Bab 22. Hukum Yang Tegas
Pengaruh Thi-lo-piautau masih tertanam dalam hati masing-masing orang, karena itu semua orang tak bisa tidak harus tunduk kepadanya.
Yang mengherankan, kenapa dalam keadaan dan situasi seperti ini tiba-tiba saja ia menyinggung soal rumah tangganya, sedang soal bendera perusahaan yang patah dan piausu yang dihina malahan tidak disinggungnya sama sekali.
Berbeda dengan Cia Siau-hong, ia dapat menangkap bahwa di balik pertanyaan sekitar rumah tangga perusahaannya itu, pemuda tersebut sesungguhnya mempunyai maksud yang mendalam.
Kesedihan yang mencekam wajah Thio Si, tampak jelas bukan dikarenakan terkenang oleh budi kebaikan Thi lo-piautau, melainkan merasa murung dan menyesal karena ia telah melalaikan kewajiban serta tanggung jawabnya.
Pemuda itu menghela napas panjang, tiba-tiba tanya lagi:
"Bukankah kau menikah pada usia tiga puluh sembilan tahun?" "Benar!", jawab Thio Si.
"Konon istrimu lemah lembut dan amat pintar, terutama dalam bidang masak memasak" "Beberapa macam sayur yang sederhana memang masih bisa dimasak olehnya dengan lumayan!" "Berapa anak yang kau peroleh darinya?"
"Tiga orang, dua lelaki satu perempuan!"
"Asal ada seorang ibu bijaksana yang mendidik anak-anaknya, di kemudian hari anak-anakmu itu pasti dapat sukses dalam usahanya"
"Semoga saja demikian!"
"Ketika mendiang ayahku meninggal dunia, ibuku selalu merasa kekurangan seorang pembantu di sisinya, bila kau tidak keberatan, suruhlah istrimu pindah ke ruang belakang untuk menemani dia orang tua"
Thio Si jatuhkan diri berlutut, kemudian. "Blang, blang, blang!", menyembah tiga kali di hadapan
pemuda tersebut seolah-olah ia merasa berterima kasih sekali atas kebijaksanaan dari si anak muda itu mengaturkan keluarganya.
Pemuda itu tidak menghalangi perbuatannya, menunggu ia selesai menyembah, baru tanyanya lagi:
"Apakah kau masih ada pesan lainnya?" "Tidak ada lagi!"
Sekali lagi pemuda itu menatapnya lekat-lekat, kemudian setelah menghela napas, katanya sambil mengulapkan tangannya: "Kalau begitu, pergilah!" "Baik!"
Ketika ucapan tersebut selesai diutarakan, tiba-tiba tampak butiran darah memercik ke mana- mana, menyusul kemudian Thio Si roboh terkapar di tanah.
Tangannya masih menggenggam sebilah pedang, pedang yang telah menggorok leher sendiri. Sepasang tangan dan kaki Siau Te mulai dingin.
Hingga sekarang ia baru mengerti kenapa pemuda tersebut mengajukan pertanyaan sekitar rumah tangganya dalam keadaan begini.
Peraturan hukum dalam perusahaan Hong-ki-piaukiok memang ketat, siapapun di dunia ini mengetahuinya. Thio Si telah melalaikan tanggung-jawabnya untuk melindungi panji perusahaan, sudah sepantasnya kalau ia dijatuhi hukuman mati.
Tapi bila kita lihat dari kemampuan pemuda tersebut untuk membuat seorang kakek yang susah payah bekerja selama dua puluh enam tahun dalam perusahaan menggorok leher sendiri dengan hati yang rela, bahkan berterima kasih, dapat diketahui bahwa kepintaran pemuda itu serta ketegasannya menghadapi persoalan jauh di luar dugaan siapapun.
Darah yang berceceran di tanah dalam sekejap mata telah terguyur bersih oleh aliran hujan yang deras, namun rasa jeri dan ngeri yang terpancar di wajah piausu-piausu tersebut bagaimanapun derasnya hujan juga tak akan mengguyurnya hingga lenyap.
Terhadap congpiautau yang masih muda belia ini, jelas orang menaruh perasaan jeri dan takut yang amat tebal.
Air muka pemuda itu masih tetap tenang dan sama sekali tak beremosi, kembali ujarnya dengan tawar:
"Oh piautau, di mana kau?"
Seorang laki-laki yang selama ini berdiri di belakang sambil menundukkan kepala dan menutupi wajahnya dengan payung, segera menjatuhkan diri berlutut setelah mendengar perkataan itu, berlutut di atas genangan air hujan yang bercampur dengan darah.
"Oh Hui ada di sini!", sahutnya lirih.
Pemuda itu sama sekali tidak berpaling untuk melihat sekejap ke arahnya, kembali tanyanya: "Sudah berapa lama kau bekerja di perusahaan kami?"
"Belum sampai sepuluh tahun!"
"Berapa banyak gaji yang kau terima setiap bulannya?"
"Menurut peraturan seharusnya adalah empat belas tahil, tapi berkat kebaikan congpiautau, setiap bulannya aku mendapat tambahan sebesar enam tahil perak"
"Berapa harga pakaian ditambah ikat pinggang dan topi yang kau kenakan sekarang?" "Dua. dua belas tahil!", jawab Oh Hui ragu-ragu. "Di belakang kota sebelah barat kau punya sebuah gedung besar, berapa besar biaya pengeluaranmu setiap bulannya?"
Wajah Oh Hui mulai mengejang keras, air hujan dan peluh dingin bercucuran bersama membasahi sekujur badannya, bahkan suarapun ikut menjadi parau.
"Aku tahu kau adalah seorang yang amat memperhatikan soal makan dan minum", kata pemuda itu lagi, "sampai dapur yang dipakai dalam rumahpun merupakan dapur rumah makan Cong-goan- lo yang kau boyong pulang dengan membayar tinggi, tanpa dua tiga ratus tahil perak sebulannya aku rasa sulit bagimu untuk melanjutkan hidup"
"Semua.......semuanya itu dibayar orang lain untukku, aku. aku tak pernah ke luar ongkos
sendiri, walau cuma satu-dua tahil pun!" Pemuda itu segera tertawa.
"Tampaknya kepandaianmu cukup hebat juga, sehingga orang lain begitu rela mengeluarkan uang beberapa ratus tahil perak setiap bulannya untuk kau gunakan, cuma. "
Senyuman yang menghiasi wajahnya lambat-laun menjadi lenyap, katanya lebih jauh:
"Kawan-kawan dalam dunia persilatan mana bisa tahu kalau kau memiliki kepandaian sehebat ini? Ketika mereka saksikan seorang piausu dari perusahaan Hong-ki-piaukiok pun bisa hidup mewah semacam itu, di hati kecilnya mereka pasti keheranan, kenapa Hong-ki-piaukiok bisa begitu sosial dan punya uang banyak? Jangan-jangan mereka memang bersekongkol dengan para orang gagah dari golongan Liok-lim sehingga berhasil mendapat untung besar?"
Oh Hui yang mendengar ucapan-ucapan tersebut menjadi menggigil saking takutnya, sambil menyembah berulang kali serunya:
"Lain kali aku pasti tak akan melakukan perbuatan semacam itu lagi, aku sudah tobat, lain kali pasti tak akan diulang lagi"
"Kenapa? Apakah disebabkan orang yang mengeluarkan uang bagimu itu sudah direbut orang lain?"
Seluruh wajah Oh Hui telah berlumuran darah, tapi ia tak berani mengakui, juga tak berani menyangkal.
"Ada orang mengeluarkan uang untukmu gunakan, memberi kepuasan bagimu, sesungguhnya hal ini merupakan suatu perbuatan yang baik", kata pemuda tersebut, "dan tidak semestinya perusahaan menguruskan urusan pribadimu, tapi kau ternyata membiarkan orang lain merampas milikmu dengan mata mendelong saja, bahkan membalas dendampun tak berani, bukankah perbuatanmu itu sama artinya dengan melenyapkan kegagahan sendiri dengan mengobarkan kehebatan orang lain?"
Mencorong sinar tajam dari mata Oh Hui, dengan cepat ia berseru dengan suara lantang:
"Bocah keparat itu bukan lain adalah orang yang telah menghancurkan panji perusahaan kita!" "Kalau memang begitu, kenapa kau tidak menghampirinya dan membunuh orang itu?"
"Baik!" Sejak tadi ia memang sudah ingin melampiaskan rasa dendamnya, maka setelah congpiautau mereka menjadi tulang punggungnya, iapun tak usah takut-takut lagi.
Maka sambil mencabut ke luar golok yang tersoren di pinggangnya, ia melompat ke depan.
Tiba-tiba cahaya pedang berkelebat lewat, sebilah pedang telah menusuk datang, tusukan tersebut agaknya tidak begitu cepat.
Tapi menanti dia ingin menghindarkan diri, pedang tersebut sudah menusuk ketiak kirinya, hingga tembus ke dalam tenggorokan. Darah segar muncrat ke empat penjuru dan menyirami seluruh permukaan tanah. Bahkan ia hampir tidak melihat, siapakah yang telah melancarkan tusukan tersebut.
Tapi orang lain dapat melihat kejadian tersebut dengan amat jelas.
Baru saja Oh Hui melompat ke udara, tiba-tiba pemuda itu meloloskan pedang yang tersoren di pinggang salah seorang di belakangnya, kemudian pedang itu ditusukkan ke depan sekenanya, sejak permulaan sampai akhir, ia tak pernah berpaling untuk memperhatikan lawannya barang sekejappun.
Meskipun demikian, tusukan itu dilakukan dalam waktu yang tepat dengan arah sasaran yang menakjubkan.
Tapi, yang betul-betul menakutkan bukanlah tusukan pedangnya, melainkan kekejaman dan ketidak berperasaannya untuk melancarkan serangan tersebut.
Tiba-tiba Siau Te tertawa, tertawa tergelak-gelak, kemudian berkata:
"Kau membunuh anak buahmu sendiri, memang dianggap bisa membuat hatiku takut? Haaaaahhhh........ haaaaahhhhh...... haaaahhhhhh. sekalipun kau bunuh ke dua ribu anak
buah perusahaan Hong-ki-piaukiok hingga habis juga tiada sangkut pautnya dengan aku!"
Pemuda itu sama sekali tidak memperdulikan dirinya, hingga sekarangpun ia tak pernah memandang sekejap ke arahnya, seakan-akan ia tak tahu kalau panji perusahaannya dipatahkan oleh orang itu.
Kembali ia bertanya:
"Apakah Cia Siau-hong, Cia tayhiap juga telah datang?"
Piausu yang selama ini berdiri di belakang sambil memegangkan payung baginya itu segera menyahut:
"Benar!"
"Siapakah Cia tayhiap itu?"
"Orang yang berdiri di atas kereta itu!" "Aaaahh, tidak benar!"
"Tidak benar?"
"Dengan kedudukan serta nama besar Cia tayhiap, bila ia telah berada di sini dan menjumpai peristiwa semacam ini, sejak tadi ia pasti sudah tampil ke depan dan melakukan penilaian terhadap peristiwa ini, kenapa ia cuma berdiri berdiam diri saja di sana? Cia tayhiap bukan seorang manusia yang suka melihat kemalangan orang lain!"
Tiba-tiba Cia Siau-hong tertawa, katanya:
"Majikan yang bagus!"
Kereta itu sebenarnya berada empat kaki jauhnya dengan dihalangi oleh tujuh - delapan belas orang, tapi menunggu ia telah menyelesaikan kata-katanya itu, tahu-tahu ia sudah berada di hadapan pemuda tersebut, bahkan sedemikian dekatnya, sehingga bila ia ulurkan tangannya segera dapat menepuk bahunya.
Walaupun paras muka pemuda itu agak berubah, tetapi dengan cepat pulih kembali dalam ketenangannya, ia telah mundur ke belakang meski cuma setengah langkahpun.
"Apakah congpiautau juga she Thi?", Cia Siau-hong segera menegur. "Aku Thi Kay-seng!"
"Akulah Cia Siau-hong!"
Walaupun para piausu telah tahu kalau orang ini berilmu silat amat tinggi, walaupun mereka tahu Cia Siau-hong juga telah berada di situ, tapi setelah mendengar pengakuannya sendiri itu, tak urung wajah mereka berubah juga.
Thi Kay-seng segera memberi hormat, lalu berkata:
"Semasa masih hidupnya dulu, mendiang ayahku seringkali membicarakan soal jiwa pendekar yang dimiliki Cia Tayhiap kepada diri boanpwee, kata beliau dengan sebilah pedangnya Cia Tayhiap tak pernah menjumpai tandingan di dunia ini!"
"Ilmu pedangmu juga tidak terhitung jelek!", kata Cia Siau-hong. "Tidak berani. "
"Ilmu pedang yang bisa dipakai untuk membunuh orang adalah ilmu pedang yang baik"
"Tapi membunuh orang, bukanlah bertujuan membunuh orang untuk menanam musuh, lebih-lebih tidak bermaksud membunuh orang untuk menyenangkan hati!"
"Lantas, biasanya kau membunuh orang karena apa?"
"Karena tiga hal yang ditanamkan mendiang ayahku kepada kita semua sewaktu mendirikan perusahaannya dahulu!"
"Tiga hal mana?"
"Tanggung jawab, prestasi dan kebanggaan!"
"Bagus, ternyata kau memang gagah perkasa dan berjiwa ksatria, tak heran nama baik Hong Ki- piaukiok selalu berdiri tangguh selama dua puluh enam tahun tanpa goyah sedikitpun"
Thi Kay-seng segera membungkukkan badannya mengucapkan terima kasih, setelah itu ujarnya dengan serius: "Mendiang ayahku seringkali memberi nasehat kepada kami, bila hendak menggunakan nama perusahaan sebagai kebanggaan, maka setiap saat harus mengingat tiga hal itu di dalam hati, kalau tidak lalu apa bedanya dengan para pencoleng dan perampok!"
Wajahnya berubah semakin serius, ujarnya lebih jauh:
"Oleh karena itu, barang siapa berani melanggar ketiga hal tersebut di atas, maka dia harus dibunuh tanpa ampun!"
"Ehmmmm. , suatu kata dibunuh tanpa ampun yang bagus!"
"Thio Si terlalu teledor dan bertindak gegabah, melalaikan tanggung jawabnya melindungi panji perusahaan. Oh Hui menjerumuskan diri ke lumpur kehinaan, tidak mempertahankan prestasi diri, maka dari itu walaupun mereka adalah orang-orang lama mendiang ayahku, boanpwe tak akan pilih kasih untuk menghukum mereka juga"
Dengan sorot mata yang tajam ia menetap Cia Siau-hong lekat-lekat, kemudian katanya lagi:
"Nama besar Sin-kiam-san-ceng tersohor di seantero jagat, aku percaya kalianpun memiliki peraturan rumah tangga yang bisa dibanggakan!"
Cia Siau-hong tidak dapat menyangkalnya.
"Jika anak keturunan perkampungan Sin-kiam-san-ceng berani melanggar peraturan, apakah merekapun akan dihukum?", tanya Thi Kay-seng lebih jauh.
Sekali lagi Cia Siau-hong tak dapat menyangkal.
"Perduli peraturan dari perguruan manapun, bukankah semuanya tidak mengijinkan anak buahnya merusak peraturan persilatan dan berbuat sewenang-wenang terhadap masyarakat?", kata Thi Kay-seng kembali.
Ditatapnya lawannya dengan sorot mata setajam sembilu, lebih-lebih lagi ketajaman lidahnya ketika berbicara.
"Membuat huru-hara di tengah kota, tanpa sebab mencari urusan, bukan cuma melukai orang, merusak pula panji perusahaan yang merupakan kebanggaan orang lain dan dipertahankan dengan jiwa raga oleh segenap anggotanya, terhitungkah perbuatan semacam ini sebagai suatu perbuatan yang merusak peraturan dunia persilatan?"
"Ya, benar!", jawaban Cia Siau-hong amat sederhana dan langsung.
Dari balik sinar mata Thi Kay-seng untuk pertama kalinya memancarkan sinar kaget dan tercengang.
Ia telah mempersiapkan kolong tali yang siap digunakan untuk menjirat tengkuk Siau Te, semestinya Cia Siau-hong memahami maksud tujuannya, kenapa ia tidak mencoba untuk menahan jiratan tali itu dari atas leher Siau Te?
Tapi bagaimanapun juga, kesempatan yang sangat baik ini tak boleh dibiarkan lewat dengan begitu saja, segera desaknya lebih jauh. "Bila tidak memperdulikan keamanan orang banyak, tanpa sebab merusak peraturan dunia persilatan, manusia macam ini telah melanggar kesalahan apa?"
"Kesalahan yang pantas dijatuhi hukuman mati!", jawaban dari Cia Siau-hong tetap singkat dan langsung.
Thi Kay-seng segera menutup mulutnya rapat-rapat.
Kini tali itu sudah menjirat tengkuk Siau Te, diapun telah memahami maksud Cia Siau-hong.
Walaupun jiwa Siau Te berharga, nama baik Sin-kiam-san-ceng jauh lebih berharga, maka seandainya dia harus memilih salah satu di antaranya, terpaksa ia harus mengorbankan selembar jiwa Siau Te.
Sekarang Thio Si dan Oh Hui telah mati oleh dosanya, maka sudah barang tentu Siau Te pun harus mati karena perbuatannya.
Sebagai kawanan jago persilatan yang cukup kawakan, pengalaman dari para piausu perusahaan Hong-ki-piaukiok itu cukup luas, tentu saja merekapun dapat memahami akan hal tersebut, tanpa sadar tangan mereka mulai meraba gagang golok dan bersiap sedia melancarkan tubrukan ke depan.
Thi Kay-seng kembali ulapkan tangannya berulang kali sambil berseru: "Mundur, mundur, kalian semua mundur dari sini!"
Tak seorangpun yang mengerti kenapa ia berbuat demikian, tapi tak seorang pula yang berani membangkang perintahnya.
Dengan hambar Thi Kay-seng berkata:
"Dosa itu dijatuhkan sendiri oleh Cia tayhiap, maka selama Cia tayhiap masih berada di sini, buat apa kalian musti lakukan baginya?"
"Siapapun tak perlu turun tangan!", tiba-tiba Siau Te berteriak keras-keras. Kemudian setelah menatap Cia Siau-hong lekat-lekat, ia tertawa tergelak, serunya:
"Cia Siau-hong, kau memang tak malu disebut Cia Siau-hong, kau memang sangat baik menjaga diriku, aku merasa amat berterima kasih sekali!"
Di tengah gelak tertawanya yang amat keras, ia melompat turun dari atap kereta dan menerjang ke tengah kawanan manusia. "Kraaak!", lengan seorang piausu telah dicengkeram dan
dipatahkan olehnya, pedang yang berada di tangan orang itu segera berpindah tangan, kemudian tanpa berpaling lagi ke arah Cia Siau-hong, ia memutar mata pedang tersebut dan menggorok ke atas leher sendiri.
Wajah Cia Siau-hong yang pucat pasi tetap tanpa emosi, tubuhnya dari atas sampai bawah sama sekali tak bergerak, tapi semua orang mendengar suara desingan tajam berkumandang memecahkan keheningan menyusul. "Kraaak!", pedang di tangan Siau Te tahu-tahu sudah
tinggal gagangnya, sedang mata pedang yang tajam telah patah dan jatuh ke bawah menyusul sebuah benda lainnya.
Ternyata benda itu adalah sebutir mutiara. Bunga mutiara yang berada di tangan Cia Siau-hong, lagi-lagi berkurang satu butir.
Meskipun Siau Te masih memegang gagang pedang itu, tapi seluruh tubuhnya telah tergetar mundur sejauh dua langkah dari tempat semula.
Tiga orang piausu yang berada di belakangnya segera saling berpandangan sekejap, kemudian dua bilah golok dan sebilah pedang hampir pada saat yang bersamaan menyambar ke depan secepat kilat.
Tiga orang piausu itu merupakan piausu-piausu yang mempunyai hubungan paling akrab dengan piausu yang lengannya patah tadi, rasa dendam mereka sesungguhnya hanya tertanam di dalam hati, tapi setelah Cia Siau-hong turun tangan sekarang, berarti merekapun tidak melanggar perintah congpiautau sekalipun balas melakukan ancaman.
Tentu saja serangan yang dilancarkan tiga orang ini adalah serangan-serangan pembunuh yang mematikan.
"Criiiit....!", Cia Siau-hong kembali menyentilkan ujung jarinya, menyusul kemudian, "Kreeek. !",
dua golok satu pedang tersebut sekali lagi patah menjadi dua bagian.
Ketiga orang itu segera merasakan tubuhnya bergetar keras hingga mundur lima langkah lebih, bahkan gagang golokpun tak sanggup digenggam lagi.
Sambil menarik muka, Thi Kay-seng segera berkata dengan suara dingin: "Sungguh kekuatan yang sangat hebat, sungguh kepandaian yang luar biasa!" Cia Siau-hong hanya membungkam diri dalam seribu bahasa.
Thi Kay-seng tertawa dingin, kembali ujarnya:
"Kelihaian kepandaian silat yang dimiliki Cia tayhiap telah diketahui oleh setiap umat persilatan di dunia, tapi ke tidak dapat percayanya ucapan Cia tayhiap mungkin belum ada beberapa orang yang tahu"
"Apakah ucapanku tidak dapat dipercaya?", Cia Siau-hong bertanya. "Siapa yang telah menjatuhkan hukuman kepadanya tadi?"
"Aku"
"Hukuman apa yang telah kau jatuhkan kepadanya?"
"Hukuman mati!"
"Kalau kau memang telah menjatuhkan hukuman mati kepadanya, kenapa sekarang malah turun tangan menolongnya?"
"Aku hanya menjatuhkan hukuman mati kepada seorang manusia, tapi hukuman tersebut bukan tertuju untuknya"
"Kalau bukan dia lantas siapa?" "Aku!"
Untuk ketiga kalinya Thi Kay-seng memperlihatkan sinar mata yang penuh dengan rasa kaget dan tercengang, katanya:
"Kenapa bisa kau?"
"Karena akulah yang mengajarkan kepadanya bagaimana caranya merusak peraturan persilatan dan bagaimana caranya membuat huru-hara di depan masyarakat"
Dari sorot matanya kembali memancarkan penderitaan dan rasa sedih yang sukar dilukiskan dengan kata-kata, pelan-pelan ia berkata lebih jauh:
"Kalau bukan karena aku, tak nanti dia akan melakukan perbuatan semacam itu, dosaku yang pantas dihukum mati, aku tak akan biarkan ia mati lantaran aku"
Thi Kay-seng menatap wajahnya lekat-lekat, kelopak matanya kembali berkerut, mendadak ia mendongakkan kepalanya sambil menghela napas panjang.
"Ketika kau dengan sebatang sumpit berhasil mematahkan ilmu pedang aliran Bu-tong dari Cho Han-giok ketika berada di loteng Cong-goan-lo, aku sudah tahu kalau kehebatan ilmu pedangmu sudah tiada tandingannya lagi di dunia ini"
Hingga kini Siau Te baru tahu siapa yang menang siapa yang kalah dari pertarungan yang berlangsung di loteng Cong-goan-lo tersebut.
Walaupun ia melirik sekejap ke arahnyapun tidak, namun hatinya menyesal, ia menyesal kenapa waktu itu tidak tinggal di sana dan menyaksikan kehebatan Sam sauya dari keluarga Cia mematahkan ilmu pedang orang hanya dengan sebatang sumpit.
Kembali Thi Kay-seng berkata:
"Waktu itu dua bersaudara dari keluarga Wan pun tahu, sekalipun sepasang pedang mereka bersatu juga bukan tandinganmu, oleh karenanya mereka bersedia mengundurkan diri sebelum mengalami kerugian. Sepasang matakupun belum buta, tentu saja akupun tahu akan hal tersebut, seandainya keadaan tidak terlalu terpaksa, aku benar-benar segan untuk bertempur denganmu"
"Bagus sekali!"
"Tapi sekarang, sekalipun kau berkata demikian, akupun telah bersiap-siap untuk melangsungkan pertarungan mati hidup denganmu"
Setelah tertawa dingin, kembali ia melanjutkan:
"Sesungguhnya masalah yang menyangkut soal dunia persilatan hanya bisa dibikin jelas di ujung senjata, kalau tidak begini buat apa semua orang harus melatih diri dengan tekun? Bila seseorang memiliki kepandaian yang amat tinggi, sekalipun perkataan yang salahpun akan menjadi perkataan yang benar, jadi hal yang demikian sudah bukan merupakan suatu kejadian aneh lagi"
Cia Siau-hong menatapnya tajam-tajam, lewat lama sekali dia baru menghela napas panjang. "Kau keliru!", bisiknya.
"Di mana letak kekeliruanku?" "Kalau aku sudah mengakui kesalahanku, dus berarti akupun tak perlu menyuruhmu untuk turun tangan"
Walaupun selama hidupnya Thi Kay-seng amat angkuh, senang gusarnya sukar diketahui orang, tapi saat ini tak urung rasa kaget dan tercengangnya tercermin juga di atas wajahnya.
Menerima penderitaan karena orang lain, menyiksa diri demi sahabat, hal semacam itu bukannya tak pernah dijumpai dalam dunia persilatan, akan tetapi dengan kepandaian serta kedudukan Cia Siau-hong saat ini, kenapa pula harus merendahkan derajat kehidupan sendiri?
Sementara itu, Cia Siau-hong telah menghampiri Siau Te dan menepuk bahunya, lalu berkata: "Di sini sudah tak ada urusanmu lagi, pergilah!"
Siau Te tidak berkutik, diapun tidak berpaling.
"Selama ini aku tak pernah merawatmu secara baik", kata Cia Siau-hong lebih jauh, "sewaktu masih kecil dahulu, kau tentu sudah kenyang di cemooh dan dihina orang lain, aku hanya berharap kau bisa menjadi orang baik di kemudian hari, gila arak gila perempuan lebih baik. "
Kata-kata selanjutnya sudah tidak terdengar lagi oleh Siau Te.
Terbayang kembali penderitaan yang dialaminya di kala masih kecil, terbayang juga adegan di saat si Boneka dipeluk olehnya. Siau Te merasa ada segulung hawa amarah muncul dari dasar hatinya.
Tiba-tiba ia berteriak keras:
"Baik, aku akan pergi! Sekalipun bukan aku yang minta kau mengikutiku, sekalipun aku tidak berhutang apapun kepadamu!"
Begitu ia bilang mau pergi, iapun pergi tanpa berpaling lagi.
Tiada orang yang menghalangi kepergiannya, setiap orang hanya mengalihkan perhatiannya untuk mengawasi Cia Siau-hong.
Hujan turun dengan derasnya, memabashi rambutnya yang kusut, membasahi matanya dan pipinya, ia tak bisa membedakan lagi manakah air hujan? Dan mana pula air mata?
Tanpa bergerak barang sedikitpun ia berdiri di sana tak berkutik, seakan dalam jaga yang luas tinggal dia seorang saja.
Entah sudah lewat berapa lama. pelan-pelan ia baru memutar badan dan menghadap ke arah
Thi Kay-seng.
Thi Kay-seng tidak bersuara, iapun tidak perlu berbicara lagi.
Setelah Sam sauya dari keluarga Cia menanggung dosa itu, siapa lagi dari anggota Hong-ki- piaukiok yang bisa berbicara?
Tiba-tiba Cia Siau-hong mengajukan suatu pertanyaan yang aneh sekali: "Konon belakangan ini Thi lo-piautau jarang sekali melakukan perjalanan lagi dalam dunia persilatan, apakah tujuannya adalah untuk membimbingmu menjadi seorang pemimpin yang sejati?"
Pelan-pelan Thi Kay-seng mengangguk, sahutnya dengan sedih:
"Sungguh tak beruntung dia orang tua telah tiada pada dua bulan berselang" "Tapi kau toh sudah berhasil menggantikan kedudukannya!"
"Ya, hal ini disebabkan karena boanpwee tak berani melupakan semua nasehatnya!" Cia Siau-hong pun pelan-pelan menganggukkan kepalanya.
"Bagus sekali, bagus sekali, bagus sekali. ", gumamnya.
Entah sudah berapa puluh kali dia ulangi perkataan tersebut, suaranya makin lama semakin lirih, kepalanyapun makin lama tertunduk semakin rendah.
Tangannya telah mengepal kencang-kencang.
Lautan manusia telah berkerumun di sepanjang jalan raya, di antara mereka ada anggota Hong-ki- piaukiok, ada juga yang bukan, tapi setiap orang dapat melihat bahwa pendekar kenamaan yang tiada tandingannya di dunia ini sedang diliputi oleh rasa sedih, murung dan menyesal, ia telah bersiap-siap menggunakan darahnya untuk mencuci bersih semua kekesalan hatinya.
Pada saat itulah, tiba-tiba ada seseorang berteriak keras dari balik kerumunan orang banyak: "Cia Siau-hong, kau keliru, yang seharusnya mati adalah Thi Kay-seng, bukan kau karena "
Ketika berbicara sampai di situ, mendadak suaranya terhenti, seakan-akan tenggorokannya telah digorok orang secara tiba-tiba.
Seorang laki-laki menerjang ke luar dari balik kerumunan orang banyak dengan mata melotot ke luar, ia mendelik ke arah Thi Kay-seng seperti hendak mengucapkan sesuatu.
Tapi sebelum sepatah katapun sempat diucapkan, ia sudah roboh terjengkang di atas tanah, sebilah golok telah menancap di atas punggungnya, hingga tinggal gagangnya saja yang berada di luar.
Tapi seseorang yang lain segera menyambung kembali kata-kata yang belum sampai habis diucapkan itu:
"Karena panji kebesaran Hong-ki-piaukiok telah dinodai lebih dulu olehnya, panji itu sudah berubah menjadi sama sekali tak ada harganya, dia. "
Ketika berbicara sampai di situ, kembali suaranya terpotong, seorang laki-laki muncul dari kerumunan orang banyak dengan tubuh bermandikan darah, ketika tiba di tengah arena iapun roboh dan binasa.
Benar-benar tak disangka kalau dalam dunia masih ada juga orang yang tak takut mati, ternyata kematian tidak membuat mereka menjadi ketakutan. Dari arah depan sana, kembali ada seseorang berteriak keras:
"Wajahnya saja tampak jujur dan gagah, sesungguhnya dia adalah manusia munafik yang berhati licik, bukan saja kematian dari Thi lo-piautau tidak jelas, lagi pula. "
Orang itu sambil berteriak sambil lari keluar dari kerumunan orang banyak, tiba-tiba cahaya golok melintas lewat, tahu-tahu tenggorokannya sudah tertembus.
Dari arah utara dengan cepat terdengar seseorang melanjutkan lagi kata-kata tersebut: "Lagi pula rumah emas berisi gadis-gadis cantik di belakang kota sebelah baratpun milik
pribadinya, oleh karena lo-piautau baru meninggal mau tak mau dia harus menghindari kecurigaan dan belakangan ini jarang sekali berkunjung ke situ, karena itulah Oh Hui telah memanfaatkannya. "
Agaknya orang yang berseru kali ini memiliki kepandaian silat agak tinggi, ia berhasil menghindari dua kali sergapan dan kabur ke atas wuwungan rumah, katanya lebih lanjut:
"Tadi Oh Hui tak berani mengatakan sebab kuatir dibunuh olehnya, siapa tahu sekalipun ia tidak membuka rahasia, kematianpun tak dapat dihindari "
Sambil berkata dia mundur terus ke belakang, baru saja kata terakhir meluncur keluar, tiba-tiba sekilas cahaya pedang menyambar lewat dari wuwungan rumah dan menusuk dari tengkuk hingga tembus pada tenggorokan, darah segar segera berhamburan ke mana-mana, tubuh orang itupun menggelinding jatuh dari atas atap rumah dan terkapar di tengah jalan.
Keheningan mencekam seluruh jalan raya itu.
Hanya dalam waktu singkat sudah empat orang tewas di tempat itu dengan berlumuran darah. Peristiwa ini sungguh menggetarkan perasaan siapapun, apalagi kematian mereka begitu perkasa, begitu mengenaskan hingga menimbulkan rasa haru bagi siapapun.
Paras muka Thi Kay-seng sama sekali tak berubah, tiba-tiba serunya dengan dingin: "Thi Gi!"
Seorang piausu tinggi besar muncul dari barisan dan membungkukkan badannya memberi hormat. "Hamba siap!"
"Selidiki siapa yang menjadi dalang dari perbuatan ke empat orang ini, coba kita lihat siapakah memfitnah yang telah mengarang cerita bohong tersebut?"
"Baik!"
"Bila mereka benar-benar hanya memfitnah belaka, kenapa kau harus membunuh orang untuk melenyapkan saksi?", tiba-tiba Cia Siau-hong menegur.
Thi Kay-seng segera tertawa dingin.
"Kau tahu siapa yang telah melakukan pembunuhan ini?"
Tiba-tiba Cia Siau-hong melompat ke dalam kerumunan orang banyak, pada lompatan yang ke empat kalinya, ada empat orang pula yang terlempar keluar dari kerumunan orang banyak dan terbanting ke tengah jalanan, ternyata dandanan mereka semua adalah dandanan dari seorang piausu perusahaan Hong-ki-piaukiok.
Air muka Thi Kay-seng belum berubah juga, kembali ia berseru:
"Thi Gi!" "Hamba siap!"
"Coba kau selidiki kembali, siapakah ke empat orang itu dan dari mana mereka dapatkan pakaian tersebut?"
Pakaian ringkas yang mereka kenakan bukan terhitung pakaian seragam yang mahal harganya, para piautau dari Hong-ki-piaukiok dapat mengenakannya, orang lainpun sama saja dapat pula mengenakannya.
"Baik", sahut Thi Gi.
Namun tubuhnya belum juga beranjak dari tempat semula.
"Kenapa kau belum juga melaksanakan tugasmu?", Thi Kay-seng segera menegur.
Tiba-tiba Thi Gi memperlihatkan suatu perubahan yang aneh sekali, sambil menggigit bibir teriaknya keras-keras:
"Aku tak usah menyelidiki lagi, karena akulah yang memberi semua pakaian itu, bunga mutiara yang berada di tangan Cia tayhiap, sekarangpun aku pula yang pergi membelinya!"
Paras muka Thi Kay-seng mulai berubah, tentu saja ia tahu dari mana Cia Siau-hong mendapatkan untaian bunga mutiara tersebut.
Tentu saja Cia Siau-hong sendiri juga tahu.
Ia mendapatkannya dari atas kepala seorang perempuan yang mirip kucing, ia meraih untaian bunga mutiara tersebut sebab akan dipakainya sebagai senjata rahasia untuk menolong orang.
Dengan suara keras Thi Gi berkata:
"Congpiautau telah memberi uang sebesar tiga ratus tahil perak kepadaku untuk membeli untaian bunga mutiara dan sepasang gelang di toko Thian-po, sisanya belasan tahil telah diberikan kepadaku sebagai tip"
Kalau memang Thi Kay-seng yang membeli untaian bunga mutiara tersebut, kenapa benda itu bisa dipakai oleh seorang perempuan seperti kucing. ?
Tiba-tiba Cia Siau-hong menyambar tubuh Thi Gi seperti mengangkat orang-orangan dari kertas saja, ia melompat sejauh empat kaki lebih dan naik ke atas atap rumah.
Terdengar desingan senjata tajam memecahkan keheningan, belasan titik cahaya tajam segera menyambar lewat dari bawah kaki mereka.
Coba saja kalau Cia Siau-hong terlambat selangkah saja, niscaya Thi Gi sudah dibunuh untuk membungkamkan mulutnya. Tapi atap rumah itupun belum terhitung aman, sebab belum lagi kaki mereka berdiri tegak, dari balik wuwungan rumah, kembali ada sekilas cahaya pedang menyambar lewat dan langsung menusuk tenggorokan Cia Siau-hong.
Cahaya pedangnya berkilat bagaikan bianglala, orang yang melancarkan tusukan itu jelas adalah seorang jago lihay, senjata yang digunakannyapun pasti sebilah pedang mestika.
Sekarang orang yang hendak mereka bunuh sudah bukan Thi Gi, melainkan Cia Siau-hong.
Padahal ketika itu Cia Siau-hong mengempit orang di tangan kirinya dan memegang bunga mutiara di tangan kanannya, agaknya tusukan tersebut segera akan menembusi tenggorokannya.
Tiba-tiba ia mengangkat tangan kanannya, dengan gagang bunga mutiara ia sambut tibanya mata pedang......
"Criiiiing!", sebutir mutiara mencelat sejauh dua depa diikuti sebutir mutiara lagi, sungguh cepat gerakan tersebut.
Ketika dua biji mutiara itu saling beradu di udara, biji mutiara yang pertama melayang ke kiri menghajar pelipis kanan manusia baju hitam yang melancarkan serangan tersebut.
Sedikit miringkan badan, ia berhasil menghindari timpukan itu, siapa tahu ketika biji mutiara itu terjatuh ke bawah, dengan telak telah menghantam jalan darah Cit-pit-hiat di lengannya yang memegang pedang, kontan saja pedang itu terjatuh ke tanah.
Menanti ia sudah pulih kembali ketenangannya, Cia Siau-hong sudah pergi amat jauh.
Hujan turun dengan derasnya bagaikan sebuah tirai, dalam sekejap mata bayangan tubuhnya sudah lenyap tak berbekas.
Thi Kay-seng masih berdiri di bawah payungnya tanpa menunjukkan reaksi apa-apa, tubuhnya pun sama sekali tak berkutik.
Piausu yang selama ini berdiri terus di belakangnya sambil membawakan payung itu, tiba-tiba bertanya dengan lirih:
"Perlu dikejar tidak?"
"Kalau tak sanggup mengejar, kenapa harus dikejar?", Thi Kay-seng balik bertanya dengan dingin. "Tapi kalau persoalan ini tidak dibikin jelas, agaknya sulit bagi kita untuk menguasai mereka"
Thi Kay-seng kembali tertawa dingin.
"Jika ada orang tak mau tunduk, bunuh tanpa ampun!"
Hujan masih turun terus dengan derasnya, cuaca semakin lama berubah semakin gelap.
Di dalam sebuah kuil kecil yang lembab dan gelap, Thi Gi mendekam di tanah sambil muntah- muntah dengan napas tersengal.
Menanti ia bisa bersuara, maka semua hal yang diketahuipun segera diutarakan keluar: "Empat orang yang dibunuh tadi adalah orang-orangnya Lo-piautau, orang terakhir yang di bunuh di atas atap rumah adalah seorang piausu, sedangkan tiga orang lainnya adalah orang kepercayaan lo-piautau"
"Dua bulan berselang, pada suatu malam yang penuh halilintar dan hujan deras seperti malam itu, agaknya lo-piautau mempunyai sesuatu masalah yang mengganjal hatinya, di kala bersantap, ia minum dua cawan arak, kemudian pergi tidur lebih awal, tapi keesokan harinya aku dengar dia orang tua telah meninggal dunia"
"Seorang kakek yang jatuh sakit setelah minum arak sebenarnya bukan suatu kejadian yang aneh, tapi kebetulan sekali para petugas yang merondai sekitar halaman pada malam itu telah mendengar ada suara ribut-ribut di dalam kamarnya lo-piautau, salah satu suara tersebut ternyata adalah suara Thi Kay-seng. "
"Betul! Thi Kay-seng hanya anak angkat yang dipelihara lo-piautau, akan tetapi lo-piautau selalu menganggapnya seperti anak kandung sendiri, sekalipun di hari-hari biasa ia selalu menunjukkan rasa baktinya kepada orang tua, tapi hari itu ternyata sikapnya kasar dan berani bercekcok dengan lo-piautau, sesungguhnya hal ini sudah merupakan suatu kejadian aneh"
"Apalagi jika dibilang sebab kematian lo-piautau adalah kambuhnya penyakit setelah minum arak, tapi kalau memang demikian, kenapa sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir, dia masih memiliki tenaga untuk cekcok dengan orang?"
"Yang lebih aneh lagi, semenjak terjadinya peristiwa itu, sampai saat jenasah lo-piautau dikubur, ternyata Thi Kay-seng melarang orang lain untuk mendekati layonnya, malahan sewaktu mendandani mayatpun Thi Kay-seng telah melakukannya sendiri"
"Oleh karena itulah semua orang menganggap di balik persoalan ini pasti ada hal-hal yang tak beres, hanya saja siapapun tak berani mengatakannya secara berterus terang"
Mendengar sampai di situ, Cia Siau-hong baru bertanya:
"Apakah ke empat orang itu yang bertugas meronda pada malam kejadian?" "Ya, benar!", Thi Gi manggut-manggut.
"Di manakah nyonya lo-piautau?"
"Sejak banyak tahun berselang, mereka sudah tidur berpisah kamar "
"Apakah tak ada orang lain yang mendengar suara cekcok di antara mereka berdua?"
"Malam itu hujan terlalu deras, gunturpun menggelegar membelah angkasa, kecuali empat orang yang sedang bertugas jaga malam, boleh dibilang yang lain sudah masuk tidur setelah minum sedikit arak. "
"Setelah terjadinya peristiwa itu, apalagi dalam perusahaan tersiar berita burung sebanyak itu, tentu saja Thi Kay-seng mendengarnya juga sedikit banyak, tentu diapun tahu bukan, kata-kata semacam itu berasal dari mana?"
"Tentu saja"
"Apakah selama ini dia tidak memberikan reaksi apa-apa terhadap ke empat orang itu?" "Sebenarnya persoalan ini tanpa bukti, jika secara tiba-tiba ia lakukan suatu tindakan, bukankah hal ini malah akan menimbulkan kecurigaan orang? Sekalipun usianya tidak terlalu besar, tapi otaknya betul-betul jalan, sudah barang tentu dia tak akan melakukan tindakan secara gegabah. Tapi tiga hari setelah jenazah lo-piautau dikebumikan, dengan mencari alasan lain ternyata ia telah memecat ke empat orang itu dari keanggotaan perusahaan"
"Alasan apa yang telah ia gunakan?"
"Minum arak sampai mabuk di masa berkabung!", jawab Thi Gi, kemudian sambungnya lagi:
"Mereka sudah menerima budi kebaikan dari lo-piautau, apalagi punya rahasia yang tak bisa diutarakan, minum arak memang tak bisa dihindari, apalagi hatinya lagi murung!"
Cia Siau-hong manggut-manggut pelan, tanyanya kemudian:
"Kalau memang begitu, mengapa ia tidak manfaatkan alasan tersebut untuk membunuh mereka berempat? Siapa yang mereka cari?"
"Aku!"
"Dan kau tak tega untuk membunuh mereka?"
"Ya, aku memang merasa amat tak tega", jawab Thi Gi sedih, "sebab itu kubawa empat stel baju yang penuh berlepotan darah untuk memberi laporan"
"Ia bisa menyuruh kau membeli bunga mutiara untuk dihadiahkan kepada gundiknya, lalu menyuruh dirimu untuk membunuh orang dan menghilangkan saksi, tentunya kau telah dianggapnya sebagai orang kepercayaannya bukan?"
"Sebenarnya aku adalah kacung bukunya, sejak kecil dibesarkan bersama dengannya, tapi. "
Kulit mukanya mengejang keras, setelah berhenti sejenak ia melanjutkan:
"Tapi......tapi aku tak tega menyaksikan lo-piautau mati dengan hati penasaran. selama
hidupnya lo-piautau adalah seorang pendekar sejati yang penuh welas asih, aku banyak berhutang budi kepadanya akupun sebenarnya tak tega menghianati Thi Kay-seng, tapi
setelah kusaksikan kematian empat orang rekanku tadi, aku. aku benar-benar merasa tak
tahan. "
Suaranya semakin sesenggukan, tiba-tiba ia menjatuhkan diri berlutut dan. "Tuuuk, tuuuk,
tuuuk", ia menyembah tiga kali. Katanya lebih jauh:
"Hari ini mereka berani munculkan diri di depan umum dan membongkar kedok kemunafikan Thi Kay-seng karena mereka telah melihat kehadiran Cia tayhiap di sana, mereka tahu bahwa Cia tayhiap pasti tak akan membiarkan mereka mati penasaran, asal Cia tayhiap bersedia memberi bantuan untuk menegakkan kembali keadilan dan kebenaran, aku. akupun rela untuk mati"
Ia menyembah dengan penuh luapan emosi sehingga kepalanya penuh berlepotan darah, tiba-tiba dari balik sepatunya ia cabut ke luar sebilah pisau dan segera ditusukkan ke ulu hati sendiri.
Akan tetapi, secara tiba-tiba saja pisau itu sudah berpindah ke tangan Cia Siau-hong. Dengan sorot mata tajam, Cia Siau-hong menatapnya lekat-lekat, kemudian ujarnya: "Perduli apakah aku menyanggupi permintaanmu itu atau tidak, kau tak usah mati!"
"Aku. aku kuatir kalau Cia tayhiap masih tidak percaya dengan perkataanku, maka aku akan
pergunakan kematianku untuk menyatakan kejujuran hatiku ini" "Aku percaya padamu!"
Betapapun banyaknya kejadian menyedihkan yang dapat di dengar oleh kuil yang suram serta patung-patung arca yang angker, tak nanti mereka dapat bersuara.
Tapi di balik jagad yang luas, tentu saja ada sepasang mata yang sedang mengawasi semua kejadian yang menyedihkan, menggembirakan, kejujuran, kejahatan, ketulusan dan kebohongan yang sedang berlangsung di alam semesta, tentu saja iapun mempunyai hukum dan kekuatan untuk menjatuhkan hukuman bagi mereka yang melanggar.
Tiba-tiba Thi Gi berkata lagi:
"Tapi Cia tayhiap harus berhati-hati, sebab Thi Kay-seng bukan seorang manusia yang mudah dihadapi, ilmu pedangnya jauh lebih cepat, jauh lebih menakutkan daripada lo-piautau di masa jayanya dulu"
"Apakah ilmu silatnya bukan ajaran Thi lo-piautau?", tanya Cia Siau-hong.
"Sebagian besar adalah ajarannya, tapi dalam rangkaian ilmu pedangnya, ia memiliki tiga belas jurus lebih banyak dari apa yang dimiliki lo-piautau!"
Tiba-tiba sinar matanya memancarkan rasa ngeri yang tebal, kembali katanya:
"Konon ke tiga belas jurus ilmu pedang yang dimilikinya ini bukan saja amat ganas, bahkan luar biasa hebatnya, hingga kini belum ada manusia dalam dunia yang sanggup untuk menghadapinya"
"Tahukah kau siapa yang telah mengajarkan ke tiga belas jurus ilmu pedang itu kepadanya?" "Aku tahu!"
"Siapa?"
"Yan Cap-sa!" ooooOOOOoooo