Bab 18: Membingungkan
Siang Huhoa segera mengalihkan sorot matanya ke wajah Kwee Bok, tanyanya:
"Sudah kau dengar semua penjelasannya?" Tidak kuasa lagi Kwee Bok mengangguk.
"Apakah semua yang dia tuturkan adalah kenyataan?" desak Siang Huhoa.
Sekujur badan Kwee Bok bergetar keras, tiba-tiba dia berteriak lantang:
"Siapa bilang semuanya kenyataan, dia sedang bohong!"
Mendadak tubuhnya menubruk maju ke muka, sambil mencengkeram dada Si Siang-ho teriaknya lagi:
"Kenapa kau harus berbohong? Kenapa kau harus menfitnah aku? Kenapa harus mencelakai aku?"
Si Siang-ho sama sekali tidak berkelit, dia membiarkan Kwee Bok mencengkeram baju dibagian dadanya, dia pun tidak berubah membantah, sorot matanya malah dialihkan memandang ke wajah Siang Huhoa.
Sementara itu Siang Huhoa sendiripun hanya berdiri tanpa bergerak, sebab pada saat itulah Tu Siau-thian dan Nyo Sin sudah maju ke depan dan satu dari kiri yang lain dari kanan telah menangkap sepasang tangan Kwee Bok serta menariknya dengan paksa hingga cengkeraman pemuda itu terlepas. "Kalian jangan percaya dengan perkataannya" jerit Kwee Bok sambil meronta keras.
"Tutup mulutmu!" bentak Nyo Sin lantang, suara bentakan yang begitu nyaring itu seketika membuat Kwee Bok terbungkam.
Saat itulah Siang Huhoa baru berkata:
"Mari kita naik ke loteng untuk memeriksa dulu kawanan Laron Penghisap darah tersebut"
Si Siang-ho yang pertama menyetujui usulan itu, sahutnya sambil mengangguk:
"Mari ikut aku!"
Dia segera membalikkan badan dan beranjak masuk ke dalam rumah penginapan diikuti Siang Hu-hoa di belakangnya.
Kwee Bok merupakan orang ke dua yang menguntil di belakangnya, bukan karena kemauan sendiri tapi Nyo Sin dan Tu Siau-thian lah yang mendorong tubuhnya agar bergerak masuk duluan.
Sembari mendorong tubuhnya Nyo Sin dan Tu Siau-thian segera menghunus pula goloknya untuk bersiap sedia.
Mereka berharap bisa secepatnya membuktikan apakah semua keterangan yang diberikan Si Siang-ho merupakan kenyataan.
Mungkin saja Kwee Bok terkecuali, tapi sayang dia tidak mampu berbuat lain kecuali mengikuti rombongan itu, sebab didepan ada Si Siang-ho dan Siang Huhoa sementara dibelakangnya mengikuti Tu Siau-thian dan Nyo Sin, semua tindak tanduknya sudah diluar kontrol diri sendiri, bahkan mau pergi meninggalkan tempat itupun sudah menjadi masalah.
Baginya hanya ada satu jalan bila ingin pergi meninggalkan tempat itu, yakni kecuali dia memang benar-benar seorang siluman. Entah sudah berapa lama rumah penginapan itu tidak pernah disapu dan dibersihkan, sebagian besar tempat telah dilapisi sarang laba-laba yang tebal, bahkan debu dan kotoran nyaris mengotori setiap tempat.
Sebuah bangunan rumah yang pada dasarnya sudah jelek, kuno dan mengenaskan, kini nampak lebih jelek, lebih kuno dan lebih mengenaskan lagi.
Hanya anak tangga menuju ke bangunan loteng yang nampak agak bersih, mungkin lantaran terlalu sering digunakan untuk berlalu lalang, walau begitu, bentuknya kelihatan tidak begitu kokoh, sewaktu berjalan diatasnya, anak tangga itu segera memperdengarkan suara mencicit yang keras, seakan setiap saat anak tangga itu bisa patah dan roboh.
Dengan perasaan kebat kebit Nyo Sin ikut menaiki anak tangga itu, baru berapa langkah dia sudah berseru sambil tertawa:
"Terus terang, aku kuatir kalau anak tangga ini patah dan roboh secara tiba-tiba"
"Soal ini kau tidak usah kuatir" jawab Si Siang-ho sambil menghentikan langkahnya dan berpaling, "setiap hari, paling tidak aku naik turun sebanyak dua kali, bukankah hingga sekarang aku masih tetap hidup segar bugar?"
"Sebetulnya tempat ini cukup bagus, hanya sayang debu dan sarang laba-labanya kelewat banyak, kenapa tidak kau bersihkan?"
"Sebab aku tidak punya waktu senggang" "Apa yang kau sibukkan setiap hari?" "Minum arak" "Kelihatannya nasib rumah penginapan Hun-lay sudah mendekati masa akhirnya" gumam Nyo Sin sambil menggelengkan kepalanya berulang kali.
Si Siang-ho tidak menjawab, dia hanya tertawa. Kembali Nyo Sin berkata:
"Heran, kenapa kau bisa betah bertempat tinggal di tempat seperti ini?"
"Nyo tayjin, apakah kau tertarik juga dengan arak?" kembali Si Siang-ho tertawa.
"Aku jamin arak yang telah kuminum tidak lebih sedikit dari apa yang telah kau minum" sahut Nyo Sin sambil manggut- manggut.
"Indah bukan impian sewaktu mabok?" mendadak Si Siang- ho bertanya.
"Tentu, indah sekali" sahut Nyo Sin, setelah berhenti sejenak, lanjutnya, "setiap kali berada dalam mendusin, aku tahu bahwa diriku hanya seorang opas, tapi begitu sudah memasuki impian indah ketika sedang mabuk, aku selalu merasa diriku bukan seorang opas lagi, tapi seorang raja muda"
"Itulah dia" seru Si Siang-ho segera, "hampir sepanjang tahun aku berada dalam impian mabuk ku"
"Maka kau tidak acuh dan tidak ambil perduli terhadap lingkungan yang dalam kenyataan mengelilingi dirimu?"
"Betul, aku sama sekali tidak acuh"
Sementara pembicaraan masih berlangsung, mereka berlima sudah tiba diatas bangunan loteng.
Sebelum melangkah masuk ke ruang atas, semua orang sudah mengendus semacam bau busuk yang sangat memualkan, sedemikian busuknya bau yang tersebar membuat setiap orang nyaris muntahkan seluruh isi perutnya, apalagi ketika melangkah masuk ke dalam ruang atas, bau busuk itu semakin menusuk penciuman.
Mereka semua seolah-olah sudah terjerumus ke dalam alam kebusukan, bau busuk yang menyebar luas seolah sedang menyusup ke dalam tubuh mereka dan mulai beredar dalam badan mengikuti aliran darah.
Tiba-tiba saja mereka merasakan cairan darah dalam tubuh masing masing seakan ikut mulai berbau, seakan seluruh badan mereka ikut mengeluarkan bau busuk yang menusuk hidung.........
Untung saja semuanya itu bukan sebuah kenyataan!
0-0-0
Sebuah beranda yang memanjang terbentang dihadapan mereka semua.
Dikedua sisi beranda itu masing masing terdapat empat buah kamar disisi kiri dan empat kamar disisi kanan, saat ini ada tujuh buah kamar yang terbuka lebar pintu dan jendela kamarnya, hanya ruang disudut paling kiri yang terkecuali.
Pintu dan jendela ruang kamar itu hampir semuanya tertutup rapat, sebelah sisi kiri pintu merupakan ujung paling dalam dari beranda itu tersusun beberapa buah kerangkengan besi, bau busuk yang memuakkan itu tampaknya muncul dari balik ruangan tersebut.
Sebelum mereka mendekati ruangan itu, lamat lamat terdengarlah suara yang sangat aneh berkumandang keluar dari dalam ruangan itu, suara tersebut mirip suara serombongan manusia yang bersama-sama sedang mengunyah sesuatu benda. Terhadap suara asing semacam itu, Siang Hu-hoa, Tu Siau- thian maupun Nyo Sm tidak merasa terlalu asing.
Tanpa sadar paras muka mereka bertiga berubah hebat, badan mereka merinding keras hingga bersin berulang kali.
"Jadi kawanan laron itu berdiam didalam kamar itu?" tanya Tu Siau-thian kemudian dengan wajah hijau membesi.
Si Siang-ho manggut manggut membenarkan.
"Dan kau juga yang membuka kerangkeng besi itu serta melepaskan mereka semua?" tanya Tu Siau-thian lebih jauh.
"Bukan aku, tapi dia!" jawab Si Siang-ho sambil melirik Kwee Bok sekejap.
"Omong kosong!" teriak Kwee Bok gusar.
Si Siang-ho sama sekali tidak menggubris, katanya lebih jauh:
"Sewaktu baru dipindahkan kemari, dialah yang membuka kerangkengan itu serta melepaskan mereka semua"
"Selanjutnya kau yang setiap hari masuk ke dalam kamar untuk mengirim kawanan kelinci itu?"
"Benar"
"Setiap kali sedang bekerja, apakah kau berada dalam keadaan mabuk?"
"Sebelum menghantar kawanan kelinci itu kepada mereka, aku tidak berani menyentuh arak walau hanya setetes pun"
"Oya?"
"Sebab aku kuatir napsu minumku kambuh hingga benar- benar dibikin mabuk, kalau sampai aku masuk dalam keadaan mabuk, bisa berabe nantinya " "Bukankah selama ini kau selalu masuk ke dalam kamar untuk menghantar kelinci kelinci itu? Kenapa bisa berabe?" tanya Tu Siau-thian keheranan.
"Tidak, aku sendiri tidak punya keberanian sebesar itu" seru Si Siang-ho sambil gelengkan kepalanya berulang kali.
"Lalu dengan cara apa kau laksanakan tugas itu?"
"Diatas pintu ruangan terdapat sebuah pintu otomatis, aku cukup memasukkan kelinci kelinci itu seekor demi seekor melalui pintu otomatis"
Dia segera mempercepat langkah kakinya mendekati ruangan itu, kemudian tangannya menekan sebuah tombol diatas pintu.
Begitu tombol tersebut ditekan maka terbukalah sebuah lubang pintu selebar satu depa, tapi begitu tombol dilepas, pintu itupun menutup secara otomatis.
Tiba-tiba Siang Hu-hoa menatap wajah Si Siang-ho lekat- lekat lalu berkata:
"Kalau tadi aku melihat kau masih dipengaruhi oleh mabuk, tapi sekarang aku lihat tidak secuwilpun pengaruh arak yang masih tersisa ditubuhmu"
"Betul, sekarang pengaruh arak dalam tubuhku benar- benar telah punah" jawab Si Siang-ho, kemudian setelah otot tenggorokannya nampak mengejang, dia lanjutkan, "suara seperti ini, bau memuakkan semacam ini tidak disangkal merupakan obat penghilang mabuk yang paling jitu dan mujarab"
Mau tidak mau Siang Hu-hoa harus mengangguk juga, sebab apa yang dia katakan memang sangat tepat.
Kini mereka telah tiba didepan ruang kamar itu, segerombol laron sedang mengunyah sesuatu karena menimbulkan suara kunyahan yang aneh, tajam, melengking dan sangat menegangkan syarat, bahkan bau busuk yang tersiar keluar seolah sudah menembusi dinding lambung dan dinding usus mereka.
Dia memang tidak sampai memuntahkan isi perutnya, namun lambungnya terasa mulai menyusut kencang dan mengejang keras.
"Kenapa bisa begitu bau?" gumamnya tanpa terasa, dia berjalan semakin mendekat lalu menekan tombol diatas pintu sehingga pintu otomatis itu terbuka sedikit.
Bau busuk terendus makin tajam dan keras, dia mencoba untuk menahan napas sambil melongok ke dalam ruang kamar itu.
Laron Penghisap darah!
Ada sekamar penuh Laron Penghisap darah yang sedang beterbangan disana!
Dalam ruang kamar itu tidak ada perabot lain, semua barang yang semula terdapat disetiap kamar penginapan kini nyaris sudah terangkut keluar semua, yang tersisa hanya sebuah rak yang terbuat dari bambu.
Rak bambu itu lebarnya mencapai separuh ruang kamar itu, batang bambu yang digunakan pun merupakan batang bambu alami yang belum dibersihkan, bahkan daun daun bambu pun masih nampak berserakan disana sini.
Beribu ekor Laron Penghisap darah itu berada disekeliling dahan dan ranting bambu itu, ada yang sedang terbang mengelilingi rak bambu ada pula yang hinggap diantara ranting dan dedaunan, matanya yang merah dan sayapnya yang hijau membuat pemandangan yang menawan ditempat itu.
Dalam pandangan mata Siang Hu-hoa, semua keindahan yang ditampilkan laron laron itu justru mendatangkan perasaan ngeri dan seram yang menggidikkan hati. Ternyata jendela dibagian luar ruang kamar itu berada dalam keadaan terbuka lebar.
Biarpun jendela dalam keadaan terbuka, namun kawanan Laron Penghisap darah itu tidak seekor pun yang terbang keluar dari ruang kamar itu, mereka hanya beterbangan disekeliling rak bambu.
Didepan rak bambu itu berserakan setumpuk tulang belulang, bukan tulang belulang manusia, dari bentuk dan wujudnya tulang itu semestinya tulang belulang dari kelinci.
Tumpukan tulang belulang itu memancarkan sinar putih yang pucat, pantulan sinar yang aneh sekali, seolah setelah dikerati daging dan kulitnya kemudian dicuci bersih dengan air dan diskat satu per satu.
Siang Hu-hoa menghembuskan napas dingin, buru buru dia lepaskan tombol rahasia itu dan mundur tiga langkah.
Tu Siau-thian dan Nyo Sin segera maju ke depan menggantikan posisi Siang Hu-hoa tadi.
Tapi begitu melihat suasana dalam ruang kamar itu, paras muka mereka berubah langsung berubah hebat, cepat-cepat mereka pun mundur ke belakang.
Dengan kedua belah tangannya Nyo Sin memegangi tenggorokan sendiri, dia seakan harus berbuat begini agar isi perutnya tidak sampai tumpah keluar.
Lama kemudian, Siang Huhoa baru menghembuskan napas panjang, kepada Si Siang-ho tanyanya:
"Kenapa semua jendela bagian luar bisa dalam keadaan terbuka?"
Sekali lagi Si Siang-ho mengerling Kwee Bok sekejap, kemudian jawabnya:
"Mungkin saja agar kawanan laron itu bisa masuk keluar dengan lebih leluasa, mengenai bagaimana caranya untuk membuka jendela itu lebih baik tanyakan saja langsung
kepadanya"
Sementara itu Kwee Bok sudah berjalan menuju ke depan pintu amar, dia pun ikut melongok ke dalam melalui pintu otomatis, tapi tidak lama kemudian paras mukanya ikut berubah sangat hebat.
Tampaknya dia sama sekali tidak mengetahui tentang semua persoalan disitu, diapun seakan tidak mendengar apa yang diucapkan Si Siang-ho barusan, kali ini dia sama sekali tidak menunjukkan reaksi apapun.
"Kau bilang, dia yang membuka jendela jendela itu?" tanya Siang Huhoa kemudian.
"Sebelum melepaskan kawanan laron itu ke dalam ruangan tersebut, dia sudah membuka semua jendela itu terlebih dulu"
"Tidak kuatir kawanan Laron Penghisap darah itu kabur melalui jendela?" tanya Siang Huhoa keheranan.
"Aku sendiripun merasa agak heran, di hari hari biasa kawanan laron itu hanya beterbangan didalam ruang kamar, tidak seekor pun yang berusaha untuk terbang keluar dari situ"
Siang Hu-hoa kembali berpikir sejenak, kemudian tanyanya lagi:
"Apakah tumpukan tulang belulang yang ada didepan rak bambu itu adalah tulang belulang dari kawanan kelinci?"
"Benar"
"Tapi aku lihat tulang belulang dari tiga puluh ekor kelinci pun tidak genap?"
"Tepat tiga puluh ekor!" "Tiga puluh ekor kelinci hanya cukup untuk rangsum tiga hari, memangnya kawanan Laron Penghisap darah itu sudah melalap habis sisa sisa tulang belulang yang dulu?"
Si Siang-ho kembali memandang Kwee Bok sekejap, kemudian katanya:
"Setiap kali datang menghantar kelinci baru, dia pasti akan masuk ke dalam ruangan dan membersihkan sisa-sisa tulang belulang kelinci yang sudah terlalap habis"
"Ooh rupanya begitu, aku masih mengira kawanan Laron Penghisap darah itu sudah melalap habis seluruh kelinci itu berikut tulang belulangnya" ujar Siang Huhoa sambil manggut manggut, kemudian dia bertanya lagi:
"Apakah kau tahu semua tulang belulang kelinci itu sudah dipindahkan ke mana?"
"Aku hanya tahu semua tulang belulang itu dia angkut pergi dengan menggunakan kereta kuda"
Kembali Siang Huhoa manggut manggut, baru saja dia akan mengajukan pertanyaan lagi, mendadak hidungnya mengendus semacam bau harum yang sangat aneh.
Bau harum itu tidak diketahui berasal dari benda apa, juga tidak diketahui bersumber dari mana, bau itu seolah olah ada tapi seolah olah tidak ada, kadang baunya tipis kadang baunya menebal dan melayang layang terus ditengah udara.
Siang Hu-hoa belum pernah mendengus bau harum semacam ini.
Dia segera memusatkan seluruh perhatiannya dan baru saja akan menyelidiki sumber dari bau harum itu, tiba-tiba dia menjumpai bahwa suara dengungan dan suara mengunyah yang semula amat ramai mendadak jadi mereda, sebaliknya suara kepakan sayap kian lama kian bertambah ramai dan keras. Dengan satu gerakan refleks dia melompat ke depan, mendorong tubuh Kwee Bok kesamping lalu menekan tombol dan melongok ke dalam ruangan.
Tampak olehnya beribu-ribu ekor Laron Penghisap darah yang semula berkerumun diatas rak bambu itu kini sudah mengepakkan sayapnya dan beterbangan keluar dari ruangan melalui daun jendela.
Menyaksikan kejadian itu Siang Huhoa nampak tertegun, gumamnya:
"Heran, tidak ada hujan tidak ada angin, kenapa secara tiba- tiba pada terbang pergi?"
Tu Siau-thian maupun Nyo Sin serentak menerjang maju dan melongok ke dalam ruangan, tapi dengan cepat paras muka ke dua orang itupun diliputi perasaan tercengang bercampur tidak habis mengerti.
"Mungkin saja kawanan laron itu terpengaruh oleh bau harum ini" ujar Si Siang-ho pelan, tampaknya diapun turut mengendus bau harum yang sangat aneh itu.
"Berasal dari benda apakah bau harum itu?" tanya Siang Huhoa.
"Entahlah, aku sendiri juga kurang jelas" sahut Si Siang-ho seraya menggeleng.
"Sebelum hari ini, apakah kau pernah mengendus bau harum semacam ini?"
"Pernah, malah beberapa kali"
"Kira-kira kapan kau pernah mengendus bau harum itu?" sela Siang Huhoa.
"Sesaat sebelum gerombolan laron itu terbang meninggalkan kandangnya" "Oooh " seru Siang Hu-hoa, dia melongok lagi ke dalam
ruangan, ternyata hanya dalam waktu singkat beribu-ribu ekor Laron Penghisap darah itu sudah terbang bersih dari ruangan tersebut.
Tanpa terasa pandangan matanya dialihkan ke atas gelang pintu, tanyanya mendadak:
"Kau membawa kunci ruangan?"
Diantara dua gelang pintu memang tergantung sebuah gembokan kunci yang sangat besar, gembokan besi disertai rantai besar.
Si Siang-ho gelengkan kepalanya.
"Dia yang menyimpan ke dua buah anak kunci itu!" katanya, sementara berbicara sinar matanya kembali dialihkan ke wajah Kwee Bok.
Waktu itu Kwee Bok sedang berdiri termangu-mangu, tapi begitu mendengar perkataan Si Siang-ho apalagi melihat sorot matanya tertuju ke wajah sendiri, kontan saja dia mencak mencak kegusaran, teriaknya:
"Siapa bilang aku mempunyai kuncinya?"
Si Siang-ho hanya tertawa, dia tidak menanggapi teriakan orang.
Dengan cepat Nyo Sin melotot sekejap ke arah Kwee Bok, hardiknya:
"Siau Tu, cepat geledah sakunya!"
Tentu saja Tu Siau-thian tidak berani membangkang perintah komandannya, dia menyahut dan segera jalan mendekat.
Kwee Bok tidak berusaha untuk menghindar, diapun tidak melakukan perlawanan, sambil tertawa pedih ujarnya:
"Baik, silahkan kalian geledah!" Tu Siau-thian tidak sungkan sungkan lagi, dengan seksama dia geledah seluruh badan Kwee Bok, alhasil tidak ditemukan anak kunci walau hanya sebuah pun.
Sambil gelengkan kepalanya berulang kali Tu Siau-thian terpaksa lepas tangan dan mundur kembali.
Nyo Sin melirik Kwee Bok sekejap, tiba-tiba dia berpaling seraya berseru:
"Ayoh kita dobrak pintu itu dan menerjang masuk!"
Begitu selesai bicara, dia mundur selangkah dan siap menendang pintu itu.
Belum lagi kakinya terangkat, Siang Huhoa telah mencegahnya.
"Tidak perlu!" cegah Siang Hu-hoa sambil menggeleng.
Sepasang tangannya serentak dijatuhkan keatas gelang pintu disebelah kiri, ketika hawa murninya disalurkan, "Kraaak" gelang pintu itu seketika terbetot hingga hancur berantakan.
Pintu pun perlahan-lahan mulai terbuka lebar, bau busuk yang semakin menyengat hidung segera menyembur keluar dan tersebar ke mana-mana.
Dengan cepat Siang Huhoa berpaling ke arah lain untuk menghindari semburan bau busuk itu, Tu Siau-thian menutupi hidungnya, Nyo Sin membuang napas sementara Kwee Bok mulai memuntahkan isi perutnya.
Menghadapi bau busuk yang luar biasa hebatnya itu jelas dia sudah tidak mampu untuk mengendalikan diri.
Seandainya dialah pemilik kawanan Laron Penghisap darah itu, semestinya dia sudah terbiasa dengan bau busuk semacam ini, atau mungkin dia memang bukan pemiliknya? "Hmmm, pandai amat kau berlagak!" jengek Nyo Sin sambil tertawa dingin.
Kwee Bok tidak menggubris, dia masih muntah terus tiada hentinya.
"Mari kita masuk ke dalam" ajak Nyo Sin kemudian sambil mengerling Tu Siau-thian sekejap, walaupun dia berkata begitu namun tubuhnya sama sekali bergeming.
Akhirnya Tu Siau-thian menghela napas panjang, dia tahu tidak ada pilihan lain baginya kecuali masuk ke dalam ruangan terlebih dulu.
Nyo Sin segera menyambar bahu Kwee Bok dan mendorongnya masuk ke dalam ruang kamar, setelah itu dia baru mengikuti di belakangnya.
Siang Huhoa dan Si Siang-ho ikut masuk ke dalam, namun tidak terlihat seekor Laron Penghisap darah pun didalam ruangan itu.
Seluruh ruangan seolah dicekam bau busuk yang sangat tebal, ditengah bau busuk lamat lamat terendus bau harum yang aneh, bau harum itu meski sangat tipis namun masih dapat tercium dengan jelas.
Tiba-tiba Nyo Sin merasa bahwa bau harum itu rupanya datang dari tubuh Kwee Bok.
Dia segera melepaskan cengkeraman pada bahunya, setelah mundur tiga langkah, diamatinya tubuh Kwee Bok dari atas hingga ke bawah.
Waktu itu Kwee Bok masih muntah tiada hentinya, bukan cuma seluruh isi perutnya tertumpah keluar bahkan air pahit pun ikut tertumpah keluar.
Nyo Sin mencoba mengendus beberapa kali diseputar tubuh Kwee Bok, tiba-tiba tanyanya kepada Tu Siau-thian:
"Tadi, kau sudah menggeledah seluruh sakunya?" Tu Siau-thian membenarkan.
"Kenapa bau harum itu seolah olah muncul dari tubuhnya?” tanya Nyo Sin lagi.
"Masa begitu?" tanya Tu Siau-thian keheranan, ia segera maju mendekat, mengendusnya beberapa kali, kemudian dengan wajah tercengang bercampur keheranan, serunya tertahan:
"Aaah, benar, bau harum itu berasal dari tubuhnya" Seraya berpaling ke arah Nyo Sin, gumamnya: "Aneh, kenapa tidak kurasakan sejak tadi?"
"Coba kau geledah sakunya sekali lagi!" perintah Nyo Sin. "Padahal tadi sudah kugeledah dengan teliti"
"Mungkin kau kurang seksama, coba digeledah sekali lagi"
"Yaa. Mungkin aku kurang teliti, tapi sudah kuperiksa semuanya, apalagi yang mesti aku geledah "
"Mungkin lipatan bajunya!" tiba-tiba Siang Hu-hoa menyela dari samping.
Berbinar sepasang mata Tu Siau-thian, serunya tertahan: "Lipatan ujung bajunya?"
Dengan cepat dia sambar tangan kanan Kwee Bok dan mencengkeram lipatan ujung bajunya.
Begitu dicengkeram, dia segera berhasil menggenggam sebuah benda bulatan, karena cengkeramannya kelewat keras, benda bulatan itu segera hancur berantakan.
"Blukkkk!" dari balik lipatan baju Kwee Bok segera berkumandang suara ledakan kecil, disusul kemudian tampak segumpal asap putih menyembur keluar dari sela sela bajunya, bau harum yang sangat menyengat pun menyebar ke seluruh angkasa. Berubah hebat paras muka semua orang, sementara Kwee Bok sendiri seolah berubah jadi orang yang sangat bodoh, dia tampak tertegun hingga melanjutkan muntahannya pun jadi terhenti sementara waktu.
Dengan wajah berubah hebat Nyo Sin segera berseru: "Hati-hati racun dibalik asap. "
Seraya berkata buru buru dia menutup seluruh pernapasannya.
Tu Siau-thian tidak ketinggalan untuk menutup pernapasannya, sedangkan Siang Huhoa sudah menutup napasnya semenjak tadi.
"Aku percaya tidak ada racun dibalik asap itu" kata Si Siang-ho kemudian, "aku sudah berulang kali mengendus bau harum seperti ini, seandainya ada racun, memangnya aku masih bisa hidup hingga kini?"
"Ehm, benar juga" Nyo Sin manggut-manggut, "lantas menurut pendapatmu, apa kegunaan asap itu?"
Si Siang-ho termenung sambil berpikir sejenak, kemudian sahutnya:
"Bisa jadi asap wangi itu digunakan untuk mengendalikan kawanan Laron Penghisap darah, benar atau tidak dugaanku ini, kita mesti tanyakan kepadanya"
Kali ini, tidak menunggu dia mengalihkan sorot matanya, Kwee Bok sudah berteriak sambil mencak-mencak kegusaran:
"Si Siang-ho, kenapa kau menfitnah aku? Kenapa kau berupaya mencelakai aku?"
"Buat apa aku menfitnahmu? Buat apa aku mencelakaimu? Toh antara kau dan aku tidak punya ikatan dendam atau sakit hati?" sahut Si Siang-ho sambil tertawa getir. "Lalu kenapa kau menuduh aku dengan segala tuduhan yang tidak masuk diakal?" jerit Kwee Bok.
Si Siang-ho menghela napas panjang.
"Aai, bila kenyataan memang demikian, apalagi yang bisa kuperbuat?" sahutnya.
Kembali dia berpaling ke arah Siang Huhoa dan Tu Siau- thian, lalu terusnya:
"Semua yang kukatakan adalah kata yang sejujurnya!" "Dia bohong! Dia sedang menfitnah aku!" jerit Kwee Bok
sambil mengepal tinjunya.
Kalau dilihat dari gayanya, dia seakan hendak menerjang ke depan dan menghadiahkan dua pukulan tinju ke dada Si Siang-ho, sayang sebelum hal ini dilakukan, tangannya sudah keburu ditangkap Tu Siau-thian.
Ketika Tu Siau-thian menggetarkan tangannya, beberapa buah kotak lilin berbentuk bulat terjatuh dari balik lipatan baju kanannya, dari balik kotak lilin itulah asap putih itu berasal.
Sambil tertawa dingin Tu Siau-thian segera menegur:
"Jika dia sedang menfitnahmu, lalu apa penjelasanmu tentang bulatan bulatan lilin yang jatuh dari balik lipatan bajumu?"
"Darimana aku bisa tahu kalau bulatan lilin itu bisa muncul dibalik lipatan bajuku" jawab Kwee Bok sambil tertawa getir.
Tu Siau-thian tertawa dingin, sebelum dia sempat bersuara, sambil tertawa dingin Nyo Sin sudah bicara duluan:
"Kalau kau tidak tahu, siapa yang tahu?" "Aku benar-benar " "Benar-benar kenapa?" tukas Nyo Sin, "semuanya sudah terbukti didepan orang banyak, memangnya tuduhan inipun merupakan fitnahan?"
Perkataan itu kontan saja membuat paras muka Kwee Bok berubah jadi merah jengah dan panas, untuk sesaat dia tidak sanggup mengucapkan sepatah kata pun.
Kembali Nyo Sin berkata:
"Sebentar kami akan menanyai semua penduduk dusun, apa benar setiap sepuluh hari kau datang satu kali kemari, apa benar kau pernah mengangkut keranjang besi menggunakan kereta kuda yang ditutup kain hitam, asal semua sudah ditanyakan, urusan akan lebih jelas lagi"
Dengan wajah merah padam Kwee Bok melotot Si Siang-ho sekejap, teriaknya:
"Semua penduduk dusun ini merupakan komplotannya!" "Hmmm, kalau begitu kami juga merupakan
komplotannya?" jengek Nyo Sin sambil tertawa dingin.
Kontan Kwee Bok terbungkam mulutnya.
Nyo Sin segera berpaling ke arah Tu Siau-thian, lalu perintahnya:
"Coba geledah sekeliling tempat ini, periksa apakah masih ada benda lain yang mencurigakan"
Tu Siau-thian mengangguk dan segera berlalu.
Dalam pada itu Siang Huhoa sudah mulai berjalan mengitari ruang kamar itu.
Ruang kamar itu tidak terlalu besar. Tidak selang berapa saat kemudian ke dua orang itu sudah selesai memeriksa dan menggeledah seluruh ruangan.
Tidak ditemukan sesuatu benda yang mencurigakan, tidak juga ditemukan sesuatu penemuan yang baru. Kembali ke sisi Nyo Sin, Tu Siau-thian segera melapor seraya menggeleng:
"Aku lihat ruang kamar itu tidak ada yang perlu dicurigakan"
"Apakah saudara Siang berhasil menemukan sesuatu?" Nyo Sin segera berpaling ke arah Siang Huhoa.
Siang Huhoa tidak menjawab, tiba-tiba dia membungkukkan badannya dan memungut berapa buah potongan kotak lilin yang terjatuh ke lantai.
Mendadak sorot matanya membeku, ternyata ditemukan tulisan diatas kerak lilin itu.
Buru-buru dia menyatukan kedua potongan kotak lilin itu hingga muncullah tiga buah huruf yang amat jelas: Hui cun tong.
Sebuah cap berwarna merah tertera sangat jelas diatas lapisan lilin.
Semua tingkah laku Siang Huhoa diikuti terus oleh Nyo Sin dengan seksama, maka sebelum Siang Hu-hoa sempat mengatakan sesuatu, dia sudah memburu ke depan untuk memeriksa sendiri penemuan apa yang berhasil didapatkan.
Sementara itu Siang Huhoa sudah berpaling ke arah Kwee Bok, sambil menatap tajam wajah pemuda itu tanyanya:
"Boleh aku tahu apa nama balai pengobatan milikmu itu?" "Hui Cun-tong!" jawab Kwee Bok tanpa ragu.
Siang Huhoa menghela napas panjang, pelan-pelan dia sodorkan sepasang tangannya ke depan.
Dengan ketajaman mata Nyo Sin, hanya dalam sekali pandang saja dia sudah melihat jelas tulisan itu, teriaknya tanpa sadar:
"Aaah, Hui cun tong!" Sebelum Siang Huhoa menyodorkan lilin itu ke hadapan Kwee Bok, agaknya pemuda itu pun sudah melihat dengan jelas tulisan yang tertera disitu.
Berubah hebat paras muka Kwee Bok, apalagi setelah lapisan lilin itu disodorkan ke hadapannya, air mukanya saat ini telah berubah jadi putih pucat bagai selembar kertas.
Tampaknya dia sudah melihat dengan jelas benda itu, sudah melihat pula dengan jelas ke tiga huruf yang tertera disitu.
Dengan mata melotot Siang Huhoa segera menegur: "Betulkah benda itu hasil produksi dari balai
pengobatanmu?"
"Benar, obat itu memang aku buat sendiri" jawab Kwee Bok sambil mengangguk, wajahnya penuh diliputi kebingungan."
"Berdasarkan apa kau bisa membedakan kalau obat ini hasil produksimu?"
"Diatas lapisan lilin itu tertera cap identitasku" "Tapi cap ini bisa dipalsukan orang. "
"Apakah kau tidak merasa bahwa warna merah dari cap itu sedikit agak istimewa bila dibandingkan dengan warna lain?" tiba tiba Kwee Bok bertanya.
"Benar" Siang Hu-hoa mengangguk, "rasanya warna jenis begini jarang sekali dijumpai"
"Warna itu merupakan hasil pencampuranku sendiri, sementara cap itu diterakan diatas lapisan lilin ketika lilin belum sama sekali membeku, itulah sebabnya warna yang ditimbulkan sangat berbeda dengan warna pada umumnya, biar orang lain bisa memalsukan cap ku, belum tentu ia bisa memalsukan persis seperti apa yang kuhasilkan"
Sesudah menghela napas, terusnya: "Rahasia ini hanya diketahui aku seorang, sejak meramu obat sampai memasukkan ke dalam kapsul lilin itu, aku tidak pernah suruh orang lain yang mengerjakan, hampir semuanya aku lakukan sendiri"
"Apa tujuanmu berbuat demikian?"
"Untuk mencegah agar tidak dipalsukan orang lain" "Sebetulnya obat itu dipakai untuk mengobati sakit apa?"
tanya Siang Huhoa lagi.
"Terhadap beberapa jenis penyakit yang sering dijumpai dalam masyarakat, obat itu manjur sekali"
"Oooh, jadi obat itulah yang disebut orang si mia wan (pil penyambung nyawa) dari Hui cun tong?" timbrung Tu Siau- thian tiba tiba.
"Benar!"
"Apa benar bisa menyambung nyawa orang?" tanya Siang Huhoa agak sangsi.
"Kalau dibilang benar benar bisa menyambung nyawa orang, hal itu sih kelewat dibesar besarkan, tapi nama ini paling tidak sudah digunakan hampir lima puluh tahun lamanya"
"Bukankah kau bilang obat itu kau sendiri yang buat?" "Sekarang memang aku sendiri yang membuat obat
tersebut, tapi dulu tidak, pencipta ramuan obat itu toh bukan
aku"