengaruhi oleh emosi.
Ia tak habis mengerti apa sebabnya Thia Leng-juan mengakui Ho Put-ciang sekalian tewas di tangannya, tapi kemudian dikatakan pula bisa jadi mereka belum tewas.
Bong Thian-gak hanya berdiri termangu sambil mengawasi jenazah Thia Leng-juan, dia tidak habis mengerti apa gerangan yang yang telah terjadi.
"Omitohud!" suara pujian sang Buddha tiba-tiba berkumandang seperti suara lonceng berdentang.
Bong Thian-gak sadar dari lamunannya, ia mengangkat kepala. Tahu-tahu sudah berdiri empat orang. Mereka adalah tiga orang
Hwesio dan seorang kakek berbaju hitam yang kurus kecil. Kakek berbaju hitam itu cukup dikenal Bong Thian-gak,
sebab dia tak lain adalah Long Jit-seng.
Dari ketiga orang Hwesio lainnya, orang yang berada di tengah adalah seorang Hwesio tua berwajah kuning emas yang memelihara jenggot sepanjang dada, kedua alis matanya juga memanjang ke telinga.
Yang aneh adalah kulit badan Hwesio tua ini pun berwarna kuning keemas-emasan, alis mata serta jenggotnya juga berwarna kuning emas, tak bisa disangkal lagi orang itu adalah Hong-kong Hwesio, si pedang sinar kuning.
Di sisi kiri dan kanan Hwesio tua itu masing-masing berdiri seorang Hwesio tua yang jenggotnya hitam sepanjang dada, Bong Thian-gak tahu kedua orang ini tentu murid Hong-kong Hwesio, hanya tak pernah disangka kedua muridnya pun berusia setengah abad lebih.
"Omitohud! Siancay, Siancay ... ternyata Sicu telah membunuh Thia-tayhiap."
Hong-kong Hwesio berbicara dengan suara rendah dan berat, sikap yang serius dan setiap patah katanya cukup menggetarkan perasaan Bong Thian-gak.
Sementara kesepuluh orang pelindung hukum Hiat-kiam- bun telah berdatangan secara beruntun, mereka menempatkan diri di kedua sisi Bong Thian-gak.
Bong Thian-gak memandang sekejap mayat Thia Leng-juan yang tergeletak di atas tanah, kemudian ujarnya dingin, "Apabila Hong-kong Hwesio mengetahui asal-usulnya, tentu kau akan beranggapan bahwa kematian Thia leng-juan sudah semestinya dia terima."
"Siancay, Siancay! Sicu telah salah membunuh orang," ucap Hong-kong Hwesio dengan suara dalam. "Sesungguhnya Thia Leng-juan adalah seorang Enghiong sejati, dia dapat direndahkan, dapat pula menyesuaikan diri dengan keadaan. Pembunuhan yang Sicu lakukan terhadap dirinya sungguh merupakan suatu kejahatan yang patut disesalkan."
Bong Thian-gak tertawa dingin, "Aku membunuhnya karena perbuatan jahat yang ia lakukan sudah kelewat batas. Kalau kau menuduh aku salah membunuhnya, apakah perbuatannya mencelakai sahabat serta saudara-saudaranya bukan suatu perbuatan yang keji?"
Long Jit-seng yang berdiri di sisi arena mendadak tertawa seram, lalu menimbrung, "Bong Thian-gak, apakah kedatanganmu ini bermaksud hendak mengajak aku masuk Hiat-kiam-bun?"
Bong Thian-gak segera menarik muka.
"Hiat-kiam-bun tak akan membiarkan manusia licik yang berbicara lain di mulut lain di hati semacam kau untuk tetap hidup di dunia ini."
"Orang she Bong," Long Jit-seng tertawa dingin. "Kau tidak seharusnya membunuh Thia Leng-juan di kuil Hong-kong-si."
Bong Thian-gak tersenyum.
"Sejak beberapa hari lalu, aku sudah tahu kau hendak memperalat kekuatan Hong-kong Hwesio dan muridnya untuk melenyapkan aku, itulah sebabnya sudah beberapa hari aku membuat persiapan di sekitar kuil Hong-kong-si untuk menanti Thia Leng-juan masuk perangkap, kemudian dengan cara demikian akan kupancing keluar Hong-kong Hwesio dan
murid-muridnya. Coba kau bayangkan? Apakah rencana dengan memasang perangkap semacam ini merupakan perbuatan yang keliru."
Diam-diam Long Jit-seng terkejut, tapi dengan cepat dia telah tertawa licik kembali, sahutnya, "Betul, memang tak keliru, aku yang telah memandangmu terlalu rendah."
"Omitohud!" sekali lagi Hong-kong Hwesio memuji keagungan sang Buddha, "bila Long Jit-seng bermaksud memancing kemunculan kami guru dan murid membuka pantangan membunuh, mungkin Hong-kong Hwesio tak akan memenuhi harapannya, namun Sicu telah membunuh Thia- tayhiap, jadi terpaksa kami guru dan murid benar-benar akan membuka pantangan membunuh."
"Mana ... mana, sebagai seorang pendeta, kau ingin mencampuri pula urusan pertikaian dunia persilatan, cepat atau lambat pasti akan kau langgar juga pantangan membunuh itu."
"Sudah hampir lima puluh tahun lamanya Pinceng menutup diri hidup mengasingkan diri dari keramaian dunia persilatan, sungguh tak disangka orang-orang Bu-lim telah berubah menjadi lebih buas dan ganas."
Bong Thian-gak tersenyum.
"Kalau hidup mengasingkan diri dalam lingkungan masyarakat, siapakah yang bisa melepaskan diri dari keramaian dunia? Tak heran kau mungkin bersembahyang setiap hari, namun belum bisa melepaskan diri dari pikiran keduniawian."
Hati Hong-kong Hwesio bergetar mendengar perkataan itu, mencorong tajam matanya mengawasi wajah Bong Thian-gak lekat-lekat.
"Siancay, Siancay! Bila kuamati panca-indra Sicu serta pancaran kegagahan dari wajahmu, sama sekali tidak mirip seperti manusia buas yang berhati keji, tapi mengapa Sicu justru membunuh Thia-tayhiap?"
Tiba-tiba Bong Thian-gak menarik muka, kemudian berkata dengan suara lantang, "Biarpun Thia Leng-juan terhitung anak murid Siau-lim-pay, tapi perbuatannya justru merusak nama baik perguruan, dia telah berkhianat serta mengabungkan diri dengan pihak Put-gwa-cin-kau membantu kaum sesat dan kaum laknat melakukan berbagai kejahatan mencelakai umat persilatan dan membunuh kaum pendekar, apakah aku tak pantas membunuh manusia semacam ini?" "Omitohud, apakah Sicu mempunyai bukti yang meyakinkan?" tanya Hong-kong Hwesio.
"Tiga tahun berselang, Thia Leng-juan telah berkhianat dan menjual Ho Put-ciang serta puluhan jago persilatan yang berada dalam gedung Bu-lim Bencu, apakah bukti ini belum cukup kuat?"
Hong-kong Hwesio segera menggeleng kepala, katanya, "Apakah Sicu mengetahui dengan pasti kisah yang sebenarnya sampai seluruh orang dalam gedung Bu-lim Bengcu di kota Kay-hong ditumpas orang pada tiga tahun berselang?"
Bong Thian-gak tertegun mendengar pertanyaan itu, kemudian dengan kening berkerut dia berkata, "Aku memang tidak mengetahui apa sebabnya gedung Bu-lim Bengcu di kota Kay-hong sampai tertumpas, namun menurut hasil penyelidikanku, kecuali Thia Leng-juan, segenap jago dalam gedung Bu-lim Bengcu pada waktu itu tidak diketahui nasibnya, sampai sekarang mati hidup mereka pun tetap merupakan teka teki."
"Oleh karena itu Thia Leng-juan menjadi orang yang paling dicurigai membunuh kawanan jago itu, apalagi sebelum ajalnya tiba tadi,
Thia Leng-juan juga mengakui bahwa dialah yang telah membunuh Ho Put-ciang serta yang lain-lain."
"Ai, Sicu betul-betul telah salah membunuh orang," Hong- kong Hwesio menghela napas sedih, "Thia Leng-juan pernah menceritakan kisah yang sesungguhnya sampai gedung Bu-lim Bengcu ditumpas orang, ai, kematian Thia-tayhiap benar- benar kelewat mengenaskan!"
Helaan napas berulang kali Hong-kong Hwesio membuat perasaan Bong Thian-gak bergetar keras, diam-diam dia bertanya pada diri sendiri, "Mungkinkah aku telah salah membunuh? Mungkinkah Thia Leng-juan adalah seorang baik?" Dengan cepat Bong Thian-gak membayangkan kembali setiap gerak-gerik, setiap perkataan yang diucapkan Thia Leng-juan menjelang ajalnya tiba.
Dia memang merasa banyak hal yang mencurigakan, akan tetapi Bong Thian-gak tidak habis mengerti, bila Thia Leng- juan memang bersih dan tidak merasa bersalah, apa sebabnya dia pasrah kepada nasib dan bersedia menerima kematian?
Mungkin Thia Leng-juan mempunyai kesulitan yang tak mungkin bisa diutarakan? Tapi bukankah dia sendiri mengakui telah membunuh Toa-suheng sekalian?
Bong Thian-gak benar-benar merasa amat resah, masgul dan murung, terutama sekali terhadap kata-kata terakhir Thia Leng-juan menjelang ajalnya tadi, " ... besar kemungkinan Ho Put-ciang sekalian belum mati."
Yang membuatnya ragu dan tak menentu sekarang adalah perkataan Thia Leng-juan itu, benarkah? Atau omong kosong?
Sekarang Bong Thian-gak sedikit menyesal, dia menyesalkan apa sebabnya tidak membuat duduk persoalan menjadi jelas lebih dulu sebelum menindak Thia Leng-juan.
Padahal Bong Thian-gak sendiri sama sekali tidak menyangka Thia Leng-juan bakal tewas di tangannya.
Thia Leng-juan pun terhitung seorang jago persilatan kelas satu dalam Bu-lim, kendatipun dia tak bisa meloloskan diri dari serangan Bong Thian-gak, namun mustahil dia bisa tewas hanya dalam satu gebrakan saja.
Bong Thian-gak menghela napas panjang, kemudian bertanya, "Hong-kong Locianpwe, benarkah aku telah salah membunuh Thia Leng-juan?"
Hong-kong Hwesio menghela napas, "Thia-tayhiap tak seharusnya tewas dalam keadaan demikian, dia harus mengungkapkan kenyataan sebenarnya peristiwa dunia persilatan sebelum mati." "Dapatkah Hong-kong Locianpwe menerangkan duduk persoalan ini lebih jelas lagi?" tanya Bong Thian-gak dengan kening berkerut kencang.
Tiba-tiba mencorong sinar membunuh yang amat tebal dari balik mata Hong-kong Hwesio, dia berkata, "Sicu telah membunuh Thia-tayhiap, apa lagi yang bisa dibicarakan sekarang?"
Bong Thian-gak dapat pula menangkap sorot mata Hong- kong Hwesio itu, maka dia pun balik bertanya, "Hwesio tua, apa yang hendak kau lakukan?"
"Nyawa manusia tak ternilai harganya, Sicu telah membunuh orang, maka kau harus memberi keadilan pula bagi umat persilatan."
"Bila Lohwesio ingin membalas dendam bagi kematian Thia Leng-juan, kuanjurkan lebih baik urungkan saja niatmu itu," ucap Bong Thian-gak dingin.
"Rupanya Sicu beranggapan Lolap tak sanggup menghabisi nyawamu?"
"Bila Lohwesio ingin membunuh aku, kemungkinan besar kau harus mengorbankan tenaga yang amat besar, namun sebelum aku roboh ke atas tanah, mungkin kau sudah kehabisan tenaga untuk menghadapi musuh tangguh yang datang dari luar."
Baru selesai Bong Thian-gak berbicara, mendadak terdengar suara gelak tawa yang amat keras bergema memenuhi seluruh ruangan, gelak tawa itu mulanya berasal dari atas atap rumah, tahu-tahu di tengah halaman telah berdiri seorang lelaki kekar.
Orang itu bukan lain adalah jago nomor tiga Kay-pang, Han Siau-liong.
Setelah berdiri tegak, Han Siau-liong berkata dengan lantang, "Ketajaman mata Jian-ciat-suseng sungguh mengagumkan sekali, hahaha, hari ini aku Han Siau-liong akan menantang kau berduel."
Bong Thian-gak tersenyum, "Mana ... mana, hari ini berapa banyak jagoan yang telah Han-heng bawa serta?"
Setelah tertegun, Han Siau-liong menyahut sambil tertawa, "Kurang lebih seratus orang dan sekarang seluruh kuil Hong- kong-si telah kami kepung."
"Apabila Han-heng bermaksud mencari Long Jit-seng, orangnya berada di sini sekarang, Han-heng boleh menangkapnya dengan segera," ucap Bong Thian-gak tertawa.
Han Siau-liong tertawa terbahak-bahak, "Hahaha, Jian-ciat- suseng betul-betul memahami taktik perang."
"Jangan kelewat sungkan, bila Han-heng tidak turun tangan dengan segera, bila Ji-kaucu Put-gwa-cin-kau sampai menyusul kemari, belum tentu pihakmu mempunyai kemampuan untuk membekuk Hek-ki-to-cu."
Kembali Han Siau-liong tertawa kering, "Kau anggap pihak Put-gwa-cin-kau pasti ada orang yang akan muncul ke sini?"
"Telinga umat persilatan saat ini dibentangkan lebar-lebar, rahasia Hong-kong Hwesio bersama Hek-ki-to-cu mengenai rahasia harta karun Mo-lay-cing-ong sudah bukan rahasia pribadi lagi."
"Kalau begitu, aku seharusnya turun tangan terlebih dahulu," Han Siau-liong tertawa.
"Tampaknya Han-heng kuatir orang she Bong akan menjadi nelayan yang beruntung?"
"Betul, aku memang menguatirkan hal ini."
Bong Thian-gak tersenyum, "Bila Han-heng tidak turun tangan lebih dulu, kemungkinan besar kau akan didahului orang lain." "Siapa yang akan mendahului diriku?" tanya Han Siau-liong. "Toa-cengcu Kim-liong-kiam-san-ceng Mo Hui-thian."
Selesai perkataan itu, dari tengah ruangan telah berkumandang suara seorang bernada dingin, "Bocah keparat, kau betul-betul sangat lihai, sampai-sampai jejakku pun kau ketahui."
Suara itu hanya melambung di angkasa, tak nampak sesosok bayangan orang pun yang muncul.
Paras muka Hong-kong Hwesio serta Han Siau-liong yang berada di tengah arena berubah hebat, nama besar Mo Hui- thian cukup termasyhur dalam Bu-lim dewasa ini.
Kembali Bong Thian-gak tertawa terbahak-bahak, suaranya keras dan memekakkan telinga, kemudian dia berkata, "Hahaha, semenjak beberapa hari lalu aku sudah tahu Mo- locianpwe ada maksud mencari diriku, oleh sebab itu untuk menghindari usaha Toa-cengcu melancarkan serangan keji, terpaksa aku pun menguntitmu lebih dulu. Hahaha, Toa- cengcu seperti sudah terpikat oleh harta karun Mo-lay-cing- ong sehingga lupa menyusahkan diriku."
Hong-kong Hwesio memuji keagungan sang Buddha, kemudian pelan-pelan berkata, "Mo Hui-thian, sudah puluhan tahun kita tak bersua, Lohwesio kangen sekali kepadamu."
Dari keheningan udara kembali berkumandang suara Toa- cengcu Kim-liong-kiam-san-ceng.
"Hwesio tua sahabat karibku, aku dengar peta harta karun itu berada di sakumu, entah bersediakah kau meminjamkan sebentar kepada sahabatmu ini?"
"Omitohud, siapa bilang tak boleh? Kalau sobat karib yang meminjam, aku yakin tentu akan dikembalikan." Mendadak Han Siau-liong berkata kepada Bong Thian-gak, "Bong-N buncu, tampaknya untuk sementara waktu kita harus menyingkirkan semua perselisihan pribadi di antara kita."
Bong Thian-gak tersenyum, "Han-heng, aku lihat watakmu sudah banyak berubah."
"Ya, keadaan dan suasanalah yang memaksaku berbuat demikian," ucap Han Siau-liong.
Kembali Bong Thian-gak tersenyum, "Pihak Hiat-kiam-bun kami sama sekali tidak tertarik pada peta harta karun itu, tapi
... kami pun enggan membiarkan peta harta karun itu terjatuh ke tangan partai atau perguruan mana pun, oleh karena itu dia adalah musuh Hiat-kiam-bun kami, jika Han-heng berniat merebut peta harta karun itu, bukankah kita akan segera berubah menjadi musuh bebuyutan?"
"Bagus, bagus sekali," Han Siau-liong tertawa lebar, "pendapat Bong-buncu memang persis seperti pendapatku, tapi berbicara dari situasi yang kita hadapi sekarang, tampaknya kita harus menjalin kerja sama."
"Bagaimana cara kita menjalin kerja sama?"
"Pertama-tama kita harus mencegah peta harta karun itu jangan sampai terjatuh ke tangan siapa pun."
"Tapi peta harta karun itu berada di tangan siapa sekarang?"
Menghadapi pertanyaan itu Han Siau-liong tertegun, ia balik bertanya, "Bukankah peta itu berada di tangan Hong- kong Hwesio?"
Mendadak dari tengah udara berkumandang lagi suara teriakan Mo Hui-thian, "Hwesio tua sahabat karibku, mengapa kau tidak berhasil menemukan peta harta karun itu?" "Omitohud, Mo-cengcu, sampai sekarang mengapa kau masih belum juga menampakkan diri?" Hong-kong Hwesio berkata.
Tiba-tiba Han Siau-liong berpaling ke arah Bong Thian-gak dan bertanya sambil tertawa, "Bong-buncu, apakah kau tahu Mo-loji dimana bersembunyi?"
Bong Thian-gak tersenyum.
"Menurut berita dalam Bu-lim, Toa-cengcu ibarat naga sakti di balik mega yang nampak kepala tak nampak ekor, setelah berjumpa hari ini terbukti bahwa namanya memang bukan nama kosong belaka, hingga sekarang aku masih belum menemukan tempat persembunyiannya, artinya kita berdua telah menderita kekalahan di tangannya malam ini."
Mendengar ucapan itu, Han Siau-liong tertawa terbahak, "Hahaha, bila ia tidak juga menampakkan diri, selamanya jangan harap dia bisa melepaskan serangan pedangnya untuk melukaiku."
Bong Thian-gak tersenyum.
"Menurut cerita orang, selama bertarung Mo Hui-thian tidak pernah melancarkan serangan kedua, sebab saat dia menampakkan diri, musuh sudah roboh terlebih dahulu karena tertusuk, konon kecepatan gerak pedangnya tidak berada di bawah kemampuan Liu Khi."
"Aku dengar Liu Khi sudah bertarung melawan Bong- lumen?" tiba-tiba Han Siau-liong bertanya.
"Aku tak lebih hanya mencoba pisau terbang daun Lilinya
»aja/' kata Bong Thian-gak tertawa.
"Liu Khi dari partai kami memiliki jurus serangan yang nangat lihai dan kelihaiannya terletak pada permaianan golok mustika ynnK tersoreng di pinggangnya itu." "Ya, aku pun pernah mendengar orang membicarakan hal itu," Bong Thian-gak manggut-manggut.
"Menurut pendapat Bong-buncu, mungkinkah antara Hong- kong Hwesio dengan Mo-loji telah terjalin suatu hubungan yang sangat akrab dan sehidup semati?"
"Ah, aku rasa mereka hanya saling memanfaatkan kelebihan lawan, padahal keduanya sama-sama mempunyai rencana tertentu," jawab Bong Thian-gak sambil sengaja meninggikan suaranya.
Han Siau-liong tertawa, "Hahaha, kalau begitu di antara kita tak ada seorang pun yang berani turun tangan."
"Apakah Han-heng masih sanggup menahan diri dan menunggu lebih lama?"
"Bila Siaute sudah memperoleh persetujuan Bong-buncu, tentu saja tak akan menunggu lebih lama." Bong Thian-gak tersenyum.
"Dengan kekuatan kita berdua, rasanya hanya mampu untuk melawan Hong-kong Hwesio dan muridnya, apakah Han-heng tidak kuatir Mo Hui-thian akan menjadi si nelayan yang beruntung?"
"Siaute tidak percaya Hong-kong Hwesio dan muridnya begitu sukar dilawan."
Bong Thian-gak tertawa ringan.
"Kalau begitu dengan kemampuan Han-heng seorang pun sudah cukup untuk melawan Hong-kong Hwesio dan muridnya, buat apa kau mesti mengajak aku bekerja sama?"
"Yang kukuatirkan adalah Mo Hui-thian yang berada di sisi arena."
"Bukankah dari pihak kalian masih ada Liu Khi?" tegur Bong Thian-gak sambil tersenyum. Han Siau-liong tertegun mendengar perkataan itu, kemudian katanya sambil tertawa kering, "Wah, tampaknya Bong-buncu bukan orang tolol."
"Mana ... mana," Bong Thian-gak mengangguk, "tahu diri, tahu keadaan lawan, setiap pertarungan baru bisa dimenangkan dengan sukses dan gemilang."
"Sekali pun Bong-buncu tak bersedia bekerja sama, dengan kemampuanmu seorang rasanya juga susah menguasai
keadaan." Bong Thian-gak tertawa.
"Seandainya aku bekerja sama dengan Mo Hui-thian atau Hong-kong Hwesio beserta muridnya untuk melawan kalian, mungkinkah bagi Han-heng serta Liu Khi meraih keuntungan besar?"
Han Siau-liong tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, sayang sekali Bong-buneu telah membunuh Thia Leng-juan, kalau tidak, aku memang patut menguatirkan kerja samamu dengan Hong-kong Hwesio."
Sekali lagi Bong Thian-gak tersenyum.
"Biarpun Hong-kong Hwesio ingin membalas dendam bagi kematian Thia Leng-juan, namun peta harta karun jauh lebih penting artinya daripada membalas dendam, oleh sebab itulah hingga sekarang Hong-kong Hwesio masih belum berani bertindak secara sembarangan, masakah Han-heng tidak melihat?"
Sesungguhnya Han Siau-liong telah berusaha keras memeras otak menarik Bong Thian-gak demi kepentingan pihaknya, selain dipakai juga untuk menghadapi Hong-kong Hwesio, tapi Bong Thian-gak bukan orang bodoh, ia cukup memahami maksud dan tujuan Han Siau-liong yang sebenarnya.
Alhasil usaha Han Siau-liong pun menjadi sia-sia belaka. Di pihak lain, Hong-kong Hwesio sendiri pun bukan orang sembarangan, ia cukup tahu setiap orang yang bersembunyi di sekitar kuil Hong-kong-si pada malam ini merupakan jago- jago persilatan yang lihai. Bila dia berani menyerang satu di antaranya, niscaya pihaknya akan menjadi sasaran pengeroyokan orang lain.
Setelah melalui pengamatan seksama, ia dapat merasakan bahwa musuh yang paling tangguh saat ini tak lain adalah Jian-ciat-suseng Bong Thian-gak.
Sementara itu dari tengah udara kembali berkumandang suara Mo Hui-thian, "Hwesio sahabat karib, sudah hampir enam puluh tahun kita berkenalan, masa kau tidak bersedia membagi sebagian harta itu kepadaku? Keadaan sekarang sudah jelas, dengan kemampuan kalian beberapa orang rasanya sulit untuk mempertahankan peta harta karun itu, asal Lohwesio menyetujui, aku pun bersedia mengerahkan semua kekuatan kami guna bersama-sama menghadapi partai pengemis, Put-gwa-cin-kau serta Hiat-kiam-bun."
Baru selesai perkataan Mo Hui-thian tadi, dari sisi sebelah barat wuwungan rumah tiba-tiba melintas cahaya putih secepat sambaran kilat menyambar ke atas pohon waru tepat di hadapannya.
Kecepatan cahaya itu sangat luar biasa, sekilas tahu-tahu sudah lenyap dari pandangan mata.
Mendadak dari atas pohon waru berkelebat kembali sesosok bayangan orang yang melayang turun ke tengah halaman.
Baik Bong Thian-gak maupun Han Siau-liong mendongakkan kepala.
Ternyata orang yang baru saja melayang turun adalah seorang kakek berbaju abu-abu berbadan bungkuk, menyoreng sebilah pedang antik serta mengenakan kaca mata berbentuk antik. Dari potongan badannya, siapa pun akan menduga dia adalah Toa-cengcu Kim-liong-kiam-san-ceng yang sudah puluhan tahun termasyhur dalam dunia persilatan dan lebih dikenal orang sebagai si Naga di balik mega Mo Hui-thian.
Agaknya Mo Hui-thian kena dipaksa menampakkan diri oleh lintasan cahaya putih tadi, dia nampak marah sekali, dengan suara dingin menyeramkan dia membentak, "Liu Khi, malam ini aku telah merasakan kelihaian pisau terbangmu, mengapa kau tak menampakkan diri mencoba sejurus pedang terbangku?"
Sementara itu di atas wuwungan rumah sesosok bayangan orang berbaju hitam berdiri kaku di sana, tidak terlihat bagaimana dia menekuk lutut, tahu-tahu dia sudah melayang turun dan hinggap di sisi Han Siau-liong.
Kemudian dengan pandangan dingin dia memandang sekejap ke arah Mo Hui-thian, setelah itu katanya, "Mo-loji, kau bisa menghindari pisau terbangku dengan selamat, hal ini sungguh membuat aku merasa sangat kagum."
Han Siau-liong yang berada di samping segera menimbrung pula sambil tertawa, "Liu-susiok, aku dengar ilmu silat Mo Hui- thian sangat hebat, tapi yang paling menonjol adalah kemampuannya melukai orang secara diam-diam dengan pedangnya. Sekarang dia telah dipaksa oleh pisau terbang Susiok menampakkan diri, aku pikir, inilah kesempatan baik bagiku untuk mencoba ilmu pedangnya."
Seraya berkata, Han Siau-liong segera melintangkan pedang baja raksasanya di depan dada, lalu teriaknya, "Mo- toacengcu, Han Siau-liong dari partai pengemis ingin mencoba kepandaian ilmu pedangmu yang konon dianggap orang sebagai ilmu pedang nomor wahid di kolong langit."
Toa-cengcu Kim-liong-kiam-san-ceng Mo Hui-thian memang pernah disebut orang sebagai jagoan nomor wahid di dunia, Han Siau-liong ternyata berani menantangnya bertarung, boleh dibilang tindakan ini sangat berani.
Mo Hui-thian sama sekali tidak menggubris Han Siau-liong, malah mengawasi Jian-ciat-suseng Bong Thian-gak dari ujung kepala hingga kaki, kemudian dengan acuh tak acuh dia berkata, "Ilmu pedangmu masih belum pantas melawanku, kau percaya atau tidak terserah kepadamu sendiri."
Han Siau-liong mendongakkan kepala, lalu tertawa terbahak-bahak, "Hahaha, kalau aku belum pantas, siapa yang pantas?"
Mo Hui-thian menuding Bong Thian-gak sambil menjawab, "Dia masih cukup pantas bertarung beberapa jurus melawanku."
Bong Thian-gak yang mendengar perkataan itu tersenyum. "Ah, terlalu sungkan, sungguh tak kusangka Mo-toacengcu
memandang tinggi diriku."
"Sudah semenjak tadi aku tertarik kepadamu, beberapa puluh hari lalu kau pernah mengalahkan putra sulungku, maka aku berencana membayar dengan sebuah tusukan pula kepadamu."
"Aku akan menerima petunjukmu itu dengan senang hati," Bong Thian-gak menjawab dingin.
Dalam waktu singkat situasi di tengah arena berubah, kini Bong Thian-gak sudah menjadi musuh Hong-kong Hwesio serta Mo Hui-thian.
Han Siau-liong serta Liu Khi dari Kay-pang merupakan orang-orang yang berakal tajam, mereka tahu situasi yang mereka hadapi sekarang sudah menguntungkan pihaknya, maka sambil berpeluk tangan mereka menantikan perubahan selanjutnya dari sisi arena. Sepuluh pelindung hukum Hiat-kiam-bun masing-masing telah melolos pedang yang bersinar tajam dari pinggangnya, serentak mereka bergerak membentuk barisan berbentuk setengah lingkaran untuk melindungi Bong Thian-gak.
Pada dasarnya kesepuluh orang pelindung hukum Hiat- kiam-bun merupakan jago-jago kelas satu di Bu-lim, apalagi selama beberapa hari belakangan ini Bong Thian-gak telah mewariskan serangkaian ilmu pedang yang aneh kepada mereka, boleh dibilang orang-orang itu sudah terlatih menjadi seorang pengawal yang sangat tangguh.
Tapi Bong Thian-gak cukup tahu bahwa kesepuluh orang pelindungnya masih belum cukup mampu untuk melawan tokoh sakti seperti Mo Hui-thian.
Maka dia segera membentak dengan cepat, "Sepuluh pelindung hukum, harap mundur!"
Baru saja dia berseru, mendadak Mo Hui-thian telah berseru lebih dulu sambil tertawa dingin, "Sayang terlalu lambat!"
Baru selesai dia berkata, tubuh Mo Hui-thian sudah menerjang kemuka.
Cahaya pedang berkelebat dan ... "Blum".
Jeritan ngeri berkumandang memecah keheningan malam, seorang pelindung hukum Hiat-kiam-bun sudah tertusuk perutnya, darah segar segera menyembur keluar seperti pancuran, setelah tubuhnya gontai beberapa kali, akhirnya dia roboh tak bernyawa lagi.
Berhasil membacok seorang korban, Mo Hui-thian maju selangkah ke depan, cahaya tajam kembali berkelebat menyapu seorang yang lain.
Oleh karena serangan pedang yang dilancarkan Mo Hui- thian kelewat cepat, pada hakikatnya Bong Thian-gak serta para pelindungnya tak sempat lagi memberikan pertolongan. "Blus", lagi-lagi seorang korban roboh bergelimpangan di tanah dengan perut robek dan usus berhamburan kemana- mana, darah segar berceceran membasahi seluruh permukaan tanah.
Pelindung hukum kedua telah roboh binasa.
Pada saat korban pertama roboh, korban kedua menyusul pula roboh terkapar, boleh dibilang peristiwa itu hampir pada saat yang bersamaan.
Kaki kanan Mo Hui-thian maju setengah langkah, pedangnya berputar kembali dan kali ini membacok pelindung hukum ketiga yang berdiri di sebelah kanan.
Tapi Mo Hui-thian kali ini tidak berhasil dengan sasarannya, sebab baru saja jurus pedangnya dilancarkan, sebuah lengan seperti cakar burung garuda telah mencengkeram pergelangan tangan kanannya.
Bagi orang yang belajar ilmu silat, urat nadi adalah bagian penting yang mematikan di tubuh manusia, di samping dua jalan darah kematian lainnya, apalagi kelima jari tangan yang mencengkeramnya membawa desingan angin serangan yang tajam dan menyayat bagaikan bacokan pedang.
Oleh sebab itu mau tak mau Mo Hui-thian menarik kembali pedangnya sambil melompat mundur.
Ketika mendongakkan kepala, tampak Jian-ciat-suseng Bong Thian-gak dengan wajah kereng dan serius sedang mengawasi dua sosok mayat yang terkapar di tanah, kemudian terdengar ia bertanya dengan suara pelan, "Ang Teng-siu, apakah yang menjadi korban adalah Pui Se-hiong serta Lay Siong-han?"
"Lapor Buncu," segera jawab Ang Teng-siu dengan sedih, "mereka Pui Se-hiong serta Lay Siong-han."
"Selama Pui Se-hiong dan Lay Siong-han menyusup ke dalam Put-gwa-cin-kau, entah berapa kali mereka harus menghadapi ancaman bahaya maut dan berada di antara hidup dan mati, namun setiap kali mereka selalu berhasil menyelamatkan diri, sungguh tak kusangka baru pertama kali turut aku terjun ke gelanggang, mereka harus menemui ajal secara mengenaskan, aku ... aku merasa amat bersalah dan malu terhadap mereka."
Ketika mengutarakan kata-katanya yang terakhir, suara Bong Thian-gak terdengar gemetar, dari sini bisa diketahui betapa sedih dan murungnya dia.
Sepasang mata Ang Teng-siu pun turut berkaca-kaca, tapi dia sempat berkata dengan suara nyaring, "Harap Buncu jangan bersedih, kami sepuluh pelindung hukum sudah bersumpah akan mendampingi Buncu hingga titik darah penghabisan, setiap saat kami rela berkorban demi Buncu."
Dari balik mata Bong Thian-gak mendadak mencorong sinar mata tajam yang menggidikkan, ditatapnya wajah Mo Hui- thian lekat-lekat, kemudian ujarnya dengan suara dingin, "Mo Hui-thian, Hiat-kiam-bun sudah bersumpah tak akan hidup berdampingan denganmu."
Terkesiap Mo Hui-thian menyaksikan sorot mata Bong Thian-gak yang menggidikkan hati itu, ia berpikir dalam hati, "Oh, betapa mengerikan sorot mata orang ini!"
Berpikir demikian, dia lantas tertawa dingin dengan suara yang menyeramkan, kemudian serunya, "Sejak kau berhasil mengalahkan putraku, aku sudah mempunyai ikatan dendam sedalam lautan dengan Hiat-kiam-bun."
"Mo Hui-thian, mengapa kau tidak mengangkat pedangmu untuk membacok kemari?"
"Kau anggap aku tak berani?" jengek Mo Hui-thian sambil tertawa dingin.
Tubuhnya secepat anak panah menerjang tiba. Cahaya pedang berkelebat, pedang di tangan kanannya segera membacok ke muka, desingan angin tajam menyapu tiba dari sisi sebelah kiri.
Pada hakikatnya jurus serangan yang dipergunakan olehnya itu sangat aneh, sakti dan luar biasa.
Terutama sekali dalam hal kecepatan, boleh dibilang sukar membuat orang melihat dengan jelas bagaimanakah serangan itu dilancarkan.
"Sret", bayangan orang tahu-tahu telah melejit dari bawah cahaya pedang.
Jian-ciat-suseng Bong Thian-gak sudah melompat mundur, pakaian bagian dadanya sudah tersambar robek, koyakan kainnya berkibar ketika terhembus angin.
Mo Hui-thian memandang sekejap mata pedang di tangan kanannya dengan pandangan tertegun, wajahnya penuh rasa kaget dan keheranan, setelah itu katanya dengan suara sedingin salju, "Sastrawan cacat, kau adalah orang pertama dalam Bu-lim yang berhasil meloloskan diri dari jurus seranganku."