Bab 33. Tindakan Yang Terencana
Seorang anak lelaki, jika selamanya tak tahu siapakah gerangan ayahnya sendiri, bukan saja dia pasti akan menderita sepanjang hidupnya, ibunya juga sama saja akan turut menderita.
"Oleh sebab itu kaupun selama ini tak pernah memberitahukan kepadanya, bahwa kau adalah ibu kandungnya?", sambung Cia Siau-hong.
"Ya, tak pernah!", Buyung Ciu-ti mengakuinya.
Dengan wajah yang memancarkan sinar penderitaan, ia melanjutkan:
"Tapi sekarang usiaku lambat laun kian bertambah besar, apa yang ingin kudapatkan sebagian besar telah berhasil kudapatkan, sekarang aku hanya ingin mempunyai seorang putra, seorang putra macam dia!"
"Apakah kau telah bertekad untuk menceritakan semua kejadian yang ada kepadanya?"
"Bahkan aku akan memberitahukan kepadanya bahwa kau sama sekali tidak bersalah, yang salah adalah aku!"
Cia Siau-hong tak dapat percaya, diapun tak berani percaya. Tak tahan lagi dia bertanya:
"Kalau toh kau telah mengambil keputusan untuk berbuat demikian, kenapa pula musti kau tunggu sampai aku berhasil mengalahkan Yan Cap-sa baru memberitahukan kepadanya?"
"Sebab jika kau tidak berhasil menang, berarti kau harus mati!" Cia Siau-hong tak bisa menyangkal kebenaran dari perkataan itu.
Yang ada hanya Cia Siau-hong yang mati di medan laga, tak mungkin ada Cia Siau-hong yang kalah dalam pertempuran.
Buyung Ciu-ti berkata lebih jauh:
"Seandainya kau tewas di ujung pedang Yan Cap-sa, buat apa kau musti memberitahukan kepadanya bahwa dia mempunyai seorang ayah macam kau? Buat apa aku musti menambah kemurungan, penderitaan dan kesengsaraannya. ?"
Kemudian dengan sepatah kata demi sepatah kata, ia menambahkan:
"Buat apa pula aku membicarakan dia pergi menghantar kematiannya dengan percuma?" "Menghantar kematiannya?" "Seandainya dia tahu kalau ayah kandungnya telah tewas di ujung pedang Yan Cap-sa, tentu saja dia akan pergi membalas dendam, dengan kepandaian silatnya, mana mungkin ia bisa menandingi kelihaian Yan Cap-sa? Kalau bukan pergi menghantar kematiannya apa pula namanya?"
Cia Siau-hong terbungkam dalam seribu bahasa.
Ia tak bisa tidak harus mengakui bahwa perkataannya memang sangat masuk di akal, tentu saja diapun tidak mengharapkan putranya pergi menghantar kematian secara sia-sia.
Sekali lagi Buyung Ciu-ti tertawa dengan lembut, katanya lagi:
"Tapi aku percaya tentu saja kau tak akan menderita kekalahan, semestinya kau sendiripun sudah mempunyai keyakinan yang tebal"
Cia Siau-hong termenung tanpa bicara. Lewat lama sekali, pelan-pelan ia baru berkata: "Kali ini aku tidak mempunyai keyakinan!"
Buyung Ciu-ti seakan-akan merasa kaget bercampur tercengang oleh jawaban tersebut, serunya tertahan:
"Masakah kau sendiripun tak mampu mematahkan Toh-mia-cap-sa-kiam nya itu?"
"Toh-mia-cap-sa-kiam itu sendiri tidak terlalu menakutkan, justru yang menakutkan berada pada jurus yang ke empat belas"
"Aaahh. , darimana datangnya jurus yang ke empat belas?"
"Yang pasti jurus ke empat belas itu ada!"
"Maksudmu kecuali tiga belas jurus ilmu pedang perenggut nyawanya, masih terdapat pula perubahan yang ke empat belas?"
"Betul sekali!"
"Aaaah, sekalipun benar-benar ada, mungkin dia sendiripun tidak mengetahuinya" "Sekalipun dulu ia tak tahu, sekarang dia sudah pasti telah mengetahuinya"
"Tapi aku percaya, meskipun dia memiliki perubahan jurus yang ke empat belas, belum tentu ia sanggup mengalahkan dirimu"
Agaknya terhadap lelaki ini dia selamanya menaruh perasaan percaya yang penuh. Cia Siau-hong termenung, lewat lama sekali dia baru menjawab kembali:
"Tapi diapun belum tentu bisa menangkan dirinya!" Buyung Ciu-ti kembali merasa amat gembira, serunya:
"Aku pikir siapa tahu kalau sekarang kau berhasil menemukan cara yang paling baik untuk mematahkan serangannya itu!" Cia Siau-hong tidak menjawab.
Ia teringat kembali pada serangan kilat yang pernah dijumpainya itu.
Jurus ke empat belas dari Yan Cap-sa sebetulnya sangat kokoh dan sudah diserang, tapi serangan kilatnya itu segera berubah segala sesuatunya, merubah jurus serang itu menjadi sesuatu yang amat menggelikan.
Inilah kata yang pernah disampaikan kepada Thi Kay-seng hari itu, ia tidak mengibul, diapun tidak sengaja bicara sesumbar.
Jika seseorang sudah berada pada detik-detik kematiannya, apa yang bisa mereka pikirkan dalam keadaan demikian?
Bukankah dia akan memikirkan sesuatu semua sanak keluarga serta semua sahabat yang pernah dikenalnya sepanjang hidup, mengenang kembali semua kegembiraan dan kesengsaraan yang pernah dialaminya?
Apa yang kupikirkan waktu itu bukanlah segala sesuatunya tersebut.
Pada detik terakhir menjelang saat kematiannya tiba, dia masih memikirkan jurus ke empat belas dari Yan Cap-sa.
Sepanjang sejarah hidupnya, telah ia korbankan demi ilmu pedang, bagaimana mungkin menjelang ajalnya ia bisa memikirkan persoalan-persoalan lainnya?
Pada saat seperti inilah, tiba-tiba terlintas satu ingatan dalam benaknya. Itulah suatu lintasan akal yang amat bagus.
Di kala para penyair menciptakan bait-bait syairnya, seringkali dalam hati mereka akan terlintas satu ingatan, itulah ilham.
Tentu saja ilham semacam itu bukan diperoleh karena nasibnya lagi mujur, kau harus mempersembahkan dahulu segenap jerih payahmu sepanjang hidup sebelum ilham semacam ini akan muncul dalam benakmu.
Memandang mimik wajah Cia Siau-hong, Buyung Ciu-ti menampilkan sikap yang jauh lebih riang dan gembira, katanya:
"Aku pikir sekarang kau pasti sudah berhasil menemukan cara yang terbaik untuk mematahkan jurus serangannya yang ke empat belas!"
Ia memandang lelaki itu lekat-lekat, kemudian tersenyum, terusnya lebih jauh: "Kau tak usah mengelabui diriku, kau tak akan bisa mengelabui diriku. "
"Betul, aku dapat mematahkan jurus serangannya itu, cuma sayang. "
"Cuma sayang kenapa?"
"Cuma sayang serangannya itu masih bukan merupakan inti kekuatan yang sesungguhnya dari rangkaian ilmu pedangnya"
Paras mukanya berubah menjadi serius dan berat, ini menunjukkan betapa gawatnya persoalan. Perasaan Buyung Ciu-ti agak tergetar, serunya tertahan:
"Serangan itu masih bukan inti kekuatannya?" "Bukan!"
"Lantas di manakah ia letakkan semua inti kekuatan yang sesungguhnya dari ilmu pedangnya itu?" "Dalam jurus serangannya yang ke lima belas!"
"Sudah jelas kalau ilmu pedang Toh-mia-cap-sa-kiam terdiri dari tiga belas jurus, darimana munculnya jurus yang ke lima belas?"
"Dengan keindahan serta kesaktian dari ilmu pedangnya itu, sudah sepantasnya kalau masih ada perubahan yang ke lima belas, hal tersebut ibaratnya.....ibaratnya. "
"Ibaratnya apa?"
"Ibaratnya sekuntum bunga!"
Tiba-tiba mencorong sinar tajam dari balik matanya, karena nada akhirnya ia berhasil menemukan perumpamaan yang paling cocok dan sesuai.
Dengan cepat ia berkata lebih jauh:
"Tiga belas jurus serangan yang pertama tak lebih hanya akar dari pohon bunga, jurus ke empat belas cuma daun-daunnya, ini musti menunggu sampai terjadinya perubahan yang ke lima belas, kuntum bunga itu baru mekar, sebab justru yang ke lima belas barulah merupakan kuntum bunga yang sesungguhnya!"
Bunga yang indah harus didampingi oleh daun yang hijau, ditunjang oleh akar yang kuat untuk bisa tumbuh dengan subur, tapi jika bunganya tak sampai mekar, maka pohon bunga tersebut belum bisa dianggap sebagai sekuntum bunga.
"Toh-mia-cap-sa-kiam pun demikian pula teorinya", Cia Siau-hong menerangkan lebih jauh, "tanpa jurus ke lima belas, hakekatnya rangkaian ilmu pedang tersebut sama sekali tak ada nilainya"
"Seandainya terdapat jurus yang ke lima belas ini bagaimana pula keadaannya?"
"Pada saat itu, bukan saja aku bukan tandingannya, di kolong langit dewasa ini juga tak seorang manusiapun yang bisa menandingi kelihayannya"
"Apakah saat itu kau pasti akan mati di ujung pedangnya?"
"Asal aku bisa menyaksikan munculnya ilmu pedang semacam itu dalam dunia, sekalipun harus mati di ujung pedangnya, aku juga mati dengan hati yang rela!"
Lantaran luapan rasa gembira yang berkobar-kobar, pancaran sinar tajam menyelimuti seluruh wajahnya.
Hanya pedang merupakan sasaran yang sesungguhnya dari kehidupannya, di situlah kehidupan yang sesungguhnya baru berlangsung.
Asal ilmu pedang itu bisa berada terus di dunia ini, apakah jiwanya bisa pula hidup terus di dunia ini atau tidak, baginya hal mana sudah merupakan suatu masalah yang tidak penting lagi. Buyung Ciu-ti dapat memahami wataknya tapi sepanjang hidup ia tak mampu memahami tentang hal ini.
Diapun tak ingin memahaminya.
Untuk memahami masalah semacam ini, sesungguhnya hal tersebut terlampau menyiksa, terlampau payah dan makan tenaga.
Hanya satu yang dia kuatirkan.
Sekarang apakah Yan Cap-sa telah berhasil menciptakan jurus pedang tersebut? Cia Siau-hong tidak menjawab.
Pertanyaan tersebut tak akan terjawab oleh siapapun, juga tak akan diketahui oleh siapapun.
Malam sudah semakin kelam, rembulan sudah mendekati purnama.
Sekalipun bukan di tempat yang sama, namun sama-sama ada rembulan, sekalipun bukan orang yang sama, kadang kala mempunyai perasaan yang sama.
Sinar rembulan terbias di atas permukaan air sungai yang mengalir, di atas sungai berlabuh sebuah sampan.
Di ujung sampan terdapat sebuah tungku api, sepoci air teh dan seorang kakek yang kesepian.
Di tangan kakek itu terdapat sebatang tongkat kayu, sebilah pisau.......
Sebuah tongkat kayu sepanjang empat depa dengan pisau sepanjang tujuh inci.
Kakek itu sedang mempergunakan pisau belati itu, pelan-pelan menyayat tongkat kayu tersebut......
Apa yang hendak dia buat dari tongkat kayu itu? Apakah ingin membuat sebilah pedang?
Mata pisau itu amat tajam dan cepat, caranya mempergunakan pisau juga mantap dan penuh bertenaga.
Siapapun juga tak akan menyangka kalau seorang kakek lemah semacam dia ternyata memiliki sepasang tangan yang begitu mantap dan bertenaga.
Akhirnya tongkat kayu itu sudah tersayat hingga muncul bentuk sebenarnya, betul juga, itulah bentuk dari sebilah pedang.
Tongkat kayu yang empat depa panjangnya itu telah tersayat menjadi sebilah pedang yang tiga depa tujuh inci panjangnya, ada mata pedang, ada pula ujung pedang.
Dengan penuh kasih sayang kakek itu membelai ujung pedangnya, di bawah pancaran yang berasal dari tungku api, paras mukanya menampilkan suatu perubahan yang sangat aneh.
Siapapun tak dapat melihat apakah dia sedang gembira? Atau sedih? Ataukah terharu? Tapi bilamana kau telah melihat sepasang matanya, maka kau akan melihat bahwa dia hanya merasa rindu belaka.
Merindukan kembali kegembiraan dan kesenangannya di masa lampau, juga merindukan kembali kehidupannya yang penuh kesedihan dan kesengsaraan itu.
Ia menggenggam gagang pedang itu erat-erat kemudian pelan-pelan bangkit berdiri.
Ujung pedangnya tertuju ke bawah, tubuhnya yang semula bungkuk seperti lapukpun tiba-tiba tegap dan lurus kembali.
Sekarang ia telah berdiri tegap, dalam waktu yang teramat singkat itulah ia telah berubah seratus persen.
Perubahan tersebut ibaratnya sebilah pedang tajam yang disarungkan dalam sebuah sarung pedang yang kuno dan rombeng, ketika dicabut keluar secara tiba-tiba, segera memancarkan cahaya tajam yang berkilauan.
Pada detik itulah dia seakan-akan memancarkan sinar tajam. Sinar semacam itu membuatnya secara tiba-tiba bersemangat kembali, membuatnya tampak lebih muda, paling tidak lebih muda dua puluh tahun.
Kenapa seorang bisa sama sekali berubah setelah di tangannya menggenggam sebilah pedang kayu?
Mungkinkah hal ini disebabkan karena dulunya dia memang seorang yang memancarkan cahaya berkilauan?
Air sungai mengalir dengan deras, sampan itu terombang-ambing mengikuti gerakan arus.
Orang itu seakan-akan terpantek di ujung sampan, dengan termangu-mangu ia menatap mata pedang dihadapannya, lalu menusuk ke depan dengan enteng dan ringan.
Pedang itu terbuat dari sebatang kayu, mana suram, berat lagi.
Tapi tusukan itu seakan-akan membuat pedang tersebut menjadi berubah, berubah lebih bersinar, lebih bernyawa.
Ia telah menyalurkan segenap kekuatan hidupnya ke dalam pedang kayu tersebut. Tusukan yang enteng dan ringan itu sesungguhnya tidak mengandung perubahan apa-apa.
Tapi perubahan tersebut kemudian datang secara tiba-tiba, datang bagaikan air yang mengalir, begitu leluasa, begitu bebas dan tanpa hambatan.
Pedang itu di tangannya bagaikan kampak di tangan Lu Pan, bagaikan pit di tangan Si Ci, bukan saja bernyawa, bahkan seakan-akan memiliki kehidupan.
Dengan gerakan yang enteng, sederhana dan seenaknya, dalam waktu singkat ia telah melancarkan tiga belas buah tusukan pedang.
Sesungguhnya ilmu pedang itu enteng, lincah dan santai, seakan-akan air sungai yang sedang mengalir, tapi setelah ke tiga belas buah tusukan pedang itu dilancarkan, di atas permukaan sungai seakan-akan diliputi oleh hawa pembunuhan yang tebal, seolah-olah seluruh langit telah diselimuti oleh hawa nafsu membunuh yang mengerikan. Setelah tiga belas jurus pedang itu selesai dilontarkan, semua perubahan itu seakan-akan telah mencapai pada akhir seperti air sungai yang tiba di muara.
Gerakan pedangnya ikut menjadi lambat, lambat sekali. Meski amat lambat, tapi masih tetap berubah, mendadak tusukan pedangnya makin tidak beraturan, seperti tanpa jalur yang sesungguhnya, kacau balau tak karuan........
Tapi justru tusukan tersebut ibaratnya melukis naga memberi mata, walaupun kosong, namun di sinilah letak kunci yang terutama dari semua perubahan.
Kemudian diapun melancarkan tusukan yang ke empat belas.
Hawa pedang dan hawa pembunuhan yang menyelimuti permukaan sungai amat berat dan tebal, bagaikan awan hitam yang secara tiba-tiba menyelimuti seluruh udara.
Tapi setelah tusukan itu dilancarkan, semua awan hitam yang menyelimuti udara seakan-akan tersapu lenyap, cahaya sang surya pun muncul di atas awang-awang.
Bukan cahaya mata yang lembut dan hangat melainkan sinar senja yang merah membara dan sinar teriknya matahari di tengah hari bolong.
Setelah serangan itu dilancarkan, semua perubahan baru benar-benar mencapai pada puncaknya, air yang telah mengalir sampai di ujung sekarang berubah menjadi kering dan merekah.
Tentang yang dimiliki juga sudah mengering.
Tapi pada saat itulah tiba-tiba ujung pedang itu menimbulkan kembali suatu gerakan yang sangat aneh.
Ujung pedang itu sebenarnya menunjukkan ke arah tungku api, tapi setelah terjadinya getaran itu, mendadak api dalam tungku itu padam.
Walaupun mata pedang masih bergetar keras, apa yang sebetulnya sedang bergerak tiba-tiba saja terhenti sama sekali.
Betul-betul terhenti sama sekali.
Bahkan sampan kecil yang sebetulnya masih bergoyang tiada hentinya di atas permukaan airpun, kini ikut terhenti dan menjadi tenang sekali......
Bahkan air sungai yang mengalir pun seakan-akan ikut terhenti.
Tiada perkataan lain yang bisa melukiskan keadaan tersebut kecuali sepatah kata, sepatah kata yang sederhana sekali. mati!.
Tiada perubahan, tiada kesempatan untuk hidup. Yang dibawa serangan pedang itu hanya kematian!.
Hanya 'kematian' merupakan akhir dari segala sesuatunya, akhir yang betul-betul langgeng.
Air telah mengering, perubahan telah mencapai pada puncaknya kehidupan berakhir berakhir, alam semesta lenyap dan musnah. Di sinilah letak inti kekuatan yang sesungguhnya dari ilmu Toh-mia-cap-sa-kiam.
Jurus inilah baru merupakan jurus merenggut nyawa yang sesungguhnya dari rangkaian ilmu pedang itu.
Dari jurus serangan ini tak lain adalah jurus serangan yang ke lima belas!. "Plaaak. !, tiba-tiba pedang kayu itu patah menjadi dua.
Air sungai kembali mengalir deras, sampan kembali terombang-ambing di mainkan ombak.
Tapi ia masih berdiri kaku di sana sama sekali tak berkutik, sekujur tubuhnya itu bermandikan keringat, bajunya telah basah kuyup.
Namun paras mukanya masih membawa mimik wajah yang aneh, entah terkejut, entah girang, ataukah ngeri?
Semacam rasa takut yang timbul akibat dari sesuatu kekuatan dari umat manusia yang tak dapat di duga sebelumnya, dan tak terkendalikan seterusnya.
Hanya dia seorang yang tahu bahwa jurus pedang itu sebenarnya bukan diciptakan olehnya.
Hakekatnya tak ada orang yang bisa menciptakan jurus pedang itu, tak ada orang yang bisa memahami perubahan dari jurus serangannya itu.
Munculnya perubahan pada manusia itu seakan-akan bagaikan 'kematian' itu sendiri, tiada orang yang bisa memahami, tiada orang pula yang bisa menduga.
Kekuatan untuk perubahan semacam ini juga tak mampu dikendalikan oleh siapapun.
Langit sangat gelap dan pekat.
Ia berdiri kaku di tengah kegelapan, sekujur badannya seolah-olah sedang gemetar, gemetar karena ketakutan.
Mengapa ia ketakutan?
Apakah dia tahu kalau dia sendiripun tak mampu untuk mengendalikan jurus serangannya itu?
Tiba-tiba dari atas permukaan sungai berkumandang suara helaan napas panjang, terdengar seseorang berkata sambil menghela napas:
"Kenapa para setan belum juga menangis? Kenapa para malaikat belum juga melelehkan air mata?"
Dari atas permukaan sungai kembali muncul sebuah perahu, sebuah perahu yang bentuknya bagaikan perahu pesiar di telaga Lam-ou.
Cahaya lampu menerangi perahu itu, di sana tampak sebuah meja catur, sepoci arak, sebuah harpa, sejilid kitab dan di bawah lentera terdapat pula sepotong batu hitam. Itulah batu hitam untuk mengasah pedang.
Seseorang berdiri di ujung perahu, memandang kakek itu, memandang pula kutungan pedang di tangannya.
Pancaran sinar matanya pun membawa pula kesedihan dan rasa seram yang tak terlukiskan dengan kata-kata.
Pelan-pelan kakek itu mendongakkan kepalanya, memandang orang itu kemudian ia menegur: "Kau masih kenal denganku?"
"Tentu saja aku kenal denganmu!"
Perahu pesiar dari telaga Liok-sui-oh, lembah Cui-im-hok, perahu penyeberang yang cuma ada pergi tanpa kembali.
Kesemuanya itu adalah kenangan yang tak akan terlupakan oleh kakek itu untuk selamanya.
Di atas perahu itulah ia menenggelamkan pedang kenamaannya, dia menenggelamkan juga kegagahan serta usianya.
Orang itulah yang pernah menghela napas atas kebodohannya tapi dia pula yang telah memuji atas kecerdasan otaknya.
Ia berbuat demikian sebetulnya merupakan tindakan yang cerdik, ataukah bodoh? "Cia ciangkwe!"
"Yan Cap-sa!"
Mereka saling bertatapan lalu menghela napas sedih. "Tak kusangka akhirnya kita masih bisa berjumpa lagi!" Cia ciangkwe menghela napas lebih berat lagi, katanya:
"Ciong-ci menciptakan tulisan, setan dan malaikat menangis tersedu-sedu, kau menciptakan jurus pedang itu, setan dan malaikatpun seharusnya melelehkan pula air matanya!"
Kakek itu dapat memahami maksudnya.
Jurus pedang itu telah membocorkan rahasia langit dan kehilangan perintah langit. Perintah langit hanyalah kebajikan.
Setelah terciptanya jurus pedang itu, semenjak detik itu, entah masih ada berapa banyak orang lagi yang bakal tewas di ujung pedang tersebut. ?
Kakek itu termenung tidak bicara, lewat lama sekali pelan-pelan dia baru berkata: "Jurus pedang ini bukan diciptakan olehku sendiri!" "Bukan?", Cia ciangkwe mengulangi. Kakek itu menggeleng.
"Setelah kuciptakan Toh-mia-cap-sa-kiam, dan menemukan pula perubahan yang ke empat belas, aku selalu merasa tak puas, karena aku tahu jurus pedang ini pasti masih ada semacam perubahan lagi"
"Selama ini kau mencari terus?"
"Betul! Aku mencari terus karena aku tahu, hanya perubahan tersebut baru bisa mengalahkan Cia Siau-hong bila berhasil kutemukan"
"Kau selalu tidak berhasil menemukannya?"
"Aku telah memeras tenaga dan pikiran untuk berusaha menemukannya, sayang Cia Siau-hong telah mati!"
Ia terbayang kembali kain tirai berwarna hitam dalam perkampungan Sin-kiam-san-ceng serta peti mati yang berwarna hitam.
Dengan pedih kakek itu berkata lagi:
"Setelah Cia Siau-hong mati, siapakah manusia di dunia ini yang sanggup menandingi diriku? Buat apa aku harus mencarinya terus?"
Setelah menghela napas panjang, ia melanjutkan:
"Oleh sebab itu, bukan saja aku telah menenggelamkan pedangku, memendam namaku, selain itu akupun telah memendam ingatanku untuk mencari perubahan yang terakhir itu ke dasar telaga, sejak hari itu untuk berpikir ke situpun aku tak pernah"
Cia ciangkwe termenung, kemudian pelan-pelan berkata:
"Mungkin dikarenakan kau tak pernah memikirkan persoalan itu lagi, maka sekarang hal itu baru berhasil kau dapatkan?"
Jurus pedang itu sesungguhnya memang merupakan 'malaikat" dari ilmu pedang.
'Malaikat' tak nampak dengan mata telanjang, tak akan ditemukan bila dicari, tapi bila ia mau datang, maka ia akan datang secara tiba-tiba.
Tapi kau pribadi harus mencapai dulu sampai ke posisi 'tiada orang, tiada aku, tiada maksud', hal itu baru bisa datang.
Teori tersebut tak jauh berbeda dengan teori ajaran 'ketenangan dan kesadaran' dari kaum Buddha.
Kembali Cia ciangkwe berkata:
~Bersambung ke Jilid-20 Jilid-20 TAMAT
"Sekarang tentunya kau telah mengetahui bukan, bahwa Sam-sauya sesungguhnya belum mati?" Kakek itu mengangguk.
"Sekarang apakah kau sudah mempunyai keyakinan untuk mengalahkan dirinya?", kembali Cia ciangkwe bertanya.
Kakek itu menatap kutungan pedang sendiri lekat-lekat, kemudian menjawab: "Seandainya aku bisa memperoleh sebilah pedang yang baik!"
"Apakah kau masih ingin mencari kembali pedang milikmu itu?" "Dapatkah kutemukan kembali?"
"Asal kau mau mencari tentu saja dapat menemukannya kembali" "Kemana aku harus mencari?"
"Di sini!"
Bekas ukiran di tepi sampan itu masih utuh. Cia ciangkwe berkata:
"Kau harus ingat, tanda ini kau buat dengan tanganmu sendiri. "
Nama besar ketika itu sudah tenggelam dan lenyap, tapi bagaimana dengan manusianya? Kini manusianya telah berada di sini.
Ada sementara orang seperti juga semacam senjata tajam yang terbuat dari baja murni, sekalipun sudah tenggelam dan sirna, namun masih tetap utuh dan ada.
Yan Cap-sa menghela napas panjang, katanya:
"Sayang tempat ini bukanlah tempat di mana aku menenggelamkan pedangku di masa lalu!"
"Memberi tanda di perahu mencari pedang, sesungguhnya merupakan perbuatan yang hanya bisa dilakukan orang bodoh"
"Benar!"
"Tapi kau bukanlah orang bodoh, kau memberi tanda di perahu dan menenggelamkan pedang, sebetulnya memang tak ingin untuk menemukan kembali pedang tersebut!"
"Ya, aku memang tidak bermaksud demikian", Yan Cap-sa mengakui.
"Kau berbuat demikian sebenarnya tanpa sengaja, tapi dibalik tanpa kesengajaan justru terletak rahasia langit"
Pelan-pelan Cia ciangkwe melanjutkan:
"Kalau toh kau berhasil menemukan inti kekuatan dari ilmu pedangmu tanpa sengaja, kenapa tidak bisa menemukan pula pedangmu tanpa disengaja. ?"
Kakek itu tidak bisa berbicara lagi, sebab ia telah menyaksikan pedang miliknya. Di antara air sungai yang pekat, ia menyaksikan ada sebilah pedang sedang pelan-pelan mengapung ke atas permukaan air, ia telah menyaksikan ke tiga belas butir mutiara di atas sarung pedangnya.
Tentu saja pedang itu tak dapat mengapung sendiri, diapun tak bisa datang sendiri untuk mencari majikannya di masa lalu.
Pedang itu sendiri adalah semacam benda yang tak bernyawa.
Kalau pedang itu bernyawa, hal ini tak lebih hanya disebabkan oleh si pemegang pedang itu sendiri.
Sekarang pedang itu bisa mengapung ke atas permukaan air, tak lebih karena Cia ciangkwe sedang menariknya ke atas dengan seutas tali.
Yan Cap-sa sedikitpun tidak merasa terkejut.
Ia telah menyaksikan tali yang terikat pada pedang tersebut, diapun telah melihat ujung tali yang lain berada di tangan Cia ciangkwe.
Di dunia ini seringkali pula terjadi banyak peristiwa yang tak masuk di akal dan tak dapat diterangkan dengan kata-kata, karena setiap persoalan sesungguhnya diikat pula oleh seutas tali, hanya manusia tak mampu melihat tali itu dengan mata telanjang.
Setelah mengalami banyak peristiwa yang penuh penderitaan dan siksaan, pada akhirnya Yan Cap-sa dapat juga memahami teori tersebut.
Cia ciangkwe masih juga memberi penjelasan atas perbuatannya itu, dia berkata:
"Setelah kau pergi hari itu, aku telah membantumu untuk mengangkat kembali pedang tersebut dari dasar telaga, bahkan sampai sekarang aku telah menyimpannya secara baik-baik"
"Mengapa kau berbuat demikian?"
"Karena aku tahu bahwa cepat atau lambat kau serta Sam-sauya pasti akan berjumpa muka!", Cia ciangkwe menerangkan.
Tiba-tiba Yan Cap-sa menghela napas, katanya:
"Akupun tahu, sesungguhnya hal ini merupakan nasib kami berdua. "
"Perduli bagaimanapun juga sekarang pada akhirnya kau berhasil menemukan kembali pedangmu"
Pedang tersebut telah berada di tangannya, tiga belas biji mutiara di atas sarung pedang itu masih memancarkan sinar cemerlang.
Cia ciangkwe kembali bertanya:
"Sekarang apakah kau sudah mempunyai keyakinan untuk bisa mengalahkan dirinya?" Yan Cap-sa tidak menyahut.
Sekarang pedangnya telah kembali ke tangannya, tajamnya masih seperti dulu sedikitpun tidak berkurang. Dengan mengendalikan pedang ini dia telah menjelajahi seluruh kolong langit, tiada kekalahan yang pernah dideritanya dalam setiap pertarungan, ia selalu tidak berperasaan, diapun tidak mengenal arti kata takut.
Apalagi saat ini ia telah menemukan inti kekuatan yang sesungguhnya dari ilmu pedangnya, dia pasti sudah tiada tandingannya di kolong langit.
Tapi dalam hatinya justru muncul suatu perasaan ngeri dan seram yang sukar dilukiskan dengan kata-kata, walaupun ia tidak mengucapkannya sendiri, orang lain dapat melihat itu dengan jelas.
Bahkan Cia ciangkwe sendiripun dapat menyaksikan akan hal itu, tak tahan ia lantas menegur: "Kau sedang ketakutan? Apa yang kau takuti?"
"Mempelajari ilmu pedang Toh-mia-cap-sa-kiam ibaratnya aku memelihara seekor ular yang amat berbisa, walaupun aku bisa mengakibatkan kematian bagi orang lain, tapi aku masih bisa mengendalikannya, tapi sekarang. "
"Bagaimana sekarang?"
"Sekarang ular berbisa itu telah berubah menjadi seekor naga berbisa, ia telah memiliki perubahan sendiri yang bisa dilakukannya secara otomatis"
"Apakah kau sendiripun tak mampu mengendalikan dirinya lagi?"
Yan Cap-sa termenung, lewat lama sekali dia baru berkata dengan suara pelan: "Aku tidak tahu, siapapun tak akan tahu. "
Oleh karena dia tak tahu, maka ia baru menunjukkan wajah ngeri, seram dan ketakutan. Tampaknya Cia ciangkwe telah memahami maksud hatinya.
Mereka bersama-sama memandang ke tempat kejauhan, sorot matanya sama-sama pula menunjukkan perubahan sikap yang aneh sekali.
Kembali beberapa saat lamanya sudah lewat, saat itulah Yan Cap-sa baru bertanya:
"Kau secara khusus mengantar pedang ini kepadaku, apakah kau berharap aku bisa mengalahkan dirinya?"
"Ya!"
Ternyata Cia ciangkwe mengakuinya secara berterus terang. "Apakah kau bukan sahabatnya?"
"Aku adalah sahabatnya!"
"Kenapa kau berharap agar aku bisa mengalahkannya?" "Karena dia belum pernah kalah"
"Kenapa kau mengharapkan dia menderita kekalahan!" "Karena setelah ia merasakan kekalahan satu kali, dia baru tahu bahwa dirinya bukan malaikat, bukan seorang yang tak terkalahkan, dia pasti akan meresapi pelajaran ini, dia baru akan lebih matang dan dewasa dalam menghadapi setiap persoalan"
"Kau keliru!", ucap Yan Cap-sa. "Di mana letak kekeliruanku?"
"Teori tersebut tidak salah, tapi keliru besar jika kau mengetrapkan teori tersebut pada dirinya!" "Kenapa?"
"Karena dia bukan orang lain, dia adalah Cia Siau-hong, Cia Siau-hong hanya bisa mati, tak bisa kalah"
"Bagaimana dengan Yan Cap-sa?", Cia ciangkwe balik bertanya. "Yan Cap-sa pun sama saja!"
Yan Cap-sa telah kembali ke atas sampan itu, pelan-pelan telah bergerak meninggalkan tempat itu.
Cia ciangkwe masih berdiri termenung di ujung perahu, memandang hingga sampan itu pergi jauh, tiba-tiba ia merasakan pula semacam rasa ngeri, seram dan sedih yang tak terlukiskan dengan kata-kata.
Dalam dunia ini selamanya hanya ada dua macam manusia, semacam manusia yang tujuan hidupnya bukan untuk hidup terus, melainkan untuk berkobar dan terbakar.
Akibat dari pembakaran baru akan muncul cahaya.
Sekalipun cahaya itu hanya setitik dan sedetik saja, itu sudah lebih dari cukup.
Sebaliknya ada semacam manusia lain yang selamanya hanya menyaksikan pembakaran dari orang lain, kemudian pergunakan cahaya gemerlapan orang lain untuk menyinari diri sendiri.
Manusia macam manakah yang terhitung pintar? Dia tak tahu.
Dia hanya tahu bahwa kesedihannya bukan lantaran mereka, melainkan demi diri sendiri.
Senja belum lagi menjelang, matahari sore telah berubah menjadi merah, memerah sekali bagaikan sedang terbakar.
Hutang pohon hong di bawah timpaan matahari senja seakan-akan seperti lagi terbakar pula.
Cia Siau-hong duduk di bawah sorot matahari senja yang membara, di luar hutan pohon hong yang membara pula.
Dalam genggamannya tiada pedang, bahkan sebilah pedang yang terbuat dari kayupun tak ada. Ia masih menunggu.
Sedang menunggu orang? Ataukah sedang menunggu sampai terbakar. ?
Buyung Ciu-ti memandangnya dari kejauhan, sudah lama ia mengawasinya, tapi sampai sekarang baru berjalan mendekatinya.
Gayanya sewaktu berjalan sungguh menawan dan mempesona.
......Sekalipun kau mengetahui dengan jelas bahwa ia datang kemari untuk membunuhmu, kau tetap akan merasa bahwa gayanya sewaktu berjalan sungguh menawan hati.
......Ada semacam perempuan yang semenjak dilahirkan memang ditakdirkan untuk diperlihatkan kepada orang lain.
Entah di saat seperti apapun, dia tak pernah melupakan ucapan itu, asal ia merasa ucapan tersebut beralasan, maka ia dapat mengingatnya terus untuk selamanya.
Ia berjalan ke hadapannya, menatap ke arahnya, tiba-tiba bertanya:
"Hari inikah?"
"Ya, hari ini!", Cia Siau-hong membenarkan. "Sekarang?"
"Ya, sekarang!"
Dia hendak menunggu orang, setiap saat orang yang ditunggu akan tiba di sana.
"Kalau memang demikian, paling tidak di tanganmu harus menggenggam sebilah pedang", ucap Buyung Ciu-ti.
"Aku tidak mempunyai pedang!"
"Apakah disebabkan dalam hatimu telah ada pedang, maka di tanganmu sama sekali tidak memerlukan pedang?"
"Bagi setiap orang yang belajar pedang, dalam hatinya pasti terdapat sebilah pedang!" "Kalau di dalam hatinya tiada pedang, bagaimana mungkin bisa belajar pedang?"
"Sayang, pedang yang berada dalam hati tak mungkin bisa dipakai untuk membunuh Yan Cap-sa", kata Cia Siau-hong.
"Lantas mengapa kau tidak pergi mencari sebilah pedang?", tanya Buyung Ciu-ti.
"Karena aku tahu, kau pasti akan datang kemari untuk membawakan sebilah pedang bagiku!" "Kau menginginkan pedang macam apa?"
"Terserahlah!"
"Tak boleh terserah!" "Kenapa?"
"Sebab pedang tak ubahnya seperti manusia, terdiri dari pelbagai macam, setiap pedang, bobot, panjang pendeknya, lebar sempitnya tak mungkin bisa sama antara yang satu dengan yang lainnya, setiap pedang tentu memiliki keistimewaan yang berbeda-beda"
Setelah menghela napas panjang, katanya lebih jauh:
"Oleh sebab itu, jika seseorang hendak memilih sebilah pedang, maka seperti juga memilih seorang sahabat lelaki, tak boleh sembarangan, lebih baik lagi tak boleh memilih secara ngawur!"
Tentu saja Cia Siau-hong memahami pula teori tersebut.
Untuk bertarung dengan seorang jago lihay, maka selisih yang sedikitpun tak boleh terjadi, seringkali pedang yang mereka gunakan merupakan penyebab dari ditetapkannya suatu kemenangan atau kekalahan.
Tiba-tiba Buyung Ciu-ti tertawa lagi, tertawa dengan bangga sekali, katanya kembali:
"Untung saja sekalipun tidak kau katakan, aku juga mengetahui pedang macam apakah yang sesungguhnya paling ingin kau pergunakan dalam keadaan seperti ini!"
"Kau tahu?"
"Bukan cuma tahu, aku telah membawanya pula kemari!" Ia benar-benar telah membawanya kemari.
Sarung pedang itu hitam pekat dan amat kuno, gagang pedangnya berbentuk kuno dan antik, bahkan lapisan kain hitam yang membalut gagang pedang itu bersinar mengkilap karena sering di pegang dengan tangan.
Inilah pedang yang tak akan dilupakan oleh Cia Siau-hong untuk selamanya. !
Baginya pedang ini ibaratnya seorang teman senasib sependeritaan yang pernah mati hidup bersama dengannya, tapi kemudian mereka harus berpisah untuk suatu jangka waktu yang cukup lama.
Walaupun tak pernah ia lupakan untuk selamanya, tapi diapun tak menyangka kalau mereka masih mempunyai kesempatan untuk saling berjumpa kembali.
Pelayan muda dari rumah penginapan itu meletakkan pedang tersebut di atas sebuah batu hijau yang besar, kemudian diam-diam menyelinap pergi dari situ.
Cia Siau-hong tak kuasa mengendalikan gejolak dalam hatinya, tak tahan dia mengulurkan tangan dan menyentuh sarung pedang tersebut.
Sesungguhnya tangan itu masih gemetar terus dengan kerasnya, tapi asal pedang itu sudah tergenggam, maka dengan cepat ketenangannya kembali seperti sedia kala.
Ia menggenggam pedang itu kencang-kencang, bagaikan seorang pemuda romantis yang memeluk kencang-kencang kekasihnya setelah berpisah cukup lama. "Kau tak perlu bertanya kepadaku, bagaimana mungkin pedang ini bisa terjatuh ke tanganku, sebab sekalipun kau menanyakannya, belum tentu aku akan memberitahukan kepadamu, sebab aku tak ingin membuat pikiranmu menjadi kalut", kata Buyung Ciu-ti.
Cia Siau-hong tidak bertanya. Kembali Buyung Ciu-ti berkata:
"Akupun tahu kalau aku tetap tinggal di sini, pikiranmu bisa menjadi kalut pula, maka akupun akan pergi meninggalkan tempat ini"
Ia menggenggam tangan Siau-hong kencang-kencang, kemudian berkata lagi dengan lembut:
"Tapi aku pasti akan menunggu di rumah penginapan, aku percaya kau pasti akan kembali dengan cepat"
Ia benar-benar telah pergi, sewaktu berjalan pergi, gayanya masih begitu menawan dan mempesonakan.
Memandang potongan badannya yang ramping tapi padat dan matang itu, tak tahan Cia Siau- hong bertanya pada diri sendiri:
"Inikah perjumpaanku yang terakhir kalinya dengan dia? Mungkinkah aku tak akan berjumpa lagi dengannya?"
Dalam detik itulah, tiba-tiba timbul suatu perasaan berat hati dalam dirinya, ia merasakan suatu luapan emosi yang sukar dilukiskan dengan kata-kata.
Tiba-tiba saja ia merasa berat untuk berpisah dengan perempuan itu, hampir saja dia hendak berkata untuk memanggilnya kembali.
Tapi ia tidak berbuat demikian.
Sebab pada saat itulah ia telah merasakan selapis hawa pembunuhan yang tebal dan menggidikkan hati berhembus datang dari balik hutan pohon hong bagaikan segulung angin dingin.
Itulah selapis hawa pembunuhan yang menggidikkan hati siapapun, seandainya orang lain yang berada di situ, niscaya seluruh bulu kuduknya juga telah bangkit berdiri.
Dalam keadaan demikian, tangannya menggenggam gagang pedang erat-erat, sedemikian kencangnya ia menggenggam gagang pedang tersebut, hingga otot-otot hijau yang berada di atas punggung tangannya pada menonjol keluar semua.
Ia tidak berpaling ke belakang, diapun merasa tak perlu untuk berpaling ke belakang. Karena dia tahu, orang yang sedang di nanti-nantikannya selama ini telah datang.
Tentu saja orang yang dinantikan selama ini tak lain adalah Yan Cap-sa.
Cahaya matahari berwarna merah bagaikan darah, hutan pohon hong juga nampak merah darah, seluruh langit dan bumi seakan-akan telah dilapisi oleh ahwa pembunuhan yang menyeramkan. Apalagi di bawah kaki langit telah berdiri saling berhadapan dua orang manusia semacam itu!. ooooOOOOoooo