Bab 35. Jurus ke Lima Belas
Dari balik dedaunan berwarna merah yang memenuhi bukit, muncul sesosok bayangan manusia berwarna hitam.
Warna hitam melambangkan duka cita, ketidak beruntungan dan kematian, tapi warna hitam melambangkan pula menyendiri, angkuh dan anggun.
Arti dari pada lambang tersebut adalah nama dari seorang pendekar pedang.
Seperti juga kebanyakan jago pedang lainnya, Yan Cap-sa gemar pula mengenakan warna hitam, warna hitam yang dipuja-pujanya.
Ketika masih melakukan perjalanan dalam dunia persilatan tempo hari, belum pernah ia mengenakan pakaian dengan warna yang lain.
Sekarang ia telah mengenakan kembali pakaian semacam ini bahkan wajahnya pun ditutup pula dengan secarik kain berwarna hitam.
Dia tak ingin Cia Siau-hong mengenali dirinya sebagai kakek lemah dan loyo yang memberi pengobatan baginya.
Dia tak ingin membuat Cia Siau-hong merasakan keraguannya di kala melancarkan serangan nanti.
Sebab harapan dan cita-citanya yang terbesar sepanjang kehidupannya adalah berduel melawan Cia Siau-hong, seorang jago pedang yang tiada tandingannya di dunia ini.
Asal cita-cita tersebut dapat tercapai, apa salahnya kalau kalah? Apa salahnya pula seandainya mati?
Sekarang ia percaya kalau Cia Siau-hong tak akan mengetahui kalau jago pedang berbaju hitam yang bertubuh lurus dan tegak bagaikan sebuah tombak itu sebetulnya adalah kakek lemah dan loyo yang melengkung badannya seperti udang.
Tapi Cia Siau-hong pasti dapat mengenali bahwa dia adalah musuhnya yang paling tangguh sepanjang masa kini, Yan Cap-sa!.
Karena pada sarung pedang berwarna hitam yang berada digenggamannya tertera tiga belas biji mutiara yang memancarkan cahaya berkilauan.
Walaupun pedang ini bukan sebilah pedang mestika yang amat tajam, tapi nama besarnya sudah termashur di seluruh kolong langit.
Dalam pandangan umat persilatan, pedang tersebut melambangkan ketidak mujuran serta kematian.
Begitu Cia Siau-hong membalikkan tubuhnya, sinar mata laki-laki ini segera tertarik oleh pedang tersebut, bagaikan jarum yang bertemu dengan besi sembrani.
Tentu saja dia juga tahu kalau pedang itu merupakan lambang dari Yan Cap-sa. Di tangannya juga membawa pedang.
Meskipun ke dua bilah pedang itu sama-sama belum diloloskan dari sarungnya, tapi seolah-olah terdapat hawa pedang yang sedang berputar di udara di sekitar sana.
"Aku kenal kau!", tiba-tiba Yan Cap-sa berkata. "Kau pernah bertemu dengan diriku?"
"Tidak!"
Tiba-tiba sepasang matanya di balik kain cadar hitam itu memancarkan sinar setajam sembilu, terusnya:
"Tapi aku kenal dengan dirimu, kau pasti adalah Cia Siau-hong!" "Karena kau kenal dengan pedang ini?", Cia Siau-hong bertanya.
"Pedang tersebut tiada sesuatu keistimewaan, seandainya senjata itu berada di tangan orang lain, maka benda itu tak lebih hanya sebatang besi biasa"
Setelah berhenti sejenak, pelan-pelan ia melanjutkan:
"Sewaktu aku berjumpa dengan pedangmu tempo hari, ia seakan-akan mengikuti pemiliknya pergi mati, tapi sekarang setelah berada di tanganmu lagi, aku dapat merasakan kembali hawa pembunuhnya!"
Cia Siau-hong tak kuasa menahan gejolak hatinya, akhirnya dia menghela napas panjang. "Aaaiiiii. ! Yan Cap-sa memang tak malu di sebut Yan Cap-sa, tidak kusangka kita akan bersua
juga!"
"Seharusnya kau dapat memikirkannya!" "Oya?"
"Dalam alam jagad hanya ada dua manusia macam kita, cepat atau lambat pada akhirnya suatu ketika kita tentu akan berjumpa juga!"
"Di kala kita telah bersua, apakah salah seorang di antara kita harus tewas di ujung pedang lawan?"
"Ya!", Yan Cap-sa manggut-manggut.
Setelah menggenggam pedangnya erat-erat, dia melanjutkan:
"Yan Cap-sa bisa hidup sampai sekarang tujuannya hanya akan menunggu saat seperti ini, seandainya tak dapat bertarung melawan Cia Siau-hong yang tiada tandingannya di kolong langit, sampai matipun Yan Cap-sa tak akan mati dengan mata meram"
Cia Siau-hong menatap sepasang matanya di balik kain hitam itu lekat-lekat, kemudian katanya:
"Kalau memang demikian, paling tidak kau harus memberi kesempatan kepadaku untuk melihat dulu paras mukamu yang asli!" "Kenapa kau harus melihat paras mukaku? Sedari kapan kau memberikan yang lain menyaksikan pula para mukamu yang sesungguhnya?"
Setelah tertawa dingin, ia melanjutkan:
"Sesungguhnya manusia macam apakah Cia Siau-hong itu? Belum pernah ada orang persilatan yang mengetahuinya"
Cia Siau-hong segera terbungkam dalam seribu bahasa.
Mau tak mau dia harus mengakui atas kebenaran dari perkataan itu, macam apakah paras mukanya yang asli, bahkan dia sendiripun sudah hampir melupakannya.
"Perduli kau adalah manusia macam apa, hal ini tidak penting artinya", kata Yan Cap-sa lagi, "karena aku telah tahu bahwa kau adalah Sam-sauya dari keluarga Cia, Cia Siau-hong!"
"Oleh karena itu. "
"Oleh karena itu asal kau sudah tahu kalau akulah Yan Cap-sa, itu sudah lebih dari cukup!" Sekali lagi Cia Siau-hong menatapnya sampai lama, tiba-tiba ia tertawa seraya berkata: "Padahal asal aku dapat melihat pedangmu, itu sudah lebih dari cukup. "
Ia sudah pernah menyaksikan Toh-mia-cap-sa-kiam.
Terhadap setiap bagian dan setiap perubahan dari rangkaian ilmu pedang itu boleh dibilang hampir semuanya telah dipahami.
Tapi hal mana masih belum cukup untuk mempengaruhi menang kalah mereka dalam pertarungan kali ini.
Sebab di tangan Yan Cap-sa, ilmu pedang tersebut akan jauh lebih berbobot, jauh lebih cepat dan dahsyat daripada jika dimainkan orang lain.
Oleh karena itu dia berharap bisa menyaksikan sendiri permainan jurus Toh-mia-cap-sa-kiam tersebut langsung dari tangan Yan Cap-sa sendiri.
Tapi diapun tahu, jurus pedang yang benar-benar paling penting, tak akan pernah ia saksikan untuk selamanya.
Jurus yang terpenting pasti akan terjadi, di kala menang atau kalah dan mati hidup mereka di tetapkan atau dengan perkataan lain serangan itu pasti merupakan suatu serangan yang mematikan.
Bila dalam Toh-mia-cap-sa-kiam telah terdapat perubahan yang ke lima belas, maka jurus ke lima belas itulah tersimpan serangan yang mematikan. Tentu saja ia tak dapat melihatnya.
Sebab di kala serangan itu digunakan, ia sudah keburu mati lebih dulu.
Asal terdapat perubahan jurus tersebut, tak bisa disangkal lagi, dia pasti akan mampus......
Oleh karena itu, dalam sejarah kehidupannya ia sangat berharap bisa menyaksikan jurus pedang tersebut, sayangnya jurus pedang yang paling diharapkan bisa dilihat itu justru tak mungkin bisa dilihat olehnya sepanjang masa. Apakah hal ini merupakan nasibnya? Alam mempermainkan manusia, kenapa selalu begitu kejam dan tidak berperasaan?
Dia tak ingin berpikir lebih jauh, tiba-tiba ujarnya:
"Sekarang dalam genggaman kita sama-sama membawa pedang, setiap saat kita dapat segera turun tangan"
"Betul!", Yan Cap-sa membenarkan.
"Tapi aku percaya, kau tak akan turun tangan secara gegabah" "Oya. ?"
"Sebab kau akan menunggu, menunggu sampai aku teledor, menunggu sampai kesempatanmu tiba!"
"Apakah kaupun akan menunggu pula?" "Benar!", Cia Siau-hong mengangguk.
Sesudah menghela napas ia melanjutkan:
"Sayangnya kesempatan semacam ini tak mungkin bisa diperoleh dalam waktu yang singkat!" Yan Cap-sa mengakuinya.
Maka Cia Siau-hong berkata lebih jauh:
"Oleh sebab itu, kita tentu akan menunggu dalam waktu yang sangat lama, mungkin saja menunggu sampai kita sama-sama sudah lelah dan kehabisan tenaga, kesempatan baik tersebut baru muncul, aku percaya kita pasti dapat bersabar dan menanti dengan hati yang tenang"
Setelah menghela napas panjang terusnya:
"Tapi kenapa kita harus menirukan lagak orang manusia tolol yang berdiri sambil menunggu?" "Bagaimana menurut pendapatmu?", Yan Cap-sa bertanya.
"Paling tidak kita boleh pergi ke mana-mana untuk berpesiar, pergi ke mana-mana untuk bermain!" Mencorong sinar tajam dari balik matanya, ia melanjutkan:
"Apabila hari ini udara cerah, pemandangan alam sangat indah, sebelum kita mati paling tidak kita harus menikmati dulu kehidupan yang bahagia sebagai seorang manusia"
Maka mereka pun beranjak meninggalkan tempat itu, langkah pertama dari ke dua orang ini hampir di mulai pada saat yang sama.
Siapapun tak ingin memberi keuntungan kepada yang lain, siapapun tak ingin memanfaatkan keuntungan dari orang lain. Sebab dalam pertarungan ini yang diperebutkan bukan mati hidup menang kalah, melainkan suatu pertanggungan jawab terhadap diri sendiri.
Oleh sebab itu mereka tak ingin membohongi lawannya, lebih-lebih tak ingin menipu diri sendiri.
Daun pohon hong makin merah, matahari senja makin cantik dan mempesona hati.
Sebelum kegelapan menyelimuti seluruh jagad langit, selalu menurunkan cahaya yang terang benderang ke alam semesta ini.
Seperti juga seseorang menjelang kematiannya, ia selalu menunjukkan pribadi yang lebih saleh dan pikiran yang lebih terang.
Itulah kehidupan manusia.
Bila kau benar-benar telah memahami kehidupan manusia, maka kesedihanmu akan berkurang sedang kegembiraanmu akan bertambah banyak.
Daun kering sudah banyak berguguran dalam hutan pohon hong.
Mereka berjalan melintasi daun-daun kering dan pelan-pelan maju ke depan, suara langkah kaki gemerisik menimbulkan serangkaian irama yang merdu.
Makin ke depan langkah kaki mereka semakin lebar, makin cepat langkah mereka makin ringan pula suaranya, sebab semangat serta tenaga tubuh mereka kian lama kian mendekati pada puncaknya.
Menunggu mereka benar-benar telah mencapai pada puncaknya, saat itulah mereka berdua akan turun tangan.
Siapa mencapai pada puncaknya lebih dahulu, siapa pula yang akan turun tangan terlebih dahulu.
Mereka berdua sama-sama tak ingin menunggu kesempatan lagi, karena mereka tahu bahwa kedua belah pihak sama-sama tak akan memberi kesempatan kepada lawannya.
Mereka turun tangan hampir pada saat yang bersamaan.
Tiada orang dapat melihat gerakan mereka sewaktu meloloskan pedang, tahu-tahu saja pedang mereka telah saling menyerang, saling menyergap dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat.
Pada saat itulah bobot tubuh mereka seakan-akan telah lenyap tak berbekas, berubah seperti terhembus angin yang bisa mengalir dan bergerak dengan bebasnya di tengah udara.
Karena mereka telah berada dalam keadaan lupa akan segala-galanya, semangat mereka telah melampaui segala sesuatunya, mengendalikan segala sesuatunya.
Cahaya pedang bergerak kian kemari, daun pohon hong hancur berantakan dan bercucuran bagaikan titik-titik darah.
Tapi mereka tidak melihat kesemuanya itu.
Dalam pandangan mereka, segala sesuatunya yang berada di dunia ini seakan-akan sudah tiada lagi, bahkan tubuh mereka sendiripun seakan-akan sudah tiada lagi. Satu-satunya yang masih ada dalam dunia saat ini hanya pedang milik lawan.
Daun-daun pohon hong yang kuat dan keras, terpaksa kutung menjadi dua bagian oleh sambaran mata pedang mereka yang tajam.
Sebab dalam pandangan mereka, pada hakekatnya di sekitar sana tiada pepohonan seperti itu.
Hutan pohon hong yang lebat, di dalam pandangan mereka tak lebih hanya sebuah tanah lapang, kemana pedang mereka hendak pergi, ke situlah senjata itu pergi.
Di dalam dunia dewasa ini, juga tiada benda apapun yang bisa menghalangi mata pedang mereka berdua.
Sebatang pohon hong yang tinggi besar tersambar pedang dan tumbang ke atas tanah dengan menimbulkan suara gemuruh yang memekakkan telinga, bagaikan hujan darah daun-daun berwarna merah darah itu berguguran ke atas tanah.
Cahaya pedang yang berkelebat serta melintas tiada habisnya itu, tiba-tiba menampilkan suara perubahan yang aneh sekali, berubah menjadi demikian berat, mantap tapi bebal rasanya.
"Triiiiing. !", bunyi dentingan nyaring menggema di udara, percikan bunga api segera
bermuncratan ke empat penjuru.
Cahaya pedang itu tiba-tiba lenyap tak berbekas, gerak pedang pun secara tiba-tiba ikut berhenti sama sekali.
Yan Cap-sa menatap mata pedang sendiri lekat-lekat, dari balik sorot matanya seakan-akan memancar keluar cahaya api yang menyala-nyala seakan-akan pula lapisan hawa dingin yang membekukan badan.
Walaupun pedangnya masih berada di tangan tapi seluruh perubahan jurus gerakannya telah mencapai pada puncaknya, ia telah mempergunakan jurus serangannya yang ke empat belas.
Ujung pedang Cia Siau-hong telah tertuju tetap di atas ujung pedangnya.....
Andaikata pedangnya adalah seekor ular berbisa, maka pedang Cia Siau-hong ibaratnya sebatang paku yang telah memaku bagian tujuh inci di atas tubuh ular berbisa itu, membuat ular yang berbisa tersebut terpantek mati dalam keadaan hidup-hidup.
Sesungguhnya pertarungan ini telah berakhir.
Tetapi pada saat itulah pedang yang sesungguhnya telah terpantek mati itu mendadak menunjukkan kembali suatu getaran-getaran yang aneh sekali.
Daun-daun yang berguguran memenuhi angkasa mendadak membuyar sama sekali ke empat penjuru, sebaliknya mereka yang sebetulnya sedang bergerak, mendadak berhenti sama sekali.
Betul-betul berhenti mutlak.
Kecuali pedang yang bergetar terus tiada hentinya itu, dalam alam semesta seakan-akan sudah tiada kehidupan lagi.
Tiba-tiba paras muka Cia Siau-hong menunjukkan perasaan ngeri, seram dan takut. Secara tiba-tiba saja ia menemukan bahwa pedang yang meski masih berada di tangannya itu, sekarang telah berubah menjadi sebilah pedang yang mati.
Di kala pedang di tangan lawannya itu mulai mempunyai nyawa, pedangnya seketika itu juga menjadi mati, sudah tak sanggup melakukan perubahan apapun, karena semua perubahan dan semua gerakan kini sudah dikendalikan oleh pedang lawan.
Segenap kehidupan, kekuatan dan perubahan telah terampas oleh pedang lawan itu.
Sekarang pedang itu bisa menembusi dada atau tenggorokan atau lambungnya setiap saat, di dunia ini tiada kekuatan lagi yang bisa mencegah atau membendungnya lagi.
Sebab pedang itu melambangkan Elmaut. Di kala Elmaut menjelang tiba, kekuatan apakah dalam dunia ini yang sanggup menghalangi atau merintanginya?
Namun, pedang maut itu mulai ditusukkan ke depan.
Tiba-tiba dari balik mata Yan Cap-sa memancarkan pula perasaan seram, ngeri dan takut yang tebal, malah jauh lebih ngeri, seram dan takut daripada Cia Siau-hong.
Selanjutnya diapun melakukan suatu perbuatan yang tak akan pernah disangka oleh siapapun dan tak pernah dipikir oleh siapapun.
Secara tiba-tiba dia memutar balik mata pedangnya dan menggorok putus tenggorokannya sendiri. Ia tidak membunuh Cia Siau-hong, tapi dia membunuh diri sendiri.
Di kala mata pedang hampir menggorok putus tenggorokannya sendiri itulah sorot matanya sudah tidak menampilkan lagi perasaan ngeri dan takut.
Dalam detik itulah pancaran sinar mata tiba-tiba berubah menjadi terang dan jeli, penuh pancaran sinar ketenangan serta kebahagiaan.....
Kemudian badannya roboh terkapar di atas tanah.
Hingga tubuhnya terkapar di tanah, hingga jantungnya berhenti berdenyut dan napasnya berhenti bekerja, pedang yang berada di tangannya masih bergetar terus tiada hentinya.
ooooOOOOoooo