SATU
Suara gemericik air yang jatuh menimpa bebatuan bagai irama yang mampu membangkitkan gairah hidup. Uap putih yang menebarkan hawa dingin, terlihat bergerak dari juntaian tirai putih yang tak lain sebuah air terjun.
Dari jarak beberapa tombak, nampak sosok lelaki muda tengah memandangi jatuhnya air terjun yang berpencaran setelah menimpa bebatuan di bawahnya. Cukup lama juga sosok muda berpakaian kuning keemasan memandangi tirai air yang bergantian turun. Namun tidak lama kemudian tatapannya dialihkan ke sebuah anak sungai yang airnya bersumber dari air terjun.
"Aaah"
Desahan lembut pemuda berpakaian kuning keemasan, seolah memberi tahu bahwa dirinya memiliki kenangan pada benda yang sedang dipandangi. Benda itu adalah sebongkah batu besar.
"Apakah aku harus menempuh jalan itu lagi?" kata hati lelaki muda itu.
Ingatan pemuda itu bergerak mundur pada masa belasan tahun silam, ketika dirinya bersama Nyi Salasih (Baca serial Raja Petir dalam episode Pembalasan Berdarah). Yang telah mengangkatnya sebagai murid, bersama-sama mencelupkan kaki ke air dingin yang menganak sungai. Gurunya itu menggeser sebongkah batu besar, hingga nampak sebuah jalan rahasia berupa lubang kecil berukuran setengah batang tombak.
"Ah, aku tak mau menggunakan jalan rahasia," putus hati lelaki muda itu kemudian. Mata lelaki muda itu kembali memandang air terjun yang meluncur cukup deras. Hatinya sudah mantap akan mengambil jalan dengan menerobos kumpulan air yang membentuk dinding putih.
"Aku harus menerobos air terjun, seperti ketika aku pergi dulu," kata hati pemuda itu.
Pemuda itu kemudian membawa kakinya mundur selangkah. Wajahnya seketika berubah tegang seiring dengan tarikan napas dan otot-otot tangannya kelihatan mengeras. Dan ketika kaki pemuda itu menghentak permukaan tanah dengan cukup kuat, maka....
"Hip!"
Laksana anak panah yang dilepaskan dari busur, tubuh pemuda yang terbalut pakaian kuning keemasan melesat cepat. Angin menderu mengiringi luncuran tubuh pemuda yang dilakukan dengan ringan.
Prats...!
Air terjun yang membentuk dinding putih tersibak, tanpa ada setitik air pun membasahi pakaian pemuda itu..., memang Jaka telah mengerahkan 'Pukulan Jarak Jauh' saat tubuhnya melesat cepat. Pukulan itu dilancarkan untuk menahan luncuran air terjun yang bagai tirai putih.
"Hup!"
Tubuh pemuda itu mendarat ringan di bibir sebuah ruangan yang mirip gua. Sesaat mata pemuda tampan itu berkeliling mengitari ruangan gua yang seperti tak berpenghuni.
"Eyaaang"
Panggilan dalam hati yang diucapkan pemuda itu seperti bergema di dinding hati dan dinding gua.
"Selamat datang, Jaka Cucuku," suara seorang perempuan tua tiba-tiba memantul dari dinding gua. Suara itu seperti menjawab panggilan dalam hati pemuda yang bernama Jaka. Ya pemuda itu adalah Jaka Sembada yang di kalangan rimba persilatan berjuluk Raja Petir.
"Eyaaang...!"
Jaka segera menghambur, ketika dari kelokan ruangan yang mirip gua muncul sosok tubuh tua berpakaian longgar putih bersih. Perempuan tua yang tak lain Nyi Selasih, menyambut langkah Jaka yang kini bersimpuh di hadapannya.
Dengan mengusap punggung pemuda itu, Nyi Selasih berkata pelan, "Firasat ku mengatakan kau akan datang hari ini, Jaka."
"Eyaaang...," Jaka mengangkat kepala dan menatap wajah Nyi Selasih lekat-lekat. "Sudah lama aku merindukan pertemuan ini," Lanjut Jaka pelan.
"Eyang pun begitu, Jaka. O ya. Apa sebelum kedatanganmu ke sini, kau telah mengunjungi Ki Legar lebih dahulu?" tanya Nyi Selasih.
Tersentak Jaka mendengar pertanyaan Nyi Selasih. Mata pemuda itu semakin lekat menatap wajah perempuan tua di hadapannya.
Perempuan berusia delapan puluh tahun yang merupakan guru sekaligus nenek pemuda berpakaian kuning keemasan itu, mengernyitkan dahi. Nyi Selasih merasa bingung dengan tatapan Jaka yang dirasa agak ganjil.
"Apa yang terjadi dengan Ki Legar, Jaka?" tanya Nyi Selasih sedikit bergetar. Batin perempuan tua itu seolah menangkap firasat tak baik yang me-nyangkut diri Ki Legar.
Jaka tidak segera menjawab pertanyaan Nyi Selasih. Kepala pemuda yang berjuluk Raja Petir itu tertunduk lesu. Perlahan kepala Jaka terangkat setelah sesaat menunduk. Tatapan matanya kini menusuk lurus bola mata tua Nyi Selasih,
"Eyang Legar telah tiada, Nyi," ucap Jaka parau.
Terkejut bukan main Nyi Selasih mendengar perkataan pemuda di hadapannya yang telah dianggap sebagai cucu. Seluruh permukaan wajahnya memanas. Namun perempuan tua yang telah matang pengalaman itu menyembunyikan rasa terkejutnya. Nyi Selasih segera memegang bahu Jaka dan mengangkatnya sedikit. Pemuda itu pun mengerti gerakan yang dilakukan Nyi Selasih sebuah isyarat untuknya agar beranjak bangkit, maka Jaka segera berdiri.
"Kematian merupakan hal yang wajar, Jaka," tukas Nyi Selasih sambil melangkah memasuki ruangan gua lebih dalam. "Apa yang dialami Ki Legar, pasti akan kita alami pula walaupun kita tidak pernah tahu kapan ajal akan datang. Entah Eyang yang lebih tua akan dijemput lebih dulu atau kau yang muda, Jaka. Semua itu rahasia sang Pencipta Buana ini,"
"Aku tak pernah mengingkari ajal manusia, Eyang. Aku hanya menyayangkan kematian Eyang Legar yang seperti itu, sangat mengenaskan keadaannya," kilah Jaka menanggapi ucapan Nyi Selasih yang sarat dengan kebijakan. "Eyang Legar mati dibantai, Eyang," lanjut Jaka.
"Itu hukum alam untuk Ki Legar, Jaka," bantah Nyi Selasih.
"Hukum alam akan bicara sesuai dengan kenyataannya. Kalau manusia menabur biji kacang, maka akan tumbuh pohon kacang. Kalau ada yang tumbuh dalam bentuk lain, itu semata karena kekuasaan sang Pencipta Jagat. Dan ini merupakan kenyataan yang tidak dapat dibantah lagi.
Sama halnya dengan cara kematian Ki Legar yang menurutmu mengenaskan. Karena sebelum masa tobatnya, Ki Legar telah sering berbuat hal yang mengenaskan seperti itu. Itu hukum alam, Jaka. Sebuah hukum sebab akibat yang mau tak mau harus diterima Ki Legar," lanjut Nyi Selasih panjang lebar.
Jaka merasa terpukul dengan ucapan bijak yang keluar dari mulut perempuan tua berpakaian longgar putih itu.
"Aku telah melenyapkan orang-orang yang menewaskan Eyang Legar, Eyang," ujar Jaka.
"Aaah"
Nyi Selasih menarik napas panjang mendengar ucapan Jaka.
"Atas dasar apa kau membunuh mereka, Jaka?" hati-hati pertanyaan yang dilontarkan Nyi Selasih. "Kalau aku menyingkirkan mereka dengan da-
sar bara api dendam, Eyang Legar tidak akan mengizinkan ku, Eyang. Eyang Legar tak setuju aku membalas kematiannya. Tapi karena yang kulakukan merupakan sebuah kewajiban untuk mencegah sepak terjang mereka yang sangat keji, maka Eyang Legar tidak berkeberatan," jelas Jaka mantap.
"Eyang pun setuju kalau kau melakukannya demi memenuhi kewajiban sebagai seorang pendekar, yang bertugas melindungi orang-orang lemah dan memberantas segala bentuk keangkara-murkaan," timpal Nyi Selasih sambil membimbing langkah Jaka memasuki ruang dalam gua.
"Terima kasih, Eyang."
"Jaka. Ada sesuatu yang hendak Eyang bicarakan denganmu," ucapan Nyi Selasih.
"Masalah apa, Eyang?"
"Lebih baik kita bicarakan di dalam, Jaka.
Mayang Sutera juga perlu tahu," jawab Nyi Selasih.
Terkejut Jaka, mendengar ucapan Nyi Selasih yang menyebut nama seorang perempuan.
"Mayang Sutera. ? Siapa dia?" kata hati Jaka. "Gadis itu cantik, Jaka. Seperti ibumu di waktu muda. Mayang Sutera berwatak lembut dan penyabar," ucap Nyi Selasih.
Jaka merasa tidak enak mendengar ucapan Nyi Selasih. Pemuda itu tidak ingin Nyi Selasih menyangka dirinya seperti lelaki lain, yang mudah tergiur kecantikan seorang perempuan.
"Siapa Mayang Sutera, Eyang?" tanya Jaka mencoba menyembunyikan rasa terkejutnya.
"Nanti juga kau tahu, Jaka. Namun yang pasti Mayang Sutera cantik," jawab Nyi Selasih menggoda.
"Ah, kenapa hal itu yang lebih dahulu Eyang beri tahukan?" tanya Jaka.
"Kau tak suka melihat gadis cantik?" goda Nyi Selasih makin jauh.
Jaka hanya melempar pandangannya ke tempat lain ketika mendengar pertanyaan Nyi Selasih.
"Awas kepalamu terbentur batu, Jaka," ujar Nyi Selasih mengingatkan.
Jaka langsung bergerak menghindar mendengar peringatan itu. Rupanya pemuda itu tidak menyadari mereka sudah tiba di kelokan sebelah kanan gua.
"Belum apa-apa kau sudah melamun, Jaka. Pasti kau sedang membayangkan kecantikan Mayang Sutera," goda Nyi Selasih lagi.
"Ah, Eyang," gumam Jaka pelan.
"Itu Mayang, Jaka," tunjuk Nyi Selasih ke arah kanan sudut ruangan.
Jaka mengikuti arah telunjuk Nyi Selasih yang menunjuk ke suatu tempat. Dan memang benar, pada satu sisi ruangan yang ditunjuk Nyi Selasih, tengah duduk seorang gadis cantik berpakaian jingga. Kulit gadis itu yang putih bening, sangat cocok dengan warna pakaian yang dikenakan. Dan bentuk wajahnya yang tirus sangat serasi dengan rambut sepunggung yang dikepang kelabang.
"Mayang, kemarilah," panggil Nyi Selasih setelah membiarkan Jaka menatap keberadaan dara cantik berpakaian jingga.
Mayang Sutera nampak terkejut, menyadari kehadiran Nyi Selasih bersama seorang pemuda tampan berpakaian kuning keemasan. Mayang Sutera sudah dapat menduga lelaki muda yang bersama Nyi Selasih adalah Jaka Sembada, namun tak urung dirinya terpukau juga menyaksikan sosok yang berjuluk Raja Petir.
"Pemuda ini Kakang Jaka yang selalu Eyang ceritakan padamu, Mayang," ujar Nyi Selasih pada Mayang Sutera yang sudah berdiri di sebelah kanannya.
Mata Mayang Sutera seketika meneliti sekujur tubuh Jaka. Dan ketika tatapan mata pemuda itu memergoki perbuatannya, Mayang Sutera segera menundukkan kepala dengan rasa malu.
"Betulkan Eyang tidak berbohong, Mayang? Jaka memang tampan seperti yang selalu Eyang ceritakan padamu," ucap Nyi Selasih membuat wajah Mayang Sutera tersipu merah.
"Ah, Eyang ," desah Mayang Sutera malu.
"Ayolah, kalian jangan ragu-ragu untuk berjabat tangan," ucap Nyi Selasih lagi.
Mayang Sutera menundukkan kepala semakin dalam, sedang Jaka melakukan hal yang sebaliknya. Matanya menatap wajah keriput Nyi Selasih.
"Sebaiknya memang lelaki yang memulainya, Jaka," saran Nyi Selasih.
Jaka segera mengulurkan tangan, meski agak kaku. Melihat tangan terulur, Mayang Sutera ragu-ragu menyambutnya. Tapi karena dirinya tak ingin mendengar godaan Nyi Selasih, maka segera disambutnya uluran tangan Jaka.
Geletar aneh seketika dirasakan Mayang Sutera ketika telapak tangannya tergenggam erat telapak tangan Jaka. Geletar aneh itu terus masuk ke dalam dadanya, hingga gadis cantik berpakaian jingga itu merasa dadanya berdebar hebat. Namun anehnya, debar jantung yang sanggup membuat sekujur tubuhnya bersimbah peluh terasa nikmat.
Apa yang dirasakan Mayang Sutera saat bersalaman, rupanya dialami pula oleh Jaka. Lelaki muda usia yang memiliki kesaktian yang sukar dicari tandingannya itu, merasa jantungnya berdetak hebat. Suatu perasaan aneh tiba-tiba menelusup masuk ke dalam hatinya dan mengisi tempat kosong di situ.
"Ehm!"
Sebuah deheman lembut Nyi Selasih semakin membuat perasaan Mayang Sutera dan Jaka bertambah tidak menentu. Gambaran itu terlihat jelas dari wajah Mayang Sutera yang bersemu merah bagai kepiting rebus.
Tetapi tidak demikian dengan Jaka, lelaki muda usia yang berjuluk Raja Petir terlalu pandai menyembunyikan perasaan. Dengan telapak tangan masih menggenggam erat telapak tangan Mayang Sutera, Jaka menyebutkan namanya.
"Namaku Jaka," ucap Jaka mantap. "Siapa namamu?!"
"Aku Mayang, Kakang," jawab dara cantik berpakaian jingga. "Mayang Sutera."
Jaka menatap lekat wajah Mayang Sutera. Tak disangka, gadis cantik dengan rambut dikuncir kelabang membalas tatapannya. Seketika itu juga dua tatapan mata penuh kelembutan bertemu. "Ehm!"
Nyi Selasih kembali berdehem, namun sesungguhnya hati perempuan berusia lebih dari delapan puluh tahun itu bahagia tiada terkira. Niatnya untuk mempersatukan Jaka dan Mayang Sutera mulai menemui titik terang.
"Ada sesuatu yang lebih penting kalian ketahui, daripada berpandang-pandangan seperti itu," tukas Nyi Selasih pelan.
Perempuan berusia lanjut dengan pakaian longgar putih itu, beranjak dari depan Jaka dan Mayang Sutera. Dan kedua muda-mudi yang baru pertama berjumpa itu segera mengikuti langkah Nyi Selasih dengan perlahan-lahan.
"Apakah sesuatu itu ada hubungannya dengan kematian Eyang Legar, Eyang?" tanya Jaka tak sabar.
Perempuan tua berpakaian putih itu menggelengkan kepala.
"Lalu apa, Eyang?"
"Warisan," jawab Nyi Selasih mantap, "Warisan...?" ulang Jaka bergumam.
Nyi Selasih tersenyum melihat kelakuan Jaka. Dengan satu langkah mundur, perempuan tua itu menempelkan tangannya ke punggung Jaka.
"Warisan, Jaka," ulang Nyi Selasih berbisik. "Warisan yang harus kau rebut keberadaannya."
"Maksud, Eyang?"
***
DUA
Nyi Selasih segera menceritakan perihal sosok sakti, yang puluhan tahun silam pernah malang melintang di dunia persilatan. Masa almarhum Raja Petir turut menggeluti rimba keras demi mengusir tokoh-tokoh keji golongan hitam.
"Jadi Sabuk Petir yang kumiliki sekarang belum lengkap keberadaannya, Eyang?" ucap Jaka menegaskan.
Nyi Selasih menganggukkan kepala.
"Sabuk Petir berwarna kuning keemasan itu sebenarnya memiliki warna asli hijau, Jaka. Kalau kau mampu merebut Sabuk Petir warna biru dari tangan cucu Ki Durja Kelada, lalu kau persatukan dua sabuk berwarna berbeda itu, maka Sabuk Petir akan berubah hijau. Tapi merebut Sabuk Petir dari tangan cucu Ki Durja Kelada bukan persoalan ringan, karena bukan tidak mungkin Ki Durja Kelada telah menurunkan sebagian dari seluruh kesaktiannya pada penerus yang akan muncul sebagai penguasa rimba persilatan. Itu adalah cita-citanya yang tak pernah terwujud ketika almarhum ayahku masih hidup," papar Nyi Selasih panjang lebar.
"Apakah Ki Durja Kelada saat ini masih hidup, Eyang?" tanya Jaka.
"Entahlah, namun yang jelas Eyang belum mendengar berita kematiannya. Kalau pun masih hidup, usianya tentu sudah terlalu renta untuk turut meramaikan rimba persilatan saat ini. Itu sebabnya lelaki itu memunculkan cucunya untuk menguasai rimba persilatan seperti dicita-citakannya dulu," jelas Nyi Selasih.
Jaka termenung sejenak mendengar penjelasan Nyi Selasih, pikirannya menerawang mencari gambaran sosok renta Ki Durja Kelada dan cucunya yang mungkin memiliki kesaktian sama.
"Terus terang Eyang katakan, Eyang tidak tahu kapan Ki Durja Kelada memunculkan cucunya untuk meneruskan cita-citanya menguasai rimba persilatan. Namun dari kejadian yang menimpa Mayang, Eyang bisa menyimpulkan cucu Ki Durja Kelada sudah turun gunung," sambung Nyi Selasih seraya menatap wajah Mayang Sutera.
Jaka juga ikut memandang wajah Mayang Sutera. Tatapan Jaka diartikan Nyi Selasih sebagai suatu keingintahuan, atas kejadian yang dialami gadis berpakaian jingga.
"Tiga purnama setelah kepergianmu, Eyang memutuskan tidak akan meninggalkan tempat ini. Eyang melakukan kewajiban pada sang Pencipta Alam Raya. Seluruh jiwa dan ragaku, Eyang serahkan kepadaNya. Namun kenyataannya, panggilan lain yang tak kalah penting membuat Eyang harus meninggalkan tempat ini. Naluri Eyang mengatakan, Eyang harus berbuat sesuatu seperti yang pernah dilakukan Ki Legar.
Eyang menuruti panggilan hati nurani itu, dan ternyata Eyang menjumpai sebentuk keangkaramurkaan yang dilakukan beberapa lelaki yang memiliki kesaktian tinggi. Mereka melakukan pembantaian pada sebuah perguruan yang kemudian Eyang ketahui bernama Gelang Emas. Namun kiranya sang Pemelihara Jagat hanya mengizinkan Eyang menyelamatkan selembar nyawa, selebihnya Eyang tak bisa berbuat apaapa."
"Dan orang yang berhasil diselamatkan itu Mayang Sutera?" potong Jaka.
"Dugaanmu tepat, Jaka," sahut Nyi Selasih. "Lalu siapa lelaki yang telah membuat bencana
di perguruan Gelang Emas, yang menewaskan seluruh penghuninya?" selidik Jaka.
"Karena Eyang baru sekali bertemu dengan mereka, tentu Eyang tidak mengenalinya. Namun dari cerita Mayang, Eyang dapat menyimpulkan salah satu dari mereka adalah cucu Ki Durja Kelada," jelas Nyi Selasih.
"Cucu Ki Durja?" ulang Jaka Sembada dalam hati.
"Yang menambah kuat kesimpulan Eyang adalah pemberitahuan Mayang Sutera akan julukan salah seorang dari mereka, yakni Dewa Petir," tambah Nyi Selasih menegaskan.
"Dewa Petir?!" ulang Jaka terkejut.
"Pemuda itu sebaya denganmu, Kakang Jaka. Dan berpakaian serba biru serta mengenakan sabuk biru," ucap Mayang Sutera menambahkan.
"Sabuknya dapat menimbulkan seberkas sinar keperakan bagai sambaran petir. Itu yang menyebabkan ayahku tak mampu menandingi kesaktiannya, begitu juga orang-orang perguruan Gelang Emas. Sabuk biru yang mampu menciptakan lontaran kilat bagai petir itu membuat semua tak berkutik. Apalagi ketika pemuda yang mengaku berjuluk Dewa Petir mengeluarkan sebilah pedang pusaka yang dina-makan 'Pedang Petir'.
Seluruh penghuni Perguruan Gelang Emas tak mampu berbuat apa-apa. Pedang Petir pemuda yang berjuluk Dewa Petir begitu menggiriskan. Setiap satu jengkal pedang pusaka itu bergerak dari tempatnya, maka beberapa nyawa orang perguruan Gelang Emas dapat dipastikan melayang. Sebetulnya nasibku juga seperti mereka, kalau saja Eyang Selasih tidak segera menyambar tubuhku dan membawa lari ke tempat ini," papar Mayang Sutera sejelas-jelasnya.
"Ada urusan apa antara Perguruan Gelang Emas dengan lelaki yang mengaku berjuluk Dewa Petir, hingga pemuda itu melakukan kekejian begitu rupa?" tanya Jaka sambil menatap tajam wajah Mayang.
"Setahuku ayah tak punya urusan apa-apa dengan Dewa Petir, apalagi menurut ayah dirinya baru pertama kali bertemu dengan pemuda yang mengaku berjuluk Dewa Petir. Namun dari mulut Dewa Petir aku sempat mendengar, bahwa tujuan perbuatannya itu untuk mengacau kehidupan rimba persilatan golongan putih dan memancing seorang lelaki muda yang berjuluk Raja Petir," jawab Mayang Sutera mantap.
"Memancingku?" ulang Jaka Sembada dengan tatapan mata dialihkan ke wajah Nyi Selasih.
"Dugaanku pemuda itu masih ingin memiliki pusaka Raja Petir yang telah kau warisi, Jaka," jelas Nyi Selasih seolah mengerti arti tatapan Jaka.
"Kalau begitu aku memang harus berhadapan dengan Dewa Petir, Eyang," tukas Jaka Sembada.
"Tentu saja, Jaka. Tetapi tugasmu bukan hanya merebut pusaka mendiang ayahku yang telah dicuri Ki Durja Kelada, tapi juga harus menghentikan sepak terjang cucu Ki Durja yang bercita-cita mengacaukan persilatan golongan putih," sahut Nyi Selasih.
Jaka menatap wajah Nyi Selasih dalam-dalam. Sebenarnya pemuda itu ingin tahu lebih jauh mengenai Ki Durja Kelada. Apa hubungannya dengan ayah kandung Nyi Selasih? Untuk apa Ki Durja mencuri benda-benda pusaka milik ayah Nyi Selasih? Dan mengapa Sabuk Petir terdiri dari dua bagian?
Tetapi Jaka hanya menyimpan rasa ingin tahunya dalam hati. Namun pemuda itu tetap berharap, semuanya akan terjawab tanpa harus meminta penjelasan secara langsung.
"Pada dasarnya Ki Durja lelaki yang baik. Lelaki itu teman sepermainan ayah. Hingga ayah menaruh kepercayaan penuh padanya. Juga ketika ayah mengetahui hubungan Ki Durja dengan tokoh sakti golongan hitam yang berjuluk Hantu Lembah Gersang, sedikit pun kepercayaan ayah padanya tidak berubah. Namun ketika ayah menyadari pedang pusaka dan pasangan sabuk kuning raib dari tempatnya, barulah ayah percaya Ki Durja telah terpengaruh Hantu Lembah Gersang," papar Nyi Selasih seperti mampu membaca pertanyaan yang terpendam di hati Jaka.
"Lalu mengapa sabuk pusaka itu dapat terpisah begitu rupa, Eyang?" tanya Mayang Sutera.
Jaka senang sekali mendengar pertanyaan yang dilontarkan Mayang Sutera. Dengan demikian, pertanyaan yang sengaja dipendamnya kini akan menemukan jawabannya.
"Sabuk Petir memang terdiri dari dua bagian, Mayang. Satu berwarna biru dan yang satunya lagi kuning. Jika seseorang ingin memiliki ilmu Sabuk Petir, maka orang itu harus lebih dulu menguasai penggunaan sabuk biru, baru setelah itu mempelajari sabuk kuning. Akan tetapi, Jika seseorang ingin langsung mempelajari ilmu sabuk kuning, maka orang itu harus memiliki tenaga sakti lebih dahulu agar dapat menyesuaikan diri dengan perbawa yang ada pada Sabuk Petir itu. Namun bukan berarti sabuk kuning lebih ampuh dari sabuk biru. Keduanya mempunyai keampuhan sama. Hanya cara penguasaannya harus dari sabuk biru terlebih dahulu," jelas Nyi Selasih lagi.
Perempuan berusia lanjut yang mengenakan pakaian longgar putih, bangkit dari duduknya seraya menarik napas dalam-dalam.
"Yang menjadi kekhawatiran Eyang adalah Pedang Petir yang kini berada di tangan Dewa Petir. Kalau tenaga dalamnya telah mencapai titik sempurna, ditambah dengan penguasaan jurus-jurusnya yang dahsyat, Eyang tidak yakin kau dapat merebut pusaka itu tanpa harus bekerja keras menguras tenaga. Dewa Petir bukan lawan yang ringan untukmu, Jaka. Namun ada satu keuntungan yang telah tergenggam di tanganmu," Nyi Selasih sengaja menghentikan perkataannya untuk memancing perubahan diri Jaka. hu.
"Keuntungan apa, Eyang?" tanya Jaka ingin tahu.
"Betul, Eyang. Mayang juga pingin tahu," tambah gadis berpakaian jingga.
"Jaka memiliki kekuatan tenaga suci, karena berada pada pihak yang benar dan berhak atas warisan almarhum Raja Petir," jawab Nyi Selasih.
"Ah, mudah-mudahan Kakang Jaka mampu menandingi Dewa Petir, Eyang. Dia harus menebus kematian orang tuaku dan runtuhnya Perguruan Gelang Emas," ucap Mayang Sutera sedikit melontarkan kegeramannya.
"Tidak baik mendendam seperti itu, Mayang," cegah Nyi Selasih.
"Tapi orang-orang seperti Dewa Petir memang harus disingkirkan, Eyang. Agar tidak selalu membuat keonaran," sangkal Mayang Sutera.
Nyi Selasih tak menimpali ucapan Mayang Sutera, matanya kini beralih pada Jaka Sembada.
"Tinggallah di sini untuk beberapa malam, Jaka. Perdalam semua yang kau miliki. Dan coba ciptakan jurus-jurus yang mungkin akan berguna untuk menghadapi cucu Ki Durja Kelada. Eyang ingin kau berhasil merebut hak waris itu," pinta Nyi Selasih.
Jaka hanya menundukkan kepala mendengar ucapan Nyi Selasih. Dan ketika kepalanya terangkat, tokoh muda yang berjuluk Raja Petir berkata perlahan, "Doakan aku, Eyang. Semoga apa yang kita harapkan mendapat restu sang Pemelihara Alam Semesta."
Nyi Selasih menganggukkan kepala mendengar tutur kata lembut Jaka.
***
Sudah dua belas malam Jaka menetap di kediaman Nyi Selasih. Selama kurun waktu dua belas malam itu, Jaka tak pernah melewatkan hari-harinya untuk tidak memperdalam ilmu-ilmu kesaktian yang dimiliki.
Ditemani seorang gadis cantik berpakaian jingga, lelaki muda yang berjuluk Raja Petir terus mengasah ketajaman ilmunya. Dan pada hari yang ketiga belas, berkat kepekaan dan kecemerlangan otaknya, Jaka mampu menciptakan empat jurus yang cukup dahsyat
"Aku ingin kau memainkan empat jurus ciptaanmu secara beruntun, Kakang," pinta Mayang Sutera. "Bukankah besok kita akan meninggalkan tempat ini, meninggalkan Eyang Selasih? Jadi Kakang tak punya waktu lagi untuk memperagakan jurus-jurus yang dahsyat itu," lanjut Mayang Sutera sambil memegang punggung tangan Jaka.
"Tanpa kau minta pun aku akan memainkannya, Mayang," jawab Jaka sambil membalas cekalan tangan gadis cantik berpakaian jingga.
"Ayolah, Kakang. Aku sudah tak sabar menyaksikan jurus-jurus yang akan mampu menyingkirkan si Keji Dewa Petir!" ketus ucapan yang keluar dan mulut Mayang Sutera.
"Baik!"
"Hup!"
Jaka segera melejit menjauhi tempat duduk Mayang Sutera. Gadis cantik berpakaian Jingga pun melakukan hal yang sama. Gerakannya yang ringan dan cepat dilakukan untuk memperlebar jarak dengan Jaka yang hendak memperagakan jurus-jurusnya yang dahsyat. Dalam jarak tak kurang dari dua belas tombak, Mayang Sutera menyaksikan dengan tatapan mata tak berkedip setiap gerakan yang dilakukan Jaka.
Gadis cantik dengan rambut sebahu dikepang kelabang, sangat kagum dengan jurus baru ciptaan Jaka yang diberi nama jurus 'Menggiring Awan' Pada jurus itu Jaka mengandalkan kecepatan geraknya yang sukar diikuti tatapan mata biasa. Sementara kedua tangannya yang terpentang lebar, didukung oleh kedudukan kaki pada kuda-kuda sejajar.
Kalau disaksikan secara sepintas, jurus 'Menggiring Awan' nampak begitu sederhana. Namun di balik kesederhanaan itu, tersimpan terobosan-terobosan dahsyat dari perubahan kecepatan gerak tangan dan kaki Jaka. Setiap perubahan gerak selalu diikuti dengan pengerahan tenaga dalam sempurna.
Demikian pula dengan jurus-jurus lain yang diperagakan lelaki muda berpakaian kuning keemasan. Jurus 'Petir Memangsa Elang', 'Lejitan Lidah Petir' dan 'Hembusan Maut' diperagakan Jaka dengan sempurna. Dan itu cukup membuat gadis berpakaian jingga bertambah yakin sepak terjang Dewa Petir tak akan bertahan lama.
"Jurus-jurusmu sangat dahsyat, Kakang. Aku yakin Dewa Petir tak akan bertahan lama pada kekejiannya," ucap Mayang Sutera sambil menyeka peluh yang memenuhi wajah tokoh muda berpakaian kuning keemasan.
"Aku juga berharap demikian, Mayang," balas Jaka sambil menatap wajah gadis di hadapannya.
Mayang Sutera merasa risih melihat tatapan Jaka yang seperti itu.
"Tatapan mu nakal, Kakang," umpat Mayang Sutera sambil menundukkan kepala menekuri bagian bawah pakaiannya.
"Karena kau cantik dan baik, Mayang," puji Jaka polos.
Lelaki berpakaian kuning keemasan sesungguhnya tak bermaksud melontarkan pujian, namun pemuda itu merasa ada kekuatan aneh yang membuatnya tak mampu menahan ucapan itu. Mayang Sutera yang mendengar pujian Jaka semakin menundukkan kepala. Sementara hawa panas dirasakan menjalari seluruh permukaan wajahnya. Seperti juga Jaka yang baru pertama kali memuji kecantikan seorang gadis, Mayang Sutera pun baru pertama kali itu mendapat pujian yang didengarnya begitu tulus.
Sejenak dua insan berlainan jenis yang tengah dilanda sebentuk perasaan asing, sating membisu. Namun kebisuan itu mereka rasakan sebagai suatu kenikmatan yang tak ternilai. Namun sayang, kenikmatan itu segera terusir ketika seorang perempuan tua berpakaian longgar putih datang dengan sebuah deheman, yang membuat Jaka dan Mayang Sutera menoleh seketika.
"Ehm!"
***
TIGA
Nyi Selasih perlahan menghampiri Jaka dan Mayang Sutera. Wajahnya yang tersungging seulas senyum, menampakkan gurat ketuaan yang memancarkan sinar kebahagiaan yang dalam.
"Sebelum meninggalkan tempat ini, Eyang harap kalian memperagakan ilmu-ilmu kalian untuk beberapa jurus saja. Eyang ingin kalian berhadapan seperti menghadapi musuh, jangan ragu-ragu untuk saling menjatuhkan sesama kalian," ucap Nyi Selasih lembut.
"Maksud Eyang, Mayang akan pergi ke. "
"Mayang akan turut bersamamu meninggalkan tempat ini, Jaka," sahut Nyi Selasih memotong perkataan Jaka.
Lelaki muda berpakaian kuning keemasan, terpana mendengar ucapan perempuan tua yang telah dianggapnya sebagai pengganti orangtua, Eyang dan guru.
"Eyang ingin Mayang menemani pengembaraanmu, Jaka," jelas Nyi Selasih menyadarkan pemuda itu dari rasa terkejutnya.
Lelaki muda yang berjuluk Raja Petir sejenak memandang wajah keriput Nyi Selasih, dan pada saat berikutnya tatapan Jaka menelusuri wajah cantik Mayang Sutera.
"Jangan menganggap remeh kemampuan Mayang Sutera, Jaka," ucap Nyi Selasih membuat Jaka terkejut. "Sebelum Mayang tinggal bersamaku, dia telah berlatih selama sembilan tahun di bawah tempaan ayahnya di Perguruan Gelang Emas. Bisa kau bayangkan setinggi apa kemampuannya dalam ilmu silat. Apalagi setelah seluruh kemampuanku kuturunkan padanya. Kau pasti akan kerepotan menghadapi serangan-serangan dahsyat Mayang," lanjut Nyi Selasih.
"Ilmu silat yang kau miliki pasti sudah mencapai tingkat tinggi, Mayang," ujar Jaka menimpali ucapan Nyi Selasih.
"Kau lihat sendiri, Kakang," sahut Mayang Sutera.
"Ayo ambil senjatamu, Mayang. Dan gempur kakang mu habis-habisan. Jangan beri kesempatan," perintah Nyi Selasih,
Mayang Sutera segera beranjak menuju tempat di mana Jaka melihatnya sedang duduk, pertama kali
"Kau sudah slap, Kakang?" tanya Mayang Sutera setelah mengambil senjatanya yang berupa sebuah payung kecil, terbuat dari lempengan logam kuning.
"Aku siap, Mayang," sahut Jaka sambil melangkah mundur satu langkah.
"Kita mulai sekarang, Kakang. Kuharap kau bersedia mengeluarkan jurus-jurus ciptaanmu yang baru," pinta Mayang Sutera sambil mundur satu langkah.ka.
"Baik. Seranglah aku lebih dahulu," putus Ja-Gadis cantik berpakaian jingga yang diberi julukan Dewi Payung Emas oleh Nyi Selasih, segera membuat gerakan ke samping kiri. Tangan kirinya terkepal, seolah mendapat dorongan kuat dari telapak tangan kanan yang memegang payung. Sementara sepasang kaki rampingnya bergerak ringan tanpa menimbulkan suara.
"Tahan seranganku, Kakang. Hiaaa...!"
Tubuh gadis cantik itu melesat cepat. Gerakan yang dilakukan berkesan begitu ringan, namun mampu menimbulkan suara cericit tajam dari telapak tangan yang membentuk cakar.
Jaka bersikap tenang menghadapi serangan Mayang Sutera yang tertuju pada lambung dan dadanya. Namun bukan berarti pemuda itu meremehkan kemampuan gadis cantik asuhan Nyi Selasih. Jaka hanya ingin menunggu serangan Mayang Sutera sampai pada jarak beberapa jengkal.
Wrut! "Hup!"
Jaka segera berkelit ketika dua jengkal lagi serangan Mayang Sutera merobek lambung dan dadanya. Ringan dan sigap cara mengelak yang dilakukan lelaki muda yang berjuluk Raja Petir. Namun Mayang Sutera bukan gadis sembarangan, ketika Jaka dengan mudah mengelakkan serangan pertamanya, Mayang Sutera segera memberikan serangan susulan yang tak kalah cepat dan dahsyat.
"Baik. Seranglah aku lebih dahulu," ujar Jaka. "Tahan seranganku, Kakang...!" Dewi Payung
Emas bergerak ke kiri. Sementara, tangan kanannya yang memegang payung diayunkan ke depan.
Melihat ini, Raja Petir hanya bersikap tenang Pemuda itu menunggu serangan Mayang Sutera sampai pada jarak beberapa jengkal!Sebuah sambaran tangannya tertuju ke pelipis Jaka dengan kecepatan tinggi.
"Hiaaa...!"
"Heh?!"
Jaka terkejut melihat gerakan tangan Mayang yang tiba-tiba saja sudah berada di depan wajahnya. Tapi bukanlah Raja Petir jika dirinya gugup menghadapi ancaman dahsyat itu, dengan menarik kepalanya ke belakang, cengkeraman dua telapak tangan Mayang Sutera yang terarah ke kiri dan kanan pelipisnya mampu dielakkan dengan sigap. Bahkan dalam kedudukan tubuh melenting ke belakang, Jaka mampu memberikan serangan balasan dengan mencoba menotok ulu hati Mayang Sutera.
"Uts!"
Mayang terkejut mendapatkan serangan yang tak terduga dari Jaka. Gadis cantik itu meloncat sebisanya ke belakang, menghindari serangan Jaka.
Serangan kini diambil alih Jaka. Pemuda itu segera memperagakan jurus baru, hasil ciptaannya. Tubuh Jaka kini berada di udara dengan dua telapak tangan terarah ke depan, seperti gerakan terkaman burung elang, dan dua telapak tangan Jaka mencari sasaran dada dan kepala Mayang Sutera.
"Jaga seranganku, Mayang!"
"Hiyaaa...!"
Gadis cantik berpakaian jingga yang memang sudah menyaksikan jurus 'Petir Menyambar Elang' yang cukup dahsyat, segera memutar senjatanya yang berupa payung dan terbuat dari logam keras kuning. Payung yang masih kuncup itu berputar cepat hinggap menimbulkan deru keras.
Wruuuk! Wruuuk!
Jaka yang tak menduga Mayang melakukan tangkisan dengan mempergunakan senjata, segera mengurungkan serangannya. Tetapi karena kecepatan serangan Jaka cukup cepat, maka pemuda itu kerepotan sendiri.
Lelaki berpakaian kuning keemasan itu menarik kembali tangannya, untuk menghindari benturan dengan senjata Mayang Sutera yang diputar dengan pengerahan tenaga dalam tinggi, sementara tubuh Jaka yang berada di udara segera dilempar ke kanan. Setelah berguling di tanah tiga kali, dengan bertumpu pada telapak tangannya, Jaka melejit ringan ke udara dan kemudian mendarat dengan manis.
"Hup!"
***
"Serang Jaka dengan senjatamu, Mayang!" perintah Nyi Selasih melihat Mayang Sutera berhasil mengelakkan serangan Jaka yang mempergunakan jurus 'Petir Menyambar Elang'.
Mayang Sutera yang mendengar ucapan Nyi Selasih, segera melaksanakan perintah nenek tua berpakaian longgar putih itu.
Payung kuncup yang tadi dipergunakan untuk menangkis serangan Jaka, kini sudah terkembang. Nampak ruas-ruas payung berujung lancip bagai mata tombak. Dan dapat dipastikan ujung-ujung lancip itu dipergunakan sebagai senjata untuk menyerang.
Wrrrt...! Wrrrt...! Wrrrt...!
Payung kecil yang terbuat dari logam keras yang kini terkembang itu berputar cepat. Bunyi bergemuruh mengiringi perputaran senjata yang kini tak nampak lagi wujud aslinya, hanya sinar kuning menyilaukan mata yang nampak melingkar-lingkar di depan dada Mayang Sutera.
Sementara angin keras yang keluar dari putaran senjata yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, mampu menerbangkan kerikilkerikil yang berserakan di sekitar arena pertarungan. Sebagian dari kerikil-kerikil itu meluruk deras ke arah Jaka.
"Gila!" gumam Jaka dalam hati. Lelaki muda yang menjadi lawan Mayang Sutera segera melakukan gerakan cepat menghindari terjangan kerikil-kerikil yang terhalau putaran senjata gadis cantik itu. "Hiaaat..!"
Pada saat Jaka sibuk menghindari lontaran kerikil-kerikil, Mayang Sutera segera menghentikan gerakan payungnya dan mengimbangi dengan lesatan tubuh ke arah Jaka. Lesatan tubuh yang cukup cepat dengan disertai tebasan kuat payung logam yang mengarah ke leher Jaka, membuat lelaki berpakaian kuning keemasan terhenyak sesaat
"Heh?!"
"Hip!" Wruk!
Sambaran senjata Mayang Sutera lolos dari sasaran ketika tubuh Jaka melejit cepat dengan menggunakan jurus 'Lejitan Lidah Petir'. Mayang Sutera yang sudah mengetahui kecepatan gerak jurus 'Lejitan Lidah Petir' mencoba mengimbangi dengan kecepatan gerak yang dimilikinya. Kembali tubuh gadis cantik berpakaian jingga mencelat ke arah Jaka. Payungnya yang terkembang, kembali ditebas ke bagian tubuh lawan yang mematikan.
Wruk! "Hip!"
Jaka melejitkan tubuhnya untuk menghindari terjangan senjata Mayang Sutera yang dahsyat. Dan ternyata gerakan yang dilakukan Jaka lebih cepat dari sambaran payung kecil Mayang Sutra. Melihat serangannya berhasil dielakkan Jaka, gadis cantik berambut kepang kelabang kembali melancarkan seranganserangan dahsyat. Tapi kali ini Mayang Sutera cukup berhati-hati melakukannya, sebab gadis itu tahu bahwa di balik gerakan-gerakan menghindar Jaka, tersembunyi serangan balik yang tak kalah cepat dan dahsyatnya.
Dugaan gadis cantik berpakaian jingga memang tak meleset sedikit pun. Ketika lelaki berpakaian kuning keemasan berhasil menghindari serangannya dengan menggunakan jurus 'Lejitan Lidah Petir', pemuda itu segera mempertontonkan kebolehannya. Serangan balasan dengan mengerahkan jurus 'Petir Menyambar Elang' seketika terlihat. Tubuh Jaka yang berada di udara berbalik cepat dan meluruk ke arah Mayang Sutera dengan dua telapak tangan menyambar ke arah kepala dan dada.
"Hup!"
Gadis cantik berpakaian jingga yang berjuluk Dewi Payung Emas segera melakukan loncatan cepat ke belakang, menghindari serangan yang seperti terkaman seekor burung elang. Cepat dan manis cara menghindar yang dilakukan Mayang Sutera. Tubuhnya yang berada di udara berputaran dua kali, dan ketika mendarat payung kuningnya sudah berputaran menghadang luncuran tubuh Jaka.
Wrrrt..!
Melihat Mayang Sutera kembali memainkan senjata andalannya, Jaka segera merubah jurus, hingga tubuhnya mencelat ke belakang dengan mengerahkan jurus 'Lejitan Lidah Petir'.
"Hop!
Tubuh Jaka mendarat dengan manis sejauh lima tombak dari hadapan gadis berambut panjang dikepang kelabang. Dan di samping kanan Jaka, kirakira dua setengah tombak, berdiri sosok tua Nyi Selasih dengan wajah terulas senyum kebanggaan.
"Sungguh menakjubkan gerakan-gerakan yang kalian lakukan, indah namun berbahaya," puji Nyi Selasih.
"Semua ini berkat Eyang juga," kilah Jaka merendah.
"Benar, Kakang. Tanpa Eyang, kita bukan apaapa," timpal Mayang Sutera.
"Jangan kalian lupakan kebesaran sang Pencipta Semesta Alam ini," tukas Nyi Selasih memperingatkan.
"Tentu saja tidak, Eyang," sahut Jaka.
"Syukur jika memang demikian," ucap Nyi Selasih. "Sekarang beristirahatlah. Besok, sebelum fajar kalian harus sudah meninggalkan tempat ini," lanjut Nyi Selasih sambil menatap wajah Jaka dan Mayang bergantian.
Dalam hati, Nyi Selasih mengagumi keserasian Jaka dan Mayang Sutera. Ah, semoga mereka dapat mempertahankan kebersamaannya, bisik hati Nyi Selasih.
***
EMPAT
Sebelum ayam berkokok, Mayang Sutera sudah terjaga dari tidurnya yang pendek, begitu juga Nyi Selasih. Namun tidak demikian dengan Jaka, semalaman pemuda itu tidak bisa memejamkan mata. Pikirannya bercampur aduk antara sosok lelaki muda yang berjuluk Dewa Petir dan sosok gadis cantik jelita yang bernama Mayang Sutera. Jaka tahu perasaan apa yang menjalari hatinya kini terhadap Mayang Sutera. Cinta. Ya, cinta. Apakah Mayang Sutera juga merasakan hal yang sama? tanya hati Jaka.
"Semalaman kau tidak tidur, Jaka. Apa yang kau pikirkan?" tanya Nyi Selasih sambil membetulkan letak rambut yang sudah memutih seluruhnya. "Kau memikirkan cucu Ki Durja Kelada yang berjuluk Dewa Petir itu? Atau kau memikirkan...," Nyi Selasih menggantung ucapannya, namun matanya yang melirik Mayang Sutera membuat kalimat yang menggantung itu menjadi jelas maknanya.
Jaka hanya menundukkan kepala mendengar ucapan perempuan tua itu, yang sangat tepat dengan perasaan hatinya.
"Mayang juga begitu, Jaka," lanjut Nyi Selasih kemudian. "Eyang lihat tidurnya begitu gelisah. Tak bisa diam."
Mayang Sutera mendengar perkataan Nyi Selasih, tidak dapat membantah kebenaran perkataan itu. Itu sebabnya gadis cantik berambut panjang dikepang kelabang memilih diam daripada mengomentari ucapan Nyi Selasih.
"Sekarang saatnya kau serahkan apa yang telah kau kerjakan berminggu-minggu ini, Mayang. Suruh Jaka mengenakannya, biar kakang mu bertambah gagah dan tampan," perintah Nyi Selasih kemudian.
Jaka terperangah mendengar ucapan Nyi Selasih. Namun ketika melihat Mayang Sutera mengambil sesuatu dan membawa ke hadapannya, barulah Jaka mengerti maksud ucapan Nyi Selasih.
"Yang berwarna putih ini pakaian dalam, Kakang. Sedang yang kuning keemasan lapisan luarnya," jelas Mayang Sutera sambil menunjukkan dua pakaian yang warnanya berbeda. "Pakaian yang dikhususkan untuk Kakang ini adalah hasil karya Eyang. Sedang aku hanya membantu menyulam nya sedikit," lanjut gadis cantik berpakaian jingga.
"Gadismu pandai merenda, Jaka," kilah Nyi Selasih mendengar ucapan Mayang Sutera. "Gantilah pakaianmu dengan yang baru," perintah Nyi Selasih.
Jaka tentu saja tak menolak satu pasang pakaian yang disodorkan Mayang Sutera. Dan dengan mengambil tempat yang agak tersembunyi, Jaka mengenakan pakaian hasil buatan dua perempuan yang memberikan perhatian lebih padanya. "Wuaaah! Seperti pangeran saja kau, Cucuku," puji Nyi Selasih. "Seorang pangeran dan sekaligus seorang pendekar," lanjut perempuan berpakaian putih dengan tatapan mata merayapi sekujur tubuh Jaka.
Sedangkan Mayang Sutera tak mampu berkatakata melihat perubahan diri Jaka. Di matanya penampilan pemuda yang berjuluk Raja Petir ini luar biasa mempesona, begitu gagah dan tampan.
"Kakang mu bertambah gagah dan tampan, bukan?" tanya Nyi Selasih pada Mayang Sutera.
Gadis cantik berpakaian jingga tak menjawab pertanyaan Nyi Selasih, namun kepalanya terangguk sebagai tanda setuju dengan ucapan itu.
Sementara Jaka yang mengenakan pakaian baru yang berupa pakaian dalam terbuat dari bahan lembut berwarna putih dan pakaian luar berupa jubah longgar berwarna kuning keemasan, menjadi agak risih dengan ucapan Nyi Selasih dan anggukan kepala Mayang Sutera.
"Kau akan bertambah gagah jika berhasil menyandang Pedang Petir yang berada di tangan Dewa Petir, Jaka," tambah Nyi Selasih.
"Semoga harapan Eyang direstui sang Penguasa Jagat ini," sambut Jaka pelan.
Nyi Selasih menatap wajah Jaka dalam-dalam, sebuah tatapan mata yang begitu sarat dengan kasih sayang. Tatapan seperti itu juga diberikan pada Mayang Sutera.
"Sekarang kuizinkan kalian pergi meninggalkan tempat ini. Eyang harapkan kalian menjadi pasangan abadi yang selalu membela kebenaran dan mencegah kebatilan. Biarkan Eyang sendiri di tempat ini. Eyang ingin memberikan sisa hidup ini untuk sang Pencipta Makhluk dan Jagat Raya," pelan namun pasti ucapan yang keluar dari mulut Nyi Selasih. "Eyang"
Mayang Sutera tak mampu menahan rasa harunya, mendengar ucapan perempuan tua yang telah menganggapnya sebagai cucu sendiri. Wajah gadis cantik itu dihiasi rona kemerahan. Selang beberapa lama kemudian, dari kelopak matanya mengalir butiran air mata membasahi pipinya yang berkulit putih halus.
"Eyang.... Sebenarnya tidak "
"Jangan khawatirkan keadaan Eyang di sini, Mayang. Eyang tidak sendirian di tempat ini. Eyang yakin, bila Eyang ingin selalu dekat dengan sang Pemelihara Jagat Raya, maka Dia pun akan selalu dekat dengan Eyang. Karena itu, buanglah rasa khawatir yang ada di hatimu. Tugasmu sebagai orang muda yang memiliki kepandaian ilmu silat adalah hidup bermasyarakat, dan mengamalkan ilmu yang kau miliki sebagai wujud pengabdianmu pada masyarakat, wujud tenggang rasa dan wujud kewajiban," jelas Nyi Selasih menyambung ucapan Mayang Sutera.
"Jika demikian, doakan kami agar selalu berada dalam lindungan sang Pencipta Alam Raya, dalam mengarungi rimba persilatan yang keras ini, Eyang," tukas Jaka dengan tatapan mata tertuju lurus ke wajah Nyi Selasih.
"Doa Eyang akan selalu menyertai kalian," sahut Nyi Selasih sambil menyentuh punggung Jaka. "Berangkatlah kalian sekarang, dan berpijaklah selalu pada kebenaran," ujar Nyi Selasih.
"Eyang"
Mayang Sutera berhambur, memeluk tubuh perempuan tua berpakaian longgar putih.
"Berangkatlah, Mayang. Jangan berkata apa-apa lagi, jika hanya membuat hatimu berat dan sedih," pinta Nyi Selasih. Mayang Sutera melepas pelukannya dan dengan punggung tangan disekanya air mata yang mengalir.
"Baiklah, Eyang. Kami pergi sekarang!" mantap ucapan yang keluar melalui bibir tipis Mayang Sutera.
"Begitu seharusnya ucapan seorang pendekar, tegas dan mantap," puji Nyi Selasih.
Terharu Mayang Sutera dan Jaka mendengar ucapan Nyi Selasih, mereka segera membungkukkan tubuh sebagai tanda hormat yang tinggi.
"Kami berangkat sekarang, Eyang," putus Jaka seraya bangkit diikuti Mayang Sutera.
Beberapa saat lamanya mata Jaka menatap wajah Nyi Selasih. Tapi pada saat berikutnya, tubuh lelaki yang terbalut jubah kuning keemasan sudah melesat cepat bagai kilat. Begitu juga dengan Mayang Sutera. Gadis cantik berpakaian jingga melakukan gerakan lari yang ringan dan cepat. Dua bayangan kuning dan jingga pun berkelebat cepat menembus tirai putih yang melindungi mulut gua dari pandangan luar.
***
Sang Surya sebentar lagi muncul dari peraduan. Terlihat dengan munculnya cahaya kemerahmerahan pada kaki langit sebelah timur. Sementara di mulut Desa Serungsing, nampak dua sosok tubuh berpakaian kuning keemasan dan jingga sedang berjalan perlahan."Ke mana tujuan pertama kita, Kakang?" tanya gadis cantik berpakaian jingga.
"Aku ingin mengunjungi Perguruan Hijau Kemuning lebih dahulu, Mayang. Tapi kalau kau punya rencana lain, kita lihat saja mana yang lebih baik," jawab Jaka. "Kalau aku boleh tahu, siapa yang kau kunjungi di Perguruan Hijau Kemuning, Kakang?" pinta Mayang Sutera halus.
Jaka menatap wajah gadis cantik yang menjajari langkahnya. Seulas senyum menghias wajahnya sebelum Jaka menjawab pertanyaan Mayang Sutera.
"Ibuku, adik kandungku, paman ku, dan yang lainnya," Jawab Jaka sedikit melucu.
"Yang lainnya siapa, Kakang?" tanya Mayang Sutera bernada sumbang.
Jaka tahu arti nada sumbang yang timbul dari pertanyaan Mayang Sutera. Niat untuk menggoda gadis cantik di sebelahnya muncul seketika.
"Yang lainnya tentu saja penghuni Perguruan Hijau Kemuning, Mayang," jawab Jaka. "Termasuk Seruni," lanjut Jaka. "Cukup lama aku tak melihat wajahnya."
Semburat rona merah seketika menghiasi wajah Mayang Sutera, ketika didengarnya sebuah nama yang begitu bagus. Mayang Sutera segera menundukkan kepala, menekuri tanah.
"Seruni pasti cantik," ucap Mayang Sutera, dan getaran suara gadis itu membuat Jaka terharu.
"Seruni memang cantik, Mayang," tegas Jaka. Mayang semakin menundukkan kepala. "Kau kenapa, Mayang?" selidik Jaka. Hatinya jadi tak enak melihat sikap gadis di sebelahnya yang kelihatan kecewa.
Mendengar pertanyaan Jaka, Mayang Sutera segera mengangkat kepala.
"Ah, tidak apa-apa, Kakang," jawab Mayang Sutera berbohong, padahal di dadanya ada gemuruh yang dahsyat ketika Jaka memuji kecantikan Seruni
"Mayang, Seruni anak kandung Paman Terala, berarti masih saudaraku. Memang tak salah jika aku menjalin hubungan dengan Seruni, maksudku hubungan antara lelaki dan perempuan. Tapi itu hal yang mustahil kulakukan, karena aku telah menganggap Seruni seperti Soraya, adik kandungku," jelas Jaka.
"Kakang"
"Kau punya tujuan lain, Mayang?" potong Jaka hati-hati.
Mayang Sutera menatap wajah Jaka.
"Kakang tidak keberatan jika kita lebih dulu mengunjungi Perguruan Gelang Emas?" pinta Mayang Sutera.
"Kenapa harus keberatan? Asal tujuan kita ke sana tidak untuk seorang pemuda yang...," goda Jaka dengan gaya lucu.
"Ih, Kakang!"
Mayang ingin meninju bahu Jaka, namun gerakannya terhenti di udara.
"Kenapa tidak dilanjutkan, Mayang?" goda Jaka lagi.
"Ada sesuatu yang hendak kuambil di perguruan ayahku, Kakang," tukas Mayang Sutera tidak mempedulikan godaan Jaka.
"Boleh aku tahu, apa itu?"
"Kitab Perguruan Gelang Emas," jawab Mayang Sutera pelan.
"Hm... Sebuah kitab pusaka. Apa kitab itu menurutmu masih ada di tempatnya?" selidik Jaka.
"Mudah-mudahan masih ada. Tempat penyimpanan Kitab Perguruan Gelang Emas sangat rahasia. Barangkali dari sekian banyak orang yang dipercayai ayah, cuma aku yang mengetahui tempat penyimpanan benda berharga itu," jawab Mayang Sutera menjelaskan.
"Kalau begitu kita harus cepat ke sana," putus Jaka. "Lalu bagaimana dengan rencana Kakang mengunjungi Perguruan Hijau Kemuning?"
"Kita laksanakan setelah kau mendapatkan kitab pusaka itu."
Terharu hati Mayang Sutera mendengar ucapan lelaki muda yang memiliki kesaktian begitu tinggi
"Terima kasih atas kesediaanmu, Kakang," ucap Mayang Sutera.
"Ayolah, jangan membuang-buang waktu," kilah Jaka sambil meraih tangan Mayang Sutera.
Tanpa banyak cakap lagi, Mayang Sutera mendahului Jaka melesat ke selatan. Sigap dan cepat gerakan yang dilakukan Mayang Sutera, cukup membuat kekaguman Jaka semakin bertambah.
"Hop!"
Jaka segera melakukan hal yang sama. Ringan saja kakinya menghentak di tanah, namun akibatnya sungguh luar biasa. Tubuh lelaki muda yang terbalut jubah kuning keemasan mampu menjajari tubuh gadis berpakaian jingga yang telah melesat lebih dahulu. Dua sosok tubuh berpakaian kuning keemasan dan jingga pun melesat cepat, hingga yang nampak hanya seleret sinar kuning dan jingga yang saling berkejaran.
Tanpa henti mereka berlari dengan pengerahan ilmu lari cepat tingkat tinggi, hingga dalam waktu yang tidak lama bangunan Perguruan Gelang Emas sudah terlihat Jaka dan Mayang Sutera. Mayang Sutera tercekat melihat beberapa orang berpakaian hitam berdiri di depan pintu gerbang Perguruan Gelang Emas. Mereka tampaknya sedang berjaga-jaga.
"Kau kenal mereka, Mayang?" tanya Jaka sambil memperhatikan gerak-gerik mereka.
Mayang Sutera menjawab pertanyaan Jaka dengan gelengan kepala.
"Kalau begitu mari kita datangi mereka baik-baik dan kita tanyakan keberadaan mereka di situ," ajak Jaka kemudian.
"Ayo, Kakang. Namun kita harus waspada. Gerak-gerik mereka sangat mencurigakan," tukas Mayang Sutera.
"Ya...!"
Jaka melangkah perlahan diiringi Mayang Sutera. Ketika setengah tombak lagi keduanya tiba di muka pintu gerbang, Jaka segera menyapa lelaki berpakaian hitam dengan tutur kata sopan.
“Maaf, Kisanak," ucap Jaka mantap. "Apakah ini bangunan Perguruan Gelang Emas?"
Lelaki berpakaian hitam yang ditanya Jaka tidak segera menjawab. Mata lelaki itu malah meneliti sekujur tubuh Jaka dan Mayang Sutera bergantian. Demikian pula tiga lelaki lainnya yang berdiri di samping lelaki berpakaian hitam beralis tebal.
"Mau apa kau tanyakan hal itu, heh?!" bentak lelaki beralis tebal sambil berkacak pinggang.
"Aku ada urusan dengan orang-orang Gelang Emas," jawab Jaka tenang.
"Anak muda, kau tak akan menemukan orangorang Perguruan Gelang Emas di sini. Mereka semua telah menjadi santapan cacing tanah," bantah lelaki berpakaian hitam yang bercambang agak kemerahan.
"Lalu kalian siapa? Dan mengapa berada di Perguruan Gelang Emas?" tanya Jaka lagi masih bersikap tenang.
"Hei! Rupanya kau sengaja ingin mencampuri urusan kami, heh? Kuperingatkan padamu, Anak Muda. Pergilah secepatnya dari hadapanku kalau tak ingin tubuhmu kucincang dengan senjataku ini!" gertak lelaki beralis tebal sambil mengelus-elus sebilah golok berbentuk persegi empat
Jaka hanya tersenyum mendengar ucapan lelaki beralis tebal.
"Kurang ajar! Aku tidak main-main dengan ucapanku. Cepat pergilah sebelum kesabaranku hilang!" bentak lelaki itu keras.
"Aku tidak main-main, Kisanak. Gadis yang berada di sebelah ku ini putri tunggal pemimpin perguruan ini. Jadi seharusnya aku yang menyuruh kalian pergi dari sini. Tapi tidak akan kulakukan karena aku harus tahu apa yang kalian kerjakan di Perguruan Gelang Emas," kilah Jaka
"Majikanku sedang mencari Kitab Gelanggelang Emas, maka kuminta kalian jangan coba-coba menghalangi keinginanku yang gemar memanggang jantung manusia, apalagi jantung gadis cantik sepertimu!" ucap lelaki bercambang agak kemerahan.
"Jangan asal bicara, Kisanak. Justru aku yang akan memanggang batok kepala majikanmu," balas Mayang Sutera dengan suara sedikit ditekan.
"Hei?! Ternyata gadis cantik sepertimu punya nyali juga?" ejek lelaki beralis tebal.
"Jangan banyak mulut! Cepat suruh majikan kalian keluar. Dia tak akan menemukan apa-apa di dalam, jangan tunggu sampai aku masuk ke dalam untuk memecahkan kepalanya dengan kepalan ku!" tukas Mayang Sutera menimpali ejekan lelaki beralis tebal.
"Jangan teruskan gurauan mu, Gadis Manis. Sayangilah kecantikanmu dan manfaatkan untuk menarik perhatian majikanku," bantah lelaki bercambang agak kemerahan.
"Kau yang seharusnya pandai menjaga keselamatan majikanmu, Kisanak," ujar Jaka marah mendengar ucapan lelaki bercambang itu.
"Kurang ajar! Kalian pikir aku tak mampu mengusir dengan kekerasan. Pergilah cepat!"
Lelaki beralis tebal segera mencabut golok persegi empat dari sarungnya. Seberkas sinar berkilau dari senjata yang tertimpa sinar matahari.
"Jangan hanya kau yang menghunus senjata, Kisanak. Suruh ketiga temanmu mencabut senjata mainan anak-anak itu," ejek Jaka membuat lelaki beralis tebal memerah wajahnya.
"Bedebah! Kucincang kau!"
Lelaki berpakaian hitam yang beralis tebal segera menerjang Jaka dengan senjata. Gerakannya yang ringan dan cepat menandakan kemampuan ilmu silat yang dimilikinya cukup tinggi. Jaka tentu saja tak menganggap enteng serangan lawan yang berkelebat cepat ke arah leher. Suara angin yang menderu menandakan serangan itu disertai pengerahan tenaga dalam penuh.
"Hiaaa!" Bet! "Uts!"
Jaka segera menarik mundur kepalanya ketika senjata lawan sejengkal lagi mengenai leher. Dari serangan pertama pun mengenai tempat kosong. Namun kecepatan luar biasa kembali dipertontonkan lelaki beralis tebal, ketika mata senjata berbalik dan terarah ke sasaran yang sama.
Jaka yang sudah dapat mengukur ketinggian tenaga dalam lawan, segera mengerahkan tenaga dalamnya yang jauh di atas lawan. Pemuda itu mengangkat tangannya untuk memapaki golok persegi empat yang berkelebat mengancam leher.
Trak! "Ikh!"
Tubuh lelaki beralis tebal terpental mundur sejauh lima langkah. Di wajah lelaki itu tergurat seringai kesakitan yang luar biasa rasanya. Sementara senjatanya yang berupa sebilah golok besar persegi empat terlepas dari genggaman.
"Bocah Setan!" maki lelaki itu sambil mengelus-elus pergelangan tangan yang terasa nyeri bukan kepalang.
"Ringkus dan bunuh dia!" perintah lelaki itu kemudian, pada tiga temannya yang mematung karena terkejut melihat Jaka tidak terluka sedikit pun oleh senjata lawan.
Tiga lelaki berpakaian hitam segera berloncatan mengurung Jaka dan Mayang Sutera.
Srat! Srat! Srat!
Tiga lelaki itu langsung mencabut senjata. Dan dalam waktu yang bersamaan melejit, memburu tubuh Jaka dan Mayang Sutera.
"Hiyaaa...!"
***
LIMA
Tiga lelaki berpakaian hitam langsung menyerang dengan mempergunakan senjata. Tebasan dan tusukan mereka mengarah ke bagian-bagian mematikan tubuh Jaka dan Mayang Sutera. Suara angin yang menderu dan bercericitan menyemarakan pertempuran. Agaknya tiga lelaki itu tidak tang-gung-tanggung dalam melakukan serangan. Mereka mengerahkan kekuatan tenaga dalam untuk merobohkan Jaka dan Mayang Sutera.
Namun rupanya ketiga lelaki itu tak mengetahui dengan siapa mereka berhadapan. Seorang lelaki muda yang memiliki tingkat ilmu silat tinggi dan seorang digdaya yang berjuluk Raja Petir.
"Jangan lukai mereka, Mayang," ucap Jaka pada saat tubuhnya merapat ke tubuh Mayang Sutera.
Mata Mayang Sutera nampak melebar karena tidak mengerti maksud ucapan Jaka.
"Kita belum tahu persoalan yang sebenarnya, dan siapa empat lelaki berpakaian hitam itu," jelas Jaka.
Mayang Sutera tak menimpali ucapan Jaka.
Gadis cantik berpakaian jingga itu kembali menghadapi serangan dua lelaki bersenjata golok persegi empat
"Hiaaa!"
"Hiaaa!"
Dua senjata tajam yang berkilatan tertimpa sinar matahari berkelebat cepat ke arah lambung dan leher Mayang Sutera. Gadis cantik berambut panjang dikepang kelabang yang besar di Perguruan Gelang Emas, tentu saja bersikap waspada terhadap serangan berbahaya itu. Bola matanya yang hitam pekat menunjukkan kewaspadaan ketika gadis itu menunggu serangan yang akan datang lebih dulu. Dan ketika serangan yang menuju lambungnya tiba, Mayang Sutera segera meliukkan tubuh seperti seorang penari.
Bersamaan dengan liukan tubuh Mayang Sutera, serangan lain yang datang mencecar leher dielakkan dengan merundukkan badan sedikit. Akibatnya dua serangan yang dilancarkan lelaki berpakaian hitam kandas. Dan bukan itu saja kebolehan yang dipertontonkan Mayang Sutera. Di tengah gerakan menghindar yang dilakukannya, gadis cantik putri Ketua Perguruan Gelang Emas mampu memberikan serangan beruntun.
"Haaat...!" Bugkh! Plak! "Argkh!"
Dua orang lawannya langsung terpental, terkena tendangan lurus yang menghantam dada dan tamparan kilat yang menghajar pelipis. Kedua lelaki itu terhuyung sejauh empat langkah. Sementara dari mulutnya terdengar erangan kesakitan yang berkepanjangan.
Jaka, yang meski tengah bertarung menghadapi lelaki beralis tebal dan lelaki bercambang agak kemerahan sempat menyaksikan kebolehan Mayang Sutera. Hanya dalam beberapa gebrakan saja, dua lelaki bersenjata itu mampu dilumpuhkan Mayang Sutera. Kenyataan itu cukup membuat Jaka ingin memberi pelajaran pada dua orang lawannya.
Maka ketika dua orang lawannya menerjang dengan senjata terhunus, Jaka segera melayani dengan jurus 'Lejitan Lidah Petir' yang menitikberatkan pada kecepatan gerak.
"Hiaaa!" Bet! Bet! "Ops!"
Serangan lawan yang terarah ke dada dan paha Jaka membentur tempat kosong. Kedua lelaki itu terkejut bukan main melihat tubuh Jaka tiba-tiba menghilang. Dan ketika menyadari pemuda itu telah berdiri di belakangnya, mereka segera berbalik dengan cepat.Namun pada saat yang sama, Jaka melakukan sebuah gerakan cepat dalam rangkaian jurus 'Menggiring Awan'. Tubuh Jaka melejit dengan kedudukan tangan terentang. Dan ketika tubuhnya berada di udara, dengan kecepatan yang luar biasa Jaka meluruk turun, dan memberikan totokan tepat ke urat leher lawan.
Tuk! Tuk!
"Krgkh...!"
Lelaki beralis tebal dan lelaki bercambang agak kemerahan seketika ambruk ke tanah. Keduanya menggelepar untuk beberapa saat lamanya, dan pada saat berikutnya tak mampu bergerak lagi. Mayang Sutera segera menghampiri Jaka.
"Mari kita masuk ke dalam, Kakang," ajak Mayang Sutera tak sabar.
"Sebentar, May "
Belum lagi ucapan Jaka selesai, terdengar buah tawa yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu kuat suara tawa itu hingga Jaka harus mengerahkan kekuatan tenaga dalam untuk mengimbanginya. Demikian pula yang dilakukan Mayang Sutera.
Hanya tiga kali tegukan teh suara tawa itu terdengar, hingga menggetarkan sekitar tempat pertarungan. Selanjutnya dua bayangan kemerahan berkelebat cepat menggantikan suara tawa yang terhenti seketika.
Jleg! Jleg!
Dua sosok lelaki setengah baya yang berpakaian seperti pendeta mendarat dengan ringan di hadapan Jaka dan Mayang Sutera. Yang menarik dari dua sosok lelaki yang memegang untaian tasbih itu, adalah wajah mereka yang seperti pinang dibelah dua.
"Pendeta Kembar?" bisik Mayang Sutera cukup keras, ucapan itu dibarengi dengan perubahan wajah Mayang Sutera menjadi agak kemerahan
"Hmmm.... Bagus! Kau masih mengenal kami, Gadis Cantik," ucap salah satu lelaki berjuluk Pendeta Kembar. Suara yang keluar mirip suara perempuan.
"Kau ingin mengambilnya sebagai istri, Adi Garnika?" tanya lelaki yang bersuara mirip perempuan pada lelaki di sebelahnya.
"Tentu saja, Kakang Jatnika," sahut Garnika yang memiliki suara lebih berwibawa. "Anak Ketua Perguruan Gelang Emas ini memang pantas untuk kupersunting," lanjut Garnika.
"Siapa mereka, Mayang?" tanya Jaka berbisik. "Maksudku, kau atau Perguruan Gelang Emas yang mempunyai urusan apa dengan mereka?" ulang Jaka membetulkan pertanyaannya sendiri.
"Mereka pernah berjasa menolongku dari Pembegal Daratan Hitam, sekarang mungkin mereka menginginkan imbalan atas jasa yang pernah diberikan padaku," beber Mayang Sutera dengan mata tak berkedip memandang wajah dua lelaki setengah baya yang berjuluk Pendeta Kembar.
"Hmmm”
Jaka melempar pandangan tajam ke arah Garnika dan Jatnika.
"Mereka ternyata pendeta gadungan yang bersembunyi di balik jubah kependetaannya, ini harus segera diakhiri," ujar Jaka dengan wajah keras.
"Biar aku yang mengurus mereka, Kakang. Sudah lama aku ingin mencoba kemampuan Pendeta Kembar. Kakang tidak boleh menangani pendetapendeta palsu itu, kecuali jika aku tak mampu," tukas Mayang Sutera menimpali perkataan Jaka.
"Hati-hati, Mayang. Pendeta-pendeta palsu itu memiliki kepandaian yang tidak rendah," pesan Jaka, menyadari kekuatan tenaga dalam Pendeta Kembar yang diketahuinya melalui tawa mereka tadi.
"Mereka harus tahu, bahwa Mayang Sutera bukan gadis yang hanya memiliki kulit ilmu silat," kilah Mayang Sutera.
"Tapi hati-hati itu perlu, Mayang," timpal Jaka. "Sudah pasti, Kakang."
Jaka tak menimpali ucapan Mayang Sutera. Sebenarnya pemuda itu kagum dengan keberanian Mayang Sutera yang telah menggetarkan hatinya.
"Pendeta Kembar! Kalian lelaki yang pandai bersembunyi di balik kebohongan. Jasa yang telah kalian berikan padaku juga suatu kebohongan! Kalian telah bersandiwara bersama Pembegal Daratan Hitam untuk mencari persoalan dengan Perguruan Gelang Emas. Sekarang kalian lihat, Perguruan Gelang Emas telah runtuh. Namun karena kebejatan otak, kalian menuntut jasa dengan sebuah kitab yang tak kalian miliki, apalagi diriku!" lantang dan mantap ucapan Mayang Sutera.
"Ha ha ha...! Aku tak peduli dengan runtuhnya Perguruan Gelang Emas, Cah Ayu. Aku hanya membutuhkan kitab itu dan tubuh pewarisnya," jawab Garnika dengan tatapan mata yang berkilat-kilat genit
"Tua bangka tak tahu malu!" hardik Mayang Sutera. "Apa kau pikir kau akan mendapatkan keinginanmu, heh?!"
"Tentu saja aku akan mendapatkannya, Gadis Manis. Tak ada yang sulit dilakukan oleh Pendeta Kembar setelah ayahmu mampus! Begitu juga dengan Kitab Gelang-gelang Emas ini," sangkal Jatnika sambil merogoh sesuatu dari balik pakaiannya yang berwarna merah darah.
Mayang Sutera terkejut bukan main melihat Kitab Perguruan Gelang Emas berada di tangan salah satu Pendeta Kembar. Wajah Mayang Sutera yang sudah merah karena marah, kini semakin bertambah merah. Gigi gadis itu gemeretakan, dan tangannya terkepal kuat dengan otot-otot menegang keras.
Sementara Jaka hanya terkejut, melihat Kitab Perguruan Gelang Emas berada di tangan Jatnika. "Kau harus menyerahkan kitab itu padaku, Pendeta Gadungan!" bentak Mayang Sutera geram.
Ha ha ha...
Garnika dan Jatnika tertawa keras mendengar perintah gadis cantik di hadapannya.
"Tentu saja aku akan memberikan apa yang menjadi hakmu, setelah kau memberikan dirimu untukku, Gadis Manis," ucap Garnika.
Jaka marah bukan main mendengar ucapan Garnika yang tidak senonoh. Namun lelaki muda yang matang pengalaman itu tidak segera mengambil tindakan. Dibiarkannya Mayang Sutera menyanggah perkataan kotor itu.
"Tak semudah kau mengeluarkan kata-kata kotor itu, Pendeta Busuk! Kurasa keinginanmu hanya impian belaka," balas Mayang Sutera.
"Kita buktikan saja, Gadis Sombong," tukas Garnika yang terpancing ucapan Mayang Sutera.
Pendeta gadungan bernama Garnika melangkah maju dua langkah.
"Seranglah, Gadis Sombong! Aku risih jika harus memulai lebih dulu," tantang Garnika.
"Seharusnya kau risih mengenakan pakaian itu, apalagi dengan biji-biji tasbih yang menggelantung di lehermu!" ejek Mayang Sutera.
Jaka tersenyum mendengar ucapan Mayang Sutera yang dapat membuat wajah Jatnika dan Garnika merah padam.
"Ucapanmu semakin kurang ajar saja! Kau harus membayar mahal!" bentak Garnika sewot
Lelaki berpakaian merah darah itu segera bergerak cepat. Tangannya yang membentuk totokan, terarah menyilang ke pelipis Mayang Sutera. Angin bercericitan mengiringi serangan Pendeta Kembar.
Mayang yang memang sudah terlatih membaca kecepatan sebuah gerakan, tidak terkejut. Dengan ketenangan yang luar biasa, tubuh gadis cantik yang terbalut pakaian jingga bergerak menghindari terjangan tangan Garnika.
Cit! Wut! Serangan Garnika lolos ketika tubuh Mayang Sutera melejit cepat seraya berputar dua kali di udara. Namun lelaki yang berjuluk Pendeta Kembar itu tak mau kalah, lelaki itu kembali melancarkan pukulan susulan. Kali ini Garnika mempertajam pukulannya dengan pengerahan tenaga dalam yang hampir dua kali lipat. Itu bisa diketahui dari deru angin yang mengiringi serangan ke dada Mayang Sutera.
"Awas, Mayang!" teriak Jaka memperingatkan kedatangan serangan Garnika yang cukup dahsyat.
Mayang Sutera yang baru mendaratkan kaki di tanah, tentu saja mendengar peringatan Jaka. Tetapi tanpa diberi tahu pun Mayang Sutera sudah dapat menduga serangan susulan yang akan dilancarkan Garnika. Terbukti ketika baru saja kakinya menjejak tanah, kaki ramping itu kembali menghentak kuat. Seketika itu juga tubuh Mayang Sutera mencelat, menyilang ke kanan. Begitu cepat gerakan gadis cantik berpakaian jingga, hingga serangan dahsyat yang dilancarkan Garnika kembali menemui tempat kosong.
"Kurang ajar!" maki Garnika dalam hati. Wajah lelaki yang berjuluk Pendeta Kembar itu merah padam, merasa dipermainkan gadis yang berusia jauh lebih muda darinya.
"Ha ha ha.!..! Hi hi hi...!" Mayang Sutera sengaja melepaskan tawa mengejek untuk memancing kemarahan Garnika lebih jauh. Sementara, Jaka sempat terkejut mendengar tawa gadis cantik yang telah mengisi sudut kosong dalam hatinya.
"Sudah kuperingatkan padamu, Pendeta Gadungan!" ucap Mayang Sutera mencemooh. "Buang saja mimpimu untuk dapat memiliki ku. Dan kalau masih ingin menikmati sinar matahari pagi, serahkan Kitab Gelang-gelang Emas itu padaku!" lanjut Mayang Sutera lantang.
"Edan!" bentak Garnika menimpali ucapan gadis berpakaian jingga.
"Keinginanmu yang edan, Pendeta Gila!" maki Mayang Sutera semakin membuat Garnika marah
"Kau harus mampus!"
"Hiaaa...!"
Tubuh Garnika kembali mencelat ke arah Mayang. Gerakan cepat yang dilakukannya merupakan serangkaian serangan dalam jurus 'Totok Pemecah Kepala'. Mayang Sutera sedikit terkejut menyaksikan serangan lawan. Sesaat tangan Garnika bergerak-gerak cepat bagai tangan Malaikat Maut.
Gadis itu melihat jari tangan Garnika membentuk kerucut dan bergerak ke berbagai arah. Untuk sesaat Mayang Sutera tidak tahu apa yang harus dilakukan. Namun berkat ketenangannya, gadis itu mampu mengambil keputusan untuk membentengi diri dengan senjatanya yang berupa payung, terbuat dari logam keras kuning keemasan. Itulah senjata ciri kas Mayang Sutera hingga dirinya dijuluki Dewi Payung Emas
Ketika serangan Garnika dua jengkal lagi mendarat di batok kepalanya. Mayang Sutera segera membentengi kepalanya dengan payung yang terkembang dan berputaran cepat hingga menimbulkan deru yang kuat
"Heh?!"
Garnika terkejut bukan main melihat perbuatan lawan. Lelaki itu tahu senjata yang dipergunakan Mayang Sutera bukan senjata biasa. Itu bisa diketahui dari ujung-ujung payung.
"Kau harus mampus!" teriak Garnika keras. Tubuhnya mencelat ke arah Dewi Payung Emas.
Ketika serangan itu sudah dekat, Mayang Sutera segera membentengi kepalanya dengan payung yang terkembang dan berputaran cepat
Drung! Benturan tangan Garnika dengan payung milik Mayang Sutera terdengar amat keras!Lelaki itu ingin mengurungkan serangannya, namun rasanya tak mungkin dilakukan, karena luncuran tubuhnya sangat cepat dan tak mungkin dihentikan secara mendadak. Tanpa pikir panjang lagi, maka Garnika melanjutkan serangannya.
Drung!
Benturan keras tak dapat dihindari. Tubuh Garnika terdorong ke belakang sejauh satu tombak. Garnika terkejut mendapatkan dirinya terhuyung seperti itu. Lelaki itu seakan tak percaya, karena tadi dirinya telah mengerahkan hampir seluruh tenaga dalam yang dimiliki, tapi kenyataannya?
"Huh! Hebat juga anak Ketua Perguruan Gelang Emas ini," kata hati Garnika.
Sementara Mayang Sutera yang juga sempat terhuyung, bergumam dalam hati, hebat juga tenaga dalam Pendeta Kembar itu. Tak dapat dibayangkan betapa besar kekuatan mereka jika bergabung.
Jaka melihat tubuh Mayang Sutera tergempur mundur segera melejit menghampiri.
"Kau tidak apa-apa, Mayang?" tanya Jaka khawatir.
Mayang Sutera hanya menggelengkan kepala mendengar pertanyaan Jaka. "Hhh...!"
Jaka menarik napas lega melihat jawaban Mayang Sutera, meski hanya lewat anggukan.
***
ENAM
Apa yang dilakukan Jaka, dilakukan pula oleh Jatnika. Lelaki pasangan Garnika hingga mereka bergelar Pendeta Kembar, menghambur ke arah Garnika.
"Kau tidak apa-apa, Adi Garnika?" tanya Jatnika.
Seperti juga Mayang Sutera, Garnika melakukan hal yang sama untuk menanggapi pertanyaan Jatnika. Kepala Garnika menggeleng sebagai tanda dirinya tidak mengalami luka akibat benturan keras tadi.
"Rasanya aku tak tertarik lagi mendapatkan anak Ketua Perguruan Gelang Emas itu, Kakang. Kita habisi saja gadis itu!" ajak Garnika.
"Ayo, aku juga tak ingin memperpanjang urusan dengannya," ujar Jatnika setuju.
Dua lelaki berkepala botak dengan pakaian pendeta berwarna merah mencolok, menatap tajam wajah Mayang Sutera.
"Kau tak akan melihat matahari esok pagi, Anak Manis. Hari ini aku akan mengirimmu ke tempat yang abadi!" gertak Jatnika angkuh.
"Kalau kalian ingin main keroyok, silakan. Namun jangan salahkan bila pemuda itu turut campur tangan," ucap Mayang Sutera dengan jari telunjuk mengarah ke Jaka.
"Hei! Apa yang kau andalkan dari anak muda itu?" tanya Garnika penuh ejekan. Wajahnya pun ditolehkan sedemikian rupa ke arah wajah Jaka seperti mengejek.
"Pendeta Gendeng! Jadi kau belum tahu siapa kawanku ini?" tanya Mayang Sutera bernada merendahkan Pendeta Kembar.
Mata Jatnika dan Garnika serentak menelusuri sekujur tubuh Jaka yang berdiri tenang.
"Amatilah baik-baik, Pendeta Kembar. Barangkali kalian kenal dengan kawanku. Jika mengenalnya, serahkan cepat-cepat Kitab Gelang-gelang Emas milikku sebelum nyawa kalian melayang oleh kawanku ini!" gertak Mayang Sutera.
"Aku bisa menebak siapa gerangan kawanmu itu, Gadis Edan," ucap Jatnika.
"Ya. Sebutkanlah," putus Mayang Sutera. "Mmm.... Kawanmu itu pasti...." Jatnika menggantung ucapannya, raut wajahnya dibuat seperti orang ketakutan.
"Kusir sado, kan?" lanjut Jatnika setelah sekian lama menatap wajah Jaka.
Mayang Sutera terkejut mendengar jawaban Jatnika yang di luar dugaan, gadis itu ingin menerjang Jatnika, namun tangan Jaka telah lebih dulu mencegah gerakan Mayang Sutera.
"Jangan, Mayang," tahan Jaka sambil mengembangkan senyum. Kemudian tatapannya dialihkan pada Jatnika.
"Kisanak harus belajar lagi cara menilai seseorang," ujar Jaka tenang.
"Lalu kalau bukan kusir sado, kau ini siapa, heh?!" tanya Garnika dengan raut wajah dibuat selucu mungkin.
"Kurang ajar! Kuberitahukan padamu, Pendeta Gila! Kawanku ini yang berjuluk Raja Petir!" ucap Mayang Sutera keras.
"Raja Petir?!" ulang Garnika dan Jatnika serempak.
"Kalian takut dengan nama besar itu?" tanya Mayang Sutera.
"Ah, kupikir kawanmu itu Raja Doger!" jawab Jatnika.
Kembali wajah Mayang Sutera memerah mendengar hinaan itu.
"Biarkan mereka bicara seenaknya, Mayang," redam Jaka atas kemarahan Mayang Sutera.
"Mulutnya harus dibungkam, Kakang," kilah Mayang Sutera.
"Ayo! Bungkamlah mulutku, Raja Doger! Penuhi keinginan gadis edan itu," sentak Jatnika lagi.
"Pendeta Nista, majulah kalau memang mulutmu ingin ku bungkam," tukas Jaka tenang.
"Kurang ajar! Ayo kita habisi saja, Kakang!" ajak Garnika merasa jengkel dipanggil Pendeta Nista.
Jatnika yang mendengar ucapan Garnika segera menyambut dengan sebuah tanda untuk melakukan serangan bersama. Sasaran serangan mereka adalah lelaki muda yang mengenakan pakaian kuning keemasan.
"Menyingkirlah, Mayang. Biar kuberi pelajaran dua Pendekar Gadungan itu," pinta Jaka.
Mayang Sutera segera mematuhi permintaan lelaki muda yang telah diketahui ketinggian ilmunya dari Nyi Selasih. Baru sekitar dua tombak Mayang Sutera menjauhi tubuh Jaka, serangan dua lelaki yang berjuluk Pendeta Kembar sudah datang.
Jaka yang mengetahui arah gerakan Garnika dan Jatnika, tetap berdiri tenang. Ditunggunya serangan kedua lelaki berpakaian merah yang terpecah ke dua arah.
"Hiaaa!"
"Hiaaa!"
Tubuh Jatnika yang terbang bagai elang menyambar, meluruk cepat dengan tangan membentuk kerucut, berkelebat mencecar pelipis Jaka. Sedang Garnika dengan sedikit membungkukkan tubuh bergerak cepat dengan sasaran lambung Jaka.
Mendapat serangan yang terpadu begitu cepat, Raja Petir segera melayaninya dengan jurus 'Lejitan Lidah Petir'.
"Hop!"
"Hop!"
Tubuh Jaka berkelebatan cepat ke berbagai arah, menghindari terjangan Garnika dan Jatnika yang susul-menyusul bagai gelombang lautan. Ke mana pun tubuh Jaka mencelat, Pendeta Kembar terus mencecar dengan jurus-jurus yang mematikan. Sementara Jaka terus menghindar dengan mengandalkan kecepatan geraknya yang lebih unggul dari Pendeta Kembar.
Namun ketika Raja Petir melihat ketajaman serangan Pendekar Kembar tidak setajam serangan pertama, maka dicobanya memberikan serangan balasan lewat jurus 'Menggiring Awan'. Tangan Jaka yang terentang berkelebat cepat ke arah dada Garnika, sedang kaki kanannya bergerak menyilang ke bawah perut Jatnika.
Dua lelaki berjuluk Pendeta Kembar itu tersentak melihat serangan balasan Jaka yang tiba-tiba. Sedapatnya Garnika dan Jatnika melempar tubuh ke arah yang berlawanan.
"Hip!"
"Hup!"
Pendeta Kembar segera melompat dan bergulingan di tanah beberapa kali. Kemudian dengan bertumpu pada tangan, mereka melenting ke udara.
Raja Petir yang sudah menduga gerakan yang akan dilakukan Pendeta Kembar, segera memilih Jatnika sebagai sasaran serangan susulan. Maka ketika tubuh Jatnika berada di udara, Jaka secepat kilat berkelebat dengan mengerahkan jurus 'Petir Menyambar Elang'.
"Hiyaaa...!"
Jatnika melihat serangan susulan Jaka yang datang begitu cepat, terkejut bukan main. Lelaki itu sebenarnya ingin melempar tubuhnya ke arah yang berlawanan, namun ketika dirasanya tidak mungkin, maka akhirnya Jatnika terpaksa menangkis serangan Raja Petir.
Tlak! Bugkh!"
"Hekh!"
Tubuh Jatnika terpental deras ketika tangan kanannya menangkis sodokan tangan kiri Jaka, sedang tangan kanan Jaka menghantam telak perutnya. Dengan dibarengi pekikan keras, tubuh Jatnika jatuh berdebum.
Bruk!
Garnika yang melihat keadaan Jatnika seperti itu, sempat tersentak. Namun tidak lama, karena tubuh Garnika sudah berkelebat menghampiri Jatnika yang tergeletak sejauh enam tombak darinya.
"Kakang"
Garnika memegang bahu Jatnika, kemudian sebuah tatapan menusuk dilemparkan ke arah Jaka.
"Lebih baik kita tinggalkan pemuda itu, Adi Garnika," ujar Jatnika, parau. "Pemuda itu sangat tangguh. Mungkin benar bahwa pemuda itu yang berjuluk Raja Petir," sambung Jatnika sambil memegang punggung tangan Garnika.
Garnika tidak menimpali ucapan Jatnika. Matanya masih tetap tertuju lurus, menatap wajah Jaka yang kini berdiri di samping Mayang Sutera.
"Bersiaplah, Adi Garnika. Aku masih sanggup berlari," desak Jatnika.
"Hhh"
Garnika menarik napas panjang karena masih penasaran ingin menaklukkan Jaka.
"Pendeta Gadungan!" bentak Mayang Sutera tiba-tiba. "Berikan kitab ku jika jasad kalian tidak ingin terkubur hari ini!"
Tatapan mata Garnika yang sejak tadi tertuju ke wajah Jaka, kini beralih menatap wajah jelita Mayang Sutera dengan raut muka bengis.
"Gadis Edan! Kau tak mungkin dapat mengambil kitab yang sudah berada di tangan Pendeta Kembar!" alas Garnika geram.
"Sesumbar mu saja yang besar, Pendeta Bejat! Buktikan kalau kalian memang mampu mempertahankan kitab yang bukan milikmu itu!"
"Hiaaat..!"
Mayang Sutera segera berkelebat cepat. Karena kemarahannya sudah tak dapat dibendung lagi, maka gadis cantik itu langsung memainkan senjatanya yang berupa sepasang gelang kuning keemasan, yang dikeluarkan dari balik pakaian. Ketika tubuh Mayang Sutera masih berada di udara, gadis cantik itu melepas sebuah gelang emas yang berada di genggamannya.
Siiing...!
Suara berdesing mengiringi datangnya luncuran gelang Mayang Sutera. Bukan hanya suara desingan yang membuat senjata itu terlihat dahsyat, tapi juga hawa dingin menyengat yang terkandung dari luncuran gelang emas Mayang Sutera.
"Cepat Garnika, kesempatan kita untuk meloloskan diri sempit sekali," ucapan yang ditekan kuat itu membuat Garnika sadar.
Garnika segera mengeluarkan sesuatu dari balik kantung pakaian.
Brrr...!
Puluhan butir benda merah seketika meluruk cepat ke arah gelang emas, diikuti oleh luncuran tubuh Garnika.
Jaka menyaksikan keadaan gawat itu segera berteriak keras memperingatkan Mayang Sutera.
"Awas, Mayang!"
Bersamaan dengan suara peringatkan Jaka, Mayang Sutera melempar tubuhnya ke kanan seraya bergulingan di tanah. Sedang gelang emasnya terus meluncur, menghadang puluhan butir benda merah.
Bresss!
Sinar kemerahan seketika mengepul ketika gelang emas Mayang Sutera menghantam butiran merah. Namun beberapa butir benda itu sempat lolos dan meledak di tempat lain. Asap berbau tak sedap itu mengepul, membuat suasana di sekitar tempat pertarungan berubah menjadi panas luar biasa.
Menyadari senjata rahasia Pendeta Kembar mengandung racun ganas, maka Jaka segera mengerahkan jurus 'Pukulan Pengacau Arah' untuk mengusir asap beracun yang mengepul.
Wrrr...!
Angin bergulung-gulung keluar dari telapak tangan Jaka yang terbuka penuh. Sementara Jaka sendiri langsung memburu tubuh Mayang Sutera dan melarikannya untuk menjauhi dari kepulan asap yang mengandung racun ganas.
"Uhuk!"
Mayang Sutera terbatuk ketika tubuhnya sudah menjauhi kepulan asap beracun yang timbul dari senjata rahasia Pendeta Kembar. Namun batuk itu bukan karena gadis itu telah terkena racun, tapi Mayang Sutera sedang melepaskan rasa sesak di dadanya karena menahan napas terlalu lama.
"Pendeta Keparat!" maki Mayang Sutera menyadari di hadapannya tak lagi nampak wajah Garnika dan Jatnika alias Pendeta Kembar
Jaka maklum dengan kejengkelan gadis jelita yang telah membuat hatinya berdebar-debar saat tatapan mata mereka saling bertemu. Maka Jaka berusaha membujuk Mayang Sutera sebisanya.
"Kitab Gelang-gelang Emas itu pasti akan dapat kita rebut, Mayang Sutera. Meski bukan sekarang," ucap Jaka lembut
Ucapan lembut Jaka ternyata berpengaruh pada diri Mayang Sutera. Terbukti raut muka gadis jelita itu kini berubah lunak kembali.
"Kita harus merebutnya, Kakang. Harus dapat," ucap Mayang Sutera perlahan.
"Tentu saja, Mayang Sutera. Aku akan berusaha mendapatkan Kitab Gelang-gelang Emas itu," balas Jaka sambil meraih tangan gadis jelita berpakaian jingga. "Tapi tidak sekarang."
Sebentuk perasaan lain yang membuat Jaka bahagia menelusup kuat ke sudut hatinya, begitu juga yang dirasakan Mayang Sutera.
"Sekarang kita ke mana, Kakang?" tanya Mayang Sutera berusaha menenangkan debur jantungnya, sementara tangannya yang berkulit lembut membalas genggaman tangan Jaka.
"Kita lupakan dulu Pendekar Kembar yang telah melarikan kitab mu, Mayang. Sekarang kita lanjutkan perjalanan ini ke Perguruan Hijau Kemuning," jawab Jaka sambil membimbing tubuh Mayang Sutera.
Angin berhembus sepoi-sepoi ketika Jaka dan Mayang Sutera berjalan beriringan dengan telapak tangan saling menggenggam erat. Dan dua insan berlainan jenis yang tengah memadu kasih itu terus berjalan, hingga tak sadar mereka telah jauh meninggalkan bangunan Perguruan Gelang Emas yang kini menjadi bangunan mati tak berpenghuni.
***
"Masih jauhkah Perguruan Hijau Kemuning yang kau maksud itu, Kakang?" tanya Mayang Sutera dengan suara berkesan manja.
Jaka menatap wajah gadis jelita yang berambut panjang dikepang kelabang.
"Setelah kita lewati Desa Serungsing ini, maka satu desa lagi kita akan tiba di Perguruan Hijau Kemuning," jelas Jaka.
"Kalau begitu kita mencari penginapan di Desa Serungsing ini saja, Kakang," pinta Mayang Sutera. "Begitupun keinginanku, Mayang. Perutku sudah lapar dan tubuhku rasanya ingin segera berbaring," jawab Jaka.
Kedua insan berlainan jenis itu pun tersenyum, dan melangkahkan kaki memasuki mulut Desa Serungsing, yang ditandai dengan sebuah batu bertuliskan nama desa itu.
Baru beberapa langkah memasuki mulut desa, suara hingar-bingar terdengar Jaka dan Mayang Sutera. Tentu saja lelaki berpakaian kuning keemasan dan dara jelita berpakaian jingga menghentikan langkah mereka. Suara hingar-bingar yang sempat menghentikan langkah mereka semakin jelas terdengar, pertanda sumber suara itu semakin dekat jaraknya.
"Suara itu seperti suara orang-orang yang ketakutan, Kakang," ucap Mayang Sutera.
Jaka ingin menimpali ucapan Mayang Sutera, tapi segera diurungkan, ketika dilihatnya puluhan lelaki dan perempuan lari berbondong bondong. Suara tangis anak kecil yang ditarik dengan paksa oleh perempuan yang mungkin ibunya dan suara-suara yang menyuruh agar lebih cepat berlari, membuat suasana semakin bertambah ramai. Jaka dan Mayang Sutera sempat melompat ke tepi untuk menghindari tubuhnya tertabrak orang-orang yang berlarian.
"Kita harus mencari keterangan, apa yang sedang terjadi di Desa Serungsing ini," ujar Jaka.
"Kita hadang saja salah seorang di antara mereka, Kakang," timpal Mayang Sutera.
Jaka mengangguk setuju. "Hop!"
Tubuh Jaka berkelebat menghadang seorang lelaki yang berteriak-teriak memberi perintah agar berlari cepat Lelaki berwajah bulat dengan kumis tipis yang membayang di bawah hidungnya nampak terkejut "Heh?! Siapa kau? Pasti " Lelaki berwajah bu-
lat yang mengenakan pakaian hitam menghentikan kalimatnya. Sesaat lelaki itu menatap wajah Jaka, lalu tangannya bergerak meraih golok yang terselip di pinggang.
Golok di tangan lelaki berwajah bulat langsung terayun ke perut Jaka. Jaka maklum dengan tindakan lelaki itu, maka untuk menunjukkan maksud baiknya, Jaka hanya mengelakkan sambaran golok. Tubuh pemuda itu meliuk indah ketika berkali-kali sambaran senjata lelaki berwajah bulat terarah ke perutnya. Dan dari mulut Jaka keluar permintaan agar lelaki itu menghentikan serangannya.
"Sabar, Kisanak. Aku tidak bermaksud jahat terhadap kalian. Aku hanya ingin tahu apa yang sedang kalian alami. Aku ingin membantu kalian. Percayalah," ucap Jaka lembut namun terkesan tegas.
Lelaki berpakaian hitam seketika menghentikan setangan. Lalu matanya tertuju tajam ke wajah Jaka.
"Kalau kau bermaksud baik, jangan halangi kami!" keras ucapan yang keluar dari lelaki berwajah bulat
"Tentu saja aku tak akan menghalangi kalian. Namun jika kau tidak keberatan, aku ingin tahu apa yang sedang terjadi di Desa Serungsing ini. Ah, ya. Namaku Jaka," ucap Jaka sambil memperkenalkan diri.
Tatapan lelaki itu berubah sedikit lunak ketika Jaka memperkenalkan diri. Hati lelaki itu mengatakan, Jaka betul-betul tak punya niat jahat dengannya.
"Katakanlah Kisanak, aku justru ingin membantu kesulitan kalian," ucap Jaka lagi.
"Lima orang lelaki berkepandaian tinggi mengamuk di desa kami," ujar lelaki berwajah bulat
"Mengamuk?" ulang Jaka tak mengerti.
"Ya. Banyak penduduk tewas di tangan lima lelaki itu. Bahkan kepala desa kami sudah terpenggal kepalanya."
"Apa alasan mereka membantai penduduk dan Kepala Desa Serungsing?" tanya Jaka penasaran.
"Menurut kabar yang kudengar, mereka sedang mencari seorang tokoh sakti berjuluk Raja Petir."
"Hmmm"
Jaka bergumam dalam hati. Pemuda itu dapat menebak, salah satu dari lima lelaki yang mengamuk adalah Dewa Petir.
"Aku harus segera mencegahnya," kata hati Jaka.
"Apakah salah satu di antara mereka berjuluk Dewa Petir?" tukas Jaka meyakinkan.
"Dari mana kau tahu?" tanya lelaki itu terkejut
"Sudahlah, Ki. Aku harus mencegah kekejaman ini," ucap Jaka sambil menepuk punggung lelaki berpakaian hitam.
"Kurasa lebih baik kau tidak melakukan itu, Jaka," tahan lelaki berwajah bulat.
"Kenapa?"
"Mereka terlalu berbahaya, kesaktian yang mereka miliki terlalu tinggi," jawab lelaki berwajah bulat.
"Aku harus mencegah mereka, Kisanak. Karena yang mereka cari aku."
Lelaki berwajah bulat terkejut mendengar ucapan Jaka. Dalam hati lelaki itu tersimpan pertanyaan yang tak terjawab. Karena Jaka telah melesat, diikuti oleh Mayang Sutera yang mengerahkan ilmu lari cepatnya.
***
TUJUH
"Aaa...!"
Sebuah pekik kematian membubung ke langit, membuat hati Jaka terasa bagai teriris sembilu. Lelaki muda yang berjuluk Raja Petir semakin mempercepat gerakannya. Dan ketika dirinya tiba di tempat pembantaian.
"Setan! Hentikan perbuatan terkutuk ini!" bentak Jaka sedikit dialiri tenaga dalam.
Tubuh sosok muda berpakaian kuning keemasan berdiri tegak, di sampingnya tak kalah tegap berdiri Mayang Sutera.
"Hmmm.... Lancang juga mulutmu itu!" bentak lelaki berpakaian serba biru ketika tubuhnya berbalik ke belakang, menyaksikan sosok tubuh Jaka alias Raja Petir.
"Kau yang lancang mengganggu kehidupan penduduk Desa Serungsing, cucu Ki Durja Kelada!" balas Jaka dengan suara tetap menggelegar.
Lelaki berpakaian serba biru yang memegang sebilah pedang pusaka yang memancarkan sinar kemerahan membelalakkan mata. Raut wajahnya nampak dipenuhi pertanyaan yang membutuhkan jawaban secepatnya.
Jaka dengan sikap tenang membalas tatapan mata lelaki berpakaian biru yang tak lain cucu Ki Durja Kelada. Itu diketahuinya dari ciri-ciri pakaian dan sebilah pedang pusaka yang pernah diceritakan Mayang Sutera dan Nyi Selasih.
"Siapa kau, Anak Muda. Dari mana kau tahu mengenai guruku?" tanya lelaki berpakaian biru yang berjuluk Dewa Petir.
Jaka tersenyum mendengar pertanyaan itu. Lelaki muda nan digdaya yang berjuluk Raja Petir, menebar pandangan ke arah kawan-kawan Dewa Petir yang bersiaga menunggu perintah pimpinannya.
"Tak sukar mengetahui nama seorang pencuri ulung seperti Ki Durja Kelada, Dewa Petir?!" tukas Jaka tajam.
"Heh?!"
Dewa Petir kembali terhenyak mendengar ucapan Jaka.
"Lancang sekali kau menghina kakekku! Kau harus mampus!" hardik Dewa Petir geram.
"Aku tidak merasa melakukannya, Dewa Petir. Aku hanya melakukan apa yang sepantasnya aku lakukan. Ucapanku hanya ingin memberitahukan kenyataan yang sesungguhnya padamu. Ketahuilah, Dewa Petir. Senjata pusaka yang dalam genggaman mu dan sabuk biru yang melilit di pinggangmu, milik almarhum Raja Petir yang telah dicuri sahabat sepermainannya sendiri. Sahabatnya itu, kakekmu. Sekarang, kau harus menyerahkan benda-benda peninggalan almarhum Raja Petir padaku selaku pewaris tunggalnya," papar Jaka panjang lebar.
"Ha ha ha...!"
Di luar dugaan Jaka, lelaki yang berjuluk Dewa Petir terbahak mendengar ucapannya.
"Jadi, kaulah orang yang kucari selama ini. Ha ha ha !"
Lelaki berusia tiga puluhan itu kembali tertawa. Wajahnya yang berahang kuat dan ditumbuhi kumis tipis bergerak-gerak lucu. Sementara rambutnya yang seperti tak terurus, berguncang-guncang seiring dengan tawa yang bernada meremehkan. Jaka dan Mayang Sutera dengan sikap penuh waspada memandang lelaki bertubuh tegap yang tengah tertawa.
"Raja Petir!" ucap Dewa Petir mantap sesaat setelah menghentikan tawanya. "Lebih baik kau buang mimpimu untuk mendapatkan benda pusaka yang berada di genggamanku. Dan sebaliknya, serahkan senjata pusaka yang di tanganmu kalau kau masih ingin melihat matahari esok pagi," lanjut Dewa Petir dengan tatapan meremehkan.
Jaka mendengus mendengar ucapan cucu Ki Durja Kelada yang sarat dengan kesombongan.
"Dan jangan coba-coba menggunakan julukan Raja Petir, selagi Dewa Petir masih melanglang jagat di rimba persilatan," lanjut Dewa Petir.
"Dewa Petir!" balas Jaka menghardik. "Gertakanmu mungkin membuat tikus-tikus comberan lari terbirit-birit. Tapi gertakan itu bagiku hanya penggelitik saja, sedikit pun aku tak melihat kekuatan dalam gertakan kosong itu."
"Kalau begitu kita buktikan sekarang. Siapa di antara kita yang lebih pantas memiliki benda pusaka yang berada di genggaman masing-masing. Dan jangan menyesal kalau aku keluar sebagai pemenang," tantang Dewa Petir sambil mengangkat pedang pusaka ke atas.
Pedang pusaka yang bernama Pedang Petir itu teracung ke udara, sinarnya yang kemerahan memendar-mendar, menimbulkan perbawa yang menggiriskan. Langit seketika berubah mendung. Dan sekali terdengar guntur di kejauhan.
"Kau dengar itu, Raja Petir?" tanya Dewa Petir sombong, "Gemuruh yang kau dengar menandakan aku yang lebih pantas berjuluk Dewa Petir. Dengan terdengarnya guntur yang bersahut-sahutan, maka kekuatan senjataku akan berlipat. Kau tak akan mungkin mampu menandingi ku," lanjut Dewa Petir dengan sikap jumawa.
"Pedang itu akan lebih sempurna lagi kedahsyatannya jika berada di tanganku, Dewa Petir!" balas Jaka.
"Mari kita mulai!" tantang Dewa Petir. "Kalian semua! Ringkus gadis cantik kawan Raja Petir itu. Akan ku santap tubuhnya yang molek setelah nyawa Raja Petir kukirim ke akhirat!" perintah Dewa Petir pada empat lelaki yang masing-masing mengenakan pakaian hijau, merah, putih, dan coklat.
Empat lelaki yang memiliki ilmu kesaktian tinggi segera berlompatan mengurung Mayang Sutera.
"Lelaki banci!" hardik Mayang Sutera jengkel melihat keempat lelaki yang siap menghadapinya.
"Hati-hati, Mayang," ucap Jaka.
***
Pertarungan Raja Petir dan Dewa Petir yang memperebutkan senjata-senjata pusaka peninggalan almarhum Raja Petir pun segera berlangsung seru. Kedua tokoh muda yang berbeda aliran, saling menggempur dengan kelebihan ilmu silat yang mereka miliki. Suara pekikan kegeraman dan suara menggelegar akibat pukulan dahsyat kedua tokoh itu, turut meramaikan jalannya pertarungan.
Jaka yang memiliki keunggulan dalam hal ketenangan diri, membuat dirinya berada di atas lawan. Ketenangan pemuda itu sebenarnya mampu membuatnya menghindari setiap serangan yang dilancarkan Dewa Petir. Tetapi yang dihadapi Jaka seorang tokoh yang memiliki kesaktian cukup tinggi. Tenaga dalamnya nyaris sempurna dan didukung senjata dan jurus-jurus silat yang cepat dan membahayakan.
Berkali-kali tebasan dan sodokan tangan Dewa Petir hampir mengenai tubuh Raja Petir. Tapi dengan menggunakan jurus 'Lejitan Lidah Petir' yang sekali-sekali digunakan bergantian dengan aji 'Bayang bayang', sodokan dan tebasan tangan cucu Ki Durja Kelada hanya membentur tempat kosong.
Dari keberhasilan Jaka menghindari setiap serangan Dewa Petir, sudah cukup membuktikan bahwa Dewa Petir harus mengerahkan seluruh kemampuannya jika ingin menundukkan cucu angkat Nyi Selasih. Dan itu dibuktikan Dewa Petir. dengan meloloskan sabuk biru yang melingkar di pinggangnya.
"Aku ingin tahu apa kau mampu menghadapi Sabuk Petir ku, Raja Petir," tukas Dewa Petir.
Tatapan matanya mencorong tajam sebagai tanda ilmu tenaga dalamnya sudah mencapai tingkat tinggi.
"Sabuk curian itu bukan milikmu, Dewa Petir!" sangkal Jaka mantap. "Namun aku akan berusaha menghadapinya dengan sabukku yang sah ini!" lanjut Jaka seraya meloloskan sabuk kuning keemasan yang melilit pinggangnya.
Seberkas sinar kuning yang menyilaukan mata memendar-mendar, dan hawa dingin yang menyengat terasa menebar ke sekeliling sudut arena pertempuran. Dewa Petir melihat wujud sabuk petir milik Raja Petir nampak lebih dahsyat, sedikit terkejut. Namun karena kepongahannya, lelaki itu berusaha menutupi keterkejutannya dengan lebih dulu mengambil tindakan menyerang.
"Hiyaaa...!"
Tubuh lelaki berpakaian serba biru yang berjuluk Dewa Petir bergerak ke kanan. Tangan kanannya yang mencekal sabuk berwarna biru seketika bergerak cepat.
Ctar! Slats!
Seberkas sinar keperakan seketika melesat cepat bagai petir menyambar. Sinar yang keluar dari lecutan sabuk biru Dewa Petir terus melesat memburu tubuh Jaka.
Raja Petir tentu saja tak ingin sinar keperakan itu menerjang tubuhnya, maka dengan menggunakan jurus 'Lejitan Lidah Petir', tubuh pemuda itu melesat cepat menghindari terjangan sinar keperakan.
"Hop!"
Dengan menghentakkan kakinya kuat-kuat, tubuh Jaka melesat ke udara. Begitu ringan tubuh laki-laki berpakaian kuning keemasan bergerak ke atas dan berputaran dua kali. Dan ketika tubuhnya mendarat di tanah tanpa menimbulkan suara, Jaka segera mengebutkan sabuk kuning yang berada di tangannya.
Star! Splash!
Seberkas sinar keperakan bagai petir menyambar melesat dari sabuk kuning keemasan. Namun pada saat yang bersamaan, Dewa Petir pun melecutkan sabuknya dari arah yang berlawanan. Dua sinar keperakan bagai petir saling melesat dari arah yang berlawanan. Dan ketika dua sinar itu bertemu, suara menggelegar seperti gempa segera terdengar.
Glaaar...!
Bumi di sekitar tempat pertarungan berguncang hebat. Empat lelaki mengenakan pakaian hijau, merah, putih, dan coklat terpengaruh oleh guncangan itu. Begitu juga lawan tanding empat lelaki anak buah Dewa Petir. Tubuh Mayang Sutera terhuyung meski telah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk mengimbangi suara ledakan.
Pertarungan empat lelaki gagah melawan seorang dara jelita bernama Mayang Sutera kembali berlanjut, ketika bumi yang berguncang tak lagi dirasakan. Mayang Sutera yang sudah menggunakan senjata andalannya berupa payung berukuran kecil yang terbuat dari logam keras, berusaha sekuat tenaga menekan lawan-lawannya.
Tetapi, keempat lelaki yang berjuluk Empat Barong Muara Kulon, bukan orang-orang kemarin sore yang mudah didesak lawan, terlebih Barong Hijau yang menjadi orang utama dari Empat Barong Muara Kulon. Lelaki yang mengenakan pakaian hijau itu memiliki kemampuan lebih tinggi dari ketiga rekannya.
Permainan senjatanya yang berupa sebuah rencong berukuran besar, amat membahayakan ke-selamatan Mayang Sutera. Berkali-kali ujung senjata Barong Hijau mengancam tubuh Mayang Sutera. Namun berkat kecerdikan dan kecepatan gerak Dewi Payung Emas, semua serangan ganas yang dilancarkan Barong Hijau berhasil dimentahkannya.
Suatu ketika, dengan mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya, Barong Hijau menusukkan senjatanya ke lambung Mayang. Angin bercericitan mengiringi tibanya serangan yang mematikan itu. Dewi Payung Emas tentu saja tak membiarkan senjata lawan melukai kulitnya, maka dengan kecepatan yang luar biasa Dewi Payung Emas meliukkan tubuh. Indah nian gerakan Mayang Sutera. Namun di balik keindahan itu tersembunyi sebuah serangan balasan yang dahsyat.
"Hih!" Wuitt!
Sambaran payung yang terkembang menuju pangkal tangan Barong Hijau, membuat lelaki itu harm membuang diri ke kanan. Barong Hijau melakukan gerakan yang tepat dengan bergulingan di tanah, hingga serangan Dewi Payung Emas dapat dielakkan. Namun karena kegeramannya, Mayang langsung melepaskan senjatanya yang berupa gelang emas.
Siiing...!
Suara berdesing terdengar, seiring dengan melesatnya gelang kuning yang meluruk ke arah Barong Hijau yang sedang berguling-gulingan di tanah.
Tiga lelaki rekan Barong Hijau bernama Barong Merah, Barong Putih, dan Barong Coklat terkejut bukan main. Salah satu di antara mereka segera bergerak cepat, mencegah luncuran gelang emas yang mengancam punggung Barong Hijau.
"Hiaaa...!"
Tubuh Barong Merah melesat ke arah senjata Mayang Sutera yang meluncur deras. Dan ketika dua jengkal lagi senjata Dewi Payung Emas menghantam punggung Barong Hijau, Barong Merah mengayunkan senjatanya yang berupa sebilah golok besar.
Tring!
Benturan keras tak dapat dielakkan lagi. Tubuh Barong Merah terhuyung dua langkah ke belakang, menandakan luncuran gelang emas Mayang Sutera dialiri kekuatan tenaga dalam tinggi.
Empat Barong Muara Kulon seketika saling berpandangan menyaksikan kehebatan serangan Dewi Payung Emas. Maka ketika Barong Hijau mengedipkan mata. Serempak keempat lelaki itu berloncatan menerjang Dewi Payung Emas secara bersamaan
Mayang Sutera menghadapi serangan gencar empat lelaki yang berjuluk Empat Barong Muara Kulon merasa kerepotan. Serangan empat lelaki gagah yang bagai riak gelombang lautan itu mampu menutup ruang geraknya. Namun bukan Mayang Sutera jika harus menyerah begitu saja di tangan empat pengeroyoknya. Dengan segenap kemampuan dan didukung senjatanya yang berkelebatan cepat, membuat dirinya tak mampu ditundukkan lawan dalam waktu yang singkat.
Namun sekuat-kuatnya Dewi Payung Emas yang dicecar serangan-serangan ganas yang beruntun datangnya, maka bukan tidak mungkin jika salah satu serangan itu luput dari tangkisannya. Sebuah tendangan menggeledek Barong Coklat tak kuasa dihindari Mayang Sutera. Tendangan lurus yang mengarah ke perut Dewi Payung Emas mendarat dengan telak.
Blukkk! "Hek!"
Tubuh Mayang Sutera terpental deras ketika telapak kaki Barong Coklat berhasil menghantam perutnya. Pekik tertahan keluar dari mulut Mayang Sutera. Dan pekikan itu cukup membuat perhatian Raja Petir terpecah.
"Mayaaang...!"
Jaka berteriak keras melihat tubuh gadis jelita itu terpental deras. Karena rasa cemas yang luar biasa, Jaka bermaksud menyongsong tubuh gadis jelita yang begitu dikasihinya.
Namun rupanya Dewa Petir yang licik segera memanfaatkan kesempatan yang ada. Sesaat ketika Jaka lengah, tubuh lelaki cucu Ki Durja Kelada berkelebat cepat dengan kaki kanan terpentang lurus ke depan.
"Hiaaa...!" Blagkh!
Tendangan lurus Dewa Petir mendarat telak di punggung Jaka. Langsung saja tubuh Jaka terhuyung jauh ke depan. Dan karena kerasnya tendangan Dewa Petit, Maka Jaka tak kuasa menahan keseimbangan tubuh, hingga pemuda itu jatuh bergulingan di tanah berdebu.
***
DELAPAN
Memang pantas dipuji daya tahan tubuh Jaka. Setelah mendapat terjangan keras, tubuh lelaki muda yang berjuluk Raja Petir itu kembali bangkit. Setitik darah nampak terlihat di sudut bibirnya. Dan ketika Jaka bangkit, yang pertama dicarinya adalah sosok Mayang Sutera yang tadi terpental deras terhajar tendangan lawan. Sedikit rasa lega mengisi rongga dada Jaka ketika melihat tubuh Mayang Sutera berada dalam perlindungan seorang lelaki berpakaian putih yang tidak dikenalnya.
Lelaki yang menyangga tubuh Mayang Sutera berusia sekitar empat puluh lima tahun. Wajahnya yang putih menampakkan rahang yang menonjol kuat, dan kumisnya yang tebal hitam membuat wajah itu nampak gagah. Tak berapa jauh dari lelaki itu, terlihat tiga lelaki lain berdiri menentang empat orang lawan Mayang Sutera
Hati Jaka bertambah lega melihat salah seorang dari mereka itu dikenalnya sebagai murid utama Perguruan Partai Tameng Kencana, yaitu Yaya Mayada (Untuk mengetahui Yaya Mayada lebih jelas, silakan baca serial Raja Petir dalam episode 'Pencuri Kita-kitab Pusaka').
"Aku akan membantumu, Raja Petir," ujar Yaya Mayada mantap.
Dewa Petir melihat kedatangan empat lelaki gagah yang diketahuinya berada di pihak Raja Petir merasa geram bukan main. Dan kegeramannya dilampiaskan dengan menerjang Jaka.
"Hiaaa...!"
Sebuah serangan dahsyat berkelebat ke arah Jaka yang sudah siap meneruskan pertarungan. Pikiran pemuda itu tak lagi tertuju pada Mayang Sutera yang telah dilindungi empat lelaki penolongnya. Sambaran tangan Dewa Petir yang tertuju lurus ke pelipis, mampu dielakkan dengan mengegoskan sedikit tubuhnya dengan kedudukan kepala dimiringkan ke kanan.
Dewa Petir dengan kecepatan yang luar biasa memutar balik serangannya yang mentah. Sambaran tangannya kembali berkelebat ke dada Jaka.
Wuuut! "Uts!"
Raja Petir melompat mundur ke belakang sejauh tiga langkah. Kemudian melompat menjauh dengan melentingkan tubuh ke belakang seraya berputaran dua kali. Dan ketika mendarat ujung kakinya menotol permukaan tanah hingga tubuhnya kembali melesat semakin jauh.
Dewa Petir yang melihat tubuh Jaka semakin menjauh segera mengejarnya. Sosok tubuh yang terbalut pakaian serba biru itu berlompatan memburu sosok Raja Petir.
"Jangan lari kau, Pengecut!" hardik Dewa Petir di tengah lompatannya.
Jaka tak menimpali umpatan Dewa Petir. Hatinya senang dapat memancing Dewa Petir menjauhi pertempuran empat lelaki penolong Mayang Sutera dan empat lelaki anak buah Dewa Petir. Itu dilakukan Jaka karena pemuda itu tak ingin mereka menjadi sasaran kedahsyatan ilmu-ilmu andalannya yang akan segera dikeluarkan.
Ketika jarak dirinya dengan para penolong Mayang Sutera sudah cukup jauh, Jaka menghentikan lentingan-lentingan tubuhnya yang cepat luar biasa. Begitu juga yang dilakukan Dewa Petir, untuk sekadar menjaga jarak.
"Aku bukan pengecut, Dewa Petir!" ucap Jaka keras. "Aku hanya ingin mencari tempat yang cocok untuk pertarungan kita. Sekarang keluarkan seluruh kemampuanmu. Aku sebagai pewaris tunggal senjata yang berada di tanganmu akan berusaha menjatuhkan mu!" lanjut Jaka mantap.
"Kau tak mungkin dapat melakukannya, Raja Petir!" balas Dewa Petir tak kalah mantap.
"Buktikan ucapanmu!" kilah Jaka.
"Baik!"
Dewa Petir melangkah mundur satu langkah. Dua telapak tangannya disatukan dan ditarik menempel dada. Bersamaan dengan kakinya yang membentuk kuda-kuda rendah, mulut Dewa Petir bergerak-gerak seperti membaca mantera.
"Aji 'Bayu Maut'!"
Seiring dengan ucapan Dewa Petir yang menyebut nama ajiannya dua telapak tangan yang saling merapat seketika terpentang ke depan.
Wresss...!
Angin menderu yang menimbulkan hawa panas menyengat seketika itu juga tercipta dari hentakan tangan Dewa Petir. Angin kencang bagai angin puting beliung itu menyerbu tubuh Jaka.
Lelaki berpakaian kuning keemasan yang berjuluk Raja Petir tidak mencoba menghadapi serangan Dewa Petir dengan jurus 'Pukulan Pengacau Arah' atau jurus 'Hembusan Maut' yang dimilikinya. Raja Petir lebih memilih jurus 'Lejitan Lidah Petir' untuk mementahkan serangan lawan.
"Hop! Hop!"
Tubuh Jaka berkali-kali mencelat dari tempat yang satu ke tempat yang lain, menghindari terjangan angin berhawa panas yang dilancarkan Dewa Petir dalam jurus aji 'Bayu Maut'.
"Hiaaa...!"
Wresss! "Hop!"
Kembali tubuh Jaka melejit ke kanan. Tapi kali ini gerakan menghindar yang dilakukannya dibarengi dengan gerakan tangan yang menghentak, memberikan serangan balasan dalam jurus 'Hembusan Maut!"
Hentakan tangan kanan Raja Petir menimbulkan serangkum angin deras yang meluruk, menerjang angin yang keluar dari aji 'Bayu Maut' Dewa Petir.
Plaaar!
Suara menggelegar terdengar memekakkan telinga ketika dua angin dahsyat bertemu di udara. Bumi seketika bergetar saat bunyi keras bagai tepukan dua tangan raksasa terdengar. Pohon-pohon kecil yang berada di sekitar arena pertarungan bertumbangan. Suasana bising meramaikan pertarungan yang berjalan alot.
"Julukanmu sebagai Raja Petir ternyata bukan julukan kosong. Kau memang hebat Raja Petir. Namun aku tak yakin kehebatanmu mampu menandingi kedahsyatan Pedang Petir yang kudapat dari Eyang Durja Kelada. Bersiaplah mencium Liang lahat, Raja Petir!" ucap Dewa Petir menggelegar.
Dewa Petir kemudian menghunus sebilah pedang pusaka yang diberi nama Pedang Petir. Pamor pedang yang memendarkan cahaya kemerahan sanggup membuat hati Jaka bergetar hebat. Terlebih ketika pedang almarhum Raja Petir itu teracung ke udara. Langit di tempat pertarungan berubah gelap. Awan gelap bernaung di atas kepala Jaka, sementara suara guntur terdengar di kejauhan.
"Wroaaakh...!"
Dewa Petir memekik keras. Tubuhnya mencelat cepat seiring dengan hentakan kaki yang kuat pada permukaan bumi. Pedang pusaka yang berada di atas kepala terayun-ayun mengerikan.
Terkejut hati Jaka mendapat serangan yang begitu dahsyat. Terlebih ketika dilihatnya seluruh tangan Dewa Petir menjadi merah.
Wuuung!
Suara mengaung terdengar ketika pedang pusaka yang berada di genggaman Dewa Petir berkelebat menebas leher Jaka.
Raja Petir segera bergerak cepat menghindari serangan. Jaka memang berhasil menghindari, namun tak urung tubuhnya terpental deras, tersambar angin deras yang keluar dari Pedang Pusaka Dewa Petir.
"Gila," ucap Jaka dalam hati setelah mampu menguasai diri.
Sementara Dewa Petir yang merasa berada di atas Jaka, semakin gencar melakukan serangan-serangan mematikan. Pedang Petir yang berada di genggamannya terus berkelebat ke bagian-bagian mematikan tubuh Jaka. Sedang Jaka dengan sekuat tenaga berusaha menghindari terjangan Dewa Petir. Meski untuk itu terpaksa harus jatuh bangun.
"Uts!" Wuuung!
Tubuh Raja Petir mencelat dua tombak ke udara, maka angin tebasan pedang pusaka Dewa Petir menggetarkan ujung celananya, bahkan telapak kaki Jaka merasakan getaran itu.
"Berbahaya sekali jika pedang itu terus berada di tangan cucu Ki Durja," kata hati Jaka setelah tubuhnya mendarat dengan manis. "Aku harus merebutnya, bagaimanapun caranya."
Sementara Dewa Petir menghentikan serangan, dan berdiri tegak memandang wajah Jaka. Namun dalam hati berbicara bahwa kalau dirinya harus memainkan jurus pedang tingkat terakhir untuk menjatuhkan Raja Petir.
"Hmmm.... Bocah ini harus ku gempur dengan jurus 'Pedang Petir Mengguncang Selaksa Naga'," putus Dewa Petir dalam hati.
"Raja Petir!" panggil Dewa Petir menggelegar. "Kali ini aku tak akan memberimu kesempatan lagi, sudah cukup aku mengetahui sejauh mana ilmu yang kau miliki. Sekarang bersiaplah menghadapi jurus pedang tingkat akhir. Jurus 'Pedang Petir Mengguncang Selaksa Naga' yang akan mengubur julukanmu yang terkenal di seantero rimba persilatan," tegas Dewa Petir mantap.
"Lakukanlah kalau kau mampu, Dewa Petir," sahut Jaka tanpa gentar sedikit pun.
Begitu Dewa Petir mendengar ucapan Jaka, kedua kakinya segera direntangkan. Tangan kirinya yang diletakkan di depan dada, bergeser ke hulu pedang.
Pedang pusaka peninggalan almarhum Raja Petir yang kini jadi sengketa, digenggam kuat-kuat oleh Dewa Petir dengan kedua tangannya. Mata lelaki berpakaian biru itu terpejam. Tubuhnya berguncang hebat, dan ketika guncangan itu berhenti dengan sendirinya, tangan Dewa Petir yang menggenggam pedang pusaka terangkat ke atas.
"Wroaaakh...!"
Dewa Petir memekik keras seiring dengan terangkatnya pedang pusaka pada batas paling tinggi. Langit seketika menjadi gelap. Dan bunyi bergemuruh terdengar di kejauhan.
Glar! Glar! Glar!
Lidah petir berjulur-julur menjilat pedang pusaka yang teracung tinggi-tinggi, begitu juga tubuh Dewa Petir. Berkali-kali jilatan lidah Petir menghantam tubuhnya. Itulah ilmu inti Dewa Petir yang diberi nama 'Pedang Petir Mengguncang Selaksa Naga'. Tubuh Dewa Petir sedikit pun tak goyang ketika lidah-lidah petir menyambarnya.
Langit kembali terang-benderang ketika suara gemuruh itu mendadak hilang. Raja Petir melihat wajah Dewa Petir menjadi begitu keras. Dan matanya merah membara seperti mata seekor naga yang terluka.
Pada saat-saat yang menentukan itu, Jaka memutuskan akan menghadapi ilmu Dewa Petir dengan aji 'Kukuh Karang' tingkat terakhir. Dirinya akan menciptakan tenaga suci yang pernah dikatakan Nyi Selasih. Maka Raja Petir segera mundur satu langkah. Dan pada kedudukan kaki membentuk kuda-kuda rendah, Jaka menarik kedua tangannya ke atas kepala. Sementara tarikan napas halus, tercipta seiring dengan rentangan tangan yang menimbulkan gemeretakan otot-otot tangan dengan jari terkepal.
Tangan yang terentang dengan jari-jari mengepal, ditarik menyilang ke depan dada. Dan semua gerakan yang dilakukan Jaka dengan mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam dan segenap kepekaannya, membuahkan hasil yang amat menakjubkan. Tubuh lelaki muda usia yang memiliki kesaktian tinggi kini terbungkus sinar kuning keemasan. Sinar kuning membungkus dari kepala hingga ujung kaki.
Dalam keadaan tubuh terbungkus ajian aji 'Kukuh Karang', Raja Petir masih memancing sebentuk kekuatan suci yang selalu ada pada orang-orang yang berada di pihak kebenaran. Pemuda itu pun memejamkan mata.
Melihat kedudukan lawan seperti itu, Dewa Petir segera menghentakkan kaki ke tanah. Tubuhnya melesat cepat ke arah Jaka dengan sebilah pedang teracung di atas kepala, yang menimbulkan ledakan-ledakan bak gemuruh petir.
"Hiaaa...!"
Wuuung! Wuuung!
Suara petir menggelegar terdengar memekakkan telinga. Tanpa merubah kedudukannya dan dengan mata masih terpejam, tubuh Jaka bergeser dengan sendirinya dari satu tempat ke tempat lain. Hingga tebasan pedang pusaka Dewa Petir berkali-kali membentur tempat kosong.
"Keparat!" maki Dewa Petir berang bukan main.
***
SEMBILAN
Kembali Dewa Petir menghentakkan kaki kuat-kuat. Tubuhnya melesat cepat dengan pedang pusaka yang memendarkan sinar kemerahan bergerak-gerak di atas kepala. Gerakan menebas leher lawan akan dilancarkan Dewa Petir.
"Hiaaa...!" Wuuung! Tap!
Di luar dugaan Dewa Petir, telapak tangan Jaka yang berada pada kedudukan menyilang, bergerak cepat menangkap sambaran pedang pusaka yang terarah ke batang leher. Ujung pedang pusaka yang menjadi sengketa, kini terjepit dua telapak tangan Jaka.
Dewi Petir tentu saja murka bukan main menerima kenyataan ini. Segala bentuk kemurkaannya dilampiaskan dengan menarik pulang senjata yang ditangkap dua telapak tangan Raja Petir.
"Hiaaa!"
Dengan amarah meluap serta segenap kekuatan tenaga dalam yang dimiliki, Dewa Petir terus berusaha menarik pulang senjatanya. Sementara Raja Petir yang merasakan tubuhnya seperti sedang dialiri sebentuk kekuatan asing, sedikit pun tak nampak mengeluarkan tenaga untuk mempertahankan pedang pusaka yang berhasil ditangkapnya.
Dengan kepekaan penuh dan dibantu kelebihan aji 'Kukuh Karang' yang memiliki daya serap tinggi. Jaka melakukan gerakan yang menurut Dewa Petir akan mencelakakan dirinya sendiri. Tangan kiri Jaka perlahan ditarik ke samping kiri, seolah hendak melepaskan jepitan pada ujung pedang pusaka, tapi kenyataannya?
Setelah tangan kiri Jaka terpisah dari ujung pedang. Sedikit pun batang pedang pusaka itu tak bergeser dari tempatnya. Meski Dewa Petir dengan kekuatan tenaganya menarik pulang pedang pusaka, namun pedang itu seperti menempel kuat pada telapak tangan Jaka.
"Maaf, Dewa Petir. Terpaksa aku harus menghempaskan tubuhmu dan merebut kembali pedang pusaka yang menjadi hakku," ucap Raja Petir dengan gema suara memantul ke seluruh penjuru arena pertarungan.
Dewa Petir tersentak mendengar ucapan Raja Petir. Dengan kekuatan tenaganya, lelaki itu terus berusaha menarik pulang senjata andalan yang selama ini telah banyak membantunya. Namun ternyata perbuatan Dewa Petir hanya sia-sia belaka. Sedikit pun Pedang Petir tak bergerak dari telapak tangan Jaka.
"Maaf sobat, aku terpaksa harus melakukannya!" tukas Raja Petir seraya memutar-mutar tangan kirinya memainkan jurus ampuh 'Hembusan Maut'
"Hih!" Wruuus! Blargkh!
Tubuh Dewa Petir terpental deras ketika sambaran jurus 'Hembusan Maut' menerpa dengan telak dadanya. Tubuh tegap yang terbalut pakaian serba biru itu terus melayang bagai daun dihembus angin kuat. Pekik kesakitan yang terdengar serasa memantul pada sudut-sudut arena pertarungan.
Brugkh!
Tubuh cucu Ki Durja Kelada yang berjuluk Dewa Petir ambruk ke tanah, setelah melayang sejauh empat tombak. Namun memang pantas dipuji daya tahan tubuh Dewa Petir. Meski dadanya telah terhantam pukulan sakti Jaka, tubuh lelaki itu kembali bangkit berdiri walaupun terhuyung-huyung. Dewa Petir meloloskan sabuk biru yang membelit pinggangnya. Dan dengan mengandalkan tenaganya yang tinggal sedikit, Dewa Petir bergerak lamban menyerang Jaka.
Lelaki muda yang berjuluk Raja Petir sebetulnya tak tega harus menggedor kembali tubuh lawan, tapi karena serangan-serangan Dewa Petir masih mengandung ancaman maut, maka Raja Petir terpaksa membendung gerakan Dewa Petir dengan pukulan jarak jauh.
"Hiaaa...!"
"Hih!" Bragkh!
Tubuh Dewa Petir kembali terjerembab ketika pukulan jarak jauh Jaka menerpa telak bagian perutnya.
"Hoeeekh!"
Seiring dengan muncratnya cairan merah kental dari mulut cucu Ki Durja Kelada, nyawa Dewa Petir pun pergi meninggalkan raga. Dan tubuh lelaki berpakaian biru itu terbujur kaku.
***
Dengan tatapan sedih Jaka memandang tubuh Dewa Petir yang telah menjadi mayat Sementara Pedang Petir yang memiliki perbawa menggiriskan, tergeletak satu setengah tombak di samping kanan Dewa Petir.
Jaka mengalihkan tatapannya pada pedang pusaka. Sebentuk perasaan asing yang amat kuat dirasakan Jaka menarik-narik hasratnya untuk meraih pedang pusaka.
Jaka pun meneliti pedang pusaka peninggalan almarhum Raja Petir yang berada di genggamannya. Secara seksama diperhatikannya tangkai pedang yang begitu indah, tangkai itu berwarna kuning kemerahan-merahan seperti tembaga.
Jaka terkejut melihat batang pedang tiba-tiba raib seiring dengan mengendurnya seluruh otot-otot tubuhnya. Namun pikiran cerdik Jaka cepat menarik kesimpulan, tubuh pedang yang berbentuk lidah petir yang memendarkan sinar kemerahan, akan nampak jika seseorang yang memegang senjata pusaka itu mengerahkan tenaga dalam tingkat tinggi.
Karena rasa penasaran akan keunikan Pedang Petir, secara tak sengaja Jaka mengangkat senjata itu melewati batas kepala. Keanehan seketika terjadi. Jaka merasakan tubuhnya seperti diputar-putar oleh sebentuk kekuatan tak terlihat. Karena putaran tenaga aneh itu semakin kuat, Jaka segera mengerahkan tenaga dalamnya untuk mengimbangi kekuatan gaib itu. Akibatnya....
Langit seketika berubah gelap, bunyi guntur menggelegar terdengar di kejauhan. Beberapa saat lamanya suara guntur terdengar samar, namun pada saat berikutnya suara itu terdengar jelas, seperti meledak-ledak di atas kepala Jaka.
Glarrr! Glarrr! Prefs! Prefs!
Sinar keperakan yang tak lain lidah petir, menyambar berkali-kali, menerpa tubuh Jaka dan pedang pusaka yang terangkat tinggi di atas kepala. Hawa panas dirasakan Jaka menjalar dari bagian ujung pedang. Hawa panas yang membuat tubuh Jaka menggeletar terus merambat hingga ujung kakinya.
Pada saat itu tubuh Jaka merasakan sebuah kekuatan gaib dua kali lipat besarnya. Dan ketika Jaka membawa turun Pedang Petir yang teracung di atas kepala, sinar petir pun memancar dari ujung pedang pusaka, dan langit mendadak terang seperti semula.
"Aaah"
Jaka menarik napas panjang, mengingat dirinya telah berhasil menjalankan amanat Nyi Selasih. Seiring dengan tarikan napas yang terasa melonggarkan dada, mata Jaka tertumbuk pada sehelai sabuk yang tergeletak di tanah.
Jaka menghampiri sabuk biru yang juga bagian dari pusaka peninggalan almarhum Raja Petir. Diraihnya sabuk yang tergeletak itu dengan dada berdebar-debar.
"Ah!"
Jaka terkejut menyaksikan keanehan yang terjadi. Sewaktu pemuda itu mengenakan sabuk biru, sabuk itu seakan menelusup masuk ke dalam sabuk kuning keemasan yang melingkar di pinggangnya. Dan yang membuat Jaka lebih tercengang, warna sabuk yang kini membelit pinggangnya berubah menjadi hijau.
"Heh?!"
Rasa penasaran rupanya membuat Jaka segera menggerakkan tangannya, meloloskan sabuk yang kini berwarna hijau.
"Ah, sungguh menakjubkan kejadian ini," ucap Jaka dalam hati. "Benar apa yang diucapkan Nyi Selasih," lanjutnya dengan sepasang bola mata tak lepas memandang wujud Sabuk Petir yang kini berubah berwarna hijau.
"Aaakh...!"
Sebuah pekikan melengking tinggi ke angkasa, menyadarkan Jaka akan keterpakuannya pada benda-benda pusaka peninggalan orangtua Nyi Selasih.
Seketika itu juga pikirannya teringat pada Mayang Sutera. Kekhawatiran pun menguasai hatinya. Dengan gerakan cepat Jaka membelitkan sabuk hijau pada pinggangnya, dan dengan memegang sebilah pedang bernama Pedang Petir, Jaka berlari cepat ke arah pertarungan berlangsung.
Lega hati Jaka melihat tubuh Mayang Sutera berdiri tegak tanpa ada luka sedikit pun di tubuhnya. Sementara seorang lelaki gagah yang dikenal Jaka sebagai anak buah Dewa Petir nampak ter-kulai lemah di tanah. Dari mulut lelaki gagah yang bernama Barong Merah, terlihat becak darah yang telah menghitam. Pada tempat lain terlihat tiga mayat lelaki berpakaian hijau, putih, dan coklat yang tak lain rekan Barong Merah, yang jika bersatu berjuluk Empat Barong Muara Kulon.
Tatapan mata Jaka terus berkeliling memandang empat lelaki penolong Mayang Sutera yang tengah berdiri menatap tubuh Barong Merah. Ketika tatapan mata Jaka menangkap sosok tegap Yaya Mayada, sebuah senyum pun tergurat di wajah Jaka. Senyum yang mewakili ucapan Jaka yang bermaksud terimakasih.
Mayang Sutera yang baru menyadari kehadiran Jaka segera menghambur mendekati sosok muda yang berjuluk Raja Petir.
"Kau tidak apa-apa, Kakang?" tanya Mayang Sutera khawatir.
"Seperti yang kau lihat, Mayang. Sedikit pun aku tak berkurang. Malah sebaliknya, aku mendapatkan ini," jawab Jaka sambil mengacungkan Pedang Petir.
"Hanya tangkainya saja, Kakang?" tanya Mayang Sutera dengan bola mata terbelalak heran.
Jaka hanya tersenyum mendengar pertanyaan gadis jelita itu. Kemudian tangan pemuda itu merangkul bahu gadis yang dikasihinya.
"Nanti ku jelaskan pertanyaanmu itu, Mayang. Sekarang mari kita temui empat lelaki yang telah menolongmu," ujar Jaka pelan.
"Ayo, Kakang," sambut Mayang Sutera seraya melangkahkan kaki ke arah Yaya Mayada, murid utama Perguruan Partai Tameng Kencana.
"Terima kasih atas bantuan yang telah kalian berikan," ucap Jaka setelah jarak mereka hanya tinggal setengah tombak. "Tanpa bantuan kalian aku tak mungkin dapat menaklukkan Dewa Petir," lanjut Jaka.
Empat lelaki yang telah membantu Mayang Sutera menghadapi anak buah Dewa Petir hanya tersenyum mendengar perkataan merendah Jaka.
"Apa yang kami lakukan tidak berarti apa-apa, jika dibandingkan dengan sepak terjang mu yang selalu mencegah keangkaramurkaan," kilah lelaki berusia sekitar empat puluh lima tahun yang mengenakan pakaian putih.
"Terima kasih, Kisanak. Bolehkah aku tahu siapa kalian yang telah berjasa melindungi kawanku ini?" tanya Jaka kemudian.
"Panggil aku Ki Suryadika," jawab lelaki berpakaian putih. "Sedang yang berpakaian kelabu murid-muridku, Raja Petir. Nama mereka Tudawa dan Satagi," lanjut Ki Suryadika.
"Aku Yaya Mayada, Raja Petir. Kau masih mengingat nama itu bukan?" terdengar suara lelaki bertubuh tegap.
"Tentu saja aku masih mengenalmu, Kakang Yaya," sahut Jaka sopan. "Terima kasih atas bantuanmu," sambung Jaka.
"Ah, jangan berkata seperti itu, Raja Petir. Budi baikmu pada perguruanku tidak setimpal dengan yang kulakukan saat ini. Aku belum bisa membalas kebaikanmu itu," kilah Yaya Mayada.
Jaka tak menyanggah ucapan Yaya Mayada, bola mata Jaka hanya merayapi wajah murid Perguruan Partai Tameng Kencana.
"Kalau begitu sampaikan salamku pada Ki Rantasanu, Kakang Yaya," ucap Jaka kemudian.
"Dengan senang hati akan kusampaikan salam mu, Raja Petir," sahut Yaya Mayada.
Tatapan Mata Jaka kini beralih pada Ki Suryadika dan dua muridnya.
"Sekali lagi kuucapkan terima kasih atas bantuan kalian," ucap Jaka sambil menundukkan kepala. "Mudah-mudahan aku dapat membalas budi baik yang telah kalian berikan. Dan jika aku tak sempat, maka orang lain yang akan membalas kebaikanmu, Ki Suryadika," lanjut Jaka sopan.
"Apa yang kulakukan ini datang dari perasaan hati yang ikhlas, Raja Petir," sambut Ki Suryadika.
"Terima kasih, Ki Suryadika. Aku dan kawanku mohon permisi," tukas Jaka. "Masih ada keperluan lain yang harus kami selesaikan."
"Silakan, Raja Petir. Silakan," tukas Ki Suryadikada
Mata Jaka kembali menatap wajah Yaya Maya. "Aku juga, Kakang Yaya, Ki Suryadika. Terima kasih atas pertolongan kalian," tambah Mayang Sutera dengan suara lembut. Ki Suryadika dan kedua muridnya, serta Yaya Mayada bersamaan menganggukkan kepala.
Maka saat itu juga Jaka dan Mayang Sutera menghentakkan kaki mereka. Cepat dan ringan gerakan yang dilakukan Raja Petir dan Dewi Payung Emas. Hingga dalam sekejap mata, tubuh mereka sudah jauh meninggalkan Ki Suryadika dan Yaya Mayada.
SELESAI