BAB 45. PENUTUP
Dengan suara hambar tambahnya, "Sekarang walaupun dia belum mati, tapi apa bedanya dengan orang mati?"
"Apakah kau ingin tahu di manakah manusia itu sekarang?"
"Tidak, aku tak ingin, aku sudah tidak tertarik dengan orang mati," kata Siau-yan, "Aku hanya ingin tahu di manakah Tokko Ci sekarang?"
"Dia pun telah pergi."
"Kenapa dia pergi? Apakah tak ingin bertemu aku?” “Bukan tak ingin, tapi tak berani."
"Memangnya aku menakutkan? Mengapa ia tak berani bertemu aku?"
"Bukan takut dirimu, tapi takut pada diri sendiri," kata Lu-sam sambil menatap gadis itu lekat-lekat, "Padahal dia sendiri pun seharusnya tahu, mengapa dia begitu ketakutan?"
"Jadi kau pun sudah tahu?" Siau-yan balas menatap Lu- sam, "Kau pun sudah tahu kalau dia sudah bukan seorang lelaki tulen?"
"Aku tahu."
"Lalu mengapa kau ingin menjodohkan dia kepadaku?” “Karena aku tahu penyakitnya segera akan sembuh.” “Harus menunggu sampai kapan?" "Sampai dia berhasil membunuh Siau-hong di ujung pedangnya," kata Lu-sam, "Aku percaya saat ini dia pasti sudah mempunyai keyakinan untuk menang."
"Dia dapat menemukan Siau-hong?"
"Dia tak perlu pergi mencarinya, cukup baginya duduk di sini sambil menunggu.”
“Kenapa?"
"Karena Siau-hong pasti akan pergi mencarinya.” “Kau yakin?"
"Hahaha, kapan kau pernah melihat aku melakukan pekerjaan yang tidak meyakinkan?"
"Apakah Siau-hong dapat menemukan dia?"
"Asal Siau-hong tidak terlalu bodoh, dia pasti dapat menemukannya," kata Lu-sam sambil tersenyum, "Kalau tidak, dia pasti bukan seorang telur busuk, melainkan seekor babi."
"Ke mana dia harus pergi menemukannya?" "Kota Oh-ki."
"Mengapa kau sendiri tidak pergi ke kota Oh-ki?"
"Jalan pikiranmu pasti seperti apa yang dibayangkan Pancapanah, menyangka aku pasti akan pergi ke kota Oh- ki, menunggu kedatangan Siau-hong, dan membunuhnya dengan tangan sendiri," kata Lu-sam, "Oleh karena itulah, dia pun mengatur pertarungan ini, sebab hasil dari pertarungan ini pasti diakhiri dengan kematian kedua belah pihak. Pihak yang kalah bakal mati sedang yang menang pun harus membayar mahal, saat itulah mungkin dia baru akan turun tangan. Terlepas Siau-hong berhasil mati di tanganku atau aku mati di tangan Siau-hong, yang tersisa pada akhirnya akan tewas juga di tangannya."
Kembali Lu-sam berkata, "Sayangnya Pancapanah seperti kau, jalan pikiran kalian salah semua, karena aku tak bakal pergi ke kota Oh-ki, tak mungkin aku membunuh Siau-hong dengan tangan sendiri, bahkan sesungguhnya aku sama sekali tidak membencinya."
Tentu saja Che Siau-yan merasa sangat keheranan. "Masa kau lupa bahwa putra kandungmu mati di tangan
siapa?"
Pertanyaan itu merupakan sebuah pertanyaan yang sangat menyakitkan hati.
Dengan pandangan dingin Lu-sam menatap gadis itu, bukan marah dia malah tertawa.
"Apakah kau sangka Siau-hong benar-benar telah membunuh Lu Thian-po, putra kandungku?" dia balik bertanya.
Che Siau-yan tertegun. Dia tak menyangka Lu-sam bakal mengucapkan perkataan seperti itu, dia pun tak mengira Lu-sam ternyata mengajaknya menengok sebuah peti mati yang lain.
Di dalam peti mati itu berbaring dua sosok mayat, yang seorang adalah perempuan bertubuh tegap yang memiliki payudara sangat montok dan sehat.
Di sisi perempuan itu berbaring sesosok mayat bayi yang baru berusia beberapa bulan.
Bagi orang yang berpengalaman, sekali pandang pun pasti tahu bahwa perempuan itu baru saja melahirkan anak, tapi bayi itu bukan anak yang dia lahirkan. "Perempuan ini adalah mak inang bocah itu," ujar Lu- sam, "Dia makan kelewat banyak, porsinya berlebihan sehingga begitu tertidur keadaannya tak jauh berbeda dengan orang mati, karena itu sekarang dia benar-benar menjadi orang mati."
"Kenapa?" tanya Che Siau-yan.
"Karena bocah ini mati tertindih oleh badannya yang subur ketika perempuan itu tidur di sampingnya," Lu-sam menjelaskan, "Dia pun bukan putra kandungku, tapi jika dia dapat hidup terus, aku pasti akan memanjakan dia melebihi siapa pun, apa yang dia minta pasti akan kupenuhi, menanti tujuh-delapan belas kemudian dia pasti akan mati pula di ujung pedang orang lain, karena waktu itu dia pasti akan seperti Lu Thian-po, rusak gara-gara kelewat kumanja!"
Che Siau-yan tidak bertanya lagi, "Anak siapa itu?" Dia memang tak perlu bertanya lagi.
Tiba-tiba tangan dan kakinya terasa dingin, peluh dingin telah membasahi seluruh pakaiannya.
Sekarang dia tentu sudah tahu bahwa bocah ini adalah putra Siau-hong tapi selamanya dia tak bakal tahu bocah itu berumur pendek. Peristiwa ini merupakan keberuntungan atau ketidak beruntungan baginya?
"Aku tahu, kau pasti menyangka caraku bekerja kelewat menakutkan," ujar Lu-sam, "Untungnya hanya kau saja yang berpikir demikian, sebab kecuali kau, belum pernah ada orang lain yang tahu bagaimana caraku bekerja, bahkan mimpi pun tak bakal menyangka."
"Karena itu Pancapanah selalu menyangka kau amat membenci Siau-hong, berupaya membunuhmu dengan tangan sendiri." "Betul, karena itulah dia sengaja mengatur pertarungan ini, menanti aku dan Siau-hong sama-sama terluka, sama- sama menderita kerugian, dia baru akan menjadi nelayan yang beruntung," ujar Lu-sam, "Sayangnya aku sedikit lebih pintar daripada apa yang dia bayangkan, oleh karena itu yang masuk perangkap bukan aku, melainkan dia." Kemudian Lu-sam menambahkan lagi.
"Sekarang Pancapanah pasti sudah pergi ke kota Oh-ki untuk menyaksikan hasil akhir dari pertarungan ini."
"Menurutmu dia akan menunggumu di mana?"
"Bukan hanya aku saja yang tahu, Tokko Ci pun tahu. Menanti Tokko Ci berhasil membunuh Siau-hong, dia pasti akan pergi mencarinya."
Che Siau-yan tersenyum.
"Saat itu sekalipun Tokko Ci berhasil membunuh Siau- hong dia harus membayar mahal untuk keberhasilannya. Menanti mereka selesai bertarung peduli Tokko Ci berhasil membunuh Pancapanah atau Pancapanah yang berhasil membunuh Tokko Ci, di saat mereka selesai bertarung kau akan muncul dan sisa dari dua orang yang masih hidup itu akhirnya bakal mati di tanganmu. Maka peduli siapa menang siapa kalah, hanya kau seorang yang tak bakal kalah. Bukan begitu?"
Ooo)d*w(ooO
Dalam pandangan kebanyakan orang, kota Oh-ki tak lebih hanya sebuah kota kecil di pinggir perbatasan.
Menurut catatan pemerintah setempat, kota itu terdiri dari tujuh puluh tiga kepala keluarga, termasuk kaum wanita dan anak-anak, semuanya hanya terdiri dari tiga ratus sebelas orang penduduk.
Di antara mereka, sebagian besar bekerja sebagai pedagang kecil, karena tanah di sana tak subur untuk pertanian bahkan letaknya kelewat terpencil, sehingga untuk tempat itu jauh lebih cocok berusaha di bidang lain daripada usaha pertanian.
Bahkan sebagian besar orang belum pernah mendengar nama kota kecil itu.
Padahal kenyataan bukanlah demikian.
Penduduk kota itu jauh lebih banyak daripada data yang ada di kantor pemerintahan daerah, bahkan jenis manusia yang berkumpul di sana jauh di luar pemikiran siapa pun.
Kemewahan dan keramaian kota itu pun jauh di luar jangkauan pemikiran siapa pun.
Oleh karena tempat itu kelewat terpencil, maka tak pernah menarik perhatian pihak pemerintah, karena itulah orang-orang yang terdesak, yang tak punya jalan lain lagi, berbondong-bondong datang ke tempat itu.
Karena terlalu banyak penjahat dan buronan yang datang dari empat penjuru, padahal orang-orang sejenis itu terbiasa menghambur uang, tak heran kalau terciptalah kota yang megah dan ramai di situ.
Dari tujuh puluh tiga penduduk setempat, ada sebagian besar dari mereka membuka usaha rumah penginapan dan rumah makan.
Jangan dilihat penduduk di sana hanya terdiri dari tujuh puluh tiga kepala keluarga, jumlah rumah makan dan penginapan yang membuka usaha di sana sudah mencapai seratus lima buah. Di antaranya rumah makan Tat-ki, rumah makan yang paling ramai.
Dari pagi hingga malam rumah makan itu selalu dipenuhi tamu yang berlalu-lalang.
Konon teh susu dan masakan bawang bikinan rumah makan ini merupakan hidangan paling baik untuk wilayah delapan puluh li di seputar situ.
"Rahasia Lu-sam terletak di jalanan teramai di kota ini," ujar Pancapanah kepada Siau-hong.
Di sepanjang jalan raya itu terdapat sembilan puluh enam buah kedai, kecuali sebuah rumah penjual jarum dan benang, dua rumah penjual beras dan kebutuhan sehari- hari, sebagian besar di antaranya merupakan rumah makan dan rumah penginapan.
"Menurut kau, bangunan rumah mana yang merupakan sarang rahasia dari Lu-sam?" tanya Pancapanah lagi.
"Pasti rumah makan Tat-ki," jawab Siau-hong tanpa berpikir panjang.
"Mengapa kau menduga Lu-sam berada di sana?" "Karena di tempat itulah paling banyak orang
berkumpul."
Jawaban Siau-hong amat sederhana tapi sangat tepat.
Setiap saat Lu-sam perlu mendapat berita yang dikirim anak buahnya, sedang anak buahnya berasal dari empat penjuru, karena itu setiap tamu yang datang bersantap di rumah makan Tat-ki, besar kemungkinan merupakan anak buahnya, anak buah yang berusaha keras melindungi keselamatan jiwanya. Lagi pula "kalau mau bersembunyi, bersembunyilah di tempat yang ramai", teori semacam ini pasti dipahami Lu- sam, begitu pula dengan Pancapanah.
Oleh karena itu ketika masih berkumpul dalam hutan di luar kota, Pancapanah telah berkata kepada Siau-hong, "Tengah hari nanti, pergilah ke sana untuk bersantap, asal kau mendengar ada orang berteriak "teh susu ini bau", kau segera menerjang masuk ke dalam dapur, singkirkan kuali besi yang ada di dapur, guyur kuali panas itu dengan air dingin, kemudian melompat masuk, di samping tungku api terdapat sebuah gua selebar dua kaki, di tempat itulah kau akan menemukan Lu-sam"
Kemudian Pancapanah berpesan lagi, "Kau cukup melakukan tugas itu dan tak usah mengurusi persoalan lain, biar di luar bakal terjadi huru-hara yang dahsyat pun kau tak usah ambil peduli, karena meski langit ambruk pun pasti ada orang yang akan menahannya untukmu."
Melihat dari kejauhan Siau-hong telah melangkah masuk ke dalam rumah makan Tat-ki dan mendengar ada orang berteriak "teh susu ini bau", Pancapanah segera meninggalkan tempat itu, karena setiap perkembangan yang terjadi kemudian telah dalam perhitungannya, dia sudah tak perlu lagi mendengarkan dan melihat sendiri.
Dia melalui sebuah jalan setapak yang terpencil, mengelilingi hutan dimana mereka berkumpul tadi, menuju ke atas sebuah tebing dan duduk di atas sebuah batu karang yang menonjol. Jarak tempat itu dengan jalanan di kota yang ramai cukup jauh, namun secara kebetulan ia dapat melihat situasi rumah makan Tat-ki dengan jelas.
Meski orang lain tak terlampau jelas, namun dengan ketajaman matanya ia dapat melihat semua itu dengan amat jelas. Tentu saja tempat itu pun sudah dipilihnya sejak lama.
Waktu itu terjadi kekacauan yang luar biasa dalam rumah makan itu, orang yang berada di jalanan berduyun- duyung datang ke situ, ada yang cuma nonton keramaian, ada pula yang ikut terjun dalam pertarungan.
Tak ampun suasana di jalan itu pun jadi kacau dan panas seperti bubur yang baru mendidih.
Pancapanah merasa sangat puas, semakin kacau suasana di luar sana semakin senang dia.
Makin kacau di luar makin tenang di dalam, orang yang hendak membunuh memang butuh ketenangan, orang yang bakal dibunuh pun membutuhkan ketenangan, peduli siapa bunuh siapa, baginya semua itu tak ada bedanya.
Sebab dia merasa posisinya sekarang sudah tak terkalahkan.
Tentu saja semua ini berkat pengaturannya yang cermat dan seksama, ia telah merencanakannya banyak tahun, dia percaya setiap bagian dan setiap tindak-tanduknya telah diatur dengan seksama dan sempurna.
Di saat dia siap berbaring untuk beristirahat itulah tiba- tiba dari belakang tubuhnya terdengar seorang dengan nada amat rahasia, mengucapkan sepatah kata yang sangat aneh.
"Tamat," kata orang itu, "Apakah sekarang sudah hampir tamat?"
Pancapanah tidak berpaling, sedikit reaksi pun tak ada, sebab dia sudah mengetahui akan kehadiran orang, juga tahu siapa yang datang.
"Betul, sekarang sudah hampir tamat," katanya hambar, "Semua persoalan kini sudah hampir tiba saatnya untuk penyelesaian." Orang yang berada di belakang tubuhnya kembali bertanya, "Kau menginginkan penyelesaian yang bagaimana?"
"Sebuah penyelesaian yang bahagia, sebuah penyelesaian yang sempurna," sahut Pancapanah, "Ruang rahasia milik Lu-sam berada di bawah tanah, meski terdapat tiga buah jalan keluar, tapi bila kita dapat menyumbat mati ketiga buah jalan keluar itu, maka tempat ini akan menjadi sebuah tanah kematian."
Di saat dia baru saja menyelesaikan perkataannya, tiba- tiba dari radius tiga puluh li terdengar suara ledakan yang sangat keras, kemudian terlihat asap tebal mengepul dari rumah makan Tat-ki, disusul kemudian terjadi dua ledakan dahsyat lagi di dua tempat yang berbeda diikuti mengepul lagi asap tebal di kedua tempat itu.
Pancapanah tersenyum.
"Kini ketiga buah jalan keluar itu sudah tersumbat mati, tak seorang pun di tempat ini yang bisa keluar dalam keadaan selamat, peduli siapa yang menang siapa yang kalah dari pertarungan Tokko Ci melawan Siau-hong mereka pasti terkubur hidup-hidup di sana."
"Hanya Tokko Ci dan Siau-hong? Bagaimana dengan Lu-sam?"
"Lu-sam tak bakal berada di sana," sahut Pancapanah, "Selama ini hanya dialah lawan tandingku yang sebenarnya, tahu kalau aku tak bakal datang ke situ, mana mungkin dia ikut datang."
Orang yang berdiri di belakangnya itu menghela napas panjang. "Ai, ternyata kau sangat memahami tentang dirinya, jauh lebih banyak yang kau ketahui daripada yang dia bayangkan."
"Kini Po Eng dan Pova sudah mati, Soso telah meninggalkan Lu-sam dan sudah menjadi manusia yang tak berbobot, mati-hidupnya sudah tak penting lagi.
"Yang-kong adalah penggantiku, dia pasti dapat memahami jalan pikiranku, meskipun di hati kecilnya mungkin dia merasa caraku bertindak kelewat kejam dan berlebihan, mungkin dia pun merasa sedih karena kematian Po Eng dan Siau-hong, tapi aku yakin dia pasti akan berlagak seolah-olah tak tahu masalah apa pun."
Setelah berhenti sejenak, kembali tambahnya, "Kemungkinan besar di kemudian hari dia bakal kawin dengan aku."
"Dia pasti akan menikah denganmu," kata orang itu, "Karena dia pun seorang wanita yang sangat pintar, dia seharusnya tahu, hanya menikah denganmu merupakan keputusan yang paling cerdas."
Ternyata dia tidak menanyakan nasib Lu-sam dan Che Siau-yan, karena orang itu tak lain adalah Lu Kiong, orang yang paling dipercaya Lu-sam selama ini.
"Kali ini Sam-ya benar-benar telah menghimpun seluruh kekuatan pasukannya ke tempat ini, dia berbuat begini karena mempunyai dua tujuan," ujar Lu Kiong.
"Pertama, tentu saja dia ingin kau percaya bahwa dia telah kemari, minta kau pun menghimpun seluruh kekuatan yang dimiliki untuk berkumpul di tempat ini.
"Kedua, anak buahnya kebanyakan merupakan buronan dalam dunia persilatan, dia belum pernah betul-betul mempercayai mereka, pada hakikatnya dia tak pernah memikirkan mati-hidup orang-orang itu, karena itu sejak Wi Thian-bong kehilangan lengannya, dengan cepat orang itu lenyap tak berbekas, karena dia sudah tak berguna lagi."
"Aku paham jalan pikirannya," sahut Pancapanah, "Memelihara sekelompok manusia semacam ini, sama halnya memelihara sekelompok harimau dan serigala, setiap saat harus mewaspadai ulah mereka, agar jangan tergigit. Ia memelihara mereka tak lebih hanya ingin menggunakan orang-orang itu untuk menghadapiku, sekaranglah saat yang paling tepat untuk menggunakan kekuatanku untuk melenyapkan mereka, agar mereka mengadu nyawa denganku, sementara dia sendiri hidup tenang di kejauhan."
"Bagaimana dengan kau sendiri?" tanya Lu Kiong, "Apakah jalan pikiranmu pun seperti dia, ingin menggunakan kesempatan ini untuk melenyapkan orang- orang yang punya masalah dengan dirimu?"
"Benar," Pancapanah mengakui, "Jalan pikiranku sama dengan jalan pikirannya, hanya saja aku sedikit lebih baik daripada dia, karena di sampingku tak ada manusia- manusia seperti kau dan Sah Peng."
"Kau pun mengetahui masalah tentang Sah Peng?" "Sejak dulu aku sudah perhitungkan dia bakal kabur,"
kata Pancapanah, "Selama beberapa tahun terakhir ini, dia
selalu menyisakan uang untuk ditabung, tabungannya sekarang sudah lebih dari cukup untuk dinikmati beberapa generasi, kenapa harus menjual nyawa lagi untuk Lu-sam?"
Tiba-tiba Lu Kiong tertawa, ujarnya, "Bila kau anggap Sah Peng dapat kabur dari sini, maka dugaanmu itu salah besar, Sam-ya pun sejak awal sudah menduga dia bakal kabur seusai persoalan ini, maka di antara ketiga cawan arak yang dia teguk ketika berada di depan kuburan Oh Toa-leng tempo hari, satu di antaranya telah dicampuri racun pemutus usus yang tak ada obat penawarnya."
"Dari mana kau bisa tahu? Apakah kau yang telah mencampuri arak itu dengan racun?"
"Tentu saja aku," ternyata Lu Kiong tidak menyangkal, "Hanya aku yang bisa melakukan tugas seperti ini, sebab aku tak lebih hanya seorang budak yang tak berguna, dalam dunia persilatan ilmu silatku pun hanya bisa dianggap ilmu kucing kaki tiga, siapa pun dapat membunuh aku hanya menggunakan sebuah jari tangan saja, hingga kini tabungan pribadiku tak lebih dari tiga ratus dua puluh tahil perak, oleh sebab itu belum pernah ada orang mencurigai aku."
"Tapi sekarang kau telah menjadi seorang yang kaya- raya, uangmu sudah berlimpah," kata Pancapanah, "Aku telah melakukan semua permintaanmu, mendepositokan uang sebesar lima puluh laksa tahil perak di dalam delapan belas rumah uang yang kau tunjuk, surat deposito pun telah kuletakkan di tempat yang kau tunjuk."
"Aku tahu."
"Bagaimana dengan janjimu padaku?"
Bukan menjawab, Lu Kiong balik bertanya, "Bila kuberitahukan di mana Lu-sam berada saat ini, yakinkah kau dapat membunuhnya?"
"Kau seharusnya pun tahu, belum pernah aku melakukan pekerjaan yang tidak yakin pasti berhasil," sela Pancapanah, "Dalam pertarungan kali ini, kerugian yang kuderita memang lebih sedikit dari dirinya, lagi pula aku pun masih mempunyai seorang pembantu hebat."
Kemudian sambil tersenyum ia menjelaskan lebih jauh, "Che Siau-yan pun merupakan seorang wanita yang sangat pintar, ilmu pedang yang dia miliki saat ini tidak selisih jauh dari kemampuan Siau-hong."
Lu Kiong sama sekali tidak bertanya, dari saku dia mengeluarkan sebuah gulungan kertas, katanya, "Tanda yang ada di peta ini merupakan markas besar Sam-ya, ikan emas merupakan kunci untuk membuka tempat rahasia itu."
Pancapanah menerima gulungan kertas itu, menatapnya sangat lama, tiba-tiba tanyanya, "Mengapa kau bersedia menyerahkan rahasia besar itu kepadaku? Apakah kau tidak kuatir aku membunuhmu?"
Lu Kiong tertawa.
"Delapan belas tanda terima deposito itu telah kusembunyikan di suatu tempat yang tak mungkin bisa ditemukan orang lain, sementara ke delapan belas rumah uang itu pun hanya kenal tanda terima tak kenal orang, bagimu lima puluh laksa tahil perak tak lebih hanya uang kecil, apalagi di kemudian hari mungkin kau masih membutuhkan manusia seperti aku, untuk sukses dengan urusan besar, buat apa kau mesti membunuh seorang tak ternama yang tak berbobot sama sekali?"
Setelah berjalan amat jauh, tiba-tiba Lu Kiong berpaling dan bertanya lagi, "Kau benar-benar yakin persoalan ini dapat diselesaikan begitu saja?"
Terpancar sinar aneh dari balik mata Pancapanah.
"Aku sudah merencanakan persoalan ini sangat lama, tentu saja aku sangat yakin."
Dia menggunakan sorot mata yang aneh untuk menatap wajah Lu Kiong, lama kemudian baru ujarnya lagi, "Hanya saja aku masih mempunyai sebuah rahasia yang perlu kusampaikan kepadamu." "Rahasia apa?"
"Sesungguhnya di dunia ini tak pernah ada urusan yang pasti, kejadian di kemudian hari tak pernah dapat diduga oleh siapa pun."
Lu Kiong pun balas menatapnya sangat lama, mendadak dari matanya terpancar perasaan hormat yang amat tebal.
"Perkataanmu memang tepat sekali," kata Lu Kiong "Aku pasti akan mengingat terus perkataanmu itu dalam hati."
Selesai mengucapkan perkataan itu, tanpa berpaling ia segera beranjak pergi meninggalkan tempat itu.
Ternyata Pancapanah tidak berusaha menghalangi kepergiannya, dia hanya menghela napas perlahan seraya bergumam, "Aku masih mempunyai sebuah rahasia lagi yang ingin kusampaikan kepadamu."
Setelah terdiam sejenak, katanya, "Terkadang aku benar- benar ingin sekali menjadi seorang rendah macam dirimu, karena kehidupanmu sesungguhnya jauh lebih senang dan bahagia daripadaku."
Pancapanah memang seorang luar biasa, semua perkataannya selalu aneh dan mempunyai maksud dalam.
Di dunia ini memang tak pernah ada persoalan yang "pasti", biarpun rencananya matang dan sempurna, sayang dia masih tetap manusia, tak pernah pikiran dan perasaan manusia dapat merancang suatu rencana yang tepat dan sempurna.
Khususnya terhadap manusia seperti Siau-hong dan Tokko Ci.
Biarpun kedua orang itu "gila", namun tidak "bodoh", bila ada orang mengira mereka berdua dapat diperintah seperti boneka, tak disangka orang itu telah melakukan kesalahan yang fatal, kesalahan yang mematikan.
Menanti Pancapanah menyaksikan setiap kejadian, hampir semua berjalan sempurna sesuai rencananya, tiba- tiba ia menemukan Siau-hong dan Tokko Ci belum mati, bahkan sudah muncul di hadapannya.
Saat itulah dia baru sadar bahwa dirinya telah melakukan kesalahan yang sangat menakutkan.
Tapi dia tidak mengeluh, tidak menyalahkan siapa pun, tidak menyalahkan langit maupun bumi.
Sesaat menjelang kematiannya, dia hanya mengucapkan sepatah kata, "Semua ini muncul dari ulahku, jadi aku mati pun tak menyesal!"
Dia sendiri yang telah melakukan kesalahan, maka dia sendiri pula yang menerima akibatnya. Tidak menyalahkan langit, tidak menyalahkan orang lain, semua resiko dan tanggung-jawab dilimpahkan ke pundak sendiri.
Sekalipun kesalahan yang dia lakukan tidak sebanyak apa yang dibayangkan orang lain, dia pun tak perlu mengumpat, tak perlu mengadu, tak perlu memberi penjelasan kepada semua orang.
Oleh sebab itu Pancapanah tetap tak malu disebut seorang hebat, terlepas dia masih hidup atau sudah mati, paling tidak ia tak pernah melakukan perbuatan memalukan, membuat orang lain memandang hina dirinya.
TAMAT