Laron Penghisap Darah Bab 31 : Surat wasiat dari Laut Utara

Bab 31: Surat wasiat dari Laut Utara

. Kembali Siang Hu-hoa berkata:

"Aku dengar sepasang tangan Yu hujin selalu kuat dan sehat, kenapa tiga hari setelah membuat tatto badanmu tangannya jadi lumpuh? Aku rasa tidak mungkin ada kejadian yang begitu kebetulan " "Tapi banyak kejadian di dunia memang berlangsung secara kebetulan" tukas Liong Giok-po cepat.

"Apakah kau kuatir dia buatkan juga tiga ekor naga ditubuh orang lain, maka kau minta kepadanya untuk pensiun dini?" tanya Siang Hu-hoa dengan nada penuh selidik.

"Rasanya sih tidak"

"Rasanya?" Siang Hu-hoa tertawa hambar, "Sudah lama cara kerja saudara Liong termashur di seantero dunia persilatan"

"Benarkah begitu?" sahut Liong Giok-po, mendadak dia merendahkan suaranya, "kedatanganku kali ini sama sekali bukan dikarenakan urusan yang terjadi pada tujuh delapan tahun berselang"

Siang Hu-hoa mengangguk. "Tatto tiga ekor naga yang ada di dadaku sudah cukup untuk membuktikan keaslian identitasku bukan?" kembali Liong Giok-po berkata.

Siang Hu-hoa tidak menyahut, diapun tidak memberi komentar.

Sesudah mengenakan kembali bajunya Liong Giok-po berkata lagi:

"Sebenarnya tidak susah untuk menyelidiki apakah yang kuucapkan benar benar kejadian atau hanya rekayasa belaka, sebab hingga sekarang Yu hujin masih hidup"

"Dimana para opas menemukan saudara Liong?" tanya Siang Hu-hoa lagi setelah termenung dan berpikir sejenak.

"Di rumahku"

"Menurut apa yang kuketahui, selain hebat dalam ilmu pukulan dan ilmu pedang, saudara Liong mahir juga menggunakan senjata rahasia, konon dua belas batang peluru pencabut nyawa cu-bo-le-hun-sou milikmu dapat digunakan sekehendak hati?" "Aaah, kesemuanya itu hanya pemberian sahabat kangouw" kata Liong Giok-po merendah, sementara berbicara tahu-tahu didalam genggamannya telah bertambah dengan dua belas batang peluru emas.

"Aaah, ternyata memang peluru emas cu-bo-le-hun-sou" seru Siang Hu-hoa setelah mengamati peluru peluru emas itu sekejap.

"Darimana saudara Siang bisa yakin kalau peluru ini adalah cu-bo-le-hun-sou?" mendadak Liong Giok-po balik bertanya.

"Ketika melihat untuk pertama kalinya, kau sedang menggunakan senjata ini untuk bertarung melawan lima orang gagah dari Ngo-gan"

Liong Giok-po seperti sedang membayangkan kembali peristiwa waktu itu, sesaat kemudian dia baru berkata:

"Waktu itu seingatku mereka berdua merecoki aku melulu bahkan pada saat terakhir sempat menggunakan senjata rahasia untuk membokongku, dalam gusarnya aku pun menghadiahkan kepada mereka masing masing sebuah peluru cu-bo-li-hu-sou"

"Aku memang amat suka memperhatikan kepandaian istimewa, khususnya benda benda istimewa, karena benda istimewa akan meninggalkan kesan yang mendalam sekali" kata Siang Hu-hoa sambil manggut manggut.

"Apakah kau perhatikan juga senjata apa yang aku gunakan waktu itu?" tanya Liong Giok-po lagi.

"Pedang wujud naga!"

Baru selesai Siang Hu-hoa menjawab, tahu-tahu dalam genggaman Liong Giok-po telah bertambah dengan sebilah pedang.

Bentuk pedang itu jauh berbeda dari bentuk pedang pada umumnya, tubuh pedang jauh lebih sempit dengan punggung senjata dipenuhi sisik seperti sisik naga, ketika berkilauan dibawah cahaya lentera, sisik sisik itu nampak seperti hidup.

Berkilat sepasang mata Siang Hu-hoa, pelan pelan dia mengangguk.

"Apakah sekarang saudara Siang masih ragu atau curiga?" tanya Liong Giok-po kemudian.

"Tidak, tidak ada keraguan lagi" jawab Siang Hu-hoa seraya menggeleng.

Sambil menyimpan kembali pedangnya, Liong Giok-po berseru:

"Saudara Siang, kau sangat berhati-hati ketika bekerja" "Karena masalah ini sangat serius, terpaksa aku harus

bersikap ekstra hati-hati"

"Benar, sebagai seorang manusia memang jauh lebih baik bila berhati-hati, sebab sedikit saja kurang waspada, dia bakal menyesal dikemudian hari"

Tampaknya dibalik perkataan itu masih terselip perkataan lain.

Tapi Siang Hu-hoa tidak memperhatikan, katanya: "Senjata bagi umat persilatan sama seperti nyawa sendiri,

kecuali nyawa sudah hilang, kalau tidak, tidak nanti senjata

andalannya akan dibiarkan terjatuh ke tangan orang lain"

"Bagiku, pedang wujud naga sama seperti nyawa ku sendiri" Liong Giok-po segera berseru sambil menepuk pedangnya, "entah sudah berapa kali senjata ini menyelamatkan nyawaku"

"Oleh sebab itu bila menginginkan pedang itu, orang harus membunuhmu terlebih dulu?" sambung Siang Hu-hoa.

Liong Giok-po tertawa tergelak. "Hahahaha tepat sekali" sahutnya,

"memang orang harus berbuat begitu"

"Aku rasa tidak banyak jumlah jagoan yang sanggup menghabisi nyawamu"

"Mungkin jumlahnya cukup banyak, hanya saja, hingga sekarang aku belum sempat menjumpainya"

"Orang yang punya kemampuan untuk membunuhmu, rasanya tidak mungkin akan menyaru sebagai dirimu bukan?"

"Itulah sebabnya kau memang tidak perlu mencurigai aku"

Perlahan-lahan Siang Hu-hoa mengalihkan sorot matanya ke wajah Liong Giok-po, setelah mengamati sesaat dia bertanya lagi:

"Mengapa wajahmu bisa berubah jadi begini rupa?" "Menurut pendapatmu, apa yang menyebabkan terjadinya

hal ini?" Liong Giok-po balik bertanya sambil mengenakan

kembali topi bambunya. "Akibat racun?"

"Tajam amat pandangan matamu!" "Racun apa itu? Tampaknya sangat lihay" "Bubuk lima racun ngo-tok-san!"

"Bubuk racun ngo-tok-san dari Tok tongcu si bocah racun?"

"Benar!" sahut Liong Giok-po sambil mengangguk, "selama ini, orang yang terkena racun ngo-tok-san pasti akan tewas secara mengenaskan, jadi aku terhitung sangat beruntung karena berhasil mempertahankan nyawaku"

Siang Hu-hoa manggut manggut.

"Dia berhasil menghancurkan wajahku" kembali Liong Giok- po berkata, "tapi aku minta selembar nyawanya sebagai pengganti, aku pikir transaksi perdagangan ini tidak termasuk kelewat rugi"

Tiba tiba dia menghela napas panjang, terusnya:

"Tapi aku sama sekali tidak mengira kalau raut wajahku bakal berubah jadi begini rupa"

"Aku rasa hal semacam ini sudah tidak perlu terlalu dipikirkan lagi"

"Banyak orang merasa keheranan, mereka tidak habis mengerti kenapa aku masih punya keberanian untuk hidup terus kendatipun wajahku telah berubah jadi begini buruk, mereka tidak tahu "

"Yaa, mereka tidak tahu kalau hidup sengsara jauh lebih mendingan ketimbang harus mati" sambung Siang Hu-hoa cepat.

Liong Giok-po segera mendongakkan kepalanya dan tertawa tergelak, raut muka anehnya kembali membuat suasana serasa tercekam.

Siang Hu-hoa sendiripun tidak dapat menyembunyikan rasa bergidiknya, tanpa sadar dia bersin berulang kali.

"Untung aku seorang lelaki" kembali Liong Giok-po berkata sambil tertawa, "coba kalau aku seorang wanita, mungkin sejak dulu sudah terjun ke sungai untuk menghabisi nyawa sendiri"

"Aku rasa yang terpenting dari seorang manusia bukan terletak pada wajahnya"

"Mungkin perkataanmu benar, tapi berapa banyak sih yang benar benar bisa berpikir demikian?"

"Memang tidak banyak" "Sekarang wajahku sangat buruk, sedemikian buruknya hingga nyaris mirip setan bengis yang kabur dari dalam neraka "

Siang Hu-hoa tidak komentar, dia hanya membungkam diri. "Aku rasa setan bengis yang kabur dari neraka jauh lebih

tampan ketimbang wajahmu itu!" nyaris perkataan ini

meluncur keluar dari mulut Nyo Sin.

"Sekarang, urusan identitas Liong kongcu sudah jelas" timbrung Ko Thian-liok tiba tiba, "ini berarti sudah tidak ada masalah lain yang mengganjal, bagaimana kalau sekarang kita berbicara ke soal pokok, urusan yang ada hubungannya dengan warisan Jui Pak-hay"

Siang Hu-hoa menyatakan setuju.

Nyo Sin pun berpaling ke arah Liong Giok-po sambil bertanya:

"Seberapa banyak yang Liong kongcu ketahui tentang peristiwa ini?"

"Sedikit sekali" jawab Liong Giok-po, "aku hanya tahu dari mulut petugas opas yang mengatakan bahwa Jui Pak-hay telah mencantumkan namaku sebagai salah satu ahli waris kekayaannya"

"Karena alasan itu maka kau segera datang kemari?" "Jui Pak-hay merupakan hartawan paling kaya di wilayah

Kanglam, sedang aku sedang kehabisan uang belakangan ini, masa aku tidak segera datang kemari setelah mendengar kabar itu?"

"Apakah kau punya hubungan persaudaraan atau famili dengan Jui Pak-hay?" kembali Nyo Sin bertanya.

"Sama sekali tidak punya hubungan apa apa" "Kalau begitu kau adalah sahabat karibnya?" "Aku hanya tahu kalau di wilayah Kanglam terdapat seorang hartawan kaya raya seperti dia itu"

"Berarti kalian belum pernah bersua muka?" "Pernah, dua kali"

"Di mana?"

"Kalau tidak salah ingat, terjadi ditengah jalan" "Darimana kau bisa tahu kalau dia adalah Jui Pak-hay?"

"Pertama kali bersua, kebetulan aku sedang jalan bersama beberapa orang teman"

"Berarti dari antara teman temanmu itu ada yang kenal dengannya?"

"Benar"

"Dari teman temanmu itulah kau baru tahu tentang Jui Pak- hay?"

"Benar"

"Selain itu, berarti kalian sama sekali tidak punya hubungan apa apa?"

"Tidak ada"

"Kalau begitu aneh sekali, kenapa dia menunjukmu sebagai salah satu ahli waris harta kekayaannya?"

"Aku sendiripun keheranan, justru karena itu aku khusus datang kemari untuk mencari tahu"

"Oooh ?"

"Persoalan itulah yang menjadi penyebab utama kehadiranku hari ini" kata Liong Giok-po lebih jauh, setelah berhenti sejenak, terusnya, "dalam surat wasiat yang ditinggalkan Jui Pak-hay, sebenarnya apa yang dia katakan?" "Dalam surat wasiatnya tertulis sangat jelas, bahwa setelah kematiannya maka seluruh harta kekayaan yang dimilikinya diwariskan kepada tiga orang, masing masing memperoleh bagian yang sama"

"Siapa dua orang yang lain?"

Untuk sesaat Nyo Sin tidak mampu menjawab pertanyaan itu, untung Siang Hu-hoa segera menimpali:

"Mereka adalah Cu Hiap dan Wan Kiam-peng!"

"Mereka berdua adalah sahabatku, sahabatku yang paling akrab" Liong Giok-po menjelaskan.

"Dan mereka semua sudah mati?" sambung Nyo Sin. "Benar" Liong Giok-po mengangguk. "Cu Hiap mati karena

sakit pada dua, tiga tahun berselang?"

"Betul"

"Sedang Wan Kiam-peng tewas dibokong musuhnya pada tujuh, delapan bulan berselang?" lanjut Nyo Sin.

"Benar"

"Mengenai penyebab kematian mereka berdua, apakah kau ada tambahan keterangan yang perlu disampaikan?"

"Cu Hiap memang betul betul mati lantaran sakit, dalam hal ini aku berani memastikan, sebab saat itu kami beberapa orang sahabatnya menunggui dia disamping pembaringan"

"Lalu bagaimana mengenai kematian Wan Kiam-peng?" "Tentang terbunuhnya dia, aku kurang jelas jadi tidak bisa

berkomentar"

"Menurut hasil penyelidikan kami, setiap tanggal satu dan tanggal lima belas, dia pasti akan mendatangi kuil Hui-lay-si di selatan kota untuk makan hidangan tidak bernyawa " "Hidangan tidak bernyawa yang diolah Biau-jiu hwesio memang luar biasa lezatnya"

"Jadi kaupun mengetahui kebiasaannya itu?" desak Nyo Sin lebih jauh.

"Tentu saja tahu"

Setelah berhenti sejenak, kembali ujarnya:

"Aku bahkan masih tahu kalau dia mati dibunuh orang sekembalinya makan hidangan berpantang, mati ditusuk pedang dari belakang punggungnya"

"Apa lagi yang kau ketahui?" "Hanya itu saja yang kuketahui"

"Kau juga kenal dengan musuh besarnya itu?" "Sebagian besar kenal"

"Ada berapa banyak sih orang yang pingin menghabisi nyawanya?"

"Semua musuh besarnya amat membenci dia, sedemikian benci hingga merasuk ke tulang sumsum, semua orang berniat menghabisi nyawanya"

"Menurut analisamu, siapa yang kira kira paling mencurigakan?"

"Semua orang patut dicurigai"

"Diantara sekian banyak musuh besarnya, apakah ada yang mempunyai hubungan erat dengan para pewaris harta kekayaan Jui Pak-hay?"

"Rasanya tidak ada!"

"Sahabat karibnya?" desak Nyo Sin lebih jauh. "Ada"

"Siapa?" "Aku!"

"Maksudku selain kau?"

"Sudah tidak ada lagi" Liong Giok-po tertawa ringan, lanjutnya, "bukankah pewaris harta kekayaan Jui Pak-hay hanya aku, Cu Hiap dan Wan Kiam-peng? Karena Cu Hiap sudah mati duluan, otomatis hanya aku seorang yang punya hubungan dengan dirinya"

Nyo Sin mendengus dingin dan tidak berkata lagi.

Setelah hening sesaat, Liong Giok-po kembali berkata: "Bagaimana sih cara pembagian warta warisan Jui Pak-

hay?"

"Di dalam surat wasiatnya Jui Pak-hay telah menulis semuanya itu secara jelas" ujar Ko Thian-liok, "dia bilang, sepeninggal dirinya maka semua harta kekayaannya dibagi rata antara kau, Cu Hiap dan Wan Kiam-peng "

"Seandainya ada satu diantara ke tiga orang itu mati duluan?" tukas Liong Giok-po.

"Maka haknya akan jatuh ke tangan anak cucu orang itu"

"Berarti bila kami bertiga keburu mati duluan, maka harta warisan itu akan dibagi rata diantara anak cucu kami bertiga?"

"Benar"

'Tapi Cu Hiap tidak pernah berkeluarga "

'Berarti bagiannya akan dibagi rata antara anak cucumu dan anak cucu Wan Kiam-peng" Ko Thian-liok menjelaskan.

"Wan Kiam-peng tidak pernah berkeluarga, dia selalu hidup sebatang kara, tidak punya bini tidak punya keturunan"

"Itu berarti semua warisannya akan jatuh ke tanganmu atau anak cucumu" "Kebetulan sekali aku pun sama seperti mereka, tidak punya keturunan" kata Liong Giok-po sambil tertawa.

"Tapi kau toch masih hidup"

"Memangnya seluruh harta warisan dari Jui Pak-hay akan diserahkan kepadaku seorang?" Liong Giok-po mencoba menegaskan.

"Tepat sekali!"

Mula mula Liong Giok-po agak tertegun, kemudian serunya sembari tertawa tergelak:

"Hahahaha untungnya sekarang aku baru mengetahui

persoalan ini, kalau tidak, orang pasti akan curiga kalau kematian ke dua orang itu ada sangkut pautnya dengan diriku"

Ko Thian-liok tertawa.

Setelah hening sejenak, kembali Liong Giok-po bertanya: "Seandainya aku pun sudah mati, lalu bagaimana cara

untuk menyelesaikan harta warisan dari Jui Pak-hay ini?"

"Maka semua harta kekayaannya akan diserahkan kepada sahabat karibnya " sambung Ko Thian-liok.

Belum sempat dia menyebut nama, sorot mata Liong Giok- po sudah dialihkan ke wajah Siang Hu-hoa sembari bertanya:

"Apakah Siang Hu-hoa, saudara Siang?"

"Tepat sekali. Jadi kaupun tahu kalau mereka adalah sahabat karib?"

"Tentu saja tahu"

"Saudara Siang sendiripun baru sehari berselang membaca surat wasiat dari Jui Pak-hay itu"

"Benarkah begitu?" kalau didengar dari nada suaranya, dia seakan kurang begitu percaya dengan kejadian ini. Siang Hu-hoa bukan orang bodoh, tentu saja dia dapat menangkap maksud tersebut, segera ujarnya:

"Jadi kau curiga akulah yang telah membunuh Cu Hiap dan Wan Kiam-peng?"

"Tidak, tidak pernah ada pikiran semacam itu" sangkal Liong Giok-po, kemudian setelah tertawa terusnya, "tidak bisa disangkal Cu Hiap mati lantaran sakit, sedangkan Wan Kiam- peng, semisal saudara Siang menghendaki nyawanya, dengan kemampuan ilmu silat yang kau miliki rasanya tidak perlu membokong dari belakang" Siang Hu-hoa hanya tertawa hambar.

Setelah menghela napas panjang kembali Liong Giok-po berkata:

"Aku merasa tidak semestinya Jui Pak-hay meninggalkan surat wasiat seperti ini"

"Oya?"

"Surat wasiat tersebut tidak seharusnya ditulis dengan cara begini"

"Lalu mesti ditulis dengan cara apa?" tanya Siang Hu-hoa. "Seharusnya dibalik"

"Oooh... bagaimana terbaliknya?"

"Begini, dalam surat wasiat itu seharusnya ditulis bahwa seluruh harta kekayaan miliknya akan diwariskan kepada saudara Siang jika dia meninggal, bila ada sesuatu hal yang terjadi dengan saudara Siang, warisan itu baru dibagi merata antara aku, Wan Kiam-peng dan Cu Hiap"

"Benarkah?"

"Dengan ditulis begitu, paling tidak saat ini aku tidak akan terancam bahaya maut" "Oooh, jadi kau takut aku mencelakaimu gara gara warisan dari Jui Pak-hay itu?"

"Benar, aku sangat kuatir"

"sayangnya harta kekayaan itu masih belum kupandang sebelah mata pun" ujar Siang Hu-hoa sambil tertawa hambar.

"Sebenarnya seberapa banyak harta kekayaan yang akan diwariskan itu?" mendadak Liong Giok-po bertanya.

Cepat-cepat Nyo Sin menjawab: "Semuanya terdiri dari tujuh buah peti besi yang masing masing berisi mutu manikam, intan permata, emas dan perak serta puluhan jenis benda mestika yang tidak ternilai harganya"

Ketika mendengarkan penjelasan itu, Liong Giok-po sama sekali tidak menunjukkan reaksi apa pun. Padahal jumlah harta karun yang disebutkan itu merupakan sebuah nilai yang luar biasa, cukup membuat orang saling membunuh untuk mendapatkannya.

Agaknya Siang Hu-hoa memperhatikan terus semua perubahan sikap Liong Giok-po, serunya tiba tiba:

"Aku lihat kekayaan yang luar biasa itu sama sekali tidak kau pikirkan dihati?"

"sayang bagiku, harta karun seperti itu sudah tidak cukup untuk merangsang hawa napsu ku" jawab Liong Giok-po sambil tertawa.

"Tanpa sebab yang jelas, kau peroleh hibah sedemikian besarnya, masa sedikitpun tidak gembira?" sela Nyo Sin.

"Untuk merasa kuatir saja masih belum sempat, mana ada waktu untuk menikmati kegembiraan ini?"

"Jadi kau benar benar merasa kuatir?" "Memangnya aku sedang berbohong?" "Dengan cara apa rasa takut itu baru bisa hilang dari perasaanmu?"

"Cukup membalikkan urutan penerima warisan itu dari pewaris utama menjadi pewaris cadangan"

"Hanya sebuah cara saja?" "Benar!"

"Untuk mewujudkan harapanmu itu terkecuali Jui Pak-hay hidup kembali " seru Nyo Sin.

"Jika Jui Pak-hay hidup lagi, aku malah tidak usah menerima warisan harta kekayaannya lagi"

Dengan sorot mata yang tajam tidak tahan Nyo Sin mengawasi orang itu lekat-lekat, lama kemudian ia baru berkata lagi:

"Kau benar benar kuatir kalau kalau Siang tayhiap

bakal membunuhmu?"

"Yaa, sangat kuatir!" jawaban Liong Giok-po masih tetap sama seperti jawaban semula.

"Memangnya saudara Siang adalah manusia type begitu?" timbrung Ko Thian-liok tiba tiba.

"Tentu saja akupun berharap dia bukan manusia macam begitu"

"Kau seolah mempunyai pandangan antipatik terhadap dirinya?"

Liong Giok-po tidak menyangkal, tapi diapun tidak bicara. "Apakah persoalan ini lantaran masalah kejiwaan?" "Semoga saja memang karena masalah kejiwaan, selama

aku tetap hidup aman dan selamat sebelum kuterima harta

warisan itu, kalau tidak, jangan harap dia bisa lolos dari kecurigaan ini" Tanpa terasa sorot mata Ko Thian-liok dan Nyo Sin bersama-sama dialihkan ke wajah Siang Hu-hoa.

Siang Hu-hoa sama sekali tidak memberikan pernyataan apa pun.

"Orang yang mampu membunuhku hanya dia seorang" kembali Liong Giok-po berkata, "sementara orang yang akan peroleh keuntungan dengan kematianku juga hanya dia seorang" Siang Hu-hoa tertawa hambar. "Dunia persilatan ibarat gua macan sarang naga, mana mungkin hanya aku seorang yang mampu membunuhmu, apalagi harta kekayaan yang dimiliki Jui Pak-hay sama sekali tidak kupandang sebelah mata pun"

"Kau pandang atau tidak, toch hanya kau seorang yang tahu?" jengek Liong Giok-po.

Hampir semua perkataan yang dia ucapkan seolah tertuju langsung kepada Siang Hu-hoa, dia seakan merasa sangat tidak leluasa dengan kehadiran orang itu.

Tapi Siang Hu-hoa tidak menanggapi, sikapnya seakan tidak pernah terjadi suatu peristiwa apapun disitu, dia pun tidak membantah ataupun berusaha berdebat.

Terdengar Liong Giok-po berkata lebih jauh: "Sejujurnya, akupun tidak merasa aneh seandainya saudara Siang tidak memandang sebelah matapun atas harta kekayaan dari Jui Pak-hay, sebab siapa tahu kemampuan saudara Siang dalam mencari duit jauh lebih lihay ketimbang Jui Pak-hay, tentu saja nilai segitu tidak dianggap sebelah mata olehnya" Siang Hu-hoa tetap tidak berbicara. Dalam pada itu sorot mata Ko Thian-liok dan Nyo Sin telah dialihkan ke wajah mereka berdua, dari balik sinar matanya terpancar perasaan heran dan ragu yang sangat tebal.

Sikap maupun cara berbicara Siang Hu-hoa dan Liong Giok- po memang sangat aneh. Baru saja Ko Thian-liok ingin bertanya, Liong Giok-po telah berkata kepadanya:

"Kini, setelah identitasku terbukti tidak ada masalah, semestinya pelaksanaan penyerahan harta warisan bisa segera dilakukan bukan?"

"Benar"

"Sekarang apakah aku boleh segera memeriksa harta karun yang diwariskan Jui Pak-hay kepadaku?"

"Sekarang?" tanya Ko Thian-liok tercengang. "Yaa, sekarang!"

"Kau tahu sekarang sudah larut malam" teriak Nyo Sin lantang, "lebih baik dilaksanakan besok saja"

Liong Giok-po seperti ingin membantah, tapi akhirnya sambil tertawa dia berkata:

"Baiklah, cepat atau lambat toch barang barang itu sudah menjadi milikku, baiklah, besok pagi baru kita periksa"

Kemudian setelah berhenti sejenak, kembali ia bertanya: "Harta karun itu disimpan di mana sekarang?"

"Dalam perpustakaan Ki-po-cay"

"Setahuku, dia bukan seseorang yang ceroboh dalam melakukan pekerjaan"

"Kau kira harta karun itu diletakkan di sembarangan tempat?" seru Nyo Sin.

"Memangnya bukan?"

"Tentu saja bukan, semua harta karun itu disimpannya didalam ruang bawah tanah, ruang rahasia itu terletak di bawah perpustakaan"

"Dia menyimpan harta karun itu di ruang bawah tanah?" "Benar"

"Pintu masuk menuju ke ruang bawah tanah itu pasti sangat rahasia?"

"Tentu saja"

"Biar serahasia apa pun, asal punya waktu yang cukup pada akhirnya akan terbongkar juga"

"Kau tidak usah kuatir, pintu rahasia itu dilengkapi dengan alat perangkap yang sangat lihay, bila tidak menguasahi rahasia itu, siapa pun pasti akan mampus bila berani menerobos masuk ke situ"

"Kalau begitu kita matikan dulu semua alat perangkap itu" "Kau anggap gampang untuk mematikan alat perangkap

itu?"

"Memangnya kenapa?"

"Kau tahu, Jui Pak-hay itu murid siapa?" "Memangnya siapa?"

"Hian kicu, dia seorang ahli tehnik yang sangat mahir membuat alat perangkap, sementara Jui Pak-hay adalah murid andalannya, kau anggap dia tidak mewarisi seluruh kepandaian perguruannya?"

"ehmmm, dia pasti sudah mewarisi semua kepandaian gurunya" Liong Giok-po mengangguk, "kalau begitu alat perangkap yang dipasang Jui Pak-hay di ruang bawah tanah pasti luar biasa lihaynya"

Walaupun dalam hati kecilnya Nyo Sin tetap merasa sangsi, namun dia mengangguk juga

berulang kali.

"Yaa, memang sangat hebat, sangat mengerikan"

"Selama ini alat jebakan tersebut dibiarkan berjalan terus?" "Kalau tidak dibiarkan berjalan terus, buat apa mesti dilengkapi alat perangkap seperti itu?"

"Berarti kalian sudah pernah memasuki ruang rahasia itu?" seru Liong Giok-po lagi.

"Benar"

"Kenapa kalian bisa masuk ke situ?" tanya Liong Giok-po keheranan.

"Kesemuanya ini berkat bantuan dari saudara Siang" Nyo Sin menjelaskan sambil berpaling ke arah lelaki itu.

"Benarkah?"

"Saudara Siang dengan Jui Pak-hay adalah sahabat karib, tentu saja diapun cukup luas pengetahuannya tentang alat perangkap"

"Ketika meninggalkan ruang rahasia itu, apakah semua alat perangkap dijalan kembali seperti sedia kala?"

Nyo Sin mengangguk, baru saja dia hendak mengucapkan sesuatu, Liong Giok-po telah berkata lagi:

"Apakah kalian pun menempatkan penjaga diluar bangunan perpustakaan itu?"

"Benar"

Liong Giok-po segera berpaling ke arah Siang Hu-hoa, dengan nada penuh selidik dia bertanya:

"Selama berapa hari ini dimana saudara Siang berada?" "Sebagian besar waktu berada dalam perpustakaan itu"

"Mau apa kau mengendon terus disitu?" teriak Liong Giok- po tanpa sadar. "Melacak kasus ini"

"Hmmm, sejak kapan saudara Siang bergabung dengan alat negara dan menjadi seorang opas? Kenapa tidak ada kabar beritanya di dalam dunia persilatan?" "Aku bukan opas, akupun tidak bergabung dengan alat negara" bantah Siang Hu-hoa. Ko Thian-liok segera menimpali pula: "kehadiran saudara Siang kali ini adalah atas undangan dari Jui Pak-hay, tapi sewaktu dia tiba disini, Jui Pak-hay sudah keburu mati, sebab kematiannya aneh dan penuh misteri, bahkan sampai sekarang pun duduknya perkara belum terungkap, maka dia tetap tinggal disini untuk membantu kami menyingkap tabir rahasia ini"

"Memangnya tidak punya tujuan lain?" sindir Liong Giok-po. Pertanyaan ini hanya bisa dijawab Siang Hu-hoa seorang,

namun lelaki itu sama sekali tidak menunjukkan reaksinya.

Dengan sorot mata yang tajam Liong Giok-po mengawasi terus wajah Siang Hu-hoa, tiba tiba tanyanya lagi:

"Saudara Siang, sebenarnya karena apa kau bersedia menjual tenaga bagi kasus ini?"

"Karena Jui Pak-hay pernah jadi sahabatku" jawab Siang Hu-hoa hambar.

"Aku tahu, kalian memang pernah jadi sahabat karib" Siang Hu-hoa manggut-manggut.

"Akupun tahu" sambung Liong Giok-po lebih jauh, "bahwa kalian sudah bentrok sejak tiga tahun berselang dan sejak itu kalian tidak pernah berhubungan lagi"

"Hmmm, kelihatannya tidak sedikit yang kau ketahui" seru Siang Hu-hoa sambil tertawa dingin.

"Benar, memang tidak sedikit yang aku tahu"

"Apakah kau pun tahu kalau dia pernah menyelamatkan jiwaku, dan sampai sekarang aku belum menemukan kesempatan untuk membayar hutang budi itu?"

"Kalau soal ini mah aku baru mendengar pertama kali ini" jawab Liong Giok-po, setelah tertawa sinis, lanjutnya, "sesungguhnya alasan semacam ini memang merupakan sebuah alasan yang amat jitu dan baik"

Jelas dibalik ucapan tersebut masih mengandung arti yang lain.

Tapi Siang Hu-hoa tidak menanggapi, menggubris pun tidak.

Dengan mata berkedip kedip kembali Liong Giok-po berseru:

"Waaah, setelah mendengar semua keterangan ini, aku jadi tidak lega hati sebelum pergi melakukan peninjauan sendiri"

Ko Thian-liok termenung sebentar, lalu sahutnya:

"Kalau memang kau sudah ditetapkan menjadi ahli waris semua harta kekayaan milik Jui Pak-hay, tentu saja kau berhak untuk meninjau harta kekayaan itu, meskipun saat ini kurang leluasa rasanya, tapi jika kau bersikeras ingin melihatnya sekarang juga, aku rasa permintaanmu tidak bisa kutampik lagi"

"Hahahaha "Liong Giok-po tertawa

tergelak, "orang bilang Ko thayjin sangat adil, ternyata berita ini tidak keliru"

0-0-0
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar