Bab 09: Tujuh bintang pencabut nyawa.
Akhirnya Siang Huhoa muncul juga ditempat itu. Begitu suara kelenengan berhenti berdenting, kuda berbulu merah itupun berhenti berlari tepat di depan pintu perpustakaan Ki po cay dan "Wees!" dengan sebuah gerakan tubuh yang enteng Siang Huhoa sudah melompat turun dari kudanya.
Jui Gi yang menyusul ketat di belakangnya segera melompat turun juga dari kudanya dan berdiri persis di belakangnya, tubuh yang semula tegak bagai batang pit kini sudah terbongkok seperti udang ebi.
Maklum, kondisi badannya jelas tidak mampu menandingi Siang Hu-hoa, apalagi secara beruntun dalam dua belas hari dia mesti menempuh perjalanan jauh, tiap hari harus menghabiskan waktunya duduk di pelana kuda sambil menempuh perjalanan jauh.
Untuk itu semua dia sudah dua kali berganti kuda, jadi harus disyukuri kalau pinggangnya tidak sampai patah dua lantaran itu.
Dengan menuntun kudanya terburu buru dia berjalan disamping Siang Hu-hoa.
Waktu itu Siang Huhoa sama sekali tidak memperdulikan dirinya lagi, jagoan muda ini sedang mengalihkan sorot matanya ke arah Nyo Sin, memandangnya dengan sinar kaget bercampur tercengang.
Kalau tidak terjadi suatu peristiwa besar, todak nanti sepagi ini sudah berkerumun begitu banyak opas di depan pintu rumah, ini kejadian yang sangat lumrah, orang bodoh pun pasti akan menyadari juga.
Lantas, apa yang telah terjadi?
Baru saja Siang Huhoa akan mengajukan pertanyaan, Nyoo Sin dengan lagaknya yang angkuh sudah melotot ke arahnya sambil berteriak:
"Siapa kau?" Biarpun lagaknya masih menunjukkan gaya seorang pejabat, namun nada suaranya sudah tidak segalak tadi.
Dandanan maupun cara berpakaian Siang Hu-hoa sudah menunjukkan kalau dia bukan berasal dari keluarga sembarangan, biasanya dia memang tak pingin cari masalah dengan orang yang berasal dari keluarga luar biasa.
Bukannya menjawab Siang Hu-hoa malah balik bertanya: "Siapa pula dirimu?"
"Komandan tertinggi dari pasukan opas kota ini!" jawab Nyo Sin sambil membusungkan dadanya.
"Ohh Nyo Sin?"
"Haah, kau juga kenal aku?" Nyo Sin tampak melengak. "Tidak kenal, hanya kebetulan ditengah perjalanan tadi Jui
Gi sempat menyinggung tentang dirimu"
"Oooh kau belum menyebutkan namamu!” ujar Nyo sin
kemudian, lagak orang ini memang tak bisa terlepas dari kebiasaannya sebagai seorang pejabat negara, lagak tengik.
Baru saja Siang Huhoa akan menjawab, Jui Gi yang berada disampingnya telah menyela duluan:
"Nyo tayjin, dia adalah sahabat majikan kami "
"Siapa namanya?" tukas Nyo Sin cepat. "Siang Hu-hoa!"
"Siang Huhoa?" kali ini nada suara Nyo Sin penuh diliputi rasa kaget, heran dan tidak percaya, tampaknya dia pun merasa tidak asing dengan nama besar tersebut.
Tu Siau-thian segera memburu maju ke depan, sapanya: "Oooh, rupanya saudara Siang, kemarin saudara Jui sempat
menyinggung tentang dirimu, dia bilang kau pasti akan datang kemari" Siang Hu-hoa berpaling, diawasinya Tu Siau-thian sekejap lalu balik bertanya:
"Kau adalah Tu Siau-thian, saudara Tu?" Tu Siau-thian manggut m anggut.
"Rupanya saudara Jui pernah menyinggung tentang aku dihadapanmu" katanya.
"Konon kau adalah sahabat paling akrab dari saudara Jui?" "Kalau bicara soal keakraban, mungkin hubungan kami
masih kalah jauh dibandingkan hubunganmu dengannya, aku
baru kenal dia sekitar tiga tahun yang lalu"
"Keakraban suatu hubungan persahabatan tidak dinilai dari pendek panjangnya masa perkenalan, ada orang yang begitu berjumpa lantas hubungan jadi akrab, ada pula yang sudah berkenalan sejak sepuluh tahun berselang, tapi hubungannya tidak lebih hanya sekedar teman"
"Perkataanmu memang ada benarnya juga, Cuma tak terbantahkan bahwa hubungan persahabatanmu dengannya jauh lebih kental dan akrab ketimbang hubunganku denganhnya"
"Atas dasar apa kau berkata begitu?"
"Seperti contohnya dalam peristiwa ini, dia tidak pernah mau menjelaskan kepadaku secara terperinci, tapi dia justru siap berterus terang kepadamu, agar kau bisa melakukan penyelidikan baginya"
"Oya?' Siang Hu-hoa tampak agak tertegun kemudian berpikir dengan wajah sangsi.
Dia memang tidak mengerti dengan ucapan Tu Siau-thian itu, apa makna dibalik kesemuanya itu?
"Kemudian bila ditinjau dari sudutmu" ujar Tu Siau-thian lebih jauh." begitu Jui Gi datang menyampaikan kabar, nyatanya kau segera berangkat menuju kemari, bila bukan disebabkan hubungan kalian yang begitu akrab, mana mungkin kau sudi berbuat demikian?"
Siang Hu-hoa tertawa hambar, dia segera mengalihkan pokok pembicaraan ke soal lain, katanya:
"Sepagi ini kalian semua sudah bergerombol ditempat ini, apakah dalam gedung perpustakaan Ki-po-cay sudah terjadi peristiwa yang amat serius?"
"Betul!"
"Apakah majikanku sudah ketimpa musibah?" sela Jui Gi tak tahan.
Sebelum Tu Siau-thian sempat menjawab, tiba tiba Nyo Sin menyela dari samping:
"Darimana kau bisa tahu kalau majikanmu ketimpa musibah?"
"Aku hanya menduga"
"Tepat amat dugaanmu itu" jengek Nyo Sin lagi sambil tertawa dingin.
Berubah hebat paras muka Jui Gi setelah mendengar perkataan itu, tanyana dengan perasaan terperanjat:
"Bagaimana keadaan majikanku sekarang?"
Nyo sin tidak menjawab pertanyaan itu sebaliknya malah bertanya lagi:
"Sejak kapan kau tinggalkan gedung perpustakaan Ki-po- cay?"
"Bulan tiga tanggal tujuh" "Ke mana?"
"Mendapat perintah dari majikanku untuk menghantar sepucuk surat ke perkampungan Ban-hoa sanceng" "Untuk diberikan kepada siapa?" kembali Nyo Sin mendesak.
Seraya berpaling ke arah Siang Hu-hoa, sahut Jui Gi: "Untuk pemilik perkampungan Ba-hoa sanceng, tuan
Siang!"
"Selama tenggang waktu ini, apakah secara diam diam kau pernah berbalik kemari?"
Sekarang Jui Gi baru merasa kalau Nyo sin sedang mengintrogasi dirinya, seakan sudah menganggapnya sebagai seorang tersangka, sambil tertawa getir diapun berkata;
"Nyo tayjin, jarak antara Ki-po-cay dengan perkampungan Ban-hoa-sanceng itu sangat jauh, untuk pulang pergi dibutuhkan waktu paling tidak dua belas hari"
"Apa betul begitu?"
"Nyo tayjin, kalau tidak percaya dengan perkataan hamba, silahkan utus orang untuk membuktikannya, setiap rumah penginapan yang hamba gunakan masih tercatat rapi, tayjin bisa telusuri semua tempat untuk mencocokkan perkataan hamba"
"Tidak usah" Nyo Sin segera mengulapkan tangannya. "Jadi Nyo tayjin sudah percaya?"
"Terlalu awal untuk berkata begitu"
Jui Gi menghela napas panjang, sementara dia ingin berkata lagi, Siang Hu-hoa sudah menukas duluan:
"Sebenarnya apa yang telah terjadi dengan saudara Jui?"
"Dia sudah lenyap selama dua hari" kata Tu Siau-thian. "Kejadiannya berarti pada malam tanggal lima belas?"
tanya Siang Hu-hoa terperanjat. "Benar" Kembali Nyo Sin menyela pembicaraan itu, tanyanya kepada Siang Hu-hoa:
"Darimana kau bisa tahu kalau peristiwa tersebut terjadi pada malam tanggal lima belas?"
"Sebab dua hari berselang tepat tanggal lima belas, Raja laron punya kebiasaan munculkan diri di malam tanggal lima belas, persis saat bulan sedang purnama"
Begitu pernyataan itu diutarakan, paras muka Nyo sin dan Tu Siau-thian seketika berubah sangat hebat.
"Darimana kau bisa tahu kalau saat itu si Raja laron telah menampakkan diri?" desak Nyo Sin lagi.
"Siapa bilang aku tahu?"
"Tadi, bukankah kau berkata Raja laron muncul pada malam tanggal lima belas, disaat bulan sedang purnama "
"Tadi aku kan bilang si Raja laron punya kebiasaan berbuat begitu"
"Jadi kaupun mengetahui tentang kebiasaan sang raja laron?"
"Kalau cerita dongeng tentang laron penghisap darah pun kuketahui, masa kebiasaan sang raja laron tidak kupahami?"
Sambil m anggut manggut Tu Siau-thian segera berkata: "Atas dasar apa kau merasa yakin kalau lenyapnya Jui
Pakhay ada hubungan yang sangat erat dengan laron
penghisap darah?"
"Belum pernah kugunakan kata yakin!"
"Kau tidak pernah menyebut?" kembali Nyo Sin berseru, "lantas darimana kau bisa tahu kalau ke dua hal itu saling berhubungan?" "Apakah di dalam surat yang ditulis saudara Jui untukmu, dia sudah menyinggung tentang peristiwa aneh yang telah dialaminya pada permulaan bulan?" kembali Tu Siau-thian menyela.
Siang Hu-hoa manggut manggut membenarkan. "Apa yang ditulis dalam suratnya?"
"Laron penghisap darah tiap hari mengintai, nyawa kami berada diujung tanduk!!!"
"Karena itu kau buru buru datang kemari?"
"Yaaa, dan kelihatannya kedatanganku sedikit agak terlambat"
"Apa lagi yang telah dia katakan kepadamu" kembali Tu Siau-thian bertanya.
"Semua kejadian yang dialaminya sejak tanggal satu hingga tanggal enam telah dia sampaikan kepadaku secara terperinci dan jelas"
Berbinar sepasang mata Nyo Sin sesudah mendengar jawaban tersebut, baru saja dia akan menimbrung, Tu Siau- thian telah berkata duluan:
"Tanggal dua aku bersama dia berada ditepi telaga, saat itulah kami telah berjumpa dengan dua ekor laron penghisap darah, salah satu diantar anya malah sempat menggigit ujung jariku, apakah dia juga menyinggung tentang peristiwa ini?"
"Benar, dia sempat menyinggung soal ini" jawab Siang Hu- hoa, kemudian sambil menatap wajah orang dengan sorot mata tajam, terusnya, "Apa benar telah terjadi peristiwa semacam ini?"
"Benar, sama sekali tidak bohong" Tu Siau-thian mengangguk.
Agak berubah air muka Siang Hu-hoa. "Jadi di kolong langit benar benar terdapat makhluk semacam laron penghisap darah?" tegasnya.
"Memang nyata ada!" "Kelihatannya kau begitu yakin?*
"Aku sangat yakin, karena aku memang berasal dari wilayah Siau-siang"
"Oooh "
"Laron semacam itu memang merupakan makhluk khas dari hutan seputar wilayah Siau-siang, sudah sejak jaman dulu makhluk tersebut hidup disana"
"Mereka benar benar pandai menghisap darah?" "Kalau soal ini mah aku kurang yakin " bisik Tu Siau-
thian.
"Kalau kutinjau dari isi surat yang ditulis saudara Jui, kelihatannya laron itu selain pandai menghisap darah, bentuknya pun sangat aneh, khas dan memiliki warna yang sangat indah"
"Kalau dibilang bentuknya aneh, khas dan berwarna indah, rasanya dia memang tidak berbohong" Tu Siau-thian menegaskan.
Kemudian setelah berhenti sejenak, terusnya:
"Tidak usah melihat makhluk tersebut dengan mata kepala sendiripun, kita bisa membayangkan betapa aneh dan indahnya binatang itu dari nama-nama yang diberikan orang"
"Ooh, mereka punya banyak nama? Apa saja?"
"Di wilayah Siau-siang, kebanyakan orang menyebutnya laron penghisap darah, tapi ada juga yang menyebut laron berwajah setan, laron bermata iblis, laron bermata burung hantu" "Bagaimana sih bentuk laron itu?" tidak tahan Siang Hu-hoa bertanya lebih jauh.
"Bentuk luarnya tidak jauh berbeda dengan kebanyakan laron, tapi warnanya sangat berbeda, laron penghisap darah mempunyai tubuh berwarna hijau kemala, sepasang sayapnya berwarna hijau pula"
"Hijau kemala itu warna yang cantik dan indah, kenapa dikatakan menyeramkan?"
"Sebab dibalik warna hijau yang menyelimuti seluruh badannya, khusus pada bagian sayapnya justru penuh ditebari garis garis merah darah yang mencolok, diatas sepasang sayapnya itu terdapat pula garis merah yang berbentuk seperti mata, mata berwarna merah darah sehingga sekilas pandang mirip sekali dengan sepasang mata hantu yang berlumuran darah"
"Oooh, tidak aneh kalau ada begitu banyak nama sebutan" sekarang Siang Hu-hoa baru paham.
Tu Siau-thian kembali mengalihkan pokok pembicaraan, ujarnya:
"Peristiwa yang terjadi selama berapa hari belakangan memang terasa aneh sekali, bukan Cuma aneh bahkan sulit dipercaya dengan akal sehat"
"Ehmmm, aku pun sependapat dengan pandanganmu itu, mana mungkin di dunia ini terdapat setan hantu atau siluman dan sebangsanya, mana mungkin istrinya adalah jelmaan dari laron penghisap darah? Mana ada siluman laron di jagat raya ini?"
Begitu perkataan itu diutarakan, suasana pun berubah jadi gempar, hampir semua yang hadir dibuat terperanjat dan keheranan. "Siapa bilang istrinya adalah jelmaan dari laron penghisap darah? Siapa bilang dia adalah siluman laron?" tidak kuasa Nyo Sin berteriak keras.
"Apakah dia menulis begitu di dalam suratnya?" tanya Tu Siau-thian pula.
Kini giliran Siang Hu-hoa yang melengak.
"Jadi kau tidak mengetahui secara keseluruhan peristiwa yang terjadi waktu itu?" dia balik bertanya.
Ternyata Tu Siau-thian tidak menyangkal akan hal itu. "Berarti kau hanya tahu peristiwa yang terjadi pada tanggal
satu saja?" kembali Siang Hu-hoa bertanya
"Dia pernah menyinggung soal peristiwa yang dialami pada tanggal satu malam, tapi kemudian sejak tanggal tiga aku mendapat tugas hingga mesti pergi dari sini, ketika balik lagi waktu sudah menunjukkan tanggal empat belas bulan tiga malam"
"Pada tanggal empat belas dan lima belas, apakah kau pernah bersua dengannya?"
"Selama dua hari ini kami selalu bersama "
"Ketika bertemu, apakah dia sempat mengatakan sesuatu kepadamu?"
Tu Siau-thian menggeleng.
"Aku pernah bertanya, tapi dia sepertinya enggan untuk menjawab" katanya.
"Bila kutinjau dari apa yang kau utarakan tadi, seakan kau sudah tahu secara jelas semua persoalan ini?"
Perasaan menyesal sempat melintas diwajah Tu Siau-thian, sahutnya kemudian: "Kalau bukan begitu, tak nanti aku bisa mengorek keterangan sebanyak itu"
"Sudah berapa lama kau bekerja di kantor pengadilan (lak- san-bun)?"
"Sepuluh tahun lebih"
"Tidak heran kalau kaupun berhasil mengorek keterangan dari mulutku, tampaknya kau selalu menggunakan cara seperti ini untuk mengorek keterangan dari para tersangka"
"Cara sih bukan Cuma itu saja, masih banyak macam" "Waah, kalau begitu aku mesti lebih waspada lagi jika harus
berbicara lagi dengan orang orang dari kalangan kalian dikemudian hari"
Tu Siau-thian tidak menanggapi ucapan itu, kembali dia mengalihkan pokok pembicaraan, tanyanya:
"Apa lagi yang saudara Jui terangkan didalam suratnya kepadamu?"
Sebelum Siang Hu-hoa menjawab, Nyo Sin sudah menimbrung lagi dengan suara keras:
"Apakah surat itu masih kau simpan?" "Masih!"
"Kau bawa dalam sakumu?" "Tidak"
"Sekarang surat itu berada di mana?" "Perkampungan Ban-hoa sanceng"
"Kau taruh dimana dalam perkampunganmu itu?"
"Dalam kamar bacaku!" jawab Siang Huhoa ketus, ditatapnya pembesar itu sekejap dengan pandangan dingin. "Kalau begitu akan kuutus anak buahku untuk pergi mengambilnya"
"Sayang kecuali aku sendiri, tidak pernah ada orang lain yang sanggup mengambil dan membawa pergi benda apa pun yang tersimpan dalam kamar bacaku di perkampungan Ban- hoa san-ceng"
Mendengar perkataan itu, Nyo Sin kontan tertegun dan tidak sanggup berkata-kata lagi.
Siang Hu-hoa tidak menggubris dia lagi, seraya berpaling ke arah Tu Siau-thian, ujarnya:
"Ketika lenyap tidak berbekas, kebetulan saudara Jui sedang berada di mana?"
"Di dalam ruangan perpustakaannya, Ki po cay!" "Apakah di dalam ruang perpustakaan waktu itu hadir
orang lain?"
"Rasanya sih tidak ada" "Diluar perpustakaan?"
"Aku dan ke dua anak buahku berjaga-jaga disitu" "Apa yang sedang kalian bertiga lakukan waktu itu?"
"Lantaran kuatir pada malam tanggal lima belas benar- benar akan terjadi peristiwa yang tidak diinginkan, maka aku mengajak dua orang anak buahku untuk bersiaga disini, maksud kami, bila terjadi sesuatu kegaduhan maka kami bisa segera memberi bantuan"
"Kalau memang bermaksud begitu, kenapa kalian tidak sekalian bergabung dengannya di dalam ruangan?"
"Sebab dia bersikeras menampik tawaran kami" "Oya?" "Alasannya, dia tidak ingin ada teman yang mempertaruhkan jiwa demi dirinya"
"Maka dari itu kalian bertiga hanya bisa berjaga jaga diluar perpustakaan?"
Tu Siau-thian mengangguk membenarkan.
"Sebenarnya bagaimana kisah kejadian itu?" tanya Siang Hu-hoa lagi.
Waktu itu kami bertiga berjaga didalam gardu diluar halaman perpustakaan itu sambil mengawasi gerak gerik disekeliling tempat itu, sejak kentongan pertama hingga kentongan kedua, dari kentongan ke dua hingga kentongan ketiga, selama itu suasana sangat tenang, tapi begitu tiba pada kentongan ke tiga "
"Apa yang terjadi?"
"Tiba-tiba terdengar jeritan kaget dari dalam ruang perpustakaan"
"Kalian yakin dia yang menjerit?" Tu Siau-thian mengangguk.
"Waktu itu bayangan tubuhnya menempel diatas kertas jendela, begitu berkumandang suara jeritan, bayangan tubuhnya segera melejit ke udara diikuti suara gemerincing senjata yang diloloskan dari sarung!"
"Apa yang dia teriakkan?"
"Hanya tiga kata, laron penghisap darah!" "Apa pula yang terjadi sesudah dia meloloskan
pedangnya?" tanya Siang Huhoa lebih jauh.
"Tubuh dan pedangnya melejit bersama ke udara!" "Ehmmm, itulah tujuh bintang pencabut nyawa, pedang
sakti perenggut sukma, biarpun selama tiga tahun belakangan ilmu tersebut tak pernah dilatih lagi, namun bukan setiap orang mampu menghadapi serangan maut itu"
"Sayang musuh yang dia hadapi kali ini bukan manusia" sela Tu Siau-thian.
"Setelah dia melancarkan serangan dengan pedangnya, apa pula yang terjadi?"
"Tiba tiba seluruh cahaya lentera di dalam perpustakaan padam, disusul kemudian semua suara yang semula gaduh mendadak jadi hening, sepi dan tidak kedengaran sedikit suara pun, ketika kami bertiga menerjang masuk dengan menjebol pintu, bayangan tubuhnya sudah lenyap tak berbekas, yang kami jumpai hanya dua buah sayatan bekas bacokan senjata diujung meja tepi lentera serta sebercak darah kental"
"Bisa jadi bercak darah itu berasal dari darah musuh, setelah berhasil pukul mundur musuhnya, dia segera melakukan pengejaran" kata Siang Hu-hoa.
"Tapi semua pintu dan jendela berada dalam keadaan tertutup, kami saja masuk dengan menjebol pintu sementara semua jendela terkunci dari dalam, dengan cara apa dia meninggalkan ruangan ini?"
"Kalian yakin tidak keliru?" Siang Hu-hoa mulai mengerutkan dahinya.
"Kami sudah memeriksanya berulang kali dan yakin tidak salah"
Siang Hu-hoa tidak bicara lagi, dia mulai termenung sambil memutar otak.
Setelah menghela napas panjang Tu Siau-thian berkata lagi:
"Kecuali didalam waktu yang relatip singkat dia sudah dimakan kawanan laron penghisap darah itu hingga tulang belulangnya pun ikut termakan, atau dia terkena kekuatan siluman dari si Raja laron hingga badannya menguap jadi asap, kalau bukan begitu, dia pasti memiliki ilmu penembus dinding, kalau tidak, tak mungkin dia bisa meninggalkan perpustakaan itu tanpa kami ketahui "
"Perpustakaan itu berada dimana?" tiba tiba Siang Hu-hoa bertanya, "cepat bawa aku ke sana"
Belum sempat Tu Siau-thian memberikan jawaban, Jui Gi yang berada disampingnya telah menyela duluan:
"Siang-ya, ikuti hamba" dia segera berjalan meninggalkan tempat itu.
Tampaknya dia jauh lebih gelisah ketimbang Siang Hu-hoa.
Tanpa banyak bicara Siang Hu-hoa mengikuti di belakangnya. Dengan cepat mereka berdua berjalan melewati disisi Nyoo Sin, sewaktu lewat mereka sama sekali tidak menggubris pembesar itu, seakan mereka sama sekali tidak memandang sebelah matapun terhadap orang ini.
Bagaimana mungkin Nyo Sin bisa menela rasa mendongkolnya, baru saja dia hendak menghardik, Tu Siau- thian yang tiba disampingnya segera menyela:
"Komandan, kita pun harus segera masuk"
Nyo Sin mengiakan seraya berpaling, ditatapnya Tu Siau- thian dengan mata melotot, tampaknya dia segera akan mencaci maki anak buahnya ini.
Tampaknya Tu Siau-thian tahu gelagat, buru buru ujarnya lagi:
"Nama besar Siang Hu-hoa sudah amat termashur dalam dunia persilatan, baik ilmu silatnya maupun kecerdasan otaknya konon jarang yang bisa menandingi, asal dia mau membantu, aku yakin kasus ini bisa terkuak lebih cepat dan gampang" Nyo Sin tertawa dingin.
"Memangnya tanpa bantuan dia, kasus ini akan sulit terkuak dan terselesaikan?" sahutnya tidak terima.
"Bukan begitu maksudku, kalau ada jalan pintas kenapa kita mesti berputar? Komandan, tentunya kau paham akan teori ini bukan?"
"Darimana kau bisa tahu kalau jalan yang bakal kutempuh bukan jalan pintas? Dan penyelidikanku tak bakal lebih awal mengungkap kasus ini?"
Tu Siau-thian tertawa hambar, katanya:
"Aku hanya tahu sampai sekarang kita masih tetap berada disini, kalau memang komandan bisa menemukan kunci dari seluruh persoalan dalam sekilas pandangan, aku yakin kita pasti akan lebih cepat mengungkap kasus ini"
"Nah, begitu baru masuk akal" seru Nyo Sin sambil manggut.
Dia segera berpaling sambil memberi tanda, serunya: "Ayoh anak anak, ikuti aku!"
Dibawah pimpinan Nyo Sin, berangkatlah kawanan opas itu menuju ke gedung perpustakaan Ki-po-cay.
Tentu saja tak ada orang yang menghalangi kepergian mereka, dimana Jui Gi dan Siang Hu-hoa bisa masuk, mereka pun dapat memasuki juga.
Jui Gi adalah kepala pengurus rumah tangga, disaat Jui Pakhay tidak ada dirumah, kecuali Gi Tiok-kun, urusan apa pun yang terjadi disana dapat dia putuskan sendiri.
Kini Gi Tiok-kun sama sekali tidak munculkan diri, besar kemungkinan belum ada orang yang menyampaikan berita buruk ini kepadanya hingga dia sama sekali tidak mengetahui akan terjadinya peristiwa ini. 0-0-0
Angin timur berhembus sepoi ditengah halaman, bunga dan dedaunan tampak berguguran dan mengotori permukaan tanah.
Ketika menelusuri jalan setapak ditengah taman itu, tidak tahan Nyo Sin berkata lagi:
"Aku adalah komandan opas diwilayah ini, perduli dia seorang jago kenamaan dari dunia persilatan atau bukan, tanpa seijin diriku siapa pun dilarang memasuki tempat kejadian kasus barang setengah langkah pun, kalau tidak aku bisa menjatukan tuduhan sebagai tersangka yang mencurigakan terhadap dirinya!"
"Semestinya memang begitu" sahut Tu Siau-thian sambil tertawa, "tapi sayang hingga sekarang keluarga Jui tidak ada yang melaporkan kejadian ini kepada pengadilan"
Nyo Sin tertegun.
"Sekarang posisi kita tidak jauh berbeda dengan posisinya" Tu Siau-thian berkata lebih jauh, "kita semua sama sama masuk kemari dengan status sebagai teman Jui Pakhay, jadi kita datang bukan untuk menyelidiki kasus ini tapi datang untuk menjenguk teman"
Setelah berhenti sejenak, kembali terusnya: "Kini Jui Pakhay tidak ditempat, nyonya rumah juga tidak nampak, maka bila Jui Gi si kepala rumah tangga merasa tidak senang menerima kita sebagai tamunya, jangankan memasuki perpustakaan itu, mau berdiam lebih lama disini pun mungkin akan jadi masalah besar, sebab setiap saat dia berhak untuk mempersilahkan kita keluar dari sini"
"Tapi bukankah Jui Pakhay telah lenyap?"
"Kalau mereka bersikeras mengatakan tidak, apa yang bisa kita lakukan?" "Kita bisa meminta Jui Pakhay tampil keluar dan bertemu dengan kita semua"
"Kalau mereka mengatakan bahwa tuan rumah tidak ingin menerima tamu, apa yang bisa kita perbuat? Atau kalau mereka mengatakan tuan rumah sedang bepergian, apa pula yang bisa kita perbuat?"
"Tapi bukankah kau menyaksikan dengan
mata kepala sendiri "
"Tuduhan tanpa bukti sama sekali tidak ada kekuatan hukumnya, apalagi kejadian semacam itu memang sulit dipercaya dengan akal sehat"
"Lalu " Nyo sin mulai kelimpungan.
"Kecuali keluarga Jui melaporkan kasus kejadian ini ke pengadilan, atau kita temukan mayat, kalau bukan begitu kehadiran kita tetap berstatus sebagai tamu"
"Lalu bagaimana baiknya?" tanya Nyo Sin kemudian agak tergagap.
"Biarkan saja Siang Hu-hoa yang berperan"
"Kalau sampai dia yang memperoleh pahala, kita bisa kehilangan muda"
"Dia adalah seorang anggota persilatan, sekalipun sudah berjasa, apa gunanya?"
"Ehmm, benar juga perkataan itu"
"Seandainya dia yang bekerja keras dan berhasil mengungkap kejadian yang sebenarnya, buat kita hal ini lebih banyak untungnya daripada rugi" kembali Tu Siau-thian berkata.
"Ehrnmm, betul juga" Nyo Sin m anggut m anggut, ditinjau dari mimik mukanya, dia seakan sudah punya rencana sendiri. Tentu saja Tu Siau-thian dapat melihat semua perubahan mimik muka itu dengan jelas, buru buru ujarnya lagi:
"Tapi demi martabat dan harga diri, tentu saja dalam bidang ini kitapun mesti ikut berusaha, kalau bisa tentu saja komandan mesti bertindak lebih dini sehingga bisa mendahului dia"
"Sudah pasti harus begitu" Nyo Sin manggut manggut sambil mempercepat langkah kakinya.
Setelah memasuki pintu berbentuk setengah bulan dan melewati gardu ditengah halaman, tibalah mereka di depan gedung perpustakaan.
Nyo Sin dan Tu Siau-thian langsung melangkah masuk ke dalam ruang gedung.
Pintu yang jebol masih tergeletak ditanah, hancuran daun jendela pun masih berserakan disekeliling sana, segala sesuatunya masih berada dalam posi» semula.
Cara kerja Siang Hu-hoa sangat berhati-hati, dia sama sekali tidak menggeser benda apa pun yang ada disitu, ketika Nyo Sin dan Tu Siau-thian berjalan masuk ke dalam ruangan, dia sedang berdiri didepan meja sambil bergendong tangan, seluruh perhatiannya tertuju pada bercak darah yang tertinggal diatas meja.
Bercak darah itu sudah menghitam, sementara Jui Gi berdiri disamping Siang Hu-hoa walaupun sorot matanya justru tertuju ke wajah orang itu.
Tiba tiba Siang Hu-hoa mengernyitkan dahinya. Melihat hal itu Jui Gi segera bertanya:
"Siang-ya, menurut pandanganmu apakah noda itu berasal dari darah manusia?"
"Rasanya sih mirip, tapi darah lama atau darah baru tidak ada bedanya, jadi lebih baik kita tanyai dulu opas Tu" Dia tidak perlu berpaling sebab Tu Siau-thian sudah menghampiri mereka dengan langkah cepat.
Begitu mendekat Tu Siau-thian segera menjawab:
"Aku rasa itu darah manusia, tapi seperti juga kalian, aku pun tidak yakin seratus persen"
"Kenapa tidak terlalu yakin?" Tu Siau-thian tertawa getir.
"Walaupun aku pernah bertemu laron penghisap darah namun belum pernah menyaksikan darah dari laron laron penghisap darah tersebut, aku tidak bisa membedakan apakah darah dari laron penghisap darah sama seperti darah dari manusia!"
"Sebelum terjadinya peristiwa ini, apakah kalian tidak pernah berjumpa dengan laron penghisap darah?" tanya Siang Hu-hoa kemudian.
"Belum pernah" Tu Siau-thian menggeleng.
"Setelah kejadian, apakah kalian juga tidak melihat laron penghisap darah itu terbang pergi dari hadapan kalian?"
Sekali lagi Tu Siau-thian menggeleng:
"Juga tidak" sahutnya, "sewaktu kami menerjang masuk dengan menjebol pintu, tidak seekorpun laron penghisap darah yang kami saksikan"
"Dan dia juga sudah lenyap tidak berbekas?"
Tu Siau-thian mengangguk tanda membenarkan. Siang Hu-hoa menyapu sekejap sekeliling ruangan,
kemudian tanyanya lagi:
"Waktu itu apakah posisi dan keadaan didalam perpustakaan persis seperti keadaan saat ini?" "Benar, aku berusaha agar segala sesuatunya tetap berada pada posisi semula"
"Selama dua hari terakhir, aku percaya kalian pasti sudah mendatangi tempat ini dan melakukan pelacakan secermat mungkin"
"Segala sesuatunya telah kami periksa dengan seksama" Tu Siau-thian membenarkan.
Kemudian setelah menyapu sekeliling tempat itu sekejap, terusnya:
"Gedung perpustakaan ini tidak terlalu luas, untuk memeriksa dan melacak setiap jengkal tanah di dalam Ki-po- cay ini tidak perlu waktu satu hari"
"Ehm, bila kutinjau dari ungkapanmu itu, berarti setiap jengkal tanah di dalam gedung Ki-po-cay ini sudah kalian lacak dan periksa dengan seksama?"
Untuk kesekian kalinya Tu Siau-thian mengangguk. "Kemarin, lingkup penyelidikan kami malah sudah diperluas
hingga ke setiap sudut tempat di dalam kota"
"Apa berhasil menemukan sesuatu?"
"Tidak, dia seakan sudah berubah jadi segulung asap, seonggok debu yang terbang melayang dan menyebar ke angkasa, hilang lenyap dari permukaan bumi"
Dengan kening semakin berkerut Siang Hu-hoa mulai berjalan mondar mandir dalam ruangan, sembari berjalan gumamnya tiada hentinya:
"Jelas jelas gedung perpustakaan ini berada dalam keadaan terkunci, bagaimana mungkin di dalam waktu yang amat singkat seorang manusia yang begitu besar bisa hilang lenyap tidak berbekas, memangnya ini sulapan? Memangnya dia punya ilmu siluman?" "Kau pun percaya dengan segala macam ilmu siluman atau setan iblis?" dengan pandangan keheranan Tu Siau-thian mengawasinya.
"Tentu saja tidak percaya" jawaban Siang Hu-hoa sangat hambar.
"Kalau tidak, lantas bagaimana penjelasanmu tentang peristiwa ini?"
Siang Hu-hoa tidak menyahut, sesungguhnya dia memang tidak tahu bagaimana mesti memberikan penjelasannya, mendadak dia menghentikan langkah kakinya lalu berputar berapa kali disekeliling dinding ruangan.