Pedang Tuan Muda Ketiga Bab 27. Tiga Hari Yang Penuh Keanehan

Bab 27. Tiga Hari Yang Penuh Keanehan

Itulah suatu pertanyaan yang aneh, aneh tapi menarik, namun mengandung pula sindiran yang keji.

Mungkin ada banyak orang pernah bertanya kepada diri sendiri, di kala tengah malam mereka terbangun dan tak dapat tidur kembali.

Seandainya aku hanya bisa hidup tiga hari lagi, dalam tiga hari yang singkat ini apa yang hendak kulakukan?

Tapi orang yang bisa mengajukan pertanyaan ini untuk bertanya kepada orang lain tentu tak banyak jumlahnya.

Sekarang, ternyata Cia Siau-hong mengajukan pertanyaan ini, yang dia tanya bukan seseorang tertentu, melainkan setiap orang yang hadir di tempat itu.

Mendadak seseorang melompat bangun dari tempat duduknya dan berteriak keras: "Kalau dia adalah aku, maka aku hendak membunuh orang"

Orang ini bernama Si Keng-meh. Keluarga Si adalah sebuah keluarga yang termashur di sungai besar, kakek moyangnya dulu adalah seorang tabib kenamaan, ketika ilmu pertabiban tersebut diwariskan kepadanya, ia sudah merupakan keturunan yang ke sembilan dan setiap generasinya semuanya merupakan orang-orang terpandang yang terhormat dan tahu aturan.

Tentu saja diapun seorang lelaki sejati, jarang bicara, sopan santun dan tahu adat, tapi sekarang ternyata dia mengucapkan kata-kata tersebut, orang yang kenal dengannya tentu saja dibikin terperanjat.

Cia Siau-hong sebaliknya malah tertawa.

"Kau hendak membunuh orang? Berapa banyak yang hendak kau bunuh?", tanyanya. Agaknya Si Keng-meh dibikin terperanjat oleh pertanyaan itu, gumamnya seorang diri: "Membunuh berapa orang? Berapa orang yang bisa kubunuh?"

"Kau ingin membunuh berapa orang?"

"Sebetulnya aku hanya ingin membunuh seorang, tapi setelah kupikir kembali, rasanya masih ada orang yang masih dibunuh pula!"

"Apakah mereka telah berbuat sesuatu yang menyalahi dirimu?"

Si Keng-meh menggigit bibirnya kencang-kencang, sinar berapi-api memancar keluar dari balik matanya, dan setiap waktu setiap saat, ia hendak memenggal batok kepala mereka.

Cia Siau-hong menghela napas panjang, katanya:

"Sayang kau masih mempunyai waktu yang cukup lama untuk hidup, karena itu kaupun hanya bisa menyaksikan hidup aman sentosa dengan bebasnya, bahkan mungkin hidup mereka jauh lebih gembira dan bahagia daripada dirimu sendiri" Sampai lama sekali Si Keng-meh berdiri termangu-mangu, pelan-pelan tangannya yang menggenggam mengendor kembali. Sinar berapi-api yang memancar keluar dari matanya juga mulai lenyap, ujarnya dengan sedih:

"Benar, justru karena aku harus hidup lebih lanjut, maka terpaksa aku pun membiarkan mereka hidup lebih jauh!"

Nada suaranya penuh dengan perasaan sedih dan apa boleh buat, baginya bisa hidup lebih jauh bukan merupakan suatu hal yang menggembirakan, sebaliknya justru berubah menjadi beban dan tanggung-jawab.

Tanpa sadar ia mulai bertanya pada diri sendiri:

"Jika seseorang harus hidup lebih jauh, sesungguhnya kejadian ini adalah suatu kemujuran? Ataukah suatu ketidak-mujuran?"

Tiba-tiba Cia Siau-hong berpaling, sambil menatap wajah Kian Po-sia dia bertanya: "Dan kau!"

Sebenarnya Kian Po-sia hanya termenung terus selama ini, maka pertanyaan yang diajukan kepadanya itu sangat mengejutkan hatinya.

"Aku?", dia berseru.

"Kau adalah seorang manusia yang punya bakat dan kepandaian, mana asal-usulnya baik, kepandaiannya baik, lagi pula gagah dan perkasa, aku pikir selama ini kau pasti dihormati setiap orang dan kau sendiri tentu saja tak akan berani melakukan perbuatan yang melanggar sopan santun dan adat istiadat!"

Kian Po-sia tidak menyangkal.

"Tapi seandainya hidupmu tinggal tiga hari lagi, apa yang bakal kau lakukan. ?", tanya Cia Siau-

hong lagi.

"Aku. aku akan baik-baik mengatur semua persiapan pada akhir hidupku dan kemudian

menunggu kematian dengan tenang!" "Sungguh?"

Sinar matanya lebih tajam dari sembilu, seakan-akan sedang menembusi hatinya dan mengorek isi hatinya.

"Jujurkah perkataanmu itu?"

Kian Po-sia tertunduk rendah-rendah, tapi dengan cepat mendongakkan kepalanya kembali sambil berteriak:

"Tidak, tidak jujur, aku sedang berbohong!"

Setelah meneguk tiga cawan arak, ia berkata lagi dengan suara lantang:

"Seandainya hidupku tinggal tiga hari, aku akan pergi makan besar, minum sepuasnya, berjudi dan akhirnya mengumpulkan semua pelacur yang ada di kota ini, menelanjangi mereka semua dan bermain petak-umpet dengan mereka" Dengan perasaan terkejut ayahnya memandang ke arahnya, lalu berseru:

"Kau.....kau. mengapa kau bisa berpikir melakukan perbuatan semacam ini?"

"Perbuatan semacam itu merupakan perbuatan yang paling menyenangkan, andaikata kau hanya bisa hidup tiga hari kemungkinan besar kaupun akan berbuat seperti apa yang kukatakan!"

"Aku......aku. ", Kian Hu-seng tergagap dan tak mampu melanjutkan kembali kata-katanya.

"Sayang, kalian semua masih hidup lebih lama lagi", kata Cia Siau-hong, "maka sekalipun dalam hati ingin sekali, kalian hanya bisa memikirkannya saja dalam hati"

Akhirnya Kian Hu-seng menghela napas, setelah tertawa getir, ujarnya:

"Terus terang kukatakan pada hakekatnya untuk membayangkan saja aku tak berani"

Seorang nona berusia dua puluh delapan-sembilan tahunan, kebetulan masuk ke dalam ruangan sambil membawa semangkuk besar itik masak angsio yang masih kebul-kebul.

Tiba-tiba Siau-hong bertanya kepadanya:

"Seandainya kau bisa hidup tiga hari lagi, apa yang ingin kau lakukan. ?"

Oleh pertanyaan tersebut, tampaknya nona tersebut merasa amat terkejut, ia menjadi tergagap dan tak mampu mengucapkan sepatah kata.

Sambil menarik muka Siau Te segera membentak:

"Kalau memang Cia sianseng bertanya kepadamu, apa yang ingin kau katakan harus kau katakan dengan sejujurnya"

Dengan perasaan ya malu, ya takut, akhirnya nona itu menjawab juga dengan wajah merah: "Aku ingin kawin!"

"Apakah selama ini kau belum pernah kawin?" "Belum!"

"Kenapa tidak kawin?"

Dengan wajah tersipu-sipu, nona itu menundukkan kepalanya rendah-rendah.

"Semenjak kecil aku sudah dijual kepada orang untuk menjadi pelayan, manusia seperti aku mana mungkin bisa mendapat suami yang baik? Lagi pula lelaki mana yang bersedia mengawini diriku?"

"Tapi seandainya kau hanya bisa hidup tiga hari lagi, tentunya tak akan kau perdulikan bukan lelaki mana yang bakal mengawini dirimu?"

"Ya, asal dia seorang lelaki, seorang lelaki hidup, laki-laki tulen, itu sudah lebih dari cukup", jawab si nona.

Tiba-tiba wajahnya bersinar dan tampak lebih bersemangat, dengan suara keras ujarnya kembali: "Setelah itu akan kubunuh dirinya. !"

Kalau ada seorang nona yang berusia dua puluh delapan-sembilan tahunan ingin kawin, maka kejadian ini bukan sesuatu yang aneh, tapi kata-katanya yang terakhir justru membuat orang merasa tidak habis mengerti...............

Dengan perasaan terkejut, semua orang bertanya:

"Kalau kau memang berkeinginan untuk kawin dengannya, kenapa pula kau hendak membunuhnya?"

"Karena akupun belum pernah merasakan jadi seorang janda, aku ingin tahu bagaimanakah rasanya menjadi seorang janda!"

Semua orang saling berpandangan dan ingin tertawa, tapi tak seorangpun di antara mereka bisa tertawa, siapapun tidak menyangka kalau perempuan ini bisa berpikir begini hebat dan luar biasa, suatu angan-angan yang lain daripada yang lain.

"Sayang aku masih akan hidup lama di dunia ini!", ujar si nona kembali, "oleh sebab itu bukan saja aku tak akan menjadi seorang janda, bahkan kemungkinan untuk kawinpun amat tipis!"

Ia menundukkan kepalanya dan menghela napas panjang, setelah meletakkan mangkuk ke meja, dengan kepala tertunduk ia mengundurkan diri dari ruangan itu.

Lewat lama, lama sekali, dari atas pembaringan tiba-tiba terdengar seseorang bergumam: "Andaikata aku hanya bisa hidup tiga hari lagi, aku pasti akan mengawininya"

Orang ini bernama Yu Cun-cay, diapun seorang tabib kenamaan bahkan seorang lelaki yang berjiwa ksatria dan gagah perkasa, apa lacur, ia memiliki bentuk tubuh yang aneh dan lucu, bukan cuma punggungnya bongkok, kakinya pincang, bahkan seluruh mukanya penuh dengan bopeng.

Justru lantaran dia punya nama. bukan cuma nama dalam profesi bahkan nama besar karena

kejelekannya, maka walaupun banyak mak comblang yang berusaha dengan segala cara dan akal mencarikan jodoh baginya, begitu pihak wanita mengetahui kalau jodohnya adalah "Ma Tay-hu" atau Tabib Bopeng, kontan saja mereka mengundurkan diri cepat-cepat, malah ada satu kali sang mak comblang kena diusir orang dengan sapunya.

"Kau betul-betul ingin mengawininya?", tiba-tiba Cia Siau-hong bertanya pelan.

"Perempuan itu mana bersih, mana montok, halus lagi kulit badannya, bisa mengawininya sebagai biniku, hal mana sudah terhitung rejekiku, cuma sayang. "

"Cuma sayang kau masih belum mati maka mau tak mau harus mempertahankan pula nama baik keluargamu, bagaimanapun tak mungkin akan mengawini seorang pelayan dan menjemputnya pulang dengan tandu besar yang digotong delapan orang", sambung Cia Siau-hong.

Yu Cun-cay cuma mengangguk, menghela napas, tertawa getir dan meneguk arak. Cia Siau-hong kembali tertawa terbahak-bahak.

Dengan keheranan semua orang menatap dirinya yang sedang tertawa. Pelan-pelan Cia Siau-hong berkata lagi: "Tadi kalian semua ingin bertanya kepadaku, seorang yang dengan jelas tahu bahwa dirinya hampir mati, kenapa masih juga bisa tertawa tergelak? Sekarang mengapa kalian tidak bertanya lagi?"

Tak seorangpun yang menjawab, tak seorangpun dapat menjawab pertanyaannya itu. Cia Siau-hong segera memberi jawaban atas pertanyaannya sendiri:

"Karena sekarang secara diam-diam kalian sedang mengagumi diriku, iri kepadaku, sebab apa yang ingin kalian lakukan ternyata tak berani dilakukan, sedang aku dapat melakukannya semua dengan bebas dan leluasa. "

"Bila seseorang bisa hidup bebas dan leluasa selama beberapa hari dengan penuh keriangan dan kegembiraan tanpa segala ikatan dan batasan-batasan, aku percaya pasti ada banyak orang yang secara diam-diam iri dan kagum kepadanya"

Yu Cun-cay sudah menghabiskan dua cawan arak, tiba-tiba ia bertanya:

"Bagaimana dengan kau sendiri? Selama beberapa hari ini, apa yang ingin kau lakukan?"

"Aku minta kau mengawininya!", jawab Cia Siau-hong. Sekali lagi Yu Cun-cay terperanjat.

"Mengawini siapa?" "Adik angkatku!"

"Adik angkatmu? Siapa adik angkatmu?"

Mendadak Cia Siau-hong menyerbu ke depan dan menarik masuk si nona pelayan yang selama ini bersembunyi di luar pintu dan diam-diam mencuri dengar pembicaraan mereka.

"Dialah adik angkatku!", Cia Siau-hong menerangkan. Yu Cun-cay tertegun. Si nonapun tertegun.

"Kau she apa? Siapa namamu?", tanya Cia Siau-hong lebih lanjut. Si nona menundukkan kepalanya rendah-rendah.

"Sebagai pelayan orang, dari mana datangnya nama she (marga)? Majikan hanya memberi nama Hong-bwe kepadaku!"

"Mulai sekarang kau punya nama she, kau she Cia!", kata Cia Siau-hong lagi. "She Cia?"

"Mulai sekarang kau sudah menjadi adik angkatku, aku she Cia, kalau tidak ikut she Cia lantas she apa?"

"Tapi kau.....kau. " "Aku adalah Sam sauya dari keluarga Cia, Cia Siau-hong dari perkampungan Sin-kiam-san-ceng, telaga Liok Sui-oh, bukit Cui-im-kok"

Agaknya Hong-bwe pernah mendengar nama itu, dia mengulangi:

"Sam sauya dari keluarga Cia? Cia Siau-hong?"

"Ya, perduli siapapun setelah menjadi adik angkatnya Sam sauya dari keluarga Cia, kejadian ini sudah pasti bukan merupakan kejadian yang memalukan!"

Lalu sambil menuding ke arah Yu Cun-cay, dia melanjutkan:

"Walaupun orang ini bukan tergolong tampan, tapi dia adalah seorang suami yang baik" Kepala Hong-bwe tertunduk semakin rendah.

Cia Siau-hong menarik tangannya dan diletakkan di atas genggaman Yu Cun-cay, kemudian berkata lebih lanjut:

"Detik ini ku umumkan bahwa kalian sudah menjadi suami isteri, adakah seseorang merasa keberatan?"

Tak ada! Tentu saja tak ada! Karena kejadian ini adalah suatu peristiwa perkawinan suatu perkawinan yang luar biasa, tidak menuruti aturan permainan, bahkan agak sedikit tak masuk di akal.

Tapi, perkawinan dalam bentuk macam apapun selalu akan mendatangkan kegembiraan dan kobaran semangat bagi siapapun.

Hanya Si Keng-meh yang duduk terpekur dengan wajah murung dan sedih. Pelan-pelan Cia Siau-hong menghampirinya, tiba-tiba ia bertanya:

"Apakah orang itu adalah sahabatmu?" "Orang yang mana?", tanya Si Keng-meh.

"Orang yang telah berbuat kesalahan kepadamu!"

Si Keng-meh mengepal sepasang tinjunya kencang-kencang, katanya: "Aku.......aku selalu menganggapnya sebagai sahabatku, tapi dia........dia. !"

"Ternyata dia telah melakukan perbuatan yang menyalahi diriku. ?"

Si Keng-meh menutup mulutnya rapat-rapat, sepatah katapun tidak diucapkan, tapi air matanya sudah jatuh bercucuran membasahi pipinya, agaknya ia tak tega untuk mengutarakan kisah tersebut.

Betapapun besarnya rasa benci dan dendam, betapapun dalamnya penderitaan dan siksaan, ia dapat menerimanya sambil mengertak gigi, tapi ia tak kuasa menahan rasa malu dan aib yang diberikan peristiwa ini kepada dirinya.

Cia Siau-hong memandang ke arahnya, memandang dengan penuh rasa simpatik. "Aku dapat melihat bahwa kau adalah seorang yang amat jujur!"

Si Keng-meh menundukkan kepalanya makin rendah, katanya dengan amat sedih: "Aku tak lebih hanya seorang manusia yang tak berguna!"

Orang jujur bisa diartikan pula dengan seorang manusia yang tak ada gunanya. "Tapi paling tidak kau pernah bersekolah", kata Cia Siau-hong.

"Mungkin lantaran aku pernah bersekolah, maka aku baru berubah menjadi begini tak ada gunanya"

"Ada, kau ada gunanya"

Si Keng-meh tertawa, suatu tertawa yang penuh dengan ejekan dan cemoohan terhadap diri sendiri.

"Berguna? Apa gunanya?", ia berkata.

"Kadangkala dengan pena pun orang bisa membunuh sesamanya", Cia Siau-hong berkata. "Dengan pena juga bisa membunuh orang?"

"Kau tidak percaya?" "Aku. "

"Di atas meja sana toh ada pena dan tinta, apa salahnya untuk pergi mencobanya?" "Bagaimana cara mencobanya?"

"Kau hanya cukup menulis tiga patah kata dan ketiga patah kata itu sudah cukup untuk merenggut nyawa seseorang"

"Tiga patah kata?"

"Ya, tiga patah kata! Nama orang itu!"

Si Keng-meh mendongakkan kepalanya memandang wajahnya dengan penuh rasa terkejut.

Hingga sekarang ia baru menyadari bahwa orang yang hampir mati dan berdiri di hadapannya sekarang ternyata membawa sesuatu kekuatan yang misterius dan menakutkan, setiap saat setiap waktu dapat melakukan suatu perbuatan yang tidak menguntungkan bagi orang lain.

"Cepat kau tulis nama orang itu", Cia Siau-hong berkata lagi, "selesai menulis simpanlah dalam sampul dan tutuplah dengan rapat, kemudian serahkan kepadaku, aku jamin di sini tak seorangpun yang bisa membocorkan rahasiamu"

Akhirnya Si Keng-meh bangkit juga, berjalan mendekati meja dan mengambil pena.

Kekuatan misterius dari orang itu sungguh membuatnya tak sanggup melakukan perlawanan, apa yang dia ucapkan juga tak bisa tidak untuk dipercayainya........... Sampul yang diberi segel telah berada di tangan Cia Siau-hong, dalam sampul hanya berisi selembar kertas dan sebuah nama.

"Kecuali kau seorang, aku jamin tiada orang lain yang tahu siapakah nama yang tercantum dalam sampul tertutup ini", kata Cia Siau-hong.

Si Keng-meh manggut-manggut, wajahnya yang pucat mengejang jeras karena gembira dan tegang, tak tahan ia bertanya:

"Bagaimana selanjutnya?"

"Selanjutnya hanya seorang yang bisa melihat nama tersebut!" "Siapa?"

"Seorang yang pasti dapat menyimpan rahasia ini dengan sebaik-baiknya" Ia berpaling ke arah Siau Te dan melanjutkan:

"Tentu saja sudah kau duga bukan kalau orang tersebut adalah kau?" "Ya!", Siau Te mengangguk.

"Setelah kau membaca nama orang itu, tentu saja nyawa orang itu tak akan hidup lebih lama bukan?"

"Tentu saja!"

"Dan kematiannya tentu saja jauh di luar dugaan?" "Betul!"

Ia mengulur tangannya dan menerima sampul surat tersebut dari tangan Cia Siau-hong, tangannya semantap dan setenang tangan Cia Siau-hong.

Setiap orang sedang memandang ke arah mereka semua, mimik wajah mereka entah sedang menampilkan rasa kagumkah? Ataukah jeri?

Sebuah sampul, secarik kertas, sebuah nama, dalam sekejap mata telah menentukan mati hidup seseorang. Sesungguhnya siapakah ke dua orang itu? Mengapa mereka memiliki kekuatan sebesar ini?

Peluh sebesar kacang telah membasahi seluruh jidat Si Keng-meh, mendadak ia menerjang ke muka, merampas surat itu dari tangan Siau Te, melumat-lumatnya menjadi satu, kemudian dijejalkan ke dalam mulut, melumatnya menjadi hancur, lalu ditelan dan akhirnya mulai muntah- muntah.

Cia Siau-hong hanya menyaksikan tindak-tanduknya itu dengan pandangan dingin, ia tidak bicara, pun tidak menghalangi perbuatannya.

Paras muka Siau Te lebih tenang lagi, tanpa emosi di atas wajahnya.

Hingga ia selesai muntah, Cia Siau-hong baru bertanya dengan suara hambar: "Kau tak tega melihat dia mati?"

Si Keng-meh menggelengkan kepalanya dengan sepenuh tenaga, air mata dan peluh dingin mengucur keluar bersama-sama.

"Kalau kau toh membencinya hingga merasuk ke tulang sumsum, mengapa pula kau tak tega membiarkan dia mati?", tanya Cia Siau-hong.

"Aku........aku. "

"Di sana masih tersedia kertas dan pena, aku bisa memberi sebuah kesempatan lagi kepadamu!" Sekali lagi Si Keng-meh menggelengkan kepalanya berulang kali.

"Aku benar tak ingin dia mati, benar-benar tak ingin!", serunya. Cia Siau-hong tertawa.

"Ternyata rasa bencimu kepadanya tidaklah begitu mendalam seperti apa yang kau bayangkan semula!", katanya.

Sambil tersenyum ditariknya Si Keng-meh yang hampir lemas tak bertenaga itu dari atas tanah, lalu katanya lebih lanjut.

"Bagaimana juga kau toh sudah memiliki kesempatan untuk membunuhnya, tapi kau telah melepaskannya kembali, asal kau teringat akan hal ini maka hatimu akan terasa jauh lebih lega dan tenang"

Ruangan itu amat gelap, tapi wajahnya seakan-akan bersinar, tanpa terasa semua orang berpaling ke arahnya, mimik wajah mereka hanya menampilkan rasa hormat tanpa rasa ngeri dan seram.

Sebuah sampul, secarik kertas, sebuah nama, dalam waktu singkat telah melenyapkan rasa benci dan dendam yang telah tertanam dalam-dalam di hati seseorang.

Sesungguhnya siapakah dia? Kenapa bisa memiliki kekuatan sedahsyat dan semisterius begini?

Arak telah memenuhi seluruh cawan, setiap orang sedang meneguk arak dengan mulut membungkam, meneguk hingga habis, setiap orang mengerti secawan arak itu mereka minum untuk menghormati siapa?

Mungkin hanya tiga hari, dalam tiga hari ini apa pula yang hendak dia lakukan?

Cia Siau-hong menghembuskan napas panjang, gelak tertawanya semakin riang, terhadap segala sesuatunya ia tampak merasa amat puas.

Ia gemar minum arak, iapun suka orang lain menghormatinya, walaupun kedua macam persoalan ini sudah lama terlupakan, tapi sekarang lambat-laun mulai merembes dalam tubuhnya dan mendatangkan rasa hangat di seluruh badan.

"Yang harus pergi, cepat atau lambat dia pasti akan pergi", ditatapnya sekejap semua orang, kemudian melanjutkan, "di antara kalian sekarang, masih adakah seseorang yang bersikeras hendak menahanku tetap tinggal di sini?" Sekali lagi Siau Te mengangkat cawannya dan meneguk isi cawan hingga habis, kemudian sepatah demi sepatah kata menjawab:

"Tidak ada, tentu saja tidak ada!"

Sekali lagi semua orang mengangkat cawannya dan meneguk isi cawan hingga habis, setiap orang sedang memperhatikan Cia Siau-hong.

Hanya Kian Po-sia yang tertunduk selalu, tiba-tiba ia bertanya:

"Sekarang, apakah kau sudah seharusnya pergi?" "Benar!", jawab Cia Siau-hong.

Ia beranjak dan menghampirinya, lalu sambil menggenggam lengan Kian Po-sia, tambahnya: "Mari kita berangkat bersama!"

"Kita berangkat bersama?", akhirnya Kian Po-sia mendongakkan juga kepalanya, "kau hendak mengajak aku kemana?"

"Pergi makan besar, minum sepuasnya, bermain judi dan bermain pelacur. !"

"Kemudian?"

"Kemudian aku pergi mati, sedang kau kembali ke rumah untuk meneruskan kedudukanmu sebagai seorang kuncu!"

Tanpa berpikir untuk kedua kalinya, Kian Po-sia segera beranjak. "Baik, mari kita berangkat!"

Menyaksikan mereka keluar bersama, setiap orang tahu, bahwa kepergian Cia Siau-hong kali ini sudah pasti tak akan kembali lagi untuk selama-lamanya.

Tapi bagaimana dengan Kian Po-sia? Apakah dia bisa kembali lagi untuk meneruskan kedudukannya sebagai seorang kuncu?

Baru keluar dari pintu gerbang, tiba-tiba Kian Po-sia berhenti lagi, katanya: "Sekarang kita masih bisa pergi?"

"Kenapa?"

"Sebab kau adalah Sam sauya dari keluarga Cia, Cia Siau-hong!"

Ini bukan alasan yang tepat, maka Kian Po-sia segera menambahkan:

"Setiap orang yang berada di sini pada tahu bahwa ilmu pedang Sam sauya dari keluarga Cia adalah ilmu pedang yang tiada tandingannya di dunia ini, tapi tak seorangpun pernah menyaksikannya!"

Cia Siau-hong mengakuinya. Nama besarnya memang diketahui oleh seantero jagad, tapi tak banyak orang yang bisa menyaksikan ilmu pedangnya dengan mata kepala sendiri. ~Bersambung ke Jilid-17 Jilid-17

Bila Sam-sauya telah mati, siapa pula yang bisa menyaksikan lagi ilmu pedang Sam-sauya yang maha sakti itu?

Tentu saja tak ada, seorangpun tidak! Karenanya Kian Po-sia berkata lebih jauh:

"Dari tempat yang sangat jauh semua orang datang kemari, mungkin yang hendak mereka lihat bukan penyakit yang di derita, Sam-sauya tidak seharusnya memberi rasa kecewa yang mendalam kepada mereka semua"

Itulah suara pernyataan yang jujur, penyakit Sam-sauya memang tidak menarik untuk di lihat, yang menarik justru adalah ilmu pedang Sam-sauya yang tiada bandingannya.

Cia Siau-hong tertawa.

Sambil tersenyum ia berpaling, lalu tanyanya:

"Di sini ada pedang?"

Di sini ada pedang? Tentu saja ada!

Pedang memang ada, cuma bukan pedang antik, juga bukan pedang kenamaan, hanya sebilah pedang bagus, pedang bagus yang ditempa dari baja asli.

Apakah sebilah pedang bagus dapat berubah menjadi sebilah pedang antik, sebilah pedang kenamaan, biasanya harus dilihat pula siapa yang menggunakannya?

Bila sebilah pedang bisa mendapatkan seorang majikan yang baik, setiap kali di gunakan pasti menang, tentu akan ternama pula pedang itu.

Bila pedang itu tidak memperoleh majikan yang baik, pedang itu akan patah, akan musnah dan lenyap, tak meninggalkan nama harum yang dikenang sepanjang masa, apalagi dipakai melindungi diri.

Ya, kehidupan seorang manusia di dunia ini bukankah juga demikian? Pedang itu sudah diloloskan dari sarungnya.

Begitu sang pedang lolos dari sarungnya segera berubahlah menjadi sejalur sinar yang cemerlang, serentetan cahaya berkilauan yang tajam, mentereng dan indah.

Cahaya tajam itu sedang bergerak, sedang melayang-layang jauh di atas sana, setiap orang merasa bahwa sinar tersebut seolah-olah bergerak di depan mata sendiri, tapi tak seorangpun yang bisa menduga di manakah sinar itu sebenarnya berada?

Perubahannya hampir saja telah melampaui batas-batas kemampuan dari umat manusia, hampir saja membuat orang tak dapat mempercayainya.

Tapi ia benar-benar berada di situ, bahkan di manapun berada. Tapi, di kala setiap orang sedang berusaha menebak letaknya yang sesungguhnya, mendadak ia lenyap tak berbekas.

Tiba-tiba suatu keanehan telah terjadi dan keanehan itupun tiba-tiba lenyap kembali.

Semua gerak-gerik maupun perubahan telah tercapai keseluruhannya dalam sekejap mata dan akhirnya terhenti sama sekali. Seperti sebuah meteor. Seperti juga petir yang menyambar, tapi dalam kenyataannya jauh lebih aneh dari pada meteor maupun sambaran petir. Karena kekuatan dari semua perubahan tersebut terpancar keluar dari tubuh seseorang.

Seorang manusia biasa, manusia yang punya darah dan daging.

Menanti sinar pedang itu lenyap, pedangnya masih ada, tapi manusianya sudah lenyap tak berbekas.

Pedang itu berada di atas wuwungan rumah.

Dengan termangu-mangu semua orang memperhatikan pedang tersebut, entah berapa lama sudah lewat, akhirnya terdengar seseorang menghembuskan napas panjang.

"Dia tak akan mati!" "Kenapa?"

"Karena di dunia ini sebenarnya terdapat semacam manusia yang selamanya tak akan mati!" "Apakah Cia Siau-hong adalah manusia macam itu?"

"Benar!"

"Kenapa?"

"Karena perduli kemanapun orangnya pergi, dia pasti selalu hidup dalam hati kita semua, hidup untuk selama-lamanya"

Malam sudah kelam, cahaya lentera menerangi setiap bangunan rumah, terang benderang bermandikan cahaya.

Mereka sudah mulai dipengaruhi oleh air kata-kata, lebih-lebih Kian Po-sia, ia malah sedang bergumam.

"Orang-orang itu tentu sedang keheranan, mengapa secara tiba-tiba aku bisa berkeinginan untuk melakukan perbuatan semacam ini, padahal selama ini aku adalah seorang anak baik-baik"

"Manusiakah kau?", tanya Cia Siau-hong. "Tentu saja!"

"Asal dia manusia, entah manusia macam apapun juga, untuk belajar berbuat jelek biasanya jauh lebih mudah daripada belajar berbuat kebaikan, apalagi manusia yang suka makan minum, judi dan bermain perempuan, pada hakekatnya tak perlu dipelajari lagi!" Kian Po-sia segera menyatakan persetujuannya atas pendapat tersebut.

"Ya, agaknya semenjak dilahirkan setiap orang memang sudah mewarisi kepandaian untuk berbuat demikian", katanya.

"Tapi seandainya kau benar-benar ingin memahami pengetahuan yang lebih mendalam tentang hal-hal tersebut, maka hal ini sudah tidak terhitung gampang lagi"

"Bagaimana pula dengan kau?" "Aku adalah seorang ahli!"

"Lantas kau bermaksud membawa aku ke mana?" "Mencari uang!"

"Apakah seorang ahli yang hendak melakukan perbuatan semacam inipun harus menghamburkan uang juga?"

"Justru karena aku adalah seorang ahli, maka aku harus menghamburkan uang, bahkan uang yang ku hamburkan biasanya jauh lebih banyak daripada orang lain"

"Kenapa?"

"Karena pekerjaan semacam ini adalah pekerjaan yang harus menghamburkan uang, jika enggan menghamburkan uang, lebih baik pulang saja menggendong anak!"

Perkataan semacam ini memang cocok sebagai perkataan seorang ahli. Hanya seseorang yang betul-betul ahli baru akan memahami makna dan alasan yang sebenarnya dari teori tersebut.

Jika sudah pingin mencari kepuasan, segala sesuatunya diperinci sedetil-detilnya, manusia macam beginilah baru pantas di sebut bibit penyakit dari pekerjaan semacam ini, karena sekalipun mereka dapat mengerti beberapa tahil perak, namun dalam pandangan orang lain justru akan berubah menjadi sepeserpun tak ada harganya.

Sebagai seorang ahli tentu saja mempunyai kesulitan sebagai seorang ahli biasanya kesulitan yang terutama hanyalah satu hal. yakni uang.

Sebab bagaimanapun juga menghamburkan uang selamanya jauh lebih gampang daripada mencari uang, tapi dalam soal ini agaknya hal tersebut masih belum terlampau menyulitkan Cia Siau-hong.

Ia membawa Kian Po-sia bergelandangan ke sana ke mari menelusuri jalan raya, tiba-tiba mereka memasuki sebuah warung penjual barang kelontong yang bobrok dan kotor.

Bagaimanapun kau mencoba untuk memperhatikan, tak akan kau jumpai hal-hal yang membiarkan petunjuk bahwa tempat itu adalah suatu tempat yang bisa memperoleh uang dengan mudah.

Dalam warung penjual barang kelontong hanya duduk seorang kakek yang sudah melamur matanya, setengah buta, setengah tuli, manusia macam begitu sedikitpun tidak mirip seperti seseorang yang memiliki banyak uang. Kian Po-sia mulai keheranan.

Kami tidak ingin membeli minyak, juga tak ingin membeli cuka, mau apa ia mengajak kemari?

Cia Siau-hong telah masuk ke dalam, membisikkan sesuatu ke sisi telinga sang kakek dengan suara yang amat lirih.

Mimik wajah kakek itu segera berubah, tiba-tiba saja sikapnya berubah bagaikan seekor tikus yang secara tiba-tiba dikerumuni oleh delapan ekor kucing.

Kemudian ia membawa Cia Siau-hong masuk ke ruang dalam, melewati sebuah pintu kecil di belakang yang tertutup oleh sehelai tirai kumal.

Terpaksa Kian Po-sia harus menunggu di luar.

Untung saja Cia Siau-hong telah muncul kembali dengan cepatnya, begitu keluar dia lantas bertanya:

"Tiga puluh laksa tahil perak cukup tidak kita hamburkan?"

Tiga puluh laksa tahil perak? Darimana datangnya tiga puluh laksa tahil perak? Dari sebuah warung yang bobrok dan kotor, ternyata dalam waktu singkat bisa diperoleh uang sebesar tiga puluh laksa tahil perak, hakekatnya Kian Po-sia hampir tak percaya.

Akan tetapi Cia Siau-hong benar-benar sudah memiliki tiga puluh laksa tahil perak. Kakek itu belum juga keluar, tak tahan Kian Po-sia mulai berbisik:

"Sesungguhnya tempat apakah ini?" "Tentu saja suatu tempat yang baik!" Setelah tersenyum ia menambahkan:

"Tempat yang ada uangnya, selalu boleh dianggap sebagai tempat yang baik" "Masakah di tempat seperti ini juga ada uangnya?"

"Daging bakpao tak akan kau jumpai di luar, apakah seseorang punya uang atau tidak, tak akan bisa dilihat dari luarannya saja!"

"Jadi kakek itu kaya raya?"

"Bukan cuma kaya raya, kemungkinan besar dia adalah orang yang terkaya di wilayah delapan ratus li di sekitar tempat ini"

"Kalau memang demikian, mengapa dia masih melewatkan penghidupannya dalam keadaan seperti ini?"

"Justru karena ia bersedia melewatkan penghidupannya dalam keadaan seperti ini, maka ia baru menjadi kaya"

"Kalau dia sendiripun sampai merasa berat hati untuk menghamburkan uangnya, mana mungkin ia bersedia menghadiahkan uang sebesar tiga puluh laksa tahil perak kepadamu?" "Tentu saja aku punya akal!"

Kian Po-sia mengerdipkan matanya berulang kali, lalu sambil merendahkan suaranya dia melanjutkan:

"Apakah akalmu itu? Bukankah hitam makan hitam?"

Cia Siau-hong tertawa, dia cuma tertawa tidak menjawab.

Kian Po-sia makin tertarik dan ingin tahu, tak tahan ia bertanya kembali:

"Apakah kakek itu adalah seorang pentolan penyamun yang bercokol di sini sambil menantikan pembagian hasil?"

Cia Siau-hong tersenyum.

"Lebih baik jangan kau tanyakan persoalan semacam ini dalam keadaan seperti ini!" "Lantas apa yang harus kutanyakan?"

"Tanyalah kepadaku, hendak ku ajak kemanakah dirimu untuk menghamburkan uang ini?" Kian Po-sia ikut tertawa.

Entah bagaimanapun juga, menghamburkan uang memang merupakan suatu pekerjaan yang paling menggembirakan.

Dengan cepat ia bertanya:

"Kita akan pergi ke mana untuk menghamburkan uang?"

Belum sempat Cia Siau-hong buka suara, kakek itu sudah munculkan diri dari balik tirai sambil menjawab:

"Di sini!"

Tempat itu adalah sebuah kedai yang bobrok dan kotor, sekalipun semua barang dagangannya diborong sampai habis juga tak akan lebih dari lima ratus tahil perak.

Tentu saja Kian Po-sia harus bertanya:

"Di sinipun ada tempat untuk menghamburkan uang?"

Sambil memicingkan matanya kakek itu memperhatikannya beberapa kejap, kemudian kepalanya ditarik kembali seakan-akan merasa malas untuk bercakap-cakap dengan mereka.

Cia Siau-hong tertawa, katanya:

"Kalau di sini tak ada tempat untuk menghamburkan uang, darimana pula datangnya uang sebesar tiga puluh laksa tahil perak tersebut?"

Masuk di akal juga perkataan itu, tapi Kian Po-sia tak urung masih merasa agak curiga juga. "Di sinipun ada perempuan?"

"Bukan cuma saja ada, bahkan perempuan terbaik yang ada di sekitar delapan ratus li dari sini, semuanya berkumpul di tempat ini"

"Arak terbaikpun yang ada pada delapan ratus li di sekitar sinipun terdapat di tempat ini?" "Betul!"

"Darimana kau bisa tahu?" "Karena aku adalah seorang ahli!"

Di bagian belakang warung bobrok itu hanya terdapat sebuah pintu.

Sebuah pintu yang kecil lagi sempit dengan sebuah tirai kain yang kumal dan penuh tambalan sebagai tabir.

Di manakah araknya? Di manakah perempuannya?

Apakah berada di balik pintu kecil yang bertabirkan selembar kain tirai yang kumal dan penuh tambalan ini?

Kian Po-sia tak kuasa menahan diri, dia ingin menyingkap tabir itu dan mengintip ke dalam, tapi belum lagi kepalanya dijulurkan ke dalam, tiba-tiba terendus bau harum yang semerbak.

Bau harum semerbak yang luar biasa. Kemudian diapun jatuh tak sadarkan diri.

Ia tak tahu apa yang kemudian terjadi, diapun tak tahu apa yang selanjutnya menimpa dirinya.....

Ia hanya merasa kepalanya pusing tujuh keliling, kemudian apapun tak bisa diingat lagi. ooooOOOOoooo
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar