Jilid 21
Diiringi suara keras, dinding batu yang datar itu mendadak bergeser ke samping dan terbukalah sebuah pintu rahasia.
Dengan langkah cepat Tan Sam-cing dan keempat Tosu kecil melangkah masuk.
Menyusul kemudian terdengar lagi suara gemuruh yang sangat keras, dinding batu yang bergeser tadi kini sudah menutup kembali.
Siapa pun tak menyangka kalau di atas dinding batu yang licin bagaikan cermin itu sesungguhnya terdapat sebuah pintu rahasia. Menyaksikan hal itu, Bong Thian-gak menghela napas panjang, katanya, "Bila si tabib sakti memang mengolah obat di tempat ini, maka tempat ini memang sebuah tempat yang sangat aman."
Belum selesai ia berkata, tiba-tiba terdengar lagi suara gemuruh pintu terbuka lagi dan Tan Sam-cing melompat keluar dari pintu rahasia dengan wajah tegang.
Tergetar perasaan Bong Thian-gak, cepat ia menyongsong sambil menegur, "Tan-locianpwe, apa yang telah terjadi?"
"Celaka, telah terjadi peristiwa besar," seru Tan Sam-cing dengan wajah kaget bercampur gugup. "Murid-murid kami yang bertugas melakukan penjagaan di dalam sana telah mati dibunuh orang."
Mendengar itu, Bong Thian-gak dan Tio Tian-seng serentak menyelinap masuk ke dalam pintu rahasia.
Di balik pintu itu terdapat sebuah ruangan, di sana terdapat pula perabot rumah tangga, belasan orang Tosu berbaju kuning tampak roboh bergelimpangan di atas tanah dalam keadaan mengenaskan. Di ujung dinding batu terdapat sembilan buah lorong gua, saat itu keempat Tosu kecil tadi dengan pedang terhunus berjaga di depan mulut gua, sikap mereka amat serius seakan-akan sedang menghadapi musuh besar.
Bong Thian-gak dapat merasakan betapa gawatnya situasi waktu itu, maka kepada Tan Sam-cing yang ikut masuk ke dalam ruangan, ia bertanya, "Tan-koancu, si tabib sakti berada dimana?"
"Tempat dimana Gi Jian-cau mengolah obat terletak dalam sebuah ruang rahasia di tengah kesembilan lorong itu, Keng- tim Suthay bersama beberapa orang jago lihai Hiat-kiam-bun bersama-sama menjaga di situ."
Dalam pada itu Tio Tian-seng telah memeriksa setiap mayat yang tergeletak di tempat itu, wajahnya nampak serius, ia berdiri termangu sambil memutar otak memikirkan kejadian yang sedang dihadapinya.
"Tio-pangcu, apa yang menyebabkan kematian orang- orang itu?" tanya Bong Thian-gak kemudian dengan suara nyaring.
Sebelum Tio Tian-seng sempat menjawab, Tan Sam-cing telah menjelaskan lebih dulu, "Mereka tewas oleh pukulan tenaga dalam yang hebat dan sempurna, setiap serangan tepat mengenai isi perut."
Tio Tian-seng seperti teringat akan sesuatu, ia segera berseru tertahan, lalu membungkukkan badan dan merobek pakaian bagian dada sesosok mayat.
Dengan cepat, ia menjerit kaget, "Ah, Hek-mo-ong!"
Dengan cepat Bong Thian-gak dan Tan Sam-cing memburu ke sana, ternyata di atas dada Tosu itu terdapat sebuah cap tengkorak berwarna hitam.
"Apakah lambang tengkorak hitam ini merupakan lambang Hek-mo-ong?" tanya Bong Thian-gak keheranan. Sewaktu Tan Sam-cing mendengar kata "Hek-mo-ong", dengan cepat ia menghampiri sesosok mayat yang lain serta merobek pakaian di bagian dada mereka.
Ternyata di dada mayat-mayat itu terdapat lambang tengkorak hitam.
Paras muka Tio Tian-seng berubah menjadi tak sedap dipandang, pelan-pelan ia berkata, "Tak salah lagi, pembunuhnya adalah Hek-mo-ong, sebab setiap korban yang dibunuh Hek-mo-ong, di dadanya selalu terdapat lambang tengkorak hitam."
Setelah berhenti sejenak, kepada Tan Sam-cing ia bertanya, "Hidung kerbau, menurut pendapatmu sudah berapa lama mereka dibunuh?"
"Ai, kurang lebih satu jam berselang," kata Tan Sam-cing sambil menghela napas sedih.
Tio Tian-seng menggeleng kepala berulang kali. "Tak mungkin begitu lama."
"Lantas menurut pendapatmu mereka sudah tewas berapa lama?"
"Paling lama setengah jam berselang, paling cepat seperempat jam yang lalu."
"Pembunuhnya mungkin masih belum meninggalkan tempat ini”seru Bong Thian-gak kemudian.
"Benar," Tio Tian-seng mengangguk. "Jelas orang itu belum meninggalkan gua ini, bisa jadi si pembunuh masih berada dalam lorong gua atau mungkin juga sedang mencelakai jiwa Keng-tim Suthay dan tabib sakti."
Bong Thian-gak segera berkelebat ke depan dan menyerbu ke dalam lorong gua.
"Bong-laute, jangan masuk dulu!" cepat Tio Tian-seng berteriak. Bong Thian-gak berhenti seraya berpaling, "Tio-pangcu, bila kita tak segera menghalangi pembunuh itu, akibatnya sukar dibayangkan."
"Pembunuh itu mempunyai kepandaian silat luar biasa, lagi pula bersembunyi di dalam gua. Jika Bong-laute masuk ke dalam secara sembrono, niscaya keselamatan jiwamu akan terancam."
"Betul!" kata Tan Sam-cing pula. "Harap Bong-sicu jangan masuk dulu, dalam gua ini hanya terdapat sebuah pintu masuk, bila pembunuh itu belum pergi dari sini, ia tidak mungkin muncul di tempat ini."
Tio Tian-seng segera menengok sekejap ke arah Tan Sam- cing, lalu serunya, "He, hidung kerbau, sekarang kau baru percaya kalau dia adalah ketua Hiat-kiam-bun?"
Tan Sam-cing menghela napas panjang.
"Ai, si pendatang itu bukan hanya membawa tanda kepercayaan ketua Hiat-kiam-bun yakni Pek-hiat-kiam, dia pun cacat lengan kiri dan pincang kaki kanannya, usia hampir sebaya, cara bagaimana Pinto bisa membedakan kepalsuan dirinya?"
"Apakah dia datang seorang diri?" tanya Tio Tian-seng lagi dengan kening berkerut.
"Masih ada dua orang lagi, seorang gadis berusia dua puluh tahun dan seorang kakek."
"Sudah kau lihat jelas paras kakek itu?"
Tan Sam-cing segera berseru tertahan, "Ah, sudah kulihat, tapi sama sekali tiada gambaran dalam benakku."
"Dengan ketajaman mata Tan-koancu, masa kau begitu cepat melupakan ciri wajahnya?"
"Sungguh aneh," Tan Sam-cing menggeleng kepala. "Padahal bila seseorang pernah berjumpa denganku, maka sepuluh tahun lagi pun aku masih dapat mengingatnya, tapi sekarang aku sama sekali tak punya kesan apa pun tentang dirinya."
Pada saat itulah dengan wajah kereng dan serius, Tio Tian- seng bertanya lagi, "Hei, hidung kerbau, sungguhkah kau tak bisa mengingat muka kakek itu?"
Tan Sam-cing menggeleng kepala berulang kali. "Aneh, betul-betul sangat aneh, rasanya orang itu
menggerakkan tubuhnya tiada henti waktu itu ... sehingga
paras mukanya tak dapat terlihat dengan jelas."
"Kalau begitu bisa jadi kakek itu adalah Hek-mo-ong," ucap Tio Tian-seng kemudian dengan wajah serius.
"Hek-mo-ong? Rasanya Pinto juga pernah mendengar nama itu."
"Kapan kau mendengar nama itu? Mendengarnya dari siapa?"
"Sepuluh tahun lalu, Oh Ciong-hu pernah menyinggung nama itu, dia pun menjelaskan kemisteriusan orang itu dan perbuatannya yang sadis dan keji."
Tio Tian-seng menghela napas sedih.
"Ai, sayang sekali Oh Ciong-hu telah tewas, kalau tidak, dialah yang paling jelas mengetahui asal-usul Hek-mo-ong. Tan Sam-cing, apakah Oh Ciong-hu mengatakan kepadamu siapakah Hek-mo-ong yang sebenarnya?"
"Sama sekali tidak."
Bong Thian-gak menimbrung dengan suara dalam, "Seandainya
Hek-mo-ong dan sekalian pembunuh benar-benar masih berada dalam gua ini, menunggu kedatangan mereka di tempat ini rasanya bukan cara terbaik, entah Hek-mo-ong itu seorang berkepala tiga berlengan enam atau bukan. Bila Tio- pangcu dan Koancu bersedia membantu, Boanpwe yakin masih dapat menghadapi manusia laknat itu." Tio Tian-seng segera mengangguk.
"Betul, dengan kekuatan kita bertiga, sekalipun ada dua orang Hek-mo-ong yang tangguh pun jangan harap bisa unjuk gigi, yang kukuatirkan sekarang adalah Tan-koancu."
Belum sempat ia mengutarakan kata-kata berikutnya, Tan Sam-cing sudah mendengus dingin sembari menukas, "Hek- mo-ong telah membunuh belasan anggota kami, kau anggap Pinto akan melepaskan begitu saja?"
"Tapi aku juga telah melukai ketujuh orang muridmu," sambung Tio Tian-seng.
Tan Sam-cing segera tertawa dingin, "Dendam sakit hati ini pasti akan kutuntut balas, aku tahu Tio Tian-seng tentu mengetahui hal ini dengan jelas."
"Yang kukuatirkan kau si hidung kerbau akan memanfaatkan kesempatan yang sangat baik ini untuk membalas dendam. Bila hal itu sampai terjadi, hari ini aku benar-benar akan keok di tempat ini."
"Aku pasti akan membunuh Hek-mo-ong lebih dahulu sebelum mencari balas kepadamu," seru Tan Sam-cing sambil tertawa dingin.
Mendengar pembicaraan yang berlangsung antara kedua orang itu, Bong Thian-gak terkesiap, segera pikirnya, "Tampaknya Tosu tua ini seorang licik yang banyak akal muslihatnya, jelas dia bukan dari golongan lurus."
Berpikir sampai di sini, tiba-tiba Bong Thian-gak melompat ke depan dan menerobos masuk ke dalam gua nomor lima yang tepat berada di tengah.
"Bong-laute, tunggu dulu!" lekas Tio Tian-seng berseru dengan gelisah. Tanpa berpaling, Bong Thian-gak menyahut lantang, "Harap Tio-pangcu berjaga-jaga di luar saja, jangan biarkan pembunuh itu melarikan diri, masalah dalam lorong biar kuhadapi seorang diri!"
Selesai berkata, Bong Thian-gak telah kabur ke dalam gua.
Suasana di dalam lorong gua gelap-gulita sehingga sukar untuk melihat kelima jari tangan sendiri. Ketika Bong Thian- gak sudah masuk dan belum jauh, di hadapannya sudah terbentur dinding batu, ternyata lorong itu berakhir sampai di situ, sedangkan di sisi kiri kanannya masing-masing terdapat lorong cabang yang entah berhubungan dengan mana, sedangkan bagian tengah adalah dinding batu.
Waktu itu Bong Thian-gak sangat menguatirkan jiwa Keng- tim Buthay dan si tabib sakti, buru-buru dia berbelok menuju ke arah lorong gua sebelah kanan.
Berjalan tak jauh pula, gua tadi terbagi lagi menjadi tiga cabang, kali ini Bong Thian-gak dibuat termangu, tapi kemudian dia memilih meneruskan perjalanannya dengan menempuh gua sebelah tengah.
Kembali ia menempuh perjalanan, lorong pun terpecah lagi menjadi empat cabang, ia memilih sebuah lorong di antaranya.
Lorong bawah tanah yang gelap dan menyeramkan menimbulkan perasaan ngeri bagi siapa pun, gua itu entah berapa dalamnya dan masih terdapat berapa banyak cabang lagi?
Setelah menempuh perjalanan sekian lama, Bong Thian- gak merasa dirinya tersesat. Setiap kali mencapai persimpangan jalan, terpaksa ia mesti memilih satu di antaranya untuk melanjutkan, tapi lelelah ditempuh dan menyelusuri sekian waktu, dia merasa balik ke pinisi semula. Hal itu segera menimbulkan perasaan menyesal di hati kecilnya, ia teisesat. Kemanakah dia harus pergi mencari Keng-tim Suthay serta si tulah sakti Gi Jian-cau?
Mendadak Bong Thian-gak seperti menangkap suara langkah yang sangat lirih, suara itu datang menuju ke arahnya.
Bong Thian-gak pura-pura tidak merasakan hal itu, dia masih melanjutkan langkahnya setindak demi setindak ke arah depan.
Siapa sangka suara langkah itu mengintilnya dan tiba-tiba lenyap begitu saja.
Bong Thian-gak dibuat tertegun dan segera menghentikan langkah lemhari berpaling.
la menangkap sesosok bayangan orang berbaju hitam yang kecil ramping telah berdiri di belakang tubuhnya.
Lorong bawah tanah yang gelap gulita sudah barang tentu tak memungkinkan baginya untuk melihat raut wajah lawan secara jelas, tapi sorot mata lawan justru seperti dua titik cahaya bintang yang sedang mengawasi dirinya tanpa berkedip.
"Siapa kau?" Bong Thian-gak menegur.
Orang berbaju hitam itu tidak menjawab, tapi Bong Thian- gak dapat merasakan segulung angin pukulan berhawa dingin menyergap dirinya secara diam-diam.
Bong Thian-gak segera membentak, telapak tangan kirinya diayun ke muka sekuat tenaga, sementara tubuhnya mengikuti gerak serangan itu bergeser ke samping.
Terasa ada senjata rahasia yang terbang melalui sisi tubuhnya tanpa menimbulkan sedikit suara pun, senjata rahasia itu akhirnya menerjang dinding gua hingga permukaan dinding berguguran ke tanah. Dengan terkejut Bong Thian-gak lantas berpikir, "Sungguh berbahaya! Serangan senjata lawan sama sekali tidak menimbulkan sedikit suara pun. Coba kalau aku tidak menggeser ke samping, bukankah senjata rahasia itu akan bersarang di tubuhku secara telak?"
Ketika ia mencoba mendongakkan kepala, orang berbaju hitam itu nampaknya sudah berubah posisi.
Sekali lagi Bong Thian-gak membentak, "Siapa kau? Bila tak mau bersuara, jangan salahkan bila aku berbuat kurangajar kepadamu!"
Orang berbaju hitam itu masih juga belum bersuara, Bong Thian-gak mengerahkan tenaga dalam secara diam-diam, kemudian dengan cepat melepaskan sebuah pukulan yang amat dahsyat ke depan.
Serangan itu dilepaskan dengan hebat, tatkala angin serangan menderu, sesungguhnya kekuatan serangan sendiri telah mencapai setengah tombak ke hadapan musuh, pada hakikatnya sama sekali tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk menghindar.
Namun orang itu memang terhitung jago silat berilmu tinggi, di saat angin serangan mulai menderu bagai amukan angin puyuh, tahu-tahu orang itu telah bergeser.
Bong Thian-gak baru tahu, bisa jadi orang ini adalah salah satu di antara ketiga pembunuh yang dimaksud Tan Sam-cing tadi, karenanya dia menggerakkan tubuh dan mendesak maju secara garang.
Lengan tunggalnya kembali diayun, telapak tangan yang tajam bagaikan babatan mata golok langsung diayunkan menghantam dada musuh.
Kecepatan serangan Bong Thian-gak sudah merajai persilatan dan jarang sekali ada musuh yang mampu lolos. Kenyataan biarpun kecepatan serangan Bong Thian-gak sangat mengagumkan, ancaman itu cuma mengenai tempat kosong.
Orang itu segera berkelebat, kali ini tangannya yang halus mulus seakan-akan menggenggam benda yang secara langsung dihujamkan ke arah dadanya.
Bong Thian-gak amat terperanjat, serangan musuh sangat aneh dan hebat, rasanya mustahil untuk membendung ancaman itu.
Bong Thian-gak berseru tertahan, dadanya seperti dicap hingga roboh terjengkang ke belakang.
Tapi bersamaan pula Bong Thian-gak mengayunkan kaki kanan melepaskan sebuah tendangan kilat ke depan, jeritan kaget segera berkumandang, tubuh orang berbaju hitam yang kecil mungil itu seketika tertendang oleh Bong Thian-gak hingga mencelat ke belakang sana.
Begitu tubuhnya menumbuk dinding batu, segera roboh ke tanah.
Dengan gerakan yang sangat cepat Bong Thian-gak melejit dan menerjang ke arah orang itu.
Telapak tangan tunggalnya diputar dan mencengkeram urat nadi lengan kiri lawan.
Dalam anggapan Bong Thian-gak, orang itu terkena tendangannya hingga roboh terjengkang, berarti serangan yang dilancarkan olehnya malah pasti berhasil membekuk musuh.
Siapa tahu pada saat itulah, kakinya yang kecil mendadak diayun ke muka dan menghantam tubuh Bong Thian-gak hingga jatuh terejerembab ke sisi kanan.
Orang itu menghunus pisau belati yang bersinar tajam, kemudian sambil melejit dari atas tanah menyergap Bong Thian-gak. Seketika timbul hawa membunuh Bong Thian-gak, sebenarnya semua serangan yang dilancarkan cukup hati-hati, sebab diketahuinya lawan adalah seorang wanita, dia enggan melancarkan serangan ganas untuk menyakiti musuhnya itu.
Tapi setelah mengetahui betapa sukarnya menaklukkan lawan, mau tak mau dia mesti mempersiapkan serangan yang jauh lebih ganas dan buas, sebab ia tahu, bila tidak, hal itu tak mungkin akan berhasil.
Sambil mendengus dingin Bong Thian-gak mengayun telapak tangannya dan secara beruntun melancarkan tiga serangan berantai.
Semua ancaman dilancarkan tanpa menimbulkan sedikit suara pun, tapi justru serangan itu merupakan ancaman yang dahsyat, dan mengerikan.
Perempuan berbaju hitam menjerit kesakitan, tubuhnya mundur sempoyongan kemudian membalikkan badan dan melarikan diri ke arah lorong gua.
"Kau anggap masih bisa melolos diri?" jengek Bong Thian- gak dengan suara dingin.
Dengan cepat ia melompat ke depan dan melakukan pengejaran secara ketat.
Tapi hanya selisih satu langkah saja, perempuan berbaju hitam itu sudah menyelinap ke balik sebuah cabang lorong gua yang gelap dan menyembunyikan diri di balik kegelapan sana.
Tak terlukiskan rasa dongkol Bong Thian-gak menghadapi itu, sambil menggebrak tanah, dia mengumpat tiada hentinya, "Pelacur busuk, akan kulihat kau bisa kabur sampai dimana?"
Lorong demi lorong segera diperiksa dan digeledahnya secara seksama dan teliti. Namun bukan saja ia tak berhasil mengejar gadis berbaju hitam itu, ia pun gagal menemukan lorong menuju keluar, pemuda itu tersesat dalam lorong rahasia yang membingungkan itu.
Sudah hampir satu jam ia menelusuri lorong bawah tanah, rasanya kaki sudah linu dan kaku, akhirnya setelah menghela napas panjang ia duduk di atas tanah.
Sekarang baru timbul perasaan gugup bercampur ngeri dalam hati pemuda itu.
Pikirnya, "Sekarang aku terkurung di sini, bila tiada orang yang menolong, bukankah aku bakal mati kelaparan dalam lorong sialan ini."
Tiba-tiba ia menangkap suara rintihan lirih berkumandang dari depan, rintihan itu segera memutus lamunannya.
Serta-merta anak muda itu memeriksa dan memandang sekeliling tempat itu.
Akhirnya ia lihat seseorang sedang duduk bersandar di dinding gua, Bong Thian-gak segera menyilangkan telapak tangannya untuk melindungi dada, lalu selangkah demi selangkah menghampiri.
Dugaannya memang tidak meleset, dia adalah seorang perempuan berbaju hitam.
Tiba-tiba perempuan berbaju hitam itu memuntahkan darah segar, lalu dengan suara lirih ia berkata, "Jika kau berani mendekat lagi, segera akan kulontarkan peluru api Leng-hwe-tan."
Baru saja kata-kata itu selesai diutarakan, Bong Thian-gak sudah mendesak ke muka, kelima jari tangannya bagaikan cakar elang tahu-tahu sudah mencengkeram urat nadinya.
"Sayang sekali tindakanmu terlampau lambat," ia menjengek sambil tertawa dingin, "lagi pula kau pun tidak memiliki kekuatan lagi untuk menggerakkan jari-jari tanganmu."
Memang benar perempuan berbaju hitam itu tidak memiliki kekuatan lagi untuk menggerakkan jari-jari tangannya.
Urat nadi adalah alat penggerak peredaran darah, apabila urat nudi dicengkeram, maka segenap kekuatan akan lenyap, apalagi gadis itu memang pada dasarnya telah kehilangan kekuatan untuk melakukan perlawanan.
"Siapa kau?" akhirnya perempuan itu menegur dengan suara gemetar.
Bong Thian-gak tertawa dingin.
"Aku justru ingin bertanya kepadamu, siapa kau?"
"Aku adalah Sam-buncu Hiat-kiam-bun," suara perempuan itu masih gemetar.
"Hm, siapa yang mau percaya begitu saja?" jengek Bong Thian-gak sambiI tertawa dingin.
"Kumohon padamu, bersediakah kau melepas cengkeramanmu?"
"Boleh saja, asal kau bersedia juga menjawab pertanyaanku secara terus terang."
"Apa yang hendak kau tanyakan? Cepatlah kau ajukan!" "Sesungguhnya berapa banyak anggota komplotanmu yang
sudah menyelundup ke dalam lorong bawah tanah ini?"
"Komplotan? Komplotan apa?"
Bong Thian-gak kembali tertawa dingin.
"Komplotan Hek-mo-ong, komplotan yang berniat datang kemari untuk membunuh si tabib sakti Gi Jian-cau."
"Ah!" perempuan itu berseru tertahan, lalu buru-buru bertanya, "Siapa kau? Cepat katakan!" "Aku adalah ketua Hiat-kiam-bun, Jian-ciat-suseng Bong Thian-gak."
Baru selesai ia berkata, tiba-tiba Bong Thian-gak merasakan datangnya segulung angin pukulan yang maha dahsyat menyergap tiba dari arah belakang tanpa menimbulkan suara.
Serta-merta Bong Thian-gak melepaskan cengkeraman pada urat nadi tangan kanan perempuan itu, kemudian dengan cekatan berkelit ke samping untuk menghindarkan diri.
Suatu benturan keras segera berkumandang, menyusul jeritan ngeri yang menyayat hati.
Ternyata angin pukulan yang amat keras dan dahsyat itu persis menghajar tubuh perempuan berbaju hitam itu.
Di saat tubuhnya berkelit ke samping tadi, Bong Thian-gak telah mengayunkan pula telapak tangannya dengan kecepatan luar biasa.
Kembali menggema suara ledakan keras yang memekakkan telinga, seseorang dengan tertawa licik yang dingin dan menggidikkan segera berkelebat dan lenyap di balik kegelapan sana.
Bong Thian-gak sama sekali tak menyangka serangannya yang cepat ternyata gagal melukai musuh, dia siap menerjang kembali, namun musuh telah kabur menyelamatkan diri.
Untuk beberapa saat lamanya Bong Thian-gak tertegun dan berdiri termangu-mangu, kemudian ia membalikkan badan memeriksa keadaan perempuan berbaju hitam itu. Siapa tahu perempuan tadi sudah tergeletak lemas di atas tanah, tergeletak dalam keadaan tak bernyawa.
Baru sekarang Bong Thian-gak mengerti, rupanya tujuan serangan orang tadi adalah menghilangkan saksi hidup. Memandang mayat yang tergeletak di hadapannya ini Bong Thian-gak menghela napas sedih, gumamnya tanpa terasa, "Bila arwahmu bisa tahu, sudah tentu kau tahu siapakah orang yang telah membunuhmu, dia adalah rekanmu sendiri."
Bong Thian-gak masih menganggap perempuan berbaju hitam itu adalah rekan Hek-mo-ong, ia masih ragu dia adalah Sam-hubuncu Hiat-kiam-bun.
Lorong bawah tanah itu kembali dicekam suasana seram, ngeri serta menggidikkan.
Bong Thian-gak mengerti di dalam lorong bawah tanah itu masih tersembunyi beberapa orang musuh yang setiap saat bisa melancarkan sergapan ke arahnya, oleh sebab itu ia meningkatkan kewaspadaan nambil pelan-pelan bergerak maju.
Mendadak Bong Thian-gak menangkap lagi suara langkah yang bergerak mendekat dari sembilan penjuru yang berbeda.
Saat itu Bong Thian-gak sedang berdiri di tengah sembilan buah persimpangan.
Dengan wajah serius dan memusatkan perhatian, matanya yang dingin dan tajam mengawasi ke sekeliling tempat itu.
Terasa olehnya dari balik sembilan lorong gelap dan mengerikan Itu masing-masing berdiri seorang, delapan belas buah sorot mata yang tajam seperti api setan mengawasi wajah Bong Thian-gak tanpa berkedip.
Dengan terkejut Bong Thian-gak berpikir, "Bukankah menurut keterangan Tan Sam-cing dalam lorong bawah tanah ini hanya terdapat liga orang musuh saja? Mengapa sekarang ada begitu banyak?"
Ia pun mendehem beberapa kali, kemudian menegur, "Aku adalah ketua Hiat-kiam-bun Bong Thian-gak, apakah sobat bersembilan adalah anggota perguruan di bawah pimpinan Tan-koancu dari kuil Sam-cing-koan?" Dalam hati pemuda itu kembali berpikir, "Jangan-jangan orang-orang ini dikirim Tan Sam-cing untuk mencari diriku atau mungkin juga sedang mencari si pembunuh keji Hek-mo- ong."
Baru selesai Bong Thian-gak berbicara, tiba-tiba ia merasakan datangnya sembilan gulungan angin pukulan dahsyat yang dilontarkan secara bersama-sama, deru angin tajam yang memekakkan telinga segera menyapu datang dengan dahsyatnya.
Bong Thian-gak dapat menangkap keanehan di balik deru angin pukulan itu, ia tak berani berdiri di tengah arena menyongsong datangnya ancaman, maka sambil bergeser ke samping, pemuda itu langsung menerjang ke salah seorang di depannya.
Tindakan yang diambilnya sekarang sungguh cerdas, andaikata ia masih berdiri di tengah persimpangan jalan menghadapi datangnya ancaman, betapa pun sempurnanya tenaga dalam yang dimilikinya akan sulit baginya membendung tenaga gabungan sembilan orang.
Dalam sekejap mata lorong itu sudah dipenuhi oleh suara deru angin pukulan yang kencang, dahsyat dan mengerikan. Desingan angin berpusing serta pantulan tenaga pukulan yang menimbulkan suara benturan yang sangat memekakkan telinga.
Bong Thian-gak menggerakkan lengan tunggalnya dan bertarung sebanyak tiga-empat jurus dengan orang yang berada di lorong itu.
Begitu bentrokan terjadi, Bong Thian-gak segera dapat merasakan betapa lihainya ilmu silat yang dimiliki lawan, semua serangan berantai yang dilepaskannya secara beruntun berhasil dihindari lawan secara mudah. Orang yang berada di dalam lorong rahasia itu cukup licik dan cerdik, sambil menahan datangnya ancaman, dengan cepat ia mundur.
"Siapa kau?" dengan suara lantang Bong Thian-gak segera membentak. "Bila kau tak mengemukakan identitasmu, jangan salahkan bila aku melancarkan serangan keji."
Bong Thian-gak menghimpun tenaga dalamnya enam bagian, namun musuh tetap tak bersuara, malah membalikkan badan dan kabur.
Habis sudah kesabaran Bong Thian-gak, dengan menghimpun tenaga yang dahsyat ia melepaskan dua bacokan kilat ke depan.
Angin pukulan meluncur ke depan, terdengar dengusan tertahan dan orang yang melarikan diri itu jatuh terjengkang ke atas tanab, tak bangun kembali untuk selamanya.
Bong Thian-gak menerkam ke depan lalu mencengkeram urat nadi lawan, tapi denyut nadi orang sudah berhenti, jiwanya telah kembali ke akhirat.
Seruan kaget bergema, agaknya dalam kegelapan itu Bong Thian-gak relah menemukan orang itu tak lain adalah seorang Tosu tua.
Siapakah mereka? Mungkinkah anak murid Tan Sam-cing?
Tapi mengapa mereka masih melancarkan serangan meski sudah kusebutkan namaku?
Dengan terkesiap Bong Thian-gak berpikir, "Jika kesembilan orang yang menyerang tadi adalah kawanan Tosu Sam-cing- koan, berarti usahaku untuk lolos dari gua ini akan menjumpai kesulitan besar."
Saat itu pikiran dan perasaan Bong Thian-gak sangat kalut, ia tak habis mengerti orang yang berada dalam lorong rahasia itu sebenarnya kawan atau lawan. la menduga bisa jadi kesembilan Tosu yang menyerang dirinya tadi adalah jago-jago lihai Sam-cing-koan yang ditugaskan untuk melindungi si tabib sakti Gi Jian-cau mengolah obat.
Mungkin saja mereka telah salah mengira dirinya sebagai komplotan pembunuh Hek-mo-ong.
Berpikir sampai di situ, Bong Thian-gak pun merasa teka- teki yang semula menyelimuti perasaan kini telah memperoleh jawaban yang benar, rasa menyesal karena membinasakan seorang sahabat pun segera timbul dalam hati kecilnya.
Tanpa terasa ia membungkukkan badan dan memberi hormat kepada jenazah itu, kemudian berdoa di hadapannya bagi ketenteraman arwah Tosu tadi.
Suasana di lorong bawah tanah kembali tercekam dalam kediaman, begitu sepinya hingga mirip kuburan.
Bong Thian-gak bersila di atas tanah dengan perasaan tenang, ia mencoba mengatur napas dan sekali lagi terdengar bergemanya suara langkah kaki dari balik lorong.
Suara langkah kaki itu seakan-akan bergema dari jauh, suaranya sangat lirih dan lembut, jika ia tidak sedang bersemedi tak nanti bisa menangkap suara itu.
Hong Thian-gak terkejut, tentu ada jago lihai yang mempunyai Ilmu tinggi sedang bergerak mendekat, malah bisa jadi orang itu adalah Hek mo-ong yang misterius.
Teringat pembunuh itu, Bong Thian-gak segera memusatkan segenap kemampuan bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Bong Thian-gak tahu orang itu sudah memasuki lorong bawah tanah dimana ia berada sekarang dan selangkah demi selangkah sedang berjalan mendekat. Mendadak orang itu menghentikan langkah, rupanya dia pun sudah merasakan kehadiran seseorang di tempat itu. Ia tahu Bong Thian-gak adalah seorang jago lihai berilmu tinggi, semestinya ia sudah menangkap suara dengus napas dari jauh, kenyataan ia baru mendengar setelah jarak sudah dekat.
Kedua belah pihak segera menghimpun tenaga dalam masing-masing sambil menunggu kesempatan melancarkan serangan kilat.
Tampaknya kedua orang itu sama-sama menunggu sampai pihak lawan melancarkan serangan lebih dulu, tapi kedua orang itu sama-sama enggan menyerang lebih dulu.
Semakin lama kedua belah pihak semakin tak berani melancarkan serangan lebih dulu.
Pertarungan jago-jago yang berilmu tinggi seringkah menang-kalah hanya ditentukan oleh selisih yang kecil sekali, apalagi bila kedua belah pihak sudah tahu musuh menghadapi serangan dengan ketenangan, maka barang siapa berani melancarkan serangan lebih dulu, enam puluh persen dia berada dalam posisi kalah.
Itulah sebabnya terpaksa kedua belah pihak saling menunggu.
Pada saat itulah mendadak Bong Thian-gak merasakan tibanya rombongan lain yang berjalan mendekat dari belakang tubuh orang itu.
Agaknya orang itu pun sudah merasakan hal itu.
Dengan demikian posisi menjadi sangat tidak menguntungkan bagi orang itu.
Bong Thian-gak yang melihat keadaan itu berpikir dalam hatinya, "Kemungkinan besar orang yang sedang bergerak mendekat itu adalah delapan orang Tosu yang menyergapku tadi, jika orang di depanku sekarang adalah Hek-mo-ong, maka dia tentu akan membalikkan badan menyerang kawanan Tosu yang mendekat itu."
Suasana dalam arena makin bertambah tegang, kini kawanan Tosu yang menghampiri tempat itu sudah semakin mendekat.
Mendadak pertarungan berkobar dengan cepat.
Ternyata orang itu membalikkan badan sambil melompat ke depan.
Bong Thian-gak membentak, tubuhnya melayang menyergap orang misterius itu.
Terjangan Bong Thian-gak pada hakikatnya dilakukan dengan tepat dan garang.
Tapi kawanan musuh yang menerjang dari belakang tubuh orang misterius itu tiba lebih cepat.
Di tengah kegelapan terdengar suara bentrokan demi bentrokan berkumandang tiada hentinya.
Lalu sesosok demi sesosok orang mencelat ke belakang sambil mendengus dan mengeluh kesakitan, satu demi satu roboh terkapar.
Telapak tangan kanan Bong Thian-gak secepat sambaran kilat langsung menyodok ke dada orang misterius itu.
Orang misterius itu tak berani menyongsong datangnya ancaman Bung Thian-gak dengan kekerasan, dia bergeser mundur tapi di belakang tubuhnya sudah dinding batu, padahal babatan maut Bong Thian-gak telah meluncur datang.
Jalan mundur sudah tetutup, terpaksa orang misterius itu harus menggerakkan sepasang lengannya membendung datangnya ancaman tadi.
Siapa sangka gerak serangan yang dilancarkan Bong Thian- gak aneh sekali, gerak serangannya tiba-tiba menyelinap ke samping dan berubah menjadi sodokan kepalan yang langsung meninju jalan darah Mu hay-hiat di lambung musuh.
Biarpun Bong Thian-gak dapat merubah serangannya dengan tepat, namun reaksi orang misterius itu pun cukup cepat, kaki kanannya segera diangkat ke atas.
Sodokan tinju yang dilancarkan Bong Thian-gak menghantam lutut lawan.
Akibatnya orang misterius itu roboh ke sisi kanan.
Bong Thian-gak membentak, sekali lagi telapak tangan kirinya melancarkan sebuah bacokan.
Serangan yang dilancarkan BongThian-gak kali ini menggunakan tenaga dalam delapan bagian. Selain cepat, serangan itu pun ganas, kecuali pihak lawan menyambut ancaman itu dengan kekerasan, tiada cara lain yang bisa dipakai untuk meloloskan diri dari ancaman itu. Telapak tangan kembali saling beradu.
Bong Thian-gak segera merasa hawa darah dalam dada bergolak, ia mundur dan hampir saja roboh terjengkang.
Sejak terjun ke dalam persilatan, baru pertama kali ini Bong Thian-gak menjumpai lawan yang memiliki tenaga dalam lebih tangguh dari kemampuannya. Dari bentrokan itu ia merasa isi perutnya menderita sedikit luka.
Tampaknya orang misterius itu pun dibuat tergetar keras dadanya hingga darah bergolak, lama sekali ia berdiri mengatur pernapasan, kemudian dengan suara berat berkata. "Hai, seandainya berganti orang lain, mungkin aku sudah mati di ujung tangan Bong-laute sejak tadi."
"Ah, kau adalah Tio-pangcu?" seru Bong Thian-gak kaget. "Ya, memang aku." Bong Thian-gak segera melompat bangun sambil berseru, "Harap Tio-pangcu sudi memaafkan, Boanpwe tidak tahu kau orang tua yang sedang kuhadapi."
"Siapa pun dalam lorong bawah tanah yang gelap ini, tak akan terhindar dari kesalah-pahaman, karena kita tidak bisa membedakan kawan dan lawan bukan?"
"Tio-pangcu, tahukah kau siapa saja yang telah kau bunuh?" tanya Bong Thian-gak sambil menghela napas.
"Para anggota kuil Sam-cing-koan."
Jawaban itu kembali membuat Bong Thian-gak tertegun. "Kalau Tio-pangcu sudah mengetahui identitas mereka,
mengapa menghabisi nyawa mereka."
"Mereka sudah berulang kali menyergap diriku, sekarang sudah berubah jadi musuhku. Apakah kita mesti berpeluk tangan menunggu datangnya kematian?"
"Sudah berapa lama Tio-pangcu datang kemari?" "Sesaat setelah kau masuk, aku pun segera menerobos
masuk ke lorong lain,"
"Apakah Tio-pangcu telah berjumpa dengan kawanan pembunuh Hek-mo-ong?"
"Aku sudah menjumpai banyak penyergap," sahut Tio Tiang-seng dengan suara dalam, "tapi semuanya adalah kaum Tosu, sekarang aku mulai curiga."
"Apakah yang Tio-pangcu curigai?"
"Aku curiga Tan Sam-cing telah berbohong." "Apa yang dia bohongkan?"
"Sudah kau jumpai Hek-mo-ong dalam lorong gua ini?" "Aku cuma bertemu seorang perempuan berbaju hitam, agaknya dialah salah seorang wanita pembunuh seperti yang dilukiskan oleh Tan-koancu."
"Coba kau terangkan duduk persoalannya kepadaku."
Secara ringkas Bong Thian-gak menceritakan pengalamannya sejak berjumpa perempuan berbaju hitam itu.
Seusai mendengar penuturan itu, Tio Tian-seng menghela napas, katanya, "Bisa jadi orang yang ditemui Bong-laute adalah Sam-hubuncu perguruanmu."
"Apa maksudmu?" tanya Bong Thian-gak dengan terkejut.
Tio Tian-seng termenung sambil berpikir, kemudian sahutnya, "Seandainya dalam lorong ini benar-benar terdapat Hek-mo-ong dan komplotannya sebagai pembunuh, maka Sam-hubuncu perguruanmu pasti mengetahui, tatkala ia mendengar kau menyinggung Hek-mo-ong, sikapnya justru menunjukkan asing dan tidak tahu-menahu."
"Tio-pangcu tidak yakin Hek-mo-ong ada dalam lorong ini?" tanya Hong Thian-gak lagi dengan terkejut.
"Soal ini aku sendiri tidak berani memastikan, tapi aku merasa Tan sam-cing mempunyai niat jahat."
"Jadi menurut Tio-pangcu, kawanan penyerang ini adalah pembunuh yang dikirim Tan Sam-cing untuk menghabisi nyawa kita?"
"Jika Tan Sam-cing tak bermaksud berbuat demikian, seharusnya dia sudah masuk lorong gua serta mengajak kita keluar dari sini!"
"Tapi apa salahnya jika dia tetap berjaga-jaga di luar? Bukankah maksudnya hendak menghalangi Hek-mo-ong sekalian meloloskan diri dari sini?" "Bukankah Tio-pangcu telah membuktikan bahwa para korban yang tewas di luar gedung itu akibat pukulan tengkorak Hek-mo-ong."
"Sekarang kita berada dalam keadaan berbahaya, aku curiga Tan Sam-cing sekomplotan dengan Hek-mo-ong."
Bong Thian-gak semakin terperanjat, serunya kemudian, "Bila apa yang kau katakan memang benar, bukankah keadaan Gi Jian-cau serta Keng-tim Suthay terancam bahaya?"
"Kemungkinan besar Gi Jian-cau belum mampus. Sekalipun Hek-mo-ong berhasil menemukannya, belum tentu terbunuh di tangannya, namun selain si tabib sakti seorang, sudah tentu musuh tak segan turun tangan keji terhadap mereka."
Semakin mendengar Bong Thian-gak semakin terperanjat, dia bertanya, "Sekarang apa yang mesti kita lakukan?"
"Tentu saja harus mencari akal agar bisa mengundurkan diri dari tempat ini."
"Aku telah menelusuri lorong bawah tanah, namun sampai sekarang masih belum juga berhasil menemukan pintu keluarnya."
"Sewaktu aku masuk tadi, sepanjang jalan telah kutinggali tanda rahasia. Ayo, Bong-laute, ikuti diriku!"
Bong Thian-gak merasa kagum atas kecerdasan Tio Tian- seng, katanya, "Untung aku bertemu Tio-pangcu, kalau tidak, bisa jadi selama hidup aku tak akan berhasil meninggalkan tempat ini."
"Bisa jadi kita akan menghadapi sergapan yang membahayakan jiwa kita, dalam menempuh perjalanan nanti paling baik jangan sampai menimbulkan sedikit suara pun."
"Baik," sahut Bong Thian-gak sambil mengangguk.
Kembali Tio Tian-seng berpesan, "Seandainya kita mendapat sergapan musuh tangguh, jangan sekali-kali kau meninggalkan aku terlampau jauh, apabila sampai kehilangan kontak, aku mesti membuang banyak waktu mencari jejakmu, bila sampai kita berpisah misalnya, paling baik jika kau menanti kedatanganku di tempat semula."
Sambil bicara, Tio Tian-seng sudah melangkah, sementara Bong Thian-gak mengikut di belakangnya.
Mendadak Tio Tian-seng menghentikan langkahnya.
Bong Thian-gak pun menghentikan langkah, didengarnya suara peringatan Tio Tian-seng yang dikirim dengan mempergunakan ilmu menyampaikan suara, "Kini musuh tangguh telah menampakkan diri, bisa jadi orang itu adalah Hek-mo-ong, hati-hatilah!"
Bong Thian-gak mengangkat kepala serta mengalihkan pandangan ke arah lorong yang gelap gulita, tampak olehnya seseorang berdiri angker di situ.
Sinar mata tajam mencorong dari balik matanya, agaknya tenaga dalam orang itu sudah mencapai tingkat kesempurnaan.
"Mungkin orang itu adalah Hek-mo-ong?" tanya Bong Thian-gak kemudian dengan ilmu menyampaikan suara.
"Rasa-rasanya mirip Hek-mo-ong," jawab Tio Tian-seng agak tegang. "Sayang kita bertemu di lorong bawah tanah, mustahil buat aku menggunakan pedang. Wah ... celaka! Aku bisa dipaksanya berada di bawah angin."
Mendengar suara berat yang terpancar keluar dari mulut Tio Tian-seng, kata Bong Thian-gak, "Mengapa kita tidak bekerja sama?"
"Kepandaian silat Hek-mo-ong yang paling hebat adalah pukulan tengkorak penggempur hati. Di kolong langit dewasa ini masih belum ada seorang pun yang sanggup menghindari serangan jarak dekatnya, oleh sebab itu bila bertempur melawannya, bagaimana pun juga jangan memberi kesempatan kepadanya untuk mendekati kita, karena begitu ilmu pukulan tengkorak penggempur hati dilontarkan, tiada orang yang bisa membendungnya, sebab itu kuanjurkan kepadamu janganlah bertarung kelewat emosi melawannya."
"Sekarang bisa jadi dia belum mengetahui kehadiranmu di belakangku, maka aku ingin mempraktekkan taktik perlawanan yang amat jitu. Di saat kulancarkan pukulan, bergeserlah kau ke sisi kiri, lalu dengan menempatkan diri ke posisi belakang, lepaskanlah sebuah serangan yang paling dahsyat ke arahnya "
Belum habis ucapan Tio Tian-seng, bayangan iblis di hadapannya sudah bergerak mendekat.
Orang itu baru saja bergerak, namun tahu-tahu sudah berada di hadapannya.
Tio Tian-seng segera membentak, telapak tangannya diayunkan bersama, dua gulungan angin pukulan yang sangat dahsyat serta-merta menggulung ke muka dengan dahsyatnya.
Bersamaan waktunya, Tio Tian-seng segera bergeser ke sisi kiri.
Sementara itu Bong Thian-gak seperti sukma gentayangan telah meluncur ke muka serta menggantikan kedudukan Tio Tian-seng, segulung angin pukulan yang sangat dahsyat segera dilontarkan ke depan.
Sungguh tak nyana kepandaian silat iblis itu sangat luar biasa, tatkala kedua gulung angin pukulan dahsyat Tio Tian- seng membentur tubuhnya, dia segera mengebaskan tangan kirinya serta memunahkan ancaman itu.
Bersamaan waktunya, secepat sambaran kilat dia mendesak maju.
Tapi serangan kilat yang dilepaskan Bong Thian-gak benar- benar di luar dugaannya. Dalam gugup dan cemasnya, orang itu segera melepaskan sebuah serangan lagi dari jarak dekat.
Tio Tian-seng dapat menyaksikan jalannya pertarungan dengan jelas, ia segera membentak, pedang yang digembol di punggungnya segera dilolos, lalu ia lepaskan sebuah tusukan kilat ke muka.
"Trang", bentrokan keras bergema disusul munculnya percikan bunga api.
Iblis itu mendengus tertahan, badannya terhajar oleh Bong Thian-gak hingga mencelat ke belakang.
"Hendak kabur kemana kau?" jengek Bong Thian-gak sambil tertawa dingin.
Dia mengejar ke depan dan persis menghadang di depan iblis itu. Lengan tunggal Bong Thian-gak segera melancarkan serangkaian serangan.
Angin pukulan yang dahsyat dan kencang, bagaikan sayatan pedang mendesak iblis itu mundur ke arah dinding gua.
Pada saat itulah Bong Thian-gak serta Tio Tian-seng dari kiri kanan pelan-pelan mendesak maju.
Pedang dalam genggaman Tio Tian-seng nampak memancarkan cahaya di balik kegelapan, setitik cahaya bagaikan sinar kunang-kunang dalam pandangan Bong Thian- gak berubah bagai cahaya yang terang benderang.
Sekarang mereka sudah dapat melihat dengan jelas iblis itu, ternyata seorang berkerudung berbaju hitam, tangan kanannya nampak menggunakan sarung tangan, berbentuk tengkorak manusia berwarna putih.
Tio Tian-seng menghentikan langkah di hadapan orang itu, kemudian sambil tertawa dingin ia bertanya, "Kau adalah anak buah Hek-mo-ong?" Iblis itu tidak menjawab, hanya matanya memancarkan bayangan aneh mengawasi Bong Thian-gak di sisi kiri dengan tak berkedip.
"Hek-mo-ong sudah datang belum?" bentak Tio Tian-seng lagi.
Kali ini iblis itu menjawab, namun suaranya amat menggidikkan, "Suatu saat kalian pasti akan mampus di tangan Hek-mo-ong."
Selesai berkata, tiba-tiba tubuhnya roboh terjengkang.
Bong Thian-gak serta Tio Tian-seng tertegun menghadapi situasi demikian, untuk sesaat mereka tak tahu apa yang akan dilakukan.
Mendadak Tio Tian-seng menggerakkan pedang melepas sebuah tusukan ke depan.
Iblis itu sama sekali tak menghindar, pedang langsung menembus dadanya.
"Ah, dia telah mampus!" seru Bong Thian-gak tertegun. Setelah pedangnya menembus dada orang itu, Tio Tian-
seng turut mendesak maju, dengan cepat tangannya menyingkap kain kerudung yang menutupi wajahnya.
Noda darah masih meleleh dari bibirnya.
Tio Tian-seng adalah seorang jago silat kawakan, menyaksikan hal ini segera ia menghela napas, katanya, "Serangan Bong-laute benar-benar tajam dan dahsyat, isi perutnya telah kau pukul hancur."
"Ai, nyatanya orang itu masih sanggup bertahan sekian lama setelah menerima pukulanku sebelum mampus.
Kehebatan ilmu silatnya benar-benar sangat mengerikan!"
"Mungkin orang ini adalah pembantu utama Hek-mo-ong," kata Tio Tian-seng lagi sambil menghela napas. "Ai, seandainya bukan serangan mendadak Bong-laute yang dilancarkan di luar dugaannya, bukan pekerjaan mudah membinasakan dirinya."
"Ai, tadinya aku merasa Tio-pangcu terlalu mengada-ada setelah kau melukiskan betapa hebat dan menakutkannya Hek-mo-ong, tapi setelah kulihat betapa hebatnya kepandaian silat yang dimiliki anak buahnya, baru kubayangkan Hek-mo- ong seorang musuh yang sangat menakutkan."
"Bong-laute, bukanlah aku kelewat menilai tinggi kemampuan musuh, kemampuan Hek-mo-ong memang menakutkan, aku pernah bertemu satu kali dengannya dan hampir saja jiwaku melayang."
"Apakah Tio-pangcu kenal orang ini?" tanya Bong Thian- gak sambil menunjuk ke arah korban.
Tio Tian-seng menggeleng kepala. "Raut wajahnya asing bagiku."
"Ai, akhirnya anak buah Hek-mo-ong muncul dalam lorong bawah tanah ini, nampaknya apa yang diucapkan Tan Sam- cing bukan ucapan kosong belaka."
"Menurut Tan Sam-cing, orang yang berada dalam lorong bawah tanah ini adalah seorang kakek, seorang perempuan, serta seorang cacat lengan dan berkaki pincang, sedang korban yang kita jumpai sekarang adalah lelaki setengah umur yang berusia empat puluh tahunan."
"Jadi menurut Tio-pangcu, korban bukan termasuk di antara ketiga orang yang dimaksud Tan Sam-cing?"
Tio Tian-seng segera menggeleng, "Ya, sama sekali tidak sesuai."
"Siapa tahu si kakek yang dimaksud Tan Sam-cing adalah orang ini?" ujar Bong Thian-gak. "Kecuali kita bertemu perempuan serta orang yang menyaru sebagai Bong-laute itu, kalau tidak, aku tidak akan percaya perkataan Tan Sam-cing."
"Seandainya kedua orang itu menyembunyikan diri di sudut lorong bawah tanah, bagaimana mungkin kita bisa menemukan jejaknya?"
"Kita kan tak bakal meninggalkan Sam-cing-koan ini dalam waktu singkat? Sebentar kau boleh bersama-sama Tan Sam- cing melakukan penggeledahan di sini, sedang tugas menjaga di luar biar kugantikan untuk semenjtara."
"Baik, kita memang harus menemukan si tabib sakti dan Keng-tim Suthay sebelum pergi meninggalkan tempat ini!"
Tiba-tiba Tio Tian-seng menghela napas, kemudian tanyanya, "Bong-laute, apakah kau sudah mengetahui asal- usul Tan Sam-cing?"
"Konon dia adalah anak buah murid Bu-tong-pay."
"Bong-laute, menurut pendapatmu apakah nama besar Pat- kiam-hui-hiang cukup tersohor di dunia persilatan pada empat puluh tahun berselang?"
"Padri sakti dari Siau-lim-pay, guruku Oh Ciong-hu, Mo- kiam-sin-kun serta Pat-kiam-hui-hiang adalah tokoh silat yang paling termasyhur di Kangouw waktu itu. Mereka disebut empat tokoh persilatan, terutama kehebatan mereka di antara golongan lurus maupun sesat."
"Yang disebut pedang lurus tentulah Pat-kiam-hui-hiang Tan Sam-cing, sedang si pedang sesat adalah aku Mo-kiam- sin-kun, bukan?"
"Waktu itu pedang Tio-pangcu memang penuh dengan hawa membunuh, sehingga orang menyebutnya si pedang sesat. Tapi menurut perasaan Boanpwe, sesungguhnya pedang Tio-pangcu sama sekali tidak sesat." Tio Tian-seng menghela napas panjang, "Ai, dengan dasar apakah orang membedakan antara sesat dan lurus, rasanya sulit untuk ditelusuri dan aku pun enggan mempersoalkan.
Yang ingin kuketahui sekarang adalah tersohornya Pat-kiam- hui-hiang Tan Sam-cing waktu itu, apa sebabnya ia lenyap secara tiba-tiba? Tahukah si tabib sakti serta Keng-tim Suthay bahwa Sam-cing Koancu yang sekarang sebenarnya adalah Pat-kiam-hui-hiang yang amat termasyhur namanya?"
"Apa maksud Tio-pangcu mencurigai hal itu?"
"Bong-laute, sekarang bila kubilang Tan Sam-cing adalah Hek-mo-ong yang misterius itu, apakah Bong-laute anggap hal ini mungkin?"
Bong Thian-gak segera menggeleng.
"Tan Sam-cing cukup termasyhur sebagai orang budiman, ia tak pernah mempunyai nama jelek."
"Sebaliknya bila kukatakan bahwa akulah Hek-mo-ong?"
Hati Bong Thian-gak segera bergetar keras, sahutnya kemudian, "Jika hal ini terjadi beberapa hari berselang, jika ada orang bertanya siapakah Hek-mo-ong, maka tentu akan menduga Tio-pangcu."
Tio Tian-seng tersenyum.
"Kalau bukan begitu, lantas siapakah menurut Bong-laute yang pantas dicurigai sebagai Hek-mo-ong?"
Baru selesai perkataan itu, dari sudut lorong gua terdengar seorang menanggapi dengan suara lantang, "Menurut perasaan Pinto, Hek-mo-ong adalah Mo-kiam-sin-kun Tio Tian- seng."
Bergemanya suara itu membuat hati Bong Thian-gak maupun Tio Tian-seng bergetar. Yang membuat mereka terkejut adalah kehadiran lawan sampai di dekat mereka, namun sama sekali tidak mereka rasakan. Sambil tertawa dingin Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng segera menegur, "He, hidung kerbau, sudah lamakah kau datang kemari?"
Dari balik lorong gua yang gelap gulita pelan-pelan muncul seseorang, walaupun kedua belah pihak belum pernah melihat raut wajah masing-masing dengan jelas, namun Bong Thian- gak serta Tio Tian-seng tahu bahwa si pendatang adalah Sam- cing Koancu Pat-kiam-hui-hiang Tan Sam-cing.
Tiba-tiba Tan Sam-cing menghentikan langkah, lalu menyahut dengan suara hambar, "Sejak Bong-sicu membinasakan orang aneh tadi, Pinto telah hadir di sini."
"Kedatanganmu memang tepat sekali," seru Tio Tian-seng tertawa dingin.
Tan Sam-cing tertawa dingin.
"Tentu saja kedatanganku memang sangat tepat. Coba kalau aku tidak datang, sudah pasti Pinto dicurigai sebagai Hek-mo-ong."
"Biarpun kau sudah datang, bukan berarti bisa lepas dari kecurigaanku," jengek Tio Tian-seng.
Tan Sam-cing mendengus, "Hm! Menubruk angin menangkap bayangan, memfitnah orang tanpa fakta yang nyata, mengadu domba di antara sesama manusia, semuanya memang watak kebiasaanmu."
"Boleh saja bila kau ingin lepas dari kecurigaan," kata Tio Tian-seng dingin, "kecuali si tabib sakti sekalian ditemukan dalam keadaan sehat dan selamat, kalau tidak, jangan harap kau bisa terlepas dari kecurigaan kami."
Tan Sam-cing naik pitam, segera bentaknya penuh amarah, "Tio Tian-seng, kau memojokkan orang dengan kata-kata tuduhanmu itu. Bila kau lanjutkan, Pinto tak bisa menahan diri lebih jauh!" Bong Thian-gak merasakan panasnya situasi, bila keadaan ini dibiarkan berlangsung terus, kemungkinan akan berkobar pertempuran berdarah yang mengerikan.
Maka dia maju beberapa langkah, setelah menjura pada Tan Sam-cing, ujarnya dengan suara lantang, "Tan-koancu, harap kau jangan marah dulu. Dewasa ini masih ada musuh tangguh bersembunyi dalam lorong bawah tanah. Apabila di antara kita terjadi keributan sendiri, hal itu tentu akan menggirangkan lawan."
"Bong-sicu tak usah kuatir, ketiga orang pembunuh yang menyusup masuk ke dalam lorong bawah tanah ini sudah mati terbunuh."
"Jadi Tan-koancu telah berjumpa dengan pembunuh- pembunuh itu?"
"Pinto telah membunuh seorang, lalu menemukan sesosok mayat di lorong gua, ditambah mayat yang berada di hadapan kita sekarang, bukankah berarti ketiga pembunuh itu telah tertumpas?"
"Bagaimanakah bentuk wajah pembunuh yang berhasil Tan-koancu habisi nyawanya?"
"Orang yang menyaru sebagai Bong-sicu."
Seraya berkata, Tan Sam-cing melepaskan sebilah pedang berikut sarungnya dari bahu, kemudian melanjutkan, "Pek- hiat-kiam berada di sini, harap Bong-sicu menerimanya."
"Ehm, terima kasih banyak atas bantuan Tan-koancu menemukan kembali Pek-hiat-kiam ini."
Seraya berkata, ia maju ke depan.
Tiba-tiba Tan Sam-cing mengayun tangan kanannya, pedang yang berada di dalam sarung itu tahu-tahu berkelebat ke muka dan mengancam jalan darah Sim-kan-hiat di tubuh anak muda itu. Tindakan itu bukan saja membuat Bong Thian-gak tak sempat menghindar, Tio Tian-seng juga sama sekali tak menyangka.
Berubah hebat paras muka Bong Thian-gak, tanpa terasa ia berpekik dalam hati, "Aduh celaka!"
Siapa tahu Tan Sam-cing hanya menutul jalan darahnya, sama sekali tidak disertai tenaga dalam. Terdengar ia berseru sambil tertawa dingin, "Bong-sicu memang orang yang berjiwa terbuka dan berbudi luhur, kebijakanmu membuat Pinto kagum, maaf atas kelancangan Pinto barusan."
Rupanya Tan Sam-cing hendak menggunakan cara itu untuk mencoba mengerti apakah Bong Thian-gak menaruh curiga kepadanya atau tidak.
Sesudah termangu-mangu beberapa saat, Bong Thian-gak baru menerima pedang itu, lalu diperiksanya dengan seksama. Benar juga, pedang itu memang benda kepercayaan Hiat- kiam-bun, Pek-hiat-kiam, maka sekali lagi dia memberi hormat kepada Tan Sam-cing seraya berkata, "Seandainya Tan- koancu adalah musuh, dengan seranganmu tadi niscaya habis sudah jiwaku."
"Seandainya Bong-sicu selalu waspada dan berjaga-jaga terhadap serangan orang, niscaya kau akan berhasil menghindarkan diri dari tusukan tadi," ucap Tan Sam-cing.
Bong Thian-gak menggeleng kepala.
"Jurus serangan yang dipergunakan Tan-koancu tadi jauh berbeda dengan jurus kebanyakan orang. Aku tahu, biarpun sudah waspada dan berjaga-jaga, rasanya sulit juga menghindarkan diri."
Tan Sam-cing tersenyum.
"Bong-sicu memiliki kepandaian silat yang amat hebat, tapi tidak sombong, kebesaran jiwamu serta kerendahan hatimu benar-benar mengagumkan sekali." Tiba-tiba Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng tertawa dingin, katanya, "Hei, hidung kerbau, kau mengatakan telah membunuh orang, dimana mayatnya sekarang?"
"Dalam lorong bawah tanah sana." "Dan masih ada orang lagi?"
"Perempuan pembunuh itu terbunuh di lorong bawah tanah, entah ia tewas oleh Bong-sicu atau mati terbunuh di tanganmu?"
"Apakah mayat perempuan yang Tan-koancu temukan adalah perempuan berbaju hitam?"
Pada saat itulah tiba-tiba Bong Thian-gak mendengar suara bisikan Tio Tian-seng yang disampaikan dengan ilmu menyampaikan suara, "Bong-laute, jangan kau katakan bahwa perempuan itu adalah Sam-hubuncu dari Hiat-kiam-bun. Aku lihat perkataan Tan Sam-cing saling bertentangan, lagi pula gerak-geriknya amat mencurigakan, kita tidak bisa mempercayainya begitu saja."
Dalam pada itu Tan Sam-cing mengangguk seraya menjawab,
"Benar, dia adalah perempuan berbaju hitam."
Dengan suara dingin, Tio Tian-seng segera menimbrung, "Mayat yang terkapar dalam lorong bawah tanah ini rasanya bukan hanya tiga, hidung kerbau, sudah kau lihat hal ini?"
"Sudah," sahut Tan Sam-cing dengan suara dalam. "Aku justru Ingin bertanya siapa yang telah membunuh kawanan Tosu itu?"
"Aku memang ingin bertanya kepadamu, atas perintah siapa kawanan hidung kerbau itu berniat membunuhku?" bantah Tio Tian-seng dingin.
"Jika begitu mereka mati di tangan Tio-pangcu?" "Tan-koancu," tukas Bong Thian-gak, "semua Tosu itu bukan mati terbunuh di tangan Tio-pangcu."
"Apakah Bong-sicu telah membunuh seorang di antaranya?" ucap Tan Sam-cing hambar.
Dengan perasaan bergetar keras, Bong Thian-gak membenarkan.
"Betul, Boanpwe memang membunuh satu orang." "Luka pada mayat-mayat itu telah kuperiksa dengan
seksama, luka yang menyebabkan kematian kesebelas mayat
dilakukan oleh orang yang nama, berarti mereka terbunuh di tangan Tio-pangcu."
Tio Tian-seng tertawa dingin.
"Eh, hidung kerbau, apakah kau sedang mencari alasan untuk mengajakku berduel?"
"Hm! Tanpa sebab-musabab anak murid kuil kami telah menjadi kurban, tentu saja Pinto tak akan membiarkan si pembunuh berlalu dari sini dengan bebas merdeka!" jawab Tan Sam-cing sambil mendengus.
"Aku sudah bersiap menahan seranganmu, ayolah silakan turun tangan."
"Akhirnya kita berdua akan melangsungkan juga duel mati- hidup di lorong bawah tanah ini."
Sambil berkata, pelan-pelan Tan Sam-cing melolos sebilah pedang pendek yang bersinar tajam dari belakang bahunya.
Begitu ia melolos pedang pendek, cahaya putih yang berkilau segera memancar menerangi lorong bawah tanah itu.
Melihat Tosu itu sudah melolos pedang, Bong Thian-gak segera melompat ke muka dan berdiri di antara kedua orang itu, cegahnya, "Tunggu dulu! Bila Locianpwe berdua hendak bertarung, alangkah baiknya bila pertarungan dilangsungkan setelah berhasil menemukan si tabib sakti."
"Tio-pangcu memaksa Pinto berkelahi sekarang juga," kata Tan Sam-cing.
"Hm, aku tidak bodoh mengajak kau berkelahi di sini," sela Tio Tian-seng sambil tertawa dingin.
"Kalau begitu, biar Pinto simpan kembali pedangku ini," kata Tan Sam-cing.
Sembari berkata, dia memasukkan kembali pedang pendeknya ke dalam sarung.
"Tan-koancu!" seru Bong Thian-gak kemudian, "sekarang bawalah kami bertemu Gi Jian-cau."
"Harap kalian berdua mengikuti aku."
Dia membalikkan badan dan beranjak pergi lebih dulu.
Bong Thian-gak serta Tio Tian-seng mengikut di belakangnya.
Biarpun lorong bawah tanah itu sangat gelap hingga sukar dilalui, tetapi Tan Sam-cing dapat bergerak secepat terbang, malah sewaktu berbelok pun tak pernah ragu atau pun berhenti, agaknya dia memang menguasai keadaan tempat itu.
Sesudah melalui enam persimpangan jalan dan menelusuri tujuh lorong, mendadak Tan Sam-cing menghentikan langkah, lalu melakukan pemeriksaan di sebuah dinding batu, kemudian ia menuju ke hadapan Bong Thian-gak dan bisiknya dengan suara lirih, "Ada orang telah memasuki ruang gua rahasia ini, bisa jadi musuh masih bercokol di dalam ruang itu."
"Dimanakah letak ruang gua itu?" tanya Bong Thian-gak dengan terkejut. Tan Sam-cing tidak menjawab pertanyaan itu, malah dia berkata, "Harap kalian berdua berjaga di kedua ujung lorong gua ini, Pinto akan segera membuka pintu rahasia menuju ke ruangan dalam."
"Hai, hidung kerbau!" seru Tio Tian-seng dingin. "Kau tidak usah bermain setan di hadapanku, sudah kuduga sejak tadi kau akan bersikap begini."
Tan Sam-cing tak menggubris, kembali dia berkata, "Seandainya ruang rahasia itu sampai kemasukan orang, keselamatan jiwa si tabib sakti dan Keng-tim Suthay benar- benar berbahaya sekali. Kalian berdua tiarap selekasnya mengikuti perkataanku tadi dan berjaga-jaga di kedua ujung lorong, kita tak boleh membuang waktu lagi."
Dalam pada itu Bong Thian-gak telah berjalan ke depan, Tio Tian-seng juga sudah mengundurkan diri dari situ.
Pada saat itulah tiba-tiba Tan Sam-cing melolos pedangnya dari belakang bahu, sekilas cahaya tajam menyoroti dinding.
Dengan pedang terhunus Tan Sam-cing berjalan beberapa langkah dengan menelusuri dinding batu sebelah kanan, tiba- tiba ia lepaskan sebuah tusukan ke atas dinding itu.
Suara gemuruh bergema di angkasa.
Dinding batu di sisi kiri Tan Sam-cing mendadak bergeser ke samping, sekilas cahaya lentera memancar masuk ke dalam lorong itu lewat celah-celah pintu.
Sementara itu Tan Sam-cing telah mencabut pedang pendeknya dari dinding batu, dengan cepat tubuhnya berkelebat dan menerobos masuk melalui celah pintu yang terbuka.
Tio Tian-seng serta Bong Thian-gak segera menyerbu bersama, kemudian menyelinap masuk pula melalui celah pintu yang terbuka. Setelah memasuki pintu rahasia itu, barulah diketahui bahwa tempat itu pun merupakan sebuah lorong bawah tanah pula.
Hanya bedanya, lorong ini terang-benderang bermandikan cahaya, hampir setiap jarak tiga kaki terdapat sebuah lentera.
Lorong itu lurus ke depan, waktu itu Tan Sam-cing sudah berada di depan sana.
Tio Tian-seng dan Bong Thian-gak di kiri kanan segera melakukan pengejaran dengan menelusuri kedua sisi dinding gua.
Pada ujung lorong itu terdapat sebuah tikungan menuju sebelah kiri, bayangan tubuh Tan Sam-cing lenyap di balik tikungan itu.
Menyusul Bong Thian-gak serta Tio Tian-seng tiba juga di ujung tikungan sana, serentak mereka mendongakkan kepala.
Pada ujung dinding sebelah kiri terdapat sebuah pintu, di balik pintu terbentang sebuah ruangan yang luas.
Dalam ruangan ini pun tak nampak bayangan Tan Sam- cing.
Namun di atas permukaan tanah tampak mayat bergelimpangan di sana-sini, ceceran darah menodai lantai, senjata berserakan, keadaan benar-benar mengerikan dan memilukan.
Di antara korban yang tewas dan berserakan ini, selain terdapat kaum Tosu, terdapat pula gadis-gadis muda.
Keadaan yang menyebabkan kematian hampir sama, ada yang kehilangan kepala, pinggangnya terpapas kutung, empat anggota badan berserakan, ada pula yang tewas tanpa meninggalkan bekas luka apa pun.
Sekilas Bong Thian-gak mengetahui bahwa para korban adalah anggota Hiat-kiam-bun yang ditugaskan melindungi si tabib sakti mengolah obat, sedang kawanan Tosu itu dari kuil Sam-cing-koan.
Di ruang belakang masih terdapat ruangan lain, dengan cepat Bong Thian-gak melakukan pemeriksaan ke situ.
Dalam pada itu dari balik ruangan sebelah kiri tampak Tan Sam-cing muncul, setelah menghela napas sedih, ia berkata, "Sicu tak perlu masuk ke dalam lagi, tak seorang hidup pun yang terdapat di ruang dalam."
"Bagaimana dengan si tabib sakti?" tanya Bong Thian-gak kejut bercampur gelisah.
Tan Sam-cing menghela napas panjang.
"Ai, Hiolo pengolah obat masih terdapat di situ, namun orangnya sudah lenyap entah kemana."
"Bagaimana dengan Keng-tim Suthay?" "Ia sudah tewas terkena musibah!"
Mendengar Keng-tim Suthay terkena musibah, Bong Thian- gak langsung berteriak, "Dimanakah jenazahnya sekarang?"
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar Tio Tian-seng berteriak dari belakang, "Tan Sam-cing, lebih baik kita langsungkan duel mati-hidup di tempat ini saja!"
Bong Thian-gak tidak habis mengerti, mengapa Tio Tian- seng menantang Tan Sam-cing berduel dalam keadaan dan situasi seperti ini. Tan Sam-cing tertawa tergelak dengan suara menyeramkan, "Tio Tian-seng, cepat atau lambat kita memang harus melaksanakan duel mati-hidup untuk menentukan nasib kita berdua."
Dalam pada itu Bong Thian-gak merasa pedih dan kehilangan semangat sesudah mengetahui Keng-tim Suthay tewas terbunuh. Dalam keadaan demikian dia tak bersemangat lagi memperhatikan perselisihan di antara mereka berdua. Badannya segera berkelebat dan masuk ke ruang belakang dengan cepat.
Di ruang belakang terdapat dua bilik, sebuah di sebelah kiri dan yang lain di sebelah kanan.
Mula-mula Bong Thian-gak memasuki bilik sebelah kiri, di situ terdapat dua buah pembaringan, kelambu dan seprei masih teratur rapi, pakaian dan perabotan lainnya masih utuh, hanya tak nampak seorang pun.
Di bagian depan terdapat sederet pembaringan dan perabotan lain, di sini juga tak nampak seorang pun.
Buru-buru Bong Thian-gak menuju ke ruang lain, tempat itu hanya ada sebuah tungku raksasa berkaki tiga, sebuah pengolah obat terdapat di atas tungku, sementara beberapa buah bantal duduk berserakan di sekelilingnya.
Di sisi tungku, dua orang bocah cilik duduk terbungkuk, mereka tak berkutik sama sekali, jelas sudah tewas.
Selain jenazah kedua bocah itu, di dekat tungku bagian belakang, duduk bersila seorang tokoh setengah umur di atas kasur duduk.
Tangan kirinya masih memegang Hud-tim, sedangkan tangan kanannya diletakkan di depan dada, wajahnya pucat- pias dan matanya terpejam rapat.
Sesudah melihat dengan jelas raut wajah tokoh setengah umur itu, Bong Thian-gak segera berteriak, "Keng-tim Suthay!"
Ia menubruk ke depan, air matanya bercucuran dengan deras. Mimik tokoh setengah umur itu nampak tawar, sudah barang tentu tak dapat bersuara lagi.
"Suthay, oh Suthay ... sungguh tak nyana perpisahan kita di Ho-pak tempo hari akan menjadi perpisahan untuk selamanya. Oh Suthay, siapakah orang yang telah mencelakaimu, siapakah orangnya?"
Sambil menangis Bong Thian-gak menggoncang-goncang jenazah Keng tim Suthay.
Tiba-tiba jenazah itu miring dan roboh ke kiri, sementara sepatu yang dikenakan pada kaki kanannya terlepas dan jatuh ke atas tanah.
Bong Thian-gak bermata jeli, dengan cepat ia menangkap bahwa di balik telapak kaki kanan Keng-tim Suthay tertera jelas sederet tulisan.
Dengan perasaan bergetar, Bong Thian-gak segera mendongakkan kepala.
Ternyata tulisan itu berbunyi:
"Sebutir pil pengembali sukma kusembunyikan di balik Hud- tim, bunuh si tabib sakti."
Bong Thian-gak berdiri termangu-mangu mengawasi kedua baris tulisan itu, terutama sekali kata-kata terakhir, "Bunuh si tabib sakti".
Tulisan itu membuat pikirannya bimbang dan tak habis mengerti.
"Mengapa ia mesti membunuh si tabib sakti? Mengapa?" Sesudah termangu-mangu sekian lama, akhirnya Bong
Thian-gak mengenakan kembali sepatu itu Keng-tim Suthay