Bab 36. Sisa Hidup Yang Murung
Matahari senja telah mulai lenyap dari kaki langit, daun-daun yang berguguran memenuhi seluruh permukaan tanah.
Cia Siau-hong belum pergi, bahkan bergerakpun ia tidak.
Ia tidak mengerti, tidak paham, dia tak tahu dan ia tak percaya, seseorang yang sudah berada pada puncak kemenangannya tiba-tiba telah mengakhiri hidupnya sendiri.
Tapi mau tak mau dia harus percaya juga. Orang itu benar-benar telah mati, jantung orang itu sudah berhenti berdetak, napasnya telah berhenti pula, malah ke empat anggota badannya sudah menjadi dingin dan kaku.
Yang mati seharusnya adalah Cia Siau-hong, bukan dia.
Tetapi sesaat menjelang ajalnya tiba, dalam hati kecil orang itu tiada perasaan ngeri, takut atau mendendam, yang ada hanya ketenangan serta kebahagiaan.
Ia sama sekali tidak gila. Dalam detik seperti itu, ia sudah tiada tandingannya lagi di dunia ini, tentu saja tiada orang yang dapat memaksa dirinya.
Lantas kenapa ia bisa melakukan perbuatan seperti ini? Kenapa? Kenapa ia berbuat begini? Kenapa. ?
Malam sudah larut, larut. larut sekali.
Cia Siau-hong masih berdiri kaku di sana, sama sekali tak berkutik barang sedikitpun juga. Ia masih tidak mengerti, masih tidak paham, masih tidak tahu.....
Di kala orang itu sudah roboh terkapar di atas tanah, kain hitam yang menutupi wajahnya telah tersingkap, Cia Siau-hong telah menyaksikan raut wajahnya.
Orang itu adalah Yan Cap-sa, dialah kakek loyo yang memasak obat baginya, dialah orang yang telah menyelamatkan selembar jiwanya.
Orang itu menyelamatkan jiwanya, karena dialah Cia Siau-hong.
Bila tak bisa bertarung dengan Cia Siau-hong, sampai matipun Yan Cap-sa tak dapat mati dengan mata yang meram.
Cia Siau-hong tidak lupa dengan segala sesuatu yang telah dikatakan Kian Po-sia kepadanya sewaktu berada di rumah penginapan.
......Orang itu pasti akan menyelamatkan dirimu, tapi diapun pasti akan mati pula di ujung pedangmu.
Malam yang kelam, malam yang panjang, akhirnya telah berlalu dengan begitu saja.
Sinar pertama dari cahaya matahari muncul dari ufuk timur menerobosi sela-sela dedaunan pohon hong yang tak utuh dan kebetulan menyinari wajah Cia Siau-hong bagaikan sebilah pedang emas.
Segulung angin berhembus lewat menggoyangkan dedaunan, cahaya matahari menyorot ke jagad dan berdenyut tiada hentinya, seolah-olah getaran aneh dari pedang tadi.
Sorot mata Cia Siau-hong yang letih dan pudar tiba-tiba bersinar kembali, ia menghembuskan napas panjang dan bergumam:
"Aku mengerti, aku mengerti. " Dari belakang tubuhnya tiba-tiba kedengaran pula seseorang menghela napas panjang: "Tapi aku masih tidak habis mengerti!"
Dengan cepat Cia Siau-hong memalingkan kepalanya, maka pada saat itulah dia baru mengetahui kalau ada orang sedang berlutut di belakangnya, menundukkan kepalanya dengan pakaian dan rambut yang basah oleh embun, jelas ia sudah lama sekali berlutut di sana.
Dalam keadaan yang gundah dan murung ternyata ia tidak mengetahui kalau ada orang yang telah datang ke situ, bahkan dia pun tak tahu sedari kapan orang itu berada di sana.
Pelan-pelan orang itu mendongakkan kepalanya, memandang ke arahnya, sepasang mata yang sayu memancarkan cahaya merah darah, ia tampak begitu letih dan sedih hingga sukar dilukiskan dengan kata-kata.
Tiba-tiba Cia Siau-hong menggenggam bahunya keras-keras, kemudian berseru: "Ooooh, kau? Kaupun telah datang?"
"Ya, betul aku, aku telah datang semenjak tadi, tapi selama ini aku selalu merasa tidak habis mengerti!"
Ia berpaling dan memandang sekejap jenazah Yan Cap-sa, lalu dengan sedih berkata: "Seharusnya kau tahu bahwa aku selalu berharap bisa berjumpa lagi dengannya" "Aku tahu, tentu saja aku tahu!"
Belum pernah dia melupakan apa yang pernah dikatakan oleh Thi Kay-seng ini.
.......Ia tidak berteman, tidak bersanak-keluarga, walaupun ia sangat baik kepadaku, mewariskan ilmu pedangnya kepadaku, belum pernah dia mengijinkan kepadaku untuk mendekatinya, diapun tak pernah membiarkan aku tahu darimana dia datang dan kemana dia akan pergi.
.......Karena dia takut dirinya akan menaruh perasaan yang mendalam terhadap seseorang.
.......Karena bila seseorang ingin menjadi seorang Kiam-kek (Pendekar pedang), dia harus tidak berperasaan.
Hanya Cia Siau-hong yang tahu akan hubungan perasaan yang peka di antara mereka berdua, karena dia tahu Yan Cap-sa bukan benar-benar tidak berperasaan.
Dia menghela napas panjang, kemudian berkata lagi:
"Dia tentunya juga sangat ingin berjumpa denganmu, karena meskipun kau bukan muridnya, tapi kaulah satu-satunya orang yang telah mewarisi ilmu pedangnya, dia pasti sangat berharap agar kau dapat menyaksikan jurus pedangnya yang terakhir itu"
"Jurus pedang itulah tersimpan seluruh inti kekuatan dan kepandaian ilmu pedangnya?", Thi Kay- seng bertanya.
"Betul! Itulah jurus ke lima belas dari Toh-mia-cap-sa-kiam, dalam kolong langit dewasa ini, tak akan ada orang yang sanggup menangkis atau menghindari serangan tersebut!"
"Kau juga tak dapat?" "Aku juga tak dapat!"
"Tapi dalam kenyataannya ia tidak mempergunakan jurus serangannya itu untuk membunuhmu!"
"Andaikata serangan itu dilancarkan secara bersungguh-sungguh, tak bisa disangkal lagi aku pasti sudah tewas, sayang pada detik yang terakhir dia tak sanggup melanjutkan tusukannya itu!"
"Kenapa?"
"Sebab dalam hatinya telah kehilangan hawa napsu untuk membunuh "
"Kenapa?", kembali Thi Kay-seng bertanya. "Sebab ia pernah menyelamatkan jiwaku!"
Ia tahu bahwa Thi Kay-seng belum mengerti, maka sambungnya lebih lanjut:
"Jika kau pernah menyelamatkan jiwa seseorang, maka sulitlah bagimu untuk turun tangan membinasakannya, karena kau telah mempunyai jalinan perasaan dengan orang itu"
Tak bisa disangkal lagi perasaan tersebut adalah suatu ungkapan perasaan yang sukar dijelaskan, hanya manusia baru dapat memiliki perasaan seperti itu.
Justru karena umat manusia mempunyai perasaan semacam ini, maka dia baru disebut orang.
"Sekalipun ia tak tega untuk turun tangan membinasakan dirimu, tidak seharusnya dia mengakhiri hidupnya", kata Thi Kay-seng kemudian.
"Sebetulnya akupun tak habis mengerti kenapa dia harius mengakhiri hidupnya sendiri" "Apakah sekarang kau telah paham?"
Pelan-pelan Cia Siau-hong mengangguk, jawabnya dengan sedih:
"Sekarang aku baru mengerti, dia memang harus mati!" Thi Kay-seng lebih-lebih tak habis mengerti lagi.
Cia Siau-hong segera menerangkan lebih jauh:
"Sebab pada saat itu, meskipun dalam hatinya tak ingin membunuhku, tak tega membunuhku, tapi ia tak mampu mengendalikan pedang di tangannya, sebab kekuatan pedang tersebut sesungguhnya tak dapat di tahan oleh siapapun juga, asal dipancarkan keluar, pasti ada seseorang yang akan tewas di ujung pedangnya!"
Setiap orang memang tidak bisa terhindar untuk menjumpai berbagai macam persoalan yang tak dapat dikendalikan olehnya atau tak bisa dipahami olehnya.
Sebab di alam semesta ini sesungguhnya memang terdapat semacam kekuatan misterius yang tak mampu dikendalikan oleh tenaga manusia.
"Aku masih juga tak habis mengerti, kenapa dia ingin melenyapkan diri sendiri?", kata Thi Kay- seng. "Yang hendak dia musnahkan bukanlah dia pribadi, melainkan pedangnya itu"
"Kalau toh pedang tersebut sudah mencapai pada puncaknya dan merupakan ilmu pedang yang tiada tandingannya di dunia ini, kenapa dia harus memusnahkannya?"
"Karena secara tiba-tiba ia menemukan bahwa pengaruh yang dibawa oleh jurus pedang itu hanya kematian dan kemusnahan, dia tak akan membiarkan ilmu pedang semacam itu tetap tinggal di dunia ini, dia tak ingin menjadi orang yang berdosa bagi dunia persilatan"
Tiba-tiba paras mukanya berubah menjadi serius lagi sedih, terusnya:
"Tapi perubahan serta kekuatan yang dipancarkan oleh jurus pedang itu sudah mencapai pada keadaan yang tak bisa dikendalikan lagi olehnya sendiri, seperti seorang yang secara tiba-tiba menjumpai ular peliharaannya ternyata telah berubah menjadi seekor naga beracun, walaupun berada di atas tubuhnya, namun sudah tak mau mendengarkan perintahnya lagi, bahkan dia ingin melepaskan diripun tak sanggup, dia hanya bisa menunggu sampai naga beracun itu menghisap darahnya dan melahap tubuhnya sampai habis"
"Oleh karena itu terpaksa dia harus memusnahkan dirinya sendiri. ?", sambung Thi Kay-seng
kemudian. Dari balik matanya telah memancar pula sorot mata ngeri, seram dan ketakutan. Cia Siau-hong mengangguk dengan pedih.
"Ya, karena tubuhnya dan jiwanya telah melebur menjadi satu dengan naga beracun itu, karena naga beracun tersebut sesungguhnya adalah pikiran serta dirinya pribadi. Oleh sebab itu bila dia ingin melenyapkan naga beracun itu, maka dia harus melenyapkan dahulu dirinya sendiri. "
Kisah tersebut memang merupakan suatu cerita yang memedihkan dan menakutkan, penuh mengandung kengerian yang misterius dan aneh, mengandung pula unsur kejiwaan yang mendalam.
Sekalipun kedengarannya kisah ini agak tak masuk di akal, tapi sesungguhnya merupakan suatu kenyataan, tak akan ada seorang manusiapun yang bisa menentukan letaknya.
Sekarang nyawa jago pedang itu sudah direnggut oleh dirinya sendiri, ilmu pedang yang telah diciptakan dan tiada tandingannya di dunia itu, kini ikut lenyap pula tak berbekas.
Cia Siau-hong memandang sekejap jenazahnya, lalu berkata lagi:
"Tetapi pada detik itulah ilmu pedangnya telah mencapai puncak yang tak akan di alami orang dulu maupun orang yang akan datang, sekalipun harus mati, dia akan mati dengan hati yang lega!"
Thi Kay-seng menatapnya tajam-tajam, kemudian berkata:
"Apakah kau rela bahwa yang mati adalah dirimu sendiri?" "Benar!"
Sorot matanya memancarkan pula rasa sedih dan kesepian yang sukar dilukiskan dengan kata- kata.
"Aku rela yang mati adalah diriku sendiri" Inilah kehidupan manusia. Kehidupan manusia memang penuh dengan pertentangan dan perjuangan, antara memperoleh dengan kehilangan, hakekatnya sukar untuk dibedakan dengan jelas.
Thi Kay-seng melepaskan pakaian panjangnya yang basah oleh embun dan menutupi jenazah Yan Cap-sa.
Dalam hati kecilnya ia bertanya:
"Seandainya orang matipun berperasaan, sekarang apakah ia memang suka dirinya yang hidup dan membiarkan Cia Siau-hong yang mati?"
Ia tak dapat menjawab.
Pelan-pelan ia membuka genggaman tangan Yan Cap-sa, dan menyarungkan kembali pedang itu ke dalam sarung pedang yang bertaburkan tiga belas biji mutiara.
Sekalipun nama pedang telah lenyap tapi pedangnya masih utuh. Bagaimana dengan manusianya?
Sang surya telah muncul di ufuk timur, cahaya yang berwarna ke emas-emasan memancar ke empat penjuru.
Dengan menelusuri jalan setapak yang berlumpur di bawah timpaan cahaya matahari, Ci Siau- hong berjalan kembali ke rumah penginapan tak bernama itu.
Ketika ia menelusuri jalan kecil itu keluar ke hutan kemarin, tak pernah terbayang olehnya bahwa ia masih bisa pulang kembali dalam keadaan hidup.
Thi Kay-seng mengikuti di belakangnya, langkah kakinya juga amat berat dan lambat.
Memandang bayang punggungnya tanpa terasa Thi Kay-seng bertanya kembali kepada diri sendiri:
"Sekarang dia masih tetap Cia Siau-hong, Cia Siau-hong yang tiada tandingannya di dunia ini, kenapa ia tampak seperti telah banyak berubah?"
Isteri pemilik rumah penginapan itu masih belum berubah.
Sepasang matanya yang besar dan tak bercahaya itu masih membawa pula suatu keletihan dan kebimbangan yang sukar untuk dilukiskan dengan kata-kata.
Ia masih duduk termangu-mangu di belakang meja kasir, dengan termangu-mangu memandang jalan raya di luar sana, seakan-akan masih menantikan datangnya sang pangeran yang berkuda putih untuk mengajaknya pergi meninggalkan penghidupan yang serba kaku dan membosankan ini.
Ia tidak menjumpai pangeran berkuda putih, yang dilihat adalah Cia Siau-hong.
Sepasang matanya yang besar tapi tak bersinar itu mendadak memancarkan sinar tertawa yang lembut, serunya:
"Oooohhh...! Kau telah kembali!" Agaknya dia tak menyangka Cia Siau-hong masih dapat kembali lagi, tapi setelah Siau Hong muncul kembali, iapun tidak merasakan hal mana sebagai kejadian di luar dugaan.
Banyak orang di dunia ini mempunyai keadaan yang sama seperti ini, mereka sudah terbiasa menghadapi nasib yang rupanya telah disusun dan diatur bagi mereka.
Cia Siau-hong tertawa kepadanya, seperti sudah lupa dengan perbuatan yang telah ia lakukan kepadanya dua malam berselang.
"Di belakang sana masih ada seseorang sedang menunggumu, ia sudah menunggumu lama sekali", ujar Cing-cing.
"Aku tahu!"
Seharusnya Buyung Ciu-ti masih menantikan kedatangannya, juga anak mereka. "Di mana mereka sekarang?"
"Mari ku ajak kau ke sana!", kata Cing-cing sambil bangkit berdiri dengan kemalas-malasan. Ia masih mengenakan pakaian yang tipis mana lembut lagi itu.
Ketika ia berjalan di depan, setiap bagian tubuhnya dari pinggang ke bawah dapat dilihat oleh Cia Siau-hong dengan jelas.
Setelah berjalan keluar dari ruang depan, mereka menuju ke halaman belakang, tiba-tiba ia memutar badan dan mengawasi Thi Kay-seng dari atas sampai bawah.
Thi Kay-seng ingin berlagak seperti tidak terlalu memperhatikan dirinya, tapi sayang ia berlagak kurang baik.
"Tiada orang yang menunggumu di sini!", kata Cing-cing kemudian. "Aku tahu!"
"Akupun tidak menyuruh kau ikut datang kemari!" "Ya, kau memang tidak mengajak!"
"Lantas, kenapa kau tidak menunggu saja di luar sana?"
Dengan cepat Thi Kay-seng angkat kaki meninggalkan tempat itu, seakan-akan ia tak berani beradu pandang dengan sepasang matanya yang besar dan tak bersinar itu.
Dari balik matanya Cing-cing memancar kembali sinar mata yang penuh dengan senyuman, ditatapnya wajah Cia Siau-hong, lalu ujarnya:
"Dua malam berselang, sebetulnya aku telah bersiap-siap untuk pergi mencarimu!" "Oya?"
Cing-cing membelai pinggangnya dan bagian bawah tubuhnya dengan pelan, kemudian melanjutkan:
"Malah kakiku juga telah ku cuci!" Tentu saja yang dicuci bukan melulu kakinya saja. Tangannya telah menjelaskan segala sesuatunya secara jelas.
"Kenapa kau tidak jadi ke sana?", Cia Siau-hong sengaja bertanya.
"Karena aku tahu uang yang diberikan perempuan itu kepadaku pasti jauh lebih banyak daripada apa yang bakal kau berikan kepadaku, aku dapat melihat bahwa kau bukan seorang laki-laki yang bisa menghamburkan uang dengan royal di tubuh seorang perempuan"
Tangannya menunjukkan gerakan yang lebih menggoda dan menantang, ia melanjutkan: "Tapi asal kau suka kepadaku, malam ini aku masih bisa. "
"Kalau aku tidak suka?", tukas Cia Siau-hong.
"Maka aku akan pergi mencari temanmu itu, aku dapat melihat bahwa dia pasti akan menyukaiku" Cia Siau-hong segera tertawa, tertawa geli setelah mendengar ucapan tersebut.
Paling tidak, perempuan ini masih mempunyai suatu kebaikan, ia tak pernah merahasiakan apa yang sedang dipikirkan dalam hatinya.
Diapun tak pernah mau melepaskan setitik kesempatan baik yang tersedia, karena dia harus hidup terus, harus hidup dalam kondisi yang jauh lebih baik.
Kalau hanya dilihat dari bagian ini, ada banyak orang yang tak dapat dibandingkan dengannya, bahkan dia sendiripun tak mampu untuk menandinginya.
Cing-cing kembali bertanya:
"Perlukah aku pergi mencarinya?" "Ya, kau memang seharusnya pergi!"
Apa yang dia katakan adalah ucapan yang sejujurnya, setiap orang berhak untuk mencari penghidupan yang lebih baik.
Mungkin cara yang dia gunakan salah, tapi hal mana tak lebih karna ia belum pernah mempunyai kesempatan untuk memilih cara yang jauh lebih baik daripada cara tersebut.
Hakekatnya tiada seorangpun yang memberi kesempatan semacam ini kepadanya. "Orang yang menantikan dirimu berada dalam ruangan tersebut!"
Ruangan itu bukan lain adalah ruangan yang dipakai Cia Siau-hong dua malam berselang untuk melepaskan lelahnya.
Cing-cing telah pergi, pergi jauh sekali, tapi mendadak ia berpaling dan menatap Cia Siau-hong lekat-lekat, katanya:
"Dapatkah kau beranggapan bahwa aku adalah seorang perempuan yang tak tahu malu?" "Tidak, tidak mungkin!" Cing-cing tertawa, tertawa sungguh-sungguh, tertawanya bagaikan seorang bayi yang manis polos, suci dan tidak berdosa.
Sedangkan Cia Siau-hong tak dapat tertawa lagi.
Dia tahu di dalam dunia ini masih terdapat banyak sekali perempuan-perempuan pun semacam dia, walaupun hidup di tengah tungku berapi, namun tertawanya masih sepolos dan sesuci bayi.
Karena mereka tak pernah memiliki kesempatan untuk mengetahui bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah suatu perbuatan yang amat memedihkan hati.
Ia hanya merasa gemas kepada orang dunia, mengapa tidak memberi kesempatan yang lebih baik kepada mereka sebelum memvonis dosa serta kesalahan mereka.
Ruangan yang gelap dan lembab, ternyata sudah disoroti sinar matahari sekarang.
Walau bagaimanapun gelapnya suatu tepat, cepat atau lambat akhirnya pasti akan disoroti sinar sang surya.
Seorang laki-laki kurus yang kuyu dan murung sedang duduk bersila di atas sebuah pembaringan yang segera berbunyi gemericit bila badannya bergerak. Sinar matahari tepat menyinari wajahnya.
Cahaya matahari amat menusuk mata, tapi sepasang biji matanya yang kelabu sedikitpun tidak bergerak.
Dia adalah seorang buta.
Seorang perempuan berbaring di atas pembaringan dengan punggung menghadap ke pintu, tampaknya ia sudah tertidur, tertidur pulas sekali.......
Buyung Ciu-ti sama sekali tidak berada dalam ruangan itu, Siau Te juga tiada di sana.
Si buta yang mengenaskan dan patut dikasihani serta si perempuan yang suka tidur itu apakah sengaja berada di sana untuk menunggu kedatangan Cia Siau-hong?
Tapi ia belum pernah bersua dengan mereka.
Ia telah masuk ke dalam, baru akan mengundurkan diri si buta telah memanggilnya.
Sebagaimana orang-orang buta lainnya, sekalipun orang buta ini tak bisa melihat, telinganya amat tajam.
Tiba-tiba ia bertanya:
"Yang datang apakah Sam-sauya dari keluarga Cia?"
Cia Siau-hong terkejut bercampur tercengang, dia tak habis mengerti kenapa si buta itu bisa tahu kalau yang datang adalah dia?
Di atas wajah si buta yang sayu dan murung tiba-tiba terlintas kembali suatu perubahan yang sangat aneh, dia bertanya lagi dengan suatu pertanyaan yang sangat aneh:
"Apakah Sam-sauya sudah tidak kenali diriku lagi?" "Mana mungkin aku bisa kenal dengan kau?", seru Cia Siau-hong keheranan. "Andaikata kau mau perhatikan secara teliti, kau pasti akan mengenali diriku!"
Tak tahan Cia Siau-hong menghentikan langkahnya, lama sekali ia memperhatikan wajahnya dengan teliti, tiba-tiba terasa ada segulung hawa dingin yang menggidikkan hati muncul dari dasar alas kakinya.
Ya, betul! Ia memang kenal dengan orang ini.
Ternyata si buta yang patut dikasihani ini tak lain tak bukan adalah Tiok Yap-cing. Tiok Yap-cing yang mempunyai sepasang mata lebih tajam daripada ular berbisa. Kata Tiok Yap-cing sambil tertawa:
"Aku tahu kau pasti dapat mengenali diriku, kaupun seharusnya bisa menduga mengapa sepasang mataku bisa menjadi buta?"
Senyumnya cukup membuat hati orang bergidik pula.
"Tapi hitung-hitung ia masih boleh dianggap cukup bajik dan mulia, sebab ia masih membiarkan selembar nyawaku bercokol dalam jasadku, bahkan ia telah mencarikan pula seorang bini bagiku!"
Tentu saja Cia Siau-hong mengetahuinya siapa yang disebut sebagai 'dia' itu, tapi ia tak habis mengerti kenapa Buyung Ciu-ti tidak membinasakan dirinya, lebih tak mengerti mengapa ia mencarikan seorang bini pula baginya?
Tiba-tiba Tiok yap-cing menghela napas panjang, kata-katanya lebih jauh:
"Perduli bagaimanapun juga, bini yang dia carikan buatku adalah seorang bini yang ideal, seandainya dia mengharuskan aku untuk memotong pula sepasang telingaku untuk ditukar dengannya, akupun bersedia"
Suara pembicaraannya yang semula sinis dan penuh kekejaman, kini telah berubah menjadi halus dan lembut.
Ia menggoyang-goyangkan tubuh perempuan yang sedang tertidur pulas itu sambil berseru:
"Hayo bangunlah dulu, kita kedatangan seorang tamu, kau harus mengambilkan secawan teh untuk tamu kita!"
Dengan menurut sekali perempuan itu bangun berduduk , turun dari pembaringan dengan kepala tertunduk dan mengambil secawan teh dingin dengan sebuah cawan yang sudah pecah.
Baru saja Cia Siau-hong menerima mangkok teh itu hampir saja mangkuk tersebut terjatuh dari pegangannya.
Mendadak tangannya menjadi dingin, sekujur tubuhnya ikut menjadi dingin jauh lebih dingin daripada ketika mengenali Tiok Yap-cing tadi, akhirnya ia berhasil melihat paras muka perempuan itu.
Ternyata istri Tiok Yap-cing yang sangat penurut ini tak lain adalah si Boneka, si Boneka yang telah dicelakainya sehingga mengenaskan itu. Cia Siau-hong tidak berteriak memanggil namanya, karena si Boneka sedang memohon kepadanya, memohon dengan menggunakan sepasang matanya yang hampir menangis, memohon kepadanya untuk jangan bertanya apapun, berbicara apapun.
Ia tak habis mengerti mengapa si Boneka berbuat demikian? Kenapa rela menjadi istri musuh besarnya?
Tapi akhirnya toh ia menutup mulutnya rapat-rapat dan tidak mengucapkan sepatah katapun, ia selalu merasa tak tega untuk menampik permohonan dari perempuan yang patut dikasihani ini.
Tiba-tiba Tiok yap-cing bertanya lagi:
"Bukankah biniku sangat baik? Bukankah dia cantik sekali?"
"Benar!", jawab Cia Siau-hong. Ia berusaha keras untuk mengendalikan suaranya.
Tiok Yap-cing tertawa kembali, tertawa riang sehingga wajahnya yang kusut seperti bersinar kembali, dengan lembut ia berkata lebih jauh:
"Meskipun aku tak dapat melihat wajahnya, tapi akupun tahu kalau dia tentu cantik sekali, seorang perempuan yang begini berbaik hati tak mungkin mempunyai paras muka yang jelek"
Dia tak tahu kalau perempuan itu adalah si Boneka.
Seandainya dia tahu kalau istrinya yang lemah lembut itu tak lain adalah perempuan yang pernah dicelakainya, entah bagaimanakah perasaannya waktu itu?
Cia Siau-hong tak ingin berpikir lebih lanjut, dengan suara lantang ia bertanya:
"Apakah kau sedang menantikan kedatanganku? Apakah hujin yang menyuruh kau menunggu aku?"
Tiok Yap-cing mengangguk, suaranya berubah menjadi dingin bagaikan salju:
"Dia suruh aku memberitahukan kepadamu bahwa ia telah pergi, entah kau menang atau kalah, hidup atau mati, selanjutnya dia tak ingin bertemu denganmu"
Tentu saja hal tersebut bukan maksud hatinya yang sebenarnya.
Ia suruh dia tetap tinggal di sana, hal mana hanya menyuruh Cia Siau-hong mengetahui bahwa dia telah berubah menjadi manusia macam apa, dan mengawini istri yang bagaimana.
Tiba-tiba Tiok Yap-cing berkata lagi:
"Sebenarnya ia menyuruh Siau Te tetap tinggal pula di sini, tapi Siau Te telah pergi juga, ia bilang dia akan pergi ke bukit Thay-san!"
"Mau apa ke sana?", tak tahan Cia Siau-hong bertanya.
Tiok Yap-cing berpaling dan menjawab secara ringkas tapi tajam: "Pergi melakukan apa yang dia ingin lakukan!" Suaranya kembali berubah menjadi sinis dan penuh dengan sindiran:
"Karena dia tak mempunyai keluarga tak punya orang tua maupun saudara, maka dia harus pergi beradu nasib dan memperjuangkan dunianya sendiri. "
Cia Siau-hong tidak berbicara apa-apa lagi, apa yang seharusnya dibicarakan agaknya telah diucapkan sampai selesai, maka diam-diam ia bangkit berdiri, diam-diam beranjak keluar dari ruangan itu.
Ia percaya si Boneka pasti mengikutinya keluar dari ruangan itu, sebab banyak persoalan yang perlu ia jelaskan kepadanya.
Inilah penjelasan dari si Boneka:
"Buyung Ciu-ti memaksa aku untuk kawin dengannya, waktu itu sebenarnya aku bertekad hendak mati saja"
"Aku bersedia kawin dengannya, karena aku hendak mencari kesempatan untuk membunuhnya membalas dendam bagi keluargaku!"
"Tapi kemudian aku merasa tak sanggup untuk melaksanakan niatku lagi "
"Karena ia sudah bukan Tiok Yap-cing yang pernah mencelakai sekeluargaku lagi, dia tak lebih hanya seorang buta yang patut dikasihani dan tak berguna, bukan saja matanya buta, otot sepasang kakinya juga sudah dibetot putus!"
"Suatu ketika, sebenarnya aku sudah bertekad untuk membinasakan dirinya, tapi ketika aku sedang bersiap-siap untuk turun tangan, tiba-tiba ia tersadar dari impiannya dan memberitahukan kepadaku sambil menangis bahwa dahulu ia sudah banyak melakukan kejahatan"
"Semenjak saat itulah aku sudah tak mampu untuk membencinya lagi"
"Walaupun setiap saat setiap waktu aku selalu memperingatkan diriku kepadanya, tapi hatiku terhadap dirinya sudah tiada rasa benci dan dendam lagi, yang ada tinggal rasa kasihan dan iba!"
"Seringkali dengan air mata bercucuran ia memohon kepadaku agar jangan meninggalkan dirinya, kalau tiada aku seharipun ia tak sanggup untuk hidup lebih lanjut"
"Ia tak tahu kalau saat ini akupun sudah tak dapat meninggalkan dirinya lagi"
"Karena selama aku berada di sisinya, aku baru merasa bahwa diriku adalah seorang perempuan yang sesungguhnya"
"Dia tak tahu akan masa silamku, diapun tak akan memandang hina diriku, lebih tak mungkin meninggalkan aku atau diam-diam minggat di kala aku sedang tidur pula"
"Hanya selama berada di sisinya aku baru merasakan aman dan bahagia, karena aku tahu dia sangat membutuhkan aku"
"Bagi seorang perempuan bila dia tahu kalau ada seorang laki-laki yang benar-benar membutuhkan dirinya, hal ini merupakan suatu kejadian yang paling membahagiakan dirinya" "Mungkin kau tak akan sanggup untuk memahami perasaan semacam ini, tapi entah apapun yang kelak kau katakan, aku tak akan meninggalkan dirinya"
Apalagi yang bisa dikatakan Cia Siau-hong?
Dia hanya bisa mengucapkan tiga patah kata, kecuali ketiga patah kata tersebut, ia benar-benar tak tahu apalagi yang bisa dia katakan.
Katanya:
"Selamat untukmu!"
Rembulan bertengger di atas angkasa.
Di depan sebuah kuburan baru berdiri sebuah nisan yang tertera beberapa huruf besar: "TEMPAT BERSEMAYAM YAN CAP-SA"
Di atas batu nisan yang terbuat dari batu karang hanya tertera lima huruf yang sederhana karena bagaimanapun banyaknya tulisan, semua kepedihan dan keharuan itu, sebab jago pedang yang tiada taranya di dunia ini akan bersemayam untuk selama-lamanya di sana.
Ia pernah mencapai taraf paling top yang belum pernah dicapai orang lain dalam ilmu pedang, tapi seperti juga orang lain, sekarang dia akan terkubur untuk selamanya dalam liang lahat,
Angin musim gugur berhembus dingin, perasaan Cia Siau-hong juga terasa dingin. Thi Kay-seng memperhatikan terus dirinya, tiba-tiba ia bertanya:
"Benarkah kau dapat mati tanpa menyesal?" "Ya, benar!"
"Kau benar-benar percaya kalau naga beracun yang telah dibunuhnya itu tak akan bangkit dan hidup kembali di atas tubuhmu?"
"Pasti tidak!"
"Tapi kau telah mengetahui semua perubahan dalam ilmu pedangnya, kaupun telah melihat jurus pedangnya yang terakhir"
"Andaikata dalam dunia saat ini masih ada orang yang bisa mempergunakan jurus pedang yang sama dengan jurus pedang tersebut, orang itu sudah pasti adalah aku!"
"Ya, pasti kau!"
"Tapi selama hidup aku sudah tak dapat mempergunakan pedang lagi" "Kenapa?"
Cia Siau-hong tidak menjawab, dari balik ujung bajunya ia mengeluarkan sepasang tangannya. Ibu jari dari kedua buah tangannya telah terpapas kutung. Tanpa ibu jari tak bisa menggenggam pedang.
Berbicara buat seorang manusia seperti Cia Siau-hong, lebih baik mati daripada tak bisa memegang pedang.
Paras muka Thi Kay-seng berubah hebat.
Sebaliknya Cia Siau-hong tersenyum, kembali ia berkata:
"Kalau dulu aku tak akan berbuat demikian, sekalipun harus mati, aku juga tak akan berbuat demikian"
Suara tertawanya sama sekali tidak terlalu dipaksakan.
"Tapi sekarang aku sudah mengerti, asal seseorang dapat memperoleh hati yang tenang, maka walau apapun yang harus dikorbankan, hal itu ada harganya pula"
Thi Kay-seng termenung sampai lama sekali, seakan-akan dia sedang berusaha untuk mengunyah perasaan dari kata-kata tersebut.
Kemudian tak tahan ia bertanya lagi:
"Apakah mengorbankan selembar jiwa sendiripun cukup berharga?" "Aku tidak tahu!"
Suaranya masih tetap tenang dan damai:
"Aku hanya tahu, jika hati seseorang tidak tenang, daripada mati, hidupnya pasti akan jauh lebih sengsara dan tersiksa"
Tentu saja dia berhak untuk berkata demikian, sebab ia benar-benar mempunyai pengalaman yang ditempuh dalam penderitaan dan kesengsaraan, entah berapa banyak pengalaman yang mengenaskan harus dilampauinya sebelum ia berhasil melepaskan diri dari belenggu dalam hatinya serta memperoleh kebebasan.
Memandang paras mukanya yang tenang, akhirnya Thi Kay-seng menghembuskan pula napasnya panjang-panjang, dengan wajah berseri ia bertanya:
"Sekarang kau bersiap-siap hendak kemana?"
"Aku sendiripun tak tahu, mungkin aku harus pulang ke rumah untuk menengok keadaan, tapi sebelum pulang ke rumah, mungkin juga aku masih akan berpesiar ke tempat lain dan melihat- lihat keadaan di tempat lain"
Setelah tertawa terusnya:
"Sekarang aku sudah bukan Cia Sam-sauya yang tiada tandingannya lagi di dunia, aku tak lebih hanya seorang manusia biasa, seorang manusia yang tak perlu menyiksa seorang diri sendiri lagi seperti dahulu!"
Seseorang sesungguhnya adalah manusia macam apa? Sebenarnya manusia yang harus berbuat apa? Biasanya semua itu harus diputuskan oleh diri sendiri. Ia kembali bertanya kepada Thi Kay-seng:
"Bagaimana pula dengan kau? Kau hendak pergi ke mana?" Thi Kay-seng termenung sejenak, lalu jawabnya:
"Aku sendiripun tak tahu, mungkin aku harus pulang untuk menengok rumah, tapi sebelum pulang ke rumah, mungkin juga aku akan berpesiar dulu ke tempat lain, dan melihat keadaan di tempat lain"
"Kalau begitu bagus sekali", seru Cia Siau-hong sambil tersenyum.
Waktu itu sinar rembulan yang lembut sedang menyoroti tanah lapang yang terbentang di hadapan mereka.
Tempat itu adalah sebuah kota kecil yang sederhana dan biasa, letaknya berada di jalur penting menuju bukit Thay-san.
Meskipun mereka berkata hendak berpesiar kemana saja, tapi akhirnya toh jalan ini yang mereka tempuh.
Kadangkala hubungan antara manusia dengan manusia memang ibaratnya layang-layang saja, bagaimanapun tingginya layang-layang itu terbang, sampai sejauh manapun ia terbang, tapi mereka masih dihubungkan oleh seutas tali yang kuat.
Cuma saja tali itu seperti juga tali yang mengikat pedang dari dalam sungai, seringkali tak terlihat oleh mata telanjang.
ooooOOOOoooo