Bab 03: Awal Mula
"Tapi dengan cepat tiga belas malam akan berlalu dengan begitu saja"
"Kalau begitu selama berapa malam nanti cobalah lebih waspada dan berhati-hati, apabila Laron penghisap darah itu muncul kembali, rasanya belum terlambat bagi kita untuk mencari akal guna menghadapinya"
Jui Pakhay tidak bicara lagi, dia terbungkam dalam seribu bahasa.
"Berapa hari lagi, aku pasti akan datang berkunjung ke rumahmu" kembali Tu Siau-thian berjanji.
Jui Pakhay tetap membungkam tanpa menjawab, mendadak dia menghentikan langkah kakinya.
Tanpa terasa Tu Siau-thian ikut menghentikan langkahnya sembari bergumam:
"Mungkin apa yang kau tampak hanya gambar ilusi yang muncul sesaat, karena terpengaruh oleh ilusi tersebut maka kau kira ada Laron penghisap darah hendak menghisap darahmu"
Ketika selesai mengucapkan perkataan itu, dia baru menjumpai kalau sepasang mata Jui Pakhay sedang terbelalak lebar-lebar, dengan wajah tertegun dan mulut melongo dia sedang mengawasi sebuah dahan pohon liu yang tumbuh ditepi jalan.
Tanpa terasa dia mengikuti arah pandangan mata rekannya dan mengawasi pula dahan pohon itu.
Namun dengan cepat paras mukanya berubah hebat, ternyata diatas dahan pohon itu bertengger dua ekor Laron. Laron hijau yang tubuhnya mengkilat bagaikan batu kemala hijau, diatas sayapnya seakan dipenuhi garis-garis merah darah dengan sepasang mata yang merah membara.
Sepasang mata Laron yang tumbuh diatas kepalanya juga berwarna merah membara, begitu merahnya sehingga mirip dengan darah segar.
Laron penghisap darah!! Tu Siau-thian tertegun, matanya mendelong, wajahnya berubah hebat, setelah tertegun sesaat tiba tiba dia melangkah maju, dengan satu gerakan cepat dihampirinya dahan pohon Liu itu.
Jui Pakhay mencoba menghalangi namun tidak berhasil, untuk sesaat dia jadi melongo dan tidak sepatah kata pun mampu diucapkan.
Ketika tiba di dekat pohon Liu itu, Tu Siau-thian memperlambat langkah kakinya, begitu dia berhenti melangkah, tangan kanannya secepat kilat menyambar ke depan, mencengkeram seekor Laron penghisap darah yang berada disitu.
Biarpun gerakan serangannya amat cepat, ternyata gerakan Laron penghisap darah itu jauh lebih cepat, belum sempat menyentuh makhluk tersebut, tahu-tahu ke dua ekor Laron penghisap darah itu sudah terbang ke angkasa.
Reaksi maupun ke sensitifan Laron penghisap darah itu ternyata sama sekali tidak berada dibawah kecepatan reaksi kupu-kupu.
Gerakan tubuh Tu Siau-thian semakin cekatan, mendadak dia melambung ke tengah udara sambil melancarkan tiga kali sambaran, akhirnya dengan satu gerakan cepat dia berhasil menangkap Laron penghisap darah itu.
Jangan dilihat gerakan tubuhnya sangat cekat dan kasar, ternyata kekuatan yang digunakan telah diperhitungkan dengan matang, hal ini menyebabkan Laron penghisap darah itu sama sekali tidak sampai tergencet mati walau telah berhasil dicengkeram olehnya, sepasang sayapnya masih bergetar tiada hentinya.
Bubuk Laron berwarna hijau kepucat-pu catan telah memenuhi telapak tangan Tu Siau-thian, melihat itu dia tertawa terbahak bahak.
Tampaknya Laron penghisap darah itu seakan sudah ketakutan setengah mati hingga mendekati gila, sepasang matanya yang merah kini bertambah merah tajam, bahkan seolah sudah mulai melelehkan darah segar.
Sambil tertawa Tu Siau-thian segera berpaling ke arah Jui Pakhay, kemudian ujarnya:
"Bila Laron semacam ini benar-benar pandai menghisap darah, sekarang sudah seharusnya menghisapkan darahku "
Belum habis perkataan itu diucapkan, tiba-tiba paras mukanya berubah hebat.
Satu tusukan keras yang menimbulkan perasaan sakit yang luar biasa muncul dari ibu jarinya, dengan perasaan terperanjat dia berpaling
Tampak olehnya sebuah tabung hisap berwarna merah darah dengan ujung jarumnya yang tajam telah menancap di ibu jari tangannya dan saat itu darah segar miliknya mulai dihisap oleh Laron penghisap darah itu.
Tidak terlukiskan rasa kaget bercampur ngeri yang dialami Tu Siau-thian waktu itu, paras mukanya sampai berubah menjadi hijau membesi.
Ketika dia mulai merasa bahwa darah segar telah dihisap keluar melalui jari tangannya, saat itu pula dia berdiri termangu, benarkah apa yang sedang dialaminya saat ini merupakan sebuah kejadian nyata? Apakah bukan hanya sebuah ilusi? Untuk berapa saat dia jadi kebingungan dan tidak bisa membedakan secara jelas.
"Laron penghisap darah!!" dengan perasaan takut bercampur ngeri yang luar biasa dia menjerit.
Karena teriakan yang keras disertai perasaan kaget yang luar biasa ini, tanpa sadar genggamannya pada Laron penghisap darah itupun jadi mengendor.
"Sreeet!" diiringi desingan angin tajam, Laron penghisap darah itu meloloskan diri dari genggamannya dan terbang ke udara, langsung menyusup ke balik pepohonan Liu yang rindang.
Dalam pada itu, Laron penghisap darah yang ke dua pun sudah terbang lenyap entah ke mana.
Sorot mata Tu Siau-thian tidak pernah terlepas dari tubuh Laron yang sedang terbang ke balik rimbunnya pepohonan. Menanti bayangan tubuh makhluk itu sudah lenyap dari pandangan, dia baru mengalihkan kembali sorot matanya keatas ujung jari telunjuk sendiri.
Tidak ada darah yang meleleh keluar, diujung jari tangannya hanya tersisa setitik darah segar, namun hal itu sudah cukup membuat pandangan matanya terbelalak lebar.
Jui Pakhay ikut mengawasi ibu jari tangan Tu Siau-thian yang berdarah itu, paras mukanya kini telah memucat bagaikan selembar kertas.
Rasa takut, ngeri dan seram yang mencekam perasaan hatinya sekarang sediktpun tidak berada dibawah perasaan Tu Siau-thian.
Untuk berapa saat lamanya kedua orang itu hanya bisa berdiri termangu tanpa mampu melakukan suatu perbuatan apa pun. Entah berapa saat sudah lewat, lama kemudian akhirnya Tu Siau-thian memecahkan kesunyian lebih dahulu, katanya:
"Tidak disangka ternyata makhluk ini benar-benar mampu menghisap darah"
Dalam keadaan seperti ini, ternyata dia masih sanggup tertawa walaupun senyuman yang menghiasi bibirnya boleh dibilang sama sekali tidak mirip sebuah senyuman.
Terlebih Jui Pakhay, boleh dibilang dia tidak sanggup tertawa lagi, sambil mengamati ujung jari Tu Siau-thian yang berdarah, gumamnya lirih:
"Kemarin malam hanya muncul seekor, hari ini sudah dua ekor, berapa banyak yang akan muncul besok malam?"
Ucapan tersebut diutarakan dengan suara yang sangat aneh, boleh dibilang sama sekali tidak mirip dengan suara aslinya.
Tu Siau-thian hanya mendengarkan dengan wajah tertegun, hatinya bergidik, bulu romanya tanpa terasa pada bangun berdiri.
Tiba-tiba Jui Pakhay mengalihkan sorot matanya ke atas wajah Tu Siau-thian, kemudian katanya lirih:
"Begitu kau berhasil menemukan cara yang tepat untuk menanggulangi serangan makhluk itu, cepatlah beritahu kepadaku"
Begitu selesai berkata, ia segera beranjak pergi dari tempat itu dengan kecepatan luar biasa.
"Kau akan ke mana sekarang?" teriak Tu Siau-thian keras- keras.
"Aku akan mencari teman-teman yang lain, siapa tahu mereka punya cara untuk menghadapinya" ketika selesai mengucapkan perkataan itu, tubuhnya sudah berada jauh sekali. Tu Siau-thian tidak mengejar, sekujur tubuhnya seolah sudah menjadi kaku dan membeku ditengah rimbunnya pepohonan.
Dia sebetulnya tidak mau percaya kalau kejadian semacam ini merupakan sebuah kenyataan, tapi sekarang mau tidak mau dia harus mempercayainya.
Menjelang tengah hari, kabut tipis makin menyelimuti tepi telaga, membungkus seluruh pepohonan Liu hingga tampak samar.
Dahan Liu bergoyang terhembus angin musim semi, bergerak naik turun ditengah gulungan kabut, sesungguhnya pemandangan saat ini sangat indah, namun dalam pandangan Tu Siau-thian justru terasa menyeramkan dan mendirikan bulu roma.
Dahan pohon Liu yang bergoyang, ibarat kerumunan Laron yang sedang menggeliat, Laron penghisap darah!
0-0-0
Bulan tiga tanggal tiga, senja telah menjelang tiba, hujan disertai angin membasahi seluruh jagad, membuat udara terasa dingin.
Jui Pakhay duduk termenung seorang diri di dalam ruang kamarnya, kemasgulan dan kemurungan jelas membekas diatas raut mukanya
Dia baru saja selesai bersantap, ketika sisa nasi dan sayur dibawa keluar, semuanya utuh seolah tidak satupun yang pernah disentuh olehnya, dalam dua hari belakangan selera makannya memang kurang begitu baik.
Kemarin malam, meski Laron penghisap darah tidak muncul lagi, namun kemunculan dua ekor Laron penghisap darah ditepi telaga siang tadi sudah lebih dari cukup untuk mempengaruhi selera makannya. Menyaksikan mimik mukanya itu, Gi Tiok-kun ikut hilang selera makannya, jangan lagi bersantap, selera untuk berbicara pun ikut lenyap tidak berbekas.
Gi Tiok-kun bukan orang lain, dia adalah istri Jui Pakhay, usianya sepuluh tahun lebih muda dibandingkan usia suaminya.
Tiga tahun berselang, dia masih nampak bagaikan sekuntum bunga segar yang terhembus angin musim semi, segar dan bergairah sehingga memancing datangnya kupu- kupu dan serangga, cantik, segar dan menawan hati.
Tapi tiga tahun kemudian, dia nampak jauh lebih tua ketimbang Jui Pakhay.
Meskipun belum tampak kerutan dahinya namun masa remaja seakan sudah jauh meninggalkan dirinya, yang tersisa sekarang hanya sepasang matanya yang jeli, sepasang mata jeli yang masih membawa sebuah kehangatan dari masa remajanya.
Biji matanya yang berkilat ibarat dua gulungan bara api berwarna hitam, masih tetap berkialauan, masih tetap membara. Siapa pun yang pernah bersua dengannya, pasti dapat menduga kalau penghidupannya selama tiga tahun terakhir pasti kurang nyaman, pasti kurang bahagia.
Kehidupan yang serba kecukupan bukan jaminan dapat menghilangkan semua kemurungan, kemasgulan dan kesengsaraan perasaan hatinya.
Karena orang yang dinikahi sekarang bukanlah orang yang dia ingin nikahi.
Semenjak menikah dengan Jui Pakhay, kehidupannya seolah sudah mati separuh.
Walaupun sampai kini dia belum sampai mati, namun wajahnya, perasaan hatinya tidak berbeda dengan sekuntum bunga yang mulai layu karena tidak pernah mendapat siraman air segar.
Jui Pakhay sama sekali tidak bisa menyelami perasaan hati istrinya, berbeda dengan Gi Toa-ma, ibu angkatnya, orang tua ini sangat memahami perasaan hati anak asuhnya, hanya sayang Gi Toa-ma tidak pernah memikirkan persoalan itu ke dalam hatinya.
Apa yang dipikirkan Gi Toa-ma tidak lebih hanya semacam benda, semacam benda yang bisa digunakan untuk membeli apa-apa, duit!
Dulu, dia sengaja memelihara Gi Tiok-kun karena dia tahu perempuan ini adalah seorang perempuan cantik, setelah tumbuh dewasa nanti, dari tubuhnya dia bisa meraup duit dalam jumlah yang sangat besar.
Itulah sebabnya dia selalu memberikan hidangan dan pakaian terbaik untuk Gi Tiok-kun, melatihnya menyanyi, menari dan memainkan alat musik, dia paksa gadis itu menjual nyanyi tanpa menjual badan, menemani orang minum arak tapi tidak menemani tidur, hal ini bukan dikarenakan dia sayang dengan perempuan ini, tapi ingin menunggu hingga munculnya sang pembeli yang ideal dan sesuai dengan kehendak hatinya.
Ketika tawar menawar mencapai satu angka kesepakatan, maka diapun serahkan Gi Tiok-kun kepada Jui Pakhay bagaikan menyerahkan sebuah barang pesanan saja.
Saat itulah Gi Tiok-kun baru tahu manusia macam apakah Gi Toa-ma dan apa maksud tujuannya, namun dia tidak bisa berbuat lain kecuali pasrah.
Gi Toa-ma punya banyak anak buah dan begundal, terlebih Jui Pakhay, dia adalah seorang jagoan yang luar biasa, bila dirinya menolak perkawinan tersebut, bisa dipastikan hanya jalan kematian yang terbentang di depan matanya Tentu saja dia tidak ingin memilih jalan kematian, sebab usianya masih sangat muda, sewaktu dikawinkan dengan Jui Pakhay, usianya baru mencapai sembilan belas tahun.
Orang muda mana yang tidak menyayangi nyawanya sendiri? Apalagi seorang gadis yang baru berusia sembilan belas tahun.
Selama ini dia selalu beranggapan bisa menahan semua siksaan batin itu. namun kenyataan membuktikan dia harus menerima kesemuanya itu dengan susah payah.
Biarpun dia tumbuh dewasa dalam lingkungan pelacuran, gadis ini tidak pernah tertular gaya hidup serta tingkah laku kaum pelacur.
Tapi kesemuanya itu bukan merupakan alasannya yang paling utama, alasannya yang terutama adalah karena hatinya sudah dimiliki orang lain.
Pada malam pertama dia menikah dengan Jui Pakhay, malam pengantin harus dia lalui bagaikan dalam malam siksaan, malam perkosaan, dia merasa bagaikan sedang dinodai orang, diperkosa orang lain, siksaan batin tersebut selalu tersimpan dalam lubuk hatinya hingga detik ini.
Dia tidak menjadi gila sudah merupakan satu mukjizat, bayangkan saja, perempuan mana yang bisa hidup tenteram dalam suasana seperti ini.
Tidak heran kalau kini raut mukanya berubah menjadi cepat tua. Meski penampilan mukanya hanya lebih tua sepuluh tahun, namun perasaan hatinya sudah lama mati, mati ketuaan.
Tidak seorang manusia pun yang memahami perasaan hatinya, bahkan Jui Pakhay sendiripun sama sekali tidak tahu.
Selama ini dia selalu menunjukkan sikap seakan dia amat mencintai Gi Tiok-kun, selalu berusaha dan berupaya untuk merebut hati perempuan itu, berusaha membuatnya senang, gembira.....
Sayang dua hari ini sikapnya agak berubah, selama dua hari ini dia sama sekali tidak berselera untuk melakukan kebiasaan itu, dia sama sekali tidak punya semangat untuk melakukannya.
Kehadiran Laron penghisap darah telah membuat pikirannya kalut, membuat perasaan hatinya kacau balau.
Mengapa Laron penghisap darah selalu menampakkan diri dihadapannya? Apakah Raja Laron telah jatuhkan pilihannya terhadapnya?
Laron yang muncul pada malam tanggal satu bulan tiga, apakah dia adalah utusan dari Raja Laron? Apakah Laron penghisap darah itu adalah utusan khususnya?
Mengapa si Raja Laron justru jatuhkan pilihannya terhadap dia?
Bila seandainya kawanan Laron penghisap darah datang menghisap darahnya, apa yang harus dia lakukan? Tindakan apa yang harus dia ambil?
Setiap hari setiap waktu dia selalu memikirkan persoalan itu, tidak terkecuali pada saat sekarang.
Butiran air hujan sudah lama berhenti menetes, namun air masih mengalir dari luar jendela, butir air berkilauan ketika tertimpa cahaya lentera, sekilas lewat kemudian lenyap dari pandangan mata.
Dengan pikiran kusut Jui Pakhay mengawasi butiran air diluar jendela, pikiran dan perasaan harinya kusut sekusut tumpukan jerami, tiba tiba cahaya lentera meredup lalu mati, kegelapan segera mencekam seluruh ruangan.
Bagaikan burung yang takut dengan anak panah, Jui Pakhay segera melompat bangun sambil memutar badannya secepat kilat, sorot matanya segera ditujukan ke atas lentera perak diatas meja kecil, tidak jauh dihadapannya sana.
Diatas penutup lentera perak itu bertengger empat ekor Laron penghisap darah, satu disisi kiri, satu di kanan, satu diatas dan satu lagi di bawah, persis membentuk tanda salib.
Empat ekor Laron penghisap darah dengan empat pasang mata pada sayapnya yang berwarna merah darah, seakan akan sedang mengawasi Jui Pakhay tanpa berkedip, mengawasinya dibawah sorot cahaya yang redup......
Tidak diketahui mereka datang dari mana, juga tidak terdengar suara sayap mereka sewaktu terbang memasuki ruangan itu, cahaya lentera hanya terasa redup bagaikan padam secara tiba-tiba lalu mereka telah muncul disana, muncul bagaikan kehadiran setan iblis.
Sepasang mata Jui Pakhay terbelalak semakin lebar, diawasinya ke empat ekor Laron penghisap darah itu tanpa berkedip, kulit, otot dan daging wajahnya mulai mengejang keras lalu berdenyut tiada hentinya.
Tangan kanannya sudah menggenggam kencang pedang Jit seng coat mia kiam, peluh dingin membasahi seluruh jidatnya.
Biarpun senjatanya belum diloloskan, meskipun serangan belum dilancarkan, namun hawa pembunuhan telah menyelimuti seluruh udara.
Ke empat ekor Laron penghisap darah itu seolah belum merasakan datangnya ancaman, mereka tidak bergerak, pun tidak menunjukkan reaksi apapun.
Justru yang dibuat terkejut oleh ulah dan tingkah laku Jui Pakhay adalah Gi Tiok-kun.
Sebenarnya dia sedang duduk terpekur disampingnya, duduk sambil menundukkan kepalanya, dia sama sekali tidak memperhatikan Jui Pakhay, maka ketika suaminya melompat bangun secara tiba-tiba, bangku tempat duduk itu ikut dipukul balik oleh ulahnya.
"Blaaam!" ditengah keheningan yang mencekam, suara itu kedengaran amat nyaring dan memekikkan telinga.
Dengan perasaan terkesiap dia mendongakkan kepalanya, dengan cepat perempuan itu telah menyaksikan raut muka Jui Pakhay yang dicekam rasa takut, selembar wajah yang begitu ketakutan dan penuh diliputi rasa gelisah bercampur ngeri.
"Apa yang terjadi?" tanpa terasa dia menegur. "Laron!" bisik Jui Pakhay dengan suara gemetar. "Apa? Laron apa?" Gi Tiok-kun keheranan. "Laron penghisap darah!"
"Laron penghisap darah?" Gi Tiok-kun semakin keheranan. Dia belum pernah mendengar judulan itu, belum pernah tahu makhluk apakah itu.
"Yaa, empat ekor Laron penghisap darah!" ulang Jui Pakhay dengan nada parau.
"Di mana?"
"Itu, diatas penutup lentera!" seru Jui Pakhay sambil menuding ke depan.
Gi Tiok-kun segera menoleh dan memandang ke arah mana yang ditunjuk.
Tadi dia duduk persis dibawah lentera perak itu, sama sekali tidak merasa kalau diatas penutup lentera itu sudah bertengger empat ekor Laron penghisap darah, ketika cahaya lentera jadi redup tadi, dia pun seakan tidak merasakan kehadiran makhluk-makhluk itu.
Kini, sorot matanya telah dialihkan ke atas penutup lentera itu, perasaan tercengang, keheranan dan tidak habis mengerti terlintas diwajahnya. Hanya perasaan keheranan, sama sekali tidak terbias rasa takut, atau ngeri atau seram.
Dengan keheranan dia berpaling lagi memandang wajah Jui Pakhay, kemudian serunya:
"Empat ekor Laron penghisap darah yang bertengger di penutup lentera? Mana? Kenapa aku tidak melihatnya?"
Jui Pakhay tertegun, dia tidak sanggup menjawab, sepasang matanya terbelalak semakin lebar.
Dengan sangat jelas dan nyata dia saksikan ada empat ekor Laron penghisap darah, bahkan sekarang pun masih bertengger diatas penutup lentera itu.
Kenapa Gi Tiok-kun tidak melihatnya? Jangan-jangan sewaktu dia berpaling tadi, ke empat ekor Laron penghisap darah itu sudah menyembunyikan diri?
Dia membelalakkan matanya semakin lebar, serunya gelisah:
"Coba perhatikan lagi dengan seksama"
Gi Tiok-kun mengiakan seraya berpaling, kali ini dia sama seperti Jui Pakhay, membelalakkan sepasang matanya lebar- lebar.
Biarpun ukuran badan ke empat ekor Laron penghisap darah itu lebih kecil dari lalat pun, sekarang, seharusnya sudah tidak bisa lolos dari pengamatan matanya.
Dia memeriksa dengan lebih seksama lagi, namun akhirnya tetap menggeleng, ternyata perempuan itu tetap tidak menyaksikan sesuatu apa pun.
"Sudah kau lihat?" tidak tahan Jui Pakhay bertanya. "Belum" Gi Tiok-kun menggeleng.
"Tapi aku melihat dengan jelas, ada empat ekor Laron
penghisap darah!" "Haai, tapi aku tidak melihatnya, walau hanya seekor pun" sahut Gi Tiok-kun sambil menghela napas panjang.
Dia tidak mirip lagi berbohong, atau jangan-jangan pandangan mata sendiri yang telah kabur?
Sambil mengucak matanya berulang kali kembali Jui Pakhay berpaling mengawasi penutup lentera itu.