Bab 10. Pedang Si A-kit

Sinar matahari senja memancar merah bagaikan darah, tapi darah belum sampai mengalir ke luar. Pedang A-kit masih berada dalam genggamannya.

Meskipun senjata tersebut bukan sebilah pedang sungguhan, sekalipun hanya sebatang ranting kering yang terjatuh dari atas dahan, tapi setelah berada di tangannya segera berubah menjadi sebuah senjata pembunuh yang tak terkirakan dahsyatnya.

Ketika ilmu sakti 'serentengan mercon' dari Lui Ceng-thian baru saja dikerahkan, ketika seluruh tubuhnya sedang dipenuhi oleh daya penghancur serta rasa percaya pada diri sendiri, pedang A- kit telah menusuk ke depan, persis menutul di atas persendian tulang yang baru saja mengeluarkan bunyi gemeretukan itu.

Serangan itu dilakukan sangat enteng dan sedikit mengambang, bahkan ranting kering itupun ikut bergetar mengikuti bunyi gemerutukan persendian tulang itu.

Mula pertama ranting itu berada di atas jari manis tangan kirinya, kemudian melompat naik ke atas pergelangan tangan, lalu melompat lagi ke atas sikut kiri, bahu, punggung.....

Begitu ilmu sakti 'serentengan mercon' dikerahkan, ibaratnya guntur yang membelah bumi, untuk sesaat tak mungkin bisa dihentikan di tengah jalan.........

Sekujur tubuh Thi-hou ibaratnya sudah tertempel pada ranting kering tersebut, bergerak sedikitpun tak bisa.

Ketika ranting kayu itu melompat naik ke atas bahu kirinya, wajah orang itu telah berubah menjadi pusat pasi seperti mayat, peluh dingin sebesar kacang mengucur keluar bagaikan hujan gerimis.

Menanti setiap persendian tulang di sekujur tubuhnya telah berbunyi dan pada akhirnya berhenti pada jari kelingking pada tangan kanannya, ranting kayu itu tiba-tiba berubah menjadi bubuk dan membuyar terhembus angin dingin.

Tubuhnya masih juga berdiri tak bergerak di tempat semula, peluh dingin yang membasahi wajahnya tiba-tiba saja menjadi kering dan merekah, bola matanya penuh dengan jalur-jalur merah darah.

Lama sekali ia menatap wajah A-kit, akhirnya meluncur juga sepatah kata. Suaranya ketika itu ikut berubah menjadi berat, rendah dan parau.

Sepatah demi sepatah kata ia bertanya:

"Ilmu pedang apakah itu?"

"Itulah ilmu pedang yang khusus dipergunakan untuk memecahkan ilmu 'serentengan mercon'!" "Bagus, bagus. "

Ketika kata 'bagus' yang kedua kalinya terlontar keluar dari mulutnya, mendadak tubuhnya yang lebih kuat dari sebuah patung Lo-han baja itu mulai lemas, mulai ambruk dan roboh ke tanah.......

Tubuhnya yang kuat dan keras bagaikan baja, kini telah berubah menjadi lemas dan sama sekali tak berguna lagi.

Bubuk ranting masih terbang menyebar mengikuti hembusan angin, tapi tubuhnya telah berhenti bergerak untuk selamanya. Sinar matahari sore telah pudar.

Pelan-pelan A-kit membuka telapak tangannya, sepotong ranting kering yang masih berada dalam genggamannya segera berubah menjadi bubuk dan ikut tersebar mengikuti hembusan angin.

Itulah suatu kekuatan yang amat menakutkan, bukan saja ranting kering itu telah tergetar hancur menjadi bubuk, tangannya ikut tergetar pula sehingga terasa kaku.

Akan tetapi ia sendiri sama sekali tidak mempergunakan tenaganya walau hanya sedikit jua.

Semua kekuatan terpancar keluar dari setiap persendian yang meletup-letup di sekujur badan Thi- hou, dan dia tak lebih hanya menggunakan tenaga yang ada untuk meminjam tenaga belaka, dengan mempergunakan getaran serta kekuatan yang terpancar ke luar dari tulang persendian Thi-hou. Yang pertama dia menghancurkan tulang persendian, kedua yang berada di atas seluruh tubuhnya pula.

Sekarang seluruh tulang persendian di sekujur tubuh Thi-hou telah terpukul hancur. terpukul

hancur oleh kekuatannya sendiri.

Seandainya A-kit pun mengerahkan tenaganya, maka kemungkinan besar kekuatan tersebut akan berbalik mengalir ke dalam ranting, menyusup lengan dan menghantam isi perutnya.

Itulah yang dikatakan bila dua orang jago lihay sedang bertarung, mereka bukan bertarung dengan kekuatan.

Thi-hou sendiri memahami pelajaran tersebut, sayang ia menilai terlalu rendah musuhnya yang bernama A-kit ini.

......Kau telah berubah, kau sudah bukan seorang jago pedang yang tiada tandingannya lagi di dunia ini, kau pasti akan menderita kalah dalam pertarungan ini.

Sombong, tinggi hati, pada hakekatnya persis seperti arak, bukan saja dapat salah dalam penilaian, dapat pula membuat orang menjadi mabuk.

A-kit telah minum arak, iapun telah memberikan pula sepoci kepadanya. 'sepoci kesombongan'.

A-kit tidak mabuk, tapi ia telah mabuk.

......Yang dipertarungkan oleh jago-jago lihay bukan cuma kekuatan dan kepandaian silat, merekapun harus beradu kecerdasan.

Bagaimanapun juga, memang selalu lebih baik daripada kalah, untuk mendapatkan kemenangan. Orang memang musti berusaha serta memperjuangkannya dengan cara apapun.

Ketika angin berhembus lewat, A-kit masih juga berdiri termangu di tempat semula, saat itulah ia menemukan bahwa si bisu suami isteri masih berdiri di luar rumah mereka sambil memandang ke arahnya.

Sorot mata si bisu memancarkan suatu perubahan mimik wajah yang aneh, sedangkan istrinya tertawa dingin tiada hentinya. "Heeeehhhh..... heeeehhh.... heehhhhhh. sekarang kami baru tahu manusia macam apakah kau

sebenarnya", demikian ia berseru.

A-kit tidak menjawab, sebab diapun sedang bertanya pada diri sendiri: "Manusia macam apakah sebenarnya aku ini?"

Jawab bininya si bisu:

"Sesungguhnya kau tak boleh minum arak, tapi kau memaksa untuk minumnya, hal ini disebabkan kau tahu bahwa Thi-hou pasti akan datang, kaupun ingin membunuh kami, tapi tidak juga melakukannya, ini disebabkan karena kau tahu bahwa hakekatnya kami tak akan berhasil kabur, kalau tidak mengapa kau biarkan Thi-hou membunuh Han-toa-nay-nay?"

Nada suaranya selalu lebih tajam daripada sebuah gurdi, terusnya lebih jauh:

"Kau sengaja berbuat demikian karena kau berharap Thi-hou menganggapmu telah berubah, sengaja membuat ia tak pandang sebelah mata kepadamu, dan kini setelah kau membunuhnya, kenapa masih belum juga datang ke mari untuk membunuh kami suami isteri berdua? Apakah kau tidak tahu kalau sampai kami membocorkan rahasiamu kepada orang lain?"

Pelan-pelan A-kit berjalan maju ke depan.

Dengan penuh kemurkaan bininya si bisu telah membanting uang perak itu keras-keras ke tanah, lalu teriaknya lebih jauh:

"Dari dalam periuk nasi tak akan muncul uang sendiri, kamipun tidak menginginkan uang perakmu, kalau toh kau anggap sudah tidak berhutang lagi kepada kami, kamipun tidak merasa berhutang lagi kepadamu. "

A-kit mengulurkan tangannya pelan-pelan ke depan.

Tapi bukan uang perak di atas tanah yang diambil, diapun tidak membunuh mereka, ia tak lebih hanya menggenggam tangan si bisu.

Si bisupun menggenggam tangannya.

Ke dua orang itu sama-sama tidak bersuara, seakan-akan di dunia ini banyak terdapat persoalan dan perasaan yang sesungguhnya tak dapat diutarakan dengan perkataan.

Persoalan di antara kaum pria, sesungguhnya terdapat pula banyak hal yang tidak akan dipahami oleh kaum perempuan.

Sekalipun seorang perempuan sudah banyak tahun hidup berdampingan dengan seorang pria, walaupun mereka sudah hidup senang bersama menderita bersama selama banyak waktu, belum berarti ia dapat memahami seluruh jalan pikiran serta perasaan dari lelaki tersebut.

.......Pria sendiri belum tentu juga benar-benar bisa memahami jalan pemikiran serta perasaan dari kaum perempuan.

Akhirnya A-kit berkata: "Meskipun kau tak pandai berbicara, tapi apa yang ingin kau katakan di dalam hati telah kupahami semua!"

Si bisu manggut-manggutkan kepalanya, air mata tampak mengembang dalam kelopak matanya, kemudian meleleh keluar........

"Aku percaya kau tak akan membocorkan rahasiaku, aku amat mempercayai dirimu!", kembali A- kit berkata.

Sekali lagi digenggamnya tangan si bisu kencang-kencang, kemudian tanpa berpaling lagi ia pergi meninggalkan tempat itu.

Ia tak tega untuk berpaling, sebab diapun tahu sepasang suami-isteri yang sederhana itu mungkin tak akan merasakan lagi penghidupan meski sengsara tapi amat tenang dan penuh kedamaian itu.

Tanpa terasa ia mulai berpikir kepada diri sendiri.

.......Sesungguhnya manusia macam apakah aku ini? Kenapa selalu mendatangkan banyak kesulitan serta kesengsaraan bagi orang lain?

.......Perbuatanku ini sebenarnya betul atau salah?

Ketika ia telah pergi jauh, air mata dalam kelopak mata si bisu benar-benar tak dapat di bendung lagi, bagaikan hujan deras melelehlah air mata itu dengan derasnya.

Bininya masih juga mengomel:

"Hanya kesulitan yang ia berikan untuk kita berdua, kenapa kau masih bersikap demikian kepadanya?"

Dalam hati kecilnya si bisu menjerit:

". Karena ia tidak memandang hina diriku, karena ia menganggap aku sebagai sahabatnya,

kecuali dia belum pernah ada orang yang benar-benar menganggapku sebagai seorang sahabatnya"

Untuk pertama kalinya perempuan itu tidak berhasil memahami jeritan di dalam hati suaminya, karena ia tak pernah dapat memahami arti kata dari suatu 'persahabatan', iapun tak tahu berapa beratkah bobot dari persahabatan dalam hati seorang pria.

Seorang pria yang benar-benar sejati, seorang lelaki jantan yang gagah perkasa.

Mayat Thi-hou diangkut pulang dengan mempergunakan selembar pintu kayu, kini mayat tersebut membujur di dalam gardu segi empat dalam kebun bunga......

Senja telah menjelang tiba, cahaya lentera mulai dipasang orang di sekitar gardu itu.

Sambil bergendong tangan dengan tenangnya Tiok Yap-cing mengawasi mayat yang berbaring di atas pintu kayu itu, wajahnya amat hambar sedikitpun tanpa emosi. Seakan-akan ia sudah tidak merasa kaget atau tercengang lagi dalam menghadapi kejadian seperti ini.

Menanti Toa-tauke muncul secara tergesa-gesa, rasa sedih dan murung baru muncul dan menghiasi wajahnya.

Toa-tauke telah melompat masuk, ketika menyaksikan jenazah dari Thi-hou membujur dalam gardu tersebut, ia melompat sambil berteriak penuh kemarahan:

"Apakah lagi-lagi hasil perbuatan dari A-kit?"

Tiok Yap-cing menundukkan kepalanya, lalu menjawab dengan sedih:

"Tak pernah kusangka klau secepat ini ia dapat menemukan A-kit, lebih-lebih tak pernah kusangka kalau ia bakal mati dalam keadaan yang begini mengenaskan!"

Toa-tauke tidak berhasil menemukan luka di tubuhnya, maka kembali Tiok Yap-cing memberi penjelasan:

"Sebelum menemui ajalnya seluruh tulang persendian dalam tubuhnya telah kena dihajar sampai hancur lebur"

"Dihancurkan oleh benda apa?" "Aku tidak berhasil menebaknya!"

Kembali Tiok Yap-cing termenung sebentar, kemudian ujarnya lebih lanjut:

"Aku hanya dapat mengetahui bahwa A-kit tidak mempergunakan golok atau pedang, iapun tidak mempergunakan benda keras!"

"Dari dasar apakah kau dapat berkata demikian?", Toa-tauke segera bertanya dengan perasaan ingin tahu.

"Di atas pakaian yang digunakan Thi-hou, sama sekali tidak ditemukan tanda-tanda bekas kena di pukul benda besi, pun tidak dijumpai pakaian yang robek, sebaliknya malah tertinggal bekas-bekas hancuran kayu"

Sepasang mata Toa-tauke terbelalak lebar-lebar.

"Masakah benda yang dipergunakan A-kit tidak lebih hanya sebuah tongkat kayu?", teriaknya. "Ya, kemungkinan sekali memang demikian!"

"Tahukah kau kepandaian apakah yang telah dilatih oleh Thi-hou?"

"Agaknya ilmu Kim-ciong-cang, atau Thi-bu-san dan sebangsanya, jelas semua kepandaian yang dilatihnya adalah sejenis kepandaian yang termasuk kepandaian Gwa-kang!"

"Pernahkah kau menyaksikan sendiri kepandaian yang dimilikinya itu. ?"

"Tidak!"

"Aku pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri, justru lantaran kepandaian yang dimilikinya terlampau tangguh maka aku tak pernah menanyakan asal-usulnya lagi setelah menerima dia sebagai anak buahku, kemudian baru diketahui bahwa dia bukan lain adalah Im- tiong-kim-kong (Manusia raksasa dari Im-tiong) Huo Lo-sam yang sudah termashur namanya selama banyak tahun di wilayah Liau-pak!"

"Aku pernah mendengar persoalan ini dari Toa-tauke!", Tiok Yap-cing segera menerangkan.

"Meskipun ia pernah dipaksa dan dikejar oleh Lui Ceng-thian sehingga tak mampu untuk kabur lagi, tapi aku yakin kalau kepandaian silat yang dimilikinya sama sekali tidak selisih banyak jika dibandingkan dengan kepandaian yang dimiliki oleh orang she Lui tersebut, diapun tak selisih banyak pula dengan Giok Pah-ong (Raja bengis pualam) tersebut!"

Tiok Yap-cing tidak berani membantah.

Tak ada orang yang berani mencurigai ketajaman mata Toa-tauke, sebab semua persoalan yang sudah melewati pertimbangan dari Toa-tauke tak mungkin bakal salah lagi.

"Tapi ternyata kau mengatakan bahwa A-kit yang tak berguna, hanya mengandalkan sebuah tongkat kayu telah berhasil meremukkan seluruh tulang persendian di tubuhnya?", seru Toa-tauke lebih lanjut.

Tiok Yap-cing tak berani buka suara.

Toa-tauke menggenggam sepasang kepalannya kencang-kencang, kembali ia bertanya: "Kau jumpai mayatnya di mana?"

"Di gedung kediaman Han toa-nay-nay!"

"Tempat itu bukan sebuah kuburan, tentunya ada beberapa orang yang menyaksikan mereka bertarung bukan?"

"Tempat di mana pertarungan itu berlangsung adalah sebuah halaman kecil di belakang dapur yang merupakan sebuah tempat berisi kayu bakar serta tumpukan sampah. Nona-nona sekalian jarang sekali berkunjung ke situ, maka kecuali A-kit dan Thi-hou sendiri, hanya tiga orang yang ikut hadir di sana pada waktu itu"

"Siapakah ke tiga orang itu?"

"Han toa-nay-nay serta sepasang suami isteri si bisu yang bekerja sebagai koki di dapur!" "Sekarang apakah kau telah membawa mereka datang kemari?"

"Belum!"

"Kenapa?", tanya Toa-tauke dengan marah.

"Karena mereka telah dibunuh oleh A-kit untuk menghilangkan saksi hidup!"

Semua otot-otot hijau di atas jidat Toa-tauke pada menonjol keluar semua, sambil gigit bibir menahan emosi, ia berseru: "Baik, baik, begitu banyak orang yang ku pelihara, sudah banyak tahun ku pelihara kalian semua, tapi kalian betul-betul bodoh seperti gentong nasi, masa untuk menghadapi seorang bocah keparat pemikul tinjapun tak becus!"

Tiba-tiba ia melompat sambil meraung lagi keras-keras:

"Mengapa kalian masih belum juga menyingsingkan lengan bajumu dan berangkat?"

Menanti hawa amarahnya sudah agak reda, Tiok Yap-cing baru berbisik dengan suara rendah: "Karena kami masih harus menunggu beberapa orang lagi!"

"Siapa yang akan kita tunggu?"

Tiok Yap-cing berbisik dengan suara yang lebih rendah lagi:

"Menunggu beberapa orang yang bisa kita pakai untuk menghadapi manusia yang bernama A-kit!"

Segera mencorong ke luar sinar tajam dari balik mata Toa-tauke, diapun merendahkan suaranya sambil berbisik:

"Apakah kau merasa yakin pasti berhasil?" "Ya, aku yakin!"

"Bagaimana kalau kau sebutkan dahulu sebuah nama dulu di antaranya. ?"

Tiok Yap-cing membungkukkan badan dan membisikkan sesuatu di sisi telinganya. Semakin tajam sinar mata yang memancar ke luar dari balik mata Toa-tauke.

Dari balik bajunya Tiok Yap-cing mengambil ke luar segulung kertas, lalu ujarnya lagi:

"Inilah daftar nama yang ia berikan untukku, dia akan bertanggung jawab untuk membawa datang semua orang tersebut"

Setelah menerima gulungan kertas tersebut, Toa-tauke segera bertanya lagi: "Sampai kapan mereka baru akan tiba di sini?"

"Paling lambat besok sore!"

Toa-tauke segera menghembuskan napas panjang.

"Aaaaiii. baiklah atur semua persiapan bagiku, besok sore akan kutemui A-kit!"

"Baik!"

Kembali Toa-tauke menepuk-nepuk bahunya lalu berkata lagi:

"Aku hanya tahu dalam persoalan apapun kau pasti dapat aturkan segala sesuatunya bagiku" Sekulum senyuman kembali menghiasi ujung bibirnya, ia berkata lebih jauh: "Malam ini kau boleh beristirahat dengan nyenyak, besok pagipun boleh bangun rada lambat, perempuan itu. "

Ia tidak melanjutkan kembali kata-katanya.

Tiok Yap-cing segera membungkukkan badannya memberi hormat, katanya sambil tertawa paksa: "Aku tahu, aku pasti tak akan menyia-nyiakan maksud baik Toa-tauke terhadap diriku!"

Toa-tauke tertawa terbahak-bahak.

"Haaaahhhh.......... haaaahhhhhh...... haaahhhhhh. bagus, bagus sekali!"

Jenazah Thi-hou masih membujur di sana, tapi ia tidak memandang barang sekejappun.

Toa-tauke belum pergi lama, Thi-jiu (si tangan baja) A-yong telah memburu datang, ia berlutut di hadapan jenazah Thi-hou dan menangis tersedu-sedu.

Menyaksikan keadaan tersebut, Tiok Yap-cing segera mengernyitkan alis matanya, lalu menegur:

"Air mata seorang lelaki sejati tak akan mengucur keluar secara sembarangan, manusia yang telah mati tak akan hidup kembali, apalagi yang kau tangisi?"

"Aku bukan menangis baginya, aku menangisi diriku sendiri", sahut A-yong sedih. Lalu sambil menggigit bibir dan mengepal sepasang tinjunya, ia berkata lebih jauh:

"Karena pada akhirnya aku telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimanakah nasib dari orang-orang yang bekerja baginya!"

"Sikap Toa-tauke terhadap orang toh terhitung baik sekali. ", kata Tiok Yap-cing.

"Tapi sekarang setelah Thi-hou mati, paling tidak Toa-tauke harus aturkan penguburannya dengan sepantasnya. "

"Toa-tauke tahu bahwa aku bisa mengaturkan segala sesuatunya itu baginya", tukas Tiok Yap- cing dengan cepat.

"Kau? Thi-hou mampus lantaran urusan Toa-tauke ataukah karena urusanmu?"

Dengan cepat Tiok Yap-cing menutup bibirnya, tapi dua puluhan orang laki-laki kekar yang berdiri dalam gardu persegi enam telah berubah wajah sesudah mendengar perkataan itu.

Siapapun tahu betapa setianya Thi-hou terhadap Toa-tauke, siapapun tak ingin mempunyai nasib seperti apa yang dialaminya sekarang.........

Kembali Tiok Yap-cing menghela napas panjang, katanya:

"Aku tak mau tahu Thi-hou mati karena siapa, aku hanya tahu jika sekarang Toa-tauke suruh aku mati, aku akan segera berangkat untuk mati!" Malam telah menjelang tiba.

Tiok Yap-cing menembusi jalan kecil di belakang gardu persegi enam, berjalan ke luar dari pintu sudut dan masuk ke sebuah lorong sempit di luar dinding pekarangan.

Setelah menembusi tikungan lorong sempit tadi, muncullah sebuah pintu kecil.

Ia mengetuk pintu itu tiga kali, lalu mengetuk lagi dua kali, pintupun segera terbuka, itulah sebuah halaman kecil yang redup, gelap dan sama sekali tak bercahaya.

Seorang kakek bungkuk menutup pintu itu, lalu diberi palang kayu di belakangnya. "Mana orangnya?", tegur Tiok Yap-cing dengan suara dalam.

Kakek bungkuk itu tidak menjawab, dia hanya menggeserkan sebuah gentong air dari sudut ruangan, lalu memindahkan sebuah ubin batu dari permukaan lantai.

Gentong air maupun ubin batu itu bukan benda yang enteng, tapi sewaktu memindahkannya ternyata ia seperti tidak ngotot, seakan-akan sama sekali tidak mempergunakan tenaga.

Sebercak sinar lirih memancar keluar dari bawah ubin, dan menyinari undak-undakan batu. Sambil bergendong tangan pelan-pelan Tiok Yap-cing menuruni undak-undakan batu itu.

Ruangan bawah tanah itu lembab dan gelap, di sudut ruangan duduk dua orang, ternyata mereka adalah si bisu dengan bininya.

Tentu saja mereka belum mampus, A-kit sama sekali tak melenyapkan jiwa mereka, tapi siapapun tidak tahu mengapa mereka bisa sampai di situ.

Bahkan mereka sendiripun tidak tahu.

Mereka cuma teringat batok kepalanya dipukul orang secara tiba-tiba, ketika sadar kembali tahu- tahu mereka sudah berada di sini.

Hawa amarah masih menghiasi raut wajah si bisu, sebab begitu ia sadar kembali dari pingsannya, sang bini lantas mulai menggerutu tiada hentinya:

"Aku tahu hanya kesulitan dan kesialan yang ia berikan untuk kita berdua, aku sudah tahu kalau kali ini. "

Perkataan itu tidak berkelanjutan karena ia telah menyaksikan seseorang menuruni anak tangga batu, meskipun sekulum senyuman masih menghiasi ujung bibirnya, tapi di bawah sinar lampu yang redup, tampaklah betapa misteriusnya orang itu.

Tak tahan lagi ia bergidik dan merinding, dipegangnya lengan suaminya yang besar dan kasar itu erat-erat.

Tiok Yap-cing tersenyum sambil memandang ke arah mereka berdua, ujarnya dengan lembut:

"Kalian tak usah takut, aku bukan datang untuk mencelakai kalian, aku tidak lebih hanya ingin mengajukan beberapa buah pertanyaan kepada kamu berdua" Dari sakunya dia mengeluarkan setumpuk daun emas dan dua keping uang perak putih, sambil disodorkan ke muka ia berkata:

"Asal kalian bersedia menjawab dengan sejujurnya, semua emas dan perak ini akan menjadi milik kalian, uang tersebut sudah lebih dari cukup bagi kalian sebagai modal untuk membuka sebuah warung makan kecil"

Si Bisu menggigit bibirnya kencang-kencang, sementara isterinya menunjukkan sinar mata yang rakus, selama hidupnya belum pernah ia menjumpai uang emas sebanyak itu. Perempuan manakah yang tidak suka uang emas?

Senyuman yang menghiasi bibir Tiok Yap-cing lebih lembut dan hangat.

Ia paling suka menyaksikan orang lain menunjukkan titik kelemahan di hadapan mukanya, diapun telah melihat bahwa cara yang ia pergunakan pasti akan mendatangkan hasil seperti apa yang ia harapkan.

Maka ia segera bertanya:

"Sebelum mereka langsungkan pertarungan, pernahkah kedua orang itu terlihat dalam suatu pembicaraan sengit?"

"Ya, pernah!"

"Benarkah nama asli dari Thi-hou adalah Lui Ceng-thian? Hong-im-lui-hou (Harimau guntur angin dan mega) Lui Ceng-thian?"

"Agaknya betul!", jawab bininya si bisu, "aku seperti mendengar ia mengakuinya sendiri, tidak banyak orang dalam dunia persilatan yang bisa mengalahkan Lui Ceng-thian!"

Tiok Yap-cing tersenyum.

Sekalipun dalam soal ini Thi-hou berhasil membohongi Toa-tauke, tapi tak akan mampu untuk membohonginya, tak pernah ada orang yang mampu membohonginya.

Maka ia kembali bertanya:

"Apakah A-kit telah menyebutkan namanya sendiri?"

"Tidak!", kembali bininya si bisu menjawab, "tapi aku lihat Thi-hou sepertinya telah mengetahui siapa gerangan dirinya. "

Selama ini si bisu hanya melotot ke arahnya, hawa amarah memenuhi sorot matanya, tiba-tiba telapak tangannya melayang dan. "Plok!", sebuah tamparan bersarang telak di atas wajahnya

membuat perempuan itu hampir saja terangkat ke udara. Perempuan itu dengan kalap berteriak:

"Aku sudah hidup sengsara denganmu semenjak muda, kesempatan baik telah tiba, kenapa kita mesti melepaskannya dengan begitu saja? Atas dasar apa kau harus menjaga rahasia buat temanmu yang mendatangkan kesialan itu? Kebaikan apa yang telah ia berikan kepada kita?"

Sekujur badan si bisu gemetar keras, ia benar-benar amat mendongkol dan marah. Kini, perempuan tersebut sudah bukan istri yang baik dan lembut lagi, sekarang dia sudah menjadi seorang perempuan tamak yang bersedia menjual segala-galanya demi untuk mendapatkan uang emas.

Perempuan yang tak mau mengakui lagi suaminya lantaran emas bukan cuma dia seorang, pun dia bukan perempuan yang terakhir.

Secara tiba-tiba saja ia menemukan bahwa perempuan itu dulu bersedia hidup sengsara dengannya lantaran selama ini belum pernah ada kesempatan baik yang pernah dijumpainya, coba kalau tidak, mungkin semenjak dulu-dulu ia telah pergi meninggalkannya.

Jalan pemikiran tersebut ibaratnya sebuah jarum tajam yang masuk ke dalam hati kecilnya. Dia masih saja berteriak keras:

"Kau melarang aku mengucapkannya keluar, tapi aku justru sengaja mengucapkannya, kalau kau tidak ingin menikmati kebahagiaan sekarang juga, kau boleh enyah, enyah makin jauh semakin baik, aku. "

Belum sampai ucapan tersebut di selesaikan, si bisu telah menerkam ke depan, sekuat tenaga dicekiknya leher perempuan itu, sedemikian besarnya tenaga yang dipakai untuk mencekik sehingga seluruh otot-otot hijau pada lengannya pada menonjol keluar.

Tiok Yap-cing sedikitpun tidak bermaksud melerai atau mencegah terjadinya tragedi tersebut, ia hanya menonton dengan tenang dari samping, malah sekulum senyum menghiasi ujung bibirnya.

Menanti si bisu menemukan bahwa tenaga yang dipergunakan untuk mencekik terlampau besar, ketika dia mengetahui napas isterinya sudah berhenti, ia baru melepaskan cekikannya, sayang sudah terlalu lambat.

Dengan terkejut ditatapnya sepasang tangannya sendiri, kemudian diperhatikan pula istrinya yang sudah menjadi mayat, air mata dan keringat dingin mengucur keluar dengan derasnya seperti hujan yang bercucuran.

Tiok Yap-cing segera tersenyum, katanya:

"Bagus, bagus sekali! Kau memang seorang lelaki sejati, tidak banyak kaum pria di dunia ini yang sanggup mencekik mampus bini sendiri dalam waktu singkat, aku sangat mengagumimu!"

Si Bisu memperdengarkan suara raungan rendah seperti pekikan binatang buas, tiba-tiba ia putar badan dan menerkam ke depan.

Tiok Yap-cing segera mengebaskan ujung bajunya untuk menahan gerak maju si Bisu, katanya dengan dingin:

"Yang membunuh binimu toh kau sendiri dan bukan aku, kenapa kau musti menerkam aku?"

Tanpa berpaling lagi ia berjalan ke luar dari bawah tanah, belum sampai melangkah undak- undakan batu, tiba-tiba ia mendengar suara benturan nyaring.......

"Braaaaaakkkk. !" Tak usah berpaling ia sudah tahu bahwa suara itu berasal dari kepala manusia yang membentur di atas dinding batu, hanya batok kepala yang hancur baru akan memperdengarkan suara semacam ini.

Tiok Yap-cing belum juga palingkan kepalanya.

Terhadap kejadian tersebut, ia tidak merasa di luar dugaan, pun tidak merasa bersedih hati, bukan saja ia telah memperhitungkan akibat tersebut, masih banyak nasib manusia yang berada dalam cengkeramannya.

Terhadap keberhasilannya ia merasa puas, dia harus mencari akal untuk baik-baik memberi hadiah kepada diri sendiri.

****************** Hal: 53-54 hilang.

******************

"Aaaahhh. ! Kesemuanya ini tidak lain karena kau terlalu pandai bersandiwara, ternyata kau bisa

membuat dia mengira bahwa kau paling benci kepadaku, dan membuat dia sudah menjadi telur busuk tuapun masih merasa sangat bangga"

Dengan ujung jarinya pelan-pelan Ki-ling membuat lingkaran di atas dada kekasihnya, lalu berbisik lagi:

"Tapi aku sendiripun merasa tidak habis mengerti, sesungguhnya permainan setan apakah yang sedang kau lakukan selama ini?"

"Permainan setan apa yang sedang kulakukan?"

"Bukankah kau telah mencarikan lagi sejumlah bala bantuan untuk membantu si kura-kura tua itu?"

"Ehmmm! Benar. "

"Siapa-siapa saja yang telah kau undang datang?"

"Pernahkah kau mendengar tentang Hek-sat (Pembunuh hitam)?" Ki-ling gelengkan kepalanya berulang kali.

"Apakah Hek-sat adalah seorang manusia?", ia balik bertanya.

"Bukan, bukan cuma seorang manusia melainkan sekelompok manusia!"

"Kenapa mereka harus mencari nama yang tak begitu sedap didengar untuk diri sendiri?"

"Karena pada hakekatnya mereka seperti semacam penyakit menular, barang siapa bertemu dengan mereka, maka jangan harap jiwanya bisa ketolongan lagi!"

"Manusia macam apa saja yang tergabung dalam kelompok tersebut ?"

"Manusia beraneka ragam ada semua dalam kelompok itu, ada yang berasal dari aliran rendah, ada pula yang berasal dari partai Bu-tong atau partai Siau-lim, tapi lantaran melanggar peraturan, maka mereka dikeluarkan dari perguruan, bahkan ada pula yang datang dari Hu-siang-to di lautan Timur, orang-orang itu dinamakan orang suku Ainu yang kebanyakan mengembara ke daratan kita!"

Suku Ainu adalah penduduk asli Jepang yang kebanyakan berdiam di pulau Okinawa. "Apakah mereka semua memiliki serangkaian ilmu silat yang amat luar biasa hebatnya?" Tiok Yap-cing manggut-manggut.

"Ya, cuma bagian yang benar-benar paling menakutkan dari mereka bukanlah ilmu silat yang mereka miliki!"

"Lantas apa?"

"Mereka adalah sekelompok manusia yang paling tidak tahu malu dan paling tak menyayangi nyawa sendiri!"

Mendengar ucapan tersebut, Ki-ling menghela napas panjang, mau tak mau dia harus mengakuinya juag:

"Ya, manusia semacam ini memang benar-benar amat sukar untuk dilayani. "

"Oleh karena itu kau baru merasa heran, kenapa aku musti mencari orang-orang itu untuk membantu kura-kura tua guna menghadapi A-kit. ?"

"Ehmmm! Benar. "

Tiok Yap-cing kembali tersenyum.

"Kenapa tidak kau bayangkan, sekarang bahkan Thi-hou yang tersohor karena kelihayannya pun sudah mampus, kalau tiada orang-orang itu yang melindungi keselamatan jiwanya, mana ia berani pergi menjumpai A-kit? Kalau A-kit bahkan wajahnyapun tak pernah djumpai, mana mungkin jiwanya bisa direnggut?"

Dengan cepat Ki-ling dapat memahami maksud hatinya, meski demikian toh tak tahan ia bertanya lagi:

"Setelah ada orang-orang semacam itu yang melindungi keselamatan jiwanya, mana mungkin dia bakal mampus?"

"Ya, justru dia akan mampus dengan lebih cepat lagi!"

"Masakah manusia-manusia yang begitu lihaypun masih juga buka tandingan dari A-kit?", Ki-ling nampak kurang percaya.

"Pasti bukan tandingannya!"

"Maka dari itu, kali ini dia sudah pasti akan mampus!" "Kemungkinan besar memang demikian!" Ki-ling segera melompat bangun dan menindih di atas badannya dengan kening berkerut tiba-tiba ia berseru:

"Tapi kau telah melupakan akan satu hal!" "Oya?"

"Setelah kematian Toa-tauke, bukankah yang bakal dihadapi A-kit adalah kau sendiri?" "Kemungkinan besar memang demikian!"

"Sampai waktunya, apa yang siap kau lakukan?" Tiok Yap-cing hanya tersenyum dan tidak menjawab.

"Apakah kau sudah mempunyai cara bagus untuk menghadapinya?, desak Ki-ling lagi. Tiok Yap-cing tidak menyangkal, tapi diapun tidak berkata apa-apa........

"Kau yakin pasti berhasil?"

"Kapan sih kulakukan pekerjaan yang tidak kuyakini?", tiba-tiba Tiok Yap-cing balik bertanya.

K-ling segera menghembuskan napas lega, dengan ujung bajunya ia mengerling sekejap ke arahnya, lalu ujarnya:

"Menanti kejadian itu telah berlangsung, sudah barang tentu kau adalah Toa-tauke baru, bagaimana dengan aku?"

"Tentu saja kau adalah nyonya tauke!", jawab Tiok Yap-cing sambil tertawa tergelak.

Ki-ling tertawa merdu, seluruh tubuhnya menindih di atas badan pemuda itu, lalu sambil menggigit pelan ujung telinganya, ia berbisik:

"Lebih baik kau musti ingat, nyonya tauke hanya ada satu, kalau tidak maka. "

Perkataannya belum habis diucapkan ketika tiba-tiba Tiok Yap-cing menutup bibirnya sambil berbisik rendah:

"Siapa?"

Bayangan manusia berkelebat lewat di luar jendela, menyusul seseorang menjawab dengan suara yang rendah dan parau:

"Aku, Cui losam!"

"Silahkan masuk. !", bisik Tiok Yap-cing lagi sambil menghembuskan napas panjang.

Kembali sesosok bayangan manusia berkelebat lewat, "Kreeekkk", daun jendela di buka orang, cahaya lampu pun berkelebat lebat, tahu-tahu seseorang telah berdiri di hadapan mereka. Ketika sinar lampu menimpa di atas wajahnya, maka tampaklah raut mukanya yang hijau membesi serta bibirnya yang tampak kejam dan buas.

Sepasang matanya tajam tersembunyi di balik topi lebarnya yang terbuat dari anyaman bambu dan menatap bahu Ki-ling yang telanjang lekat-lekat. Sekalipun sebagian besar tubuh Ki-ling sudah tersembunyi di balik selimut, tapi barang siapapun yang berada di situ pasti dapat menyaksikan dengan jelas sebagian kecil tubuhnya yang berada di luar, dan dari bagian yang terlihat itu orang pasti bisa membayangkan keseluruhan dari tubuhnya yang telanjang itu, tak bisa disangkal lagi bagian tubuh lainnya yang bugil sudah pasti sama halus dan putihnya seperti kulit pada bahunya.

Sudah barang tentu Ki-ling juga bisa menduga, apa yang mereka pikirkan di kala kaum pria sedang memperhatikannya.

Akan tetapi ia sama sekali tidak menarik kembali bagian tubuhnya yang berada di luar selimut, ia paling suka menyaksikan kaum lelaki memandang ke arahnya dengan sinar mata seperti itu.

Cui losam merendahkan lagi topi lebarnya sehingga hampir menutupi sebagian besar wajahnya, dengan dingin ia bertanya:

"Siapakah perempuan itu?"

"Dia adalah orang kita sendiri. Tidak menjadi soal!", jawab Tiok Yap-cing cepat. Ki-ling mencibirkan bibirnya, tiba-tiba diapun bertanya:

"Cui losam yang ini bukankah Im-li-kim-kong (Kim kong dalam mega) Cui losam yang dimaksudkan?"

Sambil tersenyum Tiok Yap-cing manggut-manggut.

"Betul, banyak tahun sudah kami telah berkenalan ketika kita masih ada di wilayah Liau pak tempo hari"

"Oleh karena itu kaupun sudah tahu kalau Thi-hou sesungguhnya bukan dia. ?", sambung Ki-

ling lagi.

Menyinggung soal Thi-hou, sepasang tangan Cui losam segera mengepal kencang-kencang. Tiok Yap-cing tertawa katanya:

"Sekarang perduli siapakah Thi-hou itu sudah tidak menjadi soal lagi, karena aku telah membunuhnya untuk dia!"

"Sekarang apakah jenazahnya masih ada di sini?", tanya Cui losam sambil menahan geramnya. "Ya, masih berada di luar, setiap waktu setiap saat kau boleh mengangkutnya pergi!"

Cui losam mendengus dingin.

Kalau seseorang yang sudah matipun mayatnya tidak dilepaskan dengan begitu saja, dari sini dapat diketahui bahwa permusuhan serta rasa dendam mereka berdua sudah benar-benar amat mendalam.

"Dimana orang-orang yang ku kehendaki?", Tiok Yap-cing gantian bertanya kepadanya. "Aku telah berjanji membawa mereka datang, tentu saja mereka pasti akan datang!" "Ke sembilan orang itu pasti akan datang semua?" "Ya, seorangpun tak akan berkurang!" "Kita akan bertemu muka di mana?"

"Merekapun amat suka bermain perempuan, mereka semua pernah mendengar pula kalau di sini terdapat seorang perempuan yang bernama Han toa-nay-nay!"

Tiok Yap-cing segera tersenyum, katanya:

~Bersambung ke Jilid-9 Jilid-9

"Sekalipun saat ini Han toa-nay-nay sudah tidak ada lagi, tapi aku masih dapat menjamin bahwa mereka tentu akan memperoleh kepuasan seperti apa yang diharapkan!"

Setajam sembilu sorot mata Cui losam yang memancar keluar dari balik topi lebarnya, dengan dingin dia berkata:

"Kau harus memberi kepuasan secukupnya untuk mereka, sebab kepuasan itu merupakan kepuasan paling akhir yang bisa mereka rasakan!"

Tiok Yap-cing mengernyitkan alis matanya.

"Kenapa bisa dibilang kepuasan yang terakhir kalinya?", dia balik bertanya. Cui losam tertawa dingin.

"Heeeehhhh..... heeehhhh..... heeehhhhh. kau sendiri seharusnya juga tahu, adapun kedatangan

mereka kali ini bukan untuk membunuh, melainkan hanya datang untuk menghantar kematian sendiri!"

"Menghantar kematian sendiri?"

"Kalau Thi-hou yang tangguhpun bisa disingkirkan oleh A-kit. Merekapun pasti ikut terbunuh pula di tangannya!"

Kali ini Tiok Yap-cing tertawa, katanya:

"Waaahhhh. rupa-rupanya dalam persoalan apapun aku tak mungkin bisa mengelabui dirimu!"

Cui losam kembali mendengus.

"Hmmm. Aku bisa hidup sampai sekarang, semuanya bukanlah menggantungkan pada nasib!" "Oleh karena itu kau pasti bisa hidup lebih jauh!"

"Hammm!", Cui losam cuma mendengus.

"Lagi pula akupun menjamin kehidupanmu selanjutnya pasti akan jauh lebih bahagia daripada kehidupanmu yang lewat!", Tiok Yap-cing menambahkan lebih jauh.

"Oya?" "Oleh karena itu sekalipun orang lain mati karena nasibnya buruk, kaupun tak usah merasa terlampau sedih"

Sekali lagi Cui losam menatapnya tajam-tajam, lama, lama sekali, pelan-pelan ia baru berkata:

"Walaupun aku turut serta dalam golongan Hek-sat, tapi orang-orang itu bukanlah terhitung teman- temanku"

"Tentu saja mereka masih belum pantas untuk menjadi sahabatmu!"

"Pada hakekatnya aku memang tak berteman, seorang temanpun tidak kumiliki, karena selamanya aku tak pernah percaya kepada siapapun juga!"

Dengan cepat Tiok Yap-cing dapat memahami maksud sesungguhnya dari perkataan itu.

"Oleh karena itu kaupun tidak terlalu percaya terhadap apa yang kuucapkan sekarang!", sambungnya.

Cui losam tertawa dingin.

"Tapi kau tak perlu kuatir", sambung Tok Yap-cing lebih jauh, "aku dapat memberi jaminan kepadamu!"

"Jaminan apa?"

"Apapun yang kau kehendaki pasti akan kupenuhi!"

"Aku menghendaki agar kau menulis sepucuk surat keterangan yang isinya menerangkan bahwa kau telah suruh aku melaksanakan pekerjaan itu !"

"Boleh!", Tiok Yap-cing segera menyanggupi tanpa berpikir panjang lebih jauh.

"Aku minta agar sebelum tengah hari besok, kau musti setor uang sebesar sepuluh laksa tahil perak ke dalam bank 'Lip-gwan' atas nama pribadi!"

"Boleh!"

Pelan-pelan Cui losam mengalihkan sorot matanya ke atas bahu Ki-ling yang telanjang kemudian menambahkan:

"Dan akupun menghendaki perempuan ini!" Sekali lagi Tiok Yap-cing tertawa.

"Aaaahhhh. ! Kalau cuma urusan itu sih gampang, sekarang juga kau boleh membawanya

pergi!"

Tiba-tiba ia menyingkap kain selimut yang menutupi tubuh Ki-ling.

Ketika angin dingin berhembus masuk dari luar jendela, tiba-tiba tubuh perempuan itu kembali bergetar keras seperti seekor ular.

Tiba-tiba saja Cui losam merasakan segulung hawa panas menyembur naik ke dalam tenggorokannya, ternyata bagian lain dari perempuan ini jauh lebih indah dan mempesonakan dari pada apa yang dibayangkan semula...... Sekujur tubuh Ki-ling gemetar semakin keras, sepasang pahanya dikempit kencang-kencang.

Menyaksikan adegan yang begitu merangsang dan menggairahkan, Cui losam merasakan tenggorokannya seakan-akan sudah tercekik kencang.

Pada saat itulah, tiba-tiba selimut disingkap orang lagi, menyusul kemudian serentetan cahaya pedang berkelebat lewat. Tahu-tahu sebilah pedang sudah menusuk di atas tenggorokannya.

Sepasang matanya segera menongol ke luar, melotot ke wajah Tiok Yap-cing tanpa berkedip. Para muka Tiok Yap-cing sama sekali tidak berubah, hanya ujarnya dengan hambar: "Tentunya kau tak pernah menyangka kalau aku masih bisa mempergunakan pedang!"

Dari tenggorokan Cui losam hanya memperdengarkan suara gemuruh yang mengerikan, sepatah katapun sudah tak mampu diucapkan lagi.

Ia bisa hidup sampai sekarang sesungguhnya sudah merupakan suatu perjuangan yang tidak gampang, ternyata kali ini ia mampus dengan cara yang begitu gampang.

Di ujung pedang itu masih ada noda darah. Tiba-tiba Ki-ling menghela napas lagi, katanya:

"Bukan hanya dia yang tidak menyangka, bahkan aku sendiripun tidak pernah mengira!" "Kau tidak mengira kala aku bisa mempergunakan pedang?", Tiok Yap-cing berkata. "Kau bukan saja pandai menggunakan pedang, lagi pula pasti adalah seorang jago lihay!" Tiok Yap-cing tertawa dingin.

"Heeehhhh.....heeehhhh....heeehhhhh. sekarang tentunya kau sudah mengerti, bukan saja aku

adalah seorang jago, bahkan merupakan jago diantara jago lihay"

Tiba-tiba sinar mata Ki-ling memancarkan inar takut dan ngeri, sambil menubruk ke depan dan menempelkan tubuhnya yang telanjang di atas tubuhnya ia memohon:

"Tapi kau tentunya sudah tahu bukan bahwa aku tak akan membocorkan rahasiamu, aku seakan- akan sudah tahu kalau kau tak akan menghadiahkan tubuhku untuk orang lain!"

Tiok Yap-cing termenung agak lama, akhirnya ia memeluk pinggangnya dan menjawab dengan lembut:

"Aku mengerti!"

Ki-ling menghembuskan napas panjang.

"Asal kau bersedia mempercayaiku, pekerjaan apapun jua pasti akan kulakukan untukmu!", bisiknya. "Sekarang aku justru mempunyai sebuah tugas penting yang harus kau lakukan!" "Pekerjaan apakah itu?"

"Gantikan kedudukan Han toa-nay-nay untuk melayani saudara-saudara dari kelompok Hek-sat, berusahalah mencari akal agar mereka merasa puas dalam segala hal, dengan begitu mereka baru bersedia menjual nyawanya demi Toa-tauke, mengadu jiwa untuk membunuh, A-kit pun pasti tak akan melepaskan mereka!"

Tiba-tiba ia berkata lagi sambil tertawa:

"Cuma semua persoalan itu adalah pekerjaan untuk besok sore, sekarang tentu saja kita masih ada pekerjaan lain yang harus diselesaikan dengan segera!"

Bila seorang perempuan benar-benar berhasil kau taklukkan, dia memang bersedia pula untuk melakukan semua pekerjaan yang kau perintahkan kepadanya.

Ketika Ki-ling sadar kembali, ia merasakan sekujur tubuhnya lemas tak bertenaga, pinggangnya terasa linu dan amat sakit, bahkan hampir saja sepasang matanya tak sanggup dipentangkan kembali.

Menanti sepasang matanya betul-betul sudah terpentang lebar, ia baru mengetahui bahwa Tiok Yap-cing telah tiada di sisi pembaringan lagi, sementara noda darah dan mayat yang semula membujur dan mengotori lantai, kini sudah lenyap tak berbekas.

Lam sekali dia menyembunyikan kembali tubuhnya di balik selimut, seakan-akan sedang teringat kembali kegilaan dan kehangatan permainan mereka semalam.

Tapi menanti ia sudah merasa yakin bahwa Tiok Yap-cing betul-betul sudah tidak berada di rumah tersebut, dengan cepatnya dia melompat bangun, hanya menutupi tubuhnya dengan selembar jubah panjang dan bertelanjang kaki dia lari keluar dari pintu ruangan.

Tapi begitu pintu dibuka dan ia bermaksud melangkah keluar dari situ, dengan cepat perempuan itu berdiri tertegun.

Apa yang ia lihat di situ?

Mungkinkah ada sesuatu yang mengerikan hatinya atau suatu pemandangan yang membuatnya terperanjat?

Ternyata seorang kakek bertubuh bungkuk yang rambutnya telah berubah semua telah berdiri angker di luar pintu.

Seluruh wajahnya penuh bercodet, mukanya seram dan mengerikan, sekulum senyuman yang aneh dan misterius selalu menghiasi ujung bibirnya hingga membuat kakek itu tampak begitu seram dan menggidikkan hati siapapun jua.

Ketika itu dia sedang mengawasi ke arahnya dengan sinar mata yang cukup mendirikan bulu roma orang.

Ki-ling menjerit lengking saking kagetnya.

"Aaaahhhhh......! Siapa........siapakah kau. ?", teriaknya keras-keras. Bukan potongan tubuhnya atau mimik wajahnya saja yang tampak menggidikkan hati, ternyata suara dari kakek bungkuk itu jauh lebih parau, lebih dingin dan mengerikan daripada Cui-losam.

"Heeehhhh...... heeeeehhhhh..... heeeehhhhh. aku sengaja datang untuk menyampaikan kabar

penting untukmu!", jawabnya kemudian.

Ki-ling menarik napas panjang-panjang. Ia berusaha keras untuk menenangkan hatinya yang berdebar cepat serta pikirannya yang makin kalut itu.

Sesaat kemudian, ketika perasaannya berhasil ditenangkan kembali, ia baru bertanya: "Kabar berita apakah itu?"

"Saudara-saudara dari Hek-sat telah datang lebih pagi, sekarang mereka sedang menanti nona di gedung kediaman Han toa-nay-nay!"

"Apakah kau hendak menemani aku ke sana?"

Gelak tertawa kakek bungkuk itu betul-betul menakutkan. "Heeeeehhhh......heehhhhh....heeeehhhhh. Yap-sianseng telah berpesan, jika aku berani

meninggalkan nona selangkah, maka sepasang kakiku hendak dipenggal untuk makanan anjing" ooooOOOOoooo

Halo Cianpwee semuanya, kali ini siawte Akan open donasi kembali untuk operasi pencakokan sumsum tulang belakang salah satu admin cerita silat IndoMandarin (Fauzan) yang menderita Kanker Darah

Sebelumnya saya mewakili keluarga dan selaku rekan beliau sangat berterima kasih atas donasinya beberapa bulan yang lalu untuk biaya kemoterapi beliau

Dalam kesempatan ini saya juga minta maaf karena ada beberapa cersil yang terhide karena ketidakmampuan saya maintenance web ini, sebelumnya yang bertugas untuk maintenance web dan server adalah saudara fauzan, saya sendiri jujur kurang ahli dalam hal itu, ditambah lagi saya sementara kerja jadi saya kurang bisa fokus untuk update web cerita silat indomandarin🙏.

Bagi Cianpwee Yang ingin donasi bisa melalui rekening berikut: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan), mari kita doakan sama-sama agar operasi beliau lancar. Atas perhatian dan bantuannya saya mewakili Cerita Silat IndoMandarin mengucapkan Terima Kasih🙏🙏

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar