Pedang Tanpa Perasaan Jilid 16

Jilid 16

Sekarang dia hanya ingin memecut kedua orang itu sampai mati untuk mencairkan kebencian dalam hatinya. Mana mungkin dia sudi menghentikannya begitu saja? Kakinya malah melangkah setindak ke depan. Tetap jurus Bunga teratai bertengkaran yang digunakannya. Gerakan pecutnya seperti sambaran kilat. Tanpa menunda waktu lagi dia mengirimkan pecutannya ke depan. Tapi, meskipun gerakan pecut I Giok Hong sudah terhitung cepat sekali, kedua orang di belakangnya menghambur dalam waktu yang bersamaan. Cen Sim Fu mengibaskan lengan bajunya, segulung kekuatan yang tidak berwujud menderu keluar. Pecut di tangan I Giok Hong pun terhempas ke atas.

Kemarahan dalam hati I Giok Hong semakin meluap-luap, bahkan sudah menjurus ke kalap. Di saat tubuhnya mencelat ke belakang langsung mengerahkan jurus Ular perak kduar dari goa. Pecut peraknya menyambar, kemudian tampak lurus seperti sebatang tongkat panjang. Sekali lagi dia mengirimkan totokan ke arah dada kedua orang itu.

Tetapi, serangannya baru dilancarkan setengah jalan, tiba-tiba gerakan tangannya terhenti dan berdiri terpaku.Rupanya, ketika dia meluruskan pecutnya dan hermaksud mengirimkan totokan ke bagian dada kedua orang itu, sekonyong-konyong dia melihat wajah Cen Sim Fu maupun I Ki Hu juga dipenuhi urat-urat merah yang bertonjolan.

Sama sekali tidak berbeda dengan wajah Tao Heng Kan dan dirinya sendiri.

Tiba-tiba saja I Giok Hong menyurutkan tangannya dan berteriak keras-keras.

"Wajah kalian berdua menjadi cacat seperti itu karena hasil perbuatan mereka. Mengapa kalian justru memhantu mereka mengeroyok aku?"

Perlahan-lahan Cen Sim Fu menolehkan kepalanya. Dia mengeluarkan suara tertawa dingin sebanyak dua kali.

"Dasar kami juga orang tampan, tambah sedikit urat merah, apa bedanya?" Sembari berbicara, bersama-sama I Ki Hu dia melesat ke samping kedua orang itu. "Apakah kalian dua kakek dari Si Yu?"

Kedua orang itu tetap mengerlingkan matanya dan tertawa terbahak-bahak. Tetapi tidak menyahut pertanyaan itu.

Cen Sim Fu masih ingin mengajukan pertanyaan, tapi I Ki Hu segera mencegahnya.

"Hek Tian Mo, tidak perlu capai hati lagi. Kedua orang ini sudah menjadi Idiot, apa yang bisa. diharapkan dari mereka?"

"Tadi di lorong gelap kita dicelakai kedua orang ini, lagipula kita sudah tahu bahwa mereka sudah berdiam di dalam goa ini selama satu tahun lebih. Kalau kita tidak menanyakan mereka situasi di goa ini, kepada siapa lagi kita harus bertanya? Kalau benar mereka orang idiot, masa bisa mencelakai orang?" sahut Cen Sim Fu.

I Ki Hu berdiri dengan sepasang tangan disilangkan ke depan dada, matanya menatap langit - langit goa itu.

"Mereka berdua, entah dari mana memperoleh rahasia tentang Tong tian pao liong. Itulah sebabnya mereka bisa sampai ke tempat ini. Tetapi selama satu tahun lebih, mereka tidak mendapatkan hasil apa pun. Manusia bukan ular serangga, di tempat seperti ini, lama kelamaan pasti bisa jadi gila. Khawatirnya kau dan aku, lama-lama juga bisa berubah seperti mereka," kata I Ki Hu.

Mendengar kata-kata I Ki Hu, hati Cen Sim Fu tercekat. Tampak kedua orang itu memang hanya sebagian kecil yang mirip dengan manusia. Diam-diam perasaannya jadi bergidik.

"Lo I, kalau begitu kau sudah siap mengundurkan diri?" tanya Cen Sim Fu.

I Ki Hu tampak menyilangkan tangan di dada sembari berjalan mondar mandir di dalam goa. Dia tidak menjawab pertanyaan Cen Sim Fu.

Dari sinar matanya dapat diketahui bahwa hatirsya sedang ragu memutuskan untuk tetap tinggal atau pergi dari tempat itu.

Tao Ling yang berdiri di sampingnya tidak mengucapkan sepatah kata pun. Wajahnya juga penuh dengan urat-urat merah bertonjolan. Cen Sim Fu melihat I Ki Hu tidak mengucapkan sepatah kata pun. Dia langsung mengeluarkan suara tawa dingin.

"Lo I, kalau kau memang sudah bersiap untuk mengundurkan diri, harap satu buah Tong tian pao liong itu tinggalkan saja untukku," kata Cen Sim Fu.

Tiba-tiba I Ki Hu mendongakkan wajahnya dan tertawa panjang.

"Hanya karena tampamg wajah kedua orang ini saja tentu tidak bisa menggetarkan hatiku."

Baru selesai berkata, tiba-tiba dia maju satu langkah. Tangan kanannya terangkat ke atas, dua jari tangannya sekonyong-konyong meluncur ke depan dan mengirimkan totokan ke bagian ubun-ubun kepala kedua orang itu.

Kepandaian I Ki Hu tinggi sekali. Turun tangannya juga sangat cepat. Sedangkan kedua orang itu duduk di atas kursi perak dengan tampang kebodoh-bodohan.

Tampaknya totokan I Ki Hu akan tepat mengenai kedua orang itu. Tapi sekonyong- konyong tampak mereka menggeser tu-buhnya sedikit. Tangan yang sejak tadi ditelikungkan di belakang, mendadak diangkat ke atas. Kemudian meluncur ke arah tangan kanan I Ki Hu untuk menyambut serangannya. Ternyata gerakannya tidak kalah cepat dengan gerakan I Ki Hu.

I Ki Hu yang melihat orang itu mengangkat tangannya ke atas segera mengeluarkan suara ter-tawa dingin. Dia menarik iengan sedikit untuk mengubah totokannya menjadi cengkeraman ke bagian pergelangan tangan orang itu. Tetapi mendadak, dia justru jadi tertegun.

Rupanya di pergelangan tangan orang itu merayap seekor laba-laba berwarna merah yang ukurannya sebesar kepalan tangan.

Bukan hanya ukuran laba-laba merah itu yang besarnya luar biasa, tetapi warnanya merah gelap, bahkan dari mulutnya tersembur serat-serat halus berwarna kemerahan ke arah tangan kanan I Ki Hu. Sejak berusia muda I Ki Hu sudah berkecimpung di dunia kang ouw. Belakangan dia kawin dengan putri Mo kau, kemudian mengkhianatinya.

Sejak itu dia mengelilingi seluruh dunia. Boleh dibilang, keanehan apa pun sudah pernah dilihatnya. Meskipun wataknya sangat keji, tapi dia tidak pernah menggunakan racun. Karena itu dia juga tidak pernah melihat laba-laba seperti itu seumur hidupnya.

Lagipula laba-laba merah itu dapat menyemburkan serat-serat halus dengan kecepatan yang sulit diukur dengan pandangan mata. Dengan demikian, tentu saja I Ki Hu tahu, ketika berada di lorong gelap tadi, sebetulnya mereka diserang secara tiba-tiba oleh laba-laba itu.

Itulah sebabnya, I Ki Hu mencelat mundur ke belakang, kemudian tangannya memutar dan mencengkeram, mencekal pergelangan tangan I Giok Hong.

Gerakan tangannya bagai hembusan angin, I Giok Hong tidak berjaga-jaga. Tahu-tahu dia merasakan pergelangan tangannya mengencang dan sudah tercekal oleh I Ki Hu.

Rasa terkejut I Giok Hong saat itu benar-benar tidak kepalang tanggung. la tahu watak ayahnya sama dengan dirinya sendiri. Hatinya keji, tangannya telengas, hal apa pun sanggup dilakukannya. Begitu pergelangan tangannya tercekal, tangan kirinya segera diangkat ke atas, telapak tangannya bermaksud menghantam ubun-ubun kepala I Ki Hu. I Ki Hu memiringkan kepalanya sedikit, pukulannya pun telak mengenai pundak ayah kandungnya sendiri.

'' Pukulan I Giok Hong menggunakan tenaga dalam yang tidak terhitung kecil. Tetapi begitu mengenai pundak I Ki Hu, ia seperti menghantam permukaan batu yang keras dan licin. Tiba-tiba saja tangannya tergelincir. Dan dalam waktu yang sekejap itu, I Giok Hong tidak diberi kesempatan untuk melancarkan serangan kedua. I Ki Hu sudah merebut pecut yang tergenggam di tangannya. Secepat kilat ia mengayunkan pecut Itu ke arah laba-laba merah tadi.

Sejak dari mencelat ke beiakang, lalu mencengkeram tangan I Giok Hong dan merebut pecut-nya sampai mengayunkannya, semuanya hanya terjadi dalam sekejap mata.

Ketika pecut itu menyambar ke depan, orang itu bahkan belum sempat menyurutkan tangannya kembali Sambaran pecut I itu sudah melilit laba-laba merah di tangan orang itu, lalu diayunkan ke dinding goa dengan keras. Saat itu juga, laba-laba merah berubah menjadi gumpalan darah merah yang menempel di dinding goa.

Orang aneh itu memandang dengan pandangan mata terkesima. Tiba-tlba dia membuka mulutnya tertawa terbahak-bahak. I Ki Hu menggerakkan tangannya dan mengayunkan pecutnya kembali

"Apa yang kau tertawakan?" bentaknya kesal. Orang aneh itu masih juga tertawa terbahak-bahak.

"Sebetulnya guratan wajah yang merah-merah di wajahmu itu masih bisa dihilangkan dengan menempelkan binatang itu agar dihisap kembali racunnya. Tetapi sekarang binatang itu sudah mati, kemana lagi kau bisa mencari laba-laba merah seperti itu?" kata orang aneh yang satunya.

Mendengar keterangan orang itu, tanpa dapat ditahan lagi timbul penyesalan dalam hati I Ki Hu. Tetapi dasar dia memang manusia yang tinggi hati mana sudi dia menunjukkan penyesalannya di hadapan orang itu? Tiba-tiba sebuah ingatan melintas di benaknya.

"Kalau kau bisa berbicara, mengapa sejak tadi kau diam saja?" Orang itu ikut-ikutan tertawa terbahak-bahak.

"Mengapa aku harus bicara?"

I Ki Hu maju ke depan satu langkah. Tangannya mencengkeram, tahu-tahu pundak orang itu sudah ditekannya.

"Kalian pasti kedua kakek dari Si Yu yang menjaga goa ini. Kalian sudah setahun lebih di dalam goa ini, apa yang berhasil kalian temukan?" bentaknya keras.

Mendengar pertanyaan I Ki Hu, kembali kedua orang itu tertawa terbahak-bahak. Kemudian tampak mereka memejamkan matanya. Kemarahan I Ki Hu benar-benar sudah meluap. Orang yang pundaknya ditekan langsung mengeluarkan suara dengusan berat, kemudian terkulai. Tidak usah diperiksa, dapat diketahui orang itu sudah mati.

Sedangkan seorang yang lainnya sepertinya malah tidak merasa sedih sedikit pun melihat kematian rekannya. Meskipun kedua orang itu belum benar-benar gila, tapi otak mereka sudah setengah idiot.

"Tinggalkan yang satu itu!" teriak Cen Sim Fu lantang.

Tubuh I Ki Hu berkelebat, dia sudah sampai di samping orang yang satunya. "Untuk apa dibiarkan hidup?" bentak I Ki Hu.

Tangannya diangkat ke atas kemudian rnenghantam ke bawah, maksudnya ingin menepuk ubun-ubun kepala orang itu.

"Aku bilang biarkan yang satunya!" bentak Cen Sim Fu kembali dengan nada marah.

"Kalau aku bilang tidak boleh dibiarkan hidup, pokoknya bagaimana pun dia harus mati," kata I Ki Hu.

Cen Sim Fu meiangkah lebar-lebar kedepan.

"Lo I, kalau kau sengaja ingin membunuh orang ini, berarti kau sengaja mencari gara- gara denganku."

"Lucu! Kalau memang cari gara-gara, memangnya kenapa?" Tangan Raja Iblis bergerak ke bawah, sedangkan dalam waktu yang bersamaan, jari tangan Gen Sim Fu meluncur ke depan mengirimkan totokan.

I Ki Hu menyurutkan tangan kanannya ke belakang menghindari totokan Cen Sim Fu. Telapak tangan kirinya menghantam ke depan dan telak mengenai dada orang aneh.

Orang aneh itu tidak sempat mengeluarkan suara keluhan sedikit pun, tahu-tahu orang aneh itu pun mati.

Karena peringatannya tidak diindahkan sama sekali oleh I Ki Hu, kemarahan Cen Sim Fu meluap. Dia mendongakkan kepalanya kemudian tertawa terbahak-bahak.

"I sian sing pukulanmu bagus sekali."

Selesai berkata, tiba-tiba tubuhnya mencelat ke udara sejauh tiga kaki. Sepasang lengannya disurutkan kembali. Gayanya benar-benar aneh. Sekonyong-konyong kedua telapak tangannya langsung mengirimkan dua buah pukulan.

Kedua pukulan itu merupakan ilmu andalan yang dilatihnya dengan keras seumur hidup. Yakni Hek Can dang. Ilmu itu menggunakan kelebihan dari telapak beracunnya untuk meraih kernenangan. Tenaga yang terpancar sangat lembut. Hanya satu jurus yang terkecuali, yaitu Tian sin gui sua (Dewa langit membuka gunung). Jurus yang satu itu mengandung unsur Yang. Dan dia sudah melatihnya sampai taraf gabungan im yang dapat dilancarkan bersama-sama.

Sejak berhasil melatih jurus yang satu itu, bukan baru pertama kali itu Cen Sim Fu meng-gunakannya. Tampak sepasang telapak tangannya menghantam ke depan.

Terdengarlah suara yang bergemuruh, goa itu seperti berguncang karena kerasnya pukulan itu. Sedangkan Tao Heng Kan, Tao Ling dan I Giok Hong bertiga sampai tergetar mundur sejauh dua langkah.

Melihat Cen Sim Fu menghantamkan dua buah pukulan yang suaranya begitu menggetarkan, hati I Ki Hu merasa tercekat juga. Cepat-cepat Raja Iblis itu menghimpun hawa murni dalam tubuhnya untuk melindungi bagian bawah, kemudian dengan cepat dia membalikkan tubuhnya dan mengeluarkan suara siulan panjang.

Pundaknya menggeser ke samping. Dengan jurus Burung merak mengangguk tiga kali, kedua lengannya menjulur ke depan. Secara berturut-turut dia mengirimkan totokan ke arah kedua telapak tangan Cen Sim Fu. Sedangkan tangan kirinya meluncur ke depan mengincar dada orang itu.

Sekaligus Raja Iblis melancarkan tiga buah totokan. Timbul suara angin berdesir. Hal itu membuktikan betapa hebatnya tenaga dalam I Ki Hu.

Cen Sim Fu melihat I Ki Hu tidak menyambut serangannya dengan pukulan tetapi dengan jari tangan mengirim totokan, hatinya langsung tercekat. Dia khawatir ada yang tidak wajar dalam jari tangan lawannya. Cepat-cepat Cen Sim Fu menarik kembali pukulannya, tubuhnya berputar, telapak tangan kirinya menjuntai ke bawah. Telapak tangan kanannya terus meluncur ke depan. Gerakannya seperti orang limbung, tapi cepatnya bukan kepalang. Tahu-tahu pundak I Ki Hu sudah terhantam. I Ki Hu mengeluarkan suara dengusan. Dia tidak meeghindar dari serangan Cen Sim Fu. Kelima jari tangan kanannya serentak menjulur ke arah wajah lawan. Kedua orang itu bergebrak dengan menggunakan gerakan yang tidak terkirakan cepatnya.

Plak! Plak! Tubuh keduanya tampak terhuyung-huyung kemudian tergetar mundur sejauh dua langkah. Setelah itu mereka baru dapat berdiri dengan mantap.

Pakaian di pundak I Ki Hu terkoyak. Tampak di pundak Raja Iblis ada bekas telapak tangan samar-samar berwarna kehitam-hitaman. Sedangkan Cen Sim Fu terkena serangan si Raja Iblis tepat di keningnya. Sebelah wajahnya sembab membengkak.

Dalam sekejap mata keduanya sudah bergebrak. Kalau ditilik dari luka yang diderita, tentu luka I Ki Hu lebih parah. Sedangkan luka yang diderita Cen Sim Fu lebih ringan.

Sebab di pundak I Ki Hu mulai terlihat samar-samar bekas telapak tangan berwarna kehitaman yang berarti mengandung racun. Dan saat itu racun sudah mulai menyusup ke dalam tubuhnya. Meskipun tenaga dalam I Ki Hu sudah mencapai taraf yang tinggi sekali, tetapi apabila ingin mendesak racun dalam tubuhnya dengan mengerahkan hawa murni, juga bukan suatu pekerjaan yang mudah.

Tetapi kalau dilihat dari luar, tarnpaknya kerugian yang diderita Cen Sim Fu lebih besar. Sebab meskipun I Ki Hu terpukul serangan di pundaknya, dari luar tidak kelihatan serius. Sedangkan sebelah wajah Cen Sim Fu bengap seperti terantup tawon, tampangnya sungguh mengenaskan. Orang yang melihatnya jelas mengira dialah yang lebih menderita daripada I Ki Hu.

Setelah saling melancarkan serangannya kepada lawan masing-masing satu kali, hawa amarah dalam dada kedua orang itu benar-benar meluap. Setelah keduanya mencelat mundur, mata masing-masing memancarkan sinar tajam menatap lawannya lekat- lekat. Tao Ling segera menggunakan kesempatan itu untuk mengendap-endap ke samping Tao Heng Kan dan menyenggolnya perlahan.

Tao Ling menolehkan kepalanya.

"Koko, orang yang membunuh kedua orang tua kita bukan lain dari gurumu itu, Hek Tian Mo Cen Sim Fu," bisik Tao Ling memberitahukan.

Melihat Tao Ling berjalan mendekati mereka, I Giok Hong cepat-cepat menarik lengan Tao Heng Kan.

Saat itu, I Ki Hu dan Cen Sim Fu sedang berdiri berhadapan, suasana di dalam goa itu hening mencekam. Karena itu, meskipun suara Tao Ling tadi lirih sekali, Tao Heng Kan sudah pasti dapat mendengarnya.

Tao Heng Kan seorang pemuda yang sangat berbakti kepada kedua orang tuanya. Dia bersedia menyembah Cen Sim Fu sebagai guru, justru karena orang itu mengancam akan mencelakai kedua orang tuanya. Sekarang dia mendengar bahwa akhirnya kedua orang tuanya ternyata dicelakai juga oleh orang itu. Api kemarahan dalam hatinya jadi berkobar-kobar. Wajahnya langsung merah padam, dia memberontak sekuat tenaga agar terlepas dari genggaman tangan I Giok Hong. Setelah itu dia maju ke depan satu langkah.

Tao Ling juga bergegas maju ke depan dan berdiri berdampingan dengan Tao Heng Kan.

Meskipun saat itu perhatian Cen Sim Fu sedang terpusat pada diri I Ki Hu, apa yang terjadi di sekitarnya, tetap saja dia ketahui. Melihat kedua orang itu mulai mendekat kepadanya, hati Cen Sim Fu agak terkejut juga. Telapak tangannya perlahan-lahan menjuntai ke bawah. Cen Sim Fu sudah bersiap sedia untuk melancarkan serangan membunuh Tao Heng Kan dan Tao Ling.

Sepasang mata I Ki Hu sedang memperhatikan Cen Sim Fu lekat-Iekat. Boleh dibilang setiap gerak gerik orang itu tidak ada yang terlepas dari tatapannya. Melihat tangan kiri Cen Sim Fu menjuntai ke bawah, dia segera memperingatkan Tao Ling. "Hu jin, minggir!"

Tapi saat itu perasaan Tao Ling justru sedang merasa gembira. Melihat Tao Heng Kan masih mendengar kata-katanya, berarti perasaan baik dalam hati pemuda itu belum hilang sama sekali. Dia terpaksa menyembah Cen Sim Fu sebagai guru. Perasaannya terharu sekali. Mana mungkin dia mau mendengar perkataan I Ki Hu? Malah dia mengikuti Tao Heng Kan maju lagi salu langkah.

"Heng Kan, apa yang akan kau lakukan?" Terdengar Cen Sim Fu membentak dengan suara yang menyeramkan.

"Apakah kedua orang tuaku benar mati di tanganmu?" tanya Tao Heng Kan dengan nada tajam.

"Kalau benar memangnya kenapa?"

Mendengar dia langsung mengakuinya, saat itu juga, darah pemuda itu terasa mendidih. Dia meraung keras-keras, tubuhnya mencelat ke atas.

Tao Heng Kan melancarkan sebuah pukulan mengarah ke kepala Cen Sim Fu.

Cen Sim Fu memang sudah bersiap sedia. ' Melihat pukulan Tao Heng Kan, telapak tangan kanannya segera berputar, terasa ada serangkum angin yang kencang terpancar keluar. Dia melancarkan sebuah serangan ke arah dada Tao Heng Kan.

Dalam beberapa bulan terakhir, kepandaian Tao Heng Kan memang maju pesat, namun tetap jauh apabila dibandingkan dengan Cen Sim Fu. Baru saja dia melancarkan pukulannya ke depan, tiba-tiba dia merasa ada segulung angin kencang yang melanda ke arahnya.

Tahu-tahu dadanya sudah terhantam. Dia merasa kepalanya pusing tujuh keliling, pandangan matanya nanar. Tanpa dapat mempertahankan diri lagi dia terhuyung- huyung mundur dua langkah. Sementara Tao Heng Kan mulai melancarkan serangan, Tao Ling juga tidak mau ketinggalan, dia segera menghambur ke depan. Tetapi baru saja kakinya bertindak, di sebelah sana I Ki Hu juga sudah mulai bergerak. Raja Iblis itu mengibaskan lengan bajunya, sehingga Tao Ling terhempas ke belakang. Dengan menggunakan kesempatan ketika Cen Sim Fu menghantam Tao Heng Kan, lengan kiri si Raja Iblis juga bergerak. Gerakan lengannya mengibas ke arah Cen Sim Fu. Saat itu juga tercium samar-samar bau amis darah.

Perubahan yang sekejap itu benar-benar menegangkan. Ketika Cm Sim Fu melihat pukulan I Ki Hu mengincarnya, cepat-cepat dia menjulurkan tangan kanannya untuk menyarnbut. Te-tapi saat itu juga gerakan tangan I Ki Hu menggeser ke samping.

Dengan jurus Bidadari memetik bunga, yakni salah satu jurus yang membuatnya terkenal di dunia kang ouw, pukulannya sudah mendarat di lengan Cen Sim Fu.

Cen Sim Fu merasa perlahan-lahan lengannya menjadi lemas dan untuk sesaat justru tidak bisa menariknya kembali. Seandainya I Ki Hu menggunakan kesempatan itu untuk melancarkan serangan kembali, mungkin dia akan kalah di tangan orang itu.

Cepat-cepat dia menyurutkan tubuhnya. Dengan menggeser ke samping, I Ki Hu pun langsung mengubah gaya serangannya.

Walaupun reaksi Cen Sim Fu cukup cepat dan sudah berusaha menghindarkan diri, tetap saja dia tersapu sedikit. Melihat dalam keadaan yang demikian genting, Cen Sim Fu masih sanggup menghindar, tidak urung lagi timbul juga perasaan kagum dalam hati Raja Iblis. Karena sudah melihat kepandaian Cen Sim Fu yang sudah mencapai taraf demikian tinggi, mana sudi dia melepaskannya begitu saja.

Kaki I Ki Hu melangkah ke depan, bau amis darah semakin menusuk, dengan jurus air terjun memercik, kembali dia melancarkan sebuah serangan.

Tadi Cen Sim Fu memaksakan diri untuk menghindarkan pukulan I Ki Hu. Secara tidak langsung dia sudah di bawah angin. Melihat serangan kedua I Ki Hu tiba, hatinya jadi marah. ia mengambil keputusan untuk mengadu jiwa. Sepasang pundaknya disurutkan sedikit. Dua rangkum angin yang kencang dikibaskannya ke belakang untuk menahan serangan yang dilancarkan oleh Tao Heng Kan dan Tao Ling.

Dalam keadaan terdesak, Cen Sim Fu membungkukkan tubuhnya, sehingga pukulan I Ki Hu yang jaraknya begitu dekat melesat lewat di atas kepalanya. Untung saja reaksi Cen Sim Fu cukup cepat. Pukulan-pukulan itu lewat begitu saja tanpa sempat mengenainya.

Dan dalam waktu yang singkat itu, Cen Sim Fu membalikkan tubuhnya dan pukulannya yang terkenal segera dilancarkan mengincar bagian bawah perut I Ki Hu. Tampaknya Cen Sim Fu menempuh bahaya melancarkan serangan yang satu ini.

Sebab pada saat itu pukulan I Ki Hu yang ketiga sudah melanda datang, namun belum sempat mengenai tubuhnya, kedua pukulannya Cen Sim Fu justru sudah mengincar bagian bawah perut lawannya

Tetapi I Ki Hu bukan tokoh sembarangan. Mana mungkin dia memberi kesempatan kepada Cen Sim Fu untuk mendahuluinya? Tiba-tiba, tampak perut I Ki Hu menyusut ke dalam. Dalam keadaan yang paling tidak memungkinkan, dia dapat menyelamatkan diri dari pukulan Cen Sim Fu. Bahkan dalam waktu yang bersamaan, dia melancarkan sebuah serangan balik ke bagian ubun-ubun kepala lawannya.

Baru saja Cen Sim Fu merasa senang karena pukulannya sudah hampir mengenai bagian bawah perut I Ki Hu, tetapi tiba-tiba saja dia merasa ada daya berat yang menerpa bagian atas kepalanya. Meskipun belum menyentuh langsung, tenaga yang terpancar itu sudah menggetarkan kedelapan nadi penting di tubuhnya. Rasa terkejutnya saat itu jangan dikatakan lagi. Diam-diam dia berpikir dalam hati, seandainya serangan itu diteruskan memang dapat membuat lawannya terluka. Tetapi, meskipun dia berhasil mengenai lawan, ubun-ubun kepalanya pun pasti kena ditepuk lawan. Sedangkan ubun-ubun kepala merupakan bagian yang terpenting dalam tubuh manusia. Apabila sampai terkena serangan, lawan hanya terluka namun dia akan mati seketika.

Biar bagimana Cen Sim Fu juga bukan tokoh sembarangan. Seandainya orang-orang lain, dalam keadaan seperti itu, pasti tidak sanggup lagi menghindarkan diri. Tapi Cen Sim Fu yang mendapatkan dirinya dalam keadaan demikian terdesak, cepat-cepat membungkukkan tubuhnya. Dalam keadaan panik, sepasang kakinya beterbangan.

Ternyata dia masih sempat mengirimkan dua buah tendangan.

Melihat Cen Sim Fu melancarkan tendangan ke arahnya, I Ki Hu segera mengeluarkan suara tertawa panjang. Lengan bajunya diangkat ke atas dan dikibaskan ke depan.

Walaupun dalam keadaan terdesak, Cen Sim Fu berhasil menghindarkan diri dari pukulan I Ki Hu. Tetapi dia tidak mempunyai tenaga lagi untuk menghindar dari kibasan lengan bajunya.

Cen Sim Fu berusaha menarik kembali tendangannya. Tetapi serangkum tenaga yang berkekuatan dahsyat langsung menghantam dadanya. Cen Sim Fu tidak bisa mempertahankan diri iagi, darah dalam dadanya seakan-akan bergejolak. Tubuhnya terpental ke belakang beberapa depa, kemudian membentur salah satu lempengan perak.

Cen Sim Fu memaksakan diri untuk bangkit kembali, tiba-tiba dia meraung keras kemudian mencelat ke atas lebih kurang tiga kaki. Karena tubuhnya terlalu lemah, maka terhempas kembali di atas tanah.

I Ki Hu tertawa panjang sekali lagi.

"Sekarang kemauanmu yang harus diikuti, atau kemauanku?"

Setelah menderita kerugian besar, hati Cen Sim Fu sebetulnya marah sekali. Tetapi dia tidak menunjukkannya, nialah tertawa lebar.

"Mengikuti kemauan siapa kan sama saja, lebih baik kita maju lagi ke dalam!"

I Ki Hu sadar, meskipun dalam jurus serangan dia bisa menang setengah atau satu jurus, tetapi apabila ingin membuat Cen Sim Fu terluka parah, tetap saja tidak bisa. Kecuali kalau dia berani menanggung resiko yang sama. "Kalau sejak semula kau tahu teori ini, tentu tidak perlu menderita kerugian," kata I Ki Hu dengan nada dingin.

Cen Sim Fu hanya tertawa datar. Tangannya menumpu di atas tanah. Setelah mendapat sedikit waktu untuk mengatur pernafasannya, tenaganya pun sudah pulih kembali. Tampak dia melonjak bangun. Tepat pada saat itu, tampak dua sosok bayangan menerjang ke arahnya.

Tenaga Cen Sim Fu sudah pulih kembali. Melihat ada dua sosok bayangan yang menerjang ke arahnya dia segera memutar kedua lengannya. Dua gulung kekuatan yang dahsyat pun melanda keluar.

Kedua orang itu, sudah pasti Tao Heng Kan dan Tao Ling. Mereka melihat Cen Sim Fu sudah dikalahkan oleh I Ki Hu, dalam dugaan mereka, itu merupakan kesempatan yang tidak boleh disia-siakan. Itulah sebabnya mereka berdua menerjang ke arah orang itu untuk membalas dendam atas kematian ayah ibu mereka.

Tidak disangka, belum lagi mereka sampai di hadapan orang itu, tiba-tiba terasa ada dua gulung kekuatan yang melanda datang. Kaki mereka menjadi goyah, tubuh mereka sampai berputaran beberapa kali. Belum lagi berdiri mantap, dua gulung tenaga itu sudah sampai pada sasarannya. Bagian kepala kedua orang itu sudah tertekan oleh tangan Cen Sim Fu.

Kedua orang itu merasa kakinya lemas seketika, hampir saja berdiri pun tidak sanggup. Cen Sim Fu tertawa panjang.

"Lo I, tadi sekali turun tangan kau membunuh dua orang. Hatiku sampai gatal melihatnya. Sekarang aku juga ingin melukai kedua orang ini, agar perasaanku menjadi puas."

Sembari berbicara, dia mulai memancarkan tenaga dalamnya. Keringat dingin sudah mem-basahi seluruh tubuh Tao Heng Kan dan Tao Ling.

Ketika kedua kakak beradik itu menerjang ke arah Cen Sim Fu, I Ki Hu sudah menduga bahwa mereka berdua akan menderita kerugian besar. Karena kejadiannya terlalu mendadak, maka dia tidak sempat mencegah.

Di antara kedua orang itu, soal mati hidupnya Tao Heng Kan sama sekali tidak dipertimbangkan oleh I Ki Hu. Tetapi keselamatan Tao Ling tak bisa tidak dipikirkannya. Ketika mereka meninggalkan perkampungan keluarga Sang, Tao Ling pernah melarikan diri darinya. Saat itu dia merasa marah sekali. Tetapi setelah direnungkan seiama beberapa hari, hatinya justru terasa perih. Itulah sebabnya ketika bertemu di gurun pasir, dia pernah menyatakan akan melepaskan Tao Ling seandainya itu memang kehendaknya.

Namun, justru di saat Itu, kedua orang tua Tao Ling mati terbunuh. Dengan demikian Tao Ling ingin mengandalkaa kekuatan I Ki Hu untuk membantunya membalas dendam. Karena itulah, dia bersedia mengikuti suaminya kembali. Bahkan mereka sama-sama berangkat menuju sebelah barat Gunung Kun Lun san. I Ki Hu merasa dirinya tampan sekali dan mempunyai daya tarik besar bagi setiap perem-puan. Itulah sebabnya Tao Ling tidak rela meninggalkannya.Karena itu pula, sanggup atau tidak I Ki Hu mempertahankan Tao Ling, merupakan suatu yang sangat berarti bagi harga dirinya.

Sementara itu, wajahnya berubah menjadi kelam. "Hek tian mo, lepaskan tanganmu, kalau tidak......

Cen Sim Fu tertawa dingin. "Masa cuma kau yang boleh membunuh orang, jadi aku tidak punya hak apa-apa?"

Kemarahan dalam dada I Ki Hu sudah berkobar-kobar. Tubuhnya bergetar sehingga seluruh pakaiannya ikut melambai-lambai bagai dihempas angin kencang. Tetapi dia tetap berdiri di tempatnya tanpa bergerak sedikit pun.

Sebab dia tahu kalau sampai dia maju sedikit saja, Cen Sim Fu akan menambah tenaga dalamnya dan selembar nyawa Tao Ling pun sulit dipertahankan lagi.

Pikirannya terus bekerja memikirkan cara apa yang harus dilakukan agar dapat membebaskan Tao Ling dari ancaman orang itu. Cen Sim Fu masih tertawa dingin.

"Lo I, kau baru menikah kembali setelah membujang sekian lama. Sekarang aku malah memperlakukan kau seperti ini, sebetulnya memang tidak pantas. Tetapi ”

"Kenapa? Apa yang kau inginkan?" Cen Sim Fu tersenyum licik.

"Lo I, kau kan manusia yang cerdas. Masa masih belum mengerti juga." Tentu saja I Ki Hu sudah mengerti apa yang dikehendakinya.

"Pasti kau ingin menukar kedua nyawa mereka dengan sebuah Tong tian pao liong bukan?" katanya dengan nada dingin.

Cen Sim Fu tertawa kering.

"Lo I memang pintar sekali. Belum lagi aku menjelaskannya, kau sudah mengerti. Rasanya jual beli ini cukup sesuai bukan?"

Wajah I Ki Hu berubah kelam. Matanya menatap Cen Sim Fu lekat-lekat tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Cen Sim Fu sadar, selama nyawa Tao Ling masih di bawah cengkeramannya, I Ki Hu pasti tidak berani melakukan apa-apa. Karena itu perasaannya juga tenang, bibirnya tersenyum juga tidak mengatakan apa-apa.

I Giok Hong yang tadi berdiri di samping Tao Heng Kan sudah menjauhkan diri. Dapat dibayangkan sampai di mana kelicikan hati gadis yang satu ini. Ketika dia berada bersama Tao Heng Kan berdua saja, dia sudah mempunyai rencana untuk membunuh tiga orang lainnya. Saat itu, meskipun nyawa Tao Heng Kan terancam bahaya, dia tidak khawatir sedikit pun.

Lagipula, apabila terjadi pertikaian di antara keempat orang itu, pihak mana pun yang kalah atau kalau bisa kedua-duanya sama-sama terluka. Dia seorang yang akan meraih keuntungan. Justru suatu hal yang diharap-harapkan olehnya.

Suasana di dalam goa itu untuk sesaat berubah demikian hening mencekam. Hanya terdengar dengus nafas Tao Heng Kan dan Tao Ling yang berat. Karena kepala mereka ditekan oleh Cen Sim Fu. Hal itu membuat dada mereka terasa sesak sehingga tidak dapat bernafas dengan lancar.

Keheningan yang mencekam itu berlangsung kurang lebih setengah kentungan.

"Hek Tian Mo, kalau begitu kau ingin mengangkangi sendiri rahasia yang menyangkut Tong tian pao liong?" kata I Ki Hu dengan nada dingin.

"Urusan toh sudah terlanjur jadi begini. Lo I, masa kau masih belum mengerti juga?" "Baik aku akan mengabulkan permintaanmu."

Dalam waktu setengah kentungan tadi, entah sudah berapa banyak pertimbangan yang melintas di benak I Ki Hu.

Rahasia yang menyangkut Tong tian pao Hong itu sempat menarik perhatian ketua Mokau jaman dulu sehingga meninggalkan markas besarnya dan melakukan perjalanan yang jauh menuju sebelah barat Gunung Kun Lun san itu. Dari kejadian itu, dapat dibuktikan bahwa rahasia itu pasti besar sekali artinya bagi tokoh-tokoh dunia persilatan.

Sebetulnya, setelah melakukan perjalanan yang demikian jauh dan penuh mara bahaya seperti itu tidak ada rumusnya menyerahkan sebuah Tong tian pao liong kepada orang lain begitu saja. Tapi, nyawa Tao Ling sedang terancam oleh Cen Sim Fu. Kalau dia mengatakan tidak, Cen Sim Fu pasti turunkan tangan jahatnya. Kalau menilik watak I Ki Hu dan gerak geriknya selama itu sebetulnya dia tidak pernah perduli dengan mati hidupnya orang lain. Namun, justru hanya Tao Ling seorang yang berbeda.

Dulu, kira-kira tujuh betas tahun yang lalu, dia mengkhianati Mo kau. Bahkan mertua dan istrinya sendiri terbunuh di tangannya. Selama itu, dia hanya tinggal di Gin Hua kok dan terus memperdalam ilmunya. Dia tidak memikirkan masalah kawin kembali.

Ketika Tao Ling meninggalkannya di perkampungan keluarga Sang hatinya merasa kehilangan sekali. Saat itulah dia baru menyadari bahwa telah timbul perasaan yang selama itu dianggapnya tidak mungkin pada diri Tao Ling. Karena itu pula, selama jiwa Tao Ling masih terancam, mau tidak mau dia harus mempertimbangkan permintaan Cen Sim Fu. Sementara itu, dia langsung mengeluarkan suara siulan panjang.

"Hek Tian Mo, sekarang petanya saja tidak lengkap. Kau berjuang seorang diri, apa tidak khawatir menemui bahaya?" "Lo I, itu urusanku. Kau tidak perlu capai hati. Yang penting kau setuju atau tidak? Satu patah kata saja!"

I Ki Hu tertawa terbahak-bahak.

"Seekor naga emas yang begitu kecil ditukar dengan dua lembar nyawa manusia, sudah ter-hitung murah. Hek Tian Mo, lepaskanlah mereka!"

Cen Sim Fu tertawa dingin.

"Kita harus bertindak adil, kau letakkan dulu naga-nagaan emas itu di sudut sana, baru kita bicarakan lagi."

I Ki Hu melihat sepasang tangan Cen Sim Fu sedang sibuk mengancam Tao Heng Kan dan Tao Ling, tentu tidak bisa mengambil naga-nagaan emas itu. Karena itu, I Ki Hu mengeluarkan sebuah Tong tian pao Hong dan setengah bagian kain belacu itu lalu diletakkannya di atas lempengan perak.

"Lo I, kau mundur lagi sedikit!" kata Cen Sim Fu.

"Hek Tian Mo, kalau kau berpikir yang tidak-tidak, jangan harap bisa keluar dari goa ini dalam keadaan hidup!"

"Jangan khawatir, aku tidak sampai serendah itu."

I Ki Hu mundur satu depa lebih. Cen Sim Fu mencengkeram Tao Heng Kan dan Tao Ling dan diseretnya ke lempengan perak tadi. Tangannya menjulur ke depan, kedua kakak beradik dari keluarga Tao itu didorongnya ke depan.

Dalam waktu yang bersamaan, lengan tangannya mengibas, sebuah Tong tian pao Hong dan kain belacu itu langsung terpental ke atas. Kelima jari tangannya dengan sigap menyambut kedua benda itu.

Pada saat itu, hati Cen Sim Fu senangnya bukan main, dia mendongakkan kepalanya tertawa terbahak-bahak. Selama berpuluh tahun dia ingin mendapatkan Tong tian pao liong yang lengkap. Sekarang impiannya sudah menjadi kenyataan.

Rahasia besar yang menjadi legenda di dunia bu lim, tidak lama lagi akan diperolehnya. Dan yang penting, hanya dia seorang yang memperolehnya.

Di pihak sana, I Ki Hu sudab menjulurkan tangannya menyambut Tao Ling. Sedangkan Tao Ling sendiri yang melihat I Ki Hu rela ditekan oleh Cen Sim Fu hanya untuk selembar nyawanya, jadi merasa terharu sekali. Padahal dia tahu benar watak I Ki Hu yang tinggi hati dan tidak pernah sudi mengalah kepada siapa pun.

Ketika Cen Sim Fu tertawa terbahak-bahak, I Ki Hu segera berbisik kepada Tao Ling. "Hu jin, harap kau berdiri dulu di sana!" Tao Ling mengerti apa maksudnya, dia melirik kepada Tao Heng Kan dan memberikan isyarat. Keduanya serentak mundur beberapa tindak.

"Hek Tian Mo, apanya yang lucu?" bentak I Ki Hu tiba-tiba.

"Tujuh buah Tong tian pao Hong berkumpul menjadi satu, semuanya sudah berhasil kudapat-kan. Bagaimana aku tidak menjadi bangga karenanya? Lo I, kau juga tidak perlu kecewa. Cepat-cepatlah kembali ke Tiong goan. Apabila aku sudah berhasil dan kembali ke Tiong goan kelak, kau juga tidak rugi. Pada saat itu, kedudukan kita hanya beda satu tingkat saja. Ha ... ha ... ha . . !"

Wajah I Ki Hu membeku.

"Itu urusan kelak, buat apa dibicarakan sekarang?" sahut I Ki Hu.

Tentu saja I Ki Hu mengerti apa maksud ucapan Cen Sim Fu. Dia seperti menyatakan bahwa apabila dia sudah berhasil membongkar rahasia Tong tian pao liong dan kembali ke Tiong goan kelak, dia akan mengangkat I Ki Hu menjadi tangan kanannya.

Sedangkan Cen Sim Fu juga orang yang licik, meskipun perasaannya sedang bangganya, tapi dia tetap bisa mendengar kata-kata I Ki Hu yang mengandung niat tidak baik. Dia tertegun sejenak.

"Lo I, kalau begitu kau ingin mengingkari kata-katamu sendiri?" kata Cen Sim Fu. I Ki Hu tertawa terbahak-bahak.

"Satu buah naga-nagaan emas dan setengah bagian kain belacu ditukar dengan dua lembar nyawa. Transaksi itu sudah berhasil. Di antara kita berdua tidak ada yang perlu dipertimbangkan lagi. Apa sekarang aku tidak boleh bergebrak denganmu?"

Cen Sim Fu tertegun.

"Lo I, masa kau masih ingin merebutnya kembali?"

I Ki Hu mengeluarkan suara tertawa yang panjang dan menyeramkan. Tahu-tahu ia sudah melancarkan sebuah pukulan. Kakinya mendesak ke depan dalam sekejap mata, di dalam goa itu penuh dengan bayangan pukulan dan suara angin yang menderu-deru. Tubuh Cen Sim Fu seperti sudah terkurung di dalamnya.

Melihat serangan I Ki Hu demikian mengejutkan, hati Cen Sim Fu langsung tercekat. Tubuhnya berkelebat, tangannya meraih tujuh-delapan lempengan perak kemudian disambitkannya ke arah I Ki Hu. Berat masing-masing lempengan perak itu belasan kati. Ketika disambitkan ke depan, di dalamnya juga terkandung tenaga dalam Cen Sim Fu. Benar-benar sebuah serangan maut.

***** Sebetulnya I Ki Hu mendapat pikiran untuk menyerang secara mendadak. Yang dikerahkannya juga jurus-jurusnya yang maut. Tetapi dia sama sekali tidak menyangka, dalam keadaan panik Cen Sim Fu bisa menggunakan lempengan perak itu sebagai senjata. Melihat senjata yang langka itu melayang ke arahnya, gerakan tangan I Ki Hu langsung berubah. Dari pukulan berubah menjadi cengkeraman.

Cep! Cep!

Dua lembar lempengan perak itu sudah tercekal di tangannya.

Logam perak, di antara logam-logam lainnya merupakan benda yang terlunak. Tenaga dalam I Ki Hu sudah mencapai taraf yang tinggi sekali. Begitu tercekal olehnya, di atas lempengan perak itu langsung tercetak kelima jari tangannya.

Pundak I Ki Hu bergerak, dia bergeser ke samping, sisa lempengan perak itu pun berhasil dihindarkannya. Kemudian dia menyambitkan kembali kedua lempengan perak yang ada di tangannya ke dada Cen Sim Fu.

Sedangkan Cen Sim Fu sendiri, ketika menyambitkan lempengan perak itu, diam-diam sudah menghimpun hawa murni. Tubuhnya membungkuk sedikit, dengan jurus Naga langit muncul tiga kali, jari tangannya meluncur ke depan menotok tiga jalan darah besar antara dada dan perut I Ki Hu.

Ketiga jalan darah itu letaknya memang antara dada dan perut. Setiap jalan darah berjarak kurang lebih dua jari tangan horisontal. Tetapi dalam sekali gerak Cen Sim Fu mengirimkan tiga buah totokan sekaligus. Gerakannya begitu cepat. Namun I Ki Hu mendongakkan wajahnya tertawa panjang. Di antara suara tawanya, tampak dua garis lintas seperti pelangi. Tiba-tiba menekan dari atas kepala Cen Sim Fu.

Rupanya lempengan senjata tadi sudah dijadikannya sebagai senjata. Dan hal itu memang sudah diduga oleh Cen Sim Fu. Satu jurus belum selesai dimainkan, tiba-tiba tubuhnya mencelat ke belakang, rnendarat di atas lempengan perak yang dijadikan tempat tidur. Kedua lempengan perak yang disambitkan I Ki Hu menimbulkan suara.

Crep! Crep! Lempengan perak itu terjatuh di tanah. Tampak bentuk perak itu tidak persegi lagi, tetapi penyok seperti gumpalan tanah.

I Ki Hu yang melihat Cen Sim Fu berhasil menghindarkan diri, mana sudi melepaskannya begitu saja? Dia mengempos hawa murninya dan ikut mencelat ke atas. Belum lagi kakinya berdiri dengan mantap, sepasang tangannya sudah bergerak melancarkan empat-lima jurus serangan.

Cen Sim Fu pun tidak sudi menunjukkan kelemahannya. Dalam waktu yang singkat, dia sudah membalas empat jurus serangan.

Bam! Bum! Plak! Plok!

Tangan dan kaki serta seluruh anggota tubuh. mereka saling beradu. Suara pukulan tak henti-hentinya terdengar. Setelah saling menyerang entah berapa lama, tubuh mereka terhuyung-huyung sejenak. Tetapi akhirnya dapat berdiri lagi dengan mantap. Kedua orang itu merupakan tokoh kelas satu di dunia bu lim saat itu. Apabila yang dihadapinya tokoh bu lim biasa, jurus-jurus serangan mereka pasti terlihat kehebatannya dan dahsyat sekali. Tapi karena kepandaian kedua orang itu hampir setaraf, jadi pertarungan yang berlangsung antara mereka seperti orang yang berkelahi dengan malas-malasan dan tidak terlihat keistimewaannya.

I Ki Hu tidak menunggu sampai kakinya berdiri dengan mantap, dengan cepat kelima jari tangannya menjulur ke depan dan sekali lagi dia mengirim cengkeraman ke bagian dada Cen Sim Fu.

Saat itu Cen Sim Fu masih berdiri di atas lempengan perak dengan punggung bersandar di dinding goa. Tidak ada lagi baginya tempat untuk mengundurkan diri. Melihat cengkeraman I Ki Hu datang, dia segera menebaskan tangan kanannya ke depan.

Secepat kilat I Ki Hu menggeser tubuhnya sedikit, tebasan Cen Sim Fu mengenai tempat yang kosong. Karena tubuh I Ki Hu bergeser sedikit, jelas cengkeramannya pun miring sedikit. Dia tidak berhasil mencengkeram dada Cen Sim Fu, namun hanya pakaiannya saja yang tertarik sehingga koyak.

Sejak I Ki Hu melancarkan serangan dengan melontarkan dua lempengan logam sampai men-julurkan tangan untuk mencengkeram dada Cen Sim Fu itu, waktunya hanya berlangsung sekejap mata. Pada saat itu, mula-mula Cen Sim Fu yang melontarkan lempengan perak ke arah I Ki Hu. I Ki Hu berhasil menangkap dua di antaranya, sisanya yang lima-enam lembar lagi membentur dinding kemudian menghempas di atas tanah sehingga menimbulkan suara yang bising.

Justru di saat pakaian Cen Sim Fu terkoyak, terdengar suara seruan terkejut dari mului I Giok Hong, Tao Heng Kan dan Tao Ling. Tetapi kedua orang itu tidak memperdulikan. Sebab pada saat pakaian Cen Sim Fu terkoyak, benda-benda yang terselip di baliknya juga berjatuhan keluar.

Terdengar suara dentingan yang sayup-sayup di antara suara bising dan seruan terkejut ketiga orang itu. Rupanya ketujuh buah Tong tian pao liong itu sudah terjatuh dari balik pakaian Cen Sim Fu.

Ketika melihat ketujuh buah Tong tian pao liong itu terjatuh di atas tanah, mata Cen Sim Fu dan I Ki Hu langsung hijau, mana sempat lagi mereka memperhatikan hal lainnya. I Ki Hu cepat-cepat menginjak sebuah Tong tian pao Hong, kemudian kakinya mengais ke samping. Sebuah naga-nagaan emas itu terpental di udara. Tubuh I Ki Hu berkelebat, tangannya menjulur ke atas, tahu-tahu sebuah Tong tian pao liong sudah tercekal di tangannya.

Sedangkan di saat I Ki Hu menangkap sebuah Tong tian pao liong itu, Cen Sim Fu juga meloncat ke depan dan sekaligus memungut tiga ekor lainnya dari atas tanah. Baru saja dia hendak meraih Tong tian pao liong yang keempat, I Ki Hu sudah membentak dengan suara keras. "Jangan serakah!" Tubuhnya bergerak bagai cahaya kilat, lututnya menekuk sedikit, telapak tangannya menghantam ke bagian belakang kepala Cen Sim Fu yang sedang berjongkok mengambil Tong tian pao liong.

Cen Sim Fu segera menggelindingkan tubuhnya di atas tanah untuk menghindar dari pukulan itu. Sementara menggelinding, dia melewati sisa Tong tian pao liong, tangannya tidak diam, sekalian dia memunguti sisa Tong tian pao liong itu.

Setelah bertarung dengan sengit, I Ki Hu sudah berhasil mendapatkan kembali satu buah Tong tian pao liongnya. Hatinya sudah merasa puas. Dia segera berdiri tegak kemudian tertawa terbahak-bahak.

"Hek Tian Mo, kalau di dalam nasib kita ditentukan menjadi milik kita, pasti kita akan memilikinya. Tapi kalau di dalam nasib kita tidak mempunyai milik, sama sekali tidak boleh dipaksakan!"

Dengan susah payah Cen Sim Fu baru mendapat kesempatan menahan Tao Heng Kan dan Tao Ling yang digunakan untuk menekan I Ki Hu agar memberikan sebuah Tong tian pao liong itu, dan baru mendapatkan seluruhnya, sebentar saja sudah kehilangan lagi. Hatinya marah sekali. Wajahnya merah padam. Baru saja timbul niatnya untuk mengadu jiwa, tiba-tiba terdengar I Ki Hu mengeluarkan suara seruan, sambil menggeser ke samping.

Pada saat itu Cen Sim Fu baru melihat kalau tembok dinding di depan sudah terjadi perubahan. Perubahan itu terjadi karena sisa lempengan perak yang dilemparkannya tadi tidak mengenai tubuh I Ki Hu tapi menghantam dinding goa itu. I Giok Hong, Tao Heng Kan dan Tao Ling mengeluarkan suara seruan terkejut juga karena hal yang sama.

Tampak setiap bagian yang terbentur lempengan perak itu telah rontok dindingnya dan ter-lihatlah sebongkah batu bundar berwarna putih. Di permukaan batu bundar itu ada tujuh lubang yang jaraknya kurang lebih sejari telunjuk satu dengan , lainnya. Tidak perlu diragukan lagi bahwa batu bundar itu merupakan buatan tangan manusia

Sedangkan ketujuh lubang yang terlihat itu tersusun rapi, di sampingnya ada sebaris tulisan. Hurufnya indah dan dapat dibaca dengan jelas. Tujuh ekor naga merangkap jadi satu, dari sini jalan terus, pemandangan ajaib menanti.

Cen Sim Fu dan I Ki Hu yang memhaca tulisan itu merasa senang sekali. Mereka saling pandang sekilas, kemudian sama-sama tertawa getir.

Kedua orang itu banyak sekali pengalamannya, pengetahuan pun luas. Begitu melihat ketujuh lubang kecil itu, mereka langsung menyadari bahwa ketujuh Tong tian pao liong itu sebenarnya merupakan perangkat kunci yang dibuat sedemikian istimewanya. Dan harus dengan tujuh buah Tong tian pao liong, batu bundar itu baru dapat terbuka. Dengan demikian mereka baru bisa menuju ke pemandangan ajaib yang tertulis di batu itu.

Keduanya mempunyai pikiran yang sama, ketujuh buah Tong tian pao liong digabungkan baru bisa dijadikan kunci untuk menuju pemandangan ajaib itu. Tetapi yang seorang memegang enam Tong tian pao liong, sedangkan yang satunya lagi mempunyai satu buah. Dengan demikian mau tidak rnau mereka harus bekerja sama.

Tapi, kedua orang itu baru saja terlibat pertarungan sengit, siapa pun tidak ada yang mau mengalah. Bahkan kalau bisa, masing-masing ingin menjatuhkan lawannya hingga hancur lebur.

Tetapi dalam sekejap mata pula, mereka harus bekerja sama lagi. Meskipun keduanya merupakan orang-orang yang pandai menutupi perasaannya, setidaknya saat itu merasa malu hati juga.

Di antara kedua orang itu, bagaimana pun muka Cen Sim Fu memang lebih tebal dibandingkan I Ki Hu. Dia segera tertawa lebar.

"Lo I, tampaknya kita harus bekerja sama lagi," kata Cen Sim Fu. I Ki Hu tidak bodoh, dia segera mengikuti arah hembusan angin.

"Tidak salah!" Tubuhnya berkelebat, tahu-tahu dia sudah sampai di depan dinding bundar itu.

Ketika sampai di depan dinding bundar itu, I Ki Hu segera memasukkan sebuah Tong tian pao liongnya yang tadi sempat direbut oleh Cen Sim Fu kemudian direbutnya kembali ke dalam salah satu dari ketujuh lubang kecil itu.

Trak . . .!

Kedua orang itu menyadari bahwa dugaannya tidak salah. Ketujuh Hang kecil itu memang lubang kunci Tong tian pao liong. I Ki Hu menolehkan kepalanya menghadap Cen Sim Fu.

"Giliranmu sekarang!"

Cen Sim Fu melangkah ke depan. Satu persatu Tong tian pao liong dimasukkan ke dalam lubang-lubang kund itu. Di samping itu dia juga memanggil Tao Heng Kan, Tao Ling dan I Giok Hong menghampirinya.

Jumlahnya semua lima orang. I Giok Hong dan Cen Sim Fu masing-masing menggenggam dua ekor Tong tian pao liong. Tao Heng Kan dan Tao Ling masing- masing satu ekor. Serentak mereka menekan keenam Tong tian pao liong tersebut ke dalam lubangnya. Terdengar suara detakan yang tiada henti-hentinya. Debu-debu beterbangan, sekejap kemudian terlihat dinding bundar itu rebah ke belakang dan terbukalah sebuah celah yang lebar.

Cen Sim Fu menggerakkan tangannya, sekaligus merebut kembali keenam buah Tong tian pao liong dari tangan I Giok Hong, Tao Heng Kan dan Tao Ling. I Ki Hu yang melihatnya langsung tertawa dingin.

"Hek Tian Mo, kurang satu pun tidak boleh. Aku hanya memiliki satu buah tapi sudah lebih dari cukup, kau kira aku masih ingin merebut milikmu?" Cen Sim Fu mendengus satu kali. Dia mendorong pintu bundar itu agak melebar. Dinding bundar itu lebarnya kurang lebih enam kaki, tingginya empat kaki. Begitu didorong, peman-dangan di depan mata pun langsung berubah. Kelima orang itu merasa pandangan mata menjadi silau. Ketika mereka memperhatikan dengan seksama, semuanya jadi tertegun.

Ternyata apa yang dilihat mereka bukan barta benda atau barang langka seperti yang mereka perkirakan. Melainkan sebuah lembah gunung yang luasnya kurang lebih dua- tiga puluh depaan. Di sekelilingnya hanya dinding bukit yang tinggi. Seandainya bukan masuk dari dinding bundar tadi, mungkin seekor burung pun tidak dapat menemukan tempat itu.

Di atas bukit yang runcing-runcing penuh diselimuti salju. Tetapi keadaan di lembah itu sendiri jauh berlainan. Rumput-rumput liar tumbuh subur, sehingga warna hijau menghiasi tempat itu. Ada tujuh-delapan ekor kelinci yang bersenda gurau.

Tampaknya mereka tidak takut tehadap manusia. Hanya telinganya yang bergerak- gerak dan sepasang mata memandang mereka dengan bingung.

Tubuh I Ki Hu berkelebat, dia sudah sampai di tengah-tengah lembah. Matanya memandang ke sekitar, tetapi tidak menemukan apa-apa yang istimewa. Hatinya benar-benar tertekan. Apabila dengan tujuh buah Tong tian pao Hong, mereka hanya bisa menembus ke lembah itu, maka pengorbanan wajah mereka yang menjadi cacat dan bahaya yang mereka hadapi hanya sia-sia saja.

Pada saat itu, bukan hanya I Ki Hu yang mempunyai pikiran demikian, bahkan wajah Cen Sim Fu pun tampak menyiratkan mimik yang sama.

KeSima orang itu tertegun beberapa saat, akhirnya I Ki Hu tertawa terbahak-bahak. "Hek Tian Mo, kita sudah sampai di tempat tujuan!" katanya.

Cen Sim Fu marah sekali. Hampir saja kalap.

"Pasti ada jalan Iain. Lo I, masa kita sudah sampai di sini, lalu putus asa begini saja?" katanya marah.

I Ki Hu tidak memberikan komentar apa-apa. Kedua-duanya segera menelusuri dinding bukit. Akhirnya mereka hanya menemukan dua buah goa yang tidak seberapa dalam. Di dalam goa itu bertumpuk berbagai jenis ransum kering. Entah sudah berapa lama ditumpukkan di tempat itu, tetapi tidak ada satu pun yang rusak atau busuk.

Otak I Ki Hu sangat cerdas. Setelah melihat apa yang mereka temui selama itu, dia merasa tempat itu lebih sesuai dikatakan sebagai tempat persembunyian seseorang,karena seperti tidak mengandung sebuah rahasia besar yang menyangkut seluruh bu lim.

Cen Sim Fu pun demikian pula. Dia tidak putus harapan begitu saja. Sementara itu, mereka berbagi diri dalam beberapa buah goa untuk beristirahat sejenak. Cen Sim Fu dan I Ki Hu juga tidak berkelahi lagi. Yang penting di sana tersedia makanan kering yang cukup banyak. Setelah berunding beberapa saat, I Ki Hu dan Cen Sim Fu sepakat untuk menyelidiki tempat itu secara perlahan-lahan.

Waktu berlalu tanpa terasa, tahu-tahu mereka sudah menetap di sana selama dua tahun.

Dalam dua tahun itu, kelima orang tersebut terus mengadakan pencarian ke seluruh pelosok lembah. Bahkan pernah nekat mendaki bukit yang terjal itu, tetapi tetap saja tidak berhasil menemukan apa-apa. Ketika mereka sudah mulai putus asa, tiba-tiba terjadi lagi suatu perubahan.

Hari itu cuaca mendung, keadaan di dalam lembah jadi remang-remang. Sejak pertarungan dulu, I Ki Hu dan Cen Sim Fu memang tidak pernah bergebrak lagi. Tetapi tanpa disadari, bahwa tetap ada jarak pemisah di antara mereka. Mereka saling berjaga-jaga terhadap lawan masing-masing agar jangan sampai dibokong dari belakang.

Wajah I Giok Hong yang cantik sudah cacat sedemikian rupa. Mirip manusia tidak, mirip setan pun bukan. Kesedihan hatinya sulit diuraikan dengan kata-kata. Dia berubah menjadi pendiam dan pemarah. Meskipun Tao Heng Kan melakukan segala hal untuk menyenangkan hatinya, tapi boleh dibilang perempuan itu hampir tidak pernah bicara selama bertahun-tahun belakangan ini.

Sedangkan Tao Ling sendiri, karena sudah berkali-kali menghadapi keadaan yang berbahaya dan ternyata I Ki Hu rela menolongnya, setidaknya timbul perasaan terharu dalam hatinya. Lagipula, kenyataannya dia sudah menjadi istri si Raja Iblis itu.

Walaupun perasaan hatinya sudah tawar, tapi tidak ada lagi yang dapat mengubahnya.

Meskipun hubungan antara kelima orang itu sudah mengalami berbagai perubahan, tetapi tetap rumit sekali.

Hari itu, Tao Heng Kan teringat dendam kematian kedua orang tuanya yang belum terbalas. Tetapi dirinya sendiri sedang terkurung di dalam lembah terpencil itu. Entah kapan mereka bisa meninggalkan tempat itu. Juga entah kapan, dia sanggup membalaskan dendam kematian ayah ibunya.

Cen Sim Fu sendiri yang merasa dirinya sebatang kara, pernah beberapa kali mencoba membujuk Tao Heng Kan agar berpihak padanya. Tetapi sejak mengetahui siapa pembunuh kedua orang tuanya, Tao Heng Kan sudah benci setengah mati kepada orang yang satu itu. Tapi masih ada dua masalah yang selalu dipertimbangkannya.

Pertama, dia khawatir Cen Sim Fu akan mencelakainya secara diam-diam. Kedua, tidak ada sedetik pun pikirannya terlepas dari pembalasan dendam. Diam-diam dia berpikir di dalam hati, menghadapi orang yang demikian licik, harus dengan kelicikan juga. Dengan demikian suatu hari pasti akan datang kesempatan baginya untuk melampiaskan kebenciannya atas kematian kedua orang tuanya.

Pagi itu, Tao Heng Kan keluar dari goa. Dia memandangi rerumputan yang sekarang sudah tidak ada bagian yang utuh lagi karena hampir seluruh tanah di tempat itu dikorek-korek oleh mereka. Dia menarik nafas panjang-panjang. Teringat olehnya keperihan hatinya setiap kali masih harus memanggil suhu kepada musuh besarnya. Dia berjalan ke depan beberapa langkah, lalu duduk di atas sebuah batu besar di bawah bukit sambil memandangi langit yang gelap.

Udara tidak memperlihatkan kecerahan sedikit pun. Langit pun tampak kelam. Namun hati Tao Heng Kan bahkan lebih kelam dari langit itu.

Setelah bersandar di batu itu beberapa lama, tampak I Ki Hu keluar dari goanya. Goa- goa kecil di lembah itu banyak sekali. Kecuali I Ki Hu dan Tao Ling yang menempati satu goa, yang lainnya pun tinggal di dalam goa lainnya masing-masing.

I Ki Hu yang baru keluar dari goanya tampak melirik ke arah Tao Heng Kan sekilas. Kemudian dengan tangan disilangkan di depan dada, dan melangkahkan kakinya dengan tampang acuh tak acuh.

Sebetulnya dalam hati Tao Heng Kan, tidak ada kesan baik sedikit pun terhadap si Raja Iblis ini. Karena itu pula, begitu melihat I Ki Hu keluar dari goa, dia segera mengundurkan tubuhnya sedikit. Tetapi, tidak disangka-sangka ketika dia bergerak mundur. Tiba-tiba I Ki Hu menolehkan kepalanya, matanya menyorotkan sinar yang tajam, kemudian mendongakkan wajahnya tertawa terbahak-bahak. Suaranya yang keras membuat ketiga orang lainnya menghambur keluar dari goa masing-masing. Cen Sim Fu yang pertama-tama mengajukan pertanyaan dengan nada dingin.

" Lo I, ada apa hari ini kau tampak gembira sekali? Apakah kau menemukan sesuatu?" tanya-nya.

Selama berhari-hari belakangan, mereka sudah hampir putus asa. Boleh dihilang perasaan mereka sudah mulai tawar terhadap rahasia Tong tian pao liong. Karena itu, tidak heran kalau Cen Sim Fu mengajukan pertanyaan itu.

I Ki Hu mengeluarkan suara siulan panjang satu kali.

"Jauh di ujung langit, dekat di tepi mata!" Mendengar kata-kata si Raja Iblis, keempat orang lainnya langusung tercekat. Tanpa sadar Cen Sim Fu ke depan satu tindak. "Maksudmu, rahasia yang selama ini tidak pernah berhasil kami temukan?" I Ki Hu mendengus dingin. "Tentu saja!"

Hati Cen Sim Fu jadi curiga. Dia tidak tahu penemuan apa yang berhasil didapatkan oleh I Ki Hu. Tetapi dia juga berpikir, kecerdasan I Ki Hu memang lebih tinggi daripada dirinya sendiri. Bukan tidak mungkin dia berhasil menemukan sesuatu.

"Dimana?" tanya Cen Sim Fu.

I Ki Hu tidak langsung memberikan jawahan atas pertanyaan itu.

"Hek Tian Mo, kita berlima sudah berjerih payah selama ini, tetapi tidak berhasil menemukan apa-apa. Hari ini begitu saja otakku menjadi terang. Aku ingin menanyakan terlehih dahulu. Apabila rahasia ini berhasil diungkap, berapa bagian yang akan kau dapatkan?"

Wajah Cen Sim Fu langsung berubah. "Kita berlima mengalami suka duka bersama selama ini. Tentu saja apa yang didapatkan harus dibagi rata berlima!" jawabnya.

I Ki Hu mendongakkan wajahnya dan tertawa panjang. "Dibagi rata berlima? Hek Tian Mo, kenapa selama ini aku tidak tahu watakmu begitu royal dan baik hati?"

Cen Sim Fu mulai marah mendengar sindirannya. "Lo I, kalau menurutmu sendiri, bagaimana?"

"Hek Tian Mo, bersediakah kau menyembahku sebagai gurumu?"

Ucapan I Ki Hu, bukan saja tidak diduga oleh Cen Sim Fu, bahkan ketiga orang lainnya juga tidak menduganya sama sekali. Cen Sim Fu berdiam diri sejenak.

"Lo I, ucapanmu tinggi sekali!" ucapnya dengan tawa yang menyeramkan.

I Ki Hu mengedarkan pandangan ke wajah setiap orang. "Kalau rahasia sudah berhasil didapatkan, hanya aku sendiri yang boleh menguasainya. Siapa di antara kalian yang keberatan?"

Tao Heng Kan dan Tao Ling tidak bersuara sama sekali. I Giok Hong dan Cen Sim Fu langsung tertawa dingin.

I Ki Hu tertawa sinis. "Kalau kalian berdua keberatan, silakan ungkapkan sendiri rahasia itu! Hu jin, berdiam di sini lama-lama juga tidak ada artinya. Lebih baik kita kembali ke Tiong goan saja!"

Tentu saja Cen Sim Fu tahu bahwa I Ki Hu bukan benar-benar hendak kembali ke Tiong goan. Raja Iblis itu ingin menunggu sampai mereka tidak ada akal lagi untuk mengungkapkan rahasia itu dan dengan putus asa meninggalkan tempat itu. I Ki Hu akan kembali lagi bersama Tao Ling untuk mengangkangi sendiri rahasia itu.

Sementara itu, hati Cen Sim Fu menjadi bimbang. Dia sudah tinggal di tempat itu sekian tahun, tapi tidak berhasil menemukan apa-apa mungkin tinggal sepuluh tahun lagi juga sama saja. Kalau memang demikian halnya, mengapa tidak merendahkan diri untuk sementara. Apabila I Ki Hu sudah mendapatkan rahasia itu, baru mencari kesempatan untuk merebutnya. Kemungkinan itu bisa saja terjadi. Setelah berpikir sampai di situ, Cen Sim Fu melirik sekilas kepada Tao Ling, Ialu tersenyum licik. "Baiklah, Lo I. Biar kau saja yang mendapatkan semuanya."

I Ki Hu tertawa terbahak-bahak.

"Sebetulnya, aku sendiri tidak yakin seratus persen, hanya delapan puluh persen saja

..."

"Rahasia itu sebenarnya tersimpan dimama?" tanya Cen Sim Fu. Tangan I Ki Hu menunjuk ke arah sebuah batu besar. "Rahasia itu pasti tersimpan di balik batu itu." Batu yang ditunjukkannya adalah batu yang digunakan sebagai sandaran oleh Tao Heng Kan tadi. Letaknya di tengah-tengah lembah, tam-paknya batu alam. Setiap orang yang masuk ke dalam lembah itu bisa langsung melihatnya. Karena itu, selama itu tidak ada satu pun dari kelima orang itu yang memperhatikannya.

Mendengar kata-kata I Ki Hu, Cen Sim Fu langsung memaki dirinya sendiri dalam hati. "Dasar bodoh, selama ini setiap hari melihat batu itu, mengapa tidak berpikir sampai kesana?"

Cen Sim Fu segera melangkah ke depan. Tangannya menjulur ke depan dan dengan sekuat tenaga dia mendorong batu besar itu. Tetapi, sampai keringat bercucuran, batu itu tidak bergeming sedikit pun.

I Ki Hu tertawa dingin. "Hek Tian Mo, kau sudah menyetujui kalau rahasia itu aku yang mendapatkannya. Mengapa sekarang kau ikut mengeluarkan tenaga? Lagipula, batu itu tidak dapat tergeser dengan mendorong begitu saja!" Dia tertawa dingin sekali lagi.

Mendengar kata-kata I Ki Hu, wajah Cen Sim Fu menjadi merah padam, tetapi tidak bisa me-ngatakan apa-apa. Terpaksa dia mengundurkan diri beberapa tindak. I Ki Hu melangkah ke depan, dipeluknya batu itu, Ialu dikerahkannya tenaga dalam. Batu itu diputar ke arah kiri.

Tenaga dalam yang dikerahkannya sudah cukup besar, tetapi kenyataannya batu itu juga tidak tergeser.

Tiba-tiba I Ki Hu mendapatkan sebuah ingatan, selama bertahun-tahun, hampir seluruh tempat itu sudah diacak-acak oleh mereka. Hanya batu besar itu yang tidak mereka kutak-katik. Mungkin karena bentuk batu itu tidak mengandung keistimewaan, sehingga tidak menarik perhatian mereka. Sekarang hanya batu itu satu-satunya yang mungkin merupakan tempat rahasia itu.

Kalau tidak, berarti legenda yang sudah menjadi buah bibir selama ratusan tahun itu hanya isapan jempol belaka.

Tadi I Ki Hu mencoba menggeser batu itu ke kiri, tidak bergeming sedikit pun. Sekarang dia mencoba menggesernya ke kanan. I Ki Hu mengerahkan kekuatannya, ternyata batu itu hanya bergeser sedikit. Kegembiraan yang menyelimuti hati I Ki Hu jangan ditanyakan lagi. Raja iblis mengempos hawa murninya, dipeluknya batu itu erat-erat kemudian diputarnya dua kali. Batu itu perlahan-lahan mencuat ke atas.

Kalau diperhatikan dari luar, batu itu seperti batu alam yang sering kita temukan di daerah pegunungan. Tetapi kenyataannya batu itu batu buatan. Batu itu mempunyai ulir atau drat dan ditanam di dalam tanah sedemikian rupa sehingga tampak seperti batu alam.

I Ki Hu memutar batu itu beberapa kali lagi. Tiba-tiba terdengar suara derakan yang ber-gemuruh. Dengan perlahan, batu itu pun terangkat ke atas. Ketika batu besar itu terangkat, tampak sebuah lubang yang dalam. Cen Sim Fu mengeluarkan suara siulan yang melengking. Dengan cepat tubuhnya mencelat ke atas kemudian mendarat di pinggiran batu itu. Sejak semula I Ki Hu sudah tahu bahwa Cen Sim Fu bukan orang yang akan menyerah begitu saja. Sepasang tangan si Raja Iblis langsung mengirimkan pukulan sehingga gerakan tubuh Cen Sim Fu tertahan. Dia sendiri langsung mencelat ke atas lalu menyusup ke dalam lubang itu.

Begitu masuk ke dalam lubang itu, dia merasa keadaannya begitu gelap. Memang hari itu langit sangat kelam, apalagi di dalam lubang, bahkan untuk melihat kelima jari tangan sendiri pun sulit.

Belum lagi I Ki Hu mengetahui apa yang terdapat di dalam lubang itu, tiba-tiba terasa ada angin yang berkesiur. Dia tahu Cen Sim Fu juga sudah menyusul tiba.

I Ki Hu menggeser tubuhnya ke samping sedikit tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Cen Sim Fu yang masuk ke dalam lubang itu juga tidak bisa melihat apa-apa. Tapi dia tahu ada. I Ki Hu di sana. Tentu Cen Sim Fu idak akan membiarkan I Ki Hu meraih keuntungan. Karena itu, ketika melayang turun, dia juga menggeser tubuhnya sedikit, agar jangan sampai saling menyentuh.

Kedua orang itu sama-sama menahan nafas dalam kegelapan. Hal itu dilakukan agar posisi masing-masing tidak diketahui oleh lawan dan berjaga-jaga terhadap bokongan lawan.

Setelah berdiam diri sesaat, tiba-tiba penglihatan mereka jadi terang. Tampak ketiga orang lainnya sudah menyusul turun dengan tiga batang obor di tangan masing- masing.

Ketika api obor sudah menerangi tempat itu, I Ki Hu dan Cen Sim Fu baru menyadari bahwa sebetulnya jarak mereka dekat sekali. Bahkan mereka berdiri berhadapan.

Hanya karena sama-sama menahan nafas, maka keduanya tidak mengetahui posisi lawannya. Namun begitu melihat kenyataan keduanya langsung terkejut, sama-sama melancarkan sebuah pukulan ke depan.

Tentu saja pukulan keduanya tidak mengenai lawannya. Mereka saling menggunakan pantulan tenaga pukulan itu untuk mencelat mundur menghindarkan diri.

Karena cahaya tiga batang obor, keadaan di dalam lubang itu baru bisa terlihat jelas. Tampak ada sebuah lorong panjang yang entah bisa menembus ke mana. Tubuh I Ki Hu berkelebat, menghadang di depan lorong.

"Siapa yang ingin berebut dengan aku memasuki lorong ini?" "Aku!" bentak Hek Tian Mo dengan suara keras.

Tampak tubuh Cen Sim Fu mencelat ke depan, merebut sebatang obor dari tangan I Giok Hong, laki dikibaskannya ke arah wajah I Ki Hu.

I Ki Hu cepat-cepat mengundurkan diri kebelakang. Fuh! Sebuah pukulan dihantamkannya ke depan, api obor langsung terhembus ke belakang bahkan menyambar Cen Sim Fu. Ketika Cen Sim Fu membuang obor itu, sebagian rambut dan alisnya sudah terbakar.

Karena saat itu rahasia besar sudah hampir terungkapkan. Biarpun harus mengadu jiwa, Cen Sim Fu juga rela melakukannya. Dia tak perduli sedikit rambut dan alis yang terbakar. Suara desisan dari rambutnya masih terdengar, tangan kanan Cen Sim Fu secepat kilat mengibas ke depan dan tepat mengenai pundak I Ki Hu.

I Ki Hu tidak menyangka serangan balasan Cen Sim Fu demikian cepat. Pundaknya terkibas ke belakang, pangkal lengannya terasa kesemutan, ternyata hampir tidak dapat mempertahankan diri dan Sangkah kakinya terhuyung-huyung. Sedangkan pada saat itu, Cen Sim Fu ikut melangkah ke dalam.

Lorong itu memang kecil sekali. I Ki Hu yang berdiri seorang diri masih bisa bergerak menahan datangnya lawan tetapi begitu Cen Sim Fu ikut melangah masuk, tubuh mereka merapat, bahkan bergerak pun susah, apalagi saling menyerang.

Dengan posisi miring keduanya terus menerjang ke dalam. Ketiga orang lainnya segera mengikuti dari belakang. Sesaat kemudian, mereka sudah menelusiri sampai ujung lorong, dan melihat sebuah goa yang lain. 1 Ki Hu dan Cen Sim Fu segera memencarkan diri.

I Giok Hong ikut melesat masuk. Di atas goa itu terdapat sedikit celah. Cahaya dari celah itu tidak terlalu menyorot ke dalam, tetapi apa yang ada di dalam goa itu terlihat jelas. I Giok Hong yang baru masuk segera mengedarkan pandangan matanya.

Kemudian tiba-tiba dia tertawa terkekeh-kekeh. "Kalian tidak usah berkelahi lagi!" katanya.

Cen Sim Fu mengira dalam keadaan seperti itu, mendadak gadis itu berpihak kembali kepada ayahnya. Karena itu dia membentak.

"Kenapa?"

Jari tangan I Giok Hong menunjuk ke depan."Kau tidak bisa lihat sendiri?"

Cen Sim Fu melihat ke arah tempat yang ditunjuk oleh I Giok Hong, tampak di bagian atas permukaan dinding goa terdapat lekukan yang cukup dalam. Bentuknya seperti huruf U yang berkaki. Kalau diperhatikan dengan seksama, rasanya cukup untuk memasukkan sebuah anglo ke dalamnya. Sedangkan di sampingnya tampak ada tulisan yang cukup panjang.

Untuk masuk ke dalam pintu ini, harus tahu rahasianya. Sebuah anglo emas penembus langit dan kitab Leng Can Po Liok. Satu pun tidak boleh kurang.

Cen Sim Fu yang melihatnya jadi tertegun. "Maknya budukan! Setan apa yang mengintil kita selama ini? Untuk apa memiliki Tong tian pao Hong?" kata Cen Sim Fu memaki. Perasaan I Ki Hu juga sama tertekannya. Sebab, setidaknya kitab Leng Can Po Liok, dia masih pernah mendengarnya. Tetapi apa itu Tong tian kim ting, selama hidupnya, dengar pun belum pernah.

Tetapi dia tidak menunjukkan perasaan hatinya. Tubuhnya berkelebat ke samping Cen Sim Fu, tiba-tiba dia menjulurkan tangan dan menepuk bahu orang itu perlahan-lahan. Cen Sim Fu terkejut setengah mati, dia cepat-cepat menghindarkan diri.

I Ki Hu malah menertawainya secara diam-diam. "Hek Tian Mo, kalau tidak ada Tong tian pao liong, bagaimana kita sampai di tempat ini?" tanya I Ki Hu.

Saat itu Cen Sim Fu baru menyadari bahwa I Ki Hu tidak bermaksud jahat. "Sudah sampai di sini, apa gunanya?"

I Ki Hu menunjuk ke arah baris tulisan di atas dinding goa.

"Kita pergi mencari anglo emas penembus langit dan kitab Leng Can Po Liok, dong!" Cen Sim Fu tertegun, kemudian dia tertawa getir.

"Betul juga kata-katamu!"

Mengingat jerih payah mereka sekian tahun tapi tidak membuahkan hasil apa-apa, hatinya kesal sekali. Tubuhnya melesat cepat meninggalkan goa itu.

I Ki Hu dan yang lainnya juga mengikuti dari belakang keluar dari goa itu.

I Ki Hu menggeser kembali batu besar tadi sehingga posisinya kembali seperti semula. Mereka menembusi kembali berbagai goa dan lorong yang pernah mereka telusuri ketika sampai ke tempat itu. Tidak lama kemudian mereka sudah sampai lagi di kaki gunung Kun Lun san dan beramai-ramai kembali ke Tiong goan.

Selama menyelidiki rahasia besar itu, entah sudah berapa kali I Ki Hu dan Cen Sim Fu berkelahi dengan sengit. Karena sampai sekarang impian mereka belum juga terwujud, jelas mereka juga tidak berkelahi lagi.

Sesampainya di sekitar perbatasan Giok bun kwan, kelima orang itu mencari cadar hitam untuk menutupi wajah masing-masing yang sudah berubah cacat.

Sebetulnya mereka melakukan perjalanan tanpa mempunyai tujuan tertentu, karena itu mereka juga tidak tergesa-gesa. Tetapi baru saja sampai di daerah Tiong goan, mereka mendengar berita, bahwa kedua kakak beradik dari keluarga Sang yang menyebar undangan untuk para tokoh bu lim, juga meminta mereka datang ke perkampungan keluarga Sang. Kedua kakak beradik yang menyebar undangan itu bernama Sang Cin dan Sang Hoat. Tentu saja I Ki Hu masih mengingat kedua pemuda itu. Namun dia mendengar lagi kedua kakak beradik itu mempunyai guru yang berasal dari daerah Biao, julukannya Kim Tiong siong jin. Yang menarik I Ki Hu justru kata-kata Kim Ting (Anglo emas) itu. Hati mereka sama-sama tergerak karenanya. Itulah sebabnya kelima orang itu segera menuju perkampungan keluarga Sang.

*****

Apa yang terjadi setelah mereka sampai di perkampungan keluarga Sang, sudah kita ketahui di bagian depan. Rasanya tidak perlu diulangi kembali. Sekarang kita kembali lagi pada Cen Sim Fu yang sudah selesai menceritakan pengalaman mereka di sebelah barat Gunung Kun Lun san.

Kim Ting siong jin yang sudah selesai mendengarnya langsung tertawa terbahak- bahak.

"Kalau begitu, urusan ini harus ada aku baru bisa diselesaikan!"

Coan lun ong dari kuil Ga tang langsung tertawa dingin "Apakah kau juga mempunyai Leng Can Po Liok?"

Wajah Kim Ting siong jin langsung berubah mendengar kata-katanya. "Apa maksud ucapan Hoat ong?"

Coan lun hoat ong juga tertawa terbahak-bahak.

"Cin jin toh bukan orang bodoh, masa tidak mengerti maksudku?"

Sepasang mata Kim Ting siong jin mendelik lebar-lebar. Mimik wajahnya menyiratkan kema-rahan.

"Maksud lo ceng di antara kita semua sebaiknya terjadi kerja sama yang baik. Setelah rahasia besar itu berhasil diungkap, baru kita bicarakan kembali!" kata Coan lun hoat ong meneruskan.

"Apa yang dikatakan Hoat ong memang tepat sekali. Kita laksanakan demikian saja," jawab I Ki Hu dan Cen Sim Fu serentak.

Kim Ting siong jin tertawa dingin beberapa kali, tapi dia tidak memberikan komentar apa-apa.

"Kali ini, kita kembali ke sebelah barat Gunung Kun Lun san, tetapi jumlah kita sudah bertambah. Aku rasa sebaiknya harus pilih salah satu dari kita yang memimpin ekspedisi kali ini!" kata Cen Sim Fu

Mendengar kata-kata Cen Sim Fu, semuanya merasa ada benarnya juga. Tetapi tidak ada seorang pun yang memberikan tanggapan.

"Menurut pendapatku, Coan lun hoat ong dari kuil Ga tang berpandangan tinggi dan bersikap welas asih. Apabila ada pertikaian biar beliau yang menyelesaikannya. Entah bagaimana pendapat saudara sekalian?" kata Cen Sim Fu lagi. Mendengar Cen Sim Fu mengeluarkan usul itu, orang lainnya langsung merenung sejenak. Tetapi rasanya memang tidak ada orang lain lagi yang patut dijadikan pimpinan selain Coan lun hoat ong. Mereka pun menganggukkan kepalanya serentak.

"Baik, baik."

Cen Sim Fu mengusulkan Coan lun hoat ong sebagai pemimpin, tentu saja mempunyai maksud lain. Di antara mereka semua, tenaga dalam Coan lun hoat ong boleh dibilang menduduki peringkat pertama. Mungkin I Ki Hu saja tidak sanggup menandinginya.

Tetapi ilmu silat Coan lun hoat ong justru tidak termasuk tinggi. Bahkan kalah dalam perubahan jurus-jurus yang hebat. Secara kasar dapat dikatakan, dia tidak mengerti apa-apa. Dengan demikian orang lainnya mungkin tidak berani mencari gara-gara dengannya. Tetapi Cen Sim Fu adalah manusia yang licik dan banyak akal jahatnya. Dia tidak akan memandang sebelah mata terhadap kehebatan tenaga dalam Coan lun hoat ong.

Tampak mereka masih merundingkan masalah itu. Akhirnya diambil keputusan untuk meninggalkan perkampungan keluarga Sang besok pagi-pagi.

Karena sudah ada keputusan, pertemuan itu pun dibubarkan. Mereka kembali ke kamar masing-masing. I Ki Hu juga kembali ke kamarnya sendiri. Tampak Tao Ling masih duduk di atas tempat tidur dengan wajah termangu-mangu.

Pada saat itu, para tamu undangan keluarga Sang sudah bubar. Melihat kemunculan I Ki Hu dan Cen Sim Fu, mereka khawatir akan timbul badai topan yang dahsyat, sehingga cepat-cepat menyelamatkan diri masing-masing.

Kenyataannya, I Ki Hu dan Cen Sim Fu merupakan tokoh-tokoh golongan sesat yang paling meresahkan dunia bu lim saat itu. Di luar kelihatannya mereka tidak ingin menimbulkan masalah apa-apa, karena orang-orang yang mereka hadapi masih dapat mereka peralat atau dengan kata lain saling memperalat. Untuk sementara kelihatannya tenang-tenang saja, sedangkan di dalam hati mereka sudah mempunyai rencana tersendiri.

I Ki Hu kembali ke kamar dan duduk berdampingan dengan Tao Ling. Sesaat mereka saling berdiam diri.

"Hu kun, a ... ku ... aku ... bahagia sekali. Kau? Apakah kau bahagia?" kata Tao Ling dengan tiba-tiba.

"Apa yang membuat kau bahagia?" tanya I Ki Hu dingin. Tao Ling tertawa terbahak-bahak.

"Aku sudah hamil empat bulan. Tidak lama lagi aku akan menjadi seorang ibu. Coba kau bayangkan, bukankah ini sesuatu yang membahagiakan?"

Sepasang mata I Ki Hu menatap Tao Ling lekat-lekat. Tao Ling membelalakkan matanya yang tidak bersinar. Sampai cukup lama I Ki Hu baru berkata. "Kalau begitu, biarlah kau merasakan kebahagiaan!"

Selama dua hari itu, Tao Ling merasakan kebahagiaan karena bertemu kembali dengan Lie Cun Ju. Tetapi baru sekejap dia merasakan kebahagiaan, batinnya kembali terpukul karena terpaksa berpisah untuk selamanya dengan kekasih hatinya. Pukulan batin yang terlalu hebat itu mengguncang saraf Tao Ling sehingga terganggu. Dia sudah mulai tidak waras. Apa yang dikatakannya saat itu tidak disertai rasio. Apa saja yang tiba-tiba teringat sekilas lalu diucapkannya sembarangan. I Ki Hu pahami mengenai hal itu. Itulah sebabnya, sembari berbicara dengan Tao Ling, otaknya terus berputar.

Tentu saja dia tidak ingin melepaskan haknya begitu saja mengenai ekspedisi ke sebelah barat Gunung Kun Lun san. Dia tidak heran apabila di sana mereka akan mengalami pertarungan yang sengit. Sebab dia sudah dapat menduga bahwa hanya dari luar saja semuanya tampak ingin bekerja sama dengan baik. Tetapi sebetulnya pihak mana pun ingin mengangkangi rahasia besar itu sendirian.

Seandainya dia membawa Tao Ling, tentu dia harus melindunginya dan menjaga keselamatannya. Akibatnya menjadi tidak leluasa dan mungkin bisa menderita kerugian karenanya.

Tetapi kalau dia tidak membawa Tao Ling, kemana dia harus menitipkan istrinya itu? Tao Ling sudah tidak waras tetapi anak dalam perutnya belum tentu ikut gila. Lagipula anak tu adalah darah dagingnya sendiri.

Tao Ling terus tertawa. Tiba-tiba dia melonjak bangun. Suara tertawanya semakin lama semakin melengking. "Cun Ju, kau tidak perlu mengingat aku lagi. Aku bukan hanya istri orang, bahkan aku juga akan menjadi ibu orang. Kau masih tidak melupakan aku, apakah kau masih ingin terus mencintai aku?"

I Ki Hu mengernyitkan keningnya. Tangannya terjulur ke depan dan menotok salah satu urat darah Tao Ling. Setelah tertegun sejenak, dia keluar dari kamar itu. Tidak lama kemudian, kembali lagi dengan diiringi dua orang laki-laki ber-tubuh kekar. Mereka sama-sama masuk ke dalam kamar.

Kalau ditilik dari dandanan kedua laki-laki bertubuh kekar itu, tampaknya mereka merupakan pelayan dalam keluarga Sang.

"Ini istriku, dia sedang hamil. Aku akan meninggalkannya di sini. Kalau kalian menjaganya baik-baik, setelah kembali nanti, aku akan memberikan hadiah yang besar nilainya," kata I Ki Hu kepada kedua orang itu.

Kedua laki-laki itu segera membungkukkari tubuhnya mengiakan. Tetapi mimik wajah mereka menunjukkan perasaan serba salah.

"Perintah I tayhiap, tentu . . . tidak berani kami abaikan. Ta . . . pi . . .kami khawatir kepandaian I hu jin terlalu tinggi sehingga kami tidak sanggup mengawasinya."

Sepasang alis I Ki Hu langsung menjungkit ke atas. "Kalian tidak perlu merisaukan urusan itu. Besok sebelum aku berangkat, aku akan mengikat-nya dengan rantai."

Kedua laki-laki itu mengiakan sekali lagi, mereka pun keluar dari kamar itu.

Malam itu, suasana di perkampungan Sang tenang sekali. Semuanya berusaha untuk beris-tirahat secukupnya karena besok akan memulai perjalanan yang jauh.

Pagi Hari kedua, Kim Ting siong jin membawa kakak beradik Sang Cin dan Sang Hoat, Cen Sim Fu membawa Tao Heng Kan dan I Giok Hong, I Ki Hu beserta tiga orang Iha ma dari kuil Ga tang meninggalkan perkampungan keluarga Sang untuk memulai ekspedisi mereka menuju sebelah barat Gunung Kun Lun san.

Pada saat itu, Tao Ling masih tertidur degan pulas. Di sampingnya terdapat sebatang tiang yang dihubungkan dengan dua utas rantai memborgol kedua pergelangan tangan perempuan itu.

Matahari mulai tinggi cahayanya menyorot dari jendela. Menyinari wajah Tao Ling yang mengerikan. Dia membalikkan tubuhnya kemudian melonjak bangun. Rantai yang mengikat pergelangan tangannya mengeluarkan suara gemerincing yang nyaring.

Matanya yang tidak mengandung semangat sedikit pun tampak membelalak. Otaknya bagai diselimuti awan putih.

Tao Ling membalik-balikkan pergelangan tangannya. Seakan-akan senang melihat rantai yang mengikatnya. Dia justru tertawa kebodoh-bodohan. Tidak lama kemudian, pintu kamar didorong, dua orang laki-laki bertubuh tinggi besar membawa nasi dan beberapa macam hidangan memasuki kamar. Meskipun saat itu Tao Ling sudah diikat dengan rantai, hati mereka tetap khawatir. Mereka meletakkan nampan jauh-jauh.

"Hu jin silakan makan!" Tao Ling memandangi mereka. "Hu jin? Apa itu hu jin?" tanyanya. Keduanya saling melirik sekilas, kemudian bergegas keluar dari kamar itu. Baru saja mereka sampai di pintu kamar, terasa ada serangkum angin kencang yang melanda datang. Jarak Tao Ling dengan kedua orang itu ada tiga kaki, jadi tidak sampai mengenai mereka. Namun hati mereka semakin ketakutan. Cepat-cepat mereka meninggalkan kamar itu. Suara gemerincing rantai yang mengikat pergelangan tangan Tao Ling masih terdengar terus.

Setelah keluar dari kamar, perasaan kedua laki-laki itu baru agak lega. Mereka menyeka keringat dingin yang membasahi kening.

"Huh! Sungguh berbahaya!" kata salah seorang dari kedua orang itu.

Keduanya berhenti sejenak. Baru saja mereka hendak melangkahkan kaki, tiba-tiba dari dalam kamar terdengar suara bergemuruh.

Meskipun kedua laki-laki bertubuh kekar itu sedikit mengerti ilmu silat, apabila dibandingkan dengan Gin leng hiat ciang I Hu jin, tentu saja membayangkannya saja mereka tidak berani. Karena itu, mendengar suara gemuruh dari dalam kamar, lutut mereka pun lemas seketika. Gigi mereka gemerutuk, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Sesaat kemudian, terdengar lagi suara tertawa Tao Ling yang aneh dan menyeramkan. Lagi-lagi disusul dengan suara gemuruh yang lebih keras lagi.

Bum . . .!

Batu-batu tarnpak berhamburan, debu-debu beterbangan. Tahu-tahu dinding kamar sudah jebol. Tao Ling yang rambutnya awut-awutan menyelinap keluar.

Dia berdiri di depan tembok itu sejenak. Matanya melirik ke arah kedua orang laki- laki bertubuh kekar itu. Mulutnya tertawa menyeringai. Kedua orang itu terkejut bukan kepalang. Bahkan sedikit suara pun tidak sanggup dicetuskan.

Tampak pergelangan tangan Tao Ling masih terborgol rantai, bahkan tiangnya juga masih dihubungkan dengan rantai itu.

Tiang itu baru dipasang tadi malam. Entah bagaimana, rupanya kurang kokoh sehingga Tao Ling sanggup menariknya sampai jebol.

Pada saat itu, para jago sudah meninggalkan perkampungan keluarga Sang. Yang tertinggal hanya belasan pelayan. Mendengar suara bergemuruh, belasan orang langsung berhamburan ke tempat itu. Tetapi melihat situasi yang dihadapi, mereka jadi tertegun. Sekejap kemudian mereka berteriak histeris dan berlarian pontang panting

Terdengar Tao Ling tertawa terbahak-bahak.

"Kalian tidak usah lari. Mengapa takut melihat aku?"

Sembari bertanya, Tao Ling menyeret rantai dan tiang itu menghampiri kedua laki-laki bertubuh kekar.

Lutut kedua laki-laki bertubuh kekar yang mengantarkan hidangan tadi sampai gemetar dan bersimpuh di atas tanah. Sampai Tao Ling sudah melewati mereka, keduanya baru bisa menghembuskan nafas lega. Dengan setengah merangkak, mereka berlari jauh-jauh, Tao Ling yang baru berjalan beberapa langkah berhadapan dengan sebuah tembok yang menghadangi jalannya.

Wajah Tao Ling menyiratkan kemarahan, giginya dikertakkan kuat-kuat.

"Kenapa kau menghalangiku? Oh ... aku tahu, Cun Ju ada di dalam sana, dan kau tidak meng-ijinkan aku bertemu dengannya, karena itu kau menghalangiku kan?"

Sembari berteriak marah-marah, sepasang lengannya mengibas ke depan. Tiang besi itu langsung menghantam tembok yang menghalanginya.

Bum . . .!

Nasib tembok itu tidak berbeda dengan penyekat kamar tadi. Tampaklah sebuah lubang yang besar. Batu-batu kecil dan debu-debu berhamburan mengenai wajah Tao Ling, tapi dia tidak memperdulikannya. Tubuhnya berkelebat melewati lubang itu, "Cun Ju, Cun Ju, aku datang! Aku datang!" teriak Tao Ling sambil lari.

Tao Ling berputar-putar di dalam rumah itu beberapa kali, akhirnya baru menemukan jalan keluarnya. Dari dalam rumah sampai keluar, perempuan itu menghancurkan tujuh-delapan tembok yang menghalanginya. Sesampai di luar perkampungan, Tao Ling sempat termangu-mangu sesaat. Kemudian menangis tersedu-sedu. Tubuhnya terhuyung-huyung, namun dia terus lari ke depan. Dia tidak mempunyai tujuan sama sekali, hanya mengikuti langkah kakinya.

Kurang lebih satu setengah kentungan Tao Ling berlari, tiba-tiba dia tampak terpaku.

Rupanya Tao Ling sudah sampai di tepi jurang yang di bawahnya tampak air laut menggelora. Sesampai di sana, dia termangu-mangu beberapa saat. Mimik wajahnya menyiratkan kebingungan. Seperti ada sesuatu yang mengingatkannya pada tepi jurang itu.

Tiba-tiba air matanya mengalir dengan deras. Samar-samar benaknya mulai mengingat sedikit, tetapi masih diliputi kebimbangan. Seperti tahu namun tidak. Dia hanya maklum bahwa tempat itu membangkitkan kesedihan hatinya. Dan dia ingin menangis sepuas-puasnya. Suara tangisannya yang berpadu dengan deburan ombak di bawah jurang, terdengar demikian menyayat hati dan mengenaskan.

Sampai langit mulai menggelap, Tao Ling masih menangis di tepi jurang itu. Air matanya terasa sudah kering, tetapi dia masih ingin menangis. Terus menangis sampai dia benar-benar tidak sanggup menangis lagi.

Langit sudah gelap. Perlahan-lahan Tao Ling berjalan mendekati tepian jurang. Di bawah cahaya rembulan, air laut di bawah ruang tampak berkilauan. Kelihatannya indah sekali. Tiba-tiba saja perasaan Tao Ling seperti terbuka.

Untuk sesaat, dia ingat apa yang telah terjadi di tepi jurang itu. Dia juga tahu mengapa dia ingin menangis di tempat itu. Sejenak Tao Ling termangu-mangu di sana. "Cun Ju, Cun Ju . . . aku datang sekarang . . .aku datang sekarang!" teriaknya dengan suara melengking.

Suaranya memecahkan keheningan malam.Tiba-tiba Tao Ling menghempaskan tubuhnya ke dalam jurang. Berat tiang dan rantai yang mengikat dirinya paling tidak ada dua ratus kati. Karena itu daya luncur tubuhnya juga semakin cepat. Tidak lama kemudian tampak gulungan ombak yang tinggi menerpa datang, airnya memercik ke tubuh Tao Ling.

Tetapi pada saat itu juga, luncuran tubuh Tao Ling terhenti seketika. Dia memberontak, berharap agar gulungan ombak menelannya. Tetapi tubuhnya hanya bergelantungan di tengah udara.

"Cun Ju, aku ingin bersama-sama denganmu ... aku ingin bersama-sama denganmu!" teriak Tao Ling keras-keras. Tao Ling sendiri tidak mengerti mengapa tubuhnya masih belum juga terjatuh ke dalam air laut. Rantai yang mengikat tangannya cukup pan-jang dan tiang besi yang bersambungan dengan rantai itu terkait sebatang pohon. Dengan demikian Iuncuran tubuhnya jadi tertahan.

Tao Ling terus berteriak. Dalam hatinya, orang yang menahan gerakan tubuhnya dan tidak memperbolehkan ia besatu dengan Lie Cun Ju pasti I Ki Hu. Dengan asal-asalan dia menghantam kesana kemari. Tidak lama kemudian, kembali dia menjerit histeris, laiu jatuh tidak sadarkan diri dalam keadaan tergelantung.

Setelah Tao Ling tidak sadarkan diri beberapa saat, tampak sebuah sampan kecil terapung-apung di atas laut yang menggelora. Sampan itu bergerak seiring dengan hempasan ombak dan dalam sekejap mata sudah mendekat

Di bagian depan sampan itu berdiri seseorang yang sepasang tangannya ditelikungkan ke belakang. Di bagian belakang, tampak seseorang sedang menggerakkan dayung.

Dayung itu terdiri dari sepasang, lebarnya tiga dok. Dengan mengandalkan kekuatan tangan si pendayung dan arus air yang deras, sampan itu melaju dengan cepat.

Tidak lama kemudian sampan sudah sampai di bawah Tao Ling bergelantung. Orang yang berdiri di depan sampan menggapai-gapaikan tangannya kepada orang yang berdiri di belakang. Orang itu mengambil sebuah benda berwarna hitam pekat, kemudian dilemparkannya ke atas.

Trak . . .!

Benda itu sudah menancap pada dinding jurang. Rupanya sebuah kaitan besi. Sampan kecil itu langsung terhempas oleh deburan ombak yang besar sehingga membentur batu karang di pinggiran jurang. Orang yang berada di belakang tadi segera menggunakan dayungnya menekan batu karang agar sampannya agak menjauh.

Saat itu mulai tampak jelas bahwa orang yang mendayung perahu itu mempunyai perawakan yang pendek dan kurus. Sungguh sulit dibayangkan. Orangnya begitu kecil kurus bisa mempunyai tenaga sebesar itu.

Sedangkan orang yang berdiri di bagian depan perahu adalah seorang laki-laki berusia lanjut, tubuhnya tinggi dan jenggotnya panjang melambai-lambai. Warna rambut dan jenggotnya putih keperakan dan mengeluarkan cahaya yang berkilauan.

Kakek itu mendongakkan kepalanya ke atas dan menatap sejenak. Tampak dia menarlk nafas panjang. Tiba-tiba tubuhnya menceiat ke atas setinggi dua depaan.

Ketika tubuh kakek itu mencelat ke atas, sepasang tangannya masih menelikung di belakang. Ketika tubuhnya hampir meluncur turun kembali, kakek itu mengulurkan tangannya mencekal sebatang ranting pohon. Kemudian dengan bantuan tenaga pantulan dari ranting itu, dia mencelat ke sebuah batang pohon dan duduk dengan santai. Matanya melirik sekali lagi kepada Tao Ling. Lagi-lagi dia menarik nafas panjang. Dia menjulurkan tangannya untuk memutuskan ranting pohon. Dengan patahnya ranting pohon tubuh Tao Ling pun meluncur ke bawah terjatuh di lautan yang menggelora. Kakek itu juga langsung terjun. Ternyata luncuran tubuhnya malah lebih cepat dari luncuran tubuh Tao Ling. Sesampainya di atas sampan, dia merentangkan kedua tangannya untuk menyambut tubuh Tao Ling.

Dari munculnya sampan itu sampai kakek itu berhasil menolong Tao Ling, semuanya hanya terjadi dalam sekejap mata. Tampak orang tua itu memberi isyarat kepada si Kecil Kurus, agar mendayung sampannya meninggalkan tepi jurang itu. Keadaan air laut masih menggelora, tidak ada bedanya dengan sebelumnya.

Tidak lama setelah sampan itu pergi, di atas tepian jurang muncul beberapa orang. Salah satu di antaranya melongokkan kepalanya ke dalam jurang. Tampangnya panik, dia menghentakkan kakinya keras-keras lalu memhalikkan tubuhnya. Tidak berapa lama kemudian, tampak beberapa sosok bayangan berkelebat. Orang itu menerjang ke depan dan mencengkeram leher baju dua orang di antara para pendatang.

"Dimana? Dimana orangnya?"

Kaki kedua orang itu terasa lemas. Tanpa dapat bertahan diri lagi, mereka jatuh berlutut di atas tanah.

"I sian sing, kami tidak . . . tahu . .."

Orang yang pertama-tama muncul itu ternyata Gin Leng Hiat Ciang I Ki Hu. Terdengar dia mendengus dingin.

"Mungkin ada jalan Iain untuk menuju dasar jurang."

Kedua orang yang menjatuhkan diri berlutut; itu tampak gemetar. "Meskipun kami di . . . besarkan di sini, kami, tidak pernah mengetahuinya."

I Ki Hu tertawa dingin. Tangannya mencekal leher kedua orang itu. Begitu tenaga dalam I Ki Hu dikerahkan, tanpa sempat bersuara sedikit pun, kedua orang bertubuh kekar itu terkulai mati seketika.

Tiga-empat orang lainnya terkejut setengah mati melihat tindakan I Ki Hu. Mereka segera mengambil langkah seribu. I Ki Hu mengeluarkan suara siulan yang panjang.

"Mau coba kabur?" Gerakan tubuh si Raja Iblis bagai seekor burung yang aneh, dia menerjang ke depan secepat kilat. Tangannya mengibas angin kencang menerpa.

Keempat orang itu terhempas. Satu persatu mereka jaiuh di atas tanah dan tidak bangun kembali.

I Ki Hu kembali lagi ke tepian jurang. Setelah memperhatikan sejenak, dia mengguncangkan sebatang pohon yang ada di sisi jurang itu, kemudian terjun ke bawah. Dengan memeluk batang pohon itu, tubuhnya meluncur pesat ke bawah. Tetapi dengan aman dia mendarat di salah sebuah dahan pohon yang mengait tubuh Tao Ling tadi. I Ki Hu membuang batang pohon itu. Dengan seksama dia memperhatikan pohon siong tersebut Akhirnya dia berhasil melihat jejak yang ditinggalkan ranting pohon tempat tubuh Tao Ling tersangkut tadi. I Ki Hu mengeluarkan suara siulan yang panjang. Matanya menatap permukaan laut lekat-lekat.

Meskipun otaknya sangat cerdas dan kepandaiannya tinggi sekali, dia juga tidak berani men-ceburkan diri ke dalam laut yang ombaknya besar-besar itu.

Wajahnya menyiratkan kekesalan hatinya yang tidak terkatakan. Setelah mengeluarkan suara siulan panjang, dia mengerahkan gin kang taraf tertinggi yakni Cicak merayap di dinding, tangannya menempel pada dinding jurang. Dengan gerakan cepat dia merayap ke atas. Sekejap kemudian si Raja Iblis sudah sampai di tepian jurang. Tubuhnya berkelebat dan menghilang di sebuah tikungan.

*****

Sementara itu, sampan yang membawa Tao Ling terus melaju kurang lebih satu li. Si Kecil Kurus kembali menggerakkan sepasang dayungnya. Tampak sampan membelok tepat ke sebuah celah goa lalu melaju dengan cepat.

Air laut demikian bergelora bahkan ombaknya bergulung-gulung. Tetapi setelah masuk ke dalam celah goa, permukaan air ternyata begitu tenang hanya beriak-riak sedikit.

Sampan kecil itu terus bergerak, sebentar membelok ke kanan, sebentar membelok ke kiri. Gerakannya cepat sekali. Kedua orang di atas sampan itu juga tidak pernah terlibat pembicaraan.

Seperti orang-orang gagu, tidak ada yang bersuara sedikit pun. Tidak lama kemudian, di depan mata mereka muncul seberkas cahaya keperakan.

Cahaya keperakan itu cukup besar. Tampak sepintas lalu, seperti sebuah kolam berair jernih yang tersorot sinar rembulan.

Sampai di situ, sampan baru berhenti. Kakek itu mengempit tubuh Tao Ling dan loncat ke tepian. Dia mengitari cahaya keperakan itu beberapa kali. Rupanya cahaya perak itu bukan kolam tetapi selembar jala besar berwarna keperakan dan tergantung di atas ranting sebuah pohon.

Jala itu berukuran besar sekali, hampir sepetak sawah. Sungguh sulit diduga apa kegunaannya. Seandainya saat itu apabila Tao Ling tidak pingsan, atau pikirannya masih

waras, tentu dia akan ingat bahwa tiga tahun yang lalu, ketika dia terdampar di sebuah pulau tandus lalu bertemu dengan Lie Cun Ju, mereka juga pernah melihat jala besar itu. Di pulau itu pula cinta mereka pertama kali bersemi.

Tetapi sayangnya saat ini, bukan saja Tao Ling sedang tidak sadarkan diri, otaknya juga sudah kosong melompong, seandainya dia bangun dan melihat jala itu, belum tentu dia bisa teringat kembali. Begitu kakek itu naik ke tepian, orang yang kecil kurus itu segera menambatkan sampannya disebatang pohon. Kemudian dia mengikuti di belakang orang tua itu. Gerakan tubuhnya gesit dan cepat. Kedua orang itu mengitari jala dua-tiga kali, seakan-akan jala itu mengandung arti yang besar bagi mereka. Setelah itu mereka baru melangkah memasuki celah goa.

Dari celah goa masuk sampai ke tepian daratan. Ternyata ada sebuah jalan tembus yang bisa menuju ke sebuah lembah. Sekeliling tempat itu berupa dinding atau permukaan bukit yang tinggi sekali, sehingga mereka seperti berada di dalam sebuah sumur yang dalam.

Orang tua dan si Kecil Kurus berjalan terus ke depan kurang lebih dua-tiga depa. Tiba- tiba dari belakang mereka terdengar suara tawa yang menusuk gendang telinga dan menyeramkan. Suara tawa itu mendadak saja timbul dalam suasana yang demikian damai. Biarpun seseorang yang kepandaiannya tinggi sekali, tetap saja terkejut setengah mati.

Kedua orang itu tampak biasa-biasa saja, mimik wajah mereka tidak meitunjukkan perasaan terkejut. Lain halnya dengan Tao Ling. Tadinya perempuan itu dalam keadaan tidak sadar, begitu suara tawa itu meledak, tiba-tiba dia membuka sepasang matanya dan memberontak sekuat tenaga. Kemudian dia pun ikut tertawa terbahak- bahak

Suara tawa yang pertama itu sudah begitu tidak enak didengar, dipadu lagi dengan suara tertawa Tao Ling yang otaknya sudah tidak waras, sehingga kedengarannya seperti serigala-serigala kelaparan yang sedang melolong tinggi, seperti kawanan burung bantu yang sedang meratap, benar-benar mendirikan bulu roma.

Kakek itu mengernyitkan keningnya. Tiba-tiba dia menjulurkan tangannya untuk menotok Tao Ling. Dengan demikian gerakan perempuan itu jadi terhenti. Keadaan Tao Ling saat itu sungguh mengerikan. Rambutnya awut-awutan, mulutnya ma~sih dalam posisi membuka lebar seperti masih tertawa terbahak-bahak.

Begitu suara tertawa Tao Ling berhenti, suara tawa yang aneh itu reda. Keadaan menjadi hening kembali. Saat itu, kakek dan si Kecil Kurus sudah sampai di depan dua buah pondok beratap rumbia. Si Kecil Kurus maju, lalu membuka pintu pondok itu.

Gerakan kakek itu sejak semula tenang sekali. Tetapi begitu dia memasuki pondok itu, dengan cepat dia sudah melesat keluar kembali.

Dalam waktu yang besamaan, segulung suara siulan yang melengking tinggi memecahkan ke-heningan. Suara siulan itu keluar dari mulut si Kecil Kurus. Dari hal itu dapat dibuktikan bahwa tenaga dalam si Kecil Kurus itu sudah mencapai taraf yang tinggi sekali. 

Begitu kakek itu menghambur keluar dari dalam pondok, si Kecil Kurus pun langsung mener-jang ke arah suara tawa yang aneh itu.

Tubuh kakek itu bergerak sedikit. "Kenapa kau?"

Gerakan tubuh si Kecil Kurus itu cepatnya bukan main. Dalam sekejap mata dia sudah mener-jang sejauh satu depa lebih. Tetapi ketika kakek itu membentak, mendadak pula tubuh si Kecil Kurus itu berjungkir balik di udara dan melayang kembaii lalu mendarat di atas tanah dengan mantap.

Setelah berdiri tegak si Kecil Kurus itu lalu menggerakkan tangannya dengan serabutan. Mulutnya mengeluarkan suara siulan yang melengking. Tidak usah diragukan lagi bahwa dia memang gagu
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar