Laron Penghisap Darah Bab 14: Pedang utuh manusia mati.

 
Bab 14: Pedang utuh manusia mati.

Cairan mayat yang berbau busuk telah membasahi seluruh saputangannya.

Cairan mayat yang dingin, lengket berlendir serasa sudah menodai seluruh kulit badannya, perasaannya waktu itu mirip sekali dengan perasaan sewaktu memegang beberapa ekor cacing yang baru digali dari dalam tanah.....

Tu Siau-thian merasa amat bergidik, perutnya terasa amat mual, entah sudah berapa kali dia bersin, bulu kuduknya sudah bangun berdiri.

Tapi dia paksakan diri untuk menekan rasa mual, rasa seram dan rasa jijik yang mencekam perasaan hatinya, dengan sekuat tenaga dia mencoba untuk merentangkan jari jemari tengkorak itu.

Jari tangan tengkorak itu menggenggam kencang, seakan sudah merasuk ke dalam gagang pedang itu.

Ketika dia membetot dengan sepenuh tenaga "Kraak,

Kraak, Kraaaak!" tiga buah jari tangan tengkorak itu patah seketika.

Mayat yang baru mati selama tiga hari ternyata memiliki tulang belulang yang begitu rapuh, kejadian ini sedikit diluar dugaan Tu Siau-thian.

Mengawasi ke tiga batang tulang jari yang patah dan tergenggam ditangannya, sekali lagi opas itu bergidik sambil bersin berulang kali, dia merasa tidak sanggup lagi untuk melanjutkan tugasnya. Bagaimana pun juga mayat itu adalah mayat sahabatnya, dia tidak ingin setelah sahabatnya itu mati, sukmanya akan gentayangan tanpa memiliki jari tangan lagi....

Walaupun selama ini dia tidak pernah mau percaya tentang dongeng yang mengatakan bahwa manusia setelah mati akan jadi setan gentayangan, namun setelah mengalami pelbagai peristiwa aneh selama berapa hari belakangan, keyakinan itu mulai goyah.

Kalau siluman laron pun terbukti ada, berarti setan gentayangan pun pasti ada juga, untuk sesaat dia berdiri terbelalak, tertegun bercampur kaget.

Melihat mimik muka anak buahnya itu Nyo Sin tercengang, segera tegurnya:

"Hey, apa yang terjadi?"

"Aaah, tidak apa apa" jawab Tu Siau-thian tanpa berpaling, "karena kurang berhati-hati, aku telah mematahkan tiga batang tulang jarinya"

"Apakah pada gagang pedang itu kau jumpai tulisan yang dimaksud?" kembali Nyo Sin bertanya.

"Aku belum lagi mengambil pedang itu" "Ooh "

Diam-diam Tu Siau-thian menghela napas, sambil bulatkan tekad tangan kanannya segera ditekan kebawah lalu membetot ke samping, dia mengangkat paksa tangan mayat itu ke atas lalu bersamaan waktunya dia tarik pedang itu ke luar.

"Kraak, kraaaak!" kembali dua buah jari tangan tengkorak itu patah jadi dua, namun pedang itu berhasil direbut paksa dari genggaman tangan mayat itu.

Karena pedang yang menopang tubuhnya telah direbut paksa, tengkorak manusia itupun langsung terjungkal dan roboh ke lantai, masih untung Tu Siau-thian berhasil menyambar lengan tengkorak itu sehingga sang mayat tidak sampai terjerembab keras ke tanah.

Pada saat itulah dari balik lubang mata sang tengkorak yang berlubang itu mengucur keluar dua deret cairan mayat yang berbau sangat busuk.

Cairan itu mirip sekali dengan lelehan air mata, apakah mayat itu masih punya perasaan? Apakah dia merasa menderita karena tulang jarinya patah?

Tu Siau-thian semakin bergidik disamping terharu dan iba, dia paksakan diri untuk membetulkan posisi mayat itu kemudian baru mundur ke belakang dan membalikkan badan, sorot matanya segera dialihkan keatas gagang pedang itu.

Benar juga, diatas gagang pedang tertera beberapa huruf kecil:

"Pedang utuh manusia hidup, pedang hancur manusia mati!"

Tidak bisa disangkal lagi, pedang ini memang pedang tujuh bintang milik Jui Pakhay, itu berarti mayat tersebut adalah mayat dari Jui Pakhay.

Dengan mata melotot besar Nyo Sin mengawasi tulisan itu, akhirnya tidak tahan dia menghela napas panjang, katanya:

"Pedang utuh manusia hidup, pedang hancur manusia mati, tapi kenyataannya sekarang, pedang utuh manusia nya justru mati!"

Siang Huhoa memandang pula gagang pedang itu sekejap, namun dia tidak berkomentar atau pun mengucapkan sesuatu pernyataan.

Nyo Sin memandang Siang Hu-hoa sekejap, tiba-tiba dia membalikkan badan dan beranjak keluar dari situ. Baru satu langkah dia berjalan, tubuhnya telah menumbuk ditubuh seseorang, Jui Gi!

Entah sedari kapan Jui Gi ikut masuk ke dalam, sepasang matanya mengawasi mayat tersebut dengan mata mendelik, wajahnya penuh diliputi kedukaan dan amarah.

Di dalam pandangan matanya seakan hanya ada mayat tersebut, dia bahkan tidak tahu kalau Nyo Sin sedang membalikkan badan, begitu tabrakan terjadi tubuhnya kontan jatuh terpelanting ke tanah.

Tubuh Nyo Sin ikut bergetar keras, masih untung dia tidak ikut roboh.

Jui Gi tidak segera merangkak bangun, sambil berlutut dan menyembah dihadapan Nyo Sin, serunya pedih:

Nyo tayjin, kau harus mencarikan keadilan buat majikan kami!"

"Tidak usah diucapkan pun pasti akan kulakukan" sahut Nyo Sin setelah berhasil berdiri tegak, dengan cepat dia melampui Jui Gi dan menuruni anak tangga.

Sementara itu para jago lainnya masih menunggu di bawah, sorot mata semua orang tertuju ke pintu masuk ruang loteng, begitu Nyo Sin munculkan diri, otomatis sorot mata semua orangpun tertuju ke tubuhnya.

Sekalipun mereka tidak tahu peristiwa apa yang telah terjadi dalam ruang loteng, namun dari mimik muka Nyo Sin, mereka sadar bahwa persoalan tersebut pasti sangat serius

Begitu menuruni anak tangga, Nyo Sin langsung menghampiri Gi Tiok-kun dan mengawasinya dengan mata melotot.

Sorot mata semua orang pun mengikuti gerakan tubuhnya ikut bergeser ke atas wajah perempuan itu. Gi Tiok-kun masih berdiri mematung seperti patung pousat, wajahnya hambar tanpa perubahan apa pun.

Nyo Sin mengawasi perempuan itu berapa saat, mendadak dia menarik napas panjang dan sambil menuding bentaknya:

"Tangkap dia!"

Gi Tiok-kun nampak tertegun, kawanan opas lebih tertegun lagi, mereka tidak menyangka akan datangnya perintah tersebut sehingga untuk berapa saat semua orang hanya berdiri melongo dan tidak memberikan reaksi apapun.

"Hey, kenapa kalian semua?" sekali lagi Nyo Sin menghardik, "telinga kalian sudah pada tuli? Tidak memahami maksud perkataanku?"

Seakan baru sadar dari impian kawanan opas itu serentak bergerak maju. Tan Piau dan Yau Kun saling bertukar pandangan sekejap, lalu terdengar Yau Kun berbisik ragu:

"Komandan. Kau kau suruh kami membekuk Jui hujin?"

"Benar!" jawaban Nyo Sin amat tegas.

"Tapi kesalahan apa yang telah dilakukan Jui hujin?" tanya Tan Piau keheranan.

"Pembunuhan!"

"Siapa yang dibunuh?" desak Tan Piau lebih jauh. "Jui Pakhay!"

Tan Piau berseru tertahan dan tidak bertanya lagi, namun rasa sangsi masih menyelimuti wajahnya.

Begitu juga keadaan Yau Kun, meskipun tidak ikut menimbrung namun dia pun tidak melakukan suatu tindakan apa pun.

Seorang wanita cantik yang begitu lemah lembut, begitu halus dan begitu tidak bertenaga ternyata adalah seorang pembunuh, kejadian ini sudah sangat aneh dan sukar dipercaya apalagi orang yang dibunuh ternyata adalah seorang lelaki yang berilmu silat sangat tinggi.

Bukan hanya begitu, lelaki itu bahkan adalah suaminya sendiri, Jui Pakhay!

Karena ke dua orang itu tidak melakukan reaksi apa pun, dengan sendirinya kawanan opas yang lain pun tidak melakukan tindakan apapun Melihat anak buahnya tidak melakukan tindakan apapun, Nyo Sin jadi semakin mendongkol, teriaknya penuh amarah:

"Kenapa kalian masih berdiri termangu macam orang bodoh? Cepat tangkap dia!"

"Baik!" sahut Tan Piau dan Yau Kun tergagap. Cepat mereka memberi tanda, seorang opas yang berdiri di belakang mereka segera maju menghampiri sambil menyerahkan sebuah borgol.

Setelah menerima borgol itu Yau Kun maju ke hadapan Gi Tiok-kun seraya serunya:

"Gi hujin, tolong ulurkan tanganmu!"

Gi Tiok-kun memandang borgol itu sekejap, setelah tertawa getir dia sodorkan sepasang tangannya ke depan.

Dia sama sekali tidak melawan bahkan mengucapkan sepatah kata pun tidak, tampang dan mimik mukanya saat itu terlihat amat mengenaskan, sangat kasihan.........

Yau Kun merasakan hatinya ikut remuk redam, dalam kondisi demikian bagaimana mungkin dia bisa memasangkan itu ke tangannya?

Hanya Nyo Sin seorang yang sama sekali tidak terpengaruh oleh kesedihan dari perempuan itu, dengan hati sekeras baja sekali lagi dia menghardik:

"Cepat diborgol!" Terpaksa dengan keraskan hati Yau Kun mempersiapkan borgolnya dan siap dipasangkan ke tangan Gi Tiok-kun. Saat itulah dari balik ruang loteng kedengaran seseorang berseru keras:

"Tunggu sebentar!"

Suara teriakan dari Siang Huhoa, bersamaan dengan seruan tersebut dia pun muncul dari balik ruangan.

Ternyata Yau Kun menurut sekali dengan seruannya itu, seketika dia menghentikan semua tindakannya.

Nyo Sin semakin mendongkol melihat kejadian ini, namun dia tidak memberikan reaksinya dan cuma membungkam.

Bagaimana pun juga dia masih ingat bagaimana Siang Huhoa telah menyelamatkan jiwanya ketika akan masuk ke ruang rahasia tadi, pelan-pelan dia mendongakkan kepalanya dan menatap lelaki itu tajam.

Selangkah demi selangkah Siang Huhoa berjalan menuruni anak tangga, dia langsung berjalan menuju ke samping Nyo Sin.

"Saudara Siang, apakah kau telah menemukan sesuatu yang baru diatas ruang loteng?" Nyo Sin segera bertanya.

Siang Hu-hoa menggeleng.

"Lantas kenapa kau mencegah kami untuk membekuk perempuan itu?" desak Nyo Sin lebih jauh.

"Sampai detik ini kita masih belum punya bukti yang menunjukkan bahwa dialah pembunuh Jui Pakhay"

"Bukankah catatan yang ditinggalkan Jui Pakhay bisa kita pakai sebagai tanda bukti?"

"Apakah kau tidak merasa kalau isi catatan itu kelewat aneh, kelewat berbau mistik dan sulit membuat orang percaya?" "Jadi kau tidak percaya?"

"Kau percaya?" bukan menjawab Siang Huhoa malah balik bertanya.

"Mau tidak percaya pun rasanya tidak mungkin"

"Tapi isi catatan itu hanya merupakan kesaksian sepihak" "Kita semua telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri

bagaimana ada sekelompok laron penghisap darah yang terbang keluar dari ruang loteng ini, kawanan laron tersebut sedang menghisap darah Jui Pakhay diatas loteng, melalap dan memakan daging mayatnya, bukankah kita semua telah menyaksikan sendiri?"

Ketika mengucapkan perkataan tersebut, sekali lagi tubuhnya bergidik hingga bersin berulang kali, rupanya dia terbayang kembali adegan mengerikan yang telah disaksikannya itu.

Meskipun para opas yang lain tidak ikut menyaksikan, tapi berdasarkan penuturan dari Nyo Sin, tak urung mereka semua ikut bergidik.

Paras muka Gi Tiok-kun yang sudah putih memucat, kini seakan bertambah pucat hingga tak ubahnya seperti wajah sesosok mayat.

Siang Huhoa tidak menjawab, dia pun tidak menyangkal, sebab apa yang diutarakan Nyo Sin memang merupakan sebuah kenyataan.

Untuk sesaat suasana didalam ruangan tercekam dalam keheningan.

Sampai lama kemudian, akhirnya keheningan itu dipecahkan oleh suara Gi Tiok-kun, terdengar ia berbisik-

"Benarkah apa yang kau katakan tadi?" Pertanyaan dari Gi Tiok-kun khusus ditujukan kepada Nyo Sin, bibirnya kelihatan gemetar keras bahkan nada suaranya pun kedengaran ikut gemetar.

Ditengah keheningan yang mencekam, suara pembicaraan yang gemetar itu kedengaran seperti malayang di udara, lamat-lamat tak jelas hingga nyaris tak mirip dengan suara manusia.

Nyo Sin tidak menjawab pertanyaan itu, malah kepada Siang Hu-hoa bisiknya:

"Coba kau dengar suaranya "

"Kenapa dengan suaranya?" tanya Siang Hu-hoa keheranan.

"Kau tidak merasakan sesuatu?" suara bisikan Nyo Sin semakin merendah.

Siang Hu-hoa kembali menggeleng.

"Suaranya kedengaran sangat aneh" ujar Nyo Sin lebih jauh, "seakan akan panggilan setan iblis dari sesuatu tempat, seperti jeritan sukma gentayangan yang datang dari akhirat"

"Kapan sih kau pernah mendengar suara jeritan sukma gentayangan yang datang dan akhirat?" tiba-tiba Siang Huhoa tertawa.

Nyo Sin agak melengak, sahutnya kemudian: "Tentu saja aku tak pernah mendengarnya"

"Lantas darimana kau bisa tahu kalau suara semacam itu mirip dengan jeritan dari sukma gentayangan?"

Seketika itu juga Nyo Sin terbungkam, tak sanggup membantah.

"Sekalipun kita mengetahui bahwa kawanan laron penghisap darah itu terbang keluar dari tempat ini, bukan berarti kawanan makhluk tersebut peliharaan dia" kata Siang Huhoa lebih jauh.

"Kalau bukan dia yang pelihara, lalu siapa?" "Kalau aku sudah tahu, buat apa bertanya lagi kepadamu"

"Kalau memang tidak tahu, atas dasar apa kau merasa yakin kalau kawanan laron penghisap darah itu bukan makhluk peliharaannya?"

"Aku tidak mengatakan yakin"

"Tapi kau menghalangi perbuatan kami"

"Betul, aku berbuat demikian karena kuanggap hingga sekarang kita belum berhasil mengumpulkan bukti dan saksi yang meyakinkan, sebelum kita bisa membuktikan kalau dialah pembunuhnya, tidak pantas bila kita tangkap perempuan ini"

"Oya?"

"Bila dikemudian hari ternyata dia sama sekali tidak terlibat "

"Tentu saja aku segera akan membebaskan dirinya" tukas Nyo Sin.

"Tapi tindakanmu menyangkut martabat, harga diri dan nama baik seseorang. "

"Percayalah, tindakanku ini tak akan berpengaruh banyak" kembali Nyo Sin menukas sembari mengidapkan tangannya, "apalagi tindakan ini terpaksa harus kita lakukan"

"Ooh "

"Sebab sesuai dengan prosedur dan aturan, kita memang harus bertindak begitu"

Kali ini Siang Huhoa tidak dapat berbicara lagi.

Perkataan dari seorang "pembesar" biasanya memang merupakan sebuah peraturan, karena biarpun tidak pakai aturan pun tetap dianggap sangat beraturan, apalagi kalau sudah menyangkut masalah prosedur dan peraturan, orang awam memang tak mungkin bisa membantah lagi.

Terdengar Nyo Sm berkata lebih jauh:

"Aku rasa kau pasti tak bisa menyangkal bukan kalau pada saat ini tersangka yang paling mencurigakan adalah dirinya?"

Siang Huhoa tidak menyangkal.

"Terhadap seorang tersangka pembunuhan macam dia, bukankah pantas bila kita tangkap dan menahannya lebih dahulu?" kembali Nyo Sin mendesak.

Kemudian setelah berhenti sejenak, lanjutnya: "Seandainya dia sampai lolos, mungkin dosa yang akan menimpa kita semua akan jadi berat sekali. Saudara Siang, kau pasti mengerti soal ini bukan?"

"Tapi kalian toh bisa mengirim petugas untuk mengawasinya siang malam?"

"Andaikata dia benar-benar seorang siluman Laron, seandainya ia benar-benar jelmaan dari laron penghisap darah, siapa yang bisa mengawasinya?"

"Seandainya dia benar benar seorang siluman laron, seandainya dia memang jelmaan dari laron penghisap darah, biar sudah kau tangkap pun dia tetap sanggup melarikan diri"

"Kalau benar benar terjadi hal semacam ini, paling tidak kita kan bisa mempertanggung jawabkan diri?" bantah Nyo Sin.

Siang Huhoa menghela napas panjang dan tidak melanjutkan perdebatan itu lagi, dia berjalan ke hadapan Gi Tiok-kun lalu ujarnya:

"Enso, sudah kau dengar semua pembicaraan ini?" Gi Tiok-kun menghela napas sedih. "Mendengar mah sudah, tapi aku tidak mengerti" "Tidak mengerti apa yang sedang kami bicarakan?"

"Juga tidak tahu apa yang sebenarnya sudah terjadi disini" sambung Gi Tiok-kun sambil menghela napas.

"Enso benar benar tidak tahu duduknya persoalan?" Siang Hu-hoa kembali bertanya.

"Bila kalian tidak percaya, akupun tak bisa berbuat apa apa"

"Kalau begitu secara ringkas akan kuceritakan semua kejadian yang telah terjadi disini"

Gi Tiok-kun manggut manggut.

Setelah termenung sejenak, Siang Hu-hoa mulai berkisah: "Peristiwa ini dimulai pada tanggal satu malam dan

berlangsung hingga malam tanggal lima belas, hampir setiap hari setiap saat saudara Jui diteror oleh kemunculan laron penghisap darah, mengenai semua peristiwa yang dialami, dia telah membuatkan sebuah catatan yang lengkap dan membeberkannya secara detil" 

Gi Tiok-kun hanya mendengarkan, sama sekali tidak komentar.

Terdengar Siang Huhoa berkata lebih jauh:

"Bila kita tinjau berdasarkan penuturannya lewat catatan tersebut, tampaknya kejadian aneh yang ditimbulkan laron penghisap darah itu memang sangat menakutkan, oleh sebab alasan inilah maka pada tanggal tujuh dia mengutus Jui Gi untuk berangkat ke perkampungan selaksa bunga dan datang mencari aku, dia minta aku datang kemari untuk menghadapi teror dari laron penghisap darah"

"Ooh... jadi selama belasan hari tidak nampak Jui Gi, rupanya dia telah berangkat ke perkampungan selaksa bunga" "Benar! Sayangnya ketika aku tiba disini pagi tadi, saudara Jui sudah lenyap semenjak tiga hari berselang"

Kali ini Gi Tiok-kun tidak memberikan komentar.

Setelah menarik napas, Siang Hu-hoa berkata lebih jauh: "Dalam tiga hari belakangan, opas Nyo telah mengirim

segenap kekuatannya untuk menggeledah seluruh kota,

namun kabar berita tentang saudara Jui belum juga ditemukan, dan sekarang, hanya tempat ini yang belum diperiksa, maka kami pun mendatangi tempat ini "

Siang Hu-hoa mengalihkan sorot matanya ke arah ruang loteng, kemudian menambahkan:

"Maksudku, di dalam ruang loteng itulah akhirnya kami berhasil menemukan jenasahnya"

"Apa benar jenasahnya?" tiba-tiba Gi Tiok-kun bertanya "Rasanya memang jenasahnya!"

"Kedengarannya kau sendiripun tidak yakin?" tanya Gi Tiok- kun.

Siang Huhoa tidak menyangkal.

"Aku pingin naik ke atas dan memeriksa sendiri" pinta Gi Tiok-kun setelah berpikir sejenak.

"Biarpun enso naik sendiri pun kau tetap tak bisa mengenalinya lagi"

"Ohh kenapa?"

"Sebab lapisan daging dan kulit saudara Jui khususnya pada seputar batok kepalanya sudah habis dimakan kawanan laron penghisap darah itu, sekarang yang tersisa tinggal sebuah tengkorak, bahkan sepasang tangannya pun tinggal tulang belulang" Gi Tiok-kun menjerit tertahan, paras mukanya berubah jadi pucat pias, reaksinya sangat wajar dan sama sekali tak nampak seperti dibuat-buat.

Menyaksikan hal itu Siang Hu-hoa segera berpikir: "Jangan-jangan peristiwa ini memang sama sekali tak ada

sangkut paut dengan dirinya?"

Sebaliknya Nyo Sin tertawa dingin tiada hentinya.

Gi Tiok-kun sama sekali tidak menggubris sikap Nyo Sin, dia hanya mengawasi Siang Huhoa dengan wajah tertegun.

Setelah berhasil mengendalikan emosinya, dia berkata lagi: "Lantas atas dasar apa kalian bisa mengenali kalau mayat

itu adalah mayatnya?"

"Berdasarkan pakaian yang dikenakan jenasah itu, menurut kesaksian opas Tu, pada saat malam menjelang lenyapnya saudara Jui, pakaian yang dikenakan waktu itu persis sama seperti pakaian yang dikenakan mayat ini, lagipula mayat tersebut menggenggam sebilah pedang, pedang mestika miliknya"

"Pedang tujuh bintang pencabut nyawa?" "Betul, pedang tujuh bintang pencabut nyawa" Sepasang mata Gi Tiok-kun mulai berkaca-kaca. Terdengar Siang Huhoa berkata lagi:

"Menurut apa yang kuketahui, pedang tujuh pedang pencabut nyawa merupakan pedang pusaka perguruannya, dia selalu menyimpan nya secara baik baik, bahkan berulang kali telah menyelamatkan jiwanya ketika terancam bahaya"

"Benar, dia pernah mengungkap persoalan ini denganku" Gi Tiok-kun mengangguk. "Oleh karena itu, walaupun kami tidak bisa mengenali raut muka jenasah itu, namun berdasarkan pakaian dan pedang tujuh bintang pencabut nyawa yang masih berada dalam genggamannya, kami bisa membuktikan kalau jenasah itu adalah mayat dari saudara Jui"

"Tapi apa sangkut pautnya dengan aku?"

"Di dalam catatan yang dia tinggalkan, secara lamat-lamat dia menerangkan bahwa bila terjadi sesuatu atas dirinya, besar kemungkinan enso lah pembunuhnya"

Sekali lagi Gi Tiok-kun terbelalak dengan mulut melongo, tidak sepatah kata pun sanggup diucapkan.

"Terlepas apakah isi catatan itu jujur atau hanya rekayasa, sampai detik ini enso adalah satu satunya orang yang patut dicurigai" Siang Hu-hoa menerangkan lebih jauh.

"Kenapa?"

"Ruangan kecil ini berada di bagian belakang kamar tidur, untuk mencapai ruangan tersebut orang harus melalui kamar tidur lebih dahulu, selain enso, siapa yang bisa masuk keluar tempat ini dengan leluasa?"

"Tapi ada saatnya aku pun pergi meninggalkan kamar tidur!"

"Maksudmu kemungkinan besar ada orang yang menyusup masuk ke dalam kamar tidurmu secara diam diam disaat kau sedang keluar?"

"Apakah tidak ada kemungkinan seperti ini?"

"Selama dua hari belakangan ini, kau pernah pergi ke mana saja?" timbrung Nyo Sin tiba tiba

"Aku hanya berada disekeliling perkampungan, tidak pernah melangkah keluar dari perkampungan barang selangkah pun" "Benarkah begitu? Baik, tidak sulit bagiku untuk memeriksa apakah kau sedang berbohong atau tidak" seru Nyo Sin lagi.

Gi Tiok-kun tidak berbicara apa apa, dia membungkam dalam seribu basa.

Dari sudut ruangan sana terdengar Tu Siau-thian berseru: "Dalam masalah ini aku telah melakukan penyelidikan

dengan seksama, di dalam dua tiga hari belakangan nyonya

Jui memang tidak pernah pergi meninggalkan perkampungan"

Sementara berbicara, Tu Siau-thian telah muncul kembali dari balik ruang loteng, lanjutnya:

"Sejak terjadinya peristiwa pada malam itu, secara beruntun dalam dua hari belakangan aku selalu menugaskan orang untuk mengawasi sekeliling perkampungan, semisal ada orang membawa mayat keluar atau bergerak masuk keluar dari halaman ini, niscaya jejak mereka akan segera ketahuan"

Sesudah berhenti sejenak, kembali lanjutnya:

"Betul setiap malam orang orang kita mengundurkan diri dari sini, tapi aku percaya nyonya Jui pasti tidur di dalam kamar tidurnya, sehingga kalau ada orang yang masuk secara diam-diam, rasanya sulit kemungkinannya untuk tidak membangunkan nyonya Jui"

Mau tidak mau Gi Tiok-kun mengakui juga:

"Benar, dalam dua malam terakhir tidurku memang kurang nyenyak, sehingga saban kali mau berangkat tidur, aku tidak pernah lupa untuk mengunci pintu kamarku dari dalam"

"Nah itulah dia" seru Tu Siau-thian, "bila seseorang ingin memasuki ruang tidur ini, berarti dia mesti mematahkan palang pintu lebih dulu, padahal sudah kuperhatikan dengan seksama barusan, semua pintu dan jendela berada dalam keadaan utuh, jika mataku tidak bermasalah, semestinya keadaan dalam ruangan ini tidak jauh berbeda dengan keadaan semula"

Tentu saja sepasang mata Tu Siau-thian tidak bermasalah. Siang Huhoa segera menyambung pula:

"Apalagi selainjenasah itu, disini pun terdapat sekelompok besar laron penghisap darah, untuk bergerak ke sana kemari, kelompok makhluk itu sangat menyolok mata, apalagi beterbangan dalam perkampungan, jelas hal ini akan mengejutkan   seluruh   penghuni   perkampungan   ini, maka "

"Maka hal ini mungkin bisa terjadi jika sebelumnya sudah ada orang yang mengatur kesemuanya ini dan meletakkan laron laron itu di dalam ruang loteng" sambung Gi Tiok-kun cepat.

"Atau mereka memang benar benar jelmaan dari siluman atau setan iblis" Siang Huhoa menambahkan.

"Kau percaya kalau di dunia ini benar-benar terdapat siluman atau setan iblis?" mendadak perempuan itu bertanya.

Untuk sesaat Siang Huhoa hanya melongo, dia tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan itu.

Setelah menghela napas kembali Gi Tiok-kun berkata: "Bukankah isu siluman atau setan iblis merupakan sebuah

lelucon yang tidak lucu? Siapa sih yang mau percaya?"

Siang Huhoa, Nyo Sin maupun Tu Siau-thian berdiri melongo, untuk sesaat mereka hanya bisa tertegun.

Bukankah mereka semua sedang mencurigai Gi Tiok-kun sebagai siluman laron? Sebagai jelmaan dari laron penghisap darah? "Hai, seandainya bukan ulah dari bangsa siluman atau setan iblis, berarti akulah yang paling dicurigai dalam kasus pembunuhan ini" keluh Gi Tiok-kun sambil menghela napas.

"Sekalipun peristiwa ini ulah dari siluman atau setan iblis, tetap kau yang paling dicurigai!" nyaris perkataan semacam itu meluncur keluar dari mulut Nyo Sin, untung pada akhirnya dia urungkan niatnya.

Dengan sorot mata yang tajam Gi Tiok-kun menatap wajah Siang Huhoa, kemudian tanyanya:

"Menurut pandanganmu, apakah aku mirip dengan manusia macam itu?"

Siang Huhoa hanya menghela napas tanpa bicara.

"Tahu orangnya, tahu wajahnya sukar untuk tahu hatinya, apalagi hati manusia lebih dalam dari lautan, darimana kami bisa melihatnya?" perkataan inipun nyaris meluncur keluar dari mulut Nyo Sin.

Gi Tiok-kun memandang Siang Huhoa sekejap, kemudian memandang pula ke arah Nyo Sin dan Tu Siau-thian, akhirnya setelah menghela napas dia ulurkan ke dua tangannya ke depan.

Yau Kun dengan memegang borgol hanya berdiri disamping sambil mengawasi sepasang tangan Gi Tiok-kun, ternyata dia tidak berusaha untuk memborgol tangan perempuan cantik itu.

"Borgol dia!" sekali lagi Nyo Sin menghardik sembari mengulapkan tangannya.

Bentakannya kali ini sudah tidak segarang tadi, maka Yau Kun mengiakan dan segera memborgol sepasang tangan Gi Tiok-kun.

Kali ini Siang Hu-hoa tidak berusaha menghalangi, hanya ujarnya: "Persoalan separah dan seberat apa pun, cepat atau lambat akhirnya akan tiba juga saatnya untuk menjadi terang"

Gi Tiok-kun hanya tertawa pedih.

Nyo Sin kembali berpikir sekejap, kemudian perintahnya kepada Tan Piau dan Yau Kun:

"Segera kalian siapkan sebuah tandu, hantar balik nyonya Jui terlebih dulu"

Agaknya pembesar inipun tidak ingin terlalu menyusahkan Gi Tiok-kun, maka dia perintahkan orang untuk menghantar perempuan itu dengan memakai tandu.

Mungkinkah pertimbangan ini dia lakukan setelah menyaksikan sikap dari Gi Tiok-kun yang siap bekerja sama?

"Baik!" sahut Yau Kun dan Tan Piau hampir berbareng. Sambil melangkah keluar dari ruangan, tiba-tiba Gi Tiok-

kun berpaling lagi memandang ke arah Nyo Sin sambil

berkata:

"Apa aku boleh ikut membaca catatan itu?"

"Semua catatan tersebut telah kuperintahkan orang untuk membawanya ke kantor polisi"

"Untung sekarang pun aku akan berangkat ke kantor polisi" sahut Gi Tiok-kun sambil tertawa getir, bagaikan sukma gentayangan diapun melanjutkan langkahnya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar