Jilid 12
Tao Heng Kan langsung terdiam. Dalam kegelapan malam, tampak sinar mata para serigala yang berkilauan. Jumlah mereka semakin lama pun semakin banyak. Sungguh menggidikkan hati. Lagi pula, begitu suasana hening kembali, suara dengus nafas binatang itu pun dapat terdengar dengan jelas. Apalagi api unggun semakin lama semakin redup sinarnya.
Setiap kali sinar api unggun meredup, gerombolan serigala itu pun mendesak ke depan satu langkah. Sampai akhirnya Tao Heng Kan dan I Giok Hong sudah terkurung di dalam sebidang tanah yang luasnya hanya satu setengah depa.
I Giok Hong mengayunkan pecut di tangannya.
"Daripada menunggu gerombolan serigala itu menerjang, lebih baik kita dulu yang menyerang mereka!" teriak gadis itu.
"Betul juga! Ada baiknya kalau kita cari sebatang pohon yang tinggi dan menyembunyikan diri di atasnya."
Dengan berdampingan, kedua orang itu segera mengempos hawa murninya lalu melesat ke arah gerombolan serigala itu.
Pada saat itu, jumlah serigala yang mengepung mereka kira-kira ada tiga ratusan ekor. Begitu keduanya melesat datang, terdengar suara lolongan histeris sebanyak dua kali. Dua ekor serigala terpijak kaki kedua orang itu sehingga tulang punggungnya patah dan mati seketika.
Tapi, justru dalam waktu yang hanya sekejapan mata itu, terdengar pula sret! sret! dua kali, ternyata pakaian I Giok Hong sudah terkoyak oleh cakar kuku serigala yang tajam. Hati gadis itu tercekat, tetapi tangannya tidak berani memperlambat ayunan pecut. Tampak bayangan pecutnya menyambar kesana kemari. Dengan cara demikian dia melindungi seluruh tubuhnya. "Terjang terus ke depan!" teriak gadis itu.
Pedang di tangan Tao Heng Kan juga menari-nari. Dalam tiga kali sabetan, tampak ada tiga ekor serigala yang menjadi korban pedangnya. Tetapi lengan kirinya juga terluka akibat cakaran serigala itu.
Kedua orang itu menyadari, pertarungan yang tidak seimbang ini lebih banyak kemungkinan
kalahnya daripada menangnya. Kalau mengandalkan kepandaian mereka berdua, untuk mem-bunuh sepuluh atau lima belas ekor serigala saja tentu tidak menjadi masalah.
Namun, serigala yang harus mereka hadapi sekarang justru jumlahnya lebih dari tiga ratus ekor. Kedua orang itu tidak berani rnemisahkan diri selangkah pun. Dengan memaksakan diri mereka terus menerjang ke depan. Setiap jengkal tanah yang mereka lalui, pasti ada bangkai serigala yang menggeletak. Darah-darah serigala itu sudah seperti hujan yang memercik ke mana-mana.
Tapi, setelah kurang lebih setengah kentungan, mereka berhasil juga mendesak ke depan kurang lebih setengah li. Yang menjadi pokok persoalan, mereka tetap tidak bisa meloloskan diri dari kepungan serigala-serigala itu. Setiap kali mereka bergerak, serigala-seriga itu pun ikut bergerak.
Tubuh kedua orang itu sudah penuh dengan luka-luka. Meskipun belum sampai kehilangan nyawa, namun bekas luka cakaran serigala itu menimbulkan rasa perih dan gatal. Sebab kuku serigala memang mengandung racun. Penderitaan mereka dapat dibayangkan.
Tidak ada gunanya kedua orang itu menerjang ke depan. Akhirnya mereka berdiri dengan bahu membahu. Yang satu mengayunkan pecutnya, yang lain mengibaskan pedangnya, mereka membunuh gerombolan serigala itu dengan kalap.
Serigala-serigala itu terus mengeluarkan suara lolongan. Hal ini memancing datangnya serigala-serigala yang Iain. Karena itu pula, semakin lama jumlahnya bukan semakin berkurang melainkan bertambah banyak.
Sejak awal hingga sekarang, satu kentungan sudah berlalu. Tenaga I Giok Hong dan Tao Heng Kan mulai terkuras. Mereka mulai merasa tidak kuat lagi mengadakan perlawanan. Tetapi mereka tetap memaksakan diri.
"Giok Hong, ayahmu berada di tempat yang tidak jauh dari sini. Mengapa kau tidak berteriak meminta pertolongannya?" tanya Tao Heng Kan tiba-tiba.
Rambut I Giok Hong sudah awut-awutan. Dia menggeretakkan giginya erat-erat.
"Ngaco! Aku lebih rela mati dimakan serigala-serigala ini daripada memohon pertolongannya," sahut gadis itu sinis.
Ketika pembicaraan berlangsung, perhatian mereka agak terpencar, Tanpa disadari ada dua ekor serigala yang menerjang. Kedua ekor serigala itu besarnya kurang lebih seperti seekor keledai kecil. Begitu menerjang di hadapan kedua orang itu, kedua kaki depan mereka langsung terangkat ke atas. Lidah yang panjang menjulur ke depan, nafas kedua binatang itu mendengus- dengus dan tiba-tiba cakar kaki depan mencengkeram ke arah dada Tao Heng Kan dan I Giok Hong.
Pedang panjang Tao Heng Kan langsung dikibaskan, begitu pedangnya berkelebat, bagian kepala berikut dua kaki depan serigala itu langsung tertebas putus. Serigala yang satu itu tadinya mengincar I Giok Hong, ia juga menyerang terlebih dahulu. Tao Heng Kan yang cukup waspada. Dia segera menggerakkan pedangnya sehingga serigala itu mati seketika. Sedangkan yang seekor lainnya, menyerang belakangan.
Anehnya binatang itu seakan-akan mengerti siasat pertarungan. Dia tidak menerjang kepada Tao Heng Kan, tetapi menyeruduk tubuh rekannya yang sudah terluka pedang. Tao Heng Kan sama sekali tidak menyangka akan mendapat serangan sedemikian rupa, karena itu dia juga tidak bersiap sedia. Bangkai serigala yang pertama langsung menghantam tubuh pemuda itu. Darah memerciki seluruh tubuhnya dan tanpa dapat dipertahankan lagi kaki Tao Heng Kan menyurut mundur beberapa langkah.
Justru tepat pada saat kakinya menyurut mundur ke belakang, tiba-tiba dia merasa punggungnya perih sekali. Tao Heng Kan dapat merasakan sesuatu yang tidak beres, pedangnya segera dihunjamkan ke belakang. Kembali darah memercik kemana-mana. Pada saat seperti ini, meskipun Tao Heng Kan berniat melindungi I Giok Hong, kesempatan sudah tidak memungkinkan.
Terdengar suara bentakan nyaring dari mulut I Giok Hong. Dengan demikian Tao Heng Kan tahu, meskipun keadaannya berbahaya namun belum sampai mengorbankan selembar jiwa. Dia juga mengeluarkan suara raungan marah dan menyerang serigala- serigala itu dengan kalap. Keadaan demikian berlangsung lagi selama setengah kentungan. Kedua orang itu merasa hampir tidak ada kekuatan lagi untuk bertarung.
Perasaan hati Tao Heng Kan bukan main tertekannya. Diam-diam dia menyadari dirinya tidak akan luput dari kematian. Mengapa tidak menggunakan sisa waktu yang sedikit itu untuk mengutarakan isi hatinya secara terus terang?
Sret! Sret! Sret! Tiga kali berturut-turut dia mengirimkan kibasan pedangnya. Serigala-serigala yang menghadang di depannya cepat-cepat menghindar. Tao Heng Kan menggunakan kesempatan itu untuk berteriak.
"Giok Hong, apa . . . kah kau . . . tahu isi ... hatiku?"
Pada saat itu, I Giok Hong sama sekali tidak rela menerima kematian begitu saja. Meskipun tadi mulutnya berkeras tidak ingin meminta pertolongan I Ki Hu. Tetapi sebetulnya diam-diam dalam hati dia berharap I Ki Hu maupun Tao ling datang menolong mereka.
Namun dia juga tahu benar watak ayahnya yang keras. Lagipula jumlah serigala itu demikian banyak. Biarpun kepandaian I Ki Hu sangat tinggi, belum tentu dia bisa membunuh semua serigala itu. Sedangkan I Ki Hu tidak pernah melakukan sesuatu yang belum pasti. Karena itu, I Giok Hong sebetulnya juga sudah putus asa. Tetapi ketika mendengar kata-kata Tao Heng Kan, dia sendiri tidak dapat melukiskan bagaimana perasaannya. Ternyata dia malah tertawa terbahak-bahak. Suara tawanya mengandung keperihan yang tidak terkirakan.
Dari suara tawanya yang mengandung penderitaan, Tao Heng Kan juga dapat menduga isi hati gadis itu. Karenanya dia juga ikut tertawa terbahak-bahak.
Apabila sepasang pemuda pemudi terlibat dalam cinta kasih dan menyatakan perasaan hatinya, itu adalah hal yang lumrah dan dapat ditemui di mana saja. Tetapi Tao Heng Kan dan I Giok Hong justru menyatakan cinta kasih mereka dalam situasi sedemikian berbahaya. Boleh dibilang tidak ada duanya di dunia ini.
Setelah tertawa terbahak-bahak, Tao Heng Kan kembali merasa bagian bahu kirinya tercakar oleh kuku serigala. Tetapi dia tidak memperdulikannya.
Perlahan-lahan dia mendekat ke arah I Giok Hong. Awan gelap mulai membuyar, rembulan memperlihatkan sedikit cahayanya. Dalam keadaan genting, kedua orang itu saling melirik sekilas. Bibir mereka hanya dapat tertawa getir tanpa sanggup mengucapkan sepatah kata pun.
Tampaknya tidak lama lagi kedua orang itu akan menjadi mangsa gerombolan serigala yang sudah kelaparan. Tetapi tiba-tiba, dari arah timur laut tampak tiga titik sinar obor yang melesat cepat datang ke arah mereka.
Tiga titik sinar api itu bergerak dengan cepat. Dalam sekejap mata jaraknya sudah tidak begitu jauh dari mereka. Tao Heng Kan dan I Giok Hong dapat melihat bahwa ada tiga orang berusia setengah baya yang tangan masing-masing menggenggam sebatang obor.
Hati kedua orang itu langsung diliputi kegembiraan. Mereka segera berteriak. "Sahabat dari mana, tolong gunakan obor kalian untuk mengusir gerombolan serigala yang mengepung kami!"
Suara teriakan sirap, tampang ketiga orang itu mulai tampak jelas. Jarak mereka saat itu kurang lebih belasan depa dari luar gerombolan serigala. Mereka berhenti sebentar, namun kemudian membalikkan tubuh dan berlari meninggalkan tempat itu.
Tao Heng Kan dan I Giok Hong mendongkol sekali.
"Melihat kematian tanpa menolong, pendekar kelas apa kalian?" teriak Tao Heng Kan kesal.
"Kami ..." Ketiga orang itu hanya mengucapkan sepatah kata saja. Sebetulnya mereka bukan orang lain, tapi tiga iblis dari keluarga Lung.
Sementara itu, baru saja mengucapkan sepatah kata, tiba-tiba dari samping mereka melesat sesosok bayangan hitam, gerakan tubuhnya secepat kilat dan langsung menerjang ke arah tiga iblis dari keluarga Lung. Tao Heng Kan dan I Giok Hong sedang kerepotan menghadapi kawanan serigala. Dalam keadaan panik mereka hanya sempat melihat sepintas sosok bayangan itu. Kemudian sibuk lagi menghadapi kawanan serigala. Dalam hati keduanya, karena gerakan bayangan itu begitu cepat, yang datang pasti I Ki Hu. Pada saat itu, I Giok Hong hanya mengharap ada orang yang datang memberikan pertolongan, tidak perduli orang itu musuhnya atau bukan?
Di saat sosok bayangan itu menerjang kepada tiga ibiis dari keluarga Lung, terdengar mulut mereka masing-masing mengeluarkan suara jeritan ngeri, seperti bertemu dengan setan. Meskipun jumlah serigala demikian banyak, namun binatang itu menyerang tanpa menimbulkan suara sedikitpun. Karena itu sejak tadi suasana tetap hening mencekam. Sekarang tiba-tiba terdengar suara jeritan dari mulut ketiga ibiis dari keluarga Lung. Dalam keadaan sibuk, Tao Heng Kan dan I Giok Hong menyempatkan diri menoleh. Tampak ketiga iblis dari keluarga Lung itu lari terbirit- birit, masing-masing mengambil arah yang berbeda-beda.
Tiga batang obor di tangan tiga ibiis itu tampak sudah berhasil direbut oleh bayangan hitam.
Tadi, mereka tidak dapat melihat dengan jelas siapa orang itu. Tetapi sekarang tangannya memegang tiga batang obor yang sinarnya menerangi sekelilingnya sekitar satu depa lebih. Tao Heng Kan dan I Giok Hong dapat melihat wajah orang itu dengan jelas, ternyata bayangan itu bukan I Ki Hu, tetapi Hek Tian mo Cen Sim Fu.
Sejak menyembah orang itu sebagai guru, Tao Heng Kan tidak melihat Cen Sim Fu pernah melakukan kejahatan apa-apa. Karena itu, rasa takutnya pun jadi jauh berkurang dan ternyata tindak tanduknya tidak seburuk cerita yang pernah tersebar di dunia kang ouw.
Karena itu pula, perasaan Tao Heng Kan tidak begitu sebal lagi terhadap Cen Sim Fu. Tapi, tetap saja di antara mereka terdapat jarak yang cukup renggang. Hal ini memang tidak perlu diherankan.
Keadaan Tao Heng Kan dan I Giok Hong saat itu sedang gawat-gawatnya. Maka Tao Heng Kan belum pernah segembira saat itu melihat kedatangan gurunya.
"Suhu, cepat kemari!" Katanya sembari menebaskan pedangnya pada seekor serigala.
Baru saja ucapannya selesai, Hek Tian mo Cen Sim Fu sudah bergerak laksana terbang ke arah mereka. Kecepatannya jangan ditanyakan lagi.
Meskipun kawanan serigala itu bukan main ganasnya, tetapi mereka takut terhadap api. Hek Tian mo menerjang masuk ke dalam kepungan sambil mengibaskan ketiga batang obor di tangannya. Saat itu juga, kawanan serigala menjadi kalang kabut.
Kaki Cen Sim Fu menendang secara bergantian. Tubuh kawanan serigala langsung menggelinding dan terinjak-injak oleh rekannya yang lain. Dalam sekejap mata Cen Sim Fu sudah sampai di samping Tao Heng Kan dan I Giok Hong. Cen Sim Fu mengedarkan ketiga batang obor itu ke sekelilingnya. Meskipun jumlah kawanan serigala masih ada seratus ekor lebih, tetapi mereka tidak berani mendekat, hanya mengepung dari jarak yang agak jauh.
Saat itu, hari sudah menjelang subuh. Jika matahari muncul, kawanan serigala itu pun akan mengundurkan diri. Tao Heng Kan dan I Giok Hong sudah bertarung mati- matian selama dua kentungan lebih. Meskipun keadaannya agak aman, mereka tidak sanggup berdiri tegak lagi. Keduanya jatuh terduduk di atas tanah dengan nafas tersengal-sengal.
Tidak lama kemudian, matahari mulai bersinar di ufuk timur. Kawanan serigala pun berbondong-bondong meninggalkan tempat itu. Tao Heng Kan baru bisa menghembuskan nafas lega.
"Suhu, bukankah kau menyuruh kami menemuimu di sebelah barat Gunung Kun Lun. Mengapa kau justru kembali lagi kesini?"
Wajah Cen Sim Fu tampak angker. Dia mengeluarkan dua butir pil dari balik pakaiannya.
"Kalian minum dulu obat ini. Sebagian diborehkan ke luka. Setelah luka-luka kalian sembuh, baru kita bicara lagi!"
Tao Heng Kan dan I Giok Hong segera menerima obat itu. Cen Sim Fu menyilangkan kedua tangannya di depan dada dan berjalan mondar mandir. Tiba-tiba, dari jarak yang tidak begitu jauh, terdengar suara ringkikan kuda. Wajah Cen Sim Fu langsung berubah hebat.
"Siapa yang mencuri kuda?" bentaknya Iantang.
Suaranya begitu keras dan seakan bergema di seluruh tempat itu. Dapat dibayangkan sampai seberapa jauh berkumandangnya suara bentakan orang itu. Belum lagi gema suaranya habis, terdengar lagi suara ringkikan kuda yang semakin menjauh.
Wajah Cen Sim Fu menyiratkan kegusaran. la mengeluarkan suara raungan marah, kemudian tampak tubuhnya berkelebat, dan tahu-tahu dia sudah melesat sejauh tiga depa. Terdengar suaranya berkumandang dari kejauhan.
"Kalian berdua cepat ikut aku!" Terdengar suara Cen Sim Fu berkumandang.
Tao Heng Kan dan I Giok Hong saling melirik sekilas. Mereka berdua tahu, apabila ada seseorang yang berani main gila di hadapan pangcu Hek Can pang Cen Sim Fu, pasti bukan siapa-siapa, kecuali Gin leng hiat ciang I Ki Hu.
Meskipun keduanya mengerahkan segenap kemampuan mengikuti Cen Sim Fu dari belakang. Tetapi tidak lama kemudian, mereka sudah tertinggal jauh. Kecepatan gerakan kaki Cen Sim Fu, benar-benar sulit diuraikan dengan kata-kata.
Tetapi mereka tidak berani berhenti. Dengan sekuat tenaga mereka terus berlari. Tidak lama kemudian, mereka sampai di samping sebatang pohon yang besar. Tampak di sisi pohon terikat seekor kuda yang warnanya hitam mulus. Sedangkan di batang pohon tergurat beberapa bans tulisan.
"Kuda hitammu dikembalikan, kuda putih diambil lagi oleh pemiliknya. Harap dapat berjumpa di sebelah barat gunung Kun Lun san."
Di bawah tulisan itu terdapat cap telapak tangan. Sekali lihat saja I Giok Hong tahu tulisan itu ditinggalkan oleh I Ki Hu. Dia mengeluarkan suara terkekeh-kekeh yang dingin. "Semua orang menuju sebelah barat gunung Kun Lun, mungkin di sana ada pertunjukan yang bagus."
I Giok Hong segera menarik lengan Tao Heng Kan. Keduanya mencelat ke atas kuda, jari tangan I Giok Hong menghentak tali yang terikat di pohon. Jari tangan gadis itu benar-benar setajam pisau. Begitu dihentakkan, tali itu langsung putus. Kuda hitam itu pun melesat ke depan seperti terbang.
Kira-kira tengah hari, mereka baru melihat Cen Sim Fu sedang berlari ke sana ke mari di antara bukit bebatuan. Setiap jengkal tanah yang dilewatinya, tampak batu-batu kecil berhamburan. Suaranya bergemuruh seperti tiba-tiba terjadi tanah longsor. Tao Heng Kan dan I Giok Hong tidak tahu apa yang sedang dilakukannya. Cepat-cepat mereka menghentikan gerakan kudanya. Tiba-tiba Cen Sim Fu menghantamkan tinjunya pada sebuah batu besar. Batu itu langsung terpecah menjadi dua bagian.
Wajahnya menyiratkan kegusaran, kepalanya didongakkan, dan matanya menyorotkan sinar yang menyeramkan. Kakinya menyepak ke depan, sebuah batu lainnya langsung melayang ke luar dan meluncur ke arah I Giok Hong.
"Kau lihat sendiri!" teriaknya marah.
I Giok Hong terkejut setengah mati. Dengan panik dia menjatuhkan tubuhnya di atas tanah dan menggelinding beberapa kali. Batu besar itu membawa serangkum angin yang kencang. Terdengar suara menderu-deru. Untung saja reaksi I Giok Hong cukup cepat, kalau terlambat sedikit saja, tubuhnya pasti akan terhantam batu besar itu dan tersungkur jatuh dari atas kuda dengan terluka parah.
Baru saja I Giok Hong berdiri tegak, batu besar tadi sudah menimbulkan suara. Blam!
I Giok Hong menolehkan kepalanya, tampak di atas permukaan batu itu tergurat beberapa baris tulisan.
Kuda San Tian pek dapat berlari sejauh ribuan li, tidak mungkin bisa tersusul. Bila ada jodoh, kita bertemu lagi di sebelah barat Gunung Kun Lun san.
Tentu tulisan itu digurat oleh tangan I Ki Hu.
I Giok Hong tahu Hek Can pang Pangcu pasti mendongkol sekali karena dipermainkan oleh lawannya. Karena itu dia mendongakkan wajahnya dan berkata dengan dingin. "Cen Pangcu, antara aku dengan orang itu tidak ada hubungan apa-apa lagi. Mengapa kau mengumbar kemarahanmu kepadaku?"
Tiba-tiba tubuh Cen Sim Fu berkelebat dan tahu-tahu sudah berdiri di hadapan I Giok Hong.
"Mulai sekarang aku sudah bertentangan dengannya. Bagaimana dengan engkau sendiri?"
Wajah I Giok Hong tidak memperlihatkan rasa takut sedikit pun. "Tentu aku juga sama!"
"Baik!" Cen Sim Fu membalikkan tubuhnya. "Heng Kan, kalian teruskan perjalanan menuju sebelah barat Gunung Kun Lun san. Aku akan berangkat lebih dahulu."
Tao Heng Kan tidak tahu mengapa gerak gerik gurunya itu selalu dirahasiakan. la hanya dapat menganggukkan kepalanya. Dalam sekejap mata tubuh Cen Sim Fu tampak berkelebat kemudian melesat pergi dari tempat itu.
I Giok Hong naik kembali ke atas kuda. Bersama Tao Heng Kan, dia menuju arah barat. Dua hari kemudian, mereka sampai di daerah pegunungan. Jalanan di sana berkelok-kelok dan harus melalui banyak tanjakan. Dengan demikian, Tao Heng Kan dan I Giok Hong tidak dapat meneruskan perjalanan dengan menunggang kuda.
Mereka melepaskan Cui hong be di tempat itu, dan meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki.
Tiga hari kembali berlalu, perjalanan semakin sulit ditempuh. Mereka harus melalui tebing-tebing yang curam. Untung saja kepandaian keduanya tidak rendah sehingga dapat melalui semua rintangan. Pada hari keempat, tampak salju bertebaran di depan mata. Begitu putihnya sehingga menyorotkan sinar yang berkilauan. Mereka sudah menginjak di Pegunungan Kun Lun san. Sepanjang perjalanan, mereka tidak bertemu dengan seorang manusia pun.
Baru saja mereka ingin melanjutkan perjalanan, tiba-tiba terdengar suara seperti seseorang yang melesat datang dari arah belakang punggung.
Cepat-cepat mereka menolehkan kepalanya. Tampak sepasang ular yang panjangnya kira-kira lima ciok dan berwarna kuning keemasan sedang melesat datang ke arah mereka dengan mulut mengeluarkan suara desisan.
Kemudian, mereka juga melihat seseorang yang tangannya menggenggam sebatang tongkat panjang. Seekor ular berwarna hijau melilit di tongkat itu. Orang itu berjalan dengan cepat mengikuti sepasang ular kecil berwarna kuning keemasan tadi.
Sekali saja melihat, I Giok Hong segera dapat mengenali orang itu sebagai Leng Coa sian sing.
Leng Coa sian sing sendiri tampaknya tertegun dapat bertemu dengan I Giok Hong di tempat itu. "Eh ... Rupanya I kouwnio juga ada di sini?"
I Giok Hong tahu Leng Coa sian sing seorang manusia yang licik dan culas. Pokoknya tidak termasuk golongan baik-baik. I Giok Hong juga malas bicara dengannya. Tetapi dia ingin tahu apakah tujuan orang itu juga sebelah barat Gunung Kun Lun san.
Karena itu dia bertanya. "Leng Coa sian sing, apakah kau juga ingin menimbrung keramaian di sebelah barat Gunung Kun Lun san?"
Leng Coa sian sing tertawa terkekeh-kekeh. "Tidak berani. Saya ingin melihat-lihat saja," sahutnya dengan nada licik.
"Aku nasehati kau agar jangan membuang tenaga secara percuma. Gin leng hiat ciang dan Hek tian mo berdua sudah menuju ke sana. Apakah kau merasa umurmu sudah terlalu panjang sehingga ingin cepat-cepat mati?" sindir I Giok Hong.
Mendengar keterangan I Giok Hong, wajah Leng Coa sian sing berubah hebat, namun sekejap kemudian sudah pulih kembali seperti sedia kala.
"Hal ini juga sulit dikatakan. Ada pepatah yang mengatakan 'siapa yang berjodoh, dialah yang mendapatkan'. Siapa tahu aku justru berjodoh?"
"Apa yang ingin kau dapatkan?" tukas Tao Heng Kan.
"Apa pun yang ingin kalian dapatkan, aku juga menginginkannya," sahut Leng Coa sian sing sambil tertawa terbahak-bahak.
Kemudian Leng Coa sian sing mengeluarkan suara siulan panjang. Sepasang ular emas yang membuka jalan segera melesat lagi ke depan. Leng coa siang sing menganggukkan kepalanya sedikit, kemudian mengikuti di belakang sepasang ular itu.
Tao Heng Kan memandangi bayangan punggung Leng Coa sian sing sembari menarik nafas panjang.
"Entah benda apa yang terdapat di sebelah barat gunung Kun Lun san, sehingga setiap tokoh persilatan ingin mengambil bagian dalam pencarian itu."
I Giok Hong merenung beberapa saat. "Kita berangkat saja ke sana. Bukankah nanti kita akan tahu juga?"
Kedua orang itu meneruskan perjalanan. Dalam satu hari itu, mereka bertemu dengan tiga rombongan orang. Rombongan pertama tiga iblis dari keluarga Lung. Rombongan kedua jumlahnya ada tujuh-delapan orang, pemimpin mereka seorang laki-laki berusia lanjut yang pakaiannya penuh dengan sulaman emas. Tampangnya gagah. I Giok Hong dan Tao Heng Kan tidak dapat menebak asal usulnya.
Rombongan ketiga, sepasang laki-laki dan perempuan. Yang laki-laki berwajah bersih, ta-ngannya menggenggam sebatang sitar (Sejenis alat niusik jaman dulu, bentuknya mirip gitar, senarnya ada yang tiga belas, ada juga yang enam belas) kayu. Setiap kali melangkah tangannya menjentik senar sitar itu sehingga menimbulkan bunyi cring! cring! Kalau ditilik dari tampangnya, mirip dengan tokoh persilatan nomor satu dari wilayah Hok kian, Bok Cin sian sing. Perempuan yang berjalan bersamanya mempunyai wajah yang jeleknya tidak ketolongan. Pakaiannya juga tidak karuan.
Tangannya menggenggam sebatang pedang yang aneh. Panjangnya kira-kira lima ciok, leharnya cuma sejari tangan.
Ketiga rombongan itu seakan-akan sedang melakukan perjalanan dengan tergesa-gesa. Karena itu tidak ada satu pun yang mencari kesulitan dengan yang lainnya. Malam itu, mereka mendaki ke tempat yang agak tinggi yang tidak begitu banyak salju. Mereka menyalakan api unggun dan menghangatkan diri di sampingnya.
Tao Heng Kan dan I Giok Hong bermaksud beristirahat satu malam di tempat itu. Sepanjang malam, masih banyak orang yang melewati mereka atau bermalam juga di sekitarnya. Begitu banyaknya orang seakan membuat perjanjian sebelumnya menuju tempat yang sama.
Baik Tao Heng Kan maupun I Giok Hong menyadari, desas desus di dalam dunia kang omv paling cepat menyebar luas. Satu orang menyebarkan ke sepuluh, sepuluh pun menyebar lagi menjadi seratus. Dalam waktu satu bulan saja seluruh dunia bulim akan mengetahuinya.
Dari orang-orang yang melewati mereka malam itu, Tao Heng Kan dan I Giok Hong mendapatkan sebagian besar dari mereka terdiri dari golongan lurus. Menjelang tengah malam, ada tiga orang hwesio yang lewat. Yang berjalan di tengah usianya paling tua. Jenggotnya yang putih melambai-lambai. Wajahnya bersih dan tampak menyiratkan welas asih. Entah tiang lo dari perguruan atau partai mana. Pokoknya dapat dipastikan bukan tokoh sembarangan.
Tao Heng Kan dan I Giok Hong tetap duduk di samping api unggun dan memperhatikan secara diam-diam. Malam pun berlalu dengan cepat. Hari kedua, I Giok Hong dan Tao Heng Kan meneruskan perjalanan kembali. Kira-kira tengah hari, tampak di hadapan mereka menjulang tinggi sebuah bukit.
Bukit itu tinggi dan terjal. Bahkan dari bagian pertengahannya sampai ke puncak atas diselimuti salju yang tebal. Cahaya putih berkilauan. Di bawah bukit berkumpul banyak orang. Semuanya mendongakkan kepala memandang ke atas. Seakan-akan sedang mempertimbangkan bagai-mana caranya mencapai puncak bukit itu.
Tao Heng Kan dan I Giok Hong memandangi dari kejauhan. Mereka mendapatkan bahwa orang-orang itu merupakan para pendatang yang mereka temui dalam beberapa hari belakangan ini. Sedangkan mereka tampaknya terhadang di depan bukit yang menjulang tinggi itu.
Seharusnya pasangan suami istri I Ki Hu dan Tao Ling serta Pangcu Hek Can pang, Cen Sim Fu juga ada di tempat itu. Tetapi mereka bertiga justru tidak tampak.
Perasaan Tao Heng Kan dan 1 Giok Hong juga sedang gelisah. Karena bukit itu demikian tinggi dan curam, belum lagi bagian atasnya diliputi salju yang tebal. Tampaknya sulit melaluinya. Di antara kerumunan orang-orang terdengar suara yang lantang dan nyaring. "Kalau kita tidak mengambil jalan memutar, bagaimana kita bisa sampai di sebelah barat Gunung Kun Lun san?"
Begitu ucapannya selesai, tampak ada beberapa orang yang keluar dari kerumunan dan memutar ke sebelah timur. Dalam waktu yang singkat, gerombolan orang itu pun bubar. Tidak sampai satu kentungan, suasana di bawah bukit itu sudah hening mencekam. Satu orang pun tidak ada yang tertinggal.
Pada saat itu, Tao Heng Kan dan I Giok Hong berjalan menuju bawah bukit. Mereka mendongakkan kepala ke atas. Setelah memperhatikan sesaat, mereka menemukan memang tidak ada cara Iain melalui bukit itu kecuali mengitarinya.
"Ah! Coba kau lihat!" seru I Giok Hong terkejut.
Tao Heng Kan tidak tahu apa yang ditemukannya, karena itu cepat-cepat dia mengikuti arah telunjuk gadis itu. Tampak sebuah batu besar yang di atas permukaannya penuh dengan lumut. Tetapi di sebelah kiri bawah, ada beberapa bagian lumutnya yang sudah terkelupas. Seakan ada seseorang yang mengerahkan tenaga menggesernya dan meninggalkan bekas seperti itu.
Hati Tao Heng Kan langsung tergerak.
"Mungkinkah di balik batu besar itu ada sesuatu yang aneh?"
I Giok Hong merenung sejenak. "Rasanya belum tentu juga. Batu besar itu beratnya paling tidak lima laksa kati, siapa yang sanggup menggesernya?"
"Tidak salah. Tadi begitu banyak tokoh persilatan yang berkumpul di bawah bukit ini. Pasti ada beberapa di antaranya yang sempat melihat bekas jejak yang terdapat pada batu itu." Berkata sampai di sini, tiba-tiba pikirannya tergerak. "Giok Hong, setiap orang yang melihat bekas itu pasti mempunyai pikiran yang sama denganmu. Tapi bagaimana ada bekas seperti itu apabila benar-benar tidak ada orang yang menggesernya? Coba kita dorong saja!"
Sepasang alis I Giok Hong langsung menjungkit ke atas. “Boleh juga!"
Kedua orang itu menyatukan tenaga mendorong batu besar itu. Kalau ditilik dari bentuknya, berat batu itu pasti niencapai lima laksa kati. Tetapi ketika kedua orang itu mulai mendorong, ternyata tidak seberat dugaan mereka. Paling-paling ribuan kati.
Dengan tenaga Tao Heng Kan dan I Giok Hong, mungkin tidak sulit mendorong batu itu. Tidak lama kemudian, ternyata batu itu mulai terdorong sedikit. Tampaklah celah yang kecil. Terasa ada serangkum angin yang dingin terpancar dari dalam. Di balik batu itu rupanya ada sebuah goa alam.
Melihat penemuan itu, Tao Heng Kan dan I Giok Hong merasa terkejut juga gembira. Yang membuat perasaan mereka gembira, yakni sesuatu yang demikian mudah dan bisa tercapai tanpa banyak kesulitan. Ternyata begitu banyak orang yang melihatnya, namun belum apa-apa sudah timbul perasaan mustahil sehingga tidak ada satu pun dari mereka yang mencobanya. Namun kenyataannya begitu dicoba oleh Tao Heng Kan dan I Giok Hong justru mudah sekali. Dan yang membuat perasaan mereka terkejut, karena tidak tahu kemana tembusnya goa itu.
Pertama-tama I Giok Hong yang menyusup ke dalam goa itu. Gadis itu menyalakan batu api.
Nyala api tertiup oleh serangkum angin yang dingin, sehingga cahaya bergerak-gerak dan berubah menjadi kehijauan. Redupnya mengenaskan sekali. Tetapi begitu batu api itu nyala, I Giok Hong sudah berhasil melihat kuda putih, San Tian pek yang sudah terkulai di atas tanah menjadi bangkai.
Cepat-cepat I Giok Hong mengedipkan matanya kepada Tao Heng Kan. Pemuda itu segera mengerti, dari luar dia mengambil setumpuk ranting kayu dan dipanggulnya di atas pundak. Kemudian dia masuk lagi ke dalam goa. Dengan bantuan I Giok Hong, mereka menggeser batu itu kembali ke tempatnya. Dengan peletekan api mereka membakar ranting kayu untuk dijadikan obor Setelah batu menutup rapat kembali.
Serangkum demi serangkum angin dingin menerpa tubuh sehingga dinginnya menyusup ke dalam tulang.
I Giok Hong menunjuk ke arah bangkai kuda. "Bangkai kuda ini ada di sini. Pasti mereka menyusup ke dalam dengan berjalan kaki."
Tao Heng Kan membungkuk di samping bangkai kuda itu kemudian memeriksa dengan teliti. Ternyata di atas kepala kuda itu terdapat sebatang paku yang warnanya hitam pekat. Tao Heng Kan berdiri kembali dan menyurut mundur satu langkah. "Tidak salah. Kuda ini mati karena paku Hek can ciam (Paku ulat hitam)."
I Giok Hong langsung tertegun. "Kalau begitu, apakah sudah terjadi perkelahian antara mereka?"
"Belum tentu. Aku rasa I. . . lo sian sing sengaja meninggalkan kudanya di sini lalu berjalan ke dalam."
Ketika menyebut I Ki Hu, Tao Heng Kan menjadi serba salah. Sebab bagaimana pun I Ki Hu ayah kandung I Giok Hong. Sebetulnya dia bisa menyebut 'ayahmu', tetapi sehubungan antara mereka ayah dan anak sudah terputus. Apalagi tali kekeluargaan mereka menjadi semakin rumit. Sebab I Ki Hu sekarang malah sudah menjadi adik iparnya. Tetapi perkataan moay hu (panggilan untuk suami adik) rasanya sulit tercetus dari bibir Tao Heng Kan. Karena usia I Ki Hu pada dasarnya jauh lebih tua daripada dirinya sendiri. Karena itu, setelah berpikir sekian lama, dia menyebut I Ki Hu dengan panggilan 'I lo sian sing' (Tuan I).
I Giok Hong menganggukkan kepalanya mendengar keterangan Tao Heng Kan. "Kalau begitu, meskipun goa ini tampaknya cukup luas, kemungkinan keadaan di dalamnya justru sempit, sehingga kuda ini tidak dapat lewat."
Sembari berbicara, kedua orang itu terus menyusup ke dalam. Cahaya obor yang ada di tangan mereka hanya bisa menerangi sekitar tubuh mereka saja. Di dalam goa itu seakan-akan terdapat hawa gelap sehingga cahaya obor pun tidak bisa menembus sampai agak jauh. Kedua orang itu juga khawatir di dalam goa terdapat makhluk-makhluk aneh. Karena itu langkah mereka terpaksa dilakukan dengan hati-hati sekali. Sampai cukup lama, mereka baru berjalan sejauh dua li. Tiba-tiba di hadapan mereka terbentang cahaya yang terang benderang.
Mereka berjalan ke depan beberapa langkah. Ternyata kedua orang tua sudah mencapai celah yang sempit. Begitu kecilnya celah itu sehingga hanya muat tubuh satu orang untuk melaluinya. Dan sinar terang benderang itu terpancar dari suatu benda yang menempel di kedua sisi celah. Entah benda apa, mungkin juga sejenis batu alam yang dapat memancarkan sinar.
I Giok Hong melihat ternyata dugaannya tidak salah. Mereka berhenti sebentar di depan celah yang sempit itu. Obor di tangan diselusupkan ke dalam, tampak di dalam celah terdapat sebuah lorong yang entah seberapa dalamnya.
I Giok Hong dan Tao Heng Kan berunding sejenak, kemudian mengambil keputusan untuk maju terus. Semakin lama jalan yang mereka tempuh semakin sempit, sehingga mereka harus menggeserkan tubuh selangkah demi selangkah. Sampai akhirnya, mereka harus memaksakan diri,baru bisa melewati celah itu. Tetapi setelah menempuh perjalanan kurang lebih lima li. Goa alam itu pun melebar kembali.
Mereka berdua menghembuskan nafas lega. Mereka yakin setidaknya jalan yang ditempuh itu tidak salah. Mereka duduk di tempat itu untuk beristirahat sejenak, baru saja bermaksud meneruskan perjalanan, tiba-tiba dari depan berkumandang suara tertawa dingin.Suara itu terus bergema di dalam goa. Membuat perasaan orang yang mendengarnya jadi bergidik.
Tao Heng Kan dan I Giok Hong saling melirik sekilas. Keduanya dapat megenali suara tertawa dingin itu keluar dari mulut I Ki Hu.
"Hek Han mo, dengan nama dan kedudukanmu di dunia bu lim, ternyata kau berhasil mempelajari kepandaian demikian tinggi. Apakah kau masih belum merasa puas juga? Aku anjurkan agar kau urungkan saja niatmu itu!" Terdengar ucapan I Ki Hu.
Kedua orang itu segera menghentakkan kakinya melesat ke depan.
"Sahabat I, berapa banyak yang kau ketahui tentang urusan sebelah barat Gunung Kun Lun san ini?" sahut Cen Sim Fu kemudian.
Tao Heng Kan dan I Giok Hong berlari sejauh satu li lebih. Ternyata mereka sudah melihat dua
buah obor besar yang tertancap di dinding goa. Di bawah obor yang pertama berdiri I Ki Hu dan Tao Ling. Sedangkan di obor yang kedua Pangcu Hek Can pang, Cen Sim Fu. Kedua pihak itu berdiri berhadapan.
Yang paling aneh, di bawah cahaya obor yang terang, dapat terlihat jelas bahwa goa itu tidak mempunyai jalan tembus kemana pun. Dengan kata lain, mereka sudah mencapai batas ujung goa. Ujung goa itu merupakan sebuah dinding berbentuk bundar, permukaannya licin dan berwarna putih. Di tengah-tengah permukaan dinding yang putih itu terdapat sebuah gambar peta.
Cen Sim Fu melihat Tao Heng Kan dan I Giok Hong sudah menyusul tiba. "Kalian kemari!" katanya.
Kedua orang itu juga tidak sempat memperhatikan gambar apa sebetulnya yang terdapat di permukaan dinding itu. Mereka segera berjalan ke depan dan berdiri di samping Cen Sim Fu.
Cen Sim Fu menganggukkan kepalanya sedikit kepada mereka berdua.
"Sekarang, di antara tujuh buah Tong tian pao Hong, sudah ada enam buah yang ada di tanganku. Sedangkan kain belacu pembungkusnya juga ada sebagian pada diriku.
Coba kau perhatikan dulu permukaan dinding itu, tiba-tiba saja kau ingin berebutan denganku, apa kau tidak merasa dirimu terlalu tolol?" kata Cen Sim Fu kepada I Ki Hu.
Sembari berbicara, tangannya menunjuk ke arah permukaan dinding yang putih. Pada saat itu Tao Heng Kan dan I Giok Hong berdua baru mendapat kesempatan memperhatikan dinding goa itu.
Dari kejauhan, gambar di dinding itu tampak seperti peta yang tidak beraturan. Namun setelah diperhatikan dengan seksama, ternyata gambar itu melukiskan tujuh orang Portugis. Di atas kepala setiap orang itu, terdapat tujuh ekor naga kecil yang agak melekuk ke dalam. Sedangkan di samping ketujuh orang berdandanan Portugis itu, terdapat seorang penduduk Tiong Goan yang tinggi tubuhnya sedang dan wajahnya tampan. Tangannya menggenggam sehelai kain belacu.
Apa arti lukisan yang ada di permukaan dinding goa itu? Tao Heng Kan dan I Giok Hong semakin bingung dibuatnya.
"Tidak salah. Kau sudah memperoleh enam dan tujuh buah Tong tian pao Hong. Tetapi aku juga mempunyai sebuah. Meskipun jumlahnya tidak sebanding, kegunaannya justru sama dengan keenam buah milikmu itu. Masa kau belum tahu, dengan merangkapkan tujuh buah Tong tian pao Hong di lubang masing-masing, pintu goa itu baru bisa terbuka?" ujar I Ki Hu kepada Cen Sim Fu. Cen Sim Fu tertawa terbahak-bahak.
"Lo I, kau sedang bermimpi?" sahut Cen Sim Fu.
"Apakah kau tidak percaya aku mempunyai sebuah Tong tian pao Hong?"
"Tentu saja. Jumlah Tong tian pao Hong seluruhnya ada tujuh buah. Jaman dahulu, orang-orang Portugis itu yang membawanya ke daerah Tiong Goan. Menurut cerita yang pernah tersebar, tujuh buah Tong tian pao Hong dan selembar kain belacu itu menyangkut suatu urusan yang dapat mengubah seluruh dunia bu lim. Tetapi tidak ada seorang pun yang percaya. Sampai akhirnya mereka berhasil juga membujuk Mo kau kaucu pada jaman itu dan berangkat bersama-sama menuju sebelah barat gunung Kun Lun san ini."
Mengenai masalah ini, otomatis I Ki Hu juga sudah tahu. Tapi I Ki Hu berhasil mengetahui masalah ini, karena dulu dia pernah menjadi menantu ketua Mo kau dan diberi kepercayaan penuh menangani buku harian dan pembukuan Mo kau. Boleh dikatakan bahwa penemuannya itu tanpa disengaja. Yang mengejutkan, mengapa Cen Sim Fu juga bisa tahu urusan itu? Diam-diam I Ki Hu merasa heran.
Oleh karena itu, dia memperdengarkan suara tertawa dingin untuk menutupi perasaannya.
"Urusan ini boleh dikatakan sudah diketahui oleh setiap tokoh bu lim, apa yang perlu diherankan?" kata I Ki Hu.
Cen Sim Fu tertawa lebar. "Lo I, kalau urusan ini benar sudah diketahui oleh seluruh umat bu lim, coba kau teruskan kelanjutannya!"
Mendengar pertanyaan Cen Sim Fu, I Ki Hu langsung tertegun! Karena, menurut pengetahuan I Ki Hu, Mo kau kaucu pada jaman itu pergi mengikuti ketujuh orang Portugis, setelah itu tidak ada kabar beritanya lagi.
Mengenai ketujuh buah Tong tian pao liong dan selembar kain belacu itu, bisa kembali ke Tiong goan, dia sama sekali tidak tahu. Sekarang Cen Sim Fu meminta dia meneruskan kelanjutan cerita itu, tentu saja dia menjadi kelabakan.
Sejak namanya menjulang tinggi di dunia kang ouw, baik orang golongan putih ataupun hitam bertemu dengannya, tidak ada seorang pun yang berani bertindak kurang sopan dihadapannya. Bahkan sebaliknya setiap orang berlaku sungkan. Sekarang, ditanya sedemikian rupa oleh Cen Sim Fu, rasa malu di dalam hatinya berubah menjadi kemarahan. Wajahnya tiba-tiba saja menjadi angker.
"Huh! Urusan yang tidak ada gunanya, untuk apa dibicarakan?" ucap I Ki Hu.
Cen Sim Fu tertawa terbahak-bahak. "Lo I, lagakmu itu boleh saja untuk menakut- nakuti orang lain. Orang she Cen ini tidak akan gentar sedikit pun terhadapmu.
Mumpung masih pagi, lebih baik kau cepat-cepat keluar dari goa ini!" Hawa amarah dalam dada I Ki ilu semakin berkobar-kobar.
"Jadi kau ingin bergebrak denganku?" Sembari bertanya, kakinya menindak maju satu langkah.
"Tidak salah. Aku justru ingin tahu sampai di mana kehebatan telapak tangan berdarahmu."
I Ki Hu juga tertawa terbahak-bahak.
"Selama tiga puluh tahun belakangan ini, tidak ada seorang pun yang berani sesumbar demikian di hadapanku." Lengannya perlahan-lahan terangkat ke atas. Lengan pakaiannya menyurut ke dalam. Tampaklah telapak tangannya. Namun yang terlihat hanya sebuah telapak tangan yang putih bersih. Entah sebutan telapak darah didapatkan dari mana. Tetapi tak lama kemudian, tampak ada guratan yang seperti bergerak di telapak tangannya. Guratan itu mirip awan yang berarak. Sesaat saja, telapak tangannya sudah berubah warnanya menjadi merah darah. Bahkan, orang- orang yang ada dalam goa itu mulai mengendus samar-samar bau amis darah. Bau amis itu memang tidak menusuk, tapi bagi orang yang menciumnya tiba-tiba saja timbul rasa mual. Tao Heng Kan, Tao Ling, dan I Giok Hong sejak tadi hanya memperhatikan dari samping. Melihat ilmu telapak darah belum dikerahkan saja sudah menimbulkan pengaruh yang begitu hebat. Diam-diam hati mereka menjadi tercekat.
Terlebih-lebih I Giok Hong. Meskipun sejak kecil dia diasuh oleh I Ki Hu dan ayahnya terkenal dengan julukan Gin leng hiat ciang, namun belum pernah sekali pun dia melihat ayahnya mengerahkan ilmu itu.
Pada saat itu, I Ki Hu hanya mengangkat lengannya perlahan-Iahan ke atas. Ilmu yang sebenarnya masih belum dikeluarkan, tetapi hal ini saja sudah sanggup membuat perasaan orang menjadi terkesiap. Dengan demikian terbukti bahwa nama besar I Ki Hu yang menggetarkan dunia persilatan bukan hanya sekedar nama kosong.
Cen Sim Fu menatap telapak tangan I Ki Hu dengan sorot mata yang tajam. "Lo I, ternyata kepandaianmu boleh juga," kata Cen Sim Fu dengan nada dingin.
Sembari berkata, Cen Sim Fu membalikkan telapak tangannya. Tampak tengah-tengah telapak tangannya terdapat guratan-guratan halus yang bergerak-gerak, warnanya hitam, seakan-akan ada beberapa ekor ulat hitam yang sedang merayap di telapak tangannya.
"Ilmu telapak darah memang terkenal di dunia Bu lim, tetapi Hek Can ciang (Pukulan ulat hitam) dari partai kami juga belum tentu kalah dengan ilmumu itu. Bagaimana kalau kita saling mengadu kekerasan beberapa kali?"
"Baik!" sahut I Ki Hu.
Tiba-tiba saja mereka berdua saling mendekat. Tao Heng Kan dan yang lainnya melihat tubuh keduanya mulai bergerak. Ketiga orang itu segera menyingkir. Tampak tubuh keduanya berkelebat. Tidak jelas jurus apa yang mereka kerahkan. Hanya terdengar suara aduan telapak tangan beberapa kali berturut-turut. Blam! Blam! Plak! Kemudian keduanya pun terpisah kembali. Wajah mereka sama-sama pucat pasi.
Keduanya langsung menjatuhkan diri duduk di atas tanah tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Tao Heng Kan bertiga sama sekali tidak tahu apa yang telah terjadi. Untuk sesaat mereka malah saling memandang dengan bingung. Kurang lebih setengah kentungan kemudian, tampak keduanya tanpa bersepakat terlebih dahulu bangun serentak.
Dalam waktu yang bersamaan, tedengar Cen Sim Fu tertawa terbahak-bahak. "Lo I, kalau kita berdua menjadi sahabat, maka di dunia ini tidak akan ada lagi orang yang dapat menandingi kita. Tetapi apabila kita bermusuhan, tentu kita akan menjadi bahan tertawaan musuh-musuh kita." Tadi I Ki Hu sudah mengerahkan segenap kemampuannya untuk menyambut dengan keras empat kali pukulan lawannya. Ternyata di antara mereka tidak ada yang kalah maupun menang. Bahkan hampir saja kedua-duanya terluka.
Bagi I Ki Hu, hal ini merupakan peristiwa yang belum pernah dialaminya. Meskipun dalam hatinya mengakui kebenaran kata-kata Cen Sim Fu, tapi walaupun dia bukan tokoh golongan lurus, tetap saja dia tidak sudi berteman dengan orang semacam itu. Karenanya, dia hanya tertawa dingin. "Tidak perlu bicara hal yang tidak penting.
Menurut pendapatku, sebaiknya kita bekerja sama saja. Tetapi, apa pun keuntungan yang kita dapatkan dari Tong tian pao Hong, harus kita bagi sama rata. Bagaimana?" kata I Ki Hu.
Cen Sim Fu tertawa seram. "Lo I, apa yang kau andalkan sehingga kau ingin mendapatkan bagian yang sama?"
"Aku mempunyai seekor Tong tian pao Hong!" sahut I Ki Hu dengan tenang.
Tertawa Cen Sim Fu semakin lebar. "Asal mulanya Tong tian pao liong memang ada tujuh buah. Tetapi sekarang justru tinggal enam buah. Dan keenam buah itu semuanya ada padaku. Kau bilang kau juga punya satu buah, mengapa kau tidak mengeluarkannya agar dapat kita lihat semua?"
Diam-diam I Ki Hu merasa aneh. Sudah jelas dia memiliki sebuah Tong tian pao Hong, mengapa Cen Sim Fu begitu yakin bahwa I Ki Hu tidak memilikinya.
Tampaknya Cen Sim Fu menggunakan akal licik agar I Ki Hu mengeluarkannya. Jangan sekali-kali terjebak dalam perangkapnya, pikir I Ki Hu dalam hati.
"Barang ini toh milikku, mengapa aku harus memperlihatkannya kepadamu?" kata I Ki Hu dengan tertawa dingin.
Mendengar ucapan I Ki Hu, Cen Sim Fu semakin yakin dengan kecurigaannya bahwa lawannya hanya menggertak saja.
"Terbukti bahwa kau memang tidak sanggup mengeluarkannya. Mungkin karena kau tidak tahu kelanjutan cerita tentang benda itu. Kau menggunakan akal itu untuk menipuku. Tahukah kau, setelah Mo kau kaucu jaman dulu berangkat ke sebelah barat Gunung Kun Lun san bersama-sama ketujuh orang Portugis, terjadi peristiwa besar apa lagi?"
I Ki Hu tetap tertawa dingin tanpa memberi komentar sedikit pun.
"Mereka berdelapan sampai ke tempat ini. Tiba-tiba saja timbul keserakahan dalam hati Mo kau kaucu. Padahal sebelumnya mereka sudah mengikat perjanjian, keuntungan apa pun yang didapatkan dari Tong tian pao Hong, akan dibagi rata antara mereka berdelapan. Dan Mo kau kaucu harus menerima ketujuh orang Portugis itu menjadi anggota Mo kau dengan kedudukan tinggi dan sama-sama merajai dunia bu lim," lanjut Cen Sim Fu. Semakin memperhatikan, perasaan hati I Ki Hu semakin heran. Diam-diam dia berpikir, aku sendiri berdiam di Mo kau cukup lama, tetapi aku tidak tahu urusan ini. Mengapa Hek Tian mo Cen Sim Fu justru lebih banyak tahu daripada aku?"
Dengan licik I Ki Hu tetap tertawa dingin."Aku akan menjadi pendengar yang baik," katanya santai.
Cen Sim Fu tertawa terbahak-bahak. "Lo I, apakah kau sudah mulai mempercayai kata-kataku?"
I Ki Hu tetap memilih berdiam diri. Terpaksa Cen Sim Fu meneruskan ceritanya.
"Ketika timbul keserakahan dalam hati Mo kau kaucu itu, dia menghina ketujuh orang Portugis itu tidak mengerti ilmu silat. Dalam sekali gerak saja dia menghantam ketujuh orang itu sehingga mati seketika. Tetapi sayangnya dia tidak tahu bahwa ada salah seorang dari mereka pernah mempelajari ilmu Iwe kang. Turun tangan Mo kau kaucu agak ringan. Mungkin karena dia menganggap tidak perlu mengeluarkan banyak tenaga untuk membunuh orang yang tidak mengerti ilmu silat. Dengan demikian, salah satu orang itu tidak langsung mati. Dan tanpa diketahui oleh Mo kau kaucu, dia menelan seekor Tong tian pao Hong ke dalam perut."
I Ki Hu tertawa dingin. "Mungkin waktu itu kau juga hadir di tempat itu sehingga dapat mengetahui demikian jeias, bukan?" sindirnya tajam.
Cen Sim Fu tidak mengambil hati terhadap sindirannya. "Meskipun waktu itu aku belum lahir di dunia ini, tapi orang Portugis yang satu itu berhasil melarikan diri kembali ke Tiong goan. Dia menulis semua peristiwa yang dialaminya dan aku sudah membaca catatan itu."
Mendengar nada bicaranya yang demikian serius, I Ki Hu mulai setengah percaya dengan kata-katanya.
"Dari tempat itulah Mo kau kaucu berjalan terus ke dalam, tetapi karena jumlah Tong tian pao Hong kurang satu, maka cita-citanya tidak tercapai. Akhirnya ia mati di dalam goa ini. Menjelang kematiannya, dia mengoyak kain belacu itu menjadi dua bagian, sekalian dengan enam buah Tong tian pao Hong dilemparkan ke luar goa. Beberapa ratus tahun kemudian kebetulan dipungut kembali oleh orang yang sedang melakukan perjaianan ke wilayah barat dan akhirnya dibawa kembali kewilayah Tiong goan."
"Kalau menurut apa yang kau katakan, ketujuh buah Tong tian pao Hong itu ada kemungkinan muncul kembali."
"Satu ekor Tong tian pao Hong sudah ditelan dalam perut orang Portugis itu. Dan jejak orang itu kemudian tidak ada kabar beritanya lagi. Kemana harus mencari Tong tian pao Hong yang ketujuh itu?"
I Ki Hu tertawa dingin.
"Mungkin dia mati dalam perjaianan. Berapa ratus tahun kemudian, tentu mayatnya tinggal abu. Dengan demikian sebuah Tong tian pao liong yang ditelannya juga muncul lagi dan ada kemungkinan pula ditemukan orang. Tidak ada yang perlu diherankan, bukan?"
Cen Sim Fu tersenyum. "Tentu saja ada kemungkinan seperti yang kau katakan, tapi kemungkinan itu terlalu kecil kan?"
I Ki Hu menyusupkan tangannya ke dalam saku, dikeluarkannya sebuah naga-nagaan emas yang ukurannya kurang lebih lima ciok dan memancarkan cahaya berkilauan.
"Coba kau lihat, apa ini?"
Tiba-tiba saja hati Cen Sim Fu tergerak, wajahnya agak berubah.
"Hek tian mo, pada jaman dulu Mo kau kaucu juga memiliki enam ekor Tong tian pao Hong, tetapi akhirnya dia tidak berhasil mendapatkan apa-apa. Apakah kau ingin mengikuti jejaknya?" kata I Ki Hu dengan bangga.
Cen Sim Fu tertawa getir. "Lo I, anggaplah kau memang hebat." "Dari setiap keuntungan yang akan kita dapatkan, harus dibagi rata, bagaimana?"
"Apa yang akan kita dapatkan dari Tong tian pao liong saja belum ketahuan. Tetapi kalau bukan keuntungan, bahkan kerugian, kau juga harus ikut menanggung setengahnya?"
I Ki Hu tertawa terbahak-bahak. "Tentu saja."
Sembari berbicara, tanpa bersepakat lagi kedua orang itu membalikkan tubuh. Plak! Telapak tangan mereka menekan di dinding batu, dengan mengerahkan tenaga dalam mereka mendorongnya.
Terdengar suara bergemuruh, dinding batu yang berwarna putih itu ternyata mulai terdorong. Tidak lama kemudian membuka selebar lima-enam ciok. Keduanya menyurut mundur. "Silakan!" kata mereka serentak. Tao Heng Kan dan yang lainnya merasa heran dan terkejut melihat dinding batu itu dapat terbuka. Ketika diperhatikan, keadaan di dalam goa terlihat gelap gulita. Apa pun tidak tampak, I Ki Hu dan Cen Sim Fu serentak mengucapkan kata 'silakan', tetapi siapa pun tidak ada yang mau mendahului.
Di depan pintu goa itu mereka tampak ragu beberapa saat. Kemudian Cen Sim Fu tertawa terbahak-bahak.
"Lo I, bagaimana kalau kita masuk bersama-sama?" tanyanya. Tangan mereka menjulur ke depan.
Plak!
Telapak tangan mereka saling menggenggam dan melangkah masuk bersama-sama. Pada saat itu, kecuali I Ki Hu dan Cen Sim Fu, mungkin masih ada Tao Ling yang mengetahui apa tujuan mereka masuk ke dalam goa itu. Karena sebelumnya, I Ki Hu pernah menceritakan secara garis besar kisah tentang ketujuh orang Portugis yang mengajak Mo kau kaucu datang ke tempat itu. Sedangkan Tao Heng Kan dan I Giok Hong belum seberapa mengerti, mereka hanya mendengar sedikit dari mulut Cen Sim Fu barusan. Karena itu, mereka juga agak ragu apakah harus ikut masuk ke dalam atau menunggu di depan dinding batu itu.
Tao Ling sendiri merasa enggan ikut masuk apabila tidak disuruh oleh I Ki Hu. Ketiga orang itu menunggu di depan goa beberapa saat. I Giok Hong melirik sinis kepada Tao Ling sekilas. Tao Heng Kan dan Tao Ling saling memandang dengan perasaan apa boleh buat.
"Hu jin, masuklah!" panggi! I Ki Hu.
"Kalian berdua juga masuk!" teriak Cen Sim Fu.
Ketiga orang itu segera mengambil sebatang obor dan ikut masuk ke balik pintu dinding itu. Begitu mereka melangkah masuk, terdengarlah suara yang bergemuruh. Dinding batu yang mempunyai gambar ketujuh orang Portugis itu pun merapat kembali. Sedangkan obor-obor api sudah dibawa masuk oleh mereka berlima.
Keadaan di dalam goa pun menjadi gelap gulita.
Seandainya pada saat itu ada orang yang memasuki goa, kalau dia tidak tahu tentang dinding berpermukaan putih itu yang dapat didorong agar terbuka, meskipun membawa obor, tentu dia akan mengira bahwa saat itu dia sudah mencapai batas ujung goa yang buntu dan tidak ada jalan lainnya lagi.
Karena dinding batu itu sangat alami buatannya, setelah merapat kembali, tidak terlihat jejak sedikit pun bahwa dinding batu itu sebenarnya merupakan sebuah pintu yang dapat menembus ke goa yang dalam.
Setelah mendorong dinding batu itu, I Ki Hu berlima pun masuk ke dalamnya. Tempat apa itu sebetulnya, dan apa yang mereka cari di dalam, ternyata akhirnya menjadi sebuah teka teki. Sebab sejak mereka berlima masuk ke dalam, ternyata tidak ada yang tahu lagi jejak mereka.
Kepergian Gin leng hiat ciang I Ki Hu dan Hek Tian mo Cen Sim Fu menuju sebelah barat gunung Kun Lun san sebetulnya dilakukan dengan sangat rahasia.Tentunya semua itu ada kaitannya dengan Tong tian pao Hong. Tetapi di dalam dunia kang ouw, benar-benar sulit merahasiakan sesuatu.
Karena itu, setelah mendengar kabar selentingan tentang kepergian I Ki Hu dan Cen Sim Fu, berbagai tokoh dari dunia bu lim pun ikut berdatangan. Tujuan mereka tentu ingin ikut mengambil keuntungan. Tetapi ternyata mereka tidak mendapatkan apa-apa. Di samping itu, para tokoh bu lim tentunya menyadari sampai di mana tingginya kepandaian I Ki Hu dan Cen Sim Fu, karenanya, orang-orang yang berani tampil di sana bukan tokoh sembarangan. Misalnya Leng Coa sian sing, dia juga merupakan tokoh kelas satu, hanya saja dia jarang berkecimpung di dunia kang ouw sehingga namanya tidak begitu terkenal. Namun rombongan orang-orang yang pernah dilihat oleh Tao Heng Kan dan I Giok Hong justru terdiri dari jago-jago dari kalangan putih dan hitam.
Tetapi, setelah orang-orang itu sampai di sebelah barat Gunung Kun Lun san, ternyata mereka tidak berhasil menemukan jejak I Ki Hu dan Cen Sim Fu.
Orang-orang itu berdatangan dari tempat yang jauhnya laksaan li. Tentunya mereka tidak ingin pulang tanpa membawa hasil apa pun. Maka dari itu, di sebelah barat Gunung Kun Lun san, mereka terus melacak ke sana ke mari sampai tiga bulan lebih lamanya.
Namun, setelah mencari tiga bulan lebih, ternyata mereka tidak menemukan sedikit jejak pun dari I Ki Hu maupun Cen Sim Fu.
Pada mulanya, orang-orang dunia kang ouw mengira mereka mendapat berita yang salah. Namun ada beberapa orang yang berani bersumpah bahwa mereka melihat I Ki Hu dan Cen Sim Fu mengadakan perjalanan ke wilayah barat. Setelah tidak mendapatkan hasil apa-apa, orang-orang itu langsung menduga bahwa I Ki Hu dan Cen Sim Fu tentu sudah berhasil meraih keuntungan dan sudah kembali ke Tiong goan secara diam-diam.
Berpikir sampai di sini, perasaan orang-orang itu pun menjadi tertekan. Karena mereka tidak bisa menduga sebetulnya keuntungan apa yang akan didapatkan dari Tong tian pao liong.
Tapi, setidaknya mereka tahu pasti sesuatu yang ada kaitannya dengan ilmu silat. Dan apabila benar 'sesuatu yang berkaitan dengan ilmu silat' itu didapatkan oleh I Ki Hu dan Cen Sim Fu, mengingat gerak gerik mereka sebelumnya, apakah masih ada hari tenang bagi tokoh-tokoh dunia bu lim?
Karena itu, mereka pun berbondong-bondong kembali ke Tiong goan. Ketika melewati lembah Gin Hua kok, mereka bersepakat untuk menyerbu ke dalam. Siapa tahu I Ki Hu dan Cen Sim Fu bersembunyi di sana. Tetapi kenyataan yang mereka temukan, keadaan di dalam lembah Gin Hua kok justru kacau balau. Dinding penyekat sekeliling lembah itu hancur berantakan, pepohonan tumbang, dan bunga-bungaan layu. Terbukti tempat itu sudah lama tidak terurus atau dihuni siapa pun.
Sampai setahun kemudian, hati para tokoh dunia bu lim masih dilanda kegelisahan. Mereka khawatir sewaktu-waktu I Ki Hu dan Cen Sim Fu akan muncul kembali di dunia bu lim lalu bekerja sama menimbulkan berbagai bencana.
Tetapi satu tahun kembali berlalu, kedua iblis itu tetap tidak ada kabar beritanya. Lambat laun hati para tokoh bu lim pun menjadi lega.
Ada beberapa orang yang menduga bahwa terjadi pertikaian antara Gin leng hiat ciang I Ki Hu dengan Hek Tian mo Cen Sim Fu. Mungkin setelah mendapat hasil di sebelah barat Gunung Kun Lun san, di dalam hati mereka timbul keserakahan untuk memiliki sendiri. Akhirnya kedua tokoh itu berkelahi dan mati bersama-sama. Dugaan ini tadinya banyak yang tidak percaya. Tetapi setelah tiga tahun kemudian, cerita me-ngenai kematian kedua tokoh itu lambat laun dapat diterima oleh kalangan masyarakat. Sebab tidak ada keterangan lain yang menjelaskan mengapa mereka tiba- tiba menghilang tanpa kabar berita.
Tiga tahun sudah berlalu, jangankan I Ki Hu atau Cen Sim Fu, bahkan Tao Heng Kan, Tao Ling dan I Giok Hong pun tidak pernah muncul lagi di dunia kang ouw. Akhirnya cerita tentang kelima orang itu berubah menjadi obrolan iseng menjelang malam hari.
*****
Pertengahan musim semi tiga tahun kemudian. Tokoh-tokoh berbagai partai maupun per-guruan ternama di dunia bu lim mendapat selembar undangan yang disebarkan dari wilayah keluarga Sang di Si Cuan. Mereka diundang ke gedung kediaman bekas keluarga Sang untuk merundingkan suatu masalah besar yang menyangkut dunia bu lim.
Di atas undangan itu tertera nama 'Sang Cin dan Sang Hoat'.
Di dalam dunia bu lim, tiga tahun belakangan itu tidak pernah terjadi peristiwa apa pun. Undangan yang disebar secara besar-besaran itu kembali menimbulkan kegemparan.
Masalahnya, cerita tentang kematian si Kakek berambut putih Sang Hao yang disusul dengan pembantaian seluruh keluarga Sang sudah tersebar luas di dunia bu lim. Boleh dikatakan tidak ada seorang pun yang tidak mengetahuinya.
Sedangkan sekarang, tiba-tiba ada orang menggunakan nama keluarga Sang untuk menyebar undangan kepada para tokoh dari berbagai partai ataupun perguruan terkemuka. Hal ini menimbulkan kecurigaan di berbagai kalangan.
Orang-orang dunia bu lim dapat merasakan bahwa segelombang hujan badai yang ganas kem-bali akan melanda.
Justru di saat para tokoh dunia bu lim sedang berbondong-bondong menuju ke bekas tempat tinggal keluarga Sang. Di sebuah jalan wilayah Si Cuan, menjelang senja hari, tampak seorang pemuda sedang berjalan dengan santai.
Wajah pemuda itu tampak murung sekali. Seakan-akan di dalam hatinya terkandung sebuah masalah besar yang tidak sanggup diselesaikannya.
Matahari masih terasa terik. Di jalan raya Si Cuan, tampak banyak para pendekar dunia bu lim yang menunggang kuda dan melarikannya ke arah barat. Tentunya mereka bergegas menuju gedung kcdiaman keluarga Sang. Pemuda itu tidak memperdulikan keadaan di sekitarnya. Dia berjalan dengan lambat. Kadang-kadang berhenti sebentar di pinggir reruntuhan tembok dan berdiri termangu-mangu. Kadang- kadang tampak dia menarik nafas panjang. Kadang-kadang dia menundukkan kepalanya dan menggumam seorang diri. Tidak lama kemudian, langit perlahan-lahan mulai menggeiap. Terdengar kumandang derap kaki kuda yang dilarikan dengan kencang. Pemuda itu menolehkan kepalanya. Tampak tiga ekor kuda sedang berlari ke arahnya. Para penunggangnya masing- masing membawa sebatang obor yang besar di tangan. Ketika sampai di samping pemuda itu, tiba-tiba gerakan kudanya dihentikan.
"Hei! Untuk menuju tempat tinggal keluarga Sang, apakah terus saja dari sini?" tanya salah seorang di antara tiga penunggang kuda.
Pemuda itu tampak tidak menolehkan kepalanya sama sekali. "Be . . . nar," jawab pemuda dengan perlahan.
Ketiga ekor kuda itu melesat lagi ke depan.
"Aih! Orang ini rasanya tidak asing!" kata penunggang kuda yang satunya lagi.
"BetuI juga! Hei, sahabat! Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?" ucap seorang penunggang kuda yang lainnya, yang ternyata seorang perempuan bertubuh kurus dan berwajah jelek.
"Mungkin pernah, mungkin juga belum. Tidak dapat dipastikan," sahut pemuda itu dengan tawa datar.
Kedua laki-laki dan satu perempuan itu pun saling lirik sekilas. Salah satunya yang bertubuh pendek gemuk segera membelokkan kudanya mendekati pemuda itu.
Kebetulan pemuda itu juga menoleh kepadanya.Laki-laki bertubuh gemuk pendek itu langsung tertawa terbahak-bahak.
"Rupanya engkau!" kata laki-laki bertubuh gemuk pendek itu. Dua orang yang lainnya pun ikut tertawa terbahak-bahak.
"Toako, ternyata benar bocah cilik ini!" seru salah seorang penunggang kuda yang bertubuh tinggi kurus.
Si Gemuk Pendek menganggukkan kepalanya.
"Betul. Tiga tahun sudah berlalu, ternyata kita masih bisa bertemu di sini. Bocah ini benar-benar berumur panjang. Tidak mati-mati." Sekali lagi dia tertawa terbahak- bahak.
Kalau ditilik dari pembicaraan ketiga orang itu, tampaknya mereka tidak memandang sebelah niata terhadap si pemuda itu. Ucapannya pun kasar sekali.
Mimik wajah si pemuda itu masih datar dan tidak menunjukkan perasaan apa-apa.
"Kalian bertiga toh ingin menuju gedung keluarga Sang untuk memenuhi undangan. Meng-apa masih menunda waktu di sini? Nanti kalian terlambat sampai di sana," kata pemuda itu dengan nada dingin. Laki-laki bertubuh tinggi kurus langsung tertawa seram. "Toako, sekarang bocah ini malah berani mengatur kita."
Pemuda itu memalingkan wajahnya kembali. Laki-laki bertubuh gemuk pendek maju ke depan satu langkah dan menepuk pundak pemuda itu.
"Hei, selama tiga tahun ini kau kemana saja? Apakah kau pernah mendengar kabar tentang orang-orang lembah Gin Hua kok? Kekasihmu, nona Tao itu sudah menjadi I Hu jin dan ..."
Baru saja si Gemuk pendek berkata sampai di sini, tiba-tiba pemuda itu membalikkan tubuhnya dan membentak.
"Tutup mulutmu!"
Si Gemuk pendek itu sengaja tertawa terbahak-bahak.
"Bocah busuk, kenapa jadi marah? Tiga tahun yang lalu, antara kau dan I hujin itu . . ."
Sepasang mata pemuda itu menyorotkan sinar yang ganjil, lengan bajunya perlahan- lahan terangkat ke atas. Dalam waktu sekilatan cahaya tahu-tahu pergelangan tangan si laki-laki bertubuh gemuk pendek sudah kena dicengkeramnya.
Si Gemuk pendek terkejut setengah mati. Jari tangan kirinya segera meluncur ke depan menyerang ke arah dada si pemuda. Gerakannya bukan main cepatnya. Tampaknya jurus yang dipergunakan mengandung keajaiban yang tak terkatakan. Tetapi pemuda itu tidak menghindar sama sekali.
Dalam waktu sekejap mata, jari tangan si Gemuk pendek sudah menotok dada si pemuda.
Krek! Krek! Krek!
Pemuda itu tetap tidak menggeserkan tubuhnya sedikit pun. Tetapi si Gemuk pendek bahkan menjerit merasa jari tangannya sudah patah.
Kemudian terdengar si pemuda mengeluarkan suara tertawa dingin. Dia mengibaskan lengan baju sebelah kanannya. Laki-laki bertubuh gemuk pendek itu terhuyung- huyung sesaat kemudian terpental ke belakang.
Bluk!
Laki-laki bertubuh gemuk pendek itu jatuh terduduk di tanah. Tetapi kepandaian si Gemuk pendek ternyata boleh juga. Baru saja jatuh terduduk, dia langsung bangkit kembali kemudian mencelat ke atas kudanya.
"Cepat lari!" teriak laki-laki itu. "Toako, kita tiga iblis dari keluarga Lung mana pernah mengalami kejadian seperti ini," sahut kedua orang lainnya dengan nada tidak puas.
Laki-laki gemuk pendek itu justru membentak. "Jangan banyak omong! Cepat pergi!"
Sembari berkata, tangannya langsung menghentakkan tali kendali dan melarikan kuda se-kencang-kencangnya.
Kedua orang lainnya terpaksa mengikuti dari belakang. Dari antara tiga iblis dari keluarga Lung, si bungsu Lung Ping, yang perempuan tadi justru mempunyai sifat paling berangasan. Setelah melarikan kudanya sejauh satu depa lebih, tiba-tiba tangannya mengibas ke belakang menyambitkan dua batang piau. Sasarannya tentu saja si pemuda tadi.
Setelah menghantam si gemuk pendek sehingga terpental, si pemuda itu malah berdiri dengan termangu-mangu. Ketika kedua batang piau itu sudah hampir mencapai dirinya, dia baru menjulurkan tangannya dengan kemalas-malasan. Gerakannya yang asal-asalan ternyata berhasil menjepit kedua batang piau yang sedang meluncur ke arahnya itu. Kemudian dia pun menyambitkan kembali ke depan dengan gerak sembarangan.
Kalau melihat gerak gerik pemuda itu, tampaknya seperti orang yang kemalas-malasan dan tidak bersemangat sama sekali. Namun kedua batang senjata rahasia yang disambitkannya secara sembarangan justru meluncur menembus kegelapan malam dengan menimbulkan suara desingan yang tajam.
Dalam waktu yang hampir bersamaan, terdengar seseorang membentak. "Siapa yang menggunakan senjata rahasia membokong orang?"
Suara bentakan itu seperti guntur yang menggelegar di tengah malam. Begitu keras dan mengejutkan. Untuk sesaat pemuda itu jadi tertegun. Mimik wajahnya yang hampa berangsur membaik. Cepat-cepat dia menolehkan kepalanya seperti ingin mengatakan sesuatu. Tetapi akhirnya justru bingung apa yang harus dikatakannya. Masalahnya dia tidak sengaja ingin membokong atau melukai siapa pun. Namun dua senjata rahasia yang disambitkan secara asal-asalan tadi rupanya mengenai orang lain.
Mendengar suara bentakannya, kemungkinan orang itu marah sekali. Padahal dia tidak sengaja melukai orangnya. Bagaimana menjelaskan kejadian ini agar orang itu mau mengerti?
Pemuda itu masih berdiri termangu-mangu tanpa sanggup mengucapkan sepatah kata pun. Awan gelap mulai menggeser dan rembulan menampakkan cahayanya. Empat- lima sosok bayangan berkelebat di samping pemuda itu. Sedangkan kurang lebih dua depaan di hadapannya, tampak sesosok bayangan bertubuh tinggi besar sedang melangkah lebar-lebar menghampirinya. Dalam sekejap mata orang itu sudah sampai di hadapannya. Tampak orang itu memang bertubuh tinggi besar, usianya mungkin sudah di atas tujuh puluhan. Tetapi semangatnya masih menyala-nyala. Matanya berkilauan.
Dandanannya justru aneh sekali. Pakaiannya seperti pahlawan tempo dulu. Atau lebih tepat mirip pembesar di kerajaan pada jaman itu. Pakaiannya penuh dengan sulaman emas, di bawah sorotan cahaya rembulan tampak berkilauan. Benar-benar mentereng.
Begitu sampai di hadapan pemuda, orang tua itu menatap dengan pandangannya yang tajam.
"Kau yang menyambitkan senjata rahasia tadi?"
Pemuda itu mendongakkan kepalanya. Tampak dua di antara keempat orang yang mengiringi orang tua itu dipapah oleh rekannya. Tangannya mendekap di bahu.
Wajahnya pucat pasi. Dapat dipastikan merekalah yang terluka oleh dua batang senjata rahasia yang tanpa sengaja disambitkan si pemuda.
"Dua batang senjata rahasia tadi memang kulemparkan tanpa sengaja . . ." jawab pemuda dengan nada menyesal.
"Tutup mulutmu! Cepat keluarkan obat pemunahnya!" tukas laki-laki tua itu. Pemuda itu tampak terkejut.
"Apakah kedua batang senjata rahasia itu mengandung racun?"
Padahal orang tua itu memang sudah gusar sekali. Mendengar pertanyaan si pemuda, rambut-nya yang sudah penuh uban malah berjingkrakan ke atas. Mulutnya menyeringai dan tiba-tiba dia mengeluarkan suara raungan marah. Lima jari tangannya membentuk cakar lalu menjulur ke depan untuk mencengkeram dada si pemuda.
Pemuda itu melihat si orang tua mengangkat tangan, kelima kuku jarinya juga menyorotkan cahaya berkilauan, seakan-akan dilumaskan semacam cairan yang berwarna keemasan. Tetapi setelah diperhatikan dengan seksama, ternyata bahwa kelima jari tangan orang tua itu diselongsongi sarung tangan dari emas. Ujung sarung tangan itu runcing-runcing, dapat diduga tentunya tajam sekali. Apabila sampai tercengkeram oleh orang tua itu pasti dada si pemuda akan terkoyak seketika. Biarpun tidak sampai mati, pasti menderita luka parah.
Melihat kelima jari tangan orang tua itu, hati si pemuda langsung tercekat. Cepat-cepat dia menyurut mundur satu langkah.
"Go locianpwe, harap jangan marah dulu!" seru si pemuda
Orang tua itu menarik tangannya sedikit. Tetapi masih dalam keadaan siap siaga melan-carkan serangan. Kelima jari tangannya terkatung-katung di depan seakan-akan berjaga-jaga apabila si pemuda bermaksud menggunakan akal licik.
"Ternyata kau tahu juga siapa aku. Cepat keluarkan obat pemunah, maka aku akan mengam-puni selembar nyawamu!" Rupanya ketika si orang tua menjulurkan tangannya ke depan, pemuda itu langsung mengenali dia sebagai seorang jago tua dari wilayah Hu Pak, Kim Sin (Dewa emas) Go Lim.
Kim Sin Go Lim itu tokoh dari golongan lurus. Jiwanya gagah dan suka membela keadilan. Ilmu kepandaiannya juga tinggi sekali. Tujuh belas jurus 'Cakar emas'nya menggetarkan dunia bu lim. Berkat ilmunya ini pula, namanya jadi terkenal.
Sementara itu, si pemuda masih berkata dengan nada menyesal.
"Go locianpwe, kedua batang senjata rahasia itu sebenarnya bukan kepunyaanku."
Wajah Ki Sim Go Lim tampak angker, kelima jari tangannya tiba-tiba menjulur ke depan beberapa cun.
Setelah menjulur ke depan beberapa cun, tiba-tiba disurutkan kembali. Menjulur lalu menyurut semuanya terjadi dalam sekejap mata. Tampak guratan cahaya keemasan membentuk bayangan bergaris-garis. Semuanya timbul dari gerakan sarung tangannya yang terbuat dari emas murni. Dapat dibayangkan sampai di mana kecepatannya. Saat tangannya menyurut mundur, tubuhnya pun bergerak ke luar ke samping. Lengannya mengibas ke depan.
Serrr!
Timbul bayangan lingkaran kecil yang meluntur ke arah lengan si pemuda. Jurus yang digunakanya benar-benar aneh. Sekali dikerahkan ternyata mengandung tiga macam perubahan yang tidak diduga-duga. Benar-benar nama Kim Sin yang didapatkannya bukan sekedar nama kosong belaka.
Tubuh pemuda itu berkelebat, di saat Kim Sin Go Lim mengerahkan jurus mautnya. Tiba-tiba dia menyurut mundur sedikit. Sarung tangan emas si orang tua mengeluarkan suara desingan tajam lalu melesat lewat di pundaknya. Ternyata jurus yang demikian hebat juga masih belum bisa mencengkeram pundak pemuda itu.
Kali ini, kegusaran di wajah Kim Sin Go Lim semakin terlihat nyata.
"Tidak heran berani menggunakan senjata rahasia beracun, ternyata kau memiliki sedikit kebolehan juga," bentaknya garang.
"Go locianpwe .. ." Panggil anak muda itu gugup.
Tapi, tidak menunggu sampai kata-katanya selesai, Kim Sin Go Lim sudah menjulurkan jari tangannya kembali.
Serrr! Serrrr! Serrrr!
Tiga buah cengkeraman dilancarkan. Dalam waktu yang bersamaan, seluruh tubuh pemuda itu sudah terkepung oleh cahaya emas yang berkilauan. Dalam kelebatan cahaya yang bergerak ke sana ke mari, tanipak tubuh pemuda itu bergerak laksana segumpal asap. Serangan yang demikian ketat ternyata tidak sanggup mengenai pemuda itu. Tubuhnya melesat keluar dari kurungan cahaya dan tahu-tahu sudah berdiri pada jarak tiga depaan.
"Go cianpwe, senjata rahasia itu bukan milikku. Mengapa kau orang tua tetap tidak percaya?" serunya lantang.
Empat kali berturut-turut Kim Sin Go Lim melancarkan serangan, sedangkan pihak lawan hanya mengandalkan kegesitan tubuhnya untuk menghindarkan diri. Diam-diam dia merasa tercekat. Dia berpikir dalam hati, usia pemuda ini masih demikian muda, dari mana dia mempelajari ilmu setinggi ini? Kalau ditilik dari tampangnya, rasanya tidak mirip orang jahat. Tampaknya juga tidak serendah itu menggunakan senjata rahasia beracun untuk membokong orang. Dengan membawa pikiran seperti itu, Kim Sin Go Lim berusaha menahan kemarahannya.
"Di dalam kegelapan yang ada kau seorang, kalau bukan kau yang melontarkannya, siapa lagi?" tanya orang tua itu.
Pemuda itu menarik nafas panjang.
"Tadi aku menggebah tiga iblis dari keluarga Lung pergi dari sini. Tidak tahunya baru meninggalkan tempat ini beberapa tindak, salah satu dari mereka menyambitkan senjata rahasia itu. Asal-asalan aku menyambut dua batang senjata rahasia itu, kemudian menyambitkan sekenanya. Aku sendiri tidak menyangka malah bisa melukai orang-orang Locianpwe."
Mendengar keterangan pemuda itu, Kim Sin Go Lim masih setengah percaya, setengah curiga.
Mengapa? Sebab nama tiga iblis dari keluarga Lung sudah lama menggetarkan dunia kang ouw. Bila pemuda itu mengatakan bahwa dia sanggup menggebah ketiga orang itu dengan demikian mudah, benar-benar merupakan hal yang sulit dipercaya.
"Boleh aku tahu siapa gurumu?" tanya Kim Sin Go Lim.
Pemuda itu berdiam diri sesaat. Wajahnya menunjukkan penderitaan hatinya.
"Ayah mendapat julukan Pat Kua kim gin kiam, Lie Yuan. Boanpwe sendiri bernama Lie Cun Ju."
"Ah! Rupanya Liekongcu. Apakah bermaksud menuju tempat tinggal keluarga Sang juga?" seru Kim Sin Go Lim terkejut.
Lie Cun Ju menganggukkan kepalanya.
"Menurut berita yang pernah kudengar, kedua orang tuamu juga mati di tanah keluarga Sang?"
Perasaan Lie Cun Ju semakin tertekan. "Boanpwe sendiri juga baru mendengar berita itu akhir-akhir ini saja. Kejadian yang sebenarnya masih belum jelas."
"Coba sejak tadi aku tahu kau ternyata Lie kongcu . . . Dulu aku berjodoh sehingga pernah bertemu dengan ayahmu beberapa kali. Kalau begitu kita terhitung orang sendiri. Sekarang, bagaimana kalau kita kejar dulu tiga iblis dari keluarga Lung dan meminta obat pemunah dari mereka?"
"Baiklah!" sahut Lie Cun Ju.
Kim Sin menggapaikan tangannya ke belakang. Beberapa orang yang mengikutinya segera menghampiri orang tua itu.
Ketika melihat kedua orang yang terluka itu, tampak wajah mereka pucat pasi. Keringat dingin sebesar kacang kedelai terus menetes membasahi seluruh wajah. Tampang mereka menyiratkan penderitaan yang tidak terkirakan. Perasaan Lie Cun Ju jadi tidak enak. Dia menghampiri kedua orang itu dan menotok beberapa bagian tubuhnya.
Totokannya itu menimbulkan hawa yang hangat, sehingga mereka baru bisa menarik nafas lega.
Kim Sin Go Lim hanya memperhatikan dari samping. Dia dapat melihat bahwa kepandaian Lie Cun Ju ternyata lebih tinggi daripada dirinya sendiri. Diam-diam timbul perasaan heran dalam hati.
Sebab orang tua itu tahu, semasa hidupnya ilmu kepandaian Pat kua kim gin kiam Lie Yuan saja masih berada di bawahnya. Mengapa putranya, Lie Cun Ju bahkan bisa mempunyai kepandaian yang lebih tinggi daripadanya? Lagipula gerakan pemuda itu juga menunjukkan keanehan yang sulit dijelaskan.
Sementara itu, serombongan orang-orang tersebut meneruskan perjalanan pada malam hari itu juga. Tetapi di sepanjang perjalanan, mereka justru tidak menemukan jejak tiga iblis dari keluarga Lung.
Kedua orang yang terluka itu, keadaannya tidak begitu runyam lagi. Karena Lie Cun Ju sudah menotok jalan darah mereka agar racun tidak menyebar luas. Lagipula ilmu totokan yang digunakannya sangat khas dan istimewa. Karena sudah tahu bahwa tujuan ketiga iblis dari keluarga Lung itu juga menuju tempat tinggal keluarga Sang, hati mereka pun tidak begitu khawatir lagi.
Tidak lama kemudian, perlahan-lahan hari mulai terang. Serombongan orang itu pun sudah sampai di tempat tinggal keluarga Sang.
Jembatan yang menghubungi areal perumahan itu juga belum diangkat ke atas. Dan lampu-lampu yang menerangi perkampungan itu juga belum dipadamkan. Melihat keadaan itu saja,dapat diduga bahwa orang-orang perkampungan itu memang tidak tidur sepanjang ma lam untuk menyambut kedatangan tamu-tamu undangan. Ketika mereka berjalan menuju jembatan, tampak dua orang keluar dari dalam perkampungan. Saat rombongan mereka melihat kedua orang itu, semuanya langsung tertegun.
Rupanya bentuk tubuh kedua orang itu begitu tinggi besarnya sehingga mirip raksasa. Apabila berdiri berhadapan, mereka tentu harus mendongakkan kepalanya baru bisa melihat wajah kedua orang itu. Padahal bentuk tubuh Kim Sin Go Lim sudah termasuk tinggi besar, tetapi dibandingkan dengan kedua orang itu, persis seperti bukit dijejerkan dengan gunung.
Kedua orang itu bukan bentuk tubuhnya saja yang luar hiasa, bahkan pakaian yang dikenakannya juga aneh sekali. Seumur hidup, Lie Cun Ju dan yang lainnya malah tidak pernah melihatnya.
Bagian atas tubuh mereka hanya diselongsongi semacam perisai emas. Tampaknya disambung-sambung dengan lempengan emas berbentuk sisik ikan. Lempengannya ada yang tebal, ada juga yang tipis, dapat dibayangkan bahwa bobotnya tidak ringan. Tetapi kedua orang yang mengenakannya justru membusungkan dadanya tinggi-tinggi seakan tidak merasakan apa-apa. Kalau jaman sekarang, mungkin kita akan menyebutnya rompi emas.
Tangan kanan keduanya masing-masing memegang sejenis senjata yang bentuknya mirip pedang tetapi lebih lebar dan lagi-lagi terbuat dari emas.
Seumur hidupnya, Kim Sin Go Lim paling menyukai warna emas. Bahkan julukannya juga didapatkan karena alasan yang satu itu. Melihat kedua raksasa yang hampir seluruh tubuhnya menyinarkan cahaya berkilauan, tanpa dapat ditahan lagi dia juga mengernyitkan keningnya karena merasa aneh.
Begitu sampai di luar pintu gerbang perkampungan, kedua orang itu langsung memencarkan diri untuk berdiri di kiri kanan.
"Harap para tamu melaporkan nama masing-masing!" seru orang berpakaian aneh itu sambil membungkukkan tubuhnya.
Kim Sin Go Lim segera maju satu langkah.
"Kim Sin Go Lim dari Hu Pak," katanya menyebut namanya sendiri.
Lie Cun Ju juga menyebutkan namanya. Kedua orang itu membalikkan tubuhnya menghadap perkampungan sambil berseru dengan lantang.
"Kim Sin Go Lim dari Hu Pak dan Lie Cun Ju tiba!"
Tadi, ketika kedua orang itu menanyakan nama, suaranya juga cukup keras. Tetapi masih belum begitu mengejutkan.
Namun saat ini, kedua orang itu membalikkan tubuhnya untuk berseru atau memberi laporan ke dalam. Suara mereka menggelegar ibarat geledek yang menyambar. Hawa murni yang dikerahkan sampai bergetar. Serombongan orang yang datang itu rata-rata berkepandaian tinggi, sekali dengar saja, mereka langsung tahu bahwa kedua orang itu memiliki tenaga Iwe kang yang cukup kuat.
Tanpa dapat dipertahankan lagi, Lie Cun Ju dan Kim Sin Go Lim langsung tertegun. Diam-diam mereka berpikir dalam hati, tampaknya kedua orang itu diundang hanya sebagai penerima tamu saja. Kedudukan yang rendah, tetapi mempunyai kepandaian yang demikian tinggi. Dapat dibayangkan bahwa perundingan yang diselenggarakan oleh keluarga Sang kali ini, mungkin bisa menimbulkan hujan badai yang dahsyat dan bukan sekedar pertemuan iseng belaka.
Selesai melaporkan kedatangan para tamu, kedua orang itu mempersilakan mereka masuk. Tanpa sungkan-sungkan lagi Kim Sin Go Lim beserta rombongannya melangkah melalui jembatan itu. Begitu memasuki perkampungan, tampak banyak kamar dan ruangan yang baru dibangun. Modelnya bagus dan bangunannya tampak kokoh. Di bagian kiri kanan terdapat tembok batu yang permukaannya penuh dengan lukisan. Di tengah-tengah terdapat jalan setapak menuju sebuah ruangan besar. Ketika rombongan itu sampai di pintu ruangan tampak dua orang pemuda berusia kurang lebih dua puluh tiga dan dua puluh empat tahun keluar menyambut mereka dengan berjalan berdampingan.
Kedua pemuda itu merangkapkan sepasang kepalan tangan mereka lalu menjura dalam-dalam.
"Kim Sin Go Lim sudi berkunjung ke sini, benar-benar membawa kecemerlangan bagi kami. Cayhe Sang Cin, Sang Hoat."
Kim Sin Go Lim memperhatikan kedua pemuda itu sesaat, hatinya langsung terkesiap.
Ketika menerima undangan atas nama 'Sang Cin dan Sang Hoat', tokoh-tokoh dunia bu lim sudah dapat menerka bahwa urusan yang akan dirundingkan pasti ada hubungannya dengan kematian seluruh anggota keluarga Sang.
Tetapi para tokoh dunia bu lim juga belum pernah mendengar nama Sang Cin dan Sang Hoat. Karenanya, mereka menduga bahwa kedua orang yang menyebarkan undangan itu pasti tokoh berilmu tinggi dan masih ada hubungan saudara dekat dengan si Kakek berambut putih tetapi sudah lama meninggalkan tanah keluarga Sang.
Ternyata setelah ditemui sekarang, orang yang bernama Sang Cin dan Sang Hoat baru dua bocah kemaren sore yang menginjak dewasa. Bagaimana hati Kim Sin Go Li in tidak menjadi heran dibuatnya.
Sementara itu, Kim Sin Go Lim juga tidak enak hati menunjukkan perasaannya di hadapan umum. Terpaksa dia mengucapkan beberapa patah kata formalitas di depan keduanya. Kemudian ada orang yang datang dan mengantarkan mereka beristirahat di dalam.
Di saat Kim Sin Go Lim melangkah memasuki ruangan itu, Lie Cun Ju sengaja membiarkan dirinya berjalan di bagian belakang dan diam-diam memperhatikan situasi di dalamnya. Tampak di dalam ruangan itu sudah hadir cukup banyak tokoh dunia bu lim. Malah ada beberapa di antaranya dikenali Lie Cun Ju sebagai jago kelas satu. Tetapi Lie Cun Ju tidak menyapa mereka. Ketika Kim Sin Go Lim sudah masuk, dia baru maju satu tindak kemudian menjura kepada Sang Cin dan Sang Hoat.
"Cayhe Lie Cun Ju. Ada suatu urusan yang ingin mohon petunjuk saudara berdua!"
"Apabila ada urusan apa-apa, silakan Lie heng utarakan saja. Tidak perlu sungkan- sungkan!"
sahut Sang Cin dan Sang Hoat cepat.
"Ayah cayhe bernama Pat Kua kim gin kiam Lie Yuan ..."
Baru berbicara sampai di sini, wajah Sang Cin dan Sang Hoat sudah agak berubah. "Rupanya Lie heng, apakah Lie heng sudah mendengar tentang musibah yang menimpa kedua orang tuamu?" tanya Sang Cin dengan suara berbisik.
Lie Cun Ju menganggukkan kepalanya. "Tidak salah. Siaute tiga tahun lamanya tidak pernah menginjakkan kaki di dunia bu lim. Tak disangka baru saja sampai di daerah Tiong goan, tahu-tahu sudah mendengar berita tentang kematian kedua ayah ibu Siaute yang menurut desas desus terjadi di tanah keluarga Sang. Maka dari itu, siaute sengaja datang kemari untuk meminta keterangan dari hengtai berdua."
Meskipun ucapan Lie Cun Ju dicetuskan dengan sungkan, tetapi justru mengandung desakan.
Sang Cin dan Sang Hoat langsung menarik nafas panjang. "Karena Lie heng sudah datang kemari, tentunya kami akan menceritakan semuanya dengan terperinci. Harap Lie heng ikut dengan kami!"
Sembari memerintahkan orang-orangnya untuk menyambut kedatangan tamu lainnya, kedua kakak beradik itu mengajak Lie Cun Ju keluar dari ruangan besar itu. Setelah membelok di beberapa kelokan, mereka sampai di hadapan sebuah pintu berbentuk bundar dan terbuat dari besi. Sang Cin dan Sang Hoat serentak menekan beberapa buah tombol yang terdapat di pintu itu.
Terdengar suara yang bergemuruh, perlahan-lahan pintu bundar itu pun menyingkap. Sang Cin mengulapkan tangannya.
"Lie heng, silakan!"
Lie Cun Ju memperhatikan keadaan di dalamnya. Rupanya sebuah ruangan kosong yang berbentuk lingkaran seluas dua-tiga depaan. Tanpa dapat dipertahankan lagi, dia mengernyitkan keningnya.
"Tempat ini . . ."
Sang Cin dan Sang Hoat langsung tersenyum. "Lie heng tidak perlu khawatir, kita mempunyai musuh besar yang sama. Tidak ada ingatan sedikit pun untuk mencelakai Lie heng." Sembari berkata, kedua kakak beradik itu pun mendahului Lie Cun Ju melangkah ke dalam.
Sebaliknya Lie Cun Ju yang merasa tidak enak hati karena belum apa-apa, dia sudah menaruh kecurigaan kepada kedua bersaudara itu. Karenanya, dia pun cepat-cepat melangkah ke dalam. Sang Hoat menekan lagi sebuah tombol yang terdapat di bagian dalam. Pintu bundar tadi langsung merapat kembali. Setelah masuk ke dalam ruangan itu, mimik wajah mereka pun tidak setegang tadi lagi.
"Ruangan itu dikelilingi lapisan baja. Berbicara di sini, tidak takut akan terdengar orang lain," kata Sang Hoat menerangkan.
Pada saat itu, Lie Cun Ju justru dilanda kebingungan. Dia tidak mengerti apa yang dilakukan kedua saudara itu. Tetapi dia tidak enak hati untuk bertanya.
"Lie heng, ayah ibumu sebetulnya mati di tangan Gin leng hiat ciang I Ki Hu," kata Sang Cin.
Wajah Lie Cun Ju langsung berubah pucat pasi. Untuk sesaat dia sampai tidak sanggup mengucapkan sepatah kata pun.
"Dia lagi?" tanya Lie Cun Ju kemudian.
Sang Cin dan Sang Hoat berdua tidak tahu apa arti pertanyaan itu. Tetapi karena hati mereka sendiri juga sedang dilanda kegelisahan, maka keduanya hanya saling melirik tanpa menjawab apa-apa.
Suasana di dalam ruangan itu menjadi hening beberapa saat.
"Kalau begitu, ketika di atas perahu tempo hari, apakah I Ki Hu juga yang menotok jalan darah mereka?" Kembali Lie Cun Ju membuka suara.
Kedua saudara itu tidak langsung menjawab.
"Urusan yang sebenarnya, kami sendiri tidak begitu jelas," sahut Sang Cin.
Wajah Lie Cun Ju berubah menjadi angker. "Menurut apa yang siaute dengar, saat itu ayah dan ibu diantar oleh Kuan Hong Siau. Kuan tayhiap datang ke tanah keluarga Sang ini untuk meminta pertolongan kakek kalian, Sang locianpwe agar membebaskan jalan darah mereka. Mengapa akhirnya tan pa sebab musabab mereka bisa mati di tangan Gin Leng hiat ciang I Ki Hu, harap kalian bisa menjelaskannya!"
Mendengar nada suara Lie Cun Ju, tampaknya pemuda itu mulai mendesak sedikit demi sedikit.
Sebetulnya, terhadap kematian pasangan suami istri Lie Yuan, Sang Cin dan Sang Hoat tentunya sudah mempunyai perhitungan tersendiri. Sebab, ketika Kuan Hong Siau mengantarkan pasangan suami istri Lie Yuan datang ke tanah keluarga Sang, kakek mereka Sang Hao yang baru melihat sekilas totokan di tubuh keduanya langsung mati saat itu juga. Hal ini menimbulkan perselisihan antara keluarga Sang dengan Kuan Hong Siau. Akhirnya Kuan Hong Siau dan pasangan suami istri Lie Yuan berhasil dikurung dalani rumah batu. Dengan demikian, Sang Cin dan Sang Hoat menjadi serba salah mendengar desakan Lie Cun Ju.
"Lie heng, kedua orang tuamu memang benar-benar mati di tangan I Ki Hu. Meskipun kami berdua sangat membenci orang itu tetapi kami tidak demikian rendah untuk memfitnah orang lain apabila ia memang tidak melakukannya."
Lie Cun Ju masih ingin mengajukan pertanyaan, tetapi tiba-tiba telinganya menangkap sayup-sayup suara terkekeh-kekeh sebanyak dua kali.
Suara terkekeh-kekeh itu secara tiba-tiba bekumandang di telinga, ketiga orang di dalam ruangan itu pun langsung tertegun.
Tiga tahun yang lalu, baik Sang Cin, Sang Hoat maupun Lie Cun Ju merupakan pemuda-pemuda yang kepandaiannya biasa-biasa saja.
Tetapi ternyata dalam tiga tahun berikutnya, ketiga orang itu sama-sama menemui keajaiban. Lie Cun Ju sendiri sudah berhasil mempelajari setengah bagian dari kitab 'Leng Can po liok' di kuil para lhama. Sekarang dia sudah terhitung jago kelas satu di dunia bu lim.
Tetapi, saat itu tetap saja perasaannya terkesiap! Sebab tadi kedua bersaudara Sang Cin dan Sang Hoat menyatakan bahwa ruangan itu dilapisi lempengan baja sehingga kedap suara. Dan saat ini, di dalam ruangan hanya ada mereka bertiga. Sedangkan ketiga-tiganya tidak ada yang bersuara, lalu dari mana datangnya suara terkekeh-kekeh tadi?
"Siapa?" bentak Sang Cin.
Suara terkekeh-kekeh itu kembali terdengar. "Kalian tidak usah tahu siapa aku, tetapi aku justru tahu bahwa begitu pasangan suami istri Lie Yuan datang ke perkampungan keluarga Sang ini, mereka langsung dikurung dalam rumah batu sehingga menemui ajal di sana. Iya bukan?"
Ketika Sang Cin mengeluarkan suara bentakan, Sang Hoat sudah langsung berkelebat ke arah pintu. Tangannya menekan tombol pintu dan seketika pintu itu membuka sedikit, dan dia segera menyelinap ke luar.
Tapi, baru saja tubuhnya menyelinap keluar, suara tawa itu sudah meninggi dan menimbulkan gema berkepanjangan. Dalam sekejap mata saja sudah menjauh. Kecepatannya benar-benar mengagumkan.
Sang Cin dan Lie Cun Ju berdua bergegas ikut menyelinap ke luar. Tampak bayangan tubuh Sang Hoat seperti anak panah yang melesat cepat mengejar ke depan. Kedua orang itu langsung mengikuti dari belakang. Dalam sekejap mata, mereka sudah melalui sebuah lorong panjang. Kemudian melesat lewat di celah pintu yang bundar dan mengejar ke belakang taman. Tetapi di sepanjang jalan, ternyata mereka tidak menemui seorang pun!
Sang Hoat seperti orang yang dilanda kebingungan. Setelah menenangkan hatinya sesaat, dia baru menolehkan kepalanya.
"Apakah kalian bisa memastikan yang mengucapkan kata-kata tadi perempuan atau laki-laki?"
Tanpa berpikir panjang lagi Lie Cun Ju menggelengkan kepalanya. "Tidak jelas."
"Apakah kau berhasil melihat orang itu?" tanya Sang Cin cepat.
"Ketika aku menyelinap ke luar, aku hanya melihat bayangan seorang perempuan yang ber-kelebat secepat kilat. Dalam sekejap mata sosok bayangan itu sudah menghilang dari pandangan."
Ketiga orang itu tertegun. Tiba-tiba terdengar suara bising dari ruangan depan.
Di antara kebisingan, terdengar ada suara dua orang yang sangat lantang, tetapi justru tidak dimengerti bahasa apa yang mereka gunakan. Tani-pak Sang Hoat mengernyitkan keningnya.
"Ada apa lagi mereka berdua gembar gembor?" "Kita lihat saja kesana!" sahut Sang Cin.
Tubuh kedua orang itu langsung bergerak, mereka bermaksud menghambur ke ruangan depan. Meskipun gerakan tubuh mereka sudah terhitung cepat, tetapi kelebatan Lie Cun Ju terlebih cepat lagi. Tahu-tahu dia sudah menghadang di hadapan kedua kakak beradik itu.
Terpaksa Sang Hoat dan Sang Cin menunda gerakannya.
"Lie heng, musuh besar sudah di depan mata, masa kau masih ingin mencari keributan di antara orang sendiri?"
Lie Cun Ju tertawa dingin.
"Kematian ayah ibuku tidak jelas, aku masih ingin mendapatkan keterangan yang lebih banyak."
Kedua kakak beradik itu saling melirik sekilas. Tiba-tiba saja, tubuh mereka saling merapat, yang satu mengulurkan telapak tangan kanan, yang lainnya mengulurkan telapak tangan kiri. Keduanya serentak mengirimkan sebuah serangan ke arah Lie Cun Ju tanpa menimbulkan suara sedikit pun.
Meskipun kedua pukulan itu tidak menimbulkan suara sedikit pun, tetapi tenaga yang ter-pancar justru besar sekali. Lie Cun Ju hanya merasa bahwa dalam sesaat ada dua rangkum kekuatan yang tidak berwujud melanda datang. Perasaan marah dalam hatinya semakin meluap.
Sebetulnya hati Lie Cun Ju paling mencintai perdamaian. Ketika diculik ke perbatasan Tibet, seluruh ilmu kepandaiannya dimusnahkan oleh hu hoat lhama di sana. Apabila dalam satu malaman, dia tidak mencatat setengah bagian dari kitab Leng Can Po Liok, kemudian berlatih diri dengan tekun, dengan demikian, dari bencana dia justru men- apat keuntungan. Mungkin seumur hidup ini, dia tidak bisa meloloskan diri lagi dari kuil itu.
Tetapi meskipun dalam tiga tahun, dia berhasil menguasai lwe kang kembali, di dalam hatinya
tidak pernah terlintas kalimat 'balas dendam'. Mengambil kesempatan di suatu malam yang gelap gulita, Lie Cun Ju meninggalkan selembar kertas catatan, kemudian membawa tulisan yang dicatatnya dari setengah bagian kitab 'Leng Can Po Liok', dia pergi dari perbatasan Tibet.
Dia sampai di daerah Tiong goan dan bermaksud mencari Tao Ling. Dia mendapatkan banyak perubahan yang telah terjadi selama tiga tahun dia meninggalkan tanah kelahirannya itu.
Dan semua perubahan yang dihadapinya demikian hebat sehingga membuat perasaannya terguncang. Semuanya sudah berubah.
Lie Cun Ju persis seperti seorang tawanan perang yang dipenjara selama puluhan tahun. Semuanya terasa asing baginya. Yang membuat hatinya lebih perih lagi adalah kabar berita dari beberapa orang yang mengetahui tentang Tao Ling. Menurut mereka kekasihnya itu sudah menjadi istri si raja iblis Gin Leng hiat ciang I Ki Hu.
Dan sejak tiga tahun yang lalu, gadis pujaannya itu berangkat bersama-sama menuju sebelah barat gunung Kun Lun san dan sampai hari ini tidak ada kabar beritanya lagi.
Pertama kali mendengar selentingan itu, Lie Cun Ju sama sekali tidak percaya. Dia justru diam-diam menertawakan orang-orang itu. Karena baginya, itu merupakan suatu hal yang paling mustahil yang pernah didengarnya.
Tetapi ketika kedua kali dia mendengar cerita yang sama, timbullah kecurigaan dalam hatinya. Apalagi ketika mendengar untuk ketiga kali, keempat kali dan seterusnya. Lie Cun Ju memaksakan diri untuk percaya bahwa apa yang didengarnya memang sebuah kenyataan.
Dalam satu bulan belakangan ini, semangatnya entah terbang kemana. Pikirannya rumit. Malah di tengah perjalanan, ketika ketiga iblis dari keluarga Lung mencari perkara dengannya, Lie Cun Ju sudah malas melayani. Namun ketika mendengar Lung Goan Po menyebut nama I hu jin, tanpa sengaja kemarahannya yang terpendam seperti diungkit kembali. Sampai akhirnya mereka sendiri yang mengalami kerugian.
Sementara itu, karena kematian kedua orang tuanya yang tidak jelas, api amarah dalam dada Lie Cun Ju semakin berkobar-kobar. Begitu merasa. ada dua rangkum kekuatan yang menerjang ke arahnya, dia segera menjulurkan sepasang Iengannya dan menyambut keras kedua pukulan itu.
Ketika dia mempelajari ilmu dari sebagian kitab 'Lung Can Po Liok', saat itu ilmu kepan-daiannya sudah musnah. Karena itu boleh dibilang tenaga dalamnya sekarang murni dari pelajaran Leng Can Po Liok itu. Tidak ada pengaruh sedikit pun dari pelajaran lainnya.
Ilmu tenaga dalam pintu Buddha tidak dapal disamakan dengan ilmu partai lainnya. Begitu dikerahkan, dua rangkum tenaga yang kuat langsung terpancar keluar menyambut datangnya pukulan Sang Cin dan Sang Hoat.
Kedua kakak beradik itu langsung tergetar mundur sejauh setengah langkah, tetapi Lie Cun Ju sudah merasakan bahwa kekuatan kedua orang itu benar-benar dahsyat.
Setelah kedua kakak beradik itu tergetar mundur, sudah barang tentu Lie Cun Ju tidak akan menyudahi urusannya begitu saja. Tubuhnya berkelebat, tiba-tiba kedua jari telunjuk dan jari tengahnya menjulur ke depan. Dia melancarkan totokan ke bagian bawah ketiak Sang Cin. Tetapi tubuh Sang Cin juga sekonyong-konyong berputaran, gayanya aneh sekali. Tahu-tahu dia sudah berhasil mengelakkan diri dari serangan Lie Cun Ju.
Ketika Lie Cun Ju ingin melancarkan serangan yang lainnya, mendadak beberapa anggota rumah itu berlarian masuk dengan kalang kabut. Nafas mereka tersengal- sengal, wajah pucat pasi. Sang Hoat cepat-cepat menghampiri mereka.
"Ada apa?" tanyanya gugup.
Kedua orang yang baru masuk itu ternyata pelayan keiuarga Sang, begitu melihat majikannya, wajah mereka tidak setegang tadi lagi. Nafas pun lebih Iega.
"Liong wi kongcu, di ruang depan ..." kata dua orang pelayan itu.
Baru saja berkata sampai di sini, tiba-tiba dari ruangan depan terdengar suara. Blum!
Suara itu memekakkan telinga. Kemudian terdengar suara panik dari para tamu Sang Cin dan Sang Hoat segera mendorong kedua pelayan itu dan menghambur ke ruangan depan.
Pada saat itu, para tokoh dunia bu lim yang datang memenuhi undangan tidak semuanya berkumpul di ruangan depan. Mereka memencar di tempat yang lainnya. Begitu mendengar suara gemuruh tadi, berbondong-bondong mereka lari menuju ruangan depan untuk melihat apa yang telah terjadi.
Lie Cun Ju mengikuti di belakang Sang Cin dan Sang Hoat. Namun ketika beramai- ramai mereka sampai ke pintu masuk ruangan depan, serentak semuanya tertegun.
Rupanya, di ruangan depan, kedua raksasa berpakaian rompi besi itu sedang bertarung dengan sengit. Bentuk tubuh kedua orang itu sudah termasuk super. Jelas tenaganya juga luar biasa. Tampaknya mereka berkelahi sudah cukup lama, karena seluruh perabotan di ruangan depan itu sudah tidak
karuan. Sebagian besar kursi-kursi terbalik di sana sini. Dan sebagian meja juga berpatahan sehingga hampir tidak ada satu pun yang utuh.
Perasaan para tamu menjadi panik, karena cara berkelahi kedua orang itu seperti tidak memperdulikan keselamatan diri masing-masing alias kalap. Sedangkan kedua kakak beradik Sang Cin dan Sang Hoat yang melihat kedua orang itu terlibat perkelahian sengit justru lebih bingung daripada yang lainnya.
Masalahnya, asal usul kedua orang bertubuh raksasa itu, kecuali mereka berdua kakak beradik, tidak ada orang lain lagi yang mengetahuinya.
Sang Cin dan Sang Hoat tahu pasti bahwa kedua orang itu sebenarnya saudara kembar. Biasanya, jangankan berkelahi, berdebat saja tidak pernah. Dalam melakukan tugas apa pun, mereka selalu sehati dan sejiwa. Siapa pun di antara mereka sama saja. Tetapi saat ini, kedua orang itu malah bukan berkelahi biasa lagi, lebih tepat dikatakan mengadu jiwa. Meskipun tubuh mereka terlindung oleh rompi emas, tapi bagian wajah keduanya sudah penuh dengan luka. Setelah tertegun sejenak, Sang Cin segera menghambur ke dalam ruangan.
"Apa yang kalian lakukan?" bentak Sang Cin.
Sang Hoat juga sudah menerjang ke dalam. Namun ketika melihat kedua kakak beradik itu
masuk ke dalam ruangan, kedua raksasa yang sedang bertarung itu langsung memencarkan diri. Senjata yang mirip pedang emas itu pun segera digerakkan kemudian ditikamkan ke arah Sang Cin dan Sang Hoat. Sebuah serangan yang bukan main lihainya!
Hal itu bahkan benar-benar di luar dugaan kedua kakak beradik ilu. Sebab mereka tahu watak kedua raksasa itu sangat setia. Apalagi Sang Cin dan Sang Hoat pernah menanam budi yang besar kepada keduanya. Tidak mungkin mereka justru 'membalas air susu dengan air tuba'.
Tapi kenyataannya tiba-tiba saja kedua orang itu menyerang mereka. Sang Cin dan Sang Hoat segera menghindar ke samping. Tubuh mereka berkelebat, tahu-tahu keduanya sudah sampai di belakang kedua raksasa itu dan ….. Fuh!
Masing-masing pukulan dilancarkan ke punggung kedua raksasa. Kekuatan tenaga dalam Sang Cin dan Sang Hoat benar-benar hebat.
Tetapi begitu pukulan mereka dikerahkan, ter-dengar suara. Trang!
Pukulan itu niembentur rornpi emas yang melindungi tubuh keduanya. Tubuh keduanya ter-huyung-huyung lalu terdesak ke depan satu langkah. Namun mereka segera membalikkan tubuh dan menerjang kembali dengan ganas. Cara mereka menghadapi Sang Cin dan Sang Hoat seperti berhadapan dengan musuh bebuyutan. Perasaan kedua kakak beradik Sang Cin dan Sang Hoat semakin terkejut dan bingung. Di samping itu, mereka diperlakukan sedemikian rupa oleh bawahan sendiri di hadapan umum. Rasa malu pun nerubah jadi perasaan gusar. Beberapa kali berturut-turut mereka mengeluarkan suara bentakan, tetapi kedua raksasa itu seperti tidak mendengarnya sedikit pun