Jilid 19
"Dapatkah aku melupakannya?" kata Bong Thian-gak amat pedih. "Sepuluh tahun lalu kau pernah melakukan hubungan gelap dengan Sam suheng Siau Cu-beng, itu sebabnya kubunuh Sam-suheng, tapi hari ini siapa pula yang akan membunuhku demi membalas aib bagi Suhu."
"Bong Thian-gak, kau sudah tahu aku bukan perempuan baik-baik. Sejak dulu Oh Ciong-hu sudah tidak memiliki istri macam diriku ini," ucap Pek Yan-ling sedih. "Oleh karena itu aku bukan istri Oh Ciong-hu, juga bukan Subomu ... selain itu kau sudah sejak lama dikeluarkan dari perguruan, kau pun sudah bukan muridnya lagi. Ini berarti di antara kita berdua sama sekali tiada hubungan sebagai ibu guru dan murid lagi, kita adalah sahabat biasa ... aku sama sekali bukan ibu guru seperti apa yang kau sebut, karenanya kau tidak pernah melanggar susila, aku pun tidak pernah melakukan perbuatan yang menyalahi peraturan perguruan."
Memang benar, sepuluh tahun lalu Bong Thian-gak diusir Oh tong hu dari perguruan, jadi Pek Yan-ling sudah bukan Subonya lagi.
Apalagi selama sepuluh tahun ini dia sendiri pun tak pernah menganggap perempuan itu sebagai Subonya, karena itu dia sudah kehilangan haknya untuk dihormati sebagai seorang Subo.
Kendati demikian, dalam hati Bong Thian-gak tersiksa pula oleh penderitaan yang luar biasa. Dalam pada itu kulit badan Pek Yan-ling yang semula berwarna putih halus, lambat-laun telah berubah menjadi hitam kemerah-merahan, beberapa kali dia bahkan kejang- kejang dengan penuh penderitaan.
"Bong Thian-gak" kembali dia berkata sambil menahan derita. "Sekarang isi perutku terasa seperti disayat-sayat, seperti juga ada beribu ekor binatang yang menggerogoti badanku ... ooh sangat menderita ... tolong ... tolong hadiahkan sebuah pukulan kepadaku agar aku cepat mati!"
Rintihan demi rintihan bergema tiada hentinya dari bibir Pek Yan-ling, sambil memegang dada dengan sepasang tangannya, dia mulai bergulingan kian-kemari, keadaannya amat tersiksa dan mengenaskan, membuat siapa pun yang melihat jadi amat terharu.
Bong Thian-gak tak dapat membendung air matanya lagi, dengan penuh duka katanya, "Thian telah mengatur segala sesuatunya? Mengapa Thian selalu memaksa aku melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak kukehendaki?"
"Bong Thian-gak, ayolah cepat turun tangan," pinta Pek Yan-ling sambil mengangkat wajahnya yang menyeringai seram. "Dahulu aku telah banyak berbuat dosa kepadamu, sekarang biar kau cincang tubuhku hingga hancur berkeping- keping pun belum tentu bisa membalas luka yang pernah kuberikan kepadamu di masa lalu. Inilah hukum karma bagiku, aku memang pantas mati di bawah telapak tanganmu."
Bong Thian-gak memejamkan mata, lalu katanya, "Yang sudah lewat biarlah lewat, aku sama sekali tidak membencimu, bahkan aku amat berterima kasih kepadamu ... karena aku telah berhutang budi kepadamu."
Tatkala kata "kepadamu" diucapkan, telapak tangan kanan Bong Thian-gak diayunkan ke depan melancarkan bacokan.
Dimana angin pukulan berkelebat, tubuh Pek Yan-ling mencelat ke belakang untuk kemudian tidak berkutik lagi. Air mata sekali lagi jatuh bercucuran membasahi wajah Bong Thian-gak, diambilnya kain seprei dari atas pembaringan, lalu dibungkuskan ke atas tubuh Pek Yan-ling yang telanjang dan pemuda itu pun berdiri termangu-mangu untuk beberapa saat lamanya.
Mendadak berkumandang suara langkah kaki manusia, Bong Thian-gak bagaikan baru sadar dari mimpi, dia segera menyelinap ke belakang pintu dengan cepat.
Dalam pada itu dari luar ruangan sudah terdengar seseorang berkata, "Cap-go-kaucu, Cong-kaucu memerintahkan kepadaku untuk mengantar dua pil Siau-hun- wan, dengan pesan dalam dua belas jam mendatang harus mencekokkan pil ketiga kepada Jian-ciat-suseng."
Bong Thian-gak yang mendengar perkataan itu segera membuka pintu secara tiba-tiba, tampak seorang berbaju kuning berjalan masuk ke dalam ruangan dengan langkah cepat.
Tatkala orang berbaju kuning itu menyaksikan Bong Thian- gak berdiri di hadapannya dalam keadaan segar-bugar, ia nampak amat terperanjat, mulutnya ternganga dan tak sempat berteriak, tahu-tahu cakar maut yang kuat seperti jepitan telah mencekik tenggorokannya.
"Krak", tulang leher orang berbaju kuning itu tahu-tahu patah, tidak sempat mengeluarkan suara rintihan lagi, orang itu tewas seketika.
Selesai membunuh orang itu, Bong Thian-gak segera menyelinap keluar, dengan cepat sorot matanya dialihkan ke sekeliling tempat itu.
Apa yang kemudian terlihat membuat Bong Thian-gak merasa sangat terkejut, ternyata dia berada di sebuah ruangan besar dan kosong, dua puluh empat buah tiang penyangga berukir naga emas berjajar tiap sudut, atap ruangan indah dan megah, bangunan itu sangat mentereng. Tempat dimana Bong Thian-gak berdiri sekarang merupakan panggung di ruangan tengah, permadani berwarna merah menghiasi lantai, boleh dibilang dimana-mana dihiasi barang antik yang tak ternilai harganya.
Pot bunga berlapiskan emas di sekeliling panggung, delapan belas hu.ih hiolo perak bertebaran di bawah panggung, empat gentong emas, empat pasang kura-kura tembaga dan bangau tembaga turut menghiasi setiap sudut ruangan.
Selain itu di tengah ruangan terdapat pula sebuah meja panjang, di atas meja berjajar berbagai peralatan yang terbuat dari tembaga, kemala, dan bahan keramik, di samping intan permata dan mutu manikam yang tak ternilai harganya.
Pada hakikatnya bangunan itu ibarat sebuah gudang harta- karun.
Pada ujung tumpukan harta-karun yang tak ternilai itu terdapat sebuah kursi yang terbuat dari emas, cahaya kekuning-kuningan memercik ke empat penjuru membuat kursi tadi menyerupai singgasana seorang kaisar.
Mata Bong Thian-gak menjadi kabur menyaksikan semua itu, sesaat lamanya dia hanya bisa berdiri termangu-mangu seperti orang kehilangan ingatan.
Dia tidak mengetahui tempat apakah itu? Darimana datangnya harta-karun itu?
Tiada lentera di dalam ruangan itu, tapi bisa terlihat dengan jelas bahwasanya ruangan itu kosong melompong, tak nampak sesosok bayangan manusia pun, namun Bong Thian- gak cukup mengerti, di luar istana itu pasti terdapat pasukan penjaga yang amat ketat dan kuat.
Maka sambil menghimpun tenaga dalam untuk berjaga- jaga atas segala kemungkinan, dia berjalan menuju ke pintu gerbang. Pintu dalam keadaan tertutup rapat, hal ini membuat Bong Thian-gak tertegun, segera pikirnya, "Kalau dilihat dari pintu gerbang yang tertutup rapat, berarti tiada penjaga yang meronda di luar gedung, tempat ini sungguh merupakan tempat rahasia yang menyeramkan."
Mendadak dari luar terdengar seorang menegur, "Komandan regukah di situ?"
"Benar!" dengan cepat Bong Thian-gak menyahut. Suara gemuruh yang amat keras segera berkumandang,
pintu gerbang terbuka lebar dan dua kepala menongol dari
balik pintu.
Secepat sambaran kilat telapak tangan Bong Thian-gak membacok ke bawah.
Tiada jerit kesakitan, tiada suara lain, tahu-tahu kedua orang tadi menghembuskan napas penghabisan.
Dengan gerakan tubuh yang gesit, lincah dan ringan, Bong Thian-gak segera menerobos keluar lewat celah-celah pintu itu.
Di bawah cahaya rembulan, di bawah undak-undakan batu depan pintu gerbang nampak berjajar dua puluh pengawal berbaju kuning, mereka berdiri dengan memegang tombak panjang.
Kemunculan Bong Thian-gak yang secara tiba-tiba membuat mereka tidak sempat melihat dengan jelas siapa pendatang itu.
Dalam sekejap Bong Thian-gak telah sampai di hadapan pengawal pertama. Tanpa jeritan kaget, tanpa teriakan kesakitan, tahu-tahu orang Mu sudah roboh binasa.
Di saat pengawal baju kuning yang pertama roboh terkapar tadi, tubuh Bong Thian-gak sudah berkelebat di hadapan delapan orang pengawal dan muncul di hadapan pengawal kesembilan.
Di saat para pengawal menyadari datangnya musuh yang menakutkan itu, Bong Thian-gak telah berhasil menghabisi nyawa delapan orang pengawal baju kuning dengan kecepatan dan serangan yang mengerikan.
Serangan yang begitu dahsyat dan cepat ini pada hakikatnya (arang dijumpai di kolong langit.
Tiga orang pengawal baju kuning lainnya yang masih tersisa dengan cepat menyadari datangnya ancaman bahaya, salah seorang di antara mereka segera menghardik, "Siapa di situ?"
Bong Thian-gak merampas tiga batang tombak dari korbannya yang tewas dan satu-per satu dilontarkan ke depan.
Tombak-tombak itupun menembus jantung tiga orang pengawal yang berada di kejauhan, tanpa penderitaan, tanpa teriak kesakitan, dua puluh empat orang pengawal berbaju kuning tahu-tahu sudah tertumpas habis di tangan Bong Thian-gak.
Kendati Bong Thian-gak telah melakukan pembunuhan dengan gerakan cepat, tindakan yang kejam dan tak membuat pengawal-pengawal itu mengeluarkan suara, namun penjagaan di seputar gedung itu sungguh kelewat ketat.
Dua puluh empat pengawal berbaju kuning yang berada di pintu gerbang sekarang tak lebih hanya sekelompok kekuatan lain yang berada di sekeliling gedung itu.
Mendadak serentetan suitan keras yang tinggi dan melengking dibunyikan orang keras-keras.
Bong Thian-gak segera menyaksikan tiga orang pengawal baju kuning melompat turun dari atas tiga batang pohon Pek- yang dan menyongsong kedatangan Bong Thian-gak dengan pedang terhunus.
Bong Thian-gak sadar jejaknya sudah ketahuan, dia semakin tak ingin membuang waktu lagi, maka tubuhnya melejit ke muka dan menyambut datangnya para pengawal yang sedang menerjang datang itu
Begitu bayangan kedua belah pihak saling bertemu, terdengarlah suara benturan keras yang sangat nyaring.
Tidak banyak waktu yang terbuang, dalam waktu singkat tiga orang pengawal yang baru muncul itu sudah bergelimpangan di atas tanah dalam keadaan tidak bernyawa lagi.
Lengan tunggal Bong Thian-gak kini sudah merampas ketiga batang pedang lawan.
Pada saat itulah dari sisi sebelah kiri ruangan berkumandang suara tertawa dingin yang menyeramkan.
"Hehehe, serangan yang sangat hebat dan ganas. Hm ... hm ... selama puluhan tahun terakhir belum pernah kujumpai seorang jagoan yang sedemikian tangguh!"
Mendengar ucapan itu, Bong Thian-gak segera mendongakkan kepala.
Di hadapannya kini sudah muncul delapan orang pengawal berbaju kuning yang mengiringi seorang kakek gemuk pendek, selangkah demi selangkah berjalan mendekatinya.
Dengan ketajaman mata Bong Thian-gak, ia sudah dapat melihat kakek gemuk pendek itu memiliki kepandaian silat yang hebat.
Tiba-tiba saja suara nyaring bergema di angkasa.
Ternyata kedelapan orang berbaju kuning sudah melolos cambuk panjang dari pinggangnya, lalu dengan gerakan cepat dan lincah mereka mengepung Bong Thian-gak. Bong Thian-gak cukup mengetahui bahwa ruyung lemas itu merupakan sejenis senjata yang sangat lihai.
Oleh karena itu Bong Thian-gak tidak membiarkan kedelapan orang pengawal berbaju kuning itu melancarkan serangan lebih dahulu, sambil tertawa dingin tubuhnya berputar seperti angin puyuh dan langsung menggulung ke sisi sebelah barat. Tatkala Bong Thian-gak berputar dengan kencang tadi, ketiga pedang yang digenggamnya secepat sambaran petir sudah menyambar ke depan.
Tahu-tahu dua pedang di antaranya sudah meluncur ke muka dengan kecepatan tinggi.
Dua kali jerit kesakitan yang memilukan segera bergema.
Empat orang pengawal baju kuning yang menerkam datang dari arah timur dan utara tahu-tahu sudah kehilangan batok kepalanya, tersambar oleh luncuran pedang itu.
Sebilah pedang berhasil membacok dua kepala, ilmu pedang terbang semacam ini benar-benar merupakan suatu kepandaian yang sangat mengejutkan.
Bong Thian-gak sendiri hanya menyambitkan kedua batang pedang dan menyisihkan sebatang baginya, pedang itu mengikuti gerakan tubuhnya berputar ke barat, segera melancarkan serangan pula, di mana cahaya pedang berkelebat, darah segar berhamburan kemana-mana dan isi perut berceceran.
Dua orang pengawal berbaju kuning kena terbabat pinggangnya hingga putus menjadi dua bagian.
Dalam waktu singkat dari delapan pengawal berbaju kuning itu sudah ada enam orang di antaranya yang tewas.
Demonstrasi kekejaman yang terjadi ini sungguh menggidikkan hati siapa pun, kontan saja dua pengawal berbaju kuning yang tersisa serta kakek gemuk pendek itu menghentikan langkah. Sementara itu Bong Thian-gak yang dalam sekejap mata telah membunuh enam orang, kini maju selangkah demi selangkah menghampiri kakek gemuk pendek itu dengan pedang terhunus.
Sambil tertawa dingin ia berkata, "Ruyung panjang meski merupakan senjata untuk menandingi pedang atau golok, tapi bila bertemu dengan aku, kalian tetap merupakan rombongan yang bakal berangkat ke akhirat."
"Siapakah kau?" bentak kakek gemuk pendek itu dengan wajah lei kejut dan ngeri.
"Ketua Hiat-kiam-bun, Jian-ciat-suseng!" sahut Bong Thian- gak sambil tertawa dingin.
Sembari berkata, tiba-tiba saja pemuda itu melompat ke depan dan pedangnya langsung dibacokkan ke tubuh kakek gemuk pendek itu.
Serangan pedang itu dilancarkan dengan cepat, akan tetapi gerakan cambuk kakek gemuk pendek itu pun tidak kalah cepatnya.
Bong Thian-gak segera merasakan pergelangan tangannya menjadi kencang, urat nadi pada pergelangan tangannya sudah kena terbelenggu empat lingkaran oleh cambuk lawan, otomatis gerak serangan pedangnya pun mengenai tempat kosong.
Diiringi gelak tawa panjang penuh kebanggaan, kakek gemuk pendek itu segera berkata, "Cambuk sakti bayangan aneh sudah puluhan tahun lamanya termasyhur di kolong langit. Tak ada orang bisa lolos dari cengkeramanku bila ruyung telah berada dalam genggamanku. Hehehe, Jian-ciat- suseng, lengan tunggalmu ini agaknya akan kutung pula."
Sementara itu Bong Thian-gak merasa ruyung lemas yang membelenggu urat nadinya itu makin lama makin kencang, tulang dan kulitnya terasa sakit seperti remuk. Bong Thian-gak sadar bila lawan sekali lagi menarik ruyung lemasnya, niscaya lengan tunggalnya itu bakal lenyap tak berbekas.
Sementara ingatan itu melintas dalam benaknya, tubuh Bong Thian-gak telah terbetot oleh cambuk lemas tadi sehingga terbanting ke atas tanah.
Namun ketika Bong Thian-gak bangkit kembali dari atas tanah, suara dengusan tertahan bergema di udara.
Perut kakek gemuk pendek itu tahu-tahu sudah tersambar oleh cahaya pedang sehingga mengucurkan darah segar.
Darah mengalir keluar bersama usus dan isi perut lainnya, meleleh dari balik mulut luka yang lebar dan memanjang itu.
Kulit muka si kakek gemuk pendek itu segera mengejang keras, katanya dengan suara dipaksakan, "Kau ... kau ... bagaimana caramu bisa meloloskan diri dari belenggu cambuk panjangku?"
Dengan wajah dingin Bong Thian-gak berdiri di hadapannya. Ketika mendengar pertanyaan itu, ia menjawab dingin, "Permainan ruyungmu memang terhitung cambuk kilat nomor wahid di kolong langit. Tiga puluh tahun berselang, dalam dunia rimba hijau pernah termasyhur seorang pencoleng yang mahir dalam permainan cambuk, konon dia bernama Ruyung sakti bayangan setan Si-bu, mungkin kaulah orangnya?"
Penderitaan yang tebal semakin menghiasi wajah kakek gemuk pendek itu, dia berkata dengan suara gemetar, "Nama besar Ruyung sakti bayangan setan pada saat ini sudah punah dan tak ada lagi. Jian-ciat-suseng, meski ... meskipun ilmu pedangmu tiada tandingannya di kolong langit, tapi jangan harap kau bisa menandingi kerubutan beratus-ratus pengawal perkumpulan Put-gwa-cin-kau, akhirnya kau ... kau pun akan mengalami nasib yang sama seperti aku, roboh ... roboh ke tanah dan tak akan bangun lagi." Sampai di situ langkah kakek gemuk pendek itu sudah sempoyongan, akhirnya roboh terjungkal ke atas tanah dan tak pernah merangkak bangun kembali.
Pencoleng nomor wahid di rimba hijau itu, Si-bu, akhirnya harus mampus di ujung pedang Bong Thian-gak.
Setelah menyaksikan Si-bu tewas, pelan-pelan Bong Thian- gak mendongakkan kepala dan memandang sekejap sekeliling tempat itu, tapi perasaannya segera terkesiap.
Ternyata pada saat itu seluruh lapangan yang luas di depan ruangan utama telah dikelilingi lautan manusia yang mengepung tempat itu secara berlapis-lapis, begitu rapat pengepungan di sana, hal ini membuat seramnya suasana di bawah sinar rembulan.
Agak bergidik juga Bong Thian-gak menyaksikan keadaan itu, diam-diam pikirnya, "Bila aku harus membantai orang itu satu demi satu, biar mereka bisa kuhabiskan, akhirnya aku akan kehabisan tenaga dan mampus di tangan mereka ... hari ini lebih baik aku kabur saja dari sini atau melangsungkan pertarungan dan beradu kekuatan dengan pihak Put-gwa-cin- kau?"
"Ai, apalagi kawanan pengawal itu hanya diperintah Cong- kaucu untuk melakukan perbuatan itu, masa aku harus membantai mereka habis-habisan."
Berpikir demikian, tiba-tiba Bong Thian-gak berteriak, "Dengarkan saudara-saudara sekalian. Aku adalah ketua Hiat- kiam-bun saat ini, Jian-ciat-suseng Bong Thian-gak. Pedang di tanganku sekarang memiliki kekuatan luar biasa, tiga puluh sosok mayat yang tergeletak di atas tanah merupakan bukti yang paling jelas.
"Selain Cong-kaucu kalian yang dapat menyambut beberapa jurus serangan pedangku, kalian boleh dibilang ibarat telur yang beradu dengan batu atau kunang-kunang yang menentang api, hanya mencari kematian bagi diri sendiri.
"Thian maha pengasih dan maha penyayang, aku tak ingin melakukan pembunuhan besar-besaran, karena itu kuanjurkan kepada kalian lebih baik menyingkirkan diri dari sini dan berilah jalan lewat kepadaku, aku tak nanti melukai seorang pun di antara kalian."
Ucapan itu diutarakan dengan suara lantang dan keras, di tengah kegelapan malam suara itu dapat tersiar sampai jauh.
Baru selesai dia berkata, mendadak dari kerumunan orang banyak terdengar seorang berseru sambil tertawa dingin, "Aku tak percaya kau seorang cacat bisa memiliki kepandaian dan kemampuan sedemikian hebatnya."
Dari kerumunan orang banyak sebelah utara segera terjadi kegaduhan, lalu nampak dua orang berjubah hitam diiringi delapan laki-laki yang menyoreng pedang berjalan menuju ke arahnya.
Tatkala mendengar nada suara orang itu, seketika itu juga timbul kobaran api dendam dalam dada Bong Thian-gak, dia segera berteriak, "Siau Cu-beng, kedatanganmu tepat sekali!"
Sepasang mata Bong Thian-gak telah memancarkan cahaya api yang menggidikkan, dia mengawasi orang berkerudung yang menyoreng sepasang pedang itu tanpa berkedip.
Sementara itu orang berambut panjang yang berada di sebelah kanan, yang berdandan bukan lelaki bukan perempuan itu tertawa seram seraya berkata, "Aku kira siapakah manusia cacat ini? Hm, ternyata Bong Thian-gak orangnya."
Bong Thian-gak dapat mengenali orang aneh kurus seperti mayat hidup ini adalah Liok-kaucu Put-gwa-cin-kau.
Ia tertawa dingin, lalu katanya sambil manggut-manggut, "Betul, Ko Hong adalah samaranku tiga tahun lalu. Kau sudah merupakan prajurit yang kalah perang di tanganku, hari ini kau lebih-lebih bukanlah tandinganku, hm, aku orang she Bong selalu bisa membedakan mana budi dan mana dendam, kau bukan termasuk orang yang akan kubunuh, asal kau tahu diri dan segera mengundurkan diri, aku bersedia pula mengampuni jiwamu."
Liok-kaucu tertawa seram.
"Tiga tahun berselang, sebuah pukulanmu telah membuat aku berbaring selama tiga bulan. Dendam sakit hati ini tak pernah kulupakan, sungguh tak gampang bertemu lagi dengan kau. Hm! Kau anggap aku akan melepaskan kesempatan yang sangat baik itu begitu saja?"
"Liok-kaucu, panjang amat umurmu," jengek Bong Thian- gak dengan suara hambar.
Liok-kaucu tertawa terbahak, suaranya amat menyeramkan, telapak tangan raksasanya mendadak diayunkan ke depan, segulung angin pukulan yang amat dingin segera menyerang ke arah Bong Thian-gak.
Sejak tadi Bong Thian-gak sudah tahu ilmu pukulan lawan merupakan ilmu jahat dan beracun, karena itu secara diam- diam dia telah menyalurkan hawa murni Tat-mo-khi-khang menyelimuti seluruh jalan darahnya.
Dimana angin pukulan menyambar, Bong Thian-gak mendengus tertahan dan sepasang bahunya bergoncang keras.
Pada saat itulah Liok-kaucu tertawa sambil berteriak keras, "Jian-ciat-suseng, serahkan jiwa anjingmu!"
Dengan suatu gerakan yang amat cepat, dia mendesak ke muka dan melakukan gempuran.
Siau Cu-beng yang berada di sisinya segera menyadari hal itu merupakan siasat lawan, dia segera berteriak, "Hati-hati Liok-kaucu, dia tidak terluka." Sayang sekali sebelum peringatan itu diutarakan, tubuh Liok-kaucu telah tiba di hadapan Bong Thian-gak, telapak tangannya dipentang lebar-lebar dan mencengkeram dari kiri dan kanan.
Tiba-tiba cahaya pedang berkelebat.
Menyusul kemudian jeritan keras seperti babi disembelih bergema.
Di tengah sambaran cahaya pedang, sepasang tangan Liok- kaucu terbabat kutung dan rontok ke tanah, menyusul di tengah semburan darah segar, pedang Bong Thian-gak menusuk dadanya hingga tembus. "Liok-kaucu, kali ini kau mati tanpa mengucapkan sepatah katapun?"
Ucapan Bong Thian-gak itu diutarakan dengan nada hambar. Bersamaan itu pula pedangnya telah dicabut dari atas dada Liok-kaucu.
Darah segar segera menyembur lewat mulut lukanya, Liok- kaucu memang tidak mengucapkan sepatah kata pun, dia hanya membentang matanya lebar-lebar mengawasi Bong Thian-gak tanpa berkedip.
Akhirnya robohlah tubuh Liok-kaucu ke tanah dan tak pernah bangun lagi. Jiwanya turut melayang ke angkasa dan kembali ke akhirat.
Dalam satu gebrakan Bong Thian-gak berhasil membunuh Liok-kaucu, walaupun kemenangan yang dia raih berkat taktiknya yang jitu, akan tetapi bagaimana pun juga Liok- kaucu mempunyai kepandaian silat sangat tinggi, kenyataannya dia dibunuh orang secara gampang, peristiwa ini benar-benar menggetarkan perasaan setiap orang.
"Siau Cu-beng, mengapa tidak kau lepaskan kain kerudungmu itu?" sambil membawa pedangnya yang berlumuran darah dan sikap yang menyeramkan, Bong Thian- gak membentak keras. Komandan kedua pasukan pengawal tanpa tanding segera tertawa dingin sambil sahutnya, "Betul, akulah Siau Cu-beng, tapi aku tidak pernah menyangka kaulah Bong Thian-gak."
Sementara itu dalam benak Bong Thian-gak melintas kembali berbagai kejadian tragis yang telah menimpanya malam ini ... darah bercampur dendam segera mendidih dalam tubuhnya.
"Siau Cu-beng, gara-gara perbuatanmu yang memalukan sepuluh tahun lalu, aku telah menjadi cacat, kaki kiriku pincang, lalu tiga tahun berselang kau pun memotong kutung sebelah lenganku, maka malam ini aku tak tahu bagaimana mesti membalas dendam berdarah ini."
Sambil berkata, pelan-pelan Bong Thian-gak mengangkat pedangnya dan bersiap melancarkan serangan.
Siau Cu-beng segera tertawa ringan, katanya, "Bong Thian- gak, aku hendak mengajukan sebuah pertanyaan kepadamu, mengapa kau menghajarku sampai jatuh ke dalam jurang pada sepuluh tahun berselang? Hahaha, apakah hal ini dikarenakan kau menangkap basah hubungan gelapku dengan Pek Yan-ling, maka kau lantas hendak membersihkan aib perguruan?"
"Hm, tapi hari ini ... kau pun telah melakukan hubungan gelap dengan Pek Yan-ling, nah, giliranku sekarang untuk bertanya kepadamu, .apakah aku pun harus membunuhmu untuk membalaskan dendam aib yang menimpa perguruan kita?"
Gemetar keras tubuh Bong Thian-gak mendengar perkataan itu, pedang yang sudah disiapkan tanpa sadar terlepas dan jatuh ke tanah.
"Oh, Thian!" diam-diam Bong Thian-gak mengeluh dengan perasaan amat tersiksa. "Ternyata Siau Cu-beng telah menyaksikan peristiwa itu, sepuluh tahun lalu aku telah membunuhnya karena ia telah melakukan hubungan gelap dengan Pek Yan-ling."
Perasaan sedih dan menyesal membuat pikiran dan otaknya terganggu.
Pada kesempatan yang sangat baik inilah mendadak Siau Cu-beng mengayun pedang dan tanpa menimbulkan sedikit suara pun dengan cepat menusuk dada Bong Thian-gak.
Semua peristiwa itu berlangsung dalam waktu yang amat singkat.
Cepat tangan kiri Bong Thian-gak diayun ke depan untuk menghantam mata pedang lawan.
Peristiwa yang sama sekali di luar dugaan segera berlangsung, ternyata Bong Thian-gak berhasil menggetar pedang itu hingga terpental dengan tangan kosong.
Seketika itu juga Siau Cu-beng serta ratusan orang pengawal lainnya tertegun dan berdiri melongo dengan mata terbelalak lebar.
Setelah berhasil mementalkan pedang dengan tangan telanjang, Bong Thian-gak sama sekali tidak melancarkan serangan balasan, dengan cepat dia menengok sekejap ke arah Siau Cu-beng, kemudian berkata dengan hambar, "Siau Cu-beng, persoalanku bisa kuselesaikan sendiri. Kini aku hanya ingin menanyakan satu persoalan kepadamu, Toa- suheng Ho Put-ciang, Ji-suheng Yu Heng-sui dan Sumoay Oh Cian-giok, apakah masih hidup?"
Siau Cu-beng seperti baru tersadar dari impian setelah mendengar itu, dia berseru tertahan, lalu balik bertanya dengan keheranan, "Dengan cara apakah kau telah menepuk pedangku hingga terpental?"
Bong Thian-gak tidak menjawab, sebaliknya malah membentak lagi dengan suara lantang, "Aku bertanya kepadamu, bagaimanakah nasib Ho Put-ciang sekalian?" Tiba-tiba Siau Cu-beng tertawa terbahak-bahak. "Hahaha, apakah Pek Yan-ling tidak memberitahukan
padamu?"
Hati Bong Thian-gak bergetar keras, dia segera berpikir, "Bagaimana keadaan mereka? Mengapa dia bilang Pek Yan- ling tidak memberitahukan kepadaku? Apa yang semestinya hendak dikatakan Pek Yan-ling kepadaku?"
Sekali lagi Siau Cu-beng tertawa dingin, suaranya menyeramkan, "Kalau Pek Yan-ling tidak memberitahukan kepadamu, baiklah biar aku yang memberitahukan kepadamu!"
"Bagaimana keadaan mereka? Cepat katakan!" bentak Bong Thian-gak.
Siau Cu-beng sengaja berdehem, lalu dengan santai dia berkata, "Ho Put-ciang dan Yu Heng-sui telah mengakhiri hidupnya sendiri."
"Bunuh diri? Mengapa mereka bunuh diri?" tanya Bong Thian-gak dengan terkejut.
"Karena tidak punya muka untuk bertemu dengan orang. Hahaha, biar kuceritakan lebih terperinci kepadamu! Pek Yan- ling adalah Subo mereka, Ho Put-ciang serta Yu Heng-sui pernah pula mempunyai hubungan persahabatan dan hubungan ibu guru. Akhirnya peristiwa yang sangat memalukan ini diketahui oleh Oh Cian-giok, kedua orang itu pun kehilangan muka sehingga akhirnya bunuh diri."
Sekali lagi dada Bong Thian-gak serasa dipukul martil yang berat, nyaris jatuh tak sadarkan diri.
Mimpi pun dia tak menyangka Toa-suheng dan Ji- suhengnya telah tewas dalam keadaan begitu mengenaskan dan memedihkan hati. Dia mengerti sekarang, semua ini bisa terjadi tak lain merupakan siasat membunuh yang paling keji dari perkumpulan Put-gwa-cin-kau. Mereka tidak membiarkan seorang Enghiong mati dalam keadaan gagah dan perkasa, melainkan membiarkan mereka mati dengan sukma tak tenang dan roh gentayangan.
Perbuatan semacam ini benar-benar merupakan suatu cara membunuh yang sangat kejam dan mengerikan.
Setelah tertawa ringan, dengan suara yang dingin menyeramkan, Siau Cu-beng berkata lagi, "Tindakan Ho Put- ciang dan Yu Heng-sui bunuh diri benar-benar Enghiong sejati, mereka adalah pendekar yang berani berbuat berani bertanggung-jawab sehingga bersedia menggorok leher sendiri untuk menebus dosa. Tapi sekarang, kau Bong Thian- gak sama sekali tidak mempunyai keberanian untuk mati, aku betul merasa kasihan untukmu!"
Tiba-tiba Bong Thian-gak mendongakkan kepala berpekik nyaring, "Siau Cu-beng, serahkan nyawamu!"
Bong Thian-gak memungut pedangnya dari atas tanah dan seperti seekor banteng yang terluka, dia membacok tubuh Siau Cu-beng secara ganas.
Siau Cu-beng tidak menyambut datangnya ancaman, sebaliknya delapan orang lelaki berbaju hitam yang berada di sisinya segera menggerakkan kedelapan pedangnya menciptakan selapis kabut pedang serentak mengurung Bong Thian-gak rapat-rapat.
Ilmu pedang yang dimiliki Bong Thian-gak pada hakikatnya sudah mencapai kesempurnaan, pedangnya seperti membacok kayu bakar saja, kawanan orang berbaju hitam itu dibabat satu demi satu.
Semua serangan yang dilancarkan olehnya terbatas tiga- empat bacokan belaka, namun kedelapan lelaki yang semula bergerak segesit naga dan seganas harimau itu sudah roboh terkapar di atas tanah, jangan kata melawan, jerit kesakitan pun tak sempat dikumandangkan.
Siau Cu-beng bergidik menyaksikan peristiwa itu, peluh dingin bercucuran dengan deras, dia cukup mengetahui betapa lihainya ilmu pedang yang dimiliki kedelapan lelaki itu, yang merupakan pengawal andalannya, bahkan kelihaian mereka mencapai tingkatan seorang tokoh persilatan.
Tetapi setelah berjumpa dengan Bong Thian-gak hari ini, keadaan mereka seakan-akan tidak memiliki setitik ilmu silat pun, dengan cara yang begitu mudah mereka terbunuh di tangan lawan.
Peristiwa ini benar-benar mengejutkan.
"Dengarkan saudara sekalian," Siau Cu-beng segera berteriak. "Bila kita biarkan orang ini lolos malam ini, aku tak akan membiarkan kalian hidup terus di dunia ini. Kepung dia sekuat tenaga, kalian boleh membacok dan mencincangnya sampai hancur berkeping-keping!"
Begitu bentakan itu lenyap, kawanan pengawal di tempat itu serentak berteriak dan membentak dengan suara gegap gempita, kemudian bersama-sama mengepung Bong Thian- gak.
Sementara itu Bong Thian-gak selesai membunuh kedelapan lelaki berbaju hitam dan menyaksikan Siau Cu-beng hendak mengundurkan diri, dengan suara lantang segera teriaknya, "Siau Cu-beng, jangan kabur!"
Tubuhnya melejit ke tengah udara dan menerjang ke muka, sebuah tusukan pedang langsung dilontarkan.
Ilmu pedang yang dimiliki Siau Cu-beng pun bukan kepandaian sembarangan. Sepasang pedangnya dipergunakan bersama, dengan suatu gerakan aneh dan cepat bagaikan sambaran kilat dia tangkis ancaman pedang Bong Thian-gak. Kemudian tanyanya sambil tertawa dingin, "Tunggu saja sampai nanti, kita pasti akan berduel untuk menentukan menang kalah!"
Sementara itu serombongan orang telah menggulung datang bagaikan amukan ombak di tengah samudra. Tombak panjang, pedang, tongkat serta tujuh-delapan macam senjata lainnya menyerang tiba.
Bong Thian-gak meraung keras, pedangnya segera diputar, hawa pedang bagaikan selapis kabut menyelimuti angkasa, djmana hawa dingin berkelebat, jeritan ngeri segera memenuhi seluruh gelanggang.
Dalam waktu singkat puluhan orang telah tewas di ujung pedang Bong Thian-gak yang tajam.
Lambat-laun Bong Thian-gak menjadi tidak tega sendiri, dia segera membentak, "Yang hendak kubunuh sebenarnya bukan kalian, lebih baik kalian mundur saja dari sini, asal aku dapat membunuh Siau Cu-beng, memangnya dia masih dapat menghukum kalian?"
Sementara itu Siau Cu-beng telah mengundurkan diri dari gerombolan orang banyak, Bong Thian-gak melompat naik ke tengah udara, kemudian tubuhnya melayang jauh ke depan dan langsung menerkam Siau Cu-beng.
Tatkala melayang turun, ia telah berada di tengah kerumunan orang banyak, bacokan golok dan pedang serentak ditujukan ke tubuh Bong Thian-gak.
Pada hakikatnya Bong Thian-gak tidak mempunyai cukup waktu untuk melancarkan serangan ke arah Siau Cu-beng, dia sudah kena serangan lebih dahulu oleh kawanan pengawal yang berada di sekeliling tempat itu.
Berada dalam keadaan seperti ini, sekali lagi Bong Thian- gak menggerakkan pedangnya melakukan pembantaian besar- besaran. Ia perkasa seperti Lu Poh, seperti Tio Cu-liong, dimana pedangnya menyambar, seakan tiada seorang pun yang dapat membendungnya.
Jeritan ngeri, teriakan kesakitan bergema tiada hentinya.
Bong Thian-gak seperti orang kalap, darah telah membasahi seluruh pakaiannya.
Dia sendiri tak tahu berapa banyak orang yang telah terbunuh, dia hanya tahu mengayunkan pedangnya melancarkan serangan.
Percikan darah menyembur kemana-mana, isi perut berhamburan di mana-mana, teriakan keras, jeritan ngeri bergema saling susul.
Akhirnya ketika Bong Thian-gak mengayunkan pedangnya, tidak terdengar lagi jeritan kesakitan yang terdengar.
Hal itu bukan disebabkan Bong Thian-gak sudah tak memiliki kekuatan lagi untuk membunuh orang, melainkan separoh orang-orang di sekelilingnya telah mati terbunuh.
Tapi pedang Bong Thian-gak masih saja melancarkan bacokan.
Hal ini disebabkan pandangan matanya sudah menjadi kabur atau berkunang-kunang, ia seperti tidak tahu bahwa di situ sudah tak terdapat seorang hidup pun.
Bong Thian-gak melancarkan puluhan bacokan lagi secara beruntun sebelum sadar.
Napasnya tersengal, pedangnya terkulai ke bawah, dipandangnya sekejap sekeliling tempat itu, darah yang berceceran di atas tanah telah menganak sungai, mayat bergelimpangan dimana-mana, mayat-mayat itu mencapai ratusan sosok banyaknya. Untuk beberapa saat Bong Thian-gak menjadi tertegun, segera pikirnya, "Mana orang-orang yang lain? Kemana mereka telah menyembunyikan diri?"
Rupanya ketika Bong Thian-gak tengah melakukan pembantaian, sebagian besar kawanan pengawal berbaju kuning telah mengundurkan diri secara diam-diam ke empat penjuru.
Mendadak Bong Thian-gak seperti teringat akan sesuatu, dia segera berseru tertahan, "Ah, rupanya mereka telah mengubah taktik!"
Mendadak di tengah kegelapan malam terdengar suara anak panah berhamburan datang dengan hebatnya.
"Aduh celaka!" pikir Bong Thian-gak. "Aku tak boleh berdiri termangu-mangu saja di sini."
Mendadak dia mengerahkan tenaga dalam Tat-mo-khi- kang, pedangnya dengan cepat memainkan selapis kabut pedang, tubuhnya secepat kilat berlari menuju ke arah utara.
Lapangan di situ cukup luas, di sana sini penuh ditumbuhi pepohonan Siong-pak dan bambu sehingga suasana gelap gulita.
Untuk menembus hutan semacam itu, bagi Bong Thian-gak pada hakikatnya lebih sukar daripada naik ke langit.
Kawanan pengawal Put-gwa-cin-kau telah mengundurkan diri ke dalam pos penjagaan di dalam hutan, dari jarak yang tak begitu jauh mereka dapat melancarkan serangan dengan mempergunakan anak panah atau senjata rahasia, sebaliknya bila musuh mendekat, mereka pun bisa melancarkan sergapan dengan mempergunakan pedang, golok atau tombak.
Oleh karena itulah baru saja Bong Thian-gak masuk ke dalam hutan, hujan panah sudah menyergap dari belakang, sementara dari kiri dan kanannya menerjang empat batang tombak. Selama tiga tahun melatih diri di bawah air terjun dahulu, Bong Thian-gak telah berhasil pula melatih ilmu membedakan arah angin serta ilmu tenaga dalam yang menitik-beratkan pada mengatasi gerak di tengah ketenangan, merebut ketenangan di tengah gerak.
Keempat tombak itu dengan cepat dirontokkan oleh sambaran pedangnya, sedangkan hujan panah yang menyerang datang dari belakang punggungnya, melesat ke depan melewati atas punggungnya hanya dengan cara dia membungkukkan badan.
Menyusul terdengar dua kali jeritan ngeri, sekali lagi pedang Bong Thian-gak menunjukkan kehebatannya, dua orang pengawal berbaju kuning yang menyembunyikan diri di belakang pohon kena ditebas kepalanya hingga tewas seketika.
Bong Thian-gak meneruskan perjalanannya menembus hutan itu, jeritan demi jeritan pun bergema saling susul.
Berpuluh bambu ada kalanya ikut terpapas kutung oleh bacokan pedang Bong Thian-gak sehingga roboh ke atas tanah.
Pertempuran berdarah ini betul-betul merupakan pertarungan yang jarang terjadi dalam Bu-lim.
Lewat setengah jam kemudian Bong Thian-gak telah keluar dari balik hutan yang gelap.
Di bawah cahaya rembulan yang terang benderang, pembunuh yang masih muda ini telah berubah menjadi manusia darah, rambutnya kusut dan pakaiannya robek, pedangnya yang berlumuran darah masih meneteskan titik- titik darah ke atas tanah.
Berapa banyak orangkah yang telah terbunuh di tangan Bong Thian-gak dalam hutan itu? Walaupun pertempuran telah berhenti, sorot mata Bong Thian-gak masih tetap memancarkan hawa membunuh yang amat menggidikkan.
Ternyata dia tahu, pentolan penyamun pembawa bibit bencana dan segala musibah baginya selama ini adalah Siau Cu-beng yang belum menemui ajalnya di ujung pedangnya.
Bong Thian-gak sendiri pun merasa heran, sudah jelas tempat ini merupakan sarang Put-gwa-cin-kau, walau pertarungan berlangsung lama, kawanan jago lihai dari Put- gwa-cin-kau yang menampakkan diri tak lebih hanya Siau Cu- beng dan Liok-kaucu.
Kemana perginya Cong-kaucu serta Ji-kaucu dan Sim Tiong-kiu sekalian? Apakah mereka semua tidak berada di sini?
Walaupun demikian, Bong Thian-gak pun diam-diam bersyukur, harus dia akui bila seorang saja di antara ketiga orang itu menampakkan diri, niscaya dia akan terancam bahaya maut pada malam ini.
Teringat akan hal itu, Bong Thian-gak segera berubah pikiran, dia tidak ingin meninggalkan tempat itu secepatnya, dia masih harus melanjutkan pertarungannya.
Kepalanya segera didongakkan.
Bangunan loteng yang berlapis-lapis, gedung yang megah, berdiri kekar di bawah cahaya rembulan.
Namun anehnya, semua gedung dan bangunan loteng itu berada dalam keadaan gelap, tiada cahaya lentera, tiada bayangan manusia yang nampak.
Sekeliling tempat itu berubah begitu hening, menyeramkan dan menggidikkan. Hawa napsu membunuh Bong Thian-gak semakin berkobar, namun empat penjuru tidak nampak seorang pun, bagaimana mungkin dia dapat melanjutkan pembantaiannya.
"Siau Cu-beng, mengapa kau tidak menampakkan diri? Kau sudah ketakutan? Siau Cu-beng, ayo cepat menampakkan diri untuk menerima kematian!" Bong Thian-gak berteriak, sudah barang tentu Siau Cu-beng dapat mendengar suara teriakan itu dengan jelas.
Akan tetapi keperkasaan Bong Thian-gak sudah menggetarkan hatinya, dia sadar pasti dirinya bukan tandingan lawan.
Markas besar Put-gwa-cin-kau yang menyeramkan dengan penjagaan yang begitu ketat, dalam waktu singkat berubah menjadi kuburan yang sepi, suasana amat menyeramkan, bagaikan kota mati ditinggal penghuninya.
Untuk beberapa saat Bong Thian-gak hanya berdiri kaku di tempat, dia tak tahu apa yang mesti dilakukannya sekarang?
Mendadak suara jeritan perempuan yang melolong seperti jeritan kuntilanak terdengar bergema dari loteng di depan sana.
Jeritan itu seperti suara jeritan seseorang yang merasakan penderitaan batin yang luar biasa.
Bong Thian-gak berkerut kening, tubuhnya secepat kilat bergerak menuju ke arah bangunan loteng itu.
Sementara itu teriakan dan lengkingan perempuan itu sekali lagi bergema di angkasa.
Suaranya begitu mengerikan, membuat bulu kuduk orang berdiri dan darah serasa mendidih.
Setelah itu terdengar pula seorang dengan suara terputus- putus berteriak, "Lebih baik kalian bunuh aku, kumohon ... kumohon kepada kalian ... janganlah menyiksa aku dengan cara begini."
Setelah itu kembali bergema teriakan seperti suara lolongan serigala di tengah malam buta.
Bong Thian-gak sudah terpancing tiba di bawah loteng itu, tibatiba satu ingatan terlintas di benaknya, tanpa sadar pikirnya, "Jangan-jangan mereka sengaja memasang sebuah perangkap di tempat ini."
Karena ingatan itu, dia segera membatalkan niatnya untuk melompat naik ke atas loteng itu.
Tapi ingatan lain terlintas dalam benaknya, "Betul, jelas perangkap jahat untuk memancingku masuk jebakan ... tapi perempuan itupun sudah jelas seorang korban mereka ... padahal tempat ini sangat berbahaya, aku wajib menyelamatkan jiwanya."
Berpikir sampai di situ, Bong Thian-gak segera melompat naik ke atas loteng itu, menghantam daun jendelanya sehingga terpentang lebar.
Di balik daun jendela merupakan sebuah ruangan yang sangat lebar, terlihat seorang perempuan dalam keadaan bugil terikat kencang pada tonggak kayu di tengah ruangan.
Sedangkan di lantai terlihat ada beberapa ekor ular beracun sedang meliuk-liuk sambil menjulurkan lidahnya yang berwarna merah, dua di antaranya merayap mendekati nona bugil itu.
Perasaan kaget, ngeri dan ketakutan menyelimuti wajah gadis bugil tadi, membuatnya sekali lagi menjerit.
Tatkala perempuan bugil itu melihat Bong Thian-gak muncul di situ, sorot matanya memancarkan sinar permohonan.
"Bedebah!" umpat Bong Thian-gak amat gusar. Tanpa memikirkan bagaimana akibatnya, pemuda itu segera melejit ke tengah udara dan langsung meluncur ke arah tonggak kayu dimana perempuan bugil itu terikat.
Pedangnya segera digetarkan, dan "Crit", persis menusuk di atas tonggak kayu itu.
Dengan tangan kiri menggenggam pedang, Bong Thian-gak menggantungkan diri di atas pedangnya, sementara ujung baju kanannya dikebaskan ke muka.
Akibat babatan ujung bajunya itu, dua ekor ular yang sedang merambat mendekati tonggak kayu itu segera terhajar hingga terputus menjadi beberapa bagian.
Pada saat itulah perempuan bugil yang terikat di atas tonggak kayu beraksi, tubuhnya bagaikan ular menggeliat, lalu
... "Plak", Bong Thian-gak terhajar telak oleh serangannya.
Mimpi pun Bong Thian-gak tak bisa membayangkan dengan cara apakah perempuan bugil itu melepaskan diri dari belenggu tali itu.
Dia pun tidak tahu genggaman perempuan bugil itu mencekal seekor ular kecil yang berwarna hijau kehitam- hitaman.
Tahu-tahu Bong Thian-gak merasa punggungnya sakit sekali, dia tidak menyadari bahwa jiwanya sekarang sudah berada di tepi kematian.
Kaki kanan Bong Thian-gak masih mengait di atas tonggak kayu, kemudian ia membopong perempuan bugil tadi dan membaringkannya di atas lantai.
Ia membaringkan perempuan itu di atas lantai yang bebas dari ancaman ular, kemudian telapak tangan kanannya dikebaskan, gulungan angin pukulan segera menyambar, ular- ular beracun yang berada di lantai pun seekor demi seekor tersambar hingga mati semua. Sementara itu suara tawa cekikikan yang amat jalang dan cabul mulai berkumandang dari mulut perempuan bugil itu.
Sambil mengerut dahi Bong Thian-gak segera berpaling.
Entah sejak kapan perempuan bugil itu sudah mengenakan selembar kutang untuk menutupi payudaranya yang montok, di bawah perutnya juga sudah dilingkari gaun pendek untuk menutupi bagian rahasianya, raut wajahnya yang semula menderita dan ketakutan kini sudah kembali seperti keadaan pada umumnya.
Terutama sekali seekor ular kecil berwarna hijau kehitam- hitaman yang tergenggam pada tangan kanannya membuat Bong Thian-gak seperti terbangun dari impian, ia segera sadar dirinya sudah tertipu.
"Si... siapakah kau?" tegurnya kemudian.
Dengan suara yang amat tenang perempuan bugil itu menjawab, "Su-kaucu Put-gwa-cin-kau, Hek-coa-li-liong (gadis cantik ular hitam)!"
Tak terlukiskan rasa terkejut Bong Thian-gak setelah mendengar pengakuan itu, dia lantas teringat rasa sakit yang pernah dialaminya pada saat menolong perempuan itu tadi.
Paras mukanya segera berubah hebat, hardiknya penuh gusar, "Kurangajar! Cari mampus rupanya kau?"
Telapak tangan kirinya segera diayunkan ke muka melancarkan sebuah bacokan maut.
Hek-coa-li-liong sama sekali tidak berkelit, telapak tangan Bong Thian-gak persis menghantam di atas perut perempuan itu.
Dengan tenaga dalam yang dimiliki Bong Thian-gak, serangannya itu cukup baginya untuk menghancurkan batu gunung, tapi Hek-coa-li-liong malah tertawa terkekeh-kekeh seperti orang gila. "Apa kau mampu membunuhku? Setiap orang yang terpagut ular kecil berwarna hijau kehitam-hitamanku ini, dalam setengah menit racunnya akan mulai bekerja dan seluruh kekuatan yang dimiliki akan punah, kau tak akan memiliki kekuatan untuk membunuh orang lain."
Betul, saat ini Bong Thian-gak memang merasa kekuatannya punah, bagaikan seseorang yang ilmu silatnya dipunahkan orang lain.
Dalam ingatan Bong Thian-gak, Su-kaucu Put-gwa-cin-kau ini, Hek-coa-li-liong, adalah seorang yang teramat asing baginya. Itulah sebabnya ia terluka oleh serangannya, Bong Thian-gak menghela napas panjang, kemudian katanya, "Sungguh tak kusangka, aku Bong Thian-gak telah melakukan kesalahan besar gara-gara terdorong oleh perasaan, ai, sekarang aku sudah terjatuh ke tanganmu, mau bunuh, cincang, terserah kehendakmu!"
Dalam pada itu Hek-coa-li-liong telah selesai membereskan rambutnya yang kusut, sekarang dapat dilihat dengan jelas bagaimana kulit tubuhnya begitu putih bersih, mukanya bulat telur dan berparas cantik jelita bak bidadari dari kahyangan, usianya di antara dua puluh empat tahun.
Sambil tertawa cekikikan Hek-coa-li-liong berkata kembali, "Kau mempunyai perasaan kasihan? Hm! Dua ratus orang anggota Put-gwa-cin-kau telah kau bantai secara kejam.
Kaulah manusia dalam persilatan saat ini yang membunuh orang paling banyak. Gembong iblis pembunuh manusia macam dirimu, mana mungkin mempunyai perasaan kasihan? Huh, kau tak usah membual lagi di hadapanku."
Disemprot dengan kata-kata yang begitu pedas, tanpa terasa Bong Thian-gak menundukkan kepala, ucapnya kemudian, "Kalau ingin turun tangan, ayolah lakukan secepatnya!"
Hek-coa-li-liong tersenyum. "Membunuhmu? Tidak akan kulakukan semudah itu." "Kalau tidak, perbuatan apa yang hendak kau lakukan
terhadap diriku?" tegur Bong Thian-gak mulai naik pitam.
"Sekarang kau telah kehilangan ilmu silatmu, bagaimana pun juga kau tidak bakal bisa kabur dari sini, oleh sebab itu aku hendak mencari akal lain untuk menghadapi dirimu."
Sepanjang pembicaraan, secara diam-diam Bong Thian-gak telah mencoba mengerahkan hawa murninya, tapi urat nadi serta jalan darahnya seakan-akan tersumbat oleh suatu kekuatan besar sehingga tak setitik tenaga pun yang mampu disalurkan.
Dengan menghela napas sedih pelan-pelan Bong Thian-gak bertanya, "Apa nama ular itu? Sungguh tak nyana begitu hebat."
Hek-coa-li-liong tertawa bangga, sahutnya, "Ular ini bukan ular sungguhan, yang benar adalah sejenis senjata tajam."
Bong Thian-gak mengalihkan sorot matanya ke ular kecil warna hijau kehitaman yang berada di tangan kanannya.
Ternyata memang sama sekali tak bergerak, kenyataan memang bukan ular sungguhan, melainkan senjata yang berbentuk ular.
Bong Thian-gak berseru tertahan, kemudian tanyanya, "Apa nama senjata itu?"
"Hek-Jik-leng-coa (ular sakti hijau kehitam-hitaman)." "Apakah kau telah menyembunyikan racun keji di balik
lidah ular itu?" tanya Bong Thian-gak lagi sambil menghela
napas.
"Betul, punggungmu tertusuk oleh lidah ular itu, bukan oleh pagutannya." "Apakah kau sudah mendapatkan cara terbaik untuk menghukum diriku?"
"Belum!" kembali Hek-coa-li-liong menggeleng kepala. "Walau aku sudah menjadi manusia tak berilmu silat, tetapi
aku tak dapat berdiam kelewat lama di sini menunggu hukuman."
"Meski ilmu silatmu telah punah, namun kau masih dapat menyelamatkan nyawamu selama tinggal di tempat ini.
Andaikata kau meninggalkan loteng ini, niscaya Siau Cu-beng akan membunuhmu."
Bong Thian-gak tertegun mendengar kata-katanya itu, "Apakah selama aku tetap mengendon di tempat ini, kau dan Siau Cu-beng tak akan merenggut nyawaku?"
Hek-coa-li-liong tertawa dingin, "Selamanya Siau Cu-beng tak akan berani mencampuri urusanku, yang paling menakutkan apabila aku hendak merenggut jiwamu."
Bong Thian-gak menghela napas panjang.
"Ai, mati bukan sesuatu yang menakutkan, aku hanya merasa bahwa kematianku terlalu tak berharga."
"Mengapa tak berharga?" tanya Hek-coa-li-liong. "Orang-orang Put-gwa-cin-kau kejam dan tidak
berperasaan. Tatkala mendengar jeritanmu tadi, aku mengira orang Put-gwa-cin-kau sedang menyiksa orang dengan sangat keji. Itulah sebabnya aku terburu-buru datang kemari. Ai, sungguh tak kusangka kau pun termasuk satu di antara gembong Put-gwa-cin-kau."
Hek-coa-li-liong tertawa dingin, tiba-tiba bentaknya, "Siau Cu-beng, jika kau berani melangkah masuk ke dalam lotengku ini, segera akan kusuruh kau mati tergigit ular beracun."
Ketika mendengar perkataan itu, Bong Thian-gak segera berpaling dan menengok sekejap keluar jendela, tampak olehnya suasana di bawah loteng terang-benderang bermandikan cahaya. Siau Cu-beng beserta sekelompok pengawal berbaju kuning telah mengepung loteng itu.
Siau Cu-beng masih mengenakan kain berkerudung, tampak dia mendongakkan kepala dan berkata lantang, "Sebelum memperoleh izin dari Su-kaucu, tentu saja Cu-beng tidak berani bertindak sembarangan memasuki kamar tidurmu."
Ketika itu tenaga dalam Bong Thian-gak telah punah, dia sangat kecewa dan putus asa, maka sambil berdiri di sisi arena ia memutar otak mencari akal, pikirnya, "Biar waktu tertunda, coba kulihat apakah tenaga dalamku masih ada kemungkinan pulih atau tidak?"
Sementara itu Hek-coa-li-liong telah mendengus dingin sambil berkata, "Kalau memang begitu, mengapa kau bawa orang-orangmu mengepung loteng ini?"
Siau Cu-beng tertawa ringan.
"Aku kuatir Su-kaucu tidak bisa menaklukkan Jian-ciat- suseng."
"Hm, sekalipun tak mampu melakukannya, aku juga tak akan memberi kesempatan kepadamu untuk menaklukkan orang itu," jengek Hek-coa-li-liong dengan ketus.
"Su-kaucu," mendadak Siau Cu-beng berkata dengan suara dalam, "Malam ini, aku orang she Siau bersedia memberi kesempatan kepadamu untuk menebus dosa-dosamu yang lalu, kuharap kesempatan yang sangat bagus ini jangan kau sia-siakan begitu saja."
"Apa yang mesti kulakukan?" tanya Hek-coa-li-liong sambil tertawa dingin.
"Jika Su-kaucu berhasil menaklukkannya, harap kau serahkan orang itu kepadaku untuk dijatuhi hukuman." Sekali lagi Hek-coa-li-liong tertawa dingin.
"Satu kali tergigit ular berbisa, sepuluh tahun takut tali tambang. Aku tak bakal menyerahkan jasa besar ini kepadamu begitu saja."
"Su-kaucu!" kembali Siau Cu-beng berkata dengan suara dingin, "Bila kau melakukan kesalahan lagi, perkumpulan akan menggunakan peraturan yang paling ketat dan berat untuk menghukum serta menyiksa dirimu."
"Kau tak usah kuatir," Hek-coa-li-liong tertawa menjengek. "Aku masih mampu mengawasinya hingga Cong-kaucu pulang."
"Kalau begitu Su-kaucu tidak bersedia menyerahkan orang itu kepadaku?"
"Kau licik dan munafik, yang kau pikirkan hanya kepentingan sendiri, aku sudah cukup banyak menerima pelajaran pahit darimu."
"Apakah Su-kaucu tak kuatir aku bakal menurunkan perintah menyerang lotengmu," kata Siau Cu-beng lagi sambil tertawa dingin dengan suara menyeramkan.
"Di dalam loteng ini terpelihara beribu-ribu ular beracun, bila kau memang tidak kuatir dipagut ularku, silakan saja untuk mencoba."
"Ular paling takut dengan api," jengek Siau Cu-beng sambil tertawa dingin. "Aku masih bisa melepaskan api membakar loteng ini."
Hati Hek-coa-li-liong bergetar keras, ujarnya kemudian, "Ular-ular beracun peliharaanku telah mendapat latihan khusus. Asal kubunyikan serulingku, maka beribu-ribu ular beracun itu akan menyerbu keluar. Aku tak percaya kau masih mampu mempertahankan hidup." "Su-kaucu," teriak Siau Cu-beng semakin marah, "tindakanmu sungguh mengkhianati peraturan yang telah ditetapkan perkumpulan."
"Yang telah melanggar peraturan bukanlah aku, melainkan kau sendiri," jengek Hek-coa-li-liong sambil tertawa dingin. "Sewaktu aku ditahan di dalam loteng ini, siapa pun tidak dibiarkan mengusik atau mengganggu ketenanganku. Apakah komandan Siau telah lupa?"
"Tapi kenyataan sekarang Su-kaucu berniat melindungi buronan penting, aku mempunyai hak penuh untuk menjatuhkan hukuman yang setimpal kepadamu."
Hek-coa-li-liong tertawa dingin, "Siau Cu-beng, kau tidak usah banyak cerita lagi. Dendam sakit hati di antara kita sudah seperti air dan api, tidak mungkin bagi kita untuk hidup bersama, apa pun yang hendak kau lakukan terhadap diriku, boleh kau laksanakan sekarang juga!"
Siau Cu-beng mendengus dingin.
"Hm, kau tidak bersedia bekerja sama denganku. Berarti kau sendiri yang mencari jalan kematian."
Sepanjang pembicaraan, Bong Thian-gak hanya mendengarkan dengan hati dingin dan perasaan tenang. Ketika pembicaraan telah usai, dia baru menghela napas seraya berkata, "Siau Cu-beng adalah seorang licik yang berhati keji serta buas. Kekejaman dan kebrutalannya boleh dibilang sudah mencapai titik puncak yang paling tinggi, bisa jadi kau akan musnah di tangannya."
Hek-coa-li-liong memandang sekejap ke arah Bong Thian- gak, kemudian katanya dingin, "Apakah kau berniat mempengaruhi aku agar berkhianat?"
"Ai, mungkin dengan begitu keselamatan jiwa kita berdua baru bisa dipertahankan," jawab Bong Thian-gak sambil menghela napas. Hek-coa-li-liong tertawa dingin. "Terus terang saja kuberitahu suatu hal kepadamu, sejak aku disekap dalam loteng ini, menelan semacam obat racun yang berdaya kerja lambat, suatu ketika jika aku berani melarikan diri dari tempat ini dan dalam satu bulan tidak menelan obat penawar racunnya, maka daya kerja racun itu akan mulai beraksi, akhirnya aku bakal mampus dengan darah keluar dari ketujuh lubang indra. Itulah sebabnya aku tak berani berkhianat ataupun melarikan diri."
Bong Thian-gak terkejut mendengar keterangan itu, sekarang ia tahu cara bagaimana Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau mengendalikan jago-jago lihainya dan bagaimana pula cara menguasai kawanan Enghiong.
Tapi justru dari perkataan itu Bong Thian-gak pun mendapat tahu bahwa dari dasar hati gadis itu sesungguhnya sudah mempunyai niat untuk berkhianat terhadap Put-gwa- cin-kau.
Satu ingatan dengan cepat melintas dalam benak Bong Thian-gak, tanyanya kemudian, "Su-kaucu, apakah kau tahu obat racun macam apakah yang telah kau makan?"
"Tidak!" Hek-coa-li-liong menggeleng kepala berulang-kali. "Masih berapa lama lagi Su-kaucu mesti menelan obat
penawar berikutnya?" kembali pemuda itu bertanya.
"Empat hari. Selewat empat hari, bila obat penawar racun belum juga diserahkan kepadaku, akibatnya aku akan tewas dengan keadaan mengenaskan."
"Ai, dalam tiga tahun belakangan ini, boleh dibilang setiap waktu aku selalu kuatir bila mereka tak menyerahkan obat penawar racun kepadaku, menghadapi ancaman maut itu sungguh penderitaan batin yang betul-betul amat berat."
Menyusul gadis itu bergumam, hanya saja Bong Thian-gak tidak menangkap jelas, karena saat itu dia sedang memperhitungkan suatu masalah penting. Tiba-tiba terdengar Bong Thian-gak bergumam, "Ai, masih ada waktu. Dalam empat hari sudah pasti akan tiba di kota Lok-yang."
"Apakah yang kau pikirkan?" tanya Hek-coa-li-liong sambil melirik sekejap ke arahnya.
Dengan wajah berseri Bong Thian-gak berkata, "Bila Su- kaucu bertekad hendak meninggalkan cengkeraman maut Put- gwa-cin-kau. Aku pun bersedia mengusahakan pengobatan racun yang mengeram dalam tubuhmu."
"Aku tidak percaya kau memiliki kemampuan semacam itu," kata Hek-coa-li-liong itu.
"Di dunia persilatan dewasa ini, terdapat seorang tabib sakti dan kenamaan yang mampu menawarkan racun yang mengeram dalam tubuhmu sekarang."
"Obat racun yang bersifat lambat yang kutelan adalah bikinan si tabib sakti Gi Jian-cau, kecuali Gi Jian-cau sendiri, aku rasa tiada orang lain di kolong langit dewasa ini yang mampu menawarkan racun jahat itu."
Bong Thian-gak semakin girang.
"Justru orang yang kumaksud tadi tak lain adalah Gi Jian- cau, aku memang berniat mengajakmu mencarinya."
"Kau tidak usah ngaco-belo tak keruan”Hek-coa-li-liong berkata dingin. "Obat-obatan yang berada dalam kekuasaan Cong-kaucu boleh dibilang semuanya berasal dari Gi Jian-cau, mana mungkin dia mau mengobati orang yang telah menelan racun bikinannya sendiri."
Bong Thian-gak segera tersenyum.
"Memang, apa yang kau ucapkan betul sekali, tapi aku pun berani menjamin Gi Jian-cau pasti akan bersedia mengobati racun jahat yang mengeram di dalam tubuhmu." "Apa hubunganmu dengan Gi Jian-cau?" tanya Hek-coa-li- liong.
"Dia adalah salah satu pelindung perguruan kami." "Lantas siapakah kau?"
"Aku adalah ketua Hiat-kiam-bun ... Jian-ciat-suseng Bong Thian-gak."
Agaknya Hek-coa-li-liong menaruh pandangan yang teramat asing terhadap segala perubahan dan tokoh dalam Bu-lim.
Sambil tertawa ia menggeleng kepala, kemudian ujarnya, "Aku sudah disekap hampir tiga tahun lamanya di loteng ini. Karenanya aku sama sekali tidak jelas tentang segala masalah dan kejadian yang berlangsung di Bu-lim selama ini, walaupun begitu aku cukup mengenal nama Hiat-kiam-bun."
Kemudian sambil menarik muka, ia berkata lebih lanjut dengan suara dingin, "Andai kata Hiat-kiam-bun benar-benar sudah muncul, maka ketua terpilihnya selain Ko Hong dan Keng-tim Suthay, mengapa bisa terjatuh ke tangan Jian-ciat- suseng?"
Diam-diam Bong Thian-gak merasa girang mendengar ucapan itu, cepat ia bertanya, "Su-kaucu, darimana kau bisa tahu nama Ko Hong dan Keng-tim Suthay?"
Hek-coa-li-liong memandang sekejap ke arahnya, lalu jawabnya, "tentang orang yang bernama Ko Hong, aku memang tidak kenal, tapi aku kenal Keng-tim Suthay."
Tiba-tiba Bong Thian-gak teringat suatu masalah, dia segera bedanya, "Bagaimanakah hubungan pribadi Su-kaucu dengan Jit-kaucu Thay kun?"
Paras Hek-coa-li-liong segera berubah hebat ia balik bertanya, "Darimana kau bisa tahu nama Jit-kaucu?"
Bong Thian-gak menghela napas panjang. "Su-kaucu bisa tahu tentang Hiat-kiam-bun karena Jit- kaucu Thay-kun yang memberitahukan hal itu kepadamu, bisa juga Thay-kun berniat menarik kau agar bergabung dengan Hiat-kiam-bun."
"Ai, bicara yang sebenarnya, Ko Hong yang muncul tiga tahun berselang tak lain adalah aku sendiri. Ko Hong adalah nama samaranku, bila Su-kaucu bersedia memenuhi permohonan tadi, harap kau segera turun tangan!"
Hek-coa-li-liong termenung dan berpikir beberapa saat, kemudian baru berkata, "Sungguhkah perkataanmu itu?"
"Bila aku berani berbohong sedikit saja, biar Thian mengutuk diriku serta memberi kematian yang paling tragis kepadaku."
Wajah Hek-coa-li-liong baru nampak berseri setelah mendengar kata-kata terakhir tadi, katanya, "Harap kau duduk bersila di atas tanah, segera aku berikan obat penawar racun itu untukmu."
Selesai berkata, dengan cepat Hek-coa-li-liong masuk ke ruang dalam, sekejap kemudian dia telah muncul kembali.
Pada waktu itu dia sudah mengenakan mantel yang berbuat dari kulit ular, tangan kiri membawa seruling pendek, sementara tangan kanannya membawa pisau belati.
Dia mengambil seekor bangkai ular dari antara tumpukan bangkai ular yang berserakan, kemudian pisau belatinya merobek perut bangkai tadi dengan lincah dan cekatan, tahu- tahu ia sudah mencongkel empedu ular berwarna hijau kehitam-hitaman.
Ujarnya pula, "Ayo, cepat kau telan empedu ular ini, dalam setengah jam tenaga dalammu lambat-laun akan pulih seperti sedia kala." Belum selesai ia berkata, bayangan orang berkelebat dari luar jendela, kemudian seorang berbaju hitam berkerudung telah menerjang masuk ke dalam ruangan.
Hek-coa-li-liong segera membentak nyaring, "Siau Cu-beng, kau berani melangkah masuk ke daerah terlarang?"
Di tengah bentakan itu, Hek-coa-li-liong berkelebat menghadang di depan Bong Thian-gak, lalu jari tangannya menyentil ke depan dan melemparkan empedu ular itu ke dalam mulut Bong Thian-gak.
Pada saat bersamaan pula, pisau belati di tangan kanannya menusuk Siau Cu-beng.
Dengan cekatan Siau Cu-beng menggeser langkah menghindarkan diri dari ancaman itu, lalu umpatnya dengan suara dingin, "Perempuan rendah, kau benar-benar telah berkhianat rupanya."
Dengan gerakan cepat tangan kanannya melolos sebilah pedang panjang.
Setelah melepaskan sebuah serangan dengan pisau belatinya tadi, Hek-coa-li-liong telah mengundurkan diri ke muka Bong Thian-gak. Ketika mendengar ucapan itu, segera sahutnya dingin. "Soal berkhianat sudah kurencanakan sejak dulu, cuma belum ada kesempatan untuk mewujudkannya."
Siau Cu-beng tertawa dingin.
"Berarti kau mencari masalah. Kalau begitu, jangan salahkan lagi bila aku berhati keji dan buas terhadap dirimu!"
Siau Cu-beng mendesak maju, pedangnya berkelebat berulang kali dengan gerakan aneh, beruntun ia melancarkan tiga buah serangan.
Jurus pedang yang dipergunakan Siau Cu-beng kelihatan aneh dan ganas, Hek-coa-li-liong harus memainkan pisau belatinya dengan lihainya untuk mematahkan jurus serangan itu.
Sewaktu serangan berhasil diatasi, ia pun sudah terdesak hingga mundur ke hadapan Bong Thian-gak.
Sambil tertawa dingin Siau Cu-beng menjengek, "Bila kau bersedia membuang pisaumu dan menyerahkan diri, masih ada kemungkinan bagimu untuk mempertahankan nyawamu itu."
Selesai berkata, sebuah serangan gencar kembali dilancarkan ke depan.
"Aku lebih suka mati daripada hidup tersiksa dan menderita," bentak Hek-coa-li-liong.
Serangan pedang yang amat dahsyat dan hebat, nyaris memaksa Hek-coa-li-liong kehilangan pisau belatinya, hampir saja mencelat dari genggaman.
"Aku tahu," jengek Siau Cu-beng, "Kepandaianmu yang terhebat adalah mengendalikan kawanan ular dengan irama seruling, sedang dalam ilmu silat, kau tidak akan mampu bertahan sepuluh jurus serangan pedangku."
Jurus pedang Siau Cu-beng berubah terus tiada hentinya, sebentar menotok sebentar membacok, secara beruntun dia melancarkan tiga buah serangan lagi.
Tiba-tiba terdengar suara jeritan kaget berkumandang.
Ternyata lengan kiri Hek-coa-li-liong telah tersambar oleh pedang lawan sehingga muncul sebuah luka memanjang yang cukup dalam.
Pada saat itu pula pedang panjang di tangan kiri Siau Cu- beng sekali lagi melancarkan serangan.
Pisau belati yang tergenggam di tangan kanan Hek-coa-li- liong segera tersontek oleh pedang lawan hingga mencelat ke tengah udara. Pedang Siau Cu-beng kembali melakukan gerakan menyambar, ujung pedang yang tajam menempel tenggorokan Hek-coa-li-liong yang merupakan bagian mematikan di tubuh manusia.
Sambil tertawa dingin, dengan penuh kebanggaan Siau Cu- beng berkata, "Sekarang, apa lagi yang bisa kau katakan?"
Paras muka Hek-coa-li-liong masih tampak begitu tenang dan kalem, seolah-olah tak pernah terjadi sesuatu, katanya kemudian, "Siau Cu-beng, kau sudah kehilangan kesempatan terbaik untuk membunuh aku."
Entah sejak kapan Hek-coa-li-liong telah menggenggam seekor ular kecil berwarna hijau kehitam-hitaman di tangan kanannya.
"Apa maksudmu?" tanya Siau Cu-beng agak seram bercampur ketakutan.
"Coba kau lihat dulu, ular kecil yang berada dalam genggamanku sekarang adalah benda apa?"
"Ular sakti hijau hitam!"
"Tahukah kau, benda apa saja yang tersimpan di dalam lambung kecil ini?"
"Tiga belas batang jarum beracun." Hek-coa-li-liong tertawa bangga.
"Selama ular sakti hijau hitam berada di genggamanku, tujuh langkah bisa melukai orang dan tak seorang pun yang mampu untuk menghindarkan diri. Andaikata pedangmu langsung kau tusukkan ke dalam tubuhku, maka aku tak akan mempunyai kesempatan yang baik untuk mengeluarkan ular sakti hijau hitam itu."
"Tapi sekarang ... biarpun kau masih bisa menusuk mati diriku dengan pedangmu, namun aku pun dapat menyemburkan jarum-jarum beracun yang tersimpan di dalam lambung ular sakti hijau hitam ini, karenanya saat ini kita hanya bisa saling mempertahankan diri belaka."
Siau Cu-beng tertawa dingin, tiba-tiba tanyanya, "Bagaimana dengan keadaan Jian-ciat-suseng saat ini?"
Hek-coa-li-liong sama sekali tidak berpaling, hanya jawabnya dingin, "Kau tidak perlu menggunakan akal muslihat busuk dan licik untuk menipuku, aku tak bakal terkena siasatmu itu."
"Jika kita harus saling bertahan pada keadaan seperti ini, pada «khirnya kau akan mampus juga di ujung pedangku," seru Siau Cu-beng kemudian sambil tertawa dingin.
Hek-coa-li-liong segera tertawa.
"Jika aku mati, kau pun jangan harap bisa meninggalkan tempat ini dalam keadaan selamat."
"Kalau memang begitu, lihat saja bagaimana akhirnya nanti!"
Mendadak Siau Cu-beng menggeser tubuh ke arah sisi kiri. Bersamaan pedang di tangan kirinya yang terkulai menghadap ke lantai mencungkil ke atas secepat kilat.
Hek-coa-li-liong mendengus penuh amarah, sambil membentak kelima jari tangan kanannya segera menekan tombol rahasia yang berada di lambung ular sakti hijau hitamnya.
Dalam sekejap Hek-coa-li-liong merasa lengan kanannya menjadi dingin, tahu-tahu cahaya tajam pedang Siau Cu-beng telah menyambar lengan kanannya, percikan darah segar segera memancar kemana-mana.
Hek-coa-li-liong menjerit kesakitan, lengan kanannya sebatas sikut telah terbabat pedang lawan hingga kutung, bersamaan, terdengar bunyi desingan angin tajam bergema. Pedang Siau Cu-beng yang menempel di atas tenggorokan Hek-coa Ii liong tahu-tahu sudah ditarik kembali sambil diputar menciptakan selapis cahaya pedang yang amat tebal untuk melindungi seluruh badannya.
.senjatanya menusuk tubuh Bong Thian-gak dengan kecepatan luar biasa.
Serangan yang dilancarkan itu merupakan serangan terakhir Siau Cu-beng dengan segenap tenaganya. Bukan saja serangannya aneh susah diduga, tenaganya pun ganas luar biasa.
Sebelum serangannya tiba, hawa dingin yang menyayat badan telah menyambar kemana-mana.
Bong Thian-gak berkerut kening menyaksikan ini. Dengan cepat pedang di tangan kirinya digerakkan menyongsong datangnya ancaman.
Suatu jeritan ngeri yang menyayat hati segera berkumandang.
Di antara percikan darah segar yang memancar kemana- mana. "Plak", lengan kiri berikut pedang Siau Cu-beng telah terpapas kutung dan rontok ke tanah.
Sungguh kaget dan tercengang Hek-coa-li-liong menyaksikan itu, dia tak mengira dengan suatu gerakan yang begitu ringan, ternyata Bong Thian-gak dapat mengatasi serangan lawan yang begitu dahsyat, bahkan sekaligus mengutungi lengan kiri Siau Cu-beng.
Dengan sempoyongan Siau Cu-beng mundur dua langkah, namun sebelum ia sempat berdiri tegak, kembali cahaya pedang berkelebat di hadapannya.
Jeritan ngeri yang memilukan sekali lagi berkumandang, kali ini lengan kanan berikut pangkal bahunya kena terbabat kutung. Agaknya Siau Cu-beng sudah merasakan bahwa dia menghadapi jalan buntu yang membahayakan keselamatan jiwanya. Biarpun lengan kiri dan kanannya sudah kutung serta darah segar bercucuran dengan amat derasnya, saking sakitnya hampir saja ia tak sadarkan diri, namun ia masih berusaha menjejakkan kaki sekuat tenaga dan kabur melalui daun jendela.
Siapa tahu bayangan orang segera berkelebat, segulung tenaga pukulan yang sangat dahsyat menghantam tubuhnya membuat dia mendengus tertahan, lalu roboh di atas tanah.
Ternyata Bong Thian-gak dengan pedang terhunus sudah berdiri di hadapannya, cahaya pedang yang berkilauan tajam kini sudah menempel di atas tenggorokannya.
Sambil tertawa dingin Bong Thian-gak segera berseru, "Sebelum ajalmu tiba, ingin kulihat wajahmu, apakah kau pun memperlihatkan rasa takut dan ngeri dalam menghadapi datangnya malaikat elmaut."