SATU
"Hi hi hi...!"
Suara tawa kecil seperti gurauan manja, terdengar mengisi suasana siang yang telah mulai bergeser menuju senja. Angin semilir bertiup dari arah utara, semakin menambah perasaan syahdu hati seorang gadis cantik, berambut panjang dikepang yang tengah berlari-lari kecil menghindari kejaran pemuda tampan berpakaian kuning keemasan.
"Sudah! Sudah!" teriak pemuda tampan berambut gondrong itu sambil menghentikan larinya, membiarkan si gadis berambut dikepang yang memakai baju warna jingga. "Sedari tadi cekikikan terus, aku khawatir nanti kau akan menangis, Mayang...," lanjutnya seraya tersenyum dan menatap gadis yang dipanggil Mayang.
Di punggung lelaki berwajah tampan itu nampak menggelantung sebuah gagang pedang berukir bunga-bunga kecil nan indah.
"Aku tak akan pernah menangis, Kakang," sangkal gadis cantik berpakaian jingga yang ternyata Mayang Sutera.
"Kalau tiba-tiba saja ada gadis lain di sampingku, apa kau juga tak akan menangis?" ledek si pemuda berpakaian kuning keemasan itu.
"Kakang Jaka! Apakah kau mulai senakal itu?" sanggah Mayang dengan mata terpicing dan tersenyum, menatap pemuda di depannya.
Pemuda yang ternyata Jaka tersenyum mendengar ucapan sang Kekasih. Ucapan itu sangat tepat sebagai sanggahan dan sekaligus mampu menutupi perasaan hati yang sebenarnya. "Tentu saja tidak, Mayang. Yang kuucapkan barusan itu hanya seandainya," elak Jaka.
"Ya, berarti aku tak akan pernah menangis, karena aku tahu Kakang tak mungkin berbuat itu," ujar Mayang dengan nada kemenangan.
"Kau memang pintar," puji Jaka.
"Aku mendapatkan kepintaran itu justru darimu," balik Mayang merendah.
"Itu juga salah satu kepintaranmu untuk selalu mengelak dari pujianku," ujar Jaka lagi.
Kali ini Mayang tak menyanggah. Diperhatikannya langkah kaki Jaka yang menghampirinya. Dan ketika kemudian tangan Jaka meraih pergelangan tangannya, Mayang tak berusaha mengelak.
"Begini seharusnya kita," ujar Jaka sambil melangkah dengan menggamit tangan kekasihnya.
"Semua lelaki maunya begini,"ledek Mayang, "Mau enaknya saja."
"Jangan memancing lagi, Yang! Nanti aku"
"Maaf, aku takut kalau kau ma."
Mayang menggantung ucapannya ketika melihat tangan Jaka bergerak hendak mencubit pipinya. Angin masih terus bertiup lembut, sementara sore perlahan-lahan turun bersama suasana sejuk. Sepasang muda-mudi yang merupakan tokoh terkenal di rimba persilatan itu terus bergelut dengan gurauan yang membuat keduanya kian akrab. Akan tetapi ketika langkah Jaka dan
Mayang memasuki areal tanah pemakaman, tak lagi terdengar ucapan-ucapan canda yang keluar dari mulut mereka. Seketika wajah keduanya berubah tegang seolah ada suatu firasat buruk telah menyelinap di hati mereka.
"Aneh sekali keadaan di sekitar pemakaman ini, Kang," ujar Mayang, meski dengan suara perlahan. "Bulu kudukku berdiri," lanjutnya sambil merapatkan tubuh pada kekasihnya.
"Aku juga merasakan ada hawa lain, Mayang," sambut Jaka seraya menoleh ke wajah Mayang. "Kita harus mewaspadai keadaan ini."
"Ya," sambut Mayang.
Dua muda-mudi itu terus melanjutkan perjalanan melintasi tanah pemakaman yang masih dalam wilayah Desa Kober Utara. Setapak demi setapak Mayang dan Jaka menjejaki tanah pemakaman dengan kewaspadaan yang tinggi. Otot-otot mereka nampak menegang.
Cukup lama ketegangan yang dirasakan Jaka dan Mayang berlangsung. Hal itu karena tanah pemakaman yang tengah mereka lewati cukup luas.
"Hhh"
Terdengar hembusan napas berat Mayang ketika mereka berdua sampai di luar tanah kuburan. Gadis itu tampaknya merasakan keanehan yang berselimut di hati telah lenyap.
"Baru sekarang aku mengalami ketakutan seperti ini, Kakang. Hhh ! Ketakutan yang tanpa alasan," ucap Mayang sambil kembali menghela napas dalam-dalam, seakan-akan hendak mengendorkan urat sarafnya yang menegang.
Jaka tak menimpali ucapan Mayang, tetapi kemudian mulutnya sudah terbuka berkata dengan ketenangan yang menjadi ciri khasnya.
"Hm...," firasatku mengatakan, bahwa di Desa Kober Utara ini akan terjadi sesuatu yang mengerikan, Mayang. Entah kejadian macam apa. Yang jelas ketika kita memasuki mulut Desa Kober Utara yang ditandai dengan sebuah batu bertuliskan nama desa ini, firasat seperti yang kusebutkan tadi sudah terbersit. Cuma, karena kau selalu mengajak bergurau, menyebabkan aku melupakan firasat itu," ujar Jaka sambil terus mengajak Mayang berjalan menjauhi tanah pemakaman.
"Kalau firasatmu benar, apa yang harus kita lakukan?" tanya Mayang.
"Tampaknya kita harus bermalam di desa ini. Itu kalau kita ingin tahu bencana yang akan menimpa desa ini. Kita bisa menumpang di rumah penduduk atau kalau perlu menemui Kepala Desa Kober Utara," jawab Jaka mantap.
"Aku setuju, Kakang," timpal Mayang. "Setuju yang mana?" tanya Jaka berusaha menghilangkan ketegangan yang masih sedikit dirasakan.
"Menginap di rumah penduduk setuju, di rumah kepala desa pun setuju."
"Di kediaman kepala desa saja kalau begitu. Barangkali keanehan yang kita rasakan barusan mendapat keterangan lebih terperinci dan jelas," usul Jaka.
Tanpa mengomentari usul Jaka, Mayang mengikuti langkah kekasihnya menuju rumah Kepala Desa Kober Utara. Angin masih tetap bertiup semilir, hawa dinginnya kini lebih kuat menusuk permukaan kulit
***
Malam sebentar lagi turun. Suasana dingin menyelimuti Desa Kober Utara. Di jalan utama desa itu tampak Jaka dan Mayang berjalan menuju selatan. Mereka bermaksud mendatangi rumah Kepala Desa Kober Utara. Tak lama kemudian keduanya melihat sebuah bangunan rumah besar dan tampak kokoh yang diterangi cahaya api obor.
Di serambi depan rumah yang cukup luas itu tampak beberapa orang lelaki. Beberapa di antara mereka tampak berjalan mondar-mandir di bawah cahaya obor yang terpancang di dinding. Dilihat dari tingkah laku mereka, tampaknya orang-orang itu tengah dilanda suatu kegelisahan yang hebat. Jaka dan Mayang terus melangkah menuju bangunan kokoh yang diyakini sebagai rumah Kepala Desa Kober Utara.
"Selamat malam, Kisanak sekalian!" sapa Jaka dengan tubuh sedikit dibungkukkan memberi hormat. Padahal sebenarnya saat itu belum malam. Namun gelap telah mulai menyelimuti suasana lepas senja itu.
Ucapan tegas yang mengandung kewibawaan tinggi itu didengar beberapa lelaki yang tengah hilir-mudik di serambi depan. Sejenak mereka tercenung memperhatikan kehadiran sepasang muda-mudi yang memiliki ketampanan dan kecantikan yang mengagumkan. Namun beberapa saat kemudian salah seorang dari mereka segera menyadari ketercenungannya dan membalas sapaan Jaka setelah terlebih dahulu menganggukkan kepala.
"Selamat malam!" tukas lelaki bertubuh tinggi tegap yang mengenakan pakaian serba coklat. Wajah tampannya yang berkulit putih menambah kegagahan. Ditambah pula kumis hitam tebal yang bertengger di bawah hidung.
"Maaf, kalau kehadiran kami berdua mengganggu kisanak sekalian!" ucap Jaka lagi dengan kata-kata lembut namun menyiratkan ketegasan.
"Ah, tidak," selak lelaki tampan berkumis tebal, "Kalau boleh ku tahu siapa kalian dan ada perlu apa datang ke tempat ini?" lanjut lelaki berpakaian coklat itu meminta sekaligus menyelidiki keberadaan kedua tamunya.
"Kami adalah pengelana. Namaku Jaka Sembada dan kawanku ini bernama Mayang Sutera," jawab Jaka memenuhi permintaan lelaki tampan berpakaian coklat "Kedatanganku ke tempat ini untuk menemui Kepala Desa Kober Utara," lanjutnya dengan suara mantap. Dirinya sengaja tak menceritakan masalah yang akan diutarakan nanti pada Kepala Desa Kober Utara.
"Untuk apa kau menemui, Ki Bernala?" selak salah seorang lelaki bertubuh pendek dengan tatapan penuh kecurigaan. "Maaf Kakang Gunjada, kedatangan mereka tepat sekali dengan malapetaka yang menimpa Ki Bernala. Terus terang aku merasa curiga!" lanjutnya seraya menatap Jaka dan Mayang penuh selidik.
Lelaki berpakaian coklat yang ternyata bernama Gunjada seperti terpengaruh ucapan lelaki bertubuh pendek. Terbukti kini Gunjada ikut menatap wajah Jaka dan Mayang dengan sorot mata tajam dan penuh selidik.
"Em..., Jaka! Jawablah pertanyaan Marga!" pinta Gunjada dingin.
Jaka mengembangkan senyum menyaksikan perubahan pada diri Gunjada yang mudah terpengaruh ucapan temannya.
"Secara khusus aku memang tak memiliki keperluan penting dengan Ki Bernala. Aku hanya ingin bertemu dengannya. Maaf, keinginanku bersifat tak memaksa! Kalau kalian mengizinkan aku bersyukur sekali. Itu pun jika Ki Bernala sendiri tak berkeberatan bertatap muka dengan kami. Dan yang perlu Kisanak sekalian ketahui, kedatangan kami ke tempat ini sedikit pun tak membawa niat jahat," jawab Jaka tenang.
"Jangan percaya begitu saja dengan katakatanya, Kakang Gunjada!" selak Marga ketus.
"Tenanglah kau, Marga!" bentak Gunjada sengit.
Marga langsung tertunduk mendengar bentakan Gunjada yang disertai belalakkan mata. "Keinginan kalian tak mungkin bisa kami penuhi," tolak Gunjada dengan tatapan mata dingin menusuk wajah kedua tamunya.
"Kenapa?" kali ini Mayang yang bertanya pada Gunjada. Suaranya yang merdu sempat membuat lelaki berwajah tampan dan berkumis tebal tergeragap sesaat.
"Ki Bernala tak mungkin ditemui orang lain yang tak dikenalnya," jawab Gunjada seraya menggeleng-gelengkan kepala perlahan.
"Maaf! Kalau boleh kami tahu, malapetaka apa yang Kakang Marga maksudkan tadi?" pinta Jaka dengan menyebut kata 'Kakang' sebagai tanda hormatnya pada Marga.
"Itulah yang kumaksudkan dengan ketidakmungkinan kalian untuk bertemu dengan Ki Bernala. Dia tengah mengalami suatu penyakit yang cukup aneh," jelas Gunjada. Kecurigaan terhadap kedua tamunya sedikit demi sedikit mulai luntur. Itu tak lain karena sikap Jaka dan Mayang yang selalu menjaga kesopanan dalam berbicara.
"Penyakit aneh? Penyakit macam apa yang Kakang Gunjada maksudkan?" tanya Mayang hatihati.
"Kami tak tahu nama penyakit itu, Nini Mayang. Namun, yang jelas penyakit itu datang begitu tiba-tiba, pagi tadi keadaan Ki Bernala segar-bugar, namun ketika menjelang siang dia merasakan permukaan kulitnya berdenyut-denyut hebat. Nyeri dan panas, katanya. Dan sepenanak nasi setelah Ki Bernala merasakan hal itu, sekujur tubuhnya, tiba-tiba ditumbuhi benjolan-benjolan merah. Seperti bisul yang sudah tua dan hendak pecah," papar Gunjada menjelaskan keadaan Ki Bernala yang sesungguhnya.
"Betul-betul penyakit aneh," gumam Mayang. Tatapan matanya kini tertuju pada Jaka.
"Apakah kalian sudah berusaha mendatangkan tabib untuk mengobati penyakit Ki Bernala?" tanya Jaka kemudian.
"Itu sedang kami usahakan, Jaka," jawab Gunjada, "Kami sudah mengutus seseorang untuk mendatangkan tabib."
Sesaat suasana berubah hening. Mata Jaka dan Mayang saling tatap. Sementara itu Gunjada melempar pandangan pada kawan-kawannya yang masih nampak gelisah.
"Maaf, Kakang Gunjada! Kalau kau tak keberatan, bolehkah aku melihat keadaan Ki Bernala? Aku khawatir penyakitnya tak lekas teratasi. Maaf, bukannya aku sok menjadi pahlawan, tetapi mudah-mudahan saja aku bisa memberikan pertolongan pertama sebelum tabib yang kau usahakan itu datang!" ujar Jaka menyampaikan permintaannya.
Gunjada tak segera menjawab permintaan Jaka. Tatapannya kini terpaku pada wajah lucu lelaki bertubuh pendek bernama Marga. Tampaknya Marga sendiri tak berani memberi jawaban, karena takut Gunjada akan membentak seperti tadi.
"Kakang Gunjada percayalah dengan ucapan Kakang Jaka!" ujar Mayang bernada membujuk.
"Kami tak akan berbuat jahat pada Ki Bernala, bahkan sebaliknya."
Gunjada menatap wajah cantik Mayang. Perasaan lelakinya seketika bergetar hebat. Namun Gunjada segera meredam dengan mengalihkan tatapan matanya ke wajah pemuda berwajah tampan di depannya.
Cukup lama mata Gunjada menatap wajah Jaka, seakan-akan tengah mencari sebentuk kejujuran pada wajah tokoh muda yang berjuluk Raja Petir itu.
"Baiklah. Kupegang niat baik dan kejujuran kalian," putus Gunjada akhirnya.
Gunjada segera beranjak dari tempatnya, membawa masuk Jaka dan Mayang ke kediaman Ki Bernala, Kepala Desa Kober Utara itu. Sementara Marga dan rekan-rekannya yang lain hanya memandangi tubuh kedua muda-mudi yang beranjak, dari hadapan mereka. Sesungguhnya di hati mereka tersinggahi keresahan, tapi mereka berharap dua orang tamu tak diundang itu membawa kebaikan bagi mereka semua terutama Ki Bernala.
***
Memasuki kamar pribadi Ki Bernala yang tertata rapi dan berbau harum, Jaka dan Mayang dapat menduga kalau Ki Bernala seorang kepala desa yang senang menjaga kebersihan. Dan jelas, Ki Bernala sangat mementingkan arti kesehatan lingkungan tempat tinggalnya. Namun kali ini penguasa Desa Kober Utara itu justru tengah menderita karena penyakit aneh.
"Apakah dia tabib yang kau maksudkan, Gunjada?" seorang perempuan berusia empat puluh tahunan menyambut kedatangan Raja Petir dan Mayang yang disertai Gunjada.
Perempuan yang mengenakan pakaian merah muda itu masih menampakkan sisa-sisa kecantikannya di masa muda. Kulitnya nampak terawat dengan baik. Kedua matanya pun masih bening dan menawan. Sementara rambutnya yang panjang tersanggul dengan rapi.
"Mereka bukan tabib, Nyi Rira," jawab Gunjada dengan kepala tertunduk. Sepertinya Gunjada begitu menghormati perempuan yang tak lain istri Ki Bernala.
"Bukan tabib?" tanya Nyi Rira Pangestu agak terkejut,
"Betul, Nyi," jawab Gunjada dengan kepala yang masih tertunduk.
"Apa yang dikatakan Kakang Gunjada betul, Nyi. Kami bukan tabib. Kami berdua hanyalah para pengelana yang kebetulan lewat di desa ini," timpal Mayang dengan sikap yang sopan, "Setelah kami berbincang-bincang sebentar dengan Kakang Gunjada, maka tahulah kami kalau keluarga ini tengah tertimpa musibah. Maaf kalau kami terlalu lancang mencampuri urusan keluarga ini!" lanjut Mayang.
"Apa yang bisa kalian lakukan untuk menanggulangi musibah ini?" tanya Nyi Rira bernada meremehkan keberadaan Jaka dan Mayang.
'Tak ada yang bisa kami lakukan, sebelum kami lihat penyakit yang diderita Ki Bernala, Nyi. Ah, ya. Hampir lupa aku memperkenalkan diri. Namaku Jaka Sembada dan kawanku, ini Mayang Sutera," ujar Jaka terhadap ucapan Nyi Rira.
Tak ada jawaban dari mulut Nyi Rira Pangestu. Matanya menatap berganti-ganti ke wajah Jaka dan Mayang. Beberapa saat lamanya hal itu dilakukan Nyi Rira Pangestu. Sesaat kemudian tangan perempuan itu memberi isyarat pertanda memberi izin pada kedua tamu itu untuk melihat keadaan sang Suami.
"Silakan kalian lihat keadaan Ki Bernala," ucap Nyi Rira Pangestu sambil melangkah mendekati ranjang yang tertutup kelambu putih.
Nyi Rira Pangestu kemudian menyibak kelambu perlahan. Seketika itu juga nampak seorang lelaki berusia lima puluh tahunan tengah terbaring lemah. Keadaan Ki Bernala yang hanya mengenakan sehelai celana pendek nampak begitu mengerikan. Seluruh tubuhnya dipenuhi benjolanbenjolan sebesar telur ayam dan berwarna kemerahan, seperti bisul-bisul yang hampir pecah.
Ki Bernala mengerang-erang merasakan hawa panas dan rasa sakit yang mendera. Sedangkan Nyi Rira Pangestu tampak berusaha mengurangi hawa panas yang diderita suaminya dengan mengompreskan kain basah.
Raja Petir mulai memeriksa penuh perhatian penyakit yang diderita Ki Bernala dengan mengerahkan kekuatan batinnya. Semula ditatapnya benjolan paling kecil yang berwarna merah kehijauan dengan mata terbelalak. Namun sesaat kemudian, tiba-tiba matanya terpejam.
"Ah...!" Terdengar desahan panjang dari mulut Jaka. Matanya perlahan-lahan terbuka. Lalu menoleh ke wajah Nyi Rira Pangestu dan Gunjada.
"Kalau boleh aku menduga, penyakit ini disebabkan perbuatan jahil seseorang yang berilmu cukup tinggi. Ini penyakit yang tak wajar," ujar Jaka dengan suara ditekan pelan.
"Berilah dia pertolongan kalau kau bisa, Nak Jaka," pinta Nyi Rira Pangestu dengan penuh harap. Entah mengapa tiba-tiba saja hatinya begitu percaya pada pemuda tampan berpakaian kuning keemasan itu.
"Seperti Nyai dan juga orang-orang yang berada di lingkungan tempat tinggal ini, aku tak punya kelebihan apa-apa. Namun karena Nyai mempercayakan pertolongan itu kepadaku, maka aku akan berusaha semampuku melakukan permintaan Nyai. Namun kuharapkan juga bantuan Nyai, dengan berdoa kepada Yang Maha Kuasa agar memberikan rahmat-Nya demi kesembuhan Ki Bernala," pinta Jaka dengan perasaan merendah.
"Tentu saja, Nak Jaka," sambut Nyi Rira Pangestu seraya mengangguk.
Mendengar ucapan Nyi Rira Pangestu, Jaka segera mendekatkan wajahnya ke salah satu benjolan di tubuh Ki Bernala.
"Maaf, Ki! Aku memang harus meraba benjolan di tubuhmu," ucap Jaka pelan.
Telapak tangan lelaki muda berwajah tampan itu segera bergerak meraba benjolan terkecil yang berwarna kehijauan. "Aaakh...!"
Jeritan keras seketika terlontar dari mulut Ki Bernala. Tubuh lelaki tanpa pakaian itu menggelinjang, seperti tengah menahan rasa nyeri yang hebat. Nyi Rira Pangestu sempat terlonjak mendengar jeritan sang Suami. Begitu juga dengan Gunjada. Tubuh lelaki berpakaian coklat itu mundur satu langkah. Senjatanya yang berupa pedang sudah lolos dari warangkanya.
"Tenang, Kakang Gunjada!" tegur Mayang ketika melihat Gunjada sudah menghunus pedang. "Aku yakin Kakang Jaka sudah menemukan sumber penyakitnya. Itu sebabnya Ki Bernala menjerit kesakitan "
Ucapan Mayang berpengaruh pada diri Gunjada, terbukti lelaki berwajah tampan dan berkumis tebal itu kembali memasukkan pedang ke warangkanya. Sementara Jaka nampak tengah meraih sesuatu dari balik pakaiannya.
"Sebaiknya diminumkan dulu obat penawar racun ini, Nyi," ucap Jaka seraya menyerahkan sebutir obat berwarna merah darah pada istri Ki Bernala.
Nyi Rira Pangestu tanpa menaruh curiga segera meraih obat penawar racun yang diberikan Jaka, lalu memberikannya pada Ki Bernala.
"Aaakh!"
Kembali Ki Bernala terpekik sesaat setelah menelan obat yang dimasukkan Nyi Rira Pangestu ke mulutnya. Tubuh Ki Bernala menggelinjanggelinjang beberapa saat. Sementara Nyi Rira Pangestu nampak kebingungan.
"Tak perlu cemas, Nyi! Obat yang telah masuk ke perut Ki Bernala tengah bekerja. Ki Bernala memang harus merasakan pertentangan yang terjadi pada tubuhnya," ucap Jaka mencoba menenangkan perasaan istri Ki Bernala.
Mendengar ucapan pemuda tampan yang tampak berwibawa itu Nyi Rira Pangestu tak menyahuti. Namun, tampaknya ucapan Jaka telah membuat hati perempuan setengah baya itu tenang.
Ucapan yang keluar dari mulut Jaka ternyata benar. Ketika pertentangan yang terjadi dalam tubuh Ki Bernala berakhir, Kepala Desa Kober Utara itu berubah tenang. Meskipun belum tampak adanya perubahan. Tubuhnya masih tetap dipenuhi benjolan-benjolan sebesar telur ayam.
"Menyingkirlah sedikit, Nyi! Biar aku menyalurkan kekuatan batinku ke tubuh Ki Bernala. Doakan semoga aku berhasil mengusir pengaruh jahat yang bersarang di tubuh Ki Bernala," pinta Jaka sopan.
"Silakan," ujar Nyi Rira Pangestu. Perempuan setengah baya itu tampak melangkah ke belakang menjauhi pembaringan Ki Bernala.
Tanpa membuang waktu, tangan Jaka segera membalikkan tubuh Ki Bernala agar menelungkup. Setelah itu naik ke pembaringan agar dirinya lebih leluasa menyalurkan kekuatan guna mengusir kekuatan jahat yang mengendap di tubuh Ki Bernala.
Sesaat kemudian Jaka memejamkan mata. Kemudian tangannya bergerak perlahan ke punggung Ki Bernala yang tak terbungkus pakaian. Pendekar muda itu tengah mengerahkan 'Aji Kukuh Karang' yang juga berguna untuk pengobatan bagi penyakit-penyakit yang di luar kewajaran.
Sinar kuning seketika membias pada telapak tangan Jaka, ketika bersentuhan dengan punggung Ki Bernala. Terlihat oleh Nyi Rira Pangestu dan orang-orang yang ada di dalam kamar Ki Bernala, sinar keemasan yang berasal dari telapak tangan Jaka seolah bergerak dan menyelusup ke tubuh Kepala Desa Kober Utara itu.
Hanya sebentar Jaka menempelkan telapak tangan ke punggung Ki Bernala, yang juga ditumbuhi benjolan-benjolan merah sebesar telur ayam. Sesaat tubuh Ki Bernala yang diduduki Jaka tampak menggeliat-geliat pelan. Namun kemudian diam tak bergerak.
Setelah itu Jaka turun dari pembaringan Ki Bernala. Lalu menghampiri Nyi Rira Pangestu.
"Semoga yang kulakukan barusan berhasil, Nyi!" ujar Jaka pada Nyi Rira Pangestu.
Nyi Rira Pangestu hanya mengangguk perlahan. Matanya sejenak menatap wajah tampan Jaka.
"Kita tunggu sesaat hasil dari apa yang telah kulakukan, Nyi," ujar Jaka lagi.
Namun belum lagi gaung ucapan Jaka lenyap, rintihan kecil tiba-tiba terdengar dari mulut Ki Bernala. Bersamaan dengan itu, Jaka, Mayang, Nyi Rira Pangestu, dan Gunjada terkejut. Mereka melihat benjolan-benjolan merah yang memenuhi tubuh Ki Bernala mengeluarkan darah. Darah yang mengalir deras itu membasahi selimut putih penutup tubuh serta alas tempat tidur. Sehingga warna putih itu berubah merah, rata!
"Akh!" Nyi Rira Pangestu memekik tertahan dengan mata terbelalak menyaksikan suaminya. Namun dirinya jelas tak mungkin melakukan sesuatu untuk menolong sang Suami. Di samping itu Jaka pun sudah mencegah Nyi Rira Pangestu agar tak mendekati tubuh Ki Bernala.
"Bagaimana dia, Nak Jaka?" tanya Nyi Rira Pangestu dengan kecemasan yang luar biasa.
"Tenanglah saja, Nyi! Yang keluar itu darah kotor akibat perbuatan orang yang memiliki ilmu kotor. Kuharapkan tak berapa lama lagi darah itu berhenti mengucur dan Ki Bernala akan terbebas dari ilmu sesat yang menyerangnya!" ujar Jaka ingin menenangkan hati Nyi Rira Pangestu.
Istri Ki Bernala tak lagi melemparkan pertanyaan, setelah mendengar penjelasan Jaka yang begitu meyakinkan. Apalagi ketika terbukti darah yang mengalir dari benjolan-benjolan di tubuh suaminya berhenti. Ki Bernala kini terlihat tenang, dengkur napasnya pun nampak mulai teratur.
"Sekarang, mari kita pindahkan tubuh Ki Bernala ke tempat lain, Nyi!" ajak Jaka kemudian. Tatapannya kini tertuju pada Gunjada yang tengah terpaku kebingungan.
"Ayo, Gunjada! Bantulah mengangkat Ki Bernala!" perintah Nyi Rira Pangestu.
Dengan tergeragap Gunjada menghampiri tubuh Ki Bernala. Bersama Jaka dan dibantu Mayang, Gunjada mengangkat tubuh Kepala Desa Kober Utara itu dengan hati-hati.
Baru saja Ki Bernala dibaringkan di tempat tidur yang lain dari luar terdengar suara ributribut dengan memanggil nama Gunjada!
"Coba kau temui mereka, Gunjada! Tanya, apa yang terjadi! Setelah itu kau lapor ke sini," perintah Nyi Rira Pangestu.
Gunjada bergegas meninggalkan kamar pribadi Ki Bernala. Di serambi depan tampak orangorang berkumpul. Rata-rata di wajah mereka tergurat rasa takut.
"Ada apa ini?! Ada apa? Apa kalian tak tahu Ki Bernala sedang sakit? Kenapa ribut-ribut di sini?!" tanya Gunjada dengan suara membentak. Wajahnya yang terhias kumis tebal seakan tak mampu menyembunyikan kemarahannya.
"Anu, Kakang Gunjada..., anu!" jawab seorang lelaki tinggi kurus menggeragap karena mendengar kemarahan Gunjada.
"Anu apa! Bicara yang jelas!" bentak Gunjada keras.
"Anu, Kakang. Mayat-mayat di kuburan sana bangkit dan mengamuk, membantai para penduduk terdekat," jelas lelaki tinggi kurus masih dengan suara gugup.
"Jangan ngaco kamu, Gorari!" bentak Gunjada berang.
"Betul, Kakang Gunjada. Mayat-mayat itu bangkit dari kuburnya," timpal lelaki bertubuh sedang yang mengenakan pakaian biru dekil. "Mayat-mayat itu membantai penduduk yang tinggal di sekitar tanah pekuburan."
"Setan! Musibah apa lagi yang akan mengancam desa kita!" gumam Gunjada mirip bentakan keras. Hatinya marah bercampur keheranan mendengar laporan itu.
Tangan kanan Kepala Desa Kober Utara itu tampak terdiam. Sesaat kemudian kakinya bergegas melangkah, masuk ke dalam rumah.
"Nyai Rira harus segera diberitahu," batin Gunjada.
"Heh...?! Mayat-mayat di kuburan bangkit?!" ulang Nyi Rira Pangestu dengan keterkejutan luar biasa. "Aneh!"
***
DUA
"Betul, Nyi. Semula aku juga tak yakin, tapi kecemasan mereka yang berada di depan sepertinya tak dibuat-buat," sahut Gunjada.
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Nyi Rira Pangestu bingung. Tatapan matanya kini tertuju pada wajah Jaka dan Mayang bergantian.
Mendengar pertanyaan Nyi Rira Pangestu yang mengandung kecemasan, Jaka dan Mayang seketika terlibat saling tatap. Sepertinya sepasang tokoh muda yang memiliki kesaktian tinggi itu tengah merencanakan suatu kepastian untuk menimpali pertanyaan istri Ki Bernala.
"Kalau begitu biar kami yang melihat kejadian di sana, Nyi!" ujar Jaka menjawab kebingungan Nyi Rira Pangestu.
"Terima kasih, Jaka! Hati-hatilah kalian! Keanehan ini mungkin juga karena perbuatan tokoh-tokoh hitam yang usil," pesan Nyi Rira Pangestu. "Tentu, Nyi. Kami akan selalu berhati-hati," jawab Mayang. "Ayo, Kakang! Kita harus segera membantu penduduk dari pembantaian mayatmayat hidup itu."
"Aku ikut," selak Gunjada.
Jaka menoleh lalu memegang tangan lelaki berwajah tampan dengan kumis tebal itu. "Sebaiknya kau temani saja Nyi Rira, mengurus dan menjaga Ki Bernala! Percayakan saja kejadian ini pada kami! Aku dan Mayang akan berusaha mengurusnya sebaik mungkin," tahan Jaka hati-hati. Biar bagaimanapun dirinya tak ingin perasaan tangan kanan kepala desa itu tersinggung.
Gunjada kiranya memahami ucapan Jaka. Kalau semua orang hendak menghadapi mayatmayat hidup, itu lalu siapa yang akan menjaga Ki Bernala? Meskipun sebenarnya ingin sekali dia dapat ikut melihat kejadian aneh itu.
"Maaf, Kakang Gunjada. Bukannya aku tak membutuhkan tenagamu. Kurasa Ki Bernala lebih membutuhkan. Jagalah dia, dan jika keadaan menjadi semakin tak memungkinkan untuk menyelamatkan diri dari amukan mayat-mayat yang mungkin mencapai sini, pindahkan segera Ki Bernala dari tempat ini!"
"Menjaga Ki Bernala memang yang harus kulakukan, pergilah kalian!" ucap Gunjada.
Jaka dan Mayang melesat cepat melewati pintu yang terbuka. Kedua pendekar muda yang berjuluk Raja Petir dan Dewi Payung Emas itu bergerak begitu ringan, laksana terbang. Hal tak mengherankan karena keduanya tokoh yang berilmu tinggi.
Sementara itu di tempat kejadian mayatmayat yang bangkit dari kubur tengah berhadapan dengan sekelompok penduduk. Antara para penduduk yang cukup berani dan mayat-mayat hidup tengah berlangsung sebuah perang tanding sangat seru dan aneh.
Penduduk Desa Kober Utara yang memegang bermacam-macam senjata sekuat tenaga berusaha mengusir mayat-mayat hidup yang hendak mengganggu keluarganya. Dengan cangkul, parang, dan golok-golok para penduduk memberikan perlawanan semampu mereka.
Seorang lelaki penduduk Desa Kober Utara yang tengah menghadapi serangan dari mayat hidup tersentak kaget. Matanya terbelalak heran mendapati kenyataan yang ada. Dengan sekuat tenaga dibabatkan parang di tangannya ke leher mayat hidup yang hendak mencengkeramnya.
"Hih!" Bletak! "Heh?!"
Mayat hidup yang tak terbungkus kulit itu sedikit pun tak bergeming dari tempatnya. Tak ada tulang-belulangnya yang patah terbabat parang lelaki berpakaian hitam itu.
Crak! Knrkrk...! "Aaa...!"
Pekik melengking membumbung ke langit terdengar, ketika jari-jari tangan mayat hidup itu menjamah leher lelaki berpakaian hitam. Mata lelaki itu kontan mendelik, merasakan jemari tajam mayat hidup menembus kulit lehernya. Darah mengalir deras dari tenggorokan lelaki itu.
Brets!
Kepala lelaki itu terlepas. Jemari tangan mayat itu membetot keras lehernya. Tanpa bersuara apa pun mayat bertubuh kecoklatan tanpa kulit pembungkus itu melemparkan kepala yang telah direnggutnya. Kepala berlumuran darah itu menggelinding sampai di dekat kaki Jaka yang baru saja tiba.
"Bedebah..!!" geram Jaka dengan mata terbelalak.
"Mundur kalian!" bentakan kuat Raja Petir yang mengandung tenaga dalam tinggi membuat para penduduk Desa Kober Utara yang tengah bertarung mempertahankan diri terlonjak mundur. Ternyata begitu juga keadaan mayat-mayat yang bangkit dari kubur. Makhluk-makhluk aneh yang menyeramkan itu tergetar, lalu menghentikan serangan mereka terhadap para penduduk.
Raja Petir pun sempat merasa heran menyaksikan sikap mayat-mayat itu. Mengapa makhluk-makhluk aneh itu, berhenti?
Untuk sesaat pertarungan terhenti, karena para penduduk Desa Kober Utara bergerak mundur mendekati Raja Petir dan Mayang yang berdiri tegak dengan sorot mata tajam. Sementara itu tampak mayat-mayat hidup itu selangkah pun tak berani bergerak maju dari tempat mereka.
Beberapa saat suasana hening mencekam berlangsung. Namun sesaat kemudian keanehan kembali disaksikan Raja Petir dan Mayang serta para penduduk yang terdiam tegang. Mayat-mayat hidup itu bergerak mundur. Dengan membalikkan tubuh mereka berlalu meninggalkan Jaka dan Mayang yang telah siap menghadapi makhluk-makhluk aneh itu.
Gerakan mayat-mayat hidup yang begitu serempak membuat suatu gagasan melintas di benak Jaka. Kelakuan makhluk-makhluk itu seperti ada yang mengatur. Namun, siapa orangnya? Yang jelas dia seorang yang memiliki kepandaian yang cukup tinggi.
"Kita harus menyelidiki keanehan ini, Mayang," bisik Jaka setelah mayat-mayat hidup itu bergerak semakin jauh.
"Tentu, Kakang. Kita harus tahu siapa dalang di balik kejadian aneh ini," sahut Mayang bersemangat. "Dan kita harus menghentikan perbuatan terkutuk ini!"
"Itu memang harus kita lakukan, Mayang. Ini kejadian yang tak dapat dibiarkan...," balas Jaka dengan tatapan mata tak lepas pada beberapa mayat penduduk Desa Kober Utara yang tergeletak setelah tak mampu menghadapi lawan-lawan aneh itu.
"Kalau begitu mari kita urus mayat-mayat itu sekarang, Kakang! Biar bagaimanapun jasad mereka butuh penghormatan yang layak," ujar Mayang.
"Kisanak sekalian! Tolong bantu kami mengurus mayat-mayat mereka," teriak Jaka keras.
Belasan lelaki yang semenjak kepergian mayat-mayat hidup itu hanya terpaku, tersentak mendengar teriakan keras pemuda tampan berbaju kuning keemasan itu. Para penduduk merasa heran dan hampir tak percaya terhadap kejadian barusan.
Mereka merasa bagaikan baru saja tersadar dari mimpi buruk yang mencekam. Belasan lelaki itu kini berhamburan mendekati sosok-sosok mayat rekan mereka. Bersama-sama Jaka dan Mayang, para penduduk mengurus mayat-mayat untuk dimakamkan.
"Siapa sebenarnya kalian, sepertinya orang asing di Desa Kober Utara ini?" tanya seorang lelaki berusia lima puluh tahunan. Wajahnya berkerut-kerut, membuat dirinya tampak lebih tua dari usia sebenarnya.
"Kami memang pendatang di Desa Kober Utara ini, Ki," jawab Jaka. "Ah, ya. Namaku Jaka Sembada dan ini temanku, Mayang Sutera."
"Kalau boleh ku tahu. Di desa ini kau tinggal bersama siapa?" tanya lelaki tua itu lagi menyelidik.
"Entahlah! Mungkin di rumah Ki Bernala," jawab Jaka.
"Kau kenal Ki Bernala?" tanya lelaki tua itu sedikit terkejut.
"Ya."
"Kau kerabat, Ki Lurah?" tanya lelaki tua itulagi. Jaka membiarkan pertanyaan lelaki tua itu. "Sebaiknya kami ke tempat beliau dulu, Ki.
Ki Bernala sedang sakit, kami mencemaskan keadaannya," ujar Jaka mengelak dari pertanyaan lelaki tua penduduk desa itu.
Lelaki tua itu tak lagi melontarkan pertanyaan. Ketika Jaka dan Mayang sama-sama menganggukkan kepala dan berlalu dari hadapannya, lelaki tua itu tertegun mengiringi kepergian kedua muda-mudi itu. Di hatinya tersemat kekaguman terhadap mereka berdua.
***
Ki Bernala tengah duduk di pembaringannya, ketika Jaka dan Mayang muncul kembali ke kamarnya yang berbau harum dan terawat rapi. Di samping Ki Bernala duduk istrinya yang kini berwajah agak cerah. Mungkin kekhawatirannya terhadap keselamatan Ki Bernala telah sirna.
"Kalian yang bernama Jaka dan Mayang?" tanya Ki Bernala, ketika melihat kemunculan Jaka yang diantar oleh Gunjada.
"Benar, Ki. Ah, bagaimana keadaanmu?" tanya Jaka.
"Baik. Dan terima kasih atas pertolonganmu," jawab Ki Bernala. "Benjolan-benjolan aneh itu kini benar-benar telah lenyap dari tubuhku," lanjutnya sambil menyingkap pakaian yang dikenakan.
"Syukurlah, Ki!" ucap Jaka. "Bagaimana dengan mayat-mayat yang bangkit dari kubur itu, Jaka? Ah! Apa kau berhasil mengusir mereka?" tanya Ki Bernala. Kali ini tatapan mata Ki Bernala merayapi sekujur tubuh pemuda berambut gondrong dan berpakaian kuning keemasan yang berdiri di hadapannya.
"Aku tidak melakukan apa-apa terhadap mayat-mayat hidup itu. Ketika kami datang ke tempat kejadian, mayat-mayat hidup itu serempak menghentikan keganasan mereka. Semua berlalu begitu saja, seperti ada yang mengendalikan," jawab Jaka.
"Aneh! Seaneh penyakit yang ku alami. Pasti ada sesuatu di balik kejadian aneh ini. Dan sesuatu itu pasti sebuah rencana yang sudah diatur dan didalangi orang yang tak sembarangan...," ucap Ki Bernala pelan. Nada keresahan terdengar jelas dari ucapannya.
Sementara Nyi Rira Pangestu istri Ki Bernala nampak menundukkan kepalanya.
"Kami semua sangat membutuhkan pertolonganmu. Raja Petir," ujar Kepala Desa Kober Utara itu dengan suara perlahan. Tatapan matanya menghujam dalam di wajah tampan Jaka yang disebut julukannya.
Jaka tampak tak merasa terkejut mendengar Ki Bernala menyebut julukannya. Meski dirinya tak tahu persis, apakah Ki Bernala memang benar-benar mengenalnya sebagai sosok Raja Petir atau cuma kenal dari ciri-ciri yang telah dikenal baik oleh para tokoh persilatan maupun penduduk biasa.
Justru keterkejutan nampak pada wajah Nyi Rira Pangestu. Wajah perempuan yang masih memperlihatkan sisa-sisa kecantikan masa mudanya itu bersemu merah. Istri Ki Bernala itu tampak malu-malu ketika bertatapan dengan Jaka dan Mayang.
Sesungguhnya Nyi Rira Pangestu tak menyangka kalau lelaki berwajah tampan yang telah menyelamatkan suaminya, ternyata seorang yang cukup dikenal dan disegani tokoh-tokoh sakti rimba persilatan.
"Tak perlu diminta pun dengan senang hati kami akan membantu kesulitan penduduk Desa Kober Utara ini, Ki Bernala," ucap Jaka menjawab permintaan kepala desa itu. "Bukan begitu, Mayang?" lanjut Jaka melempar pertanyaan pada gadis cantik berpakaian jingga yang berdiri di sampingnya.
"Benar Ki," timpal Mayang, "Ini kewajiban kami," lanjut gadis cantik yang berjuluk Dewi Payung Emas itu.
"Ah, terima kasih kalau begitu!" ujar Ki Bernala dengan wajah memancarkan kegembiraan. "Aku yakin kalian berdua adalah sepasang pendekar muda yang memiliki kesaktian tinggi dan akan mampu mengusir makhluk-makhluk aneh itu."
"Kita sama-sama berjuang untuk itu, Ki. Tanpa bantuan Ki Bernala dan penduduk desa ini, kami bukanlah apa-apa," kilah Jaka merendah.
"Tentu saja hal itu akan kulakukan, Jaka. Nyawaku tak segan-segan kupertaruhkan demi ketenteraman desa yang telah ku pimpin selama puluhan tahun," terdengar ucapan mantap dari mulut Ki Bernala.
"Benar, Nak Jaka," timpal Nyi Rira Pangestu, "Apa pun akan kami korbankan demi menjaga ketenteraman desa ini. Ah! Sungguh aku tak habis pikir, siapa tokoh yang berdiri di balik keanehan ini. Puluhan tahun kami hidup di desa ini, baru kini kami mengalami kejadian aneh begini," keresahan kembali muncul dari ucapan istri Ki Bernala.
"Kami berusaha akan menyelidiki siapa tokoh itu, Nyi," ucap Mayang mencoba membesarkan hati Nyi Rira Pangestu.
Perempuan berusia tak lebih dari empat puluh tahun itu tak lagi berucap. Sementara, di luar rumah Ki Bernala, langit nampak tertutup awan hitam. Angin malam bertiup kencang menanggalkan dedaunan yang tak kuat berpegang pada tangkai. Tampaknya sebentar lagi hujan akan turun. Dari kejauhan terdengar guntur mengisyaratkan bakal datangnya hujan.
***
TIGA
Hujan lebat mengguyur bumi Desa Kober Utara. Malam yang gelap kian mencekam. Suara guntur menggelegar sesekali terdengar dan menerangi desa itu.
Pada saat guntur menggelegar, tampak sesosok bayangan melesat di antara pepohonan yang tumbuh di sebelah barat Desa Kober Utara. Gerakan sosok tubuh yang terbungkus pakaian hitam itu tampak begitu ringan dan lincah. Tanah yang becek dan licin pun bukan penghalang baginya untuk bergerak dengan cepat.
"Hhh...!" sosok tubuh yang tengah bergerak itu menghela napas berat. "Hujan seperti ini agaknya menandakan sebuah kegagalan," lanjut sosok berpakaian hitam itu membatin. Namun sedikit pun tidak mengurangi kecepatan larinya. Tubuhnya terus melesat ke timur, menembus gelap malam dan lebatnya hujan.
Ketika perbatasan Desa Kober Utara telah tampak, sosok tubuh hitam itu mulai mengendurkan larinya. Hujan pun mulai mereda. Seiring dengan langkah kaki sosok berpakaian hitam yang, meninggalkan perbatasan Desa Kober Utara hujan telah reda. Sosok yang berlari tergesa itu kini mulai melangkah perlahan menghampiri sebuah bangunan tua yang tak jauh dari mulut Desa Pagarayung.
"Celaka, Ki Bandot!" ujar sosok berpakaian hitam ketika menguak pintu rumah tua itu. Seorang lelaki tua berpakaian biru terang nampak tengah duduk bersila di balai-balai bambu.
"Aku sudah merasakan getaran kegagalan upaya kita dari sini, Manggale," sahut lelaki berusia sekitar enam puluh tahun dengan sorot mata yang tak lepas memandangi lututnya. "Tapi kita akan tetap berusaha sampai Desa Kober Utara dapat terkuasai. Banyak cara untuk kita berhasil melakukannya, Manggale. Kau tak perlu cemas! Bapakmu pasti akan menjadi pemimpin dua desa yang bersatu. Dan kekayaan bapakmu tak akan habis dimakan seratus keturunan sekalipun," lanjut lelaki berpakaian biru terang yang bernama Ki Bandot.
"Kita memang harus berhasil, Ki," tegas sosok berpakaian hitam yang tadi dipanggil Manggale. Lelaki muda berusia dua puluh delapan tahun itu memiliki wajah yang tampan. Namun ng, di bagian dahinya terdapat bekas luka memanjang sepanjang alis, dari kiri dan kanan. Bekas luka itu berwarna hitam hingga sedikit mengganggu ketampanan.
"Percayakan semua ini padaku, Manggale! Di kepalaku tersimpan banyak cara untuk menjatuhkan si sontoloyo Bernala itu. Kita akan menguasai Desa Kober Utara!" tandas Ki Bandot dengan angkuh.
Manggale hanya tersenyum mendengar keyakinan yang keluar dari ucapan lelaki tua bercambang bauk dan jenggot putih itu. Mata lelaki berlanjut itu menyorot tajam, walau bola matanya agak menjorok ke dalam.
Namun, keyakinan Manggale tiba-tiba kembali terusik mengingat rencananya yang digagalkan pasangan tokoh muda. Diingatnya pula bagaimana mayat-mayat hidup itu bergerak mundur setelah melihat kemunculan dua pendekar muda. Perbawa sepasang tokoh muda itu dirasakan terlalu tinggi.
"Tapi, Ki Bandot...," ucap Manggale terpenggal karena tatapan tajam Ki Bandot. Manggale merasa tak enak hati untuk menyatakan keraguannya.
"Tapi, apa, Manggale?" tanya Ki Bandot seraya menatap wajah Manggale.
Manggale tak segera menjawab pertanyaan lelaki berpakaian biru terang yang di kiri-kanan pinggangnya terselip sebilah parang yang berwarna merah darah.
"Katakan apa yang kau maksudkan barusan, Manggale!" desak Ki Bandot seraya menatap anak Kepala Desa Pagarayung yang membiarkan pertanyaannya. "Apa kau belum yakin dengan kepandaian Ki Bandot?" tandas lelaki tua bercambang bauk putih seraya menepuk dada tuanya cukup keras.
"Ah, bu... bukan begitu yang ku maksud, Ki," kilah Manggale kelabakan. Wajah lelaki tampan itu berubah kemerahan. Hatinya merasa tak enak mendengar ucapan Ki Bandot
"Lalu apa, Manggale?" tanya Ki Bandot lembut. Seakan-akan tahu perasaan tak enak yang melanda hati putra Kepala Desa Pagarayung itu. Diam-diam hatinya kagum melihat Manggale yang begitu setia membantu ayahnya dalam menundukkan Ki Bernala dan menguasai Desa Kober Utara.
Pikiran Manggale kembali menerawang membayangkan penampilan sepasang muda-mudi yang mampu mengusir para mayat hidup. Penampilan kedua pendekar muda itu begitu memiliki perbawa yang begitu kuat. Sehingga mayat-mayat yang bangkit dari kubur itu seakan ketakutan menghadapi mereka berdua, lalu kembali ke tempat asalnya masing-masing. Atau mungkin kedua lelaki perempuan muda itu memiliki kesaktian tinggi, hingga ilmu sihir yang dikerahkan Ki Bandot luntur.
"Sepasang anak muda itu, Ki Bandot. Dialah yang menjadi pikiranku sekarang," jawab Manggale setelah beberapa saat terdiam.
"Hmmm...! Dari sini aku pun dapat merasakan getaran kekuatan orang yang kau maksudkan, Manggale. Namun ng, aku tak bisa merekareka siapa gerangan mereka," tutur Ki Bandot dengan mata yang sedikit dipejamkan.
Manggale tak berusaha memotong ucapan Bandot. Lelaki muda yang ketampanannya terganggu oleh codet di atas alis itu hanya memperhatikan cara lelaki tua itu berbicara.
"Coba kau sebutkan ciri-ciri mereka, Manggale!" pinta Ki Bandot seraya menatap wajah Manggale.
Manggale mengerutkan dahi seakan-akan tengah berusaha mempertajam ingatannya terhadap keberadaan dua muda-mudi yang tak lain si Raja Petir dan Dewi Payung Emas.
"Aku ingat Ki. Yang pertama, seorang lelaki berusia muda, berwajah tampan. Tubuhnya kekar dan berisi. Dia mengenakan pakaian kuning keemasan dan di pinggangnya melilit sebuah sabuk hijau. Ah, sabuk itu sepertinya bukan sembarangan sabuk, Ki. Apalagi dengan sebuah pedang bergagang indah yang menggelantung di punggungnya menjadikan perbawanya begitu mengerikan," papar Manggale dengan tatapan mata mengarah ke luar rumah kediaman Ki Bandot.
Sementara itu Ki Bandot hanya menimpali keterangan Manggale dengan kepala menganggukangguk.
"Sedangkan yang wanita, Ki" lanjut Manggale, "Dia juga masih begitu muda dan cantik. Pakaiannya yang berwarna jingga sangat mencolok mata, pas dengan kecantikannya. Wanita itu memegang sebuah payung kecil, sepertinya terbuat dari logam keras dan berwarna kuning keemasan "
"Hmmm. !"
Ki Bandot bergumam tak jelas. "Pantas!" ujarnya kemudian.
"Ki Bandot mengenal mereka?" tanya Manggale dengan raut wajah yang terkesan kaget.
"Semua tokoh berilmu tinggi pasti mengenalnya, Manggale," jawab Ki Bandot seraya mengangguk-anggukkan kepala.
"Ah, siapa mereka, Ki?" desak Manggale ingin segera tahu.
Ki Bandot tersenyum melihat ketaksabaran Manggale.
"Kalau memang dia berdiri di pihak Ki Bernala, berarti dialah perintang utama cita-cita ayahmu, Manggale. Kita harus menyingkirkan mereka agar usaha-usaha selanjutnya dapat kita lampaui dengan mudah. Semudah membalikkan telapak tangan. Percayalah Manggale! Aku dapat menyingkirkan sepasang pendekar muda yang mau ikut campur urusan orang lain itu. Pendekar usil...!" kalimat terakhir yang diucapkan Ki Bandot cukup jelas dan kuat.
"Siapa mereka, Ki?" desah Manggale, karena Ki Bandot belum juga menjawab pertanyaannya. "Raja Petir dan Dewi Payung Emas," jawab Ki Bandot.
"Raja Petir?" ulang Manggale terkejut.
"Kau pernah mendengar julukan itu, Manggale?" tanya Ki Bandot memecah lamunan putra tunggal Ki Gambaga yang berhasrat menguasai Desa Kober Utara dan menggabungkan dengan Desa Pagarayung di bawah kepemimpinannya.
Manggale menatap wajah Ki Bandot sebelum menjawab pertanyaan itu. "Aku pernah mendengar julukan itu disebut-sebut orang, waktu singgah di sebuah kedai. Menurut mereka kedua tokoh itu memiliki kesaktian tinggi. Apa memang begitu, Ki?" tanyanya.
"Menurut kabar yang kudapat memang begitu, Manggale. Namun aku tetap menyangsikan kehebatannya. Apakah sepasang pendekar muda itu mampu menghadapi Ki Bandot yang berjuluk Setan Bukit Cemara?" ungkap Ki Bandot, menyombongkan dirinya sebagai Setan Bukit Cemara. "Mudah-mudahan tidak, Ki!" sahut Manggale menimpali ucapan Ki Bandot.
"Tidak pakai mudah-mudahan, Manggale!" ucap Setan Bukit Cemara keras. "Aku pasti dapat mengalahkannya!''
Manggale tertunduk melihat kemarahan lelaki berusia enam puluh tahun lebih itu.
"Kau harus percaya itu, Manggale!" kembali ucapan Setan Bukit Cemara terdengar lunak, dan itu cukup membuat Manggale kembali berani mengangkat kepala untuk menatapnya. "Seluruh kemampuanku, seluruh ilmu kesaktianku akan ku keluarkan untuk menghadapi Raja Petir dan pasangannya yang berjuluk Dewi Payung Emas," lanjut Setan Bukit Cemara dengan gerakan tangan yang hendak meraih tubuh Manggale.
"Ah, maaf Ki. Kalau seandainya Ki Bandot memang membutuhkan bantuan untuk meringankan tugas Ki Bandot, aku akan membicarakannya pada ayah untuk mengizinkan kita mencari tokohtokoh sakti guna menghadapi Jaka," usul Manggale dengan hati-hati, karena takut lelaki tua itu tersinggung.
Wajah Setan Bukit Cemara merah padam ketika mendengar ucapan putra tunggal Ki Gambaga itu. Namun lelaki tua itu segera memaklumi usul Manggale yang tengah dilanda kecemasan akan kegagalan cita-cita sang Ayah dalam merebut Desa Kober Utara.
"Kita tak perlu bantuan tokoh-tokoh lain, Manggale. Cukup Ki Bandot saja yang menghadapi Raja Petir. Buang kecemasanmu jauh-jauh! Percayakan semuanya padaku! Setan Bukit Cemara akan mempertaruhkan nyawa untuk mewujudkan cita-cita ayahmu," kilah Ki Bandot menenangkan gejolak hati putra Kepala Desa Pagarayung.
"Ah, maafkan aku, Ki! Bukan maksudku meremehkan kesaktianmu. Ucapanku tadi keluar dari rasa cemas yang tak mampu kubendung. Sekarang kecemasanku sedikit sirna, karena Setan Bukit Cemara telah berjanji dengan keyakinan akan membela ayah. Aku percaya sepenuhnya padamu, Ki. Dan kita pasti akan mampu mengusir si Raja Petir, kita kuasai Desa Kober Utara," ujar Manggale dengan raut wajah cerah.
"Tapi kau harus ingatkan ayahmu, Manggale. Daerah selatan Desa Kober Utara, khususnya darah Bukit Gandung itu adalah jatah untukku," ungkap Setan Bukit Cemara.
"Tentu saja, Ki. Lebih dari itu pun aku akan memintakannya pada ayah untukmu, asalkan...," Manggale seperti sengaja menahan ucapannya.
"Asalkan apa, Manggale?" dengan tatapan keheranan Setan Bukit Cemara bertanya pada lelaki muda bercodet itu.
"Kalau kita berhasil menyingkirkan Raja Petir kuharap kau sudi memaafkan teman wanitanya," ucap Manggale takut-takut.
"Ha ha ha...!" Setan Bukit Cemara tertawa terkekeh, mendengar ucapan Manggale. Meski ucapan itu baru separo keluar dari mulut Manggale, Ki Bandot sudah mengetahui kelanjutan dan arti dari ucapan putra tunggal Ki Gambaga.
Sementara Manggale sendiri menundukkan kepalanya setelah melihat tanggapan Ki Bandot.
"Ha ha ha...! Ternyata kau suka juga pada jidat licin, Manggale. Akan kau jadikan apa si Dewi Payung Emas itu? Istri atau hanya sekadar...?"
"Ki Bandot, lihat saja nanti!" selak Manggale cepat.
"Selera mu memang tinggi, Manggale," tukas Ki Bandot lagi.
"Kurasa kau pun begitu, Ki," balas Manggale seraya tersenyum. Ucapan Manggale barusan memang terkesan sedikit kurang ajar. Namun bagi Setan Bukit Cemara hal itu suatu yang wajar. Meskipun kedudukannya sebagai seorang guru lebih tinggi, dirinya juga ingin muridnya bisa berkelakar agar keakraban semakin terasa. Dan Manggale telah memperlihatkan kelakarnya tadi dengan ungkapan hatinya sebagai lelaki yang juga gandrung akan kecantikan wanita.
Malam makin larut. Setan Bukit Cemara yang tengah berbicara dengan Manggale sesekali melirikkan matanya melalui jendela kayu yang terbuka lebar.
"Malam sudah larut, Manggale. Sebaiknya sekarang juga kita menemui ayahmu," ucap Setan Bukit Cemara.
"Ya. Sekalian kita kabari ayah tentang Raja Petir yang turut campur tangan dalam urusan kita!"
"Ayahmu memang harus tahu, Manggale. Sekarang mari kita tinggalkan tempat ini! Tengah malam nanti kita kembali ke sini," ujar Setan Bukit Cemara seraya bangkit dari duduk bersilanya.
"Tengah malam?" tandas Manggale.
"Ya, tengah malam. Aku punya rencana khusus untuk membuat seluruh penduduk Desa Kober Utara gempar," jelas Setan Bukit Cemara.
Manggale tersenyum mendengar penjelasan Ki Bandot.
"Kau memang hebat, Ki! Dan juga licik," puji Manggale.
"Kelicikan itulah yang kita butuhkan untuk dapat menyingkirkan si tua bangka Bernala," sahut Ki Bandot seraya tersenyum.
Selesai dengan ucapannya, Setan Bukit Cemara beranjak menghampiri pintu yang terbuat dari bambu berwarna coklat kehitaman.
Krrrttt...!
Bunyi berkerekotan terdengar seiring terkuaknya pintu rumah. Langkah kaki Setan Bukit Cemara pun terlihat di ambang pintu, diikuti Mangggale yang kini berwajah cerah. Mata lelaki muda bercodet di dahi itu membayang kecantikan Mayang.
"Tutup pintu rapat-rapat Manggale. Jangan biarkan binatang-binatang hutan memasuki ruangan dan mengotori tempat memperagakan ilmuilmu sihirku," ucap Setan Bukit Cemara.
Manggale tak menjawab ucapan Ki Bandot, karena dirinya memang tengah melakukan apa yang diucapkan Setan Bukit Cemara.
Malam gelap meniupkan hawa dingin setelah hujan. Langit tak lagi mendung. Setan Bukit Cemara dan Manggale melangkah cepat melewati jalanan basah. Mereka menuju rumah Ki Gambaga, Kepala Desa Pagarayung.
***
EMPAT
Malam merangkak perlahan. Desir angin yang meniupkan hawa dingin ditingkahi gesekan ranting-ranting pohon dan suara binatangbinatang yang bersahutan. Suasana gelap menyelimuti hutan di sebelah timur Desa Pagarayung yang membatasi desa tersebut dengan Desa Kober Utara. Di tengah kegelapan itu tampak dua sosok tubuh tengah melangkah cepat menuju sebuah bangunan tua yang terbuat dari bambu.
"Tengah malam ini penduduk Desa Kober Utara dan si tua bangka Bernala akan terganggu. Dan sudah pasti si Raja Petir," ucap sosok lelaki tua berpakaian biru terang yang tak lain Ki Bandot, atau Setan Bukit Cemara.
Lelaki muda berpakaian hitam yang di dahinya terdapat codet hitam hanya diam. Kakinya terus mengikuti langkah Ki Bandot, menuju rumahnya.
"Kau tahu apa yang akan aku perbuat, Manggale?" sambung Setan Bukit Cemara dengan tatapan yang tepat di wajah Manggale.
"Kau akan kembali membangunkan mayatmayat pekuburan Desa Kober Utara?" jawab Manggale dengan ucapan yang layak sebuah pertanyaan.
Ki Bandot tersenyum sembari menggelengkan kepala, "Malam ini aku tak akan menggunakan mayat-mayat di pekuburan Kober Utara, Manggale," sahutnya pelan.
"Lalu dengan apa lagi, Ki?" tanya Manggale ingin tahu.
"Kau lihat saja nanti, Manggale! Kau akan saksikan bagaimana penduduk Desa Kober Utara akan mengalami kegemparan atas pekerjaan yang akan kita laksanakan sekarang. Ha ha ha...!" jelas Setan Bukit Cemara dengan kegembiraan yang meluap-luap.
"Ha ha ha...!"
Manggale pun ikut terbahak mengiringi tawa Setan Bukit Cemara yang lebih dulu terbang terbawa hembusan angin malam.
"Ayo, kita laksanakan sekarang juga, Manggale!" ajak Ki Bandot dengan langkah kaki yang tergerak lebih dulu memasuki bangunan bambu tempat mempraktekkan ilmu-ilmu sihirnya.
Manggale segera saja mengikuti langkah kaki Setan Bukit Cemara yang dalam hal ini sebagai gurunya. Dan lelaki tua itu duduk bersila di balai-balai bambu, Manggale dengan sikap hormat mengikutinya. Manggale tahu, setiap kali Ki Bandot akan memulai usahanya, siapa saja dilarang mengucapkan sepatah kata pun. Maka Manggale tenang tanpa sedikit pun menggerakkan tubuh apalagi harus menoleh ke sana kemari.
Seperti halnya yang dilakukan Setan Bukit Cemara, Manggale duduk bersila dengan kepala yang menekur ke balai-balai bambu. Mulutnya terkunci rapat tanpa suara. Sesaat kemudian matanya terpejam. Di samping kirinya, Ki Bandot dengan telapak tangan dirapatkan dan diletakkan di depan dada nampak tengah berkomat-kamit mengucapkan suatu mantera.
Pada mulanya tak terdengar sedikit pun dari mulut Setan Bukit Cemara, hanya gerak-gerak bibirnya yang tampak. Namun semakin lama terdengar, bahkan kemudian lebih jelas dan keras. "Wahai, serigala-serigala dan ular-ular penghuni Hutan Jalakdalu, bangunlah dari tidurmu, berpesta-poralah di Desa Kober Utara! Lumat daging-daging empuk penduduk Desa Kober Utara, nikmati tulang-tulang mereka, reguk darah mereka...!"
"Wahai, serigala-serigala dan ular-ular penghuni Hutan Jalakdalu. Berpesta-poralah sekarang juga! Berpesta-poralah sekarang...! Sekarang juga...! Sekarang...! Sekaraaang...!"Suara rapal mantera yang diucapkan Setan Bukit Cemara mengumandang ke angkasa dan terus terbang dibawa angin malam nan dingin.
Manggale yang duduk bersila di samping Setan Bukit Cemara tampak bergemetaran mendengar ucapan mantera yang bergema dari mulut lelaki tua itu. Seketika tubuhnya merinding sedang mulutnya kelu bagaikan terkunci. Sementara itu Setan Bukit Cemara perlahan-lahan mulai membuka matanya yang terpejam.
***
Malam di Desa Kober Utara terasa begitu mencekam. Angin dingin yang berhembus seakanakan mengisyaratkan bakal terjadi sesuatu petaka yang mengerikan. Sementara itu, bulan sepotong menyelusup di balik awan-awan kelabu yang berarak di langit.
Empat lelaki peronda yang tengah melintas di sekitar mulut Hutan Jalakdalu terlihat melangkah perlahan. Mereka berjalan saling merapat. Tampaknya keempat penduduk Desa Kober Utara itu tengah dilanda suatu perasaan mencekam yang datang secara tiba-tiba.
"Hhh...! Rasanya malam ini ada yang aneh, Di. Perasaanku tak enak," ujar seseorang peronda yang bertubuh pendek. Sikutnya digerakkan menyentuh pinggang kawannya.
"Aku juga merasakan begitu, Jang," timpal lelaki bernama Patmin.
"Sama, bulu kudukku saja merinding, Jang," timpal lelaki peronda yang lain. "Hhh..., ada apa ya?"
"Iya, ya? Tidak biasanya begini," sahut lelaki bertubuh gemuk seraya menoleh ke wajah temannya bernama Patmin.
Namun belum lagi pertanyaan lelaki gemuk itu terjawab, dari kejauhan tiba-tiba terdengar suara seperti lolongan serigala yang bersahutsahutan.
"Auuuaaa...!"
"Auuuaaa...! Auuu...!"
"Kau dengar itu, Di?" tanya Ujang dan Patmin.
"Ya, ya. Kudengar, Jang. Seperti lolongan serigala sedang marah," tandas Pardi.
"Hiii...!"
Patmin dan Boyong menaikkan sepasang pundak. Ada perasaan takut yang tiba-tiba menyemat di hati mereka.
"Cepat kita tinggalkan tempat ini!" usul Ujang yang kelihatannya lebih berani dari ketiga peronda yang lain.
Tanpa memberi sambutan pada ajakan Ujang, ketiga lelaki itu telah berlari cepat meninggalkan mulut Hutan Jalakdalu. Namun...
"Zzzsttt...! Zzzssst...!"
"Zsssttt...!"
Baru beberapa langkah kaki empat peronda tergerak, tiba-tiba mereka berhenti dengan hati diliputi perasaan terkejut. Di depan mereka kini menghadang beberapa ekor ular besar dan kecil. Tubuh-tubuh binatang berbisa itu berdiri, seakan hendak mencegat keempat lelaki yang akan melewati tempat itu. Ular-ular itu mendesis-desis memperlihatkan kebuasannya.
"Hah...!"
"Heh...!"
"Zsssttt! Zsssttt...!"
Lidah-lidah bercabang itu menjulur-julur. Dan itu cukup membuat Patmin berdiri gemetar. Sementara celana lelaki penakut itu sudah basah oleh air kencingnya.
"Gawat...! Mampus kita," ujar Patmin ketakutan. akal.
"Ayo, kita balik arah!" ajak Ujang mencari Pardi, Boyong, dan Patmin segera mengikuti apa yang dilakukan Ujang. Mereka segera membalikkan tubuh guna menghindari binatang-binatang melata yang beracun itu. Namun....
"Akh!"
"Gawat!"
"Hah!" Keempat petugas jaga malam itu terkejut bukan kepalang. Mata mereka berbelalak hampir tak percaya. Ternyata ular-ular yang lebih besar telah menghadang di belakang mereka.
"Mampus kita, Min.'" seru Ujang dengan mata terbelalak menatap ular-ular itu.
Tanpa diduga, Ujang segera memerintahkan teman-temannya untuk mengadakan perlawanan.
"Jangan sampai kita mati konyol, ayo kita lawan sebisanya!" teriak Ujang seraya mengacungkan kayu yang digenggamnya.
Menyaksikan Ujang yang sedemikian berani, hanya Boyong yang mau mengikutinya. Lelaki bertubuh besar itu mengangkat kayu bulat di tangan kanannya.
Belasan ular yang berada di depan dan belakang keempat peronda itu seolah-olah mengerti kalau calon korbannya akan mengadakan perlawanan. Seketika itu juga binatang-binatang beracun itu meluncur cepat menyerang keempat lelaki peronda. Dengan ganas ular-ular itu menjulur cepat siap memagut tubuh lawan.
"Zsssttt.!"
Pletak! "Zsssttt. !"
"Aaakh!"
Tubuh Boyong seketika ambruk ke tanah, ketika salah satu ular sebesar lengan berhasil memagut pahanya. Pekikan keras menyayat seketika memecah suasana malam. Tubuh Boyong menggelepar-gelepar saat racun ganas ular itu menjalar ke tubuhnya. Dan keadaan lelaki bertubuh besar itu semakin menyeramkan, ketika ular yang lain pun ikut memagutnya.
"Zsssttt...!" Craps! "Aaa...!"
Saat itu juga lolong kematian membumbung ke langit. Tubuh Boyong terkapar tak berkutik, seluruh permukaan kulitnya membiru.
"Aaa...!"
"Aaa...!"
Pekik kematian yang lain pun terdengar susul-menyusul. Nampak tubuh Patmin, Pardi, dan Ujang sudah tergeletak tak bernyawa. Tubuh ketiga lelaki itu membiru karena racun ganas yang telah menjalar di tubuhnya.
***
Malam yang penuh hawa maut terus merambat. Di dalam kamarnya Jaka merasakan sesuatu yang tak enak menggelayuti hatinya. Sedikit pun lelaki muda tampan yang berjuluk Raja Petir itu tak kuasa memejamkan mata. Pendekar muda itu bangkit dari pembaringan, lalu berjalan mondar-mandir di kamarnya yang tertata rapi. Sesekali dirinya duduk di pinggiran tempat tidur, tapi kemudian bangkit lagi, berjalan menghampiri jendela besar.
Perasaan yang sama ternyata dialami Mayang Gadis cantik kekasih Jaka itu pun merasakan kegelisahan, hingga tak bisa tidur. Tubuhnya memang terbaring di kasur empuk yang beralaskan tilam kuning gading. Namun bola matanya bergerak-gerak menatapi langit-langit rumah.
"Huh! Kenapa perasaanku tak tenteram seperti ini?" gumam Mayang dalam hati. "Mungkinkah akan terjadi sesuatu malam ini?" lanjutnya.
Mayang kemudian bangkit dari pembaringan. Kakinya melangkah perlahan menuju jendela besar kamarnya.
"Ah, biar kulihat keadaan di luar," ujar Mayang dalam hati. Tangannya kemudian terjulur untuk membuka jendela kamar.
Pada saat yang sama, Jaka pun ternyata tengah membuka jendela kamarnya. Maka tak pelak lagi, keduanya saling berbenturan tatap ketika kepala masing-masing terjulur keluar.
"Hai! Kau pun tak bisa tidur, Mayang?" tanya Jaka serta-merta, ketika melihat kepala kekasihnya menyembul sedikit dari bingkai jendela.
Gadis cantik berpakaian warna jingga itu tersenyum, "Perasaanku resah malam ini, Kakang. Entah firasat macam apa ini," sahut Mayang pelan. "Mudah-mudahan hanya perasaan kita saja,
Mayang. Dan mudah-mudahan tak akan terjadi sesuatu yang mengerikan malam ini," timpal Jaka.
"Mudah-mudahan begitu," sahut Mayang penuh harap, "Bagaimana kalau kita berjalan-jalan keluar? Hitung-hitung meronda. Kalau di dalam kamar terus, rasa-rasanya kegelisahanku akan semakin bertambah, Kang," usul Mayang.
"Terserah kamu saja, Mayang. Di dalam pun kita percuma, tidak bisa tidur!" jawab Jaka, "Aku tunggu di depan," lanjutnya sambil merapatkan jendela kamar.
Mayang pun melakukan hal yang sama. Setelah mengunci kembali jendela kamar, gadis itu segera beranjak menemui kekasih yang sangat dicintainya.
"Hendak ke mana kita?" tanya Jaka, setelah keduanya berada di luar rumah kediaman Kepala Desa Kober Utara.
"Terserah ke mana kaki kita membawa, Kakang," jawab Mayang sekenanya. Namun kaki gadis cantik berambut panjang itu terlihat melangkah ke sebelah kanan muka rumah Ki Bernala.
Sementara Jaka mengikuti saja apa yang dilakukan kekasihnya. Keduanya pun berjalan beriringan menuju ke arah timur. Melihat langkah kedua pendekar muda itu, berarti mereka menuju Hutan Jalakdalu berada.
"Aaakh...!"
"Aaa...!"
Baru setengah pal Jaka dan Mayang berlalu dari rumah Ki Bernala, tiba-tiba keduanya tersentak kaget. Jeritan keras menyayat hati terdengar di kejauhan.
"Kakang...!" Mayang memanggil kekasihnya serta-merta. "Firasat kita benar," ucapnya.
"Auuuaaa...!"
"Auuuaaa...!"
"Kakang dengar lolongan serigala itu?" tanya Mayang sambil mengguncang lengan Jaka.
"Sepertinya bakal terjadi bencana besar di desa ini," gumam Jaka.
"Ayo, kita cari suara lengking kematian tadi, Kakang!" ajak Mayang kemudian. "Hop!"
"Hup!"
Raja Petir dan Dewi Payung Emas seketika melesat cepat menuju tempat asal suara jeritan yang telah mereka dengar. Gerakan sepasang pendekar muda itu begitu gesit dan cepat. Sehingga dengan sekali lesatan saja, jarak puluhan tombak telah berhasil dilalui.
"Kakang...!"
Mayang tersentak kaget menyaksikan pemandangan di depan matanya. Pada jarak sekitar sepuluh tombak matanya yang tajam melihat tujuh ekor serigala buas tengah berhadapan dengan penduduk desa yang entah kenapa berada di luar rumah.
Beberapa sosok tubuh lelaki tampak terkapar tak berdaya. Tampak di sekujur tubuh mereka terdapat luka-luka besar seperti terkena cakaran dan gigitan. Sehingga darah segar mengalir dan berceceran di atas tanah berumput basah oleh air hujan. Sementara beberapa lelaki lain tampak tengah berusaha mempertahankan diri dari amukan binatang buas itu.
"Binatang Setan!" rutuk Jaka kesal, "Ayo, Mayang! Kita singkirkan makhluk-makhluk keparat itu!" ajaknya seraya menghentakkan kaki di tanah tempatnya berpijak.
"Hop! Hiaaa...!"
Sekali bentakan saja tubuh Raja Petir telah berada di hadapan serigala-serigala buas yang hendak memangsa tubuh penduduk desa. Dan seketika itu juga kepalan tangan pendekar muda itu melayang menghantam kepala seekor serigala yang tengah menerkam tubuh lelaki penduduk desa.
"Hih!" Plakkk!
"Kaingh...! Khhhoaaah!"
Serigala bertubuh besar itu terpental tiga tombak terhantam pukulan Jaka. Namun binatang buas penghuni Hutan Jalakdalu itu seperti tak peduli dengan rasa sakit yang mendera bagian kepalanya. Serigala itu bangkit untuk menyerang bersama serigala-serigala yang lain.
"Auuuaaa...!"
"Auuuaaa...!"
Lolongan kemarahan dari beberapa serigala buas itu terdengar bersahut-sahutan. Bergidik juga tubuh Jaka dan Mayang mendengar suara keras dan menggetarkan itu. Suara yang mengandung hawa kematian.
"Menyingkirlah Kisanak sekalian! Biar kami yang menghadapi binatang-binatang setan itu," perintah Jaka dengan suara lantang.
Karena ucapan pemuda tampan berpakaian kuning keemasan itu tak main-main dan terdengar sangat berwibawa, tanpa harus diucapkan dua kali lelaki-lelaki penduduk Desa Kober Utara yang masih hidup segera menyingkir dari tempat pertarungan. Mereka menyaksikan apa yang akan diperbuat dua muda-mudi itu.
"Siapa mereka? Ah, kalau tak ada mereka..., kita pasti jadi bangkai semua," ujar salah seorang lelaki penduduk desa yang masih nampak segarbugar. Sedikit pun tak tampak ada luka di tubuhnya.
"Ya. Sepertinya mereka pendekar," sahut lelaki yang luka pada pergelangan tangannya. "Mudah-mudahan mereka dapat mengusir binatangbinatang jahanam itu!" lanjutnya dengan geram.
"Aku seperti pernah melihatnya di rumah Ki Lurah...," timpal lelaki tinggi kurus yang pakaian di bagian dadanya koyak.
Sementara para penduduk desa yang terbebas dari ancaman maut tengah membicarakan keberadaan Jaka dan Mayang, sepasang pendekar itu tengah bersiap-siap menghadapi serigalaserigala yang hendak menyerang. Mayang nampak sudah mempersiapkan payungnya dalam keadaan tertutup. Sementara Jaka dengan tangan kosongnya hendak melancarkan jurus maut yang bernama 'Pukulan Pengacau Arah'.
Raja Petir sengaja mempersiapkan jurus andalannya. Hal itu karena hatinya merasakan getaran lain dari kejadian yang menurutnya tak hanya terjadi di satu tempat. Barangkali kejadian yang sama, kini juga tengah dialami Ki Bernala dan Nyi Rira Pangestu.
Atas pertimbangan ini Jaka bermaksud membantai atau mengusir makhluk-makhluk aneh itu secepat mungkin. Setelah itu dirinya akan segera kembali ke rumah Kepala Desa Kober Utara, Ki Bernala.
"Bersiaplah, Mayang!" seru Jaka ketika disaksikannya serigala-serigala buas itu mulai memperlihatkan gerakan hendak menyerang. "Auuuaaa...!"
Diiringi dengan lolongan panjang, binatangbinatang buas yang mulutnya meneteskan air liur itu berkelebatan menyerang lawan. Pasangan pendekar muda itu tampaknya sudah bersiap mengadakan penyerangan.
"Hih!" Wusss!
Raja Petir yang ingin secepatnya menyingkkan serigala-serigala aneh itu segera menghentakkan telapak tangan yang terbuka lebar dengan kuda-kuda rendah. Serangkum angin yang mengeluarkan hawa panas meluruk cepat ke depan. Angin bergulunggulung itu menyongsong serigala-serigala yang tengah berlompatan menyerang Raja Petir dan Payung Emas.
Bettt "Kainghgh!"
"Auuug!"
Suara keras angin dari 'Pukulan Pengacau Arah' terdengar ketika menerjang tubuh-tubuh serigala itu. Seketika suara erangan keras dan lolongan panjang menyusul. Beberapa di antara binatang buas itu terpental beberapa tombak ke belakang.
Bruk! Brukkk!
Dua ekor serigala itu ambruk ke tanah tanpa nyawa. Tubuh kedua binatang itu hangus bagai terbakar. Sementara itu, Mayang dengan gerakannya yang lincah berkelebat menghindari terkaman serigala-serigala yang menyerangnya.
Gerakan yang dilakukan Dewi Payung Emas begitu manis, hingga tampak seperti tarian. Namun di balik kelincahan dan keindahan gerak yang dilakukan gadis cantik itu, tiba-tiba terlontar sebuah serangan balasan yang mematikan. Maka, ketika tangan kanan Mayang yang mencekal payung kuning keemasan berkelebat, serangan itu tak terhindarkan lagi....
"Hih!" Brets!
"Kainghgh!"
Bruk!
Seekor serigala yang berada paling dekat dengan si Dewi Payung Emas menjadi korban pertama. Tubuh binatang itu terbanting keras ke tanah. Sesaat tubuhnya menggelepar-gelepar. Darah lalu mengalir dari bagian kepala yang tersambar payung kecil di tangan gadis itu. Sesaat kemudian binatang buas itu telah diam tak berkutik lagi.
"Cepat habisi lawan-lawanmu, Mayang! Kita harus segera menemui Ki Bernala!" seru Jaka yang telah lebih dahulu membuat tak berkutik serigalaserigala yang menyerangnya.
"Baik, Kakang!"
Gadis cantik berpakaian jingga itu seketika bergerak cepat. Kali ini dia tak menunggu lagi serigala-serigala liar itu menyerang. Mayanglah yang ganti mengambil alih penyerangan.
"Hiyaaa. !"
Wuttt! Wuttt!
Dengan payung terkembang, tubuh Mayang berkelebat dengan cepat diiringi teriakannya yang khas.
Brat! Brat!
"Kainghgh...!"
"Kainghgh...!"
Dua ekor serigala terpental lalu menggelepar berlumuran darah di atas rerumputan. Payung Emas Mayang Sutera yang menyambar secepat kilat menghantam telak bagian batok kepala dan perut lawan. Nampak batok kepala serigala itu pecah hingga mengeluarkan cairan merah yang bercampur dengan isi kepala. Sementara pada serigala yang lain terburai isi perutnya.
"Ayo, kita tinggalkan tempat ini, Mayang! Kita harus cepat-cepat melihat keadaan Ki Bernala," ajak Jaka setelah melihat Mayang telah berhasil memusnahkan lawan-lawannya.
Dewi Payung Emas mengangguk, lalu melompat menghampiri Raja Petir.
"Maaf, kami harus ke rumah Ki Bernala! Kisanak sekalian, uruslah mayat-mayat itu!" ucap Jaka kepada penduduk desa yang masih berdiri terpaku keheranan di sekitar tempat pertarungan. Tadi mereka bersembunyi ketika pertarungan itu berlangsung.
Dan tanpa menunggu jawaban lagi, sepasang pendekar muda itu pun melesat meninggalkan tempat itu. Sementara penduduk yang berhasil diselamatkan hanya menatap kepergian Raja Petir dan Dewi Payung Emas dengan rasa terima kasih yang tak sempat terucap.
***
LIMA
"Kakang! Lihat itu!" seru Mayang, ketika sampai di dekat rumah kediaman Ki Bernala.
Seorang lelaki yang dikenalnya sebagai Gunjada nampak tengah bertarung melawan ularular besar dan kecil. Di tempat yang tak berjauhan, beberapa lelaki yang bertugas menjaga rumah kepala desa pun tengah disibukkan seranganserangan ganas belasan bahkan puluhan ular aneh itu.
Sementara itu, Ki Bernala pun tampak tengah kewalahan mengusir binatang-binatang berbisa yang hendak menyerang dirinya dan sang Istri. Sebatang pedang di genggaman Ki Bernala berkelebat membabat setiap ular yang menyerbunya.
"Hih!" Bret! Bret!
Darah bercucuran dari kepala-kepala ular tanggung yang terbabat pedang Ki Bernala. Namun siapa mengira kalau ular-ular lain terus berdatangan menyerbu, seperti tak pernah habis.
"Kau bantulah Ki Bernala, Mayang! Biar aku mencari jalan keluar untuk mengatasi kejadian ini," perintah Jaka kepada kekasihnya. "Aku harus memusatkan pikiran guna memusnahkan pengaruh gaib yang dikeluarkan oleh tokoh yang berdiri di belakang kejadian ini. Hati-hatilah...!." pesannya kemudian.
Selesai dengan ucapan Jaka, Mayang segera melesat cepat mendekati Ki Bernala dengan senjata yang dibabatkan ke sana kemari. Dua tiga ekor ular yang terkena sambaran payung Mayang, langsung berpentalan dengan bagian tubuh terpotong dua.
Sementara itu. Raja Petir tampak segera mengerahkan kemampuannya. Dengan meningkatkan daya kepekaannya, pendekar muda itu mencoba menyelidiki secara batin terhadap pengaruh gaib yang tengah bekerja. Hatinya juga bermaksud mencari sumber dari tokoh yang berdiri di belakang keanehan ini.
Dengan mata terpejam, Raja Petir mencoba mempertajam rasa. Tangan kirinya nampak terkepal kuat, sedangkan yang kanan mencekal gagang Pedang Petir yang berukir bunga-bunga kecil. Sekilas kalau diperhatikan, Raja Petir seper-
ti hendak menyajikan ilmu pamungkas yang bernama 'Selaksa Halilintar Menyambar'. Ilmu itu tidak hanya mampu menjatuhkan lawan-lawan yang tangguh, tetapi juga dapat meredam kekuatan gaib yang tak terjangkau pikiran manusia.
Beberapa saat lamanya Raja Petir melakukan pemusatan pikiran dengan mata terpejam. Sementara tangan kanannya tetap mencekal gagang Pedang Petir yang memiliki perbawa menggiriskan. Sesaat kemudian, terdengar tarikan napas dilakukan pendekar berpakaian kuning keemasan itu. Tarikan napas panjang itu kemudian disimpannya dalam perut. Sementara itu tingkat kepekaannya telah mulai memusat. Dan matanya tetap katup rapat-rapat.
Tangan kanan Raja Petir tiba-tiba bergetar sekali. Hal itu pertanda kalau dirinya tengah mengerahkan seluruh kekuatan batin untuk mengenyahkan pengaruh gaib yang dirasakan. Dan seiring dengan semakin dipereratnya pegangan pada gagang Pedang Petir, tangan kanan Raja Petir terangkat perlahan ke atas. Perlahan tangkai Pedang Petir bergerak ke atas mengikuti irama gerakan yang dilakukan Raja Petir.
Sebuah keanehan segera terjadi ketika tangan kanan Raja Petir benar-benar tegak lurus di atas kepala. Langit di atas Desa Kober Utara dan sekitarnya yang semula disinari cahaya bulan sepotong, tiba-tiba berubah gelap gulita. Anehnya, tiba-tiba pula bermunculan lidah-lidah petir disertai suara gemuruh yang dahsyat. Lidah-lidah petir itu menjilati pedang yang teracung ke atas dan, memendarkan sinar kemerahan.
Hanya sesaat saja pemandangan aneh itu terjadi, pada saat selanjutnya langit kembali seperti sediakala, dengan sinar bulan yang menerangi. Pada saat itulah dengan cepat Raja Petir mengayunkan pedangnya dua kali di udara dengan diiringi pekikan keras, yang terdengar menggelegar dan bergema.
"Hiaaa...!"
"Haaa...!"
Sejenak keterpakuan pun melanda orangorang yang tengah bertarung menghadapi binatang-binatang yang diperintah pengaruh gaib. Namun kemudian orang-orang tersentak kaget dengan mata terbelalak. Mereka mungkin merasa baru saja terjaga dari sebuah mimpi buruk yang mencekam.
Sehingga hampir tak percaya ketika menyadari kalau ular-ular ganas itu telah ngeloyor meninggalkan tempat itu, seakan tiada peduli terhadap mangsa mereka. Sementara ular-ular yang masih tersisa seperti enggan dan tak bernafsu untuk membunuh. Hal itu karena, pengaruh gaib yang ada pada binatang-binatang melata itu telah lenyap.
Ki Bernala, Nyi Rira Pangestu, dan Gunjada terlongo bengong, menyaksikan keanehan itu.
"Apa yang terjadi sebenarnya, Nini Mayang?" tanya Nyi Rira Pangestu pada kekasihnya Jaka yang berdiri tak jauh darinya. "Pengaruh gaib itu telah berhasil diusir Kakang Jaka, Nyi," jawab Mayang mantap. "Itu setidaknya menurutku. Tapi untuk jelasnya, Nyi Rira bisa bertanya pada Kakang Jaka," lanjutnya dengan tatapan mata tertuju pada wajah kekasihnya.
Nyi Rira Pangestu tak berkata apa-apa terhadap jawaban yang diberikan si Dewi Payung Emas. Wajahnya lalu menoleh pada Raja Petir yang tengah melangkah mendekati mereka.
"Apa yang telah kau lakukan, Kakang? Hingga binatang-binatang itu seperti tak punya nyali untuk kembali bertarung?" tanya Mayang mewakili keingintahuan Nyi Rira Pangestu dan Ki Bernala.
"Aku hanya mengusir pengaruh gaib yang kurasakan ada di desa ini. Namun ng, aku tak bisa memastikan siapa yang melakukannya. Ah, biarlah, nanti pun pasti akan ketahuan juga. Yang terpenting, pengaruh gaib itu sekarang sudah tidak terasa lagi dan biarkan binatang-binatang suruhan itu kembali ke tempat asal mereka," jawaban Petir bukan hanya ditujukan pada Mayang, melainkan juga untuk Nyi Rira Pangestu, Ki Bernala, dan Gunjada.
Ki Bernala, Nyi Rira Pangestu, dan Gunjala sama-sama menganggukkan kepala mendengar penjelasan Raja Petir.
"Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang Kakang?" tanya Mayang kemudian.
"Mengurus para korban dan kemudian berkeliling, melihat keadaan penduduk yang lain. Itu kalau Ki Bernala setuju dan bersedia bergabung," jawab Raja Petir.
"Tentu saja, Jaka. Biarlah malam ini aku tak tidur, asalkan keadaan pulih seperti semula," sahut Ki Bernala.
"Aku ikut jika begitu," timpal Nyi Rira Pangestu.
***
Jaka ditemani Mayang, Ki Bernala, dan Nyi Rira Pangestu berkeliling melihat keadaan penduduk Desa Kober Utara. Sementara itu di tempat lain, yakni di sebuah hutan tak jauh dari Desa Pagarayung nampak sosok lelaki tua berpakaian biru terang terengah-engah di dalam sebuah rumah yang terbuat dari bambu.
Lelaki tua berusia enam puluhan itu tak lain Ki Bandot alias Setan Bukit Cemara. Peluh nampak bercucuran di wajahnya, suara napasnya terdengar memburu. Sedangkan lelaki muda yang berdahi codet, dengan hati cemas memandangi keadaan Setan Bukit Cemara.
"Kau tidak apa-apa, Ki?" tanya Manggale sambil memegangi tubuh Ki Bandot.
Ki Bandot tentu saja merasa malu dengan pertanyaan yang dilontarkan Manggale.
"Ah, tidak Manggale. Tidak apa-apa," jawab Setan Bukit Cemara masih dengan napasnya yang memburu, "Ini semua salahku. Aku terlalu menganggap remeh lawanku. Sehingga tanpa sepenuhnya kukerahkan ilmu sihir yang sepatutnya aku sajikan," lanjut Ki Bandot dengan deru napas yang semakin mulai teratur.
"Apa ini juga ulah Raja Petir?" tanya Manggale seperti orang bodoh.
"Mungkin," jawab Ki Bandot seraya mengangguk-anggukkan kepala.
"Kalau begitu Raja Petir hebat sekali," gumam Manggale polos. "Apakah kita akan berhasil menuntaskan cita-cita ayah?"
"Tentu saja berhasil, Manggale! Tentu saja. Ilmu-ilmuku belum ku keluarkan semua dan aku pun belum berhadapan langsung dengan Raja Petir. Akan kugorok batang leher pendekar usil itu dengan sepasang parangku yang tak pernah gagal menunaikan tugasnya," ucap Setan Bukit Cemara mencoba meyakinkan.
"Lalu, sekarang apa yang akan kita lakukan?" tanya Manggale lagi.
"Kita tunggu di sini sampai fajar menyingsing. Setelah itu kita temui ayahmu untuk mengatur siasat selanjutnya," jawab Ki Bandot, merasa perbawanya sudah luntur sedikit di mata Manggale.
Sesungguhnya Setan Bukit Cemara tak percaya kalau ilmu sihirnya mampu ditandingi tokoh lain. Dan padahal selama ini dirinya tak pernah mengalami kegagalan seperti sekarang. Namun nyatanya...?
Setelah fajar menyingsing, Ki Bandot dan Manggale sama-sama melangkahkan kaki meninggalkan bangunan dari bambu, menuju ke kediaman Kepala Desa Pagarayung. Setelah melewati perjalanan di tengah suasana pagi yang dingin, mereka akhirnya sampai di kediaman Kepala Desa Pagarayung.
"Bagaimana Ki Bandot? Apa sudah ada tanda-tanda berhasilnya usaha kita?" sambut Kepala Desa Pagarayung ketika Setan Bukit Cemara telah memasuki rumah Ki Gambaga.
Ki Bandot tak segera menjawab pertanyaan Ki Gambaga. Tatapan matanya tertuju lurus pada wajah kasar Ki Gambaga yang berkumis tebal.
"Kita masih harus terus berusaha, Ki Gambaga," jawab Setan Bulut Cemara dengan bergetar dan terdengar agak parau.
"Hmmm...!" Ki Gambaga yang mengenakan pakaian merah darah hanya menggumam tak jelas, mendengar jawaban Setan Bukit Cemara.
"Jadi usahamu semalaman itu sia-sia, Ki Bandot?" sindir Ki Gambaga dengan suara yang dibuat selunak mungkin. "Semalam memang gagal, Ki Gambaga. Tapi tidak untuk yang selanjutnya," kilah Setan Bukit Cemara dengan wajah merah padam.
"Maafkan aku, Ki Bandot! Kalau boleh aku beri saran, sebaiknya kita mencari bantuan dari tokoh sakti yang lain. Biar tugasmu lebih ringan dan cita-citaku lebih cepat terwujud. Jatahmu akan tetap kuperhatikan sesuai dengan permintaanmu," ucap Ki Gambaga hati-hati.
Ucapan Kepala Desa Pagarayung itu di telinga Setan Bukit Cemara laksana ledakan guntur di siang bolong. Menggelegar dan begitu mengejutkan.
"Jangan sesekali kau meremehkanku, Ki Gambaga!" kecam Setan Bukit Cemara. "Aku bukan anak kemarin sore yang langsung menyerah jika menghadapi kegagalan. Aku belum kalah, Ki Gambaga! Aku akan terus berusaha, meski nyawaku jadi taruhan! Pantang bagiku jika pekerjaan yang tengah kutangani dikotori campur tangan orang lain "
"Itu hanya saran dariku, Ki. Tak ada maksud sedikit pun pada hatiku untuk meremehkan kemampuanmu," ucap Ki Gambaga merasa tak enak hati. "Aku hanya khawatir kalau usahamu gagal dan rencanaku tak akan pernah terwujud."
Suasana berubah hening sejenak. Ki Gambaga nampak terpekur sambil sesekali memandangi wajah anaknya, Manggale. Ki Bandot juga terpekur dengan benak berputar keras.
"Sekarang juga aku akan berangkat ke pekuburan Kober Utara," ujar Setan Bukit Cemara memecahkan keheningan.
"Kau ingin membangkitkan mayat-mayat dari jarak dekat, Ki?!" selidik Ki Gambaga.
"Ya. Malahan aku akan ikut mengacau kediaman Ki Bernala secara langsung," sahut Setan Bukit Cemara merasa wibawanya sudah jatuh di mata Kepala Desa Pagarayung itu.
"Bagaimana jika di sana ada Raja Petir, Ki?" tanya Manggale tiba-tiba.
"Memang itu yang kucari. Dialah manusia pertama yang akan kusingkirkan. Karena dia usahaku menjadi tersendat seperti ini," ujar Setan Bukit Cemara ketus.
"Aku boleh ikut, Ki?" tanya Manggale lagi. "Kalau ayahmu mengizinkan, aku tak berkeberatan. Namun aku akan lebih leluasa bergerak jika kau tak turut serta, Manggale," jawab Ki Bandot menoleh dan menatap sejenak wajah Manggale.
"Sebaiknya kau di sini saja, Manggale!" timpal Ki Gambaga. Dirinya memang lebih senang kalau cuma Setan Bukit Cemara yang pergi ke pemakaman di Desa Kober Utara.
Tak ada sahutan dari Manggale. Lelaki bercodet itu tak kuasa membantah ucapan ayahnya. Apalagi Ki Bandot jelas-jelas tak ingin campur tangannya, meski diucapkan dengan lembut.
"Hm...! Aku berangkat sekarang, Ki Gambaga," pamit Setan Bukit Cemara.
Ki Gambaga hanya menyambut ucapan Setan Bukit Cemara dengan anggukkan kepala. Dan ketika Ki Bandot berangkat meninggalkan rumahnya, Ki Gambaga hanya mengiringi dengan tatapan mata yang mengandung makna kengeriannya menerima kegagalan.
***
ENAM
Matahari belum begitu tinggi ketika Setan Bukit Cemara tiba di dekat tanah pemakaman Desa Kober Utara. Suasana di pemakaman itu sunyi dan sepi. Ki Bandot memang mengharapkan keadaan seperti itu.
Dengan langkah cepat Setan Bukit Cemara berjalan menuju sebatang pohon sebesar tiga kali pelukan lelaki dewasa. Dedaunan pohon itu yang cukup lebat, membuat sinar matahari tak kuasa menerobos. Sesekali jika daun-daun itu terusik hembusan angin, sinar matahari menyelusup.
Ki Bandot mengambil tempat tepat di sisi barat pohon besar itu. Hal itu dilakukan agar tubuhnya tak tampak dari jalan yang biasa dilewati orang Desa Kober Utara. Kini Setan Bukit Cemara mulai melakukan pekerjaannya dengan duduk bersila. Matanya terkatup rapat dan bibirnya tampak mulai berkomatkamit membaca mantera pembangkit mayat.
Beberapa saat lamanya Setan Bukit Cemara mengucapkan mantera dengan khusyuk, hingga akhirnya terdengar suara angin menderu, berdesir, bergulung-gulung di setiap gundukan makam. Suasana di tanah pemakaman Desa Kober Utara bukan sejuk. Namun menjadi seperti semakin panas saja.
Ki Bandot terus merapalkan mantera-mantera pembangkit mayat, dan manakala angin bergulung yang terjadi pada setiap gundukan tanah, maka peristiwa seperti gempa bumi pun terlihat. Tanah-tanah yang menonjol ke atas tibatiba retak, sebagian pecahan berhamburan ke atas. Seiring dengan itu suara gerengan mayatmayat yang bangkit terdengar dengan jelas.
"Grhghghg...!"
"Grhghghg...!"
Setan Bukit Cemara mengembangkan senyumnya dalam keadaan mata terpejam.
"Bangkitlah kalian! Bangkit...! Bangkit...! Bangkit...!" Ki Bandot berteriak keras, suaranya bergema ke pelosok areal pemakaman.
Dan ternyata usaha Setan Bukit Cemara berhasil, puluhan mayat yang masih utuh bercampur dengan mayat-mayat yang sudah berbau busuk dan tak utuh lagi keadaannya, kini bergerak bersamaan menuju rumah-rumah penduduk terdekat. Sementara itu Ki Bandot yang telah membuka matanya dengan senyum terkembang menyaksikan dari kejauhan mayat-mayat suruhannya yang bergerak mencari korban.
"Habisi semua penduduk yang ada!'' perintah, Setan Bukit Cemara seraya bangkit dan mengikuti mayat-mayat yang berjalan lebih dulu.
"Ayo habisi!" perintah Ki Bandot lagi ketika melihat rumah-rumah penduduk sudah dekat.
Puluhan mayat yang bangkit dari kubur itu seperti kerbau dicucuk hidung, langkah mereka semakin dipercepat. Suara gemuruh yang berasal dari mulut mayat-mayat itu sempat membangunkan para penduduk
"Lihat ada mayat-mayat bangkit lagi! Lihat!" salah seorang penduduk yang menyaksikan pemandangan di depannya segera berteriak. Kegemparan seketika terjadi. Lelaki-lelaki yang pernah mengalami kejadian serupa segera meraih senjata seadanya untuk menghadapi mayat-mayat hidup itu, sementara yang tak pernah segera bergerak, masuk dan mengunci pintu.
"Grghghgr...!"
"Grghghgr...!"
Mayat-mayat suruhan Setan Bukit Cemara menggereng-gereng. Kemudian ketika sudah dekat dengan penduduk yang hendak mengadakan perlawanan, mayat-mayat itu bergerak cepat
"Grghghgr...!" Krkh...! "Aaa...!"
Seorang penduduk yang tak sempat menghindari terkaman mayat hidup seketika menjerit kesakitan. Batang leher lelaki naas itu dicengkeram dengan kuat oleh mayat yang menerkamnya. Lalu dengan keganasannya, mayat hidup itu menggigit dada lelaki naas itu.
"Aaa...!" kali ini pekik melengking lebih panjang terdengar mengiringi kematian lelaki yang bagian perutnya tertembus cakar mayat hidup dan meraih jantungnya hingga keluar.
Pemandangan seperti itu tentu saja membuat penduduk yang lain merasa ngeri. Namun karena kemarahan, kengerian itu tak diperlihatkan, yang ada tinggal keberanian dan kenekatan mereka untuk melawan bahaya itu.
Setan Bukit Cemara yang memang berhasrat besar membantai penduduk Desa Kober Utara segera saja bergerak. Tubuhnya berkelebat dengan dua parang merah darah yang tercekal di tangan kanan dan kirinya.
"Hiaaa...!"
"Hiaaa...!"
Dengan gerakan yang begitu cepat dan tak terlihat tatapan mata biasa, tubuh tua yang terbalut pakaian biru terang melesat.
Bret! Bret! "Akh...!"
"Aaa...!"
Dua sosok tubuh bergelimpangan ke tanah, ketika parang merah di tangan Setan Bukit Cemara berhasil membacok bagian dada dan leher penduduk desa. Darah seketika menyembur dari luka memanjang akibat babatan senjata runcing milik Ki Bandot. Hanya sesaat saja dua tubuh penduduk Desa Kober Utara menggelepar, pada saat berikutnya tubuh itu tak berkutik lagi, nyawa mereka terbang meninggalkan raga.
"Ha ha ha...!" Setan Bukit Cemara tertawa keras menyaksikan dua korban pertamanya. "Kalian semua akan mengalami nasib yang sama! Ayo beri perlawanan kalau kalian tak ingin mati konyol!"
Penduduk yang tengah kerepotan menghadapi mayat-mayat hidup itu semakin bertambah ngeri dan takut melihat keganasan lelaki bercambang bauk putih. Dua korban tetangga mereka sudah membuktikan kalau ucapan orang berpakaian biru itu tidak sembarangan.
"Sebaiknya aku lapor pada Ki Bernala untuk meminta bantuan," ujar salah seorang penduduk.
"Betul, Cah. Cepat lari sana!" timpal teman yang diajak bicara.
Lelaki bertelanjang dada yang bernama Rancah segera berlari menuju rumah kepala desa. Namun baru lima langkah kaki Rancah terayun, Setan Bukit Cemara telah mendahului dengan kelebatannya yang cepat.
"Mau ke mana kau, Bocah!" hardik Ki Bandot Rancah tentu saja menghentikan larinya dan, menatap wajah bercambang bauk putih dengan kengerian.
"Sebaiknya kau mampus duluan! Hih!" Wuttt...! Brats!
"Aaa...!"
Rancah terpekik keras ketika senjata Setan Bukit Cemara membabat telak dadanya. Dada lelaki itu kontan terbelah, darah bermuncratan dari luka yang begitu besar.
"Hih!" Blukh!
Tak lagi ada suara erangan ketika Ki Bandot sambil melompat menendang perut Rancah. Tubuh lelaki penduduk Desa Kober Utara melayang deras ke belakang. Ketika itu pula nyawanya telah melayang. Tewas!
Bruk!
Tubuh tanpa nyawa itu terbanting keras setelah membentur sebatang pohon.
"Ha ha ha...!" Setan Bukit Cemara kembali terbahak setelah menyaksikan kematian penduduk Desa Kober Utara.
"Setan Durjana!" maki seseorang dengan suara yang cukup lantang dan berani.
Setan Bukit Cemara menolehkan kepalanya dengan cepat ke tempat asal suara bentakan yang datang.
"Hmmm...! Kau rupanya!" ucap Setan Bukit Cemara terkesan meremehkan ketika menyaksikan kehadiran sepasang muda-mudi yang mengenakan pakaian kuning keemasan dan jingga.
"Hm..., jadi ini orangnya yang mengacaukan ketenteraman penduduk Desa Kober Utara dengan ilmu setan, Tua Bangka!" bentak Mayang mendahului gerakan bibir Jaka yang hendak berucap.
"Seperti yang kau lihat, Nini Manis!" jawab Setan Bukit Cemara sinis. "Aku memang tengah membantai penduduk desa ini dan semuanya akan kubikin habis. Termasuk kalian berdua!" lanjutnya sambil menuding wajah Mayang dan Jaka bergantian
"Tutup mulut besarmu, Tua Bangka!" balas Mayang menghardik. Langkah kakinya sudah terayun hendak menghajar Setan Bukit Cemara.
"Tahan, Mayang!" cegah Jaka sambil mencekal pergelangan tangan berkulit halus itu.
Mayang memang memenuhi ucapan kekasihnya, langkahnya tak dilanjutkan. Hanya matanya yang tak lepas terus menatap tajam lelaki tua bercambang bauk putih itu.
"Kenapa kau melarangnya untuk bersenang-senang denganku, Raja Edan!" ledek Setan Bukit Cemara ketus.
Jaka hanya menanggapi ledekan Ki Bandot dengan senyum terkembang.
"Aku tak pernah melarang kekasihku untuk, bersenang-senang dengan siapa saja, Kisanak," balas Jaka tenang.
"Aku Setan Bukit Cemara!" tukas Ki Bandot memperkenalkan julukannya.
"Ya ya ya! Aku hanya tak mau kau mampus setelah bersenang-senang dengan kekasihku, Setan Bukit Cemara," lanjut Jaka bernada meremehkan. "Bukankah sebaiknya kau bersenang-senang denganku, meskipun kalah kau tak mendapatkan malu yang begitu besar. Karena kita sama-sama lelaki"
"Keparat!" maki Setan Bukit Cemara geram. Prok! Prok! Prok!
Selesai menghardik Jaka suara tepuk tangan pun terdengar. Suara isyarat untuk memerintahkan mayat-mayat yang bangkit dari kubur agar menghadapi musuh yang baru datang. Mayat-mayat hidup itu kini benar-benar berpaling dari para penduduk. Dan kini puluhan mayat itu mengurung tubuh Jaka dan Mayang.
Prok! Prok!
"Lumat tubuh cantik itu!" perintah Ki Bandot setelah bertepuk tangan dua kali. Puluhan mayat hidup yang mengurung kedua lawan, seketika bergerak mendekati Mayang yang bersiap dengan payung kecilnya yang sudah berkembang.
"Hati-hati, Mayang!" ujar Jaka memperingatkan.
***
"Tentu saja, Kakang," jawab Mayang.
Pertarungan antara Dewi Payung Emas dengan mayat-mayat yang bangkit dari kubur tak terhindari lagi. Teriakan-teriakan nyaring dan gerengan kesal mayat-mayat hidup itu terdengar menyemaraki suasana pertarungan. Sesekali suara benturan keras terdengar.
"Hih!" Prak! "Heh?!"
Mayang terkejut ketika hantamannya mendarat telak tapi tak mampu mendorong mayat ringkih yang bagian tubuhnya sudah tak utuh lagi. Tangan kanannya yang sudah tak ada dan matanya yang tinggal sebelah menjadikan penampilan mayat itu begitu menyeramkan.
Wuuut! "Eits!"
Mayang memiringkan tubuhnya, ketika mayat ringkih itu memberikan serangan balasan terarah ke lehernya. Dan ketika gadis itu berhasil mengelakkan, langsung mengirimkan sebuah tendangan keras dengan gerakan memutar disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. "Hih! Pergi kau jauh-jauh!" Blakh!
"Grhghg...!"
Tubuh mayat ringkih itu terhuyung empat langkah ke belakang ketika tendangan telak Mayang mendarat tepat di dadanya. Ternyata cukup tangguh mayat hidup yang menjadi lawan Mayang. Namun, ketangguhannya itulah yang membuat kekasih Raja Petir semakin penasaran untuk lebih cepat menyelesaikan perlawanannya.
Ketika tubuh mayat ringkih itu terhuyung, Mayang kembali melesat cepat memberikan serangan susulan dengan senjata andalannya.
"Haaattt...!"
Pekikan Mayang dibarengi dengan babatan payung besi yang terkembang dan terarah ke bagian lambung mayat hidup bertubuh ringkih itu.
Trakgkh! "Grghgh...!"
Mayat bertubuh ringkih yang hidup di bawah pengaruh sihir milik Setan Bukit Cemara seketika terjerembab ke tanah. Bagian lambungnya yang terhajar senjata pemungkas milik Dewi Payung Emas mengalami luka yang sangat lebar. Namun luka yang menganga itu sempat membuat Mayang terkejut. Luka yang menganga itu sedikit pun tak mengucurkan darah.
"Hmmm...!"
Mayang hanya bergumam dalam hati menyaksikan kenyataan itu. Namun gadis itu tak mau berlarut-larut memikirkannya karena kemudian dirinya harus sudah menghadapi serangan yang dilancarkan mayat-mayat hidup yang lain.
"Grghgh...!" Wuts! "Eits...!"
Mayang segera melentingkan tubuhnya dan bersalto beberapa kali di udara.
Jligh! "Heh?"
Si Dewi Payung Emas baru mendarat di tanah, serangan susulan kembali harus dihadapinya. Dengan gerakan yang cepat Mayang segera membentengi tubuhnya dengan menggunakan jurus 'Benteng Emas'.
Payung kecil berwarna kuning keemasan di tangan Dewi Payung Emas seketika berputaran cepat, hingga wujud asli dari senjata itu tak nampak. Yang terlihat hanya segulungan sinar kuning yang berpendar-pendar.
Namun, ketika sambaran ganas mayat hidup yang mengancam bagian lehernya terhalau oleh jurus 'Benteng Emas', suatu keanehan yang sama kembali terulang.
Mayang menyaksikan kalau tangan mayat yang putus terbabat senjata andalannya sedikit pun tak mengucurkan darah. Namun kali ini Mayang betul-betul tidak mempedulikan keanehan itu. Dirinya tetap memusatkan pikiran pada serangan-serangan lawan yang datang silih berganti.
Sementara di tempat lain, Jaka nampak sedang beradu tatapan dengan Setan Bukit Cemara. Sepertinya kedua tokoh yang memiliki kesaktian tinggi itu tengah mengukur kekuatan lawan masing-masing.
"Sebaiknya kau tak mencampuri urusanku, Raja Gendeng! Aku tak suka itu," ujar Setan Bukit Cemara dingin. Tatapannya menghujam tepat di wajah Jaka.
"Kalau kau merasa ini urusanmu, maka wajar pula jika aku menganggap apa yang menjadi persoalanmu menjadi persoalanku. Karena itu menyangkut hak hidup manusia lain," bantah Raja Petir dengan suara yang cukup berwibawa.
"Jika begitu berarti kau mencari mampus!" hardik Setan Bukit Cemara geram.
"Mampus tak perlu dicari, Tua Bangka!" balas Jaka dengan suara yang sedikit meninggi. "Karena kematian memang sudah menjadi jatah bagi setiap makhluk yang bernyawa, juga kau! Dan mungkin jatah kematianmu yang bakal tiba sekarang ini," lanjutnya sambil menuding wajah Ki Bandot, si Setan Bukit Cemara.
Lelaki berusia enam puluh tahunan yang mengenakan pakaian biru terang itu tersentak mendengar ucapan Raja Petir. Wajahnya berubah merah padam. Giginya gemeretukan menahan kemarahan yang telah menggelegak.
"Kulumat tubuhmu. Raja Usil!" geram Setan Bukit Cemara.
Seketika itu pula Ki Bandot meloloskan sepasang senjatanya yang berupa parang berwarna merah darah.
"Hiaaa...!" Wuttt! Wuttt!
Dengan cepat sepasang parang merah itu bergerak di depan wajah Setan Bukit Cemara yang meluruk menyerang Raja Petir.
"Haiiit...!"
Melihat lawan menyerang dengan gencar. Raja Petir segera melompat ke belakang untuk menghindari tebasan sepasang parang yang mengincar bagian kepala dan dadanya. Nampak tubuh berpakaian kuning keemasan itu berputaran beberapa kali di udara.
Namun betapa terkejutnya Raja Petir ketika tubuhnya masih berada di udara, Setan Bukit Cemara dengan kekuatan tenaga dalam tinggi melempar sepasang parang miliknya.
Singngng...!
Singngng...!
"Heh?!"
Raja Petir segera melempar tubuh ke samping kanan untuk menghindari senjata yang meluruk dengan cepat.
Jlig!
Singngng...! Singngng...! Tap! Tap!
Di luar dugaan Raja Petir, sepasang parang merah yang memburu kembali di tangan Setan Bukit Cemara.
"Kalau gerakanmu tak gesit, maka jurus 'Parang Setan Maut' akan mengirimkan nyawamu ke neraka. Raja Usil," ledek Ki Bandot dengan senyum terkulum.
"Aku tak memiliki gerakan yang gesit, Setan Gila," balas Raja Petir merendah. "Hanya saja seranganmu yang kurang bermutu dan tak berbahaya!" lanjutnya. Kali ini bernada melecehkan. Senyumnya tersungging sambil menatap wajah lelaki tua di depannya.
"Kurang ajar!" hardik Ki Bandot geram. "Berilah aku pelajaran yang terbaik, Setan Angkuh," balas Jaka.
"Tentu saja! Bersiaplah!" Ki Bandot membawa tubuhnya mundur dua langkah. Kedudukan sepasang kakinya membentuk kuda-kuda rendah.
"Jangan coba-coba meremehkan aji 'Racun Cemara Kematian'" peringatan Setan Bukit Cemara diucapkan dengan sinis.
"Jangan banyak omong, Setan! Cepat keluarkan seluruh ajian yang kau miliki," selak Jaka tak kalah sombong.
"Ngrgh...!"
Ki Bandot menggereng marah mendengar ucapan Raja Petir. Lalu lelaki tua bercambang bauk putih itu memejamkan mata. Sepasang tangannya yang dirapatkan satu sama lain, diletakkan di dahinya. Kemudian secara perlahan dibawanya turun sampai di depan dada. Hampir tiga kali tegukan teh lamanya telapak tangan yang merapat itu diletakkan menempel di dada. Sesaat kemudian tampak mulai merenggang sedikit demi sedikit. Ketika itulah terlihat asap tipis mengepul dari telapak tangan yang sudah merenggang.
Asap tipis yang tercipta berkat pengerahan ajian 'Racun Cemara Kematian' menebarkan bau seperti daun terbakar. Bau itu semakin lama semakin terasa menyengat hidung.
Raja Petir yang menyaksikan ilmu lawannya seperti tak terpengaruh dengan bau yang semakin menyengat. Namun tampak sikapnya yang tetap waspada. Pendekar muda itu memang tak pernah menganggap remeh setiap ilmu yang dikerahkan lawan-lawannya. Termasuk ajian 'Racun Cemara Kematian' yang sedang diperagakan Setan Bukit Cemara.
Dengan tatapan yang tak lepas memperhatikan setiap gerakan Ki Bandot, Raja Petir tetap berdiri tegak di tempatnya. Selangkah pun tak tampak kakinya bergerak.
"Hoarrrkh...!"
Tiba-tiba saja Setan Bukit Cemara memekik keras. Pekikan yang terdengar aneh itu diiringi dengan terhentaknya dua telapak tangan ke depan. Hentakan yang cukup kuat itu menjelmakan dua gulung sinar kehijauan yang meluruk cepat memburu Raja Petir.
Srrrttt! Srrrts...! "Eits! Hops!"
Dengan cepat Raja Petir menghentakkan kaki di tanah tempatnya berpijak. Seketika itu pula tubuhnya melesat ke atas. Tubuh Raja Petir melayang di udara dan berputaran beberapa kali. Dua rangkum sinar kehijauan yang meluruk ke tubuhnya berhasil dihindari. Namun, dengan cepat Ki Bandot kembali mengirimkan serangan susulan yang tak kalah dahsyat
"Heaaa...!" Srrrrttt! Srrrrts...!
Dua rangkum sinar kehijauan yang bergulungan melesat memburu Raja Petir yang masih berada di udara.
Patut dipuji ketenangan tokoh muda pewaris ilmu mendiang Raja Petir itu. Dalam keadaan yang sedemikian sulit Jaka mampu membaca suasana dan mencari jalan keluar untuk menggagalkan serangan dahsyat lawan.
Dengan mengerahkan jurus 'Lejitan Lidah Petir', tubuh pemuda berpakaian kuning keemasan itu melesat ke samping kiri, lalu menjatuhkan diri di tanah. Dengan bertumpu pada kedua telapak tangan Raja Petir bergulingan beberapa kali ke atas tanah merah.
"Hops!"
Tubuh Raja Petir kembali mencelat ke udara menghindari serangan gencar Setan Bukit Cemara.
"Hrghrgh...! Hih!"
Setan Bukit Cemara menggeram keras. Hatinya bertambah marah. Beberapa kali serangan yang dilancarkan berhasil digagalkan lawan. Lalu....
"Hiaaa...!"
Srrrtirt! Srrrrats...!
Dua gulung sinar kehijauan melesat cepat memburu Raja Petir. Namun kali ini pendekar muda itu tak nampak melakukan gerakan untuk menghindar. Tokoh sakti yang mengenakan pakaian kuning keemasan tampak mengepalkan tangan, lalu menariknya ke atas pinggang.
"Hih!" Wusss...!
Serangkum angin berhawa panas melesat dari dua telapak tangan Raja Petir yang terhentak kuat. Serangkum angin yang tercipta berkat pengerahan jurus 'Pukulan Pengacau Arah' meluruk cepat, menyongsong dua gulungan sinar kehijauan dari arah yang berlawanan. Angin panas itu berputar cepat. Dan....
Srrrttts! Glarrr. !
Suara ledakan yang menggelegar keras terdengar memekakkan telinga ketika ilmu 'Pukulan Pengacau Arah' beradu dengan ajian 'Racun Cemara Kematian' yang berupa dua gulungan sinar kehijauan.
Akibat ledakan kuat itu tubuh Raja Petir mundur satu langkah, sedangkan Setan Bukit Cemara mengalami nasib yang lebih parah. Tubuhnya nampak terhuyung lima langkah ke belakang. Keadaan itu menandakan kalau tenaga dalam yang dimiliki Raja Petir berada di atas Ki Bandot
Ketika Setan Bukit Cemara dalam keadaan terhuyung-huyung dan kehilangan keseimbangan, dengan kuat Raja Petir menghentakkan kaki seraya melancarkan serangan susulan dengan mengerahkan jurus 'Petir Menyambar Elang'.
"Hiaaa...!"
Tubuh lelaki yang terbalut pakaian kuning keemasan itu mencelat ke udara. Kedua tangannya yang terentang, bergerak cepat ke dada Setan Bukit Cemara. Setan Bukit Cemara yang tak menyangka akan datangnya serangan balasan yang begitu cepat tampak panik dan kebingungan. Semampunya lelaki tua berpakaian biru itu bergerak untuk menghindari serangan Raja Petir. Namun, kecepatan gerak lawan yang luar biasa membuat Bandot tak sempat melakukan sesuatu. Maka....
Blukkk! "Ugkh!"
Tubuh Setan Bukit Cemara terpental ke belakang. Pukulan keras Raja Petir mendarat telak di dadanya.
Brukkk! "Hoekkk..!"
Tubuh Ki Bandot jatuh berdebum tanah. Darah kental keluar melalui mulutnya. Lelaki tua bercambang bauk putih itu tampaknya menderita luka dalam yang cukup parah. Tubuhnya yang terbungkus pakaian biru terkulai lemas di atas tanah berumput.
Suasana tiba-tiba berubah hening. Ada keanehan terjadi lagi. Ketika keadaan Setan Bukit Cemara terkapar tak berdaya seperti itu, mendadak mayat-mayat berjatuhan ke tanah. Mayatmayat hidup menyeramkan yang dengan ganas menyerang Mayang tiba-tiba bagaikan makhluk hidup yang kehilangan nyawa. Mati! Dan perlahanlahan mereka berubah ke asal semula.
"Hhh"
Mayang sempat keheranan menyaksikan keadaan itu, begitu juga dengan Raja Petir. Namun ketika suasana aneh itu masih terasa, tiba-tiba pula muncul sesosok bayangan hitam melesat dengan kecepatan yang sulit tertangkap mata.
Raja Petir dan Dewi Payung Emas belum sempat menyadari benar, tahu-tahu sosok bayangan yang berkelebat itu telah menyambar tubuh Setan Bukit Cemara yang terkulai tak berdaya di atas rerumputan. Dengan cepat sosok bayangan hitam itu meninggalkan tempat itu membawa tubuh Setan Bukit Cemara.
"Ayo, kita kejar mereka, Kakang!" ajak Mayang menyadari kalau Setan Bukit Cemara telah diselamatkan seseorang.
Jaka tak segera menyetujui ucapan kekasihnya. Namun kemudian ketika hatinya tergerak untuk menyelidiki keanehan-keanehan yang terjadi Raja Petir pun segera menganggukkan kepalanya
"Ayolah! Hop!"
"Hops!"
***
TUJUH
Sosok bayangan hitam yang melarikan tubuh Setan Bukit Cemara terus melesat dengan kecepatan tinggi. Sambil memanggul tubuh Setan Bukit Cemara, sosok bayangan hitam itu melesat terus melintasi perbatasan Desa Kober Utara.
Sosok berpakaian hitam itu ternyata salah seorang dari tiga lelaki yang berjuluk Tiga Bajing Goa Tanjung yang sengaja diutus Ki Gambaga Kepala Desa Pagarayung untuk mengawasi sepakterjang Setan Bukit Cemara.
Jaka dan Mayang yang menguntit lari sosok penyelamat Ki Bandot tampaknya tak kehilangan jejak. Karena ilmu meringankan tubuh yang dikerahkan dalam berlari telah mencapai tingkat kesempurnaan.
"Dia masuk ke desa lain, Kakang," ujar Mayang melihat sosok yang memanggul tubuh Setan Bukit Cemara melewati perbatasan Desa Kober Utara dan masuk ke desa yang bernama Pagarayung.
"Kita akan terus menguntit mereka. Namun kita tetap harus meningkatkan kewaspadaan," sahut Jaka.
"Tentu saja, Kakang," timpal Mayang dengan lari yang tetap pada kecepatan seperti semula.
"Rasanya kita perlu mengurangi kecepatan kita Mayang. Firasatku mengatakan kalau sarang yang dituju tak jauh dari sini," ujar Raja Petir menduga-duga. Dugaan pendekar muda itu tentu saja dilandasi kepekaan panca indera yang tetap terus dikerahkan selama pengejaran.
Mayang tentu saja menuruti apa yang diucapkan kekasihnya. Gadis cantik itu langsung mengurangi kecepatan larinya. Bahkan tampak berubah dengan langkah yang agak cepat.
"Sebaiknya kita berhenti di sini!" usul Jaka. Mayang menatap wajah kekasihnya. Tak ada sepatah pertanyaan pun yang diucapkan.
"Aku akan melakukan sesuatu dari tempat ini," papar Raja Petir lagi. "Kuharapkan kesiagaanmu saat aku melakukan pemusatan pikiran."
"Lakukanlah, Kang!" sahut Mayang menyetujui ucapan kekasihnya.
Raja Petir segera memusatkan pikiran. Pemuda berpakaian kuning keemasan itu tampak mulai memejamkan mata. Kakinya yang berdiri tegak, agak direnggangkan. Sementara kedua tangannya yang terkepal ditarik sampai ke pinggang.
Dengan mengheningkan cipta seperti itu Raja Petir berusaha mengerahkan ilmu mendengar jarak jauhnya. Mayang pun tak tinggal diam. Gadis itu segera memasang kewaspadaan tingkat tinggi, bersiaga penuh di tempatnya berdiri. Matanya yang tajam jelalatan ke sana kemari, mengawasi tempat di sekitar mereka.
"Setan Bukit Cemara kini ditemani empat lelaki, Mayang," ujar Jaka memberitahu setelah melakukan pengerahan ilmu mendengar jarak jauh.
Mendengar ucapan Raja Petir, gadis itu menoleh lalu mengangguk, tanda mengerti.
"Tiga di antara mereka mengaku berjuluk 'Tiga Bajing Goa Tanjung', sedangkan yang satunya mengaku sebagai Kepala Desa Pagarayung," papar Jaka, menurut apa yang di dengarnya dari jarak jauh.
"Lalu apa yang mereka rencanakan?" tanya Mayang ingin tahu.
"Aku hanya mendengar keinginan Kepala Desa Pagarayung yang bercita-cita menguasai Desa Kober Utara untuk disatukan dengan desa yang dipimpinnya. Namun terlebih dulu melenyapkan Ki Bernala serta abdi setianya," papar Jaka.
"Dan Tiga Bajing Goa Tanjung bersedia membantu setelah Setan Bukit Cemara gagal menunaikan tugasnya, begitu kan, Kang?" tanya Mayang menduga cerita Jaka selanjutnya.
"Semakin pandai kau sekarang, Mayang!" puji Jaka membenarkan kesimpulan kekasihnya.
"Lalu apa rencanamu, Kang?"
"Kita kembali ke kediaman Ki Bernala sekarang juga."
"Hmmm...!" Mayang menggumam tak jelas. "Tidak kita satroni saja Setan Bukit Cemara dan empat lelaki yang kini menemaninya?" tanya Mayang mencoba memberikan pendapatnya.
"Pada saatnya mereka akan menyatroni kediaman Ki Bernala, Mayang. Itulah rencana mereka selanjutnya," ujar Jaka, lembut. "Kita harus memberitahukan Ki Bernala tentang hal ini. Kita jangan bertindak sebelum yang bersangkut-paut dengan persoalan ini tahu dengan jelas masalahnya."
Gadis cantik berpakaian jingga yang berjuluk Dewi Payung Emas mengangkat pundak sebagai tanda menyerahkan keputusan sepenuhnya pada Jaka.
"Kau memang gadis penurut, Mayang. Ayo, kita tinggalkan tempat ini!" ajak Jaka sambil menggamit lengan Mayang dan pergi meninggalkan perbatasan Desa Pagarayung.
***
Ada keterkejutan di hati Kepala Desa Kober Utara setelah mendengar cerita hasil penyelidikan Jaka dan Mayang. Sesungguhnya Ki Bernala tak menyangka kalau dalang di balik peristiwa belakangan ini ternyata Ki Gambaga.
"Ki Gambaga...," gumam Ki Bernala dengan wajah menegang.
"Nama Kepala Desa Pagarayung itu Ki Gambaga, Ki?" tanya Jaka ingin tahu.
"Ya," tegas Ki Bernala, "Dialah sahabatku yang paling baik."
"Maksud Ki Bernala?" tanya Mayang penasaran.
"Desa Kober Utara dan Desa Pagarayung bertetangga sejak puluhan tahun lalu. Kami sebagai kepala desa tentu saja saling menghormati hak-hak desa masing-masing. Malahan kami sering saling mengunjungi satu sama lain, hingga timbul persahabatan yang erat. Kuakui tanah di Desa Kober Utara memang lebih subur daripada tanah di Desa Pagarayung. Sungguh tak kusangka kalau akhirnya persahabatan ini ternodai begitu saja," papar Ki Bernala menjelaskan pertanyaan Mayang.
"Mungkin karena itulah Ki Gambaga menginginkan Desa Kober Utara menjadi wilayah kekuasaannya," duga Mayang menimpali.
"Apa tak ada hal lain yang membuat desa itu melebihi Desa Pagarayung?" tanya Jaka ingin tahu.
Ki Gambaga tak segera menjawab pertanyaan Jaka. Mata lelaki berusia hampir enam puluh tahun itu menatap wajah pemuda tampan di depannya. Bias keraguan nampak memancar dari tatapan matanya.
"Ahhh...!" tiba-tiba saja Ki Bernala menarik napas panjang. "Mungkin Ki Gambaga tahu hal ikhwal Bukit Gandung," jawab Ki Bernala setelah berhasil meyakinkan hati bahwa Jaka memang harus tahu keadaan di desanya.
"Ada apa di Bukit Gandung, Ki?" tanya Jaka hati-hati.
"Konon, menurut orang-orang sebelum aku menjadi kepala desa ini, pada sebuah bukit yang bernama Bukit Gandung terpendam sebuah harta kekayaan yang tak ternilai harganya. Dan menurut mereka bukan hanya kekayaan saja yang terpendam di sana, melainkan juga senjata dan kitabkitab pusaka," tutur Ki Bernala sejelas-jelasnya. Di sebelah Ki Bernala nampak Nyi Rira Pangestu duduk dengan kepala tertunduk.
"Ki Bernala percaya dengan omongan-omongan itu?" tanya Mayang.
"Entahlah, karena aku belum membuktikannya," jawab Ki Bernala.
"Kalau boleh aku tahu apa rencana Ki Gambaga selanjutnya, Jaka?" suara Nyi Rira Pangestu terdengar bernada penuh kecemasan.
"Ki Gambaga yang kini dibantu Tiga Bajing Goa Tanjung akan datang ke sini, Nyi. Dan berhasrat besar untuk membinasakan Ki Lurah Bernala serta abdi-abdinya," jelas Jaka tanpa menutupnutupi hal yang diketahuinya.
"Oh!" Nyi Rira Pangestu terpekik mendengar penjelasan Jaka.
"Nyi Rira tak perlu terlalu cemas. Sebisanya kami akan membantu," tukas Mayang mencoba menenangkan hati istri Ki Bernala.
"Kapan kira-kira mereka akan menyerbu kemari?" tanya Ki Bernala.
"Entahlah," jawab Jaka, "Yang jelas kita harus bersiap-siap."
***
Malam demi malam terlewati dengan perasaan tercekam. Sudah tiga malam Ki Bernala tak dapat tidur tenang. Begitu pun istrinya, Nyi Rira Pangestu. Kedua suami-istri penguasa Desa Kober Utara itu selalu mengurungkan keinginannya untuk tidur nyenyak. Setiap kali ada suara gemerisik mereka tersentak kaget, lalu bangun dari pembaringan.
Padahal suara-suara itu ditimbulkan binatang malam atau angin yang bertiup kencang menggoyang ranting pepohonan di sekitar rumahnya. Hingga malam ini, Ki Bernala dan istrinya benar-benar tak bisa memejamkan mata. Perasaan mereka semakin tercekam.
"Perasaanku semakin tak enak saja, Ki," ujar Nyi Rira Pangestu mirip bisikan. Matanya menatap wajah Ki Bernala yang terbaring di sampingnya.
"Hatiku juga tak tenang, Nyi," timpal Ki Bernala, "Namun aku yakin kedatangan mereka akan diketahui Gunjada dan kawan-kawannya, bukankah mereka sedang berjaga-jaga di luar sana?" lanjuti Ki Bernala berusaha menenangkan hati istrinya.
"Tapi, aku tetap khawatir, Ki," ujar Nyi Rira Pangestu tak kuasa menyembunyikan ketakutannya.
"Kalau begitu, kita bergabung saja dengan Jaka dan Mayang. Barangkali dengan begitu hatimu bisa tenang, Nyi," ujar Ki Bernala menyarankan istrinya.
Nyi Rira Pangestu menganggukkan kepala menyetujui usul Ki Bernala. Keduanya melangkah ke luar meninggalkan ruangan pribadinya, menuju kamar Mayang dan Jaka.
"Aaa...!"
Namun baru tiga langkah kaki Ki Bernala dan Nyi Rira Pangestu terayun, suara pekikan keras terdengar.
"Ki...?"
Nyi Rira Pangestu segera saja merangkul tubuh sang Suami. Kepalanya menoleh ke tempat asal suara pekikan.
Pada saat puncak ketakutan Nyi Rira Pangestu tak terkuasai, tiba-tiba muncul Jaka dan Mayang yang berlari dari kamar masing-masing.
"Ada apa, Ki?" tanya Jaka dan Mayang hampir bersamaan.
"Aku tak tahu, Jaka," jawab Ki Bernala sambil merangkul istrinya untuk memberi ketenangan.
"Biar aku lihat keluar," ujar Jaka, "Kau temani Nyi Rira, Mayang!" Jaka bergegas keluar menuju tempat asal suara tadi.
"Hei, ada apa ini?" tanya Jaka ketika menyaksikan Gunjada tengah membungkuk memeriksa keadaan rekannya yang tergeletak di tanah depan rumah Ki Bernala.
"Aku tak tahu dengan jelas. Raja Petir," jawab Gunjada seraya bangkit. "Walinan tahu-tahu saja memekik dan ambruk."
Jaka segera melompat turun dari serambi untuk memeriksa keadaan lelaki bernama Walinan.
"Dia sudah mati," ucap Jaka setelah meraba nadi Walinan yang sudah tak berdenyut.
Gunjada dan kawan-kawannya yang lain terkejut mendengar ucapan Raja Petir. Semua kembali menatapi tubuh Walinan.
"Hmmm."
Raja Petir bergumam saat tangannya meraba bagian leher Walinan. Sebuah benda beracun telah menembus kulit leher lelaki itu hingga ke dalam.
"Seperti sebuah jarum," duga Jaka sambil terus meraba leher lelaki berpakaian hitam yang sudah menjadi mayat itu.
Crrrt...!
Tiba-tiba saja Jaka memijit kulit bagian leher Walinan. Sebuah jarum seketika keluar dari kulit leher Walinan. Darah kehitaman pun keluar dari bekas tembusan jarum.
"Bersiagalah kalian semua!" ujar Raja Petir memperingatkan bahaya yang diduga bakal datang.
Orang-orang yang bertugas menjaga keamanan rumah kediaman Ki Bernala segera saja menghunus senjatanya masing-masing. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara berdecit halus yang meluruk ke tempat para penjaga keamanan rumah Ki Bernala. Jaka yang memang sudah terlatih kepekaannya segera dapat merasakan bahaya yang datang mengancam.
"Awaaasss...!" teriak Jaka, seraya melompat ke depan, tangannya seketika bergerak cepat mengerahkan jurus pukulan pengacau arah.
Wuuusss...!
***
DELAPAN
Trak! Trak! Trak!
Benda-benda yang melesat hingga menimbulkan suara berdecit itu berpentalan balik ketika serangkum angin bergulung yang keluar dari telapak tangan Raja Petir menerjang dari arah berlawanan. Senjata-senjata gelap yang ternyata jarumjarum beracun itu sebagian terpental balik ke pemiliknya dan sebagian hancur berhamburan di tanah.
"Hops!"
"Aaakh...!"
Teriakan-teriakan keras seketika terdengar memecah suasana malam. Jarum-jarum yang terpental balik itu rupanya mengancam keselamatan pemiliknya. Sehingga dari balik pepohonan di sekitar rumah itu berlompatan beberapa sosok bayangan yang menghindari serangan balik senjata gelap mereka.
Tiga lelaki berpakaian gelap mendarat dengan ringan di tanah. Gerakan mereka pun sangat lincah. Ketiga lelaki berwajah hampir mirip itu memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi.
Namun, di antara para penyerang gelap itu tampak seorang lelaki berwajah kasar. Dari gerakan dan cara mendaratnya memberi gambaran kalau dirinya tidak memiliki kemampuan dalam ilmu silat. Lelaki berpakaian merah darah itu tak lain Ki Gambaga, Kepala Desa Pagarayung. Mereka datang berempat, tanpa Manggale. Ki Gambaga sengaja meninggalkan putranya di rumah, agar menjaga Ki Bandot yang tengah menderita luka dalam sangat parah setelah bentrok dengan Jaka.
"Ha ha ha...! Hebat juga ilmu yang kau miliki, Bocah!" teriak seorang lelaki berpakaian kelabu dan berkepala botak plontos. Mata lelaki yang besar sebelah itu terlihat berkedip-kedip lucu. Dan giginya yang tonggos membuat penampilan lelaki bertubuh tegap itu tampak lucu.
"Dialah Raja Petir, Lambuna," ujar lelaki berwajah kasar yang tak lain Kepala Desa Pagarayung yang bercita-cita menguasai Desa Kober Utara.
Lelaki yang bernama Lambuna segera menoleh dan menatap sejenak wajah Ki Gambaga. Tanpa diberitahu, sebenarnya Lambuna sudah mengenal ciri-ciri pada diri pemuda berpakaian kuning keemasan yang terkenal dengan julukan si Raja Petir.
Mendapat tatapan tak senang dari Lambuna, Ki Gambaga sedikit menundukkan wajahnya. Keadaan seperti itu tak berlangsung lama, karena kemudian Lambuna sudah kembali berkata, "Kau tahu dengan siapa sekarang berhadapan. Raja Goblok?!" tanya Lambuna setengah membentak.
"Aku tak tahu, tapi kalau boleh aku menduga, bukankah kau yang berjuluk Setan Tonggos berwajah buruk?" balas Raja Petir dengan ejekan pula.
"Kurang ajar!" maki Lambuna, merasa tersinggung dengan julukan yang disebutkan Raja Petir.
"Setan Alas!" hardik lelaki lain yang juga bergigi tonggos dan bermata sipit. Dialah orang kedua dari tiga lelaki yang berjuluk Tiga Bajing Gua Tanjung.
"Keparat!" caci orang ketiga tak mau ketinggalan.
"Kau tidak menghardikku?" tanya Raja Petir pada Ki Gambaga yang hanya diam.
Ki Gambaga menatap tajam wajah Raja Petir. "Kau harus mampus sekarang!" bentaknya kemudian.
"Kau yang harus mampus, Gambaga!" balas Ki Bernala yang muncul bersama-sama Mayang dan Nyi Rira Pangestu. "Sungguh aku tak menyangka kalau kau bisa menodai persahabatan kita dengan hal-hal yang keji seperti ini. Kau tahu, banyak sudah penduduk Desa Kober Utara yang menjadi korban karena ulahmu menyewa Setan Bukit Cemara. Kelakuanmu sangat memalukan! Hanya kematianlah yang pantas menebus dosadosamu, Ki Gambaga!"
"Jangan bermimpi dapat membunuhku, Bernala!" bentak Ki Gambaga, "Kau tak lihat Tiga Bajing Gua Tanjung yang berdiri di sebelahku? Sekarang juga mereka akan mengirim kalian semua ke neraka," lanjut Ki Gambaga dengan menyanjung nama Tiga Bajing Gua Tanjung.
"Kurasa Raja Petir-lah yang pantas mengubur wajah-wajah jelek orang-orang bayaranmu, Ki Gambaga!" balas Ki Bernala.
Bergetar hati Tiga Bajing Gua Tanjung mendengar penghinaan tajam yang dilakukan Ki Bernala. Kemudian salah seorang di antara Tiga Bajing Gua Tanjung itu bergerak cepat hendak menghantam Bernala dengan tinjunya. Namun....
"Hops!"
Mayang telah lebih dulu bergerak ke depan untuk melindungi Ki Bernala.
"Sabar Kisanak!" ujar gadis itu sambil mengangkat senjatanya sebatas kepala. "Kau tak pantas untuk berhadapan dengannya!"
Lelaki ketiga dari Tiga Bajing Gua Tanjung mengurungkan niatnya menyerang Ki Bernala.
"Apa kau sanggup menghadapiku, Gadis Liar?" tanya lelaki berambut gondrong sebahu. Giginya yang tonggos tampak sangat lucu.
"Sepuluh lelaki macam kau pun akan kuladeni," balas Mayang ketus.
"Benar-benar gadis binal!"
"Kau lelaki kelaparan!"
"Hhh...!"
Orang ketiga dari Tiga Bajing Gua Tanjung mendengus kesal. Tanpa menunggu perintah dari Lambuna sebagai orang tertua, lelaki berambut gondrong dan bergigi tonggos itu langsung melancarkan serangannya terhadap Mayang.
Lambuna yang menyaksikan Rekoga telah melakukan penyerangan, segera memerintahkan Garbala untuk sama-sama menyerang Raja Petir.
"Ayo, Garbala! Kita lumat tubuh Raja Goblok itu!" seru Lambuna keras. Tubuh lelaki berkepala botak itu langsung melesat ke tubuh Jaka diikuti Garbala.
"Hiaaa...!"
"Hiaaa...!"
***
Di bawah sinar bulan yang tak begitu terang pertarungan maut pun tak dapat terelakkan. Lambuna dan Garbala tampak sangat bernafsu untuk membunuh lawan mereka.
Pertarungan yang berlangsung seru itu terpecah tiga bagian. Kepala Desa Kober Utara tampak mempertahankan kewibawaannya menghadapi Kepala Desa Pagarayung. Sementara dara manis kekasih Raja Petir, nampak tak sungkan-sungkan meladeni orang ketiga dari Tiga Bajing Gua Tanjung.
"Hiaaa...!"
Wuttt! "Haits...!"
Dengan cepat Rekoga mengayunkan senjata menyerang Dewi Payung Emas. Seperti gerakan penari tubuh Mayang meliuk menghindari tebasan, senjata Rekoga. Sangat ringan dan lentur gerakan yang dilakukan gadis berpakaian jingga itu membuat serangan lawan luput.
"Setan!" hardik Rekoga geram, "Terimalah ini!"
Slats! Slats!
Dengan gerakan cepat Rekoga meraih sumpit yang ditaruh di balik pakaian dan meniupkannya dengan kuat. Dua batang jarum beracun pun melesat cepat memburu tubuh Mayang. Namun....
Wrrr. !
Trak! Trak!
Mayang yang sudah mampu membaca kelicikan lawannya segera saja mengerahkan jurus 'Benteng Emas' guna meredam serangan Rekoga lewat ilmu 'Sumpit Maut Setan Tanjung'. Senjata andalan Mayang yang berupa payung logam yang berwarna kuning keemasan berputaran kuat hingga membentuk semacam benteng. Dan ternyata jurus 'Benteng Emas' lebih ampuh dari ilmu lawan.
Sementara itu pada pertarungan lain. Raja Petir yang menghadapi lelaki tertua dari Tiga Bajing Gua Tanjung tengah terlibat pertarungan sengit. Jurus-jurus andalan yang dimiliki Lambuna dan Garbala berkali-kali sudah digelar. Namun sejauh ini dua dari Tiga Bajing Gua Tanjung belum mampu menunjukkan keperkasaan mereka. Berlawanan dengan sesumbar mereka yang hendak melumat tubuh Raja Petir.
Sebaliknya, Raja Petir hanya dengan mengerahkan jurus 'Lejitan Lidah Petir' yang sesekali menyerang dalam jurus 'Petir Menyambar Elang' mampu mengecoh lawan-lawannya. Bahkan Lambuna dan Garbala tampak mulai terdesak.
"Dia betul-betul tangguh, Kakang," desis Garbala seperti putus asa.
"Tidak Garbala, Kita hanya belum mengeluarkan ilmu-ilmu tingkat utama kita," sangkal Lambuna.
"Kalau begitu gunakan saja sekarang, Kakang," usul Garbala.
"Ayo! Aku memang sudah kepingin cepatcepat menyelesaikan urusan ini," jawab Lambuna.
Orang pertama dan kedua dari Tiga Bajing Gua Tanjung itu kini sama-sama mundur dua langkah. Keduanya kini berdiri tegak dengan tatapan mata lurus ke wajah Raja Petir. Sementara tangan mereka saling ditautkan satu sama lain.
Dengan sikap tenang Raja Petir memperhatikan apa yang dilakukan kedua lawannya. Baginya gerakan yang dilakukan Lambuna dan Garbala dianggap seperti anak-anak kecil yang hendak bermain. Namun ketika melihat kelanjutannya Raja Petir tersentak.
"Ilmu Setan," gumam Raja Petir melihat tangan yang saling bertautan itu semakin memanjang dan memanjang. Tangan itu melar bagai karet dan semakin lama terulur melebihi ukuran kewajaran.
Jaka dengan tatapan mata tak berkedip terus menanti-nanti apa yang akan dilakukan dua orang lawannya.
"Aji Gua Maut!"
Tiba-tiba saja Lambuna berteriak lantang menyebutkan ilmu yang sedang digunakannya. Bersamaan dengan itu tubuh keduanya melesat dengan cepat memburu Raja Petir. Tangan mereka yang melar panjang tetap saling bergandengan. Kedua tangan panjang itu tiba-tiba bergerak mengurung Raja Petir yang masih diam di tempatnya.
"Hmmm...! Apa yang akan mereka lakukan dengan 'Aji Gua Maut' itu?" batin Jaka.
Jaka yang kini terkurung ilmu lawan sedikit pun tak bergeser dari pijakannya. Dirinya masih menanti-nanti serangan bagaimana yang akan dilancarkan Lambuna dan Garbala.
Beberapa saat lamanya tubuh Jaka, yang terkurung tak terjadi perubahan apa-apa. Namun kemudian asap kemerahan tiba-tiba muncul dari tangan-tangan yang melingkar di seputar tubuh Raja Petir. Mula-mula asap itu terlihat tipis, tapi kemudian semakin tebal hingga akhirnya berubah warnanya. Asap tebal yang mengurung itu kini merah pekat.
"Uhugkh!"
Jaka terbatuk ketika asap ciptaan Lambuna dan Garbala yang terangkum dalam ilmu 'Aji Gua Maut' semakin dekat, seolah hendak membungkus tubuhnya. "Hawa beracunnya semakin lama semakin menyengat," kata hati Jaka. Kemudian secara perlahan dirinya mulai mengerahkan 'Ajian Kukuh Karang' untuk mengatasi serangan lawan.
Sebelum asap merah yang semakin tebal itu benar-benar membungkus tubuh Raja Petir sinar kuning keemasan yang perpendar-pendar dari bagian dada hingga kepala dan lutut hingga ujung kaki telah menjelma melindungi tubuhnya. Karena tubuh lawan terkepung asap tebal Lambuna dan Garbala tak tahu kalau Raja Petir tengah berupaya melindungi diri dengan ilmunya.
"Hiaaa...!"
"Hiaaa...!"
Raja Petir hanya dapat mendengar teriakan Lambuna dan Garbala yang menggelegar. Firasatnya mengatakan kalau dua lawannya akan melakukan serangan gelap. Dan ternyata benar. Lambuna dan Garbala tengah melesat cepat, mengirimkan serangan dengan tendangan lurus ke kepala dan perut Raja Petir.
Suara angin yang menderu menandakan kalau kedua tokoh Setan Gua Tanjung menggunakan kekuatan tenaga dalamnya dalam serangan itu. Namun....
Prats! Prats!
"Aaakh!"
"Akh!"
Tubuh Garbala dan Lambuna seketika terpental balik ketika tendangan dahsyat yang mereka lancarkan seperti membentur logam yang sangat keras. Seketika keduanya terpekik kesakitan.
Hampir tiga batang tombak jauhnya tubuh Lambuna dan Garbala terpental. Mereka merasakan sekujur tubuh bagaikan dirambati ribuan semut. Gemetaran dan linu. Sedangkan pengaruh 'Aji Gua Maut' yang mampu menjelmakan asap merah dan tebal kini telah luntur. Tak lagi tercium bau yang menyesakkan pernapasan, apalagi wujud asap itu seolah-olah menguap ke langit.
"Keparat!" maki Lambuna geram, merasa telah mengalami kegagalan dengan ajian yang diandalkannya.
"Kalian masih punya hasrat untuk menghadapiku?" tanya Jaka dengan suara keras.
"Hhh...!"
Lambuna dan Garbala sama-sama menggeleng. Mulut Lambuna mendengus penuh kebencian, mendengar pertanyaan Jaka yang dianggapnya terlalu sombong.
"Lebih baik aku mampus daripada harus menyerah di tanganmu, Raja Gila!" maki Garbala tak kuasa menahan kejengkelannya.
Srat!
Tiba-tiba saja Garbala meloloskan pedang dari warangkanya yang tergantung di pinggang. Hal yang sama dilakukan Lambuna. Sementara itu, Jaka terbelalak melihat pedang Garbala. Pedang itu tumpul dan berukuran pendek. Mungkin hanya sekitar dua jengkal.
"Heaaa...!"
Garbala melesat cepat memburu tubuh Jaka. Sementara Lambuna dengan ringan sekali melenting ke atas sambil mengayunkan pedangnya. Patut dipuji daya tahan kedua tokoh Tiga Bajing Gua Tanjung itu. Apalagi daya tahan tubuh Lambuna. Meski dalam keadaan persendian yang masih linu, lelaki berkepala botak itu mampu melenting ke udara dan meluruk melewati batas kepala Raja Petir.
Melihat tindakan kedua lawannya, Jaka mengetahui gelagat kalau mereka akan menyerangnya dari dua arah depan dan belakang dengan menggunakan senjatanya. Dugaan Raja Petir ternyata tak meleset, terbukti setelah tubuh Lambuna mendarat di belakangnya, Garbala mengangkat pedangnya sampai di atas kepala. Jelas hal itu sebagai pertanda, kalau penyerangan dari dua arah akan segera dimulai.
"Sepasang Pedang Bajing Goa Tanjung!" pekik Lambuna yang berada di belakang Raja Petir.
"Hiaaa...!"
"Hiaaa...!"
Garbala yang melesat lebih dulu dari depan sempat dilihat gerakannya oleh Raja Petir. Seketika itu juga kecerdikan Raja Petir berperan. Ketika pedang tumpul di tangan Garbala melesat mengancam jantungnya. Raja Petir segera menangkap senjata itu dengan dua telapak tangan yang dirapatkan satu sama lain.
Crak!
"Heh?!" Garbala terkejut mendapatkan serangannya ditahan dengan tangan telanjang. Dan keterkejutan Garbala semakin menjadi-jadi ketika pada saat yang hampir bersamaan Lambuna menusukkan pedangnya lurus ke batang leher lawan. Sedangkan Raja Petir, dengan kecepatan dan kekuatan luar biasa segera mengangkat tubuh Garbala hingga menghadapi Lambuna yang tengah melancarkan serangan membokong. Maka kejadiannya....
"Hiaaa. !"
Jrrrabs!
"Aaa...!" lengking kematian panjang pun terdengar membumbung tinggi, ketika pedang Lambuna menghujam dada Garbala. Tubuh orang kedua dari Tiga Bajing Gua Tanjung itu langsung ambruk ke tanah. Darah muncrat dari dada Garbala ketika dengan cepat Lambuna menarik pedangnya.
"Keparat kau. Raja Petir!" bentak Lambuna. Lelaki berkepala botak itu menggeram marah. Matanya melotot kaget menyaksikan kematian Garbala.
"Aaa...!"
Belum lagi kemarahan Lambuna terlampiaskan sebuah pekik kematian terdengar dari mulut Rekoga. Lambuna sempat menoleh ke tempat asal pekikan itu. Dan hatinya terkejut bukan kepalang menyaksikan Rekoga terhuyung-huyung dengan bagian perut terkoyak lebar. Darah bercucuran dari perut yang terbabat senjata andalan Mayang.
Bruk! "Aaakh...!"
Tubuh Rekoga ambruk. Masih terdengar suara rintihan kesakitan, sebelum akhirnya tubuh Rekoga kaku tak bernyawa.
Pada pertarungan lain Ki Gambaga tampak terdesak menghadapi Ki Bernala, karena pada saat itu Gunjada mulai memberi bantuan kepada kepala desanya.
"Mampus kau, Ki Gambaga!" teriak Gunjada sambil membabatkan pedangnya ke lambung Kepala Desa Pagarayung itu.
"Heaaa...!" Brets! "Akh...!"
Tubuh Ki Gambaga seketika ambruk ke tanah dengan bagian lambung terkoyak dan mengucurkan darah. Tubuh kepala desa itu menggelepargelepar sesaat, tapi kemudian diam tak bergerak lagi.
"Bagaimana, bajing ompong?! Apakah kau juga ingin menyusul kawan-kawanmu ke kubur?" tanya Raja Petir mengejek Lambuna.
Merah padam wajah Lambuna mendengar lecehan lawannya. "Kalau aku mundur sekarang, itu bukan berarti aku takut mati, Raja Gendeng! Aku hanya tak ingin kematian saudara-saudaraku menjadi sia-sia. Aku akan menuntut balas padamu. Dendamku akan terus membara!" lantang ucapan Lambuna. Napasnya terdengar memburu menahan kemarahan yang meluap-luap.
Raja Petir hanya tersenyum mendengar ucapan lawan yang sudah kehilangan keberanian itu. Dan senyumnya semakin melebar saat Lambuna menghentakkan kakinya. "Hiaaa...!"
Di luar dugaan, Gunjada tiba-tiba melesat cepat ke tubuh Lambuna seraya mengayunkan pedangnya.
Bret! "Aaa...!"
Lambuna terpekik keras, ketika pedang Gunjada membabat tepat batang lehernya. Darah segar langsung tersembur dari leher yang terkoyak lebar. Tubuh lelaki berkepala botak itu menggelepar-gelepar di tanah.
Hanya sesaat pemandangan seperti itu terlihat, pada saat selanjutnya tubuh Lambuna tak berkutik lagi. Mati! Menyaksikan kematian Lambuna, Raja Petir hanya sempat menarik napas dan kemudian kakinya terayun menghampiri Ki Bernala dan Nyi Rira Pangestu.
"Maaf, Ki dan Nyi! Kami tak bisa berlamalama tinggal di desa ini, masih banyak keperluan yang harus kami urns," ucap Jaka.
"Tinggallah barang satu, dua malam lagi di sini, Nak Jaka!" tahan Nyi Rira Pangestu.
"Maafkan kami, Nyi! Bukannya kami tak berkenan," tolak Jaka lembut.
Nyi Rira Pangestu tak lagi berkata-kata mendengar penolakan halus Raja Petir.
"Kalau begitu jangan lupakan kami, dan terima kasih atas bantuanmu!" tutur Ki Bernala.
Jaka dan Mayang sama-sama menganggukkan kepala.
"Sama-sama, Ki. Kami mohon diri sekarang!" ucap Jaka. "Ayo, Mayang!"
Mayang pun segera mengikuti langkah panjang Jaka. Angin berhembus semilir mengiringi kepergian sepasang pendekar muda yang telah berhasil menunaikan tugasnya.
SELESAI