SATU
Sinar matahari yang sejak tadi sempat membakar kulit, kini sedikit demi sedikit semakin berkurang sengatannya. Peredaran matahari memang menandakan kalau yang terjadi di dunia ini tak selamanya mampu bertahan. Angin sore bertiup sepoi-sepoi membuat orang merasa ngantuk.
Di bawah sorotan matahari yang mulai meredup itulah, dua sosok tubuh tengah jalan berdampingan. Yang seorang adalah pemuda tampan, dengan sorot mata tajam. Rambutnya ikal rapi, sangat serasi dengan pakaiannya yang berwama kuning keemasan. Pemuda itu tak lain adalah Jaka Sembada, yang berjuluk Raja Petir.
Sedangkan yang berjalan disisi kanan Jaka adalah seorang lelaki setengah baya. Pakaiannya serba putih, membungkus kulit tubuhnya yang mulai mengeriput. Jenggot yang sudah separuh memutih, memperlihatkan kewibawaannya.
"Kau telah mengambil keputusan yang terbaik, Raja Petir. Paman kira, saat itu juga kau akan menghabisi setan gundul itu. Kemampuan ilmu silat Gandewa memang berkembang pesat. Entah berguru pada siapa lelaki licik itu. Namun, kenyataannya ilmu silat Gandewa tidak mampu menandingi kedigdayaanmu, Raja Petir,"
Terala menolehkan kepala. Mata tuanya yang berbinar-binar, tak lekang menatap wajah Jaka yang memang tampan.
Jaka menundukkan kepalanya sesaat, mendengar ucapan Terala. Sedangkan kulit wajahnya nampak bersemu merah.
"Jangan panggil aku seperti itu, Paman. Terlalu berlebihan kedengarannya," tukas Jaka seraya mengangkat kepala, membalas tatapan Terala.
"Kenapa?" tanya Terala, bernada menyelidik. "Kau pantas menyandang julukan itu, karena ciri-ciri dan penampilanmu sudah teramat mendukung. Apalagi kedigdayaanmu yang tinggi cukup untuk menopang julukan itu."
"Tapi, mungkin aku bukan apa-apa jika dibanding almarhum Raja Petir. Aku masih terlalu mentah pengalaman, Paman."
Terala mengembangkan senyumnya mendengar kerendahan hati anak adik seperguruannya. Kelihatannya, Jaka memang mewarisi watak ayahnya.
"Seiring perkembangan usiamu, maka pengalamanmu akan bertambah," tandas Terala sambil memegangi punggung Jaka.
"O ya, Jaka. Paman jadi ingin tahu jalan cerita tentang jatuhnya warisan Raja Petir ke tanganmu. Paman benar-benar penasaran. Masalahnya, Selasih, orang yang memasukkan ibumu ke Perguruan Soka Merah, pernah bercerita pada Seleguri kalau dia tidak punya minat untuk mengangkat seorang murid pun. Dan sepertinya, dia mengikuti jejak ayahnya, yaitu Raja Petir terdahulu."
Jaka Sembada mengembangkan senyumnya mendengar keinginan lelaki setengah baya yang berjalan di sampingnya.
"Tentu,saja aku akan menceritakannya padamu, Paman Terala. Namun rasanya, kalau sekarang ini tidak mungkin."
"Kenapa?" Terala melebarkan kelopak matanya.
"Hari sudah semakin sore, Paman. Nampaknya tubuhku sudah lelah," kilah Jaka, halus.
Terala melepaskan pegangannya pada punggung Jaka. Kemudian, tubuhnya yang terbungkus pakaian warna putih melesat lebih dulu. Diajaknya Jaka agar cepat-cepat beranjak kembali ke Perguruan Hijau Kemuning, dengan menggunakan ilmu meringankan rubuh.
"Hip!"
Jaka Sembada menggerakkan kakinya. Maka sebentar saja tubuhnya sudah berada di samping Terala yang tak mengurangi kecepatan larinya.
***
"Orang-orang Kapak Terbang!" Terala menghentikan ayunan kakinya sesaat, begitu menyaksikan pemandangan di hadapannya. Meski dari jarak yang ridak kurang dari dua puluh lima langkah, Terala sudah dapat memastikan apa yang terjadi.
Jaka Sembada juga turut menghentikan langkahnya, dan berdiri di samping Terala.
"Mau apa mereka, Paman?" tanya Jaka. Terala menggelengkan kepalanya, tanpa mengalihkan pandangan matanya yang lurus ke arah perkelahian Gumai Gumarang melawan tiga lelaki berpakaian ungu dan bersenjatakan kapak kecil.
"Setahu Paman, Perguruan Hijau Kemuning tak pernah berurusan dengan orang-orang Kapak Terbang," sahut Terala, akhirnya.
"Mungkin murid-muridmu, Paman. Roka, misalnya. Atau mungkin juga Seruni," duga Jaka.
Terala tidak menimpali dugaan Jaka. Tubuhnya yang tiba-tiba mengejang, secepat kilat melesat ke arena pertempuran Gumai Gumarang melawan orang-orang Perguruan Kapak Terbang. Namun, kehadirannya di tengah-tengah pertempuran tidak langsung membuka serangan. "Tahan!" bentak Terala keras.
Tiga lelaki berpakaian ungu yang tengah bertarung seketika berlompatan ke belakang dua langkah. Begitu juga yang dilakukan Gumai Gumarang. Sedangkan dua orang murid Perguruan Hijau Kemuning sudah roboh di tanah. Mereka memang masih hidup, namun nasibnya mengkhawatirkan. Jelas, dalam pertarungan tadi, mereka terkena sasaran tiga orang berpakaian ungu.
"Orang-orang Kapak Terbang!Apa urusan kalian hingga datang mengacau kediaman kami?!" ucapan Terala sangat berwibawa, sehingga membuat wajah ketiga lelaki berpakaian ungu memerah. "Kedatangan kami kesini untuk membalas kematian murid kami!" jawab salah seorang dari anggota Perguruan Kapak Terbang. Lelaki gagah yang memiliki suara mirip perempuan itu seketika berkacak pinggang.
"Ya! Serahkan saja orangmu yang telah berani menghilangkan nyawa murid Perguruan Kapak Terbang. Atau, perguruan ini kuratakan dengan tanah!" gertak lelaki berkumis melintang dengan rambut mirip rambut jagung.
"Kisanak! Buka mata kalian lebarlebar! Apa kalian tidak melihat kedua muridku yang tengah meregang nyawa itu? Sebentar lagi, kedua nyawa muridku akan melayat ke akhirat Dan itu berarti, tuntutanmu sudah lebih. Seharusnya aku yang marah, Kisanak!"
"Tidak begitu hitungannya!" selak salah seorang lelaki berpakaian ungu dan berperawakan sedang, namun nampak begitu kekar.
"Muridmu yang bernama Roka telah menghina kebesaran Perguruan Kapak Terbang. Dan yang lebih kurang ajar lagi, muridmu itu telah berani menantang seisi Perguruan Kapak Terbang. Hal itu berarti dia sudah berani menantang junjungan kami, Rimpopokan!"
"Roka?!"
Terala mengucapkan nama itu dalam hati. Dia memang murid kesayangannya, tapi....
"Akh!"
Terala menepis bayang-bayang Roka yang telah tewas dengan keadaan tubuh yang mengerikan. Orang-orang Gandewa memang telah membunuhnya dengan menebas putus kedua kaki muridnya itu.
"Serahkan cepat, Kisanak! Atau kuhancurkan sekarang juga perguruan ini!" bentak lelaki berkumis melintang dan berambut kekuning-kuningan, kasar. "Dia tidak ada di sini!"
Bergetar ucapan yang keluar melalui bibir Terala. Dia kelihatan geram melihat kekurangajaran ketiga lelaki berpakaian ungu itu.
"Pembohong! Rasakan ini.
Hiiaaat..!"
Lelaki berpakaian ungu dan kumis melintangyangsebenarnyabemama Jumpawa itu segera melesat. Tenaganya digenjot kuat, dengan letak kaki lurus ke depan. Suara menderu seketika mengiringi tibanya serangan yang disertai pengerahan tenaga dalam penuh.
"Uts!"
Terala cepat-cepat menggeser kakinya sedikit sambil memiringkan badannya. Maka serangan Jumpawa hanya membentur tempat kosong, beberapa rambut meleset dari sasaran. Namun, Terala cukup memuji dalam hati gerakan lelaki berkumis melintang yang demikian cepat itu.
Belum juga Terala menarik napas lega, tiba-tiba sambaran kaki lawan kembali datang mengancam begitu cepat
Besss...!
Tak ada kesempatan lagi bagi Terala untuk mengelak. Apalagi gerakan yang dilakukan Jumpawa begitu cepat. Maka dengan mengandalkan kepekaannya, tangan kirinya yang terkepal segera diangkat.
Takkk! "Akh!"
"Ugkh!"
Terala terjajar dua langkah, manakala tangannya memapak tendangan Jumpawa yang cukup keras. Padahal, tenaga dalamnya hampir seluruhnya dikerahkan.
Begitu halnya dengan Jumpawa. Hatinya terkejut menyaksikan kecepatan Terala menangkis serangannya. Dan yang lebih mengejutkan lagi, begitu merasakan tenaga dalam lawannya yang tidak jauh berbeda.
Orang-orang dari Perguruan Kapak Terbang semakin merasa terhina oleh perlawanan Terala. Makanya, secara diam-diam lelaki berpakaian ungu berperawakan sedang yang bernama Gingsal menyibak bagian pakaiannya. Dari balik pakaiannya diraihnya benda berbentuk kapak berwarna merah seperti bara.
Gingsal tidak langsung melepas senjata andalannya, yang di kalangan rimba persilatan dikenal sebagai kapak terbang.
Sementara, setelah sekian lama Terala dan Jumpawa saling tatap untuk mengukur kekuatan masing-masing, mereka kembali melanjutkan pertarungan.
Jumpawa lebih dulu maju dengan mengayun-ayunkan kapaknya yang berukuran sedang. Sedangkan Terala yang menyaksikan lawannya mengeluarkan senjata, tanpa sungkan-sungkan lagi segera meloloskan pedang dari warangkanya.
"Haaa...!"
"Hiyaaa...!"
Trang! Trang...!
Benturan-benturansenjatatak dapat dielakkan lagi. Jurus demi jurus mengalir begitu cepat. Sementara, peluh sudah hampir membasahi sekujur tubuh Terala dan Jumpawa.
"Hiya! Hiyaaa...!" Bret!
"Ugkh!"
Lelaki berpakaian ungu dan berkumis melintang itu terkejut melihat sambaran pedang lawan yang begitu cepat Dia hanya mampu menggeser tubuhnya sedikit ke belakang, namun tak urung pakaiannya sobek tersambar pedang Terala.
"Kurang ajar!" maki Jumpawa, geram.
Jumpawa kembali ingin melancarkan serangan. Namun, seketika niatnya diurungkan manakala matanya sekelebatan menangkap sebuah benda kemerahan melesat begitu cepat ke arah Terala.
Terala tidak menyadari adanya bahaya mengancam itu. Namun, Gumai Gumarang yang merupakan kakak seperguruannya sempat melihat benda yang melesat begitu cepatnya. Maka dia bermaksud ingin memapak serangan gelap itu. Tapi, seketika niatnya diurungkan. Sebab, Gumai Gumarang telah melihat sosok kuning keemasan melesat demikian cepat dan lebih dulu menghadang benda kemerahan yang tengah melayang di udara, mengancam keselamatan Terala. Tap!
Sosok kuning keemasan berputaran dua kali di udara, setelah berhasil menangkap benda yang ternyata sebuah kapak berukuran kecil warna merah. Setelah menyelidiki benda yang berada di tangannya, lelaki berpakaian kuning keemasan yang ternyata Jaka segera menatap dua lelaki berpakaian ungu dari Perguruan Kapak Terbang.
"Kisanak sekalian!" menggeleger suara Jaka. "Apakah cara ini yang dilakukan orang rimba persilatan? Kalian licik! Apa tidak ada cara lain, selain membokong dengan benda beracun seperti ini?"
Karmawa, lelaki berpakaian ungu yang suaranya mirip perempuan, maju dua langkah. Sambil melipat kedua tangan di depan dada, lelaki itu berbicara.
"Siapa kau, Anak Muda?! Mengapa begitu lancang mencampuri urusan kami. Minggirlah. Jangan menyesal kalau kau mati muda!"
Mendengar ucapan seperti itu, mata Jaka langsung berkilatan seperti menahan marah. Namun, sebentar kemudian matanya kembali seperti biasa, dengan seulas senyum teramat menawan.
"Kisanak!" seru Jaka mantap. "Yang kuketahui, urusan ini adalah urusan antara Perguruan Hijau Kemuning dengan Perguruan Kapak Terbang. "
"Nah! Lalu, kenapa kau tidak cepat-cepat menyingkir, Anak Muda?!" selak Gingsal.
"Aku akan menyingkir, kalau kalian juga menyingkir dari sini," sahut Raja Petir alias Jaka Sembada, tenang.
"Kurang ajar! Bunuh pemuda usilan itu!" teriak Gingsal geram.
"Hiyaaa. !"
"Tunggu!" Jaka masih berusaha menahan, dan usahanya ternyata tidak sia-sia.
Gingsal seketika menghentikan gerakannya. Tatapannya tertuju lurus ke wajah Jaka.
"Aku tak segan-segan melenyapkan kalian semua jika tidak mau mendengar kata-kataku. Menyingkirlah!"
"Setan belang! Siapa kau sebenarnya, Anak Muda Usilan? Apa kau memiliki nyawa rangkap, heh!"
"Aku Jaka Sembada, dan Ketua Perguruan Hijau Kemuning ini adalah pamanku. Jadi, wajar kalau aku mengusir tamu kurang ajar seperti kalian!"
"Sombong kau!"
Gingsal seketika membuka jurus. Kakinya yang sejak tadi berdiri tegak langsung direndahkan, membentuk kudakuda kokoh.
"Terimalah hadiah atas kekurangajaranmu, Bocah! Hiyaaa...!"
"Uts!"
"Hiaaa...!"
"Ups!"
Lelaki berperawakan sedang itu geram menyaksikan serangan yang dilancarkannya secara beruntun berhasil dielakkan lawan demikian mudah. Bahkan si Raja Petir hanya menggeser sedikit bagian-bagian tubuhnya.
"AdiJumpawa!AdiKarmawa!Mari kita habisi saja bocah edan ini! Ayo!" Dua bayangan ungu seketika melesat cepat ke arah Jaka. Rata-rata, gerakan mereka begitu ringan. Jelas, dua lelaki yang dipanggil Jumpawa dan Karmawa memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi.
Melihat orang-orang Kapak Terbang hendak main keroyok, semula Terala hendak membantu. Namun, niatnya diurungkan ketika yakin kalau Jaka Sembada akan mampu menghalau para pengeroyoknya.
"Adi Terala, kenapa kita tidak membantunya?" Gumai Gumarang keheranan menyaksikan tingkah Terala.
Mendapatkan teguran seperti itu, Terala menjadi tak enak hati. Apalagi urusan ini memang urusannya. Jadi, kenapa harus Jaka yang mengatasi orang-orang Kapak Terbang seorang diri?
"Kita hadapi satu lawan satu, Kakang Gumai!"
Setelah berkata demikian, tubuh Terala cepat melesat ke arah pertarungan. Begitu juga Gumai Gumarang. Gerakannya yang cukup cepat langsung ditujukan ke dada Jumpawa.
Demikian pula Terala. Dia tanpa sungkan-sungkan lagi melancarkan serangan ke arah tubuh Karmawa. Sedangkan Jaka berhadapan dengan Gingsal yang merupakan orang tertua dari kelompok Kapak Terbang.
Pertarungan satu lawan satu berjalan cukup seru. Pada jurus-jurus awal, orangorang Kapak Terbang berhasil mengimbangi perlawanan Terala, Jaka, dan Gumai Gumarang. Akan tetapi memasuki jurus kedua belas, orang-orang berpakaian ungu itu mulai sedikit terdesak. Terutama lelaki berperawakan sedang dan kekar yang bertarung melawan Jaka. Padahal Raja Petir hanya mengeluarkan jurus-jurus ringan dari Eyang Legar (Baca serial Raja Petir dalam epipode "Pembalasan Berdarah").
"Setan!" maki Gingsal ketika sambaran tangan Jaka hampir saja mendarat di wajahnya.
Gingsal segera membawa mundur tubuhnya sedikit. Pijakan kakinya yang tidak sempurna dicoba ditutupi dengan gerakan menyerang ke arah iga Jaka.
Menyaksikan kesembronoan lawan, Raja Petir segera memiringkan tubuh ke kanan. Langsung dilepaskannya tendangan keras dengan kaki kanan terarah ke kaki kiri lawan.
Plak! Bukkk...!
"Akh..."
Lelaki berperawakan sedang itu memekik tertahan. Tubuhnya yang begitu keras menghantam bumi, disaksikan Jaka dengan senyum sinis.
"Bagaimana? Masih sanggup melawanku?" tanya Jaka enteng.
"Keparat!" Gingsal kembali bangkit. Sementara di tempat lain, Terala berhasil mendesak Karmawa.
"Terimalah ini, Kisanak!
Hiyaaa...!"
Ketua Perguruan Hijau Kemuning itu melancarkan tendangan keras ke arah dada Karmawa yang tengah mengatur letak berdirinya. Sepertinya tendangan cepat yang dilancarkan Terala tak mampu dielakkan Karmawa. Maka....
Degkh! "Ugkh!"
Tubuh Karmawa terjajar tiga langkah ke belakang. Dadanya seketika terasa seperti melesak ke dalam. Darah nampak merembes dari sela-sela bibirnya. Lelaki itu segera memegangi dadanya yang terasa sesak dengan tangan kiri. Akan tetapi, siapa yang sangka kalau tangan lelaki itu begitu cepat meraih benda yang ada di balik pakaiannya. Dan begitu berada dalam genggaman, benda itu dengan cepat dilemparkan ke arah Terala yang belum siap.
Singgg...!
Suara mendesing nyaring mengiringi tibanya serangan maut yang dilancarkan salah seorang dari anggota Perguruan Kapak Terbang itu.
Terala terkejut menyaksikan benda berwarna kemerahan melesat cepat, dan tahu-tahu sudah mengancam dadanya. Semula Terala ingin menangkis serangan itu dengan pedangnya. Namun rasanya hal itu tidak mungkin. Maka secepat kilat letak tubuhnya dirubah. Namun...
"Akh...!"
Terala memekik tertahan. Sebilah kapak kecil berwarna kemerahan tetap saja menggores kulit tubuhnya. Sebetulnya luka yang diakibatkan serempetan kapak kecil tadi tidak terlalu dalam. Tetapi justru racun dari kapak itu yang bergerak cepat Maka, kini Terala merasakan tubuhnya demam dan matanya berkunang-kunang.
Melihat keadaan Terala yang kurang menguntungkan, cepat-cepat Jaka menyudahi perlawanan lelaki bernama Gingsal.
"Terimalah ini! Hiyaaa...!" Tuk! Tuk!
"Akh!" Tubuh Gingsal seketika terjungkal ke tanah, dan tak mampu bergerak lagi akibat totokan yang dilancarkan Jaka. Selesai menyingkirkan lawannya, Raja Petir melesat cepat ke arah Terala.
"Menyingkirlah, Paman," pinta Jaka. "Paman Gumai! Bawa Paman Terala ke dalam! Biar kuhadapi dua cecunguk ini."
Mendengar seruan Jaka yang tidak main-main, Gumai Gumarang segera melesat menghampiri Terala. Dan dengan cepat pula dibopongnya tubuh lelaki setengah baya berpakaian putih yang terluka oleh kapak kecil beracun itu.
Jumpawa, lelaki berkumis melintang yang memiliki rambut tipis seperti rambut jagung, merasa tak senang melihat Gumai melesat pergi. Lelaki berkumis melintang ini sangat penasaran, karena belum sempat mendaratkan sebuah pukulan pun pada lawannya.
Rasa penasaran membuat Jumpawa mengambil keputusan untuk mencegah Gumai Gumarang masuk ke dalam. Namun sayang, gerakannya terhadang Jaka.
"Hup! Akulah lawanmu, Kisanak," cegah Jaka dengan kedua tangan terlipat di depan dada.
Jumpawa seketika menahan langkahnya. Dia tak langsung menyerang, mengingat calon lawannya ini begitu mudah merobohkan Gingsal. "Sudah kukatakan, akulah lawanmu. Ayo maju. Kenapa diam seperti itu? Seranglah aku," Jaka mencoba memanasmanasi.
Jumpawa menatap wajah Jaka tajamtajam. Begitu juga halnya dengan Karmawa.
"Kau juga!" tunjuk Jaka pada Karmawa. "Kenapa diam begitu? Ayo serang aku! Atau, nyali kalian sudah tidak ada lagi?"
"Keparat! Sombong betul kau, Bocah!" bentak Jumpawa, geram.
Seiring bentakan Jumpawa, tibatiba berdesingan beberapa kapak kecil berwarna merah ke arah Jaka.
Sing... sing... sing...!
Menghadapi serangan lawan yang mengandalkan kecepatan serangan gelap, Jaka segera mengerahkan jurus 'Pukulan Pengacau Arah'. Kedua telapak tangannya yang terbuka, dibawa ke depan dada, lalu didorongkan ke muka. Maka seketika keluar angin keras dari telapak tangannya yang terbuka.
Wusss.'
Angin keras yang keluar dari telapak tangan Raja Petir itu kelihatan bergulung-gulung, layaknya sebuah putaran angin. Maka, dapat dipastikan ketiga benda yang melaju cepat ke arah Jaka terpapas gulungan angin itu.
Trak! Trak! Trak!
Seperti menyentuh benda keras, ketiga kapak kecil beracun itu berpentalan tak tentu arah. Salah satunya, malah hampir menyambar tubuh pemiliknya sendiri.
"Hup!"
Jumpawa segera saja membuang dirinya ke kanan untuk menghindari senjatanya sendiri.
"Brengsek!" hardik Jumpawa.
Sungguh Jumpawa tidak percaya dengan kemampuan anak muda di hadapannya. Senjata rahasia andalah Perguruan Kapak Terbang begitu mudah dihalaunya!
***
"Kakang Jumpawa! Ayo habisi saja nyawa anak muda sok jago ini!" seru Karmawa, geram.
Jumpawa segera memenuhi permintaan Karmawa. Langsung kapak berukuran sedang berwarna hitam miliknya dimainkan dengan memutar-mutar pergelangan tangannya. Begitu juga yang dilakukan Karmawa. Nampaknya, kedua lelaki berpakaian ungu itu hendak menyajikan jurus-jurus andalan.
"Tunggu,Kisanak!"cegahJaka kemudian. "Sebenarnya, antara aku dan kalian tak pernah ada suatu urusan yang begitu berat. Kecerobohan kalian akan kumaafkan, sekiranya kalian mau. Dan aku akan membiarkan kalian pergi tanpa mengusik lagi. Atau..., kalian ingin agar aku yang meminta maaf atas kesalahan Roka yang telah tewas di tangan orang lain?"
"Omong kosong!" hardik Karmawa. "Aku sudah telanjur membenci
kehadiran dan keusilanmu, Anak Muda! Kita harus melanjutkan pertarungan ini sampai salah satu di antara kita mati!" timpal Jumpawa.
Jaka Sembada mengembangkan senyumnya sekilas. Dari dalam, Gumai Gumarang keluar dengan tergesa-gesa. Dia bermaksud menyerang dua lelaki berpakaian ungu yang berada lima tombak kurang di hadapan Jaka. Namun, cepat-cepat tangan Raja Petir menahan langkah Gumai Gumarang.
"Tahan, Paman," tukas Jaka.
Gumai Gumarang mengurungkan maksudnya.
"Bagaimana keadaan Paman Terala?" tanya Jaka.
"Dia harus bersemadi untuk menghilangkan sisa racun yang tersebar di pembuluh darah," jelas Gumai Gumarang.
"Syukurlah," desah Jaka perlahan. Matanya yang tajam kemudian diarahkan pada dua lelaki berpakaian ungu di hadapannya.
"Bagaimana, Kisanak? Apa kalian masih berselera melanjutkan pertarungan ini? Atau, kalian akan pergi secara damai, setelah aku, atas nama Perguruan Hijau Kemuning meminta maaf pada Perguruan Kapak Terbang?"
"Tidak semudah itu, Anak Muda Sombong! Kita selesaikan dulu urusan ini," bantah Karmawa.
"O, begitu," tekan Jaka. "Kuharap, kalian tidak menunduhku kejam setelah sabuk ini melumat tubuh kalian. Bersiaplah!"
Jaka perlahan meloloskan sabuk berwarna kuning keemasan yang melilit pinggangnya. Dari sabuk yang terlepas, nampak sinar kuning berkilauan berpendar-pendar. Kini sabuk itu telah tergenggam di tangan pemiliknya.
Kedua lelaki berpakaian ungu itu seketika membeliakkan mata, menyaksikan pamor yang begitu dahsyat dari sabuk yang digenggam pemuda dihadapan mereka. Dengan perasaan ngeri, Jumpawa dan Karmawa mencoba melawan kemilau sinar yang keluar dari sabuk kuning warna keemasan milik Raja Petir.
Namun, lain halnya dengan Gumai Gumarang. Keterkejutan yang melanda kedua lelaki berpakaian ungu itu memang juga hinggap pada dirinya. Pasalnya, dia seakan pernah melihat sabuk keemasan yang digunakan seorang tokoh berkepandaian sangat tinggi pada puluhan tahun yang lampau. Seorang tokoh yang malang-melintang di dunia persilatan, dan selalu berpihak pada kebenaran.
Gumai Gumarang tidak berani melanjutkan dugaannya terhadap tokoh sakti yang pernah bertualang pada puluhan tahun silam. Matanya sibuk memperhatikan apa yang akan dilakukan pemuda berpakaian kuning keemasan di sampingnya.
Belum lagi kedua lelaki berpakaian ungu dari Perguruan Kapak Terbang itu bertindak, Jaka telah memutar-mutar pergelangan tangannya.
"Ini untuk perhatian kalian, Kisanak!"
Slap! Glarrr! Slap!
Glarrr...!
Seleret sinar berwarna keperakan seperti petir keluar melalui ujung sabuk yang dikebutkan Raja Petir. Sambarannya bahkan mampu membuat dua batang pohon sebesar dua pelukan lelaki dewasa hangus terbakar, lalu tumbang.
"Raja Petir?!"
Dua lelaki berpakaian ungu dari Perguruan Kapak Terbang terhenyak menyaksikan apa yang telah diperagakan pemuda di hadapan mereka. Jumpawa dan Karmawa jadi teringat ucapan Ki Rimpopokan. Guru Besar Perguruan Kapak Terbang itu pernah menceritakan kalau puluhan tahun silam ada seorang tokoh sakti yang tak pernah, atau sangat sukar dikalahkan. Tokoh itu berjuluk Raja Petir!
Menilik senjata dan pakaian pemuda yang baru saja menumbangkan dua batang pohon besar itu, jelas sama persis dengan apa yang pernah diceritakan Ki Rimpopokan.
"Apakah anak muda itu pewaris ilmu Raja Petir?" benak Jumpawa menyimpan pertanyaan yang sama persis dengan Gumai Gumarang.
"Bukankah Raja Petir sudah wafat puluhan tahun lalu? Hm... kalau begitu, dia pasti pewaris ilmunya. Akan tetapi. "
Gumai Gumarang masih menggantung pertanyaannya. Seingatnya, keturunan Raja Petir yang terakhir hanya mempunyai seorang anak perempuan. Dan konon menurut kabar, ilmu-ilmu yang dimiliki Raja Petir hanya bisa diwarisi sepenuhnya oleh seorang lelaki keturunannya. Sedangkan Jaka?
"Apa tidak mungkin dia Raja Petir gadungan yang hanya ingin meniru atau mengambil alih kemasyhuran nama Raja Petir terdahulu?" berbagai praduga berseliweran di benak Gumai Gumarang. Namun segera ditepisnya dugaan buruk akan diri Jaka yang disebut Terala sebagai kemenakannya. Keberanian Jumpawa dan Karmawa sedikit demi sedikit surut Apalagi dengan ancaman anak muda berpakaian kuning keemasan yang tidak main-main itu.
"Bagaimana? Aku sudah sudi meminta maaf atas nama Perguruan Hijau Kemuning. Apakah Kisanak sudi meninggalkan Perguruan Hijau Kemuning ini? Kalau kalian berkeberatan. ”
Belum selesai ucapan si Raja Petir, dua sosok berpakaian ungu itu telah berkelebat cepat menyambar tubuh rekannya yang sejak tadi tergeletak karena tertotok oleh Jaka. Sebentar kemudian, kedua sosok ungu dari Perguruan Kapak Terbang itu melesat pergi meninggalkan Jaka dan Gumai Gumarang. Mereka menatap kelakuan orang-orang Perguruan Kapak Terbang dengan senyum.
Setelah sosok-sosok ungu betulbetul lenyap dari Perguruan Hijau Kemuning, Gumai Gumarang menatap lekat-lekat wajah Jaka yang membias kegembiraan.
Gumai Gumarang terus menatapi wajah Raja Petir disertai perasaan kagum yang berbaur dengan tanda tanya. Namun, dirinya terhenyak kerika tanpa disadari Jaka menoleh ke arahnya.
Gumai Gumarang merasa tertangkap basah atas perbuatannya. Rasanya, seluruh permukaan wajahnya memanas. Gumai Gumarang merasa risih atas perbuatannya tadi. Maka untuk menutupi kerisihannya, dia segera memegang bahu Jaka.
"Mari masuk ke dalam, Jaka. Mudah-mudahan saja Terala sudah menyelesaikan semadinya," ajak Gumai Gumarang.
Tentu saja Jaka tidak menolak ajakan itu. Apalagi tubuhnya terasa lerih. Makanya, kakinya segera melangkah seiring langkah kaki Gumai Gumarang.
***
Terala mengakhiri semedinya setelah dirasakan racun yang menyebar dipembuluh darahnya dirasakan sudah tidak ada lagi. Kelopak mata yang sejak tadi terpejam kini mulai membuka sedikit demi sedikit. Sementara seruni yang menunggu sejak tadi segera menghambur kearah orang tuanya. Dipeluknya erat-erat tubuh Terala penuh kasih.
"Bersyukur ayah telah terhindar dari bahaya yang mengerikan". Desah seruni sambil duduk disisi kiri ayah kandungnya.
Terala hanya tersenyum saja menyaksikan putri tunggalnya kesayangannya berlaku manja. Dialah pelipur lara Terala satu-satunya.
"Disamping mengucap syukur pada Pencipta Jagat Semesta ini, kita harus berterima kasih kepada Jaka Sembada. Melalui perantaranya lah kita semua terhindar dari bencana. Juga, Perguruan Hijau Kemuning terhindar dari kehancuran." Tambah Terala.
Mendengar penuturan ayahnya Seruni segera tersadar. Dia segera berhambur kearah Jaga Sembada yang ternyata sudah berkumpul di ruang Rahasia.
"Maafkan aku Raja Petir, Aku tidak memperhatikan kehadiranmu." Seru Seruni sambil berlutut dihadapan Jaka yang merasa risih diperlakukan seperti itu.
"Namaku Jaka, Seruni. Aku lebih suka dipanggil dengan nama asliku," tukas Jaka sambil membawa bangkit tubuh Seruni.
"Kakang Jaka," panggil Seruni. "Terima kasih sekali atas pertolonganmu yang telah menyelamatkan kami."
"Jangan sungkan seperti itu, Seruni. Sudah wajar setiap makhluk harus tolong-menolong, dan mengasihi. Bunga tanpa kumbang dan air, tidak akan ada apa-apanya. Bunga itu akan layu, lalu mati."
Seruni terdiam mendengar ucapan bijak dari mulut lelaki tampan di hadapannya. Gadis itu hanya mampu menundukkan kepala saja.
Seketika, suasana jadi hening karena belum ada orang yang membuka percakapan lagi.
"Kau mungkin letih, Jaka," kata Terala memecah kebisuan Seruni dan Jaka.
Si Raja Petir hanya tersenyum, dan menatap Terala.
"Antar Jaka ke dalam, Seruni. Biar dia istirahat dulu," perintah Terala kemudian.
Tanpa diperintah dua kali, Seruni bangkit sambil menggamit lengan Jaka.
***
Fajar mulai menyingsing kerika Jaka terjaga dari tidurnya. Hawa dingin menyejukkan dada seketika dirasakan si Raja Petir yang kini duduk di pembaringan sambil menggerakgerakkan badannya.
Udara dingin yang sejuk itu masuk melalui celah jendela yang sekarang dihampiri Jaka. Pemuda berwajah tampan dan berambut ikal itu membuka jendela yang hanya diganjal bambu sebesar lengan bocah.
Suara berderit terdengar seiring terkuaknya daun jendela ke kiri dan ke kanan. Angin pagi yang sejuk berebutan masuk, langsung menerpa tubuh Jaka. Kicau burung pun semakin terdengar merdu di telinga.
Tok, tok, tok...!
Tubuh Jaka berbalik, namun tidak segera membukakan pintu.
Tok, tok, tok...!
"Kang Jaka! Kakang sudah bangun?" tanya Seruni perlahan. Dia yakin kalau pemuda itu sudah bangun.
"Belum," jawab Jaka bergurau. "Ah! Kakang pasti masih
mengantuk, ya? Kalau begitu, biarlah nanti akan kusampaikan pada ayah dan Paman Gumai," kata Seruni sambil membalikkan badan dan melangkah meninggalkan pintu kamar.
Mendengar tapak kaki Seruni yang meninggalkan pintu kamamya, Jaka segera menghambur dan membuka pintu.
"Katakan pada Paman, Seruni. Kakang menyusul nanti."
Setelah berkata seperti itu, Jaka bergegas pergi.
***
"Enak sekali pisang gorengnya, Paman. Pasti Seruni yang membuatnya," puji Jaka sambil mengunyah pisang goreng yang masih hangat.
Jaka kini memang telah berada di pendopo Perguruan Hijau Kemuning. Dia duduk di kursi jati berukir, di sebelah Gumai Gumarang. Sementara tepat di depannya, duduk Terala bersama putrinya, Seruni. Mereka saat ini memang tengah berbincang-bincang, mengelilingi sebuah meja pualam.
Terala mengembangkan senyumnya mendengar seloroh pemuda yang memiliki ilmu silat dan kesaktian sangat tinggi. Begitu juga Gumai Gumarang.
"Bagaimana tidurmu? Nyenyak?" basa-basi Gumai Gumarang kemudian.
"Nyenyak sekali, Paman. Mungkin karena tubuhku terlalu lelah," jawab Jaka.
Senyum Terala semakin merekah.
"O ya, Jaka. Menyambung pembicaraan Paman yang kemarin. "
"Mengenai pewaris Raja Petir itu, Paman?" selak Jaka tanpa sungkan. Tawanya seketika lepas ringan.
Gumai Gumarang yang duduk tak jauh dari Jaka ikut tertawa lepas, bahunya nampak berguncang-guncang seiring tawanya yang agak keras, namun pikiran Gumai Gumarang sesungguhnya tak lepas dari rasa keingintahuannya juga. Mengenai asal-usul Raja Petir.
"Paman bangga memiliki kemenakan seperti kau, Jaka. Dan akan lebih bangga kalau kau sudi menceritakan asal-usulmu. Sehingga menjadi pewaris ilmu dan pusaka Raja Petir yang kesohor itu."
'Tentu saja, Paman," sahut Jaka. Sebentar dia meraih minuman, dan kemudian meneguknya. Selanjutnya, barulah dia membuka ceritanya. "Sejak peristiwa itu, aku memang diasuh seorang kakek yang kupanggil Eyang Legar."
"Legar?" tandas Gumai Gumarang. "Aneh?"
Sekilas Jaka menatap perubahan air muka Gumai Gumarang.
"Ada apa, Paman?" tanya Jaka ingin tahu. "Apa Paman mengenai Eyang Legar?"
"Hm.... Apa mungkin dia?" desah Gumai Gumarang. "Tapi kalau Legar yang berjuluk Hantu Pemburu Nyawa, aku memang pernah mengenalnya. Bahkan sempat bertarung."
"Betul sekali, Paman Gumai. yang membesarkan dan mendidikku selama hampir dua belas tahun adalah Eyang Legar yang berjuluk Hantu Pemburu Nyawa. Ah! Maafkan aku, Paman. Kalau boleh aku tahu, apa sebabnya Paman bertarung melawan si Hantu Pemburu Nyawa?"
Gumai Gumarang nampaknya tidak keberatan mendengar permintaan Jaka.
"Dia tokoh sesat, Jaka. Sepak terjangnya selalu berurusan dengan kekerasan, nyawa, dan perempuan. "
Gumai Gumarang menghentikan ceritanya. Tatapan matanya beralih pada Terala yang mendengarkan dengan seksama.
"Si Hantu Pemburu Nyawa dulu menginginkan orang yang kucintai dan kusayangi," lanjut Gumai Gumarang. Namun, sesungguhnya pikirannya menerawang .jauh ke masa lampau. Terutama saat dirinya bertarung dengan si Hantu Pemburu Nyawa, demi mempertahankan Ningrum.
"Pasti kau mempertahankannya, Paman?" selak Jaka, mengusir keterpakuan Gumai Gumarang.
"Oh! Tentu..., tentu. Tentu saja aku mempertahankannya. Malahan, aku mengajaknya bertarung. "
"Hasil akhirnya bagaimana, Paman?” selak Seruni, tiba-tiba. Rupanya dia ingin tahu juga kelanjutan cerita yang memang selama ini disembunyikan Gumai Gumarang.
"Paman kalah, Seruni. Kepandaian si Hantu Pemburu Nyawa memang di atas kemampuan paman. Tapi untungnya, pada saat-saat gawat datang pertolongan yang tidak kuduga sama sekali. Dua bayangan putih tiba-tiba berkelebat cepat menyambar tubuhku dan Ningrum. Mereka membawa kami ke tempat sepi, yang sepertinya belum pernah dijamah orang. Anehnya, penolong gelap itu tak mau menampakkan din sampai paman dan Ningrum memutuskan tinggal sementara di tempat itu."
"Bagaimana dengan Eyang Legar yang berjuluk si Hantu Pemburu Nyawa itu? Apakah dia tidak mencarimu?"
"Aku rasa, si Hantu Pemburu Nyawa terus mencariku dan Ningrum. Namun belakangan, setelah paman keluar dari persembunyian, terdengar selentingan kabar kalau si Hantu Pemburu Nyawa mengasingkan diri. Entah alasan apa yang membuatnya berubah begitu."
"Penyebabnya adalah seorang perempuan bernama Selasih, Paman Gumai," celetuk Jaka.
"Selasih?" kali ini Terala yang membeliakkan mata. "Kalau aku tidak salah, bukankah dia yang mengantarkan Purwakanti, ibu kandungmu itu, menjadi murid Perguruan Soka Merah."
"Dugaan Paman Terala mungkin tak salah. Namun yang jelas, si Hantu Pemburu Nyawa mengasingkan diri bukan dikarenakan kalah dalam mengadu ilmu silat, tapi karena hal lain," tambah Jaka.
"Hal apakah itu, Kakang Jaka?" Seruni kembali tak mampu menahan keingin tahuannya.
"Asmara."
"Asmara?" ucapan yang keluar seperti desahan itu terdengar lewat bibir Seruni, Terala, dan Gumai Gumarang.
"Persoalan hati memang sukar sekali ditebak, Seruni. Seorang seperti si Hantu Pemburu Nyawa yang memiliki hati keras dan kejam luar biasa, harus mengaku kalah oleh segurat hati yang terpanah racun asmara. Apalagi waktu itu, Selasih bersedia menerima keadaan si Hantu Pemburu Nyawa dengan mengatakan kalau pada dasarnya manusia itu baik. Selasih minta agar si Hantu Pemburu Nyawa membuang semua kebiasaan dan sifat-sifat buruknya."
"Si Hantu Pemburu Nyawa memenuhinya?" selak Terala.
"Betul, Paman. Eyang Legar memang menyanggupi permintaan Nini Selasih. Namun, sayangnya hubungan mereka tak berlanjut indah. Orang-orang rimba persilatan dari golongan putih, yang kehidupan sehari-harinya dekat dengan Nini Selasih, tidak merestui hubungan itu," tutur Jaka.
Jaka menghentikan ceritanya sejenak. Dipandanginya satu persatu wajahwajah di dekatnya. Tampaknya mereka mengharapkan agar Jaka bercerita kembali.
"Mendapatkan kenyataan seperti ini, Nini Selasih tidak bisa berbuat apa-apa. Sedangkan si Hantu Pemburu Nyawa pun demikian adanya. Tidak mungkin kehendaknya dipaksakan, kalau pada akhirnya akan menimbulkan perpecahan. Khususnya, antara Selasih dengan orang-orang terdekatnya. Tindakan terbaik akhirnya didapat si Hantu Pemburu Nyawa. Karena telah berjanji pada Nini Selasihuntukmeninggalkankebiasaan dan sifat buruknya, akhirnya diputuskannyauntukmengasingkandiri. Ditinggalkannyakeramaianrimbapersilatan yang tak pernah ada habisnya." Terala,GumaiGumarang,dan Serunimengangguk-anggukkankepala.
Kelihatannya mereka mempercayai cerita yang disampaikan Jaka barusan.
"O ya, Paman Gumai," mata Jaka menatap wajah Gumai Gumarang lekatlekat.
Gumai Gumarang membalas tatapan mata Jaka, dengan benak dipenuhi keheranan.
"Izinkan aku mewakili Eyang Legar untuk menyampaikan kata maaf pada Paman. Eyang Legar telah benar-benar insaf atas apa yang pernah dilakukannya. Juga, terhadap diri Paman Gumai beserta Bibi Ningrum. Paman bersedia memaafkannya?"
Gumai Gumarang tidak segera menyahuti permintaan Jaka. Tatapan matanya yang semula tertuju pada wajah tampan si Raja Petir, kini beralih menatap wajah Terala. Seolah-olah, dia meminta persetujuan. Baru setelah Terala tersenyum, Gumai Gumarang kemudian menganggukkan kepalanya.
"Lanjutkan kisahmu tentang dia, dan keberadaanmu menjadi pewaris Raja Petir," pinta Gumai Gumarang perlahan. Jaka Sembada menarik napas lega. "Selama tinggal bersama Eyang
Legar di puncak Gunung Kalaban, aku ditempa ilmu silat dan kesaktian. Aku senang sekali, karena dapat menekuni sungguh-sungguh apa yang diberikan Eyang Legar. Hingga suatu ketika aku bertanya pada Eyang Legar, apakah sudah cukup ilmu yang kumiliki? Eyang Legar menjawab, belum."
Jaka berhenti sejenak. Dia berusaha mengingat-ingat kenangan belasan tahun yang lalu, saat-saat bersama Eyang Legar. Pemuda itu berusaha menjalin peristiwa demi peristiwa yang bisa mengungkap lebih jelas lagi latar belakangnya.
"Mendapatkan jawaban yang seperti itu, tentu saja hatiku tidak puas. Maka pada Eyang Legar aku meminta diajarkan ihnu silat dan kesaktian yang lain. Tapi, beliau menolak. Alasannya ilmu yang dimiliki adalah Ilmu golongan hitam. Aku kecewa, Paman," Jaka menghentikan ceritanya. Dia lalu meraih minumannya dan menghirupnya beberapa tegiik. "Kekecewaanku terhapus ketika Eyang Legar menjanjikan akan membawaku pada seseorang yang pantas menurunkan ilmunya. Dialah Nini Selasih, wanita yang dicintai Eyang Legar seumur hidup. Melalui Eyang Legar dan Nini Selasih, jati diriku tersingkap. Aku rasa, Paman Terala masih mengingat ceritaku beberapa hari yang lalu."
Terala menganggukkan kepala. "Sepeninggal Eyang Legar, aku
diasuh Nini Selasih. Dialah orangtuaku, sekaligus guru yang bijaksana. Aku ditempa oleh ilmu silat dan kesaktian penuh kesungguhan. Hingga, suatu saat Nini Selasih menemukan kepastian diri bahwa akulah bocah yang selama bertahun-tahun ditunggu-tunggu untuk dapat mewarisi pusaka almarhum Raja Petir. Begitu saat yang telah diperhitungkan tiba, Nini Selasih membawaku ke suatu tempat yang tak seorang pun tahu. Di sanalah Pusaka Raja Petir kuterima."
Jaka menunjukkan sabuk kuning keemasan dan dua buah bambu kuning sepanjang jengkal bocah berumur tiga tahun yang terletak di pergelangan tangan kirinya.
"Sewindu lamanya aku mempelajari peninggalan almarhum Raja Petir. Hingga suatu saat Nini Selasih memutuskan agar aku mengembara, mencari pengalaman dan mengusir setiap kebatilan dan keangkaramurkaan. Dan awalnya, aku merasa canggung ketika orang-orang persilatan mengenaliku sebagai sosok Raja Petir. Sampai saat ini pun, perasaan itu masih tetap ada. Dan aku tetap berusaha membiasakan diri. Biar bagaimanapun juga, mau tak mau aku harus menerima julukan itu," Jaka mengakhiri ceritanya.
Seruni menarik napas panjang seraya menatap wajah ayahnya.
"Ayah, bagaimana kalau aku dan Kakang Jaka berjalan-jalan keluar untuk sekadar menghirup udara segar?" pinta Seruni di kiar dugaan Jaka. Hal ini dilakukan Seruni agar Jaka tidak terus-menerus dikejar pertanyaan dari ayahnya maupun pamannya.
Mendengar permintaan ayahnya, Terala melepas seulas senyum sebagai tanda persetujuan.
"Permisi, Paman Terala, Paman Gumai," pamit Jaka ketika Seruni menarik-narik tangannya.
Hawa panas yang belum begitu menyengat seketika menyergap tubuh Jaka dan Seruni yang baru saja keluar dari pendopo Perguruan Hijau Kemuning. Dan buat si Raja Petir, seolah-olah kehangatan sinar mentari begitu memberi kebahagiaan hari ini. Demikian pula Seruni. Gadis berpakaian hijau daun itu menampakkan wajah yang demikian cerah.
"Kau hebat, Kakang," puji Seruni seiring langkahnya yang ringan.
Jaka tersenyum tipis mendengar pujian gadis cantik yang melangkah di sebelahnya. Sama sekali tak ada kebanggaan di hati Jaka. Dia memang tak ingin sombong, kecuali di hadapan musuh-musuhnya. Namun kesombongannya itu sebenarnya hanya sekadar untuk meruntuhkan nyali lawannya. Karena, Jaka ber-pikir, lebih baik menjatuhkan nyali lawannya daripada menjatuhkan tangan kejam. Setidak-tidaknya, dia bisa mengurangi dendam tokoh-tokoh hitam lainnya.
"Hebat apanya, Seruni?"
"Segalanya, Kakang. Ya ilmunya, ya."
"Pada dasarnya, manusia itu lemah, Seruni. Manusia tidak memiliki daya apa-apa tanpa sang Pencipta Jagat Semesta ini. Sepandai-pandainya manusia, pasti ada yang lebih pandai lagi. Demikian seterusnya, hingga akhirnya hanya Dia-lah yang terpandai."
Seruni terdiam. Diserapnya katakata Jaka yang penuh makna itu. Disadari pula kalau ada kebenaran pada kata-kata Jaka.
"Dan bagiku, sang Pencipta dan Pemelihara Alam Raya ini telah memilihku sebagai perantara untuk mengusir segala bentuk keangkaramurkaan dan kebatilan. Yang Maha Kuasa telah memberi kekuatan pada diriku. Dan aku harus menempatkan kekuatan itu pada tempat yang benar."
Seruni terpekur mendengar ucapan Jaka yang penuh kata-kata bijak. Tak terasa, langkah mereka telah jauh meninggalkan Perguruan Hijau Kemuning. Sementara tanpa disadari mereka, nampak sosok bayangan kemerahan tengah melesat cepat ke arah Utara. Entah apa yang sedang dikejar sosok itu.
***
Sosok tubuh berpakaian merah itu tak mengurangi kecepatan larinya yang bagai tak menapak tanah. Dari pengerahan ilmu lari cepatnya yang cukup sempurna, jelas kalau sosok itu bukanlah orang sembarangan.
Sosok berpakaian merah itu seketika mengurangi kecepatan larinya. Dari senjatanya yang berbentuk aneh berupa sepasang palu bergerigi yang dihubungkan dengan rantai baja, dapat dikenali kalau sosok berpakaian merah itu adalah Gantangga, orang kepercayaan Ludah Setan.
Gantangga seketika menghentikan larinya ketika di hadapannya menghadang semak belukar dan beberapa pohon berduri. Sebentar ditelitinya keadaan sekelilingnya. Ketika merasa yakin, Gantangga segera menyibak semak belukar dan pepohonan berduri.
Setelah melewati semak belukar yang tidak begitu sulit, Gantangga kini berhadapan dengan dinding tanah merah setinggi lima belas tombak. Gantangga mencoba mengukur ketinggian dinding bertanah merah itu dengan
tatapanmatanya.Dansekejapan kemudian....
"Hip!"
Gantangga menggenjot tubuhnya, lalu melejit ke atas. Dan setelah melakukan putaran dua kali, dia meluruk turun.
"Hup!"
NamunbelumlagiGantangga menarik napas lega, tiba-tiba....
Wusss! "Uts!"
Gantangga terkesiap. Namun sebagai tokoh berilmu tinggi, dia tahu apa yang harus dilakukannya. Maka ketika dia sadar kalau seberkas benda hitam beriringan itu hendak menerjang tubuhnya, dia cepat-cepat melenting menghindarinya.
Gantangga yakin betul kalau senjata rahasia yang berupa jarumjarum beracun itu dilepaskan penghuni Goa Mayat dengan sengaja.
"Hup!" Gantangga kembali mendaratkan tubuhnya. "Aku utusan Gandewa, Nyi!"
Gantangga mengerahkan tenaga dalam pada teriakannya tadi. Maka suaranya terdengar menggema, memantul di antara dinding-dinding Goa Mayat. Namun, gema suara Gantangga seketika tertelan kekehan suara nenek-nenek.
"He he he.... Lemparkan senjatamu ke atas kalau kau betul-betul utusan
Ludah Setan!" teriak perempuan tua itu, lantang.
Gantangga segera meloloskan senjatanya, berupa palu bergerigi yang dihubungkan dengan rantai baja. Rantai itu membelit pinggangnya yang kokoh.
"Akan kuserahkan senjataku padamu, Nyi," ujar Gantangga.
Suara menderu seketika tercipta dengan berputar-putarnya senjata Gantangga.
Wuuuk. Wuuukkk!
Singgg. !
Klang!
Senjata yang dilempar Gantangga persis jatuh di depan mulut Goa Mayat Seketika suara kekehan kembali terdengar.
"He he he.... Kemarilah, Gantangga," ujar suara yang ternyata Nyi Regita.
Gantangga kembali melejitkan tubuhnya ke udara, seraya melakukan gerak memutar dua kali. Gerakannya begitu ringan ketika mendarat manis di mulut Goa Mayat
"Hup!"
"He he he.... Kukira kau setan dari mana, sehingga berani menyatroni kediamanku. He he he.... Bawa kabar apa kau dari Gandewa?"
Gantangga menjura, memberi hormat Kepalanya yang menunduk, kini sudah tegak kembali. Hanya saja, wajahnya
kali ini agak pias.
"Celaka, Nyi!" agak bergetar suara Gantangga.
"Celaka?" dahi Nyi Regita yang memang sudah keriput tambah mengkerut. "He he he.... Siapa yang celaka, Gantangga?"
"Dua hari lalu, junjunganku bertarung dengan Raja Petir, Nyi."
"Raja Petir?" selak seorang kakek berjubah warna biru langit yang tibatiba muncul, lalu berdiri di samping Nyi Regita. Dia memegang senjata berupa sending perak. Nyi Regita sering memanggilnya sebagai Ki Angkara.
"Jangan mengigau, Gantangga! Aku tak suka dengan igauanmu yang tak masuk akal!" bentak Ki Angkara yang juga berjuluk si Sending Setan.
"Kau membual terlalu jauh, Gantangga. Hati-hati," rimpal Nyi Regita dengan suara yang tidak begitu keras.
Gantangga kembali menjura penuh hormat. Dirasakannya lututnya seketika bergetar.
"Aku tidak sedang mengigau, Ki. Dan juga tidak membual," bantah Gantangga agak takut-takut.
"Bocah edan!" maki Ki Angkara.
Bahkan Ki Angkara juga bermaksud hendak menghajar lelaki berpakaian merah di hadapannya. Namun, gerakannya cepat dicegah Nyi Regita. Malah perempuan tua berusia sekitar tujuh puluh tahun itu kembali terkekehkekeh.
"He he he.... Lanjutkan saja ceritamu, Gantangga. Lupakan kekerasan aki peot itu. Asal kau tahu saja, sekarang ini dia lebih senang mengumbar kemarahannya."
"Edan!" maki Ki Angkara lagi.
Nyi Regita mengembangkan senyum peotnya.
"Lanjutkan ceritamu, Gantangga!" pinta Nyi Regita kemudian.
"Dia betul-betul persis Raja Petir, Nyi. Ciri-ciri senjata dan pakaiannya semakin memperkuat. Julukannya, yakni Raja Petir. Bahkan dia masih begitu muda!"
"Murah sekali igauanmu, Gantangga!" hardik Ki Angkara. "Raja Petir sudah mampus! Kau tahu itu."
"Aku tidak mengigau, Ki. Malah aku pernah bertarung dengannya. Dia begitu digdaya. Ki Gandewa pun tak kuasa menghadapi Raja Petir. Bahkan hampir saja terjumput ajal. Untung Ki Gandewa mampu menangkis aji pamungkas milik Raja Petir dengan tangan kanannya. Tapi sayang, Ki Gandewa harus merelakan tangan kanannya yang putus."
"Ha ha ha...!" Ki Angkara tertawa terbahak-bahak. Dadanya yang masih kelihatan berisi tampak berguncangguncang hebat. "Utusan Gandewa betulbetul pembual tingkat rendahan. Ha ha ha.... Jangan coba-coba mengelabui aku, Bocah!"
Nyi Regita mencoba menatap Ki Angkara sebagai tanda memperingatkan. Dan isyarat itu dapat ditangkap Ki Angkara, sehingga harus mengecilkan tawanya.
"Nyi Regita," panggil Ki Angkara pada nenek berpakaian merah dengan untaian kalung emas berbentuk bulan sabit melingkari lehernya. "Apakah kau tidak mencium adanya bau kelicikan dari cerita utusan Ludah Setan itu?"
"Maksudmu?" Nyi Regita menaikkan sedikit alisnya yang hitam tebal.
"Kenapa kepekaanmu mulai luntur, Nyi. Apakah kau tidak dapat mencium maksud jelek pada cerita yang dibawa Gantangga? Hm.... Aku yakin, cerita itu hanyalah akal licik si Gundul Gandewa."
"Jangan ngelantur bicaramu, Angkara," sental Nyi Regita memperingatkan dengan suara ringan. Nenek itu merasa tak enak hati pada utusan Gandewa.
"Aku tidak melantur. Keyakinanku tak berubah bahwa cerita itu hanyalah akal licik Gandewa. Tidakkah kau pelajari sikapnya selama ini? Dia belakangan ini seperti hendak menjauhi kita, Nyi. Dengan cerita yang dibuatbuat itu, dia pasti ingin menyingkirkan kita dari peta kekuatan kaum hitam rimba persilatan. Dugaanku, Gandewa ingin mengadu domba kita pada tokoh yang memang telah diukur kesaktiannya. Karena merasa tidak sanggup, Gandewa menyodorkan kita sebagai umpan."
Nyi Regita mengangguk-anggukkan kepala setelah mendengar penuturan si Sending Setan.
Sementara, Gantangga yang menyaksikan kecurigaan si Seruling Setan hanya mampu menggeram dalam hati. Dia tidak mampu membantah kecurigaan Ki Angkara. Gantangga tahu benar tabiat lelaki tua berpakaian warna biru langit itu. Wataknya memang keras, dan pendapatnya tidak boleh ditentang oleh orang-orang yang berada di bawah kekuasannya.
"Dugaanmu rasanya bisa diterima akal, Angkara," ujar Nyi Regita setengah bergumam. "Pikiranku tak sampai ke situ, karena aku beranggapan Gandewa bukannya menjauhi persatuan kita. Tapi, dia memiliki kesibukan lain. Hanya saja setelah mendengar penuturanmu. "
Nyi Regita menggantung ucapannya. Dahinya nampak berkerut sebagai pertanda telah memikirkan persoalan yang perlu jalan keluar. "Bagaimana tanggapanmu atas kecurigaan Ki Angkara, Gantangga?" Nyi Regita melemparkan pertanyaan pada lelaki berpakaian merah yang tengah menundukkan kepala.
Mendapatkan pertanyaan seperti itu, Gantangga tergagap seketika. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Gantangga benar-benar takut menyaksikan kemarahan Ki Angkara. Itulah sebabnya, sebelum menjawab pertanyaan Nyi Regita, wajahnya ditolehkan ke arah Ki Angkara.
"Jangan takut, Gantangga. Ki Angkara tak akan marah karena aku hanya meminta kepastianmu," hibur Nyi Regita, seolah-olah tahu ketakutan Gantangga.
"Aku... aku. "
"Kenapa mesti gugup begitu, Gantangga?"
"Aku... aku tak sependapat dengan dugaan Ki Angkara, Nyi."
"Apa?!"
Ki Angkara terkejut mendengar jawaban Gantangga yang di luar dugaan. Dia bangkit dari duduknya untuk kemudian....
"Hiyaaa. !"
Bug! "Akh!"
Tubuh Gantangga kontan terjerembab terkena tendangan keras lelaki tua berpakaian biru langit. Padahal tendangan keras yang dilancarkan si Seruling Setan itu tidak disertai pengerahan tenaga dalam.
"Bangkit kau, Pembohong! Biar kulumat seka lian!" hardik Ki Angkara sambil hendak mengayunkan pukulannya.
"Tahan, Angkara!" sentak Nyi Regita menahai luapan nafsu adik seperguruannya.
Si Seruling Setan mengurungkan niatnya untul menghajar Gantangga kembali.
"Kau akan malu sendiri nantinya jika kecurigaan mu ternyata salah," lanjut Nyi Regita dengan teguran halus.
Ki Angkara mendengus kesal. Ditatapnya wajah Nyi Regita yang berjuluk Telapak Setan itu lekat-lekat Kalau saja perempuan tua itu bukan pimpinannya, sudah dihancurkannya batok kepala lelaki yang bernama Gantangga itu sekarang juga.
"Kurasa kecurigaanku tidak akan meleset, Nyi,” kata Ki Angkara seiring seringainya.
"Aku tidak membantah kecurigaanmu, Angkara. Namun kita harus membuktikannya terlebih dahulu," Nyi Regita membawa duduk tubuhnya di atas sebongkah batu hitam.
"Apakah kita harus pergi melihat Gandewa sekarang?" tanya Ki Angkara.
"Lebih cepat, lebih baik," tegas nenek berpakaian merah itu seraya
menganggukkan kepala.
"Apa ridak sebaiknya menunggu Jatianom dan Barrot?"
"Kita pergi bukan untuk bertarung, Angkara. Mengapa mesti menunggu mereka?"
"Baik," Ki Angkara menyetujui. "Kau berangkatlah lebih dulu,
Gantangga," perintah Nyi Regita. "Tak lama lagi aku akan datang menemui junjunganmu."
Tanpa diperintah dua kali, Gantangga segera menggenjot tubuhnya. Lelaki berpakaian merah dan bersenjatakan sepasang palu bergerigi itu seketika melesat cepat Larinya yang seperti ridak menyentuh tanah, membawa dirinya hilang di kelebatan pepohonan.
Dua bayangan merah dan biru. melesat bagai anak panah lepas dari busur. Ilmu lari cepat dan meringankan tubuh yang dimiliki kedua bayangan itu kelihatannya cukup tinggi. Sehingga, sukar diikuti tatapan mata biasa. Yang nampak hanya sekelebatan sinar biru dan merah, seperti saling kejar-mengejar.
Kedua sosok itu tak lain adalah Nyi Regita. Perempuan berumur sekitar tujuh puluh tahun itu di kalangan rimba persilatan dikenal berjuluk Telapak Setan. Dialah orang pertama dari Empat Setan Goa Mayat! Sedangkan yang seorang lagi adalah lelaki tua berumur tujuh puluh lima tahun. Namanya Ki Angkara. Dia mengenakan pakaian warna biru langit Di kalangan rimba persilatan, dia berjuluk Sending Setan. Memang, senjatanya berupa seruling, terbuat dari logam perak.
Kedua orang itu terus melesat bagai kilat. Maka tak heran kalau dalam waktu yang tidak terlalu lama, telah tiba di sebuah rumah besar yang sekelilingnya berpagar kayu gelondong setinggi dua tombak.
Beberapa orang berpakaian hitam bersenjata golok di pinggang segera menjura, memberi salam hormat atas kedatangan orang yang menjadi sekutu junjungannya. Mereka adalah penjaga pintu gerbang rumah besar itu.
Tanpa berucap sepatah kata pun, Nyi Regita dan Ki Angkara melangkah melewati pintu utama kediaman Gandewa yang berjuluk Ludah Setan. Kehadiran mereka di ruang utama, disambut Majakot dan Gantangga dengan menjura penuh takzim.
"Silakan Ki Angkara dan Nyi Regita masuk ke ruang khusus," ujar Majakot sambil merentangkan ta ngannya.
Pintu ruangan yang terbuat dari kayu jati tebal seketika terbuka. Nyi Regita dan Ki Angkara segera memasuki ruangan khusus yang menebar aroma wangi cendana. Lalu dari ruangan itu, Nyi Regita dan Ki Angkara masih harus berbelok ke kanan untuk menemui Gandewa.
Gandewa bangkit dari berbaringnya ketika sosok yang dikenal begitu akrab datang.
"Ah! Untung kalian cepat-cepat datang," sambut Gandewa sambil merentangkan tangannya.
Melihat keadaan Gandewa yang tanpa tangan kanan, Nyi Regita menoleh ke arah Ki Angkara sambil menebar seulas senyum mengejek.
Sedangkan Ki Angkara tak berkatakata. Namun dalam hati, Ki Angkara belum mau mengakui kekalahannya, kalau dugaannya terhadap Gandewa salah.
"Tokoh mana yang sanggup membuatmu jadi seperti kucing sakit begini?" tanya Nyi Regita agak sengit. Sesungguhnya dia tidak yakin kalau cerita yang dibawa Gantangga benar adanya.
Gandewa tak segera menjawab. Kelihatannya, dia agak kikuk mendapatkan pertanyaan seperti itu.
"Dia masih muda dan sangat sakti," keluh Gandewa akhirnya. Ucapan itu dikeluarkan agak periahan.
"Aku tak percaya kalau kau yang tua bangka mampu ditundukkan begitu saja oleh anak bau kencur!" selak Ki Angkara sambil meneliti tangan Gandewa yang tinggal sebelah.
"Mulanya pikiranku seperti kau juga, Kakang Angkara. Tapi setelah kutelusuri kedigdayaan anak muda itu, baru aku yakin kalau tak bisa berbuat banyak. Seluruh ilmu dan ajian yang kulancarkan mampu dibendungnya dengan aji 'Kukuh Karang'," jelas Gandewa.
"Apa?! Aji 'Kukuh Karang'? Lalu, kemampuan apa lagi yang dipertontonkan ke hadapanmu?" selidik Nyi Regita terkejut.
Sepengetahuannya, aji 'Kukuh Karang' hanya dimiliki Raja Petir. Apa mungkin anak muda yang telah mempecundangi Gandewa adalah pewaris Raja Petir?
"Banyak jurus yang diperagakan untuk mencegah dan mendesakku, Nyi Regita. Di antaranya, anak muda itu memainkan sabuk kuningnya yang berkilauan dalam jurus 'Sabuk Petir Pelebur Raga' dan 'Petir Membelah Malam'," jelas Gandewa.
Tersedak kerongkongan Nyi Regita mendengar penuturan Gandewa yang cukup jelas. Dari ajian dan jurus-jurus yang diucapkannya, dapat tersirat gambaran kalau anak muda itu betul-betul pewaris almarhum Raja Petir.
"Raja Petir?!" gumam Ki Angkara. "Kita harus menghadapinya, Nyi."
"Kita belum tahu, sampai sejauh mana kedigdayaan anak muda itu, Angkara. Meski kenyataannya Gandewa mampu dikalahkannya, namun kita tetap berharap akan ketidak sempuranaan ilmu yang diwarisi dari almarhum Raja Petir," tukas Nyi Regita.
Pikiran Nyi Regita menerawang ke belahan masa silam, saat Raja Petir pemah malang-melintang di rimba persilatan. Tokoh itu memang sempat menjadi momok di kalangan tokoh persilatan golongan hitam.
"Aku yakin, kita berempat mampu menyingkirkannya, Nyi," tekad Ki Angkara.
"Mudah-mudahan begitu, Angkara," balas Nyi Regita. "Bagaimana denganmu, Gandewa?"
"Aku juga berharap seperti itu," sambut Gandewa sedikit geram. Apalagi ketika matanya membentur tangan kanannya yang sudah hilang.
"Bersama-sama kita singkirkan Raja Petir yang nyata-nyatanya anak Sempani!" suara Gandewa demikian keras.
Saat itu, seorang perempuan setengah baya berpakaian merah seketika menghentikan langkahnya persis di kelokan ruangan, tepat di dekat kamar Gandewa. Perempuan itu terkejut mendengar nama Sempani disebut-sebut Gandewa dari dalam kamar. Perempuan itu bernama Purwakanti, istri Sempani. Sejenak niatnya untuk menyediakan minuman bagi tamu-tamu Gandewa, diurungkan. Bahkan kini Purwakanti mempertajam pendengarannya.
"Sekarang, dialah musuh besar kita, Kakang Angkara. Kita tidak bisa menganggap remeh Raja Petir. Apalagi kalau anak Sempani itu mampu mewarisi ilmu-ilmu Raja Petir dengan sempurna. Bisa-bisa bukan hal mustahil kita dapat ditaklukkannya. Menurut kalian, kapan waktu yang tepat untuk kita bertarung dengannya?" kata Gandewa.
"Menurutku, akan lebih baik kita menunggu kedatangan Jatianom dan Barrot yang sedang mengurusi masalah mereka," jawab Nyi Regita.
"Urusan?" desis Gandewa. "Punya urusan apa Jatianom dan Barrot? Dan, dengan siapa?"
"Perguruan Cermin Sakti."
"Cermin Sakti? Oh! Ada urusan apa mereka dengan Ki Sobarang?"
"Urusan lama, Gandewa," jelas Ki Angkara.
"Urusan lama?"
"Kau tak perhatikan wajah Barrot yang sedemikian buruk, Gandewa?"
"Ya! Aku tahu itu," sahut Gandewa.
"Luka-luka itu adalah bekas sayatan senjata Sobarang, dan hanya bisa disembuhkan jika cermin ajaib yang ada di Perguruan Cermin Sakti dapat dikuasai Barrot"
Gandewa menganggukkan kepala mendengar penjelasan Nyi Regita.
"Kenapa kalian tidak membantu Barrot agar urusannya cepat terlaksana?"
"Bukan kami tidak mau. Tapi Barrotlah yang melarang. Menurutnya, dia bersama Jatianom sudah cukup mampu mengatasi Sobarang dan orang-orangnya."
Gandewa seketika mendesis. Tangannya yang tinggal sebelah terangkat dengan jari-jari terkepal erat.
"Rasanya, aku sudah tak sabar lagi menyaksikan anak Sempani itu lenyap dari muka bumi!" dengus si Ludah Setan.
Sementara itu, dari kelokan yang menuju ruangan khusus, Purwakanti merasa geram mendengar ucapan Gandewa yang terdengar begitu menyakitkan. Ada keinginan di hatinya untuk segera melihat keberanian Raja Petir yang disebut-sebut tiga orang yang berada dalam ruangan khusus itu sebagai anak Sempani, yang berarti anaknya juga. Purwakanti ingin meyakinkan, apakah Raja Petir itu berul-betul anak Sempani? Atau....
"Ah. !"
Perempuan setengah baya berpakaian merah itu menarik napasnya dalam-dalam. Kekhawatiran seketika mengisi rongga dadanya. Apakah Raja Petir akan mampu menandingi lima orang sekaligus? Padahal, mereka adalah tokoh sesat yang memiliki ilmu silat dan ilmu kesaktian yang begitu tinggi?
"Ha ha ha...!"
Perempuan setengah baya yang bernama Purwakanti itu terhenyak dari pikirannya yang bercabang-cabang ketika mendengar suara tawa dari dalam ruangan itu. Kembali pendengarannya dipertajam seraya mengatur napas.
"Gandewa! Raja Petir itu mengaku anak kandung Sempani. Bukankah itu berarti dia anak kandung Purwakanti, istrimu? Dan berarti pula, si Raja Petir yang hendak kau kirim ke alam baka itu adalah anak tirimu juga," kata Ki Angkara dengan mimik muka yang dibuat lucu.
Nyi Regita pun nampak senyumsenyum mendengar ucapan Ki Angkara.
"Dia bukan darah dagingku, Kakang Angkara. Dia anak Sempani!" balas Gandewa, sengit "Sempani yang telah mencabik-cabik perasaanku. Dan hal ini takkan pernah kulupakan seumur hidupku, Seluruh keturunannya harus kuenyahkan dari muka bumi ini!"
"Kau yakin kita bisa mengatasi anak Sempani itu?" dingin suara Nyi Regita.
"Kalau kita berlima bekerjasama secara rapi, kita pasti mampu menyingkirkan Raja Petir!"
"Kalau memang begitu, kita harus kedatangan Jatianom dan Barrot!"
* * *
4
Perbatasan Kampung Dukuh sebelah Utara nampak begitu sunyi. Sebatang tonggak bambu besar tertancap dengan warna menyolok sebagai tanda batas antara dua kampung. Memang, tetangga Kampung Dukuh sebelah Utara adalah Kampung Kerawung.
Telah puluhan tahun kedua kampung itu bertetangga rukun. Tak heran kalau masing-masing warga kampung yang satu memberi kebebasan pada warga kampung yang lain untuk bertandang ke wilayahnya.
Di Kampung Dukuh berdiri sebuah perguruan silat besar yang bernama Perguruan Cermin Sakti. Perguruan itu dipimpin oleh seorang tokoh kondang bernama Ki Sobarang.
Tak jauh dari perguruan itu, nampak dua orang lengah berjalan perlahan. Sepertinya mereka sedang membicarakan sesuatu yang lucu, hingga perempuan yang berdiri di sebelah kanan lelaki berpakaian warna kuning keemasan tertawa bergelak-gelak.
"Kau bisa saja, Seruni." Lelaki berpakaian kuning keemasan yang ternyata Jaka Sembada ikut tergelak. "Ketampanan lelaki bukan cerminan dari kepribadiannya. Juga ketampanan Itu bukan jaminan untuk mendapatkan kekasih."
"Kenyataannya lebih banyak begitu, kan?" kata gadis di sebelah Jaka yang memang Seruni. "
Ssst...!"
Raja Petir menempelkan telunjuk di bibirnya. Matanya yang tajam disipitkan ke suatu tempat yang membentang di depannya. Sedangkan Seruni segera mengikuti isyarat Jaka.
"Sebaiknya kita bersembunyi," ajak Seruni sambil melesat ke balik pohon sebesar tiga kali pelukan orang dewasa.
Jaka mengikuti tindakan gadis cantik berpakaian hijau daun itu. Dari balik pohon, mereka dengan leluasa menyaksikan dua orang lelaki bertampang angker sedang menuju ke sebuah bangunan yang memiliki pintu gerbang lumayan besar di Kampung Dukuh. Yang seorang memegang cambuk, dan yang seorang lagi wajahnya tertutup topeng buruk.
"Mau apa mereka ke Perguruan Cermin Sakti?" bisik Seruni, seperti bicara pada diri sendiri.
"Nampaknya mereka bermaksud tidak baik," duga Jaka.
"Ada urusan apa mereka dengan Ki Sobarang?"
"Ki Sobarang? Kau kenal dia, Seruni?" tanya Jaka. Sementara matanya tak lepas memandang gerak-gerik dua lelaki angker yang menuju ke Perguruan Cermin Sakti.
"Dia sahabat baik Paman Gumai," jelas Seruni.
Jaka Sembada mengangguk-angguk mengerti. Namun seiring anggukannya, dia dikejutkan berlompatannya kedua lelaki itu melewati pagar pintu gerbang yang dikawal empat orang berpakaian putih terang.
***
"Kisanak! Siapa kalian?! Kenapa berani masuk secara tak sopan seperti itu?" tanya seorang penjaga pintu gerbang yang memiliki perut buncit.
Kedua lelaki berpakaian hitam itu terkekeh mendengar pertanyaan lelaki yang berdiri tiga tombak di depannya. Dan belum juga tawanya berhenti, tangannya yang memegang cambuk cepat bergerak.
Ctar...!
"Akh!"
Lelaki penjaga pintu gerbang yang berperut buncit seketika memekik dan langsung roboh terhantam cambuk berduri milik salah seorang lelaki berpakaian hitam yang baru datang itu. Ketigapenjagalainyang menyaksikan rekannya terjungkal begitu
cepat, terkejut bukan kepalang.
"Aku Barrot, dan temanku Jatianom. Kami ingjn bertemu Sobarang! Biarkan kami masuk!"
Kedua lelaki berpakaian hitam itu segera melangkah.
Maka, menyaksikan gelagat tidak baik ini, ketiga penjaga itu segera menghadang. Masing-masing menyilangkan sepasang golok di depan dada.
"Jangan halangi langkah kami kalau kalian tidak ingin bernasib sama dengan si gendut bodoh itu!" hardik orang yang bernama Barrot. "Minggirlah, kalian!"
Tiga pengawal yang masing-masing sudah menghunus sepasang golok itu segera merangsek maju.
"Hiyaaa...!" Bet! Bet!
Dug! "Akh!"
Seorang penjaga bertubuh pendek terpental deras terkena sodokan tangan lelaki bertopeng buruk yang bernama Barrot. Dan sebentar kemudian, seorang penjaga lainnya terbabat cambuk berduri milik Jatianom.
Ctar! "Ugkh!"
Tubuh lelaki yang terhajar cambuk berduri milik Jatianom seketika ambruk dan menggelepar, dengan bagian dada terkoyak. Beberapa saat lamanya dia menggeliat. Namun sebentar kemudian, geliatan itu tak lagi nampak. Memang, nyawa lelaki itu telah melayang meninggalkan raganya.
Menyaksikan kedua temannya yang roboh dalam segebrakan, dua penjaga yang memang murid-murid Perguruan Cermin Sakti merasa ngeri. Namun karena rasa tanggung jawab yang tinggi, membuat mereka tanpa ragu merangsek maju.
"Hiyaaa...!"
"Hiya...!"
Seiring teriakan penjaga bertubuh tinggi kekar, tiba-tiba dari sebelah Timur bangunan Perguruan Cermin Sakti bermunculan puluhan lelaki berpakaian putih terang. Mereka yang rata-rata bersenjata sepasang golok itu tak lain adalah murid-murid Perguruan Cermin Sakti.
Pertarungan sengit pun tak dapat dielakkan lagi. Puluhan murid Perguruan Cermin Sakti yang rata-rata memiliki kemampuan lumayan, tanpa ragu-ragu membabatkan senjatanya ke bagian-bagian tubuh lawan yang mematikan.
Akan tetapi, Barrot dan Jatianom bukanlah tokoh sembarangan.
Pertempuran menjadi lebih sengit, ketika dari bagian Barat bangunan Perguruan Cermin Sakti bermunculan delapan orang berpakaian jingga dengan pedang terhunus. Mereka adalah muridmurid utama Perguruan Cermin Sakti.
Sementara itu Jaka dan Seruni telah beranjak dari persembunyian mereka. Dan kini mereka bersembunyi di atas pohon, dekat pagar Perguruan Cermin Sakti. Dari ketinggian itu, mereka menyaksikan pertarungan yang semakin lama tidak seimbang. Beberapa murid utama Perguruan Cermin Sakti terlihat sudah meregang nyawa dengan tubuh berlumuran darah.
Ctar! Ctar...!
Srat! Srat...! Bug!
"Akh...!"
Empat lelaki berpakaian putih seketika menggelepar tersambar cambuk berduri dan pedang berkeluk lima yang dimainkan Jatianom dan Barrot. Angin yang bertiup saat ini seketika menebarkan bau anyir darah yang menggenangi halaman Perguruan Cermin Sakti.
Menyaksikan pemandangan yang tak sedap itu, murid-murid Perguruan Cermin Sakti semakin memperhebat serangan.
"Hiyaaa...!"
"Hiyat!"
"Tahan...!"
Tiba-tiba sesosok tubuh melenting dari dalam bangunan. Gerakannya ringan saat melesat. Setelah berputaran dua kali di udara, sekejap kemudian dia sudah mendarat di depan murid-murid Perguruan Cermin Sakti yang langsung menghentikan serangannya.
"Kalian minggir semua!" ujar laki-laki berusia tak lebih tujuh puluh lima tahun itu. Rambutnya yang memutih digelung ke atas. Sehingga sangat serasi dengan .jubahnya yang panjang sebatas mata kaki. Di tangannya tergenggam dua batang tombak kembar berukuran kecil dan terbuat dari logam keras. "Kedua setan ini bukan tandingan kalian!"
"Baik,Guru!"murid-muridPerguruan Cermin Sakti seketika menjura, dan sebentar kemudian semuanya menepi. "Seharusnyasejaktadikau keluar, Sobarang!" bentak lelaki yang mengenakantopenghitamdanburuk. "Percuma kau menyuruh tikus-tikus kudisan itu menghalangiku. Hanya membuat
kotor pedangku saja!"
Lelaki tua yang dipanggil Sobarang itu seketika mendengus. Matanya yang tajam menatap mayat-mayat muridnya.
"Mau apa kau datang lagi ke sini, Barrot?!" sentak lelaki berjubah putih yang ternyata Guru Besar Perguruan Cermin Sakti. "Aku ingin merebut cermin itu, Tua Bangka!"
"Apa kau sudah mampu menandingiku?" Ki Sobarang mencibir.
"Seharusnya aku yang bertanya seperti itu, Sobarang! Dulu, kau boleh bangga dapat menaklukkan aku. Tapi sekarang.... Ha ha ha..., apakah kau tak pemah dengar nama besar Empat Setan Goa Mayat?"
Ki Sobarang mengernyitkan dahinya.
"Sobarang! Ketahuilah, aku dan sahabatku ini adalah dua dari Empat Setan Goa Mayat," gertak Barrot.
Dari tempat persembunyiannya, Jaka merasakan keterkejutan yang teramat sangat. Rasanya, seperti seribu kala yang menyengat tiba-tiba. Wajah Jaka nampak memerah menahan kegeraman.
"Empat Setan Goa Mayat...?!" Jaka memekik dalam hati. Wajahnya semakin bertambah merah, karena kegeramannya semakin meluap.
"Kau kenapa, Kakang? Kenapa wajahmu berubah seperti itu?" Seruni terkejut juga melihat perubahan air muka Jaka.
Jaka tak menjawab pertanyaan
,Seruni. Malah matanya terus memandang tajam.
"Sobarang! Aku tak ada waktu lagi! Kalau kau dan seisi perguruanmu ingin selamat, serahkan cermin itu!"
"Kalau aku mempertahankannya?" ata Ki Sobarang, seperti tantangan.
"Cari mampus!" sentak Barrot.
"Hiyaaa...!"
Wukkk! Wukkk...!
Barrot cepat meluruk seraya menyabetkan pedangnya ke arah dada Ki Sobarang.
"Uts!"
Ki Sobarang melompat ke belakang. Maka tebasan pedang berkeluk lima yang dilancarkan lelaki bertopeng itu membentur tempat kosong.
"Setan!"
Barrot kembali merangsek. Pedang berkeluk limanya ditebas-tebaskan ke perut Ki Sobarang. Tapi dengan gerakan ringan dan cukup manis, lelaki tua berjubah panjang warna putih itu berkelit.
"Uts!"
"Hait!"
"Hip!"
Ki Sobarang kembali melenting dan melakukan putaran dua kali. Akan tetapi baru saja kakinya menjejak tanah, sebuah sambaran lain seketika mencecar kepalanya.
Ctar! Ctar!
Ki Sobarang yang mengetahui pembokongan secara mendadak, segera melempar tubuhnya ke kanan. Dan secepat kilat, kembali tubuhnya melenting, untuk kemudian menjejak mantap di tanah.
"Majulah kalian sekaligus!" tantang Ki Sobarang sambil menyilangkan dua tombak kembar di depan dadanya.
Mendapat tantangan seperti itu, Jatianom dengan senjata cambuk berduri segera datang menerjang.
"Hiyaaa...!"
Tendangan lurus Jatianom dengan pengerahan tenaga dalam tinggi berkelebat cepat. Angin menderu mengiringi tendangannya.
Ki Sobarang mengegoskan sedikit tubuhnya. Maka tendangan yang dilakukan Jatianom yang berjuluk si Cambuk Setan melaju serambut dari dada Ki Sobarang.
Melihat pertahanan Jatianom sedikit kosong, Ki Sobarang segera menusukkan tombak pendeknya.
Wuuut...!
"Uts!"
"Hiya...!"
Lelaki berpakaian hitam bersenjatakan cambuk itu menarik pulang tubuhnya. Lalu dengan gerakan manis, tubuhnya berputar dua kali ke belakang. Namun, Ki Sobarang terus mencecar lelaki yang belum sempat membenahi berdirinya.
"Terimalah ini...!"
Wuuut...!"
Ki Sobarang kembali mengebutkan tombak pendeknya. Akibatnya, Jatianom kembali harus berjumpalitan.
Guru Besar Perguruan Cermin Sakti itu bermaksud terus menekan Jatianom yang keadaannya sangat tidak menguntungkan. Namun Ki Sobarang merasakan tubuhnya sukar digerakkan seketika. Tiba-tiba saja hawa panas terasa melingkar-lingkar di bagian leher dan pergelangan kaki. Semakin Ki Sobarang berusaha keras untuk melepasnya, hawa panas itu terasa semakin menyengat.
"Ha ha ha.... Kau tak akan mampu melepaskan diri dari aji 'Lingkar Hitam Pengusung Raga', Sobarang. Menyesal sekali aku harus melenyapkanmu dan meratakan Perguruan Cermin Sakti dengan bumi sekarang juga. Bersiap-siaplah menerima kematianmu, Sobarang!" kata Barrot, pongah.
"Hiyaaa...!"
Tak berkedip Ki Sobarang menanti saat-saat ajalnya. Dia benar-benar tak mampu menembus lingkaran sinar hitam yang membungkus leher dan pergelangan kakinya. Sementara, pedang Barrot hampir menembus dadanya.
Namun, pada saat-saat yang menentukan....
Trak! Trak!
Sosok bayangan kuning keemasan seketika berkelebat cepat memapak pedang berkeluk lima milik lelaki bertopeng hitam yang hampir bersarang di dada Ki Sobarang.
"Akh!"
Barrot seketika memekik tertahan. Tubuhnya kontan terjajar dua langkah ke belakang. Bahkan tangannya yang menggenggam sebilah pedang berkeluk lima terasa bergetar hebat.
Begitu juga yang dirasakari sosok kuning yang berhasil memapak pedang Barrot. Tangannya terasa seperti tersengat binatang berbisa. Bahkan tubuhnya terasa seperti didorong kuat. Sosok bayangan berpakaian kuning itu lalu melenting, dan mendarat agak limbung di sebelah kanan Ki Sobarang.
"Adi Gumai Gumarang!" sebut Ki Sobarang sedikit terkejut Dia merasakan hawa panas yang melingkarlingkar di leher dan pergelangan kakinya kini lenyap seketika.
Seiring keterkejutan Ki Sobarang, si Cambuk Setan pun tersentak tak percaya. Begitu juga Seruni dan Jaka yang bersembunyi di atas sebatang pohon besar.
"Paman Gumai Gumarang!" gumam Seruni dan Jaka bersamaan.
"Punya urusan apa beliau ke Perguruan Cermin Sakti?"
***
LIMA
Ctar!
Gumai Gumarang berjumpalitan menghindari terjangan cambuk berduri yang bersuara bagai halilintar. Tubuhnya yang bergerak begitu ringan terus menghindari serangan gencar yang dilakukan Jatianom dari kelompok Empat Setan Goa Mayat
Ctar!
Gumai Gumarang menangkis sambaran lidah cambuk berduri dengan pedangnya yang memancar sinar kebiruan.
Glarrr...!
Suara menggelegar terdengar seiring beradunya dua senjata yang memiliki pamor menggiriskan itu.
Tubuh Gumai Gumarang dan Jatianom sama-sama terjengkang dua batang tombak. Tangan masing-masing terasa ngilu. Itu menandakan kalau tenaga dalam satu sama lain seimbang.
Sementara itu Ki Sobarang sudah kembali terlibat pertarungan melawan Barrot, Ketua Perguruan Cermin Sakti itu nampak terdesak oleh gempurangempuran Barrot yang berjuluk si Topeng Hitam. Pedang berkeluk lima milik lelaki bertopeng itu berkelebat cepat mengarah ke bagian-bagian tubuh Ki Sobarang yang mematikan.
"Hiyaaa...!"
Semula Ki Sobarang ingin memapak sambaran itu dengan ujung tombak pendeknya. Namun gerakan yang dilakukan lelaki bertopeng hitam itu ternyata hanya tipuan belaka. Pedang yang semula terarah ke bagian kepala, ternyata berbalik arah. Maka....
Bret! "Akh. !"
Ujungpedangberkeluklimayang datangbegitucepatitusamasekali takmampudihindariKiSobarang. Sehingga, perutnya sobek terkena ujung pedangBarrot.KiSobarangkini mendekapperutnya.Darahnampakberceceran dari sela-sela jari tangannya. "Sudah kukatakan, Sobarang! Sekarangakubukantandinganmulagi.
Ajalmu sudah dekat! Hiyaaa. !"
Trang!
Ternyata lagi lagi serangan yang dilakukan Barrot menemui kegagalan. Rupanya salah seorang murid utama Perguruan Cermin Sakti dengan sekuat tenaga melempar sebatang pedang yang mengarah ke dada Barrot. Namun dengan kecepatan yang sukar diukur, Barrot masih mampu menggagalkan serangan itu.
"Kurang ajar!" maki Barrot.
Si Topeng Hitam itu mengururigkan niatnya untuk menghabisi nyawa Ketua Perguruan Cermin Sakti. Seketika, tubuhnya digenjot kuat, lalu meluruk ke arah murid Ki Sobarang yang telah menggagalkan maksudnya.
"Hiyaaa...!"
Tiga orang murid utama Perguruan Cermin Sakti memang tak menyangka kalau Barrot langsung menyerang. Maka pada saat Barrot mengebutkan pedangnya, mereka hanya mampu terbeliak.
Bret! Bret! Bret! "Aaakh...!"
Tiga murid utama Perguruan Cermin Sakti seketika bertumbangan. Masingmasing mendapat luka yang menganga lebar di bagian perut dan dada. Mereka kini berkelojotan sebentar, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi. Mati!
Belum puas si Topeng Hitam melampiaskan kemarahannya, kembali pedang kebanggaannya diayun-ayunkan.
Wukkk...! Bret! Bret! "Aaa...!"
Dua orang murid Perguruan Cermin Sakti kembali tumbang dengan masingmasing wajah tergurat sayatan pedang berkeluk lima. Dari wajah yang sobek itu kontan memancar darah segar.
Barrot berbalik arah. Matanya yang jalang menatap Ketua Perguruan Cermin Sakti yang terkulai sambil mendekap erat perutnya yang menganga lebar. Darah tampak masih terus mengalir dari lukanya. Dengan napas memburu, si Topeng Hitam kembali melesat dengan senjata yang teracung di atas kepala.
"Mampuslahkau,Sobarang!
Hiyaaa...!"
Tiba-tiba, angin bergulung-gulung datang dari arah tubuh Ki Sobarang. Angin bergulung yang layaknya pusaran angin itu datang begitu cepat ke arah Barrot yang sedang melayang melakukan serangan.
Maka seketika itu juga, si Topeng Hitam menarik tubuhnya ke belakang. Kemudian, dia berjumpalitan ke kanan untuk menghindari angin bergulunggulung yang entah siapa penciptanya. Beberapa saat tubuh Barrot bergulingan di tanah berumput halus, namun sebentar kemudian telah melentingkan tubuhnya. Kini dia mendarat manis sekali di tanah.
"Kurang ajar!" maki Barrot setelah mampu menguasai diri.
Mata jalang si Topeng Hitam itu menatap geram ke arah Ki Sobarang yang kini tidak sendiri. Sebab di sebalah kanannya telah berdiri seorang pemuda berpakaian kuning keemasan. Dia tak lain adalah Jaka Sembada yang betjuluk Raja Petir.
Sementara di sebelah kiri Ketua Perguruan Cermin Sakti itu berdiri seorang gadis cantik berpakaian hijau daun. Dia tengah berusaha memapah tubuh Ki Sobarang. Dan di lain pihak, pertarungan antara Gumai Gumarang melawan Jatianom seketika berhenti. "Jaka?!" desis Gumai Gumarang.
Hati Gumai-Gumarang sedikit lega akan kehadiran pendekar muda yang telah dikenalnya.
"Awas, Paman!"
Gumai Gumarang menoleh cepat. Kemudian dengan kepekaannya, tubuhnya dilempar ke kiri. Ternyata, Jarianom berniat membokongnya.
Ctar!
Sambaran cambuk yang dikerahkan Jatianom sekuat tenaga menghantam tanah berumput halus. Tanah halaman Perguruan Cermin Sakti seketika terbongkar. Rumput-rumputnya yang halus juga ikut terangkat ke atas.
Gumai Gumarang kembali melenting. Dua kali dia berputaran di udara, dan sekejap kemudian mendarat manis di dekat Jaka.
"Siapa kau, Anak Muda Lancang!" bentak Barrot Pedang berkeluk limanya ditudingkan ke arah pemuda berpakaian kuning keemasan itu.
"Aku bukannya lancang, Kisanak!" sahut Jaka, tak kalah keras. Memang suaranya disertai pengerahan tenaga dalam. "Aku merasa hal ini merupakan suatu kewajiban!"
"Cari mampus kau, Anak Muda!" hardik Jatianom.
"Ajal tak bisa kalian buru. Tapi sesungguhnya, ajallah yang memburu kalian, Kisanak! Kalian orang tua bau tanah seharusnya segera insaf! Bukannya cari dosa!"
"Anak muda usilan! Mulutmu terlalu lancang dan terlalu berani. Siapa kau?! Apa kau sudah punya nyawa rangkap?!"
"Kalian ingin tahu siapa aku, heh?"
Jaka bertolak pinggang. Raut wajahnya yang sejak tadi memerah karena menahan kemarahan, kini sudah kembali seperti keadaan semula.
"Akulah musuh besar kalian!" kata Jaka. Kata-kata Jaka yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi membuat orang-orang yang berada di sekitamya merasakan adanya getaran hebat Seperti ada halilintar yang ingin mengguncang bumi!
Dua lelaki berpakaian hitam yang merupakan dua dari Empat Setan Goa Mayat terkejut menyaksikan pameran tenaga dalam yang dimiliki anak muda di hadapan mereka. Maka kedua tokoh sesat itu saling berpandangan beberapa saat
"Akulah anak Sempani, Kisanak!
Kalian ingat Sempani, bukan?!"
Jatianom dan Barrot kembali saling berpandangan.
"Dua puluh tahun silam kalian telah membuat kecurangan yang tak akan pernah kumaafkan. Bersama dengan Gandewa si Setan Botak itu, kalian telah merusak suasana keluargaku. Kalian dengan keji membunuh Sempani, ayah kandungku. Bahkan juga melarikan Purwakanti, ibu kandungku! Kalian masih ingat itu?"
Mata Barrot dan Jatianom tak berkedip menatapi sosok pemuda berpakaian kuning keemasan. Sosok pemuda yang begitu tinggi kewibawaannya.
"Bacot baumu itu jangan diumbar sembarangan, Anak Muda! Kau tahu, anak Sempani sudah bersatu dengan abu rumahnya sendiri!"
"Kisanak! Sudah kukatakan barusan, ajal bukan di tangan kalian. Buktinya, Yang Kuasa tak mengizinkan ajal menjemputku. Kau saksikan sendiri sekarang. Sosokku masih utuh, tanpa kekurangan satu anggota badarrpun. Yang Maha Besar telah mengutus seseorang untuk menyelamatkanku dari amukan api ciptaan manusia-manusia bejat macam kalian?" tegas Jaka.
Setelahberkatademikian,Jaka menggemeretakkangiginya,kegeraman seketika kembali mencuat ke kepalanya. "Manusialicik!Kalianakan menanggungdosanyasekarang.Anak Sempaniakanmenuntaskanpehitungan sekarang!"ancamJaka."Maaf,Paman Gumai.Minggirlahsesaat.Akuakan
menagih hutang-hutang mereka."
Seiring ucapannya, si Raja Petir majudualangkah.Kinidiaberdiri beriarak beberapa tombak saja di depan dua anggota Empat Setan Goa Mayat itu. "Kaliansudahsiapmelunasi hutang itu, Kisanak!?" tegas si Raja
Petir.
Si Cambuk Setan dan Topeng Hitam merasa geram dengan tantangan Raja Petir itu. Seketika raut muka masingmasing kedua tokoh itu terasa dijalari hawa panas.
"Bocah sombong! Kemampuan apa yang kau andalkan hingga berani berkata seperti itu?!" keras suara yang diciptakan Jarianom.
"Hei, Bocah Edan! Tak tahukah kau dengan siapa berhadapan sekarang?!" timpal Barrot sambil menudingnudingkan pedang berkeluk limanya.
JakaSembadamencibirmendengar pertanyaan lelaki bertopeng hitam itu. "Aku tahu, dengan siapa sekarang
aku berhadapan. Bukankah kalian yang berjuluk Dua Setan Kudisan?!"
Merah padam wajah Barrot dan Jarianom mendengar penghinaan yang terlalu berani itu. Bahkan tubuh keduanya seketika mengejang.
Menyaksikan kemarahan kedua lawannya yang sudah mencapai ubunubun, tanpa tanggung-tanggung lagi Raja Petir meloloskan sabuk kuning andalannya. Sinar yang menyilaukan mata seketika berpendar-pendar dari sabuk kuning yang lolos dari pinggang Jaka. Jelas, perbawa sabuk kuning itu begitu menggiriskan.
Menyaksikan perbawa senjata lawannya, Barrot dan Jatianom nampak berpikir keras. Sepertinya, mereka pemah kenal dengan sabuk di tangan pemuda berpakaian kuning keemasan itu. Dan di pergelangan tangan anak muda itu..., Jatianom sepertinya juga mengenalnya.
"Mirip senjata Raja Petir, Adi Barrot," kata Jatianom pelan.
"Hm.... Apakah anak muda itu jelmaan Raja Petir? Ah! Tak mungkin," gumam Barrot, dalam hati.
"Hei! Kenapa kalian terbengong seperti macan ompong! Apa kalian takut menghadapiku?!" sentak Jaka.
"Kadal buduk!" maki Jatianom. "Heaaa...!"
Barrot langsung menggenjot tubuhnya kuat-kuat.
Pedang berkeluk limanya yang terhunus ditujukan tepat ke dada Jaka yang disertai pengerahan tenaga dalam penuh. Angin berkesiutan mengiringi tibanya serangan berbahaya itu.
Sementara si Raja Petir yang melihat keganasan serangan lelaki bertopeng hitarri itu, tidak memandang enteng. Namun, hatinya tidak gentar sedikit pun.
"Uts!"
Jaka memiringkan tubuhnya ke kanan. Gerakannya yang cukup cepat, membuat serangan pedang berkeluk lima milik lelaki bertopeng hitam itu membentur tempat kosong.
Namun, rupanya Barrot mampu mencium gerakan yang dilakukan Raja Petir. Tusukan pedangnya yang bergerak lurus seketika berganti haluan dengan kece patan luar biasa.
"Mampus kau, Bocah!" Wut...!
Jaka merundukkan kepalanya menghindari tebas an pedang berkeluk lima. Seiring gerakannya yang manis itu, dikirimkannya pukulan yang tak terduga sama sekali dengan sedikit pengerahan tenaga dalam.
Dug! "Hegkh...!"
Tubuh si Topeng Hitam terhuyung beberapa langkah. Seketika, perutnya terasa mual dan nyeri.
"Kurang ajar!" maki Barrot setelah menguasai keadaan.
Lelaki bertopeng hitam itu cepatcepat merubah letak kakinya. Kaki belakang yang menjadi tumpuan seketika dimajukan sejajar kaki kirinya. Lalu dengan sedikit menurunkan tubuhnya dan disertai renggangan kedua kakinya, si Topeng Hitam membentangkan tangannya di depan muka. Kemudian perlahan tangan kirinya yang terbuka, turun ke bawah dan berhenti tepat di atas pusar. Maka sesaat kemudian....
Dua gulungan sinar hitam kini telah tercipta dari telapak tangan Barrot. Sinar hitam yang menebarkan hawa panas itu bergulung-gulung, meluruk cepat ke arah leher dan pergelangan kaki Jaka.
Namun belum sempat kedua gulungan sinar hitam mencapai sasaran, Jaka telah lebih dulu mengeluarkan jurus 'Pukulan Pengacau Arah' yang didapat dari Nini Selasih. Jurus itu diturunkan untuk menandingi aji 'Lingkar Hitam Pengusung Raga' yang diciptakan Barrot, salah satu anggota Empat Setan Goa Mayat.
Dari telapak tangan Jaka yang terbuka seketika tercipta angin keras bergulung-gulung, seperti pusaran angin puyuh. Pengerahan jurusnya dilakukan sepenuh tenaga, hingga di daerah sekitar pertarungan itu seperti terlanda angin topan.
Werrr. !
Glarrr. !
Seketika dua kekuatan yang beriainan jenis bertemu dalam satu titik. Maka suara menggelegar tercipta dari benturan yang teramat dahsyat. Tubuh Jaka terjajar satu langkah. Sedangkan Barrot mengalami nasib naas. Tubuhnya yang gempal terpental sejauh tiga batang tombak, dan hampir saja melanda sebatang pohon besar. Untung saja si Cambuk Setan melesat cepat, menahan tubuh Barrot yang terpental keras.
"Bedebah keparat!" geram Barrot. Dari jarak lima batang tombak,
Jaka tersenyum simpul.
"Majulah kalian bersama! Biar urusanku cepat selesai."
Secara berbarengan, si Topeng Hitam dan Cambuk Setan melejit menerjang Raja Petir dengan senjata masing-masing. Akan tetapi....
Glar! Glar. !
Raja Petir seketika mengebutkan sabuk kuning yang digenggamnya. Maka, seketika seberkas sinar petir melesat cepat dari sabuk kuning yang diayunkan Jaka. Sinar keperakan yang ditimbulkan sangat mengejutkan kedua tokoh sesat anggota Empat Setan Goa Mayat.
Secepatnya kedua tokoh sesat itu melempar tubuhnya ke lain arah, sehingga selarik sinar keperakan yang layaknya petir itu membentur sebatang pohon besar.
Glarrr! Krakkk! Brakkk. !
Pohon sebesar tiga pelukan orang dewasa seketika ambruk mencium bumi. Bagian pohon yang terhantam selarik sinar keperakan itu nampak menghitam. Hangus!
"Raja Petir?!"
Jatianom dan Barrot benar-benar terkejut menyaksikan kenyataan di depan matanya. Sosok anak muda yang nampak berdiri angkuh, betul-betul seperti sosok yang pernah disaksikannya pada puluhan tahun silam.
"Dia pasti pewaris Raja Petir," kata si Cambuk Setan, mulai yakin.
"Kalau betul-betul dia anak Sempani, pasti tak membiarkan kita hidup," timpal si Topeng Hitam. Kgentaran nampak menguasai hatinya.
Tiba-tiba....
"Hiaaa!"
"Hiya. !"
Berbarengan Jatianom dan Barrot meluruk maju, menerjang Jaka yang berdiri tenang. Namun siapa sangka kalau tiba-tiba saja kedua lelaki berpakaian hitam itu menghentikan gerakannya di tengah jalan.
Jaka terperangah seketika. Namun kepekaannya yang sudah terlatih matang segera dapat membaca kelicikan dua penyerangnya. Karena dari gerakan tipuan dua orang dari Empat Setan Goa Mayat itu, mata si Raja Petir dapat menangkap sekelebatan benda kehitaman yang meluruk beriring.
Wusss...! Wusss. !
Benda tipis kehitaman yang melesat begitu cepat juga dapat tertangkap mata Gumai Gumarang.
"Awas, Jaka!" Gumai Gumarang berteriak keras.
"Hiya..., hiyaaa...!"
Jaka secepat kilat menggenjot tubuhnya. Lentingan manis dengan tubuh yang berputaran tiga kali di udara, dipertontonkan si Raja Petir.
"Hup!"
Tubuh Raja Petir sekejap kemudian sudah mendarat manis di tanah berumput halus. Sementara sebaris benda tipis kehitaman yang ternyata jarum-jarum beracun ganas hanya mengenai beberapa pohon yang seketika itu juga mengepulkan asap hitam! Pohon itu kemudian bertumbangan. Sungguh racun yang sangat ganas! Hal ini membuat Jaka dan Gumai Gumarang terkesiap.
Namun ketersimaan Jaka dan Gumai Gumarang tak beriangsung lama. Sebab, mereka kini dikejutkan oleh menghilangnya Barrot dan Jatianom yang nyata-nyatanya turut melenyapkan Sempani dan menghancurkan Perguruan Soka Merah.
Jaka segera mengedarkan pandangan ke sekeliling. Kini dia yakin kalau kedua tokoh sesat itu bersembunyi.
"Dia pasti kabur. Dasar pengecut!" umpat Jaka sambil melepaskan pukulan kasarnya ke udara.
***
Di dalam sebuah ruangan Perguruan Cermin Sakti yang seluruh dindingnya berwarna putih, nampak Ki Sobarang tergeletak lemah diatas pembaringan yang beralaskan kain putih. Di sampingnya, dua orang lelaki dan seorang gadis jelita berpakaian hijau daun nampak sedang berbincang-bincang.
"Untung kau cepat datang, Jaka. Kalau tidak...," kata Gumai Gumarang.
"Sebelum Paman Gumai datang, sebetulnya aku dan Seruni sudah tiba lebih dahulu. Kami bersembunyi ketika menyaksikan kedatangan dua lelaki berpakaian hitam yang membawa gelagat tak baik," tutur Jaka.
"Kami tak berani mencampuri urusan orang lain yang tidak diketahui jelas ujung pangkalnya, Paman," tambah Seruni.
"Meskipun, pada akhirnya kami melihat pertarungan antara murid-murid Perguruan Cermin Sakti. Demikian pula ketika Ketua Perguruan Cermin Sakti ikut turun tangan."
"Benar apa yang diucapkan Seruni, Paman. Namun ketika menyaksikan kehadiran Paman yang tiba-tiba dan mendengar pengakuan kalau kedua lelaki berpakaian hitam itu adalah dua dari Empat Setan Goa Mayat, barulah hatiku tergerak. Karena, aku juga punya persoalan dengan mereka. Merekalah yang telah membunuh ayahku, Paman," jelas Jaka sambil mengepalkan tinjunya. "Maaf, Paman. Sebetulnya ada urusan apa Paman Gumai datang ke Perguruan Cermin Sakti?"
Gumai Gumarang seketika mengembangkan senyumnya.
"Kakang Sobarang adalah teman sepermainanku dulu, Jaka. Puluhan tahun kami berpisah, dan baru dua tahun belakangan ini bertemu kembali," jelas Gumai Gumarang.
Si Raja Petir mengangguk-anggukkan kepala mendengar penuturan Gumai Gumarang.
"Sebenarnya, ada urusan apa Ki Sobarang dengan kedua tokoh sesat itu, Paman?" timpal Seruni, juga kepingin tahu.
"Persoalan lama, Seruni."
"Persoalan lama?"
"Warisan kadang bisa membuat para ahli warisnya berbahagia, akan tetapi tak jarang terjadi perpecahan. Bahkan mengadu nyawa. Seperti halnya, yang dialami Kakang Sobarang."
"Jadi sebetulnya Ki Sobarang bersaudara dengan kedua tokoh Empat Setan Goa Mayat itu, Paman?" tanya Jaka.
"Dengan lelaki bertopeng hitam itu," jelas Gumai Gumarang. 'Tapi sebenarnya si Topeng Hitam itu tak berhak atas warisan yang diturunkan orangtua Kakang Sobarang. Karena, dia hanya anak tiri."
"Lalu?" desak Seruni.
"Orangtua Kakang Sobarang adalah seorang lelaki arif dan bijaksana. Walaupun si Topeng Hitam tak berhak atas warisan, tapi tetap diberi harta juga. Namun rupanya ketamakan terlalu menguasai hati si Topeng Hitam. Dia menginginkan benda pusaka peninggalan leluhur orangtua Kakang Sobarang, yang sebenarnya hanya bisa jatuh ke tangan anak kandungnya. Yakni Kakang Sobarang."
"Kalau boleh kutahu, benda pusaka apakah itu, Paman Gumai?" selidik Jaka.
"Cermin Ajaib."
"Cermin Ajaib?" tukas Jaka. "Begitu besarkah keistimewaan
Cermin Ajaib itu, Paman?" rasa keingintahuan Seruni ternyata lebih besar daripada Jaka.
"Cermin itu dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit dan dapat memperkuat daya tahan tubuh seseorang dari serangan penyakit yang sehebat apa pun. Dan dapat menyembuhkan luka yang separah apa pun, seperti yang dialami Kakang Sobarang itu. Kalian lihatiah, luka di perut Kakang Sobarang telah rapat dengan sendirinya," tunjuk Gumai Gumarang ke arah tubuh Ki Sobarang yang tengah terbaring.
"Tapi, aku tak melihat Cermin Ajaib itu berada pada Ki Sobarang, Paman?" tanya Seruni penasaran.
"Itulah salah satu keajaiban cermin itu, Seruni," tukas Gumai Gumarang. "Seseorang yang memiliki benda itu, kesulitannya dengan sendirinya akan dapat teratasi. Karena, cahaya dari cermin itu secara tidak langsung akan menyatu pada pemiliknya. Apalagi, Kakang Sobarang telah memiliki benda pusaka itu lebih dari setengah abad."
Kembali Seruni tercengang mendengar kelebihan benda yang bernama Cermin Ajaib itu.
"Pantas benda itu tak boleh diwarisi orang yang bukan ahli warisnya," gumam Seruni dalam hati.
***
ENAM
Sekelebat bayangan hitam berlari cepat beriringan menuju arah Selatan. Hingga yang tampak hanya sebaris garis yang sekejapan sudah meninggalkan tempat kemunculannya semula.
Bayangan hitam itu kini berdiri di depan kerimbunan semak belukar berduri. Secepat mereka berlari, secepat itu pula dua orang lelaki berpakaian hitam yang ternyata Jatianom dan Barrot menyibak semak belukar dan pepohonan berduri. Sebentar mereka menghadap ke dinding tanah liat setinggi lima belas batang tombak.
Sekejapan kemudian, kedua sosok itu bersamaan melentingkan tubuhnya ke atas. Mereka berputaran dua kali, dan mendarat manis di depan mulut goa. Ringan sekali gerakan mereka, sehingga sedikit pun tak terdengar suara.
Jatianom dan Barrot segera masuk ke dalam goa di hadapan mereka. Namun, mereka sedikit heran, karena tak ada seorang penghuni pun terlihat di tempat yang dinamai Goa Mayat itu. Sebuah tempat yang di setiap sudutnya terdapat kerangka-kerangka manusia yang sudah diawetkan! Pemandangan di dalamnya begitu mengerikan. Beberapa tengkorak kepala orang-orang berilmu tinggi yang pernah mereka taklukkan menghiasi setiap sudut dinding.
"Ke mana perginya Kakang Angkara dan Nyi Regita?" gumam Barrot, lalu duduk di sebuah bangku yang juga terbuat dari tulang-belulang manusia yang telah diawetkan.
"Mungkin pergi ke tempat tinggal Gandewa," duga Jatianom yang berjuluk si Cambuk Setan.
Barrot tak memberi tanggapan dugaan Jatianom. Di benaknya masih terbayang sosok pemuda yang mengaku
anak Sempani dan memiliki ilmu silat dan kesaktian begitu tinggi. Rasanya mustahil kalau orang semuda itu sudah mampu mencapai tingkat kesaktian yang begitu mengagumkan. Atau mungkin....
"Mungkin anak muda itu jelmaan Raja Petir, Kakang Jatianom," ucapan Barrot yang keluar seperti tanpa gairah.
"Mana mungkin hal itu terjadi, Barrot," bantah Jatianom.
"Atau mungkin dia titisan Raja Petir?" tebak Barrot lagi.
"Entahlah! Sukar sekali memikirkan kemungkinan-kemungkinan itu. Yang jelas, Empat Setan Goa Mayat dan si Ludah Setan harus mampu mengenyahkan anak muda yang mengaku putra tunggal Sempani. Dialah duri bagi sepak terjang kita."
"Ya. Aku setuju!"
Begitu Barrot selesai berujar seperti itu, dua sosok berpakaian merah dan biru langit menjejakkan kaki di mulut goa.
"Dari mana kalian?" tanya Jatianom ketika Nyai Regita dan Ki Angkara muncul.
"Menjenguk Gandewa," jawab Ki Angkara.
"Ada apa dengan Gandewa?" selak Barrot penuh curiga.
Nyi Regita menarik napas dalamdalam. "Dia kalah bertarung melawan anak Sempani," sedikit berat suara Nyi Regita.
Jatianom dan Barrot terlonjak dari duduknya mendengar ucapan Nyi Regita.
"Kau jangan main-main, Nyi Regita!" sedikit keras suara Jatianom yang keluar.
'Tangan kanan si botak itu putus terbabat sabuk kuning yang memiliki pamor menggiriskan," tambah Ki Angkara.
"Raja Petir...," suara Barrot terdengar mendesah berat
"Dari mana kau bisa memastikan kalau orang yang mengalahkan Gandewa adalah Raja Petir?" selidik Ki Angkara.
"Baru saja aku dan Kakang Jatianom bertarung dengannya."
"Apa?!"
Gantian Nyi Regita dan Ki Angkara terkejut mendengar penuturan si Topeng Hitam.
"Lalu, urusan kalian dengan Ketua Perguruan Cermin Sakti bagaimana?" tanya Ki Angkara ingin tahu.
"Anak Sempani itulah yang menggagalkannya," jawab Barrot, penuh penyesalan.
"Keparat!" Nyi Regita mengacungkan kepalannya ke udara.
"Kita harus segera mengenyahkan bocah edan itu!"
Suasana di dalam goa yang dihiasi tulang-belulang manusia itu hening seketika. Masing-masing anggota Empat Setan Goa Mayat memikirkan cara terbaik untuk dapat melenyapkan Raja Petir dari muka bumi secepatnya.
"Aku yakin kita mampu menyingkirkan anak Sempani itu!" tukas Ki Angkara memecah keheningan.
"Namun aku tak habis pikir kalau bocah itu masih hidup sampai sekarang," kali ini Jatianom yang bersuara.
"Seseorang mungkin telah menolongnya dari amukan api," tebak Nyi Regita.
"Kalau anak Sempani tidak dibantu si Pedang Sinar Biru, aku yakin sedikit banyaknya kita bisa mengimbanginya," kata Barrot.
"Gumai Gumarang!" tukas Ki Angkara sedikit keras.
"Siapa lagi yang berdiri di belakang anak Sempani itu?" tanya Nyi Regita.
"Sudah pasti si Cermin Sakti," serobot Jatianom.
"Kemungkinan juga Terala, Ketua Perguruan Hijau Kemuning. Dua tahun belakangan ini, dia kelihatannya tengah menjalin hubungan baik dengan Gumai Gumarang," jelas Barrot.
Tokoh Empat Setan Goa Mayat berpikir keras. Tak biasanya mereka harus meiakukan itu, meskipun berhadapan dengan sepuluh tokoh persilatan berkepandaian tinggi sekalipun. Tapi kali ini....
Mereka merasa ngeri juga menghadapi keberadaan Raja Petir. Terlebih Jatianom dan Barrot yang sudah mengetahui jelas, betapa setiap serangan yang dilakukan Raja Petir mengandung hawa kematian.
"Kita harus menghabisi tokoh itu satu persatu," tukas Nyi Regita beberapa saat kemudian.
"Aku setuju," timpal Barrot "Sobaranglah sasaran kita yang pertama."
"Gumai Gumarang, Terala, dan yang terakhir anak Sempani," usul Jatianom. "Bagaimana dengan Gandewa?" tanya
Ki Angkara.
"Dia akan kita hubungi secepatnya. Kita semua harus bekerjasama agar pekerjaan ini menjadi lebih mudah dan lebih cepat," kata Nyi Regita.
***
Angin malam berhembus cukup kencang Dingin yang menebar, seakan mampu menembus sampai ke tulang sumsum. Namun, kiranya tidak dihiraukan empat orang yang tengah berbincang di pendopo Perguruan Hijau Kemuning.
Raja Petir, Terala, Gumai Gumarang, dan Seruni nampak membiarkan angin dingin yang mengusik. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Maaf, Paman," ujar Jaka. "Menurutku, Empat Setan Goa Mayat dan Gandewa masih berpikir dua kali untuk menghadapi kita secara bersama-sama. Paman Gumai, Paman Terala, dan juga Ki Sobarang pasti diperhitungkan mereka. Karena, Paman berdua dan Ki Sobarang adalah tokoh-tokoh yang tidak bisa dianggap enteng. Jadi, perhitunganku Empat Setan Goa Mayat dan Gandewa akan menyatroni kita satu persatu. Itu semata dilakukan untuk mempermudah pekerjaannya dalam menghadapiku. Maaf paman, aku tidak bermaksud menyombongkan diri. Tapi, firasatkulah yang mengatakan akan adanya tindakan seperti itu."
Terala dan Gumai Gumarang menganggukkan kepala masing-masing.
"Perhitunganmu bisa kuterima, Jaka," kata Terala.
"Ya! Aku pun demikian," tambah Gumai Gumarang.
"Lalu, apa tindakan kita selanjutnya, Paman?" Seruni menatap wajah Terala, Gumai Gumarang, dan Jaka bergantian.
"Sasaran pertama pasti Kakang Sobarang," duga Gumai Gumarang. "Alasannya, sudah tentu merebut Cermin Ajaib milik kakang Sobarang. Dan bila Cermin Ajaib itu berhasil direbut, itu akan menambah keyakinan mereka untuk meruntuhkan kita," jelas Gumai Gumarang.
"Aku sependapat denganmu, Paman Gumai. Bukan begitu, Paman Terala?" Jaka balik bertanya pada Terala.
Terala tidak segera menjawab pertanyaan Jaka. Mata tuanya yang masih terap tajam memandang jauh kedepan, mencoba menembus kegelapan malam.
"Menurutku, perhitungan dan kemungkinan yang telah kalian cetuskan bisa masuk akal. Aku yakin, tokohtokoh golongan hitam yang licik itu akan melaksanakan apa yang kalian perhitungkan barusan," kata Terala, akhirnya.
"Sekarang, apa tindakan kita?" Seruni kembali, meminta ketegasan.
Gadis cantik putri Terala itu memang selalu ingin ikut setiap ada urusan penting. Dan Terala tidak pernah melarang keinginan anaknya.
"Bagaimana kalau kita sekarang juga berangkat ke Perguruan Cermin Sakti. Perhitunganku, menjelang fajar nanti Gandewa dan Empat Setan Goa Mayat! akan menyatroni kediaman Ki Sobarang," usul Terala. "Aku seruju, Adi Terala," sambut Gumai Gumarang.
"Bagaimana dengan kau, Jaka? Seruni?"
"Aku menurut apa kata Paman berdua," jawab Jaka tegas.
"Aku juga," ucap Seruni tak keringgalan.
"Jarpatula!" panggil Terala keras.
Sosok tinggi besar berkumis melintang dan berpakaian putih begitu cepat menghadap Terala.
"Ada apa, Guru?" lelaki yang dipanggil Jarpatula menjura memberi hormat.
"Kau pimpin rekan-rekanmu untuk berjaga-jaga malam ini. Jangan lengah sampai matahari terbit esok. Kami semua akan pergi sekarang juga," ujar Terala tegas.
"Baik, Guru," Jarpatula kembali menjura memberi hormat.
"Ingat! Jika ada sesuatu yang kira-kira mampu diatasi, atasilah. Jangan tanggung-tanggung. Namun sekiranya kalian merasa tak mampu menghadapi, kalian kumintan menyelamatkan diri masing-masing. Jangan pikirkan perguruan ini. Kita dapat membangunnya kembali, jika kalian semua mampu menyelamatkan diri," bijak ucapan yang keluar dari bibir Ketua Perguruan Hijau Kemuning.
"Baik, Guru."
"Ayo kita berangkat sekarang," tukas Terala sambil melesat diikuti Seruni, Gumai Gumarang, dan Jaka.
Sementara, malam kembali merangkak perlahan. Dingin yang begitu kuat menggigit kulit tak dipedulikan empat sosok bayangan yang tengah berlari cepat Masing-masing mengerahkan ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi dan ilmu lari cepat yang mencapai taraf kesempurnaan. Hingga, yang nampak hanya empat bayangan yang bagai tersapu angin.
***
Ki Sobarang terkejut menerima kedatangan Gumai Gumarang, Terala, Seruni, dan Jaka. Ketua Perguruan Cermin Sakti itu tidak berkata apa-apa ketika Gumai Gumarang mengemukakan alasannya kemba ke perguruannya. Dan hal ini tentu saja membuat Sobarang berpikir keras.
"Lalu, bagaimana seandainya perhitungan kalian jauh dari sasaran? Bahkan justru Barrot dan kawankawannya menyatroni Perguruan Hijau Kemunin Karena, bisa saja mereka beranggapan kalau kaliansemuanya berkumpul di sana?" tanya Ki Sobarang kemudian
"Aku rasa tidak mungkin, Ki. Yang menjadi masalah, mereka tidak mau
mengambil akibat dari kebersamaan kami. Mereka pasli berpikir, lebih mudah melenyapkan kita satu persatu daripada sekaligus. Dan kami semua memperhitungkan kalau yang menjadi sasaran pertama adalah kau, Ki Sobarang," sahut Raja Petir.
Ki Sobarang jadi terpekur mendengar penjelasan Jaka yang begitu meyakinkan.
"Lalu menurut kalian, kapan waktu yang tepat bagi mereka untuk menyatroni kediamanku?" Ki Sobarang meminta pendapat
"Kita bersiap-siap saja, Kakang. Namun menurut hemat kami, mereka akan menyatroni tempat ini sebelum fajar menyingsing. Di saat-saat orang tengah nyenyak tidur," jawab Gumai Gumarang.
"Lalu, tindakan apa yang akan kita ambil seka-rang?" Ki Sobarang seperti kehilangan akal.
"Kita kosongkan rumah ini sekarang juga," usul Gumai Gumarang.
"Maaf, Paman Gumai. Kali ini aku tidak sependapat denganmu," selak Jaka.
"Lalu, apa usulmu?" tanya Gumai Gumarang.
"Biarkan semua penghuni bangunan ini seperti biasa. Jangan pancing kecurigaan Empat Setan Goa Mayat dan Gandewa hingga mereka mengurungkan niat Ki Sobarang serta penghuni yang
lain biar saja tetap pada tempatnya. Paman Terala dan Seruni bersembunyi di bagian Utara bangunan ini. Sedangkan, Paman Gumai bersembunyi di sebelah Barat Seme-tara, aku mengambil tempat di bagian Timur," saran Jaka.
Semua yang berada di ruangan tengah bangunan Perguruan Cermin Sakti setuju atas gagasan si Raja Petir.
***
Malam yang tanpa ditemani sepotong bulan pun, merangkak seakan begitu lama. Sosok-sosok yang tersembunyi di kerimbunan dan kegelapan malam, masing-masing meragukan apa yang telah diperhitungkan matangmatang. Buktinya, sudah sejauh ini orang yang dinanti-nantikan belum muncul juga.
"Jangan-jangan, tokoh-tokoh sesat itu menyatroni kediaman kita, Ayah," tukas Seruni dengan bibir hampir menempel di telinga Terala.
"Ayah juga mengkhawatirkan hal itu terjadi, Seruni," balas lelaki di sebelahnya. Di punggungnya tampak tersampir sebatang pedang berwarna keemasan.
Di lain tempat, dari arah sebelah Timur bagian Perguruan Cermin Sakti, sosok tubuh yang tengah bersembunyi di balik kelebatan pohon tampak menajamkan pendengaran dan penglihatannya. Sosok tubuh yang ternyata Jaka dan berjuluk Raja Petir nampak gelisah. Benaknya mengira-ngira kalau Empat Setan Goa Mayat akan menyatroni Perguruan Cermin Sakti malam ini Namun Raja Petir tak sampai berpikir kalau mereka malah menyatroni Perguruan Hijau Kemuning.
Sementara itu, Gumai Gumarang yang bersembunyi di daerah Barat bangunan Perguruan Cermin Sakti juga mengalami perasaan yang sama. Perasaan khawatir akan perhitungan yang meleset.
Krosak...!
Jaka, Seruni, Terala, dan Gumai Gumarang menajamkan pendengarannya. Harapan mereka akan kehadiran sosok Empat Setan Goa Mayat dan si Ludah Setan ternyata kembali hadir.
Satu, dua, tiga.... Lima bayangan seketika melenting ke udara, dan mendarat tanpa menimbulkan suara. Gerakan mereka begitu ringan, hingga Jaka yang menajamkan segenap pendengarannya hanya mampu mendengar angin lembut berkesiutan saja.
Lima sosok bayangan yang ternyata Empat Setan Goa Mayat dan Gandewa berjalan mengendap-endap, mendekati pintu utama bagian bangunan Perguruan Cermin Sakti. Namun tiba-tiba....
"Berhenti!"
Lima sosok bayangan yang hampir mendekati pintu utama Perguruan Cermin Sakti tersentak seketika, dan langsung berhenti.
Bentakan yang dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam penuh, sempat membuat telinga mereka mendengung. Dan itu menandakan kalau orang yang membentak barusan memiliki tenaga dalam tinggi. Dan belum lagi gema bentakan itu hilang, tiba-tiba di hdapan mereka telah berdiri sosok pemuda yang tak lain orang yang berjuluk Raja Petir. Bahkan kini mereka kembali terkejut dengan melentingnya empat sosok tubuh dari arah yang berlawanan.
"Kalian salah perhitungan, Kisanak!" sindir Jaka lantang. "Dan kau, Botak Keparat! Berani beraninya menghadapiku kembali. Kau benar-benar tak patut diampuni!"
"Raja Petir! Kau jangan sombong! Apa dikira kalian mampu menghadapi kami berlima?" balas Gandewa sengit
"Orang lain boleh takut pada kalian. Tapi anak Sempani pantang takut pada setan kudisan macam kalian!"
"Bedebah!" geram Nyi Regita mendengar kelancangan Jaka.
"Gandewa, dan juga kalian Empat Setan Goa Mayat Sebelum kalian dijemput ajal, dengarlah ucapanku ini. Berdoalah agar semua dosa kalian terampuni. Cepat! Aku tak bisa menanti lama!"
Mendengar perintah dan bentakan itu, Ki Angkara yang memang lebih mudah terbawa amarah segera menyiapkan jurusnya. Sebentar kemudian, teriakannya yang melengking nyaring terdengar.
"Hiyaaa...!"
"Akulah lawanmu, Angkara! Hiyaaat...!" Gumai Gumarang tak mau kalah. Dia segera melenting, memapak serangan Ki Angkara.
Trang! Trang..! "Uts!"
Ki Angkara memiringkan tubuhnya kerika ujung pedang Gumai Gumarang yang menimbulkan hawa dingin hampir membabat rusuknya.
"Bedebah! Hiyaaa...!"
Pertarungan yang dibuka Ki Angkara dan Gumai Gumarang yang berjuluk si Pedang Sinar Biru, diikuti rekan-rekan mereka.
Pada tempat lain, Jaka terpaksa memecah pikirannya menjadi dua bagian. Sebentar dia menerjang Nyi Regita yang berjuluk si Telapak Setan, namun sekejapan kemudian telah melejitkan tubuhnya. Langsung dihalaunya serangan Gandewa yang terus mendesak Seruni.
Sebenarnya dengan kehadiran Seruni di kancah pertempuran ini, sedikit banyak akan menguntungkan lawan. Mereka yang rata-rata berakal licik akan menggunakan kesempatan baik sekecil apa pun. Dan ketika Jaka harus menghadapi Nyi Regita kembali, kekhawatiran itu muncul juga. Maka....
"Hiya. !"
Bugk! "Akh!"
Tubuh Seruni terpental deras ke belakang terkena sodokan tangan Gandewa yang disertai tenaga dalam penuh.
"Seruni!"
Terala memekik keras menyaksikan tubuh putri tunggalnya terhempas jauh, hingga membentur sebatang pohon yang langsung tumbang! Melihat hal ini, pikiran Terala jadi terpecah dua. Maka kesempatan itu tidak disia-siakan Jatianom. Seketika, cambuknya dilecutkan ke tubuh Terala.
Ctar! Ctar! "Akh. !"
Terala memekik tertahan. Dua guratan memanjang tampak mengoyak tubuhnya hingga pakaiannya haneur. Namun Ketua Perguruan Hijau Kemuning itu tak mempedulikannya. Dia terus berlari cepat mengejar tubuh putri tunggalnya yang ambruk.
Melihat kesempatan baik ini, rupanya Ki Angkara juga tidak ingin menyia-nyiakannya. Maka segera dikejarnya Ketua Perguruan Hijau Kemuning itu. Namun....
Ctar! Glarrr. !
Jaka segera mengebutkan sabuk keemasannya kerika menyaksikan keadaan Terala yang terancam bahaya.
"Hup!"
Ki Angkara segera melenting ke belakang, menghindari terjangan sabuk yang dikebutkan Raja Petir.
Maka, mendapat kesempatan yang menguntungkan, Jaka segera menghambur ke arah Terala yang tengah memeluk putri tunggalnya.
"Sebaiknya, Paman membawa Seruni jauh-jauh dari tempat ini," ujar Jaka. "Biar aku yang menghalangi setan-setan laknat itu. Cepat, Paman!"
Dengan mengandalkan sisa tenaga yang ada, sambil membopong tubuh putri tunggalnya, Terala melesat pergi dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh.
Melihat Terala melarikan diri, Gandewa segera mengirimkan pukulan jarak jauhnya.
Wusss. !
Akan tetapi, dari arah yang berlawanan, si Raja Petir segera menghalangi maksud buruk Gandewa.
"Licik kau! Hiyaaa. !"
Werrr. !
Anginderasbergulung-gulung seketika tercipta dari tangan Raja Petir yang terbuka lebar. Angin itu bergerak cepat luar biasa, laksana pusaran angin yang siap menghempaskan benda-benda yang ada di depannya.
Glarrr...!
Pukulan jarak jauh bertenaga dalam tinggi yang dilancarkan Gandewa seketika bertabrakan dengan jurus 'Pukulan Pengacau Arah' ciptaan Raja Petir. Seketika bunyi menggelegar tejjdengar memekakkan telinga.
"Keparat!" maki Gandewa sambil meloloskan senjata, berupa palu bergerigi yang dihubungkan dengan rantai baja.
Wukkk.... Wukkk.... Wukkk...!
***
TUJUH
Gandewa terus memutar-mutar senjata andalannya. Putaran senjata itu semakin lama semakin keras, sehingga sanggup menerbangkan kerikil-kerikil yang ada di sekitar tempat pertarungan.
Wukkk.... Wukkk...!
Sementara, si Raja Petir hanya membiarkan saja angin yang keluar dari putaran senjata Gandewa yang mengibarngibarkan pakaiannya. Hawa dingin memang mencoba menggigit tulang sumsumnya. Namun dengan pengerahan hawa murninya, hawa dingin itu tidak berarti apa-apa bagi Jaka.
"Gandewa! Kuperingatkan sekali lagi! Kali ini aku tidak hanya membuntungi tanganmu yang tinggal sebelah itu. Tapi juga kedua kakimu, sekaligus kepalamu!" bentak Jaka, disertai pengerahan tenaga dalam penuh.
Wukkk.... Wukkk...!
Gandewa tambah mempercepat putaran palu bergeriginya.
"Hiyaaa...!" Wukkk...!
Glarrr...!
Sebatang pohon besar langsung tumbang terkena hantaman palu bergerigi yang dilepas Gandewa yang berjuluk si Ludah Setan itu. Sementara, Raja Petir nampak sudah kembali berdiri tegak, setelah tadi melempar tubuhnya ke samping kanan dan berguling-an beberapa kali.
"Kau harus latihan tiga tahun lagi untuk bisa menggunakan senjata yang tak berguna itu, Gandewa!" ledek Jaka, memanasi.
Seketika merah padam wajah Gandewa mendengar ledekan itu. Seketika itu juga, putaran senjatanya dihentikan, kemudian diletakkan di pinggangnya.
"Kau rasakan ini, Bocah Sombong!" Gandewa menaikkan tangan kirinya sampai melewati kepala. Kemudian tangannya yang tinggal sebelah itu kembali ditarik ke bawah dengan dialiri tenaga dalam tingkat tinggi. Wajah Gandewa seketika berubah merah kerika melakukan gerakan itu.
Dari arah yang berlawanan, sekitar lima tombak, si Raja Petir nampak sudah siap menghadapi aji 'Dewa Api' yang akan dilancarkan Gandewa.
"Aji Bayang-bayang"
Seiring teriakan si Raja Petir....
Trap! Trap! Trap. !
Sosok tubuh berpakaian kuning keemasan tiba-tiba berubah menjadi banyak! Satu, dua, tiga..., enam sosok berpakaian kuning keemasan tampak tengah berdiri bertolak pinggang!
Gandewa yang hendak menggelar aji 'Dewa Api' nampak terhenyak sesaat, namun tak lama kemudian....
"Heaaa. !"
Gumpalan-gumpalan api yang mampu menerangi sekitar tempat pertarungan seketika keluar dari telapak tangan kiri Gandewa, dan terus melesat cepat mencecar tubuh Jaka yang tetap berdiri tenang.
Dan begitu gumpalan api ciptaan Gandewa hampir mendekati tubuh Raja Petir, tiba-tiba....
Glar! Glarrr. ! Gandewa terhenyak menyaksikan serangannya hanya membentur pohonpohon di sekitar tempat pertarungan. Sedangkan Raja Petir yang berdiri dengan bayangan-bayangan tubuhnya masih tetap tegak, tak bergeming sedikit pun.
Dan kini....
"Hiaaat..!"
Tubuh Raja Petir dan kelima bayangannya meluruk cepat, sukar diikuti mata biasa. Tapi lain halnya dengan si Ludah Setan itu. Matanya memang mampu mengikuti kecepatan gerakan yang dilakukan Raja Petir, namun tidak mampu memilih mana Raja Petir yang sesungguhnya. Kebingungan sesaat menyergap hati Gandewa.
Maka sebisanya Gandewa membuang dirinya ke kanan. Namun kenyataannya?
Des! "Ugkh!" Bug!
Tubuh Gandewa terjengkang sejauh tiga batang tombak terlanda terjangan kaki kanan Raja Petir. Seketika, si Ludah Setan merasakan isi perutnya hendak keluar.
"Hoeeek. !"
Darah kental kehitaman dimuntahkan Gandewa. Matanya kini berkunang-kunang, dan napasnya terasa sesak seketika.
Menyaksikan musuhnya berada dalam keadaan yang tak berdaya, Raja Petir segera meraih bambu kuning yang tanpa lubang di tengahnya. Bambu kuning itu dapat membuat kulit terkelupas dengan sendirinya, jika sinar kuning yang dikeluarkannya menyentuh tubuh. Dan kini, Jaka segera menempelkan ujung bambu kuning pada bibirnya. Sekejap kemudian....
Pusss. !
Sinar kuning menyilaukan mata kini keluar, begitu Raja Petir meniup lubang bambu kuning itu. Sementara Gandewa sudah pasrah menanti maut, saat melihat sinar kuning terus meluruk cepat ke arahnya.
Slap! Brusss. !
Betapa terkejutnya Raja Petir menyaksikan serangannya hanya membentur rumput halus yang seketika mengeluarkan asap tebal kekuningan. Namun, matanya yang tajam memang menangkap sekelebat bayangan yang berhasil menyelamatkan musuh besarnya. Ternyata bayangan yang menyelamatkan Gandewa adalah Nyi Regita.
Kembali Raja Petir meniup bambu kuningnya.
Maka secercah sinar kuning keemasan melesat cepat.
Pusss. !
Nyi Regita yang berjuluk Telapak Setankembalimelentingmenghindari terjangan sinar kuning yang keluar dari bambu yang menempel di sela bibir Raja Petir.
Sambil membopong tubuh Gandewa, Nyi Regita terus berlompatan ke sana kemari, untuk menghindari terjangan sinar kuning yang begitu berbahaya.
"Hiyaaa...! Hup!"
Si Telapak Setan kembali melenting, dan sebentar kemudian hinggap manis di tanah. Dan kini, perempuan berpakaian merah itu langsung mengebutkan tangannya.
Wuttt! Wesss...!
"Jarum beracun!?" sentak Jaka dalam hati.
Raja Petir membuang tubuhnya ke kiri menghindari hujan benda hitam yang dilempar si Telapak Setan. Tubuhnya terus bergulingan, sementara Nyi Regita terus melempar jarum-jarum beracunnya. Hingga suatu ketika....
Bettt! Bettt! Bettt! Wusss. !
Angin bergulung-gulung yang keluar dari telapak tangan Raja Petir begitu cepat membuyarkan barisan jarum beracun yang meluruk ke arahnya. Malah sebagian terpental balik ke arah pemiliknya.
"Setan! Hiyaaa. !"
Nyi Regita cepat-cepat melenting dan melakukan putaran beberapa kali. Dan kini tubuhnya mendarat ringan di tanah.
Entah berapa puluh jurus sudah berlalu. Namun orang-orang yang menjuluki diri sebagai Empat Setan Goa Mayat dan Ludah Setan terus mencoba melumpuhkan lawan-lawannya yang memang rata-rata memiliki ilmu olah kanuragan tingkat tinggi. Mereka semua tak sadar kalau sang waktu pun terus berputar. Malam sudah berganti pagi. Fajar juga sudah menjelang, menerangi pelosok perkampungan yang tengah terjadi sebuah pertarungan besar.
"Terimalah ini, Bocah!"
Tiba-tiba Jatianom meluruk cepat ke arah Jaka. Dia sadar kalau Nyi Regita perlu mendapat bantuan. Maka....
***
Ctar! Ctar!
Bunyi memekakkan telinga kembali terdengar ketika Jatianom melecutkan cambuk berdurinya ke sana kemari. Dicari titik-titik kematian pada tubuh Raja Petir.
Pada suatu kesempatan, Jaka membiarkan Jatianom mengarahkan lecutan cambuk ke lehernya. Mendapat kesempatan ini, si Cambuk Setan ridak menyia-nyiakan. "Hiyaaa...!"
Dengan perhitungan yang matang, Raja Petir mengegoskan tubuhnya, dan langsung menangkap ujung cambuk berduri yang hampir membabat batang lehernya.
Jaka langsung menggulung cambuk itu sekuat tenaga. Namun, rupanya Jatianom si pemilik cambuk itu tak membiarkan cambuknya terkuasai. Dia berusaha menahan sekuat tenaga gerakan perputaran dahsyat yang dilakukan Raja Petir.
Keringat sebesar biji jagung tampak mengalir dari dahi Jatianom yang berusaha menahan cambuknya dari betotan Raja Petir. Seluruh tenaga dalam yang dimiiiki dikerahkan, namun tenaganya kalah jauh dibanding Raja Petir.
Sedikit demi sediki, letak berdiri si Cambuk Setan bergeser ke depan. Nampaknya, dia mengalami kesuaran menahan tarikan yang dilakukan Raja Petir. Namun....
"Hiyaaa. !"
Nyi Regita yang melihat Jatianom terdesak, segera melejitkan tubuhnya. Tubuhnya yang berada di udara dengan letak kaki kanan di depan, melesat bagai anak panah terlepas dari busur.
Raja Petir yang menyaksikan tindakan perempuan tua berpakaian merah itu, segera melempar tubuhnya ke kanan tanpa melepas cekalannya pada cambuk berduri milik si Cambuk Setan.
Mendapat kenyataan ini, Jatianom tentu saja terkejut Maka secepatnya dia mengikuti arah gerakan Raja Petir yang melemparkan tubuh. Dan bahkan Jatianom pun ikut bersalto beberapa kali, ketika Raja Petir bersalto.
Kiranya, Jaka telah menduga apa yang akan dilakukan si Cambuk Setan. Maka kerika tubuhnya mendarat, Raja Petir secepatnya melepas pegangannya pada cambuk berduri. Dan dengan kecepatan yang sukar diukur, dia melompat menerjang si Cambuk Setan yang tengah kehilangan keseimbangan.
"Hiyaaa...!" Digkh! "Aaakh...!"
Suara lengkingan Jatianom sedemikian keras. Tubuhnya terpental begitu jauh, tanpa dapat dicegah lagi. Sementara Raja Petir tak membiarkan tubuh itu kembali tegak berdiri. Maka sambil mengayunkan sabuk kuningnya, dia kembali menerjang.
Seberkas sinar keperakan seketika melesat bagai kilat dari ujung sabuk yang digerakkan Raja Petir.
Clarrr...! "Aaakh...!"
Tubuh Jarianom terhempas beberapa batang tombak kerika sinar keperakan menerjangnya. Asap, tampak mengepul dari pakaian Jatianom yang bagai habis terbakar. Bau sangit daging terbakar menebar, terhe-bus angin.
Jatianom tampak menggeliatkan tubuhnya beberapa saat Suara erangan kesakitan sedikit-sedikit masih terdengar. Namun sebentar kemudian, tubuh si Cambuk Setan diam tak bergerak-gerak lagi. Mati!
***
Di lain tempat, tampak Gandewa sudah kembali bangkit. Rupanya, dia hendak menerjang Raja Petir yang telah menewaskan Jatianom.
"Tahan, Gandewa!" sentak Nyi Regita yang berjuluk Telapak Setan.
Gandewa seketika membatalkan langkahnya. Matanya sekilas menatap mata jalang milik nenek berbaju merah itu.
"Kau tak bakal mampu menghadapi anak Sempani seorang diri. Kita coba menyerangnya dengan ajian andalan kita secara bersama," ujar Nyi Regita yang langsung saja menarik ke belakang tubuhnya.
Gandewa pun melakukan hal yang sama. Seiring gerakan si Telapak Setan yang menyilangkan tangan di atas kepala, Gandewa juga membuat gerakan menyilang pada tangan kirinya. Dan kemudian dia menariknya sampai batas ulu hati.
Sementara itu, suara yang mendesis keluar dari sela-sela gigi perempuan berpakaian merah. Asap mengepul dari tangannya yang ditarik menurun ke bawah muka. Sampai di situ Nyi Regita menahan gerakannya. Seketika, mulutnya terbuka seperti akan berbicara.
"Kau sudah siap melancarkannya, Gandewa?" berat suara yang keluar dari mulut si Telapak Setan.
Raja Petir yang mengetahui lawannya tengah mengerahkan ajian segera saja mempersiapkan diri. Kemudian, tubuhnya ditarik ke belakang satu langkah.
Dengan mengangkat kedua tangannya, Raja Petirnmenyertakan tarikan napas yang begitu sempuma Kemudian, tangannya yang terangkat sebatas kepala direntangkan dengan jari-jari masih tetap mengepal.
Seiring selesainya gerakangerakan bertenaga yang dilakukan, seiring itu pula cahaya kuning keemasan berpendar-pendaran membungkus kepala hingga dada, dan sebagian lainnya membungkus lutut hingga kaki Jaka. Rupanya, Raja Petir tengah menyajikan aji 'Kukuh Karang' untuk menandingi aji 'Pembeku Darah’ milik si Ludah Setan dan aji 'Pemutus Nadi' milik si Telapak Setan.
"Hiyaaa!"
"Hiyaaa!"
Secara berbarengan, Nyi Regita dan Gandewa mendorong telapak tangan masing-masing Seketika sinar merah dan hitam melesat cepat dari telapak tangan mereka.
Sinar merah dan hitam itu terus meluruk maju, hingga ketika menyentuh tubuh Raja Petir.
Prepp...!
Ternyata tak terdengar ledakan dahsyat ketika tiga ajian bertemu pada satu titik.
Beberapa saat Nyi Regita dan Gandewa menunggu akibat dari serangan ajiannya. Namun setelah beberapa saat berlalu, ternyata Raja Petir masih tetap tegak berdiri. Maka, tercenganglah Nyi Regita dan Gandewa.
"Ulangi lagi, Gandewa!" perintah Nyi Regita. Gandewa segera menggelar aji 'Pembeku Darah'nya. Demikian halnya Nyi Regita. Aji 'Pemutus Nadi'nya yang mengeluarkan sinar merah kembali melesat beriring warna hitam hasil ciptaan Gandewa.
Prepp...!
Kejadian seperti pertama terulang lagi. Ajian 'Pembuku Darah' milik Gandewa dan aji 'Pemutus Nadi' ciptaan si Telapak Setan tak mampu menggoyah keberadaan si Raja Petir!
Malah sebaliknya, setelah Nyi Regita dan Gandewa melepas masingmasing ajian yang bersarang di tubuh Raja Petir, seketika dirasakan ada sesuatu yang menarik-narik tubuh mereka.
Tarikan yang semula tak dirasakan, kini begitu kuat berpengaruh. Nyi Regita dan Gandewa menahan dirinya agar tak terbawa tarikan aneh yang diduga keluar dari sinar kuning yang memendar-mendar di tubuh Raja Petir. Namun semakin menahan sekuat tenaga, semakin keras daya tarik yang ditimbulkan.
Nyi Regita berpikir keras untuk dapat terlepas dari tarikan aneh yang melanda dirinya.
"Kendurkan otot-ototmu, Gandewa!" ujar Nyi Regita.
Kedua tokoh sesat itu kemudian mengendurkan otot-otot yang semula menegang. Apa yang dilakukan memang seketika dapat dirasakan manfaatnya. Buktinya tarikan aneh itu sedikit demi sedikit mengendur, untuk selanjutnya....
"Hiyaaa. !"
Nyi Regita dan Gandewa melenting ke udara, lalu melakukan putaran dua kali ke belakang.
"Hup!"
"Hup!"
"Kitasudahterlepas,Nyi Regita," ucap Gandewa. Namun belum selesai ucapannya, sosok kuning begitu cepat berkelebat memberikan tendangan menggeledek ke arah Gandewa yang dalam keadaan tidak menguntungkan.
Angin berkesiutan mengiringi tendangan yang dilakukan Raja Petir. Maka melihat serangan itu Nyi Regita dan Gandewa segera melempar tubuhnya ke lain arah. Mereka berjumpalitan di atas rumput halus yang sudah tidak bagus lagi.
"Hup!"
"Hup!"
Tubuh Nyi Regita dan Gandewa melenting rendah, kemudian kembali menjejak tanah dengan manis.
Sementara itu pada pertarungan lain, nampak Gumai Gumarang tengah bertarung atas gempuran yang dilancarkan Ki Angkara. Entah sudah berapa jurus telah dikeluarkan oleh masing-masing.
Kelelahan sudah nampak jelas terlihat pada diri Gumai Gumarang dan pada diri Ki Angkara. Keringat sebesar biji-biji jagung dan napas mereka yang memburu, menandakan kalau masingmasing telah mengeluarkan tenaga berlebihan.
Matahari yang sudah penuh menyinari bumi tak dipedulikan lagi. Juga, para penduduk di sekitarnya yang secara tersembunyi menyaksikan pertarungan hidup dan mati, seperti enggan enyah dari tempat itu. Mereka seakan-akan tak ingin melepaskan begitu saja tontonan menarik itu.
"Hiyaaa!"
Gumai Gumarang kembali mengibasngibaskan pedangnya yang mengeluarkan sinar kebiruan Beberapa bagian peka pada tubuh si Seruling Setan, tak luput dari incaran pedang Gumai Gumarang yang berkelebat cepat
"Uts!"
"Heaaa!"
"Ups!"
Si Seruling Setan meliuk-Iiukkan tubuhnya untuk menghindari tusukantusukan dan tebasan pedang Gumai Gumarang. Gerakan-gerakan Ki Angkara tampak cukup memukau para penduduk yang menyaksikan pertarungan secara tersembunyi.
"Heaaa!" Bettt! Bettt! Trang!
"Akh!"
Tubuh Gumai Gumarang dan Ki Angkara sama-sama terjajar ke belakang beberapa langkah. Masing-masing tangan bergetar hebat. Rasa nyeri yang amat sangat juga mendera setelah sama-sama menebaskan senjata masing-masing berbenturan di udara. Bunga api memercik akibat benturan kedua logam keras itu.
Belum lagi rasa nyeri mereka hilang, sebuah jeritan melengking terdengar seketika.
"Aaakh...!
Berpasang-pasang mata yang tengah bertarung, seketika berbalik menatap ke arah datangnya pekikan keras tadi.
Raja Petir terkesiap melihat keadaan Ki Sobarang yang baru saja terkena tendangan geledek dari Barrot yang berjuluk si Topeng Hitam. Tubuh Ketua Perguruan Cermin Sakti tampak terpental keras.
"Hip!"
Raja Petir segera menggenjot langkahnya. Lesatannya yang begitu cepat, sebentar saja sudah berhasil menahan laju tubuh Ki Sobarang yang terpental keras.
Namun belum lagi Raja Petir sempurna menguasai keadaan, si Topeng Setan sudah melompat cepat sambil mengibaskan pedang berkeluk lima disertai pengerahan tenaga dalam penuh.
Raja Petir terkejut sesaat menyaksikan gerakan cepat yang dilakukan lelaki bertopeng buruk.
"Kurang ajar!" sentak Raja Petir sambil melepas cekalannya pada tubuh Ketua Perguruan Cermin Sakti.
Sekejapan kemudian....
Ctar!
TangankananRajaPetirsecepat kilat mengebutkan sabuk kuningnya. Maka selarik sinar keperakan berkelebatan dari ujung sabuk yang digerakkan pemiliknya, dan terus meluruk cepat, layak seperti petir menyambar. Akibatnya, Barrot yang berjuluk si Topeng Hitam terperangah sesaat. la ingin melempar tubuhnya ke lain tempat, namun gerakan Raja Petir terlampau cepat Sehingga....
Glarrr. !
Selarik sinar keperakan yang meluncur cepat langsung menghantam tubuh Barrot yang tengah berada di udara.
"Aaakh. !"
Lengkingan keras itu bukan saja mengejutkan Nyi Regita dan Gandewa, tetap juga beberapa penduduk yang menyaksikan pertarungan. Mereka ratarata memejamkan mata ketika menyaksikan tubuh yang terpental deras tiba-tiba menghitam hangus.
Namun sosok lain yang juga menyaksikan pertarungan secara tersembunyi, tak sedikit diianda keterkejutan. Air muka perempuan setengah baya itu nampak biasa saja. Malah kalau diperhatikan secara jelas, perempuan setengah baya nampak sedikit menyunggingkan senyum.
"Raja Petir...?" perempuan setengah baya berpakaian merah itu seketika bergumam perlahan.
***
DELAPAN
"Paman Gumai! Bawa keluar Ki Sobarang, cepat! Biar ketiga manusia laknat ini kutangani!"
Suara menggelegar Raja Petir tak dibantah Gumai Gumarang. Buktinya, lelaki berpakaian warna kuning gading yang berjuluk si Pedang Sinar Biru berkelebat cepat Gerakannya yang tak tertangkap mata biasa, seketika sudah membopong tubuh Sobarang.
Lagi-lagi Nyi Regita tak senang melihat lawannya satu persatu mengundurkan diri. Maka segera dikirimkannya jarum-jarum beracun ke arah Gumai Gumarang yang tengah berlari cepat. Namun sayang, apa yang dilakukan Nyi Regita kalah cepat dibanding gerakan. Gumai Gumarang.
Jarum-jarum beracun yang dilepas si Telapak Setan itu ternyata meluncur deras ke arah lain.
"Aaakh...!"
"Aaakh...!"
Jeritan keras seketika terdengar beriringan. Tiga sosok tubuh yang ternyata para penduduk desa itu kontan terjungkal tak bemyawa, dengan seluruh tubuh membiru kaku.
Gigi Jaka bergemeletuk menyaksikan pembantaian tak berperi-kemanusiaan itu. Maka secepat kilat ia melompat, menerjang si Telapak Setan yang barusan telah menghilangkan tiga nyawa penduduk tak berdosa.
"Keparat! Hiyaaa...!"
Nyi Regita memiringkan tubuhnya menghindari terjangan Raja Petir yang dilanda marah luar biasa. Terjangan itu memang mampu dielakkan perempuan yang berjuluk si Telapak Setan.
Namun siapa yang menyangka kalau gerakan yang dilakukan Raja Petir tadi hanya tipuan belaka. Nyi Regita pun tak menyangka kalau serangan kaki Raja Petir yang begitu cepat, tiba-tiba berganti dengan sabetan tangan menyilang yang seketika menghantam bahunya.
Begkh! "Akh!"
Nyi Regita memekik tertahan. Tubuhnya langsung terhuyung tiga langkah ke belakang. Dan belum lagi keseimbangan badannya sempat dibetulkan tubuh Jaka sudah kembali berkelebat.
"Awaaas, Regita!" teriak Ki Angkara khawatir.
Nyi Regita segera membanting tubuhnya ke kanan, seraya bergulingan. Namun Raja Petir tak membiarkan musuhnya lolos begitu saja. Kembali dikejarnya tubuh si Telapak Setan yang tengah bergulungan.
"Hiyaaa...!"
"Hiyaaa...!"
Wukkk...!"
Gandewa memutar senjata berupa sepasang palu bergerigi yang dihubungkan dengan rantai baja. Maksudnya adalah untuk menggagalkan maksud Raja Petir terhadap si Telapak Setan. Akan tetapi, jaraknya dengan Raja Petir agak jauh. Maka tanpa pikir panjang lagi, senjata yang berputar-putar di atas kepalanya dilepaskan.
Sing...!
Suara berdesing mengiringi lesatan palu ke arah Raja Petir yang tengah memburu si Telapak Setan.
Mendengar suara berdesing yang menuju ke arahnya, Raja Petir segera merubah arah gerakannya. Kemudian gerakannya ditahan sebentar seraya bersalto ke belakang dua kali.
"Hip!"
Raja Petir berhasil menghindari palu bergerigi yang terus melesat itu. Dan karena Raja Petir sudah menghindari, maka kini justru sasaran palu bergerigi adalah Nyi Regita yang sebelumnya tengah dikejar Raja Petir. Maka tanpa dapat dicegah lagi,...
Crottt! "Aaakh...!"
Nyi Regita memekik keras ketika sepasang palu bergerigi yang dilepas Gandewa justru menghantam dada dan kepalanya. Tubuh wanita tua itu langsung roboh. Sebentar Nyi Regita menggeliat kesakitan, namun sekejap kemudian telah terbujur kaku tanpa nyawa. Darah tampak mengucur deras dari kepala dan dadanya, sehinga menggenang sekitamya.
Mata Gandewa terbeliak menyaksikan akibat yang telah dilakukannya. Maksud hatinya yang hendak menyelamatkan nyawa Nyi Regita, justru malah menjadi sebaliknya.
Kenyataan yang dialami Gandewa, sama juga dialami Ki Angkara. Lelaki yang berjuluk Seruling Setan itu geram bukan main. Darahnya mendidih, dan nafsunya untuk membunuh si Raja Petir bergelora tak terkendali. Dan dengan tatapan mata membara, Ki Angkara memainkan Seruling Setannya.
Suara aneh seketika terdengar dari seruling wama perak yang ditiup Ki Angkara. Suara yang semula terdengar keras, kini malah melengking nyaring.
Triuuuttt...!
Bunyi aneh yang keluar melalui tiupan Seruling Setan semakin melengking nyaring. Beberapa penduduk yang tengah menyaksikan pertandingan secara tersembunyi, seketika terjungkal. Darah segar nampak keluar dari kuping dan hidung mereka.
Di tempat lain, Gandewa dan Raja Petirmencobamelawanpengaruhsuara aneh itu. Namun sekejap kemudian....
Glegarrr. !
Suara aneh yang keluar dari seruling yang ditiup Ki Angkara lenyap seketika, setting melesatnya sinar keperakan yang dilecutkan Raja Petir ke atas.
"Keparat!" maki si Seruling Setan murka.
Dengan kemarahan yang sudah mencapai ubun-ubun, si Seruling Setan merangsek maju. Gerakannya yang begitu cepat nampak dilakukan tidak setengahsetengah, tertuju ke arah Raja Petir.
"Hiyaaa. !"
"Uts!"
Raja Petir memiringkan sedikit badannya, ke kanan menghindari hantaman seruling perak Ki Angkara yang mencecar dada. Dan tanpa diduga sama sekali, Raja Petir membuat serangan melingkar dengan kaki kiri. Namun, Ki Angkara cukup waspada. Dengan cepat, tubuhnya yang habis melancarkan serangan dirundukkan. Maka serangan kaki kiri Raja Petir luput dari sasaran. Tapi sebenarnya, tendangan tadi hanya sebagai pancingan saja bagi Raja Petir. Dan ketika tubuh si Seruling Setan merunduk, dengan cepat kaki kanan Raja Petir melepaskan tendangan rendah dua kali ke arah kepala dan langsung memegang seruling
Dug! "Akh!"
TubuhKiAngkaraterjajarke belakangtigalangkah,sementara serulingperaknyamelayangdiudara. Maka dengan kecepatan yang luar biasa, RajaPetirmelesatdanlangsung menangkap senjata lawan. Ringan sekali kaki Raja Petir saat mendarat kembali. "Hm....Tanpasenjatamu,kau mungkin bukan apa-apa, Angkara!" kata RajaPetirsambilmengacung-acungkan senjatayangberupaserulingwarna
perak.
Ki Angkara hanya bisa menatap geram pada Raja Petir yang telah menguasai senjata andalannya.
"Angkara! Senjatamu yang tak berguna ini akan terpisah darimu untuk selamanya!" menggelegar ucapan Raja Petir. Dan sebentar kemudian....
Trak! Trak!
Seruling warna perak yang kini di tangan Raja Petir seketika terbelah menjadi tiga bagian. Melihat hal ini Ki Angkara terkejut bukan main.
Gigi-giginyaseketika bergemeretakan. Mukanya pun berubah merah padam. Dia tidak mempeduKkan lagi dengan keadaan dirinya. Rasa pusing yang begitu menyiksa tak dipedulikannya. Dan kini, tubuhnya berkelebat cepat
"Kurang ajar! Hiyaaa. !" Raja Petir nampak tenang saja melihat kenekatan si Sending Setan. Serangannya yang dilakukan secara sembarangan, membuatnya tak sadar kalau pertahanannya kosong.
"Heaaa...!"
Raja Petir memiringkan tubuhnya ke kanan. Serangan yang dilancarkan si Seruling Setan tentu saja membentur tempat kosong. Dan pertahanan Seruling Setan yang kosong melompong itu, tentu saja segera dimanfaatkan si Raja Petir.
Degkh!"
"Aaakh!'
Si Seruling Setan kembali terjajar tiga langkah ke belakang. Dari sela-sela bibirnya yang nampak merem-bes cairan warna merah.
"Hoeeekh!"
Ki Angkara merasa kepalanya berputar-putar hebat Namun begitu, dia masih berusaha bangkit Dan belum lagi mantap berdirinya, Raja Petir seketika berkelebat cepat. Namun bersamaan dengan itu, Gandewa si Ludah Setan segera memuntahkan ludah mautnya.
Cuh! Cuh!
Raja Petir merubah arah lesatannya. Tubuhnya langsung ke kanan, lalu bergulingan di atas rumput halus.
"Cuh! Cuh...!"
Gandewa terus mencecar Raja Petir dengan ludah mautnya. Namun setiap kali si Ludah Setan memuntahkan ludahnya yang berwarna merah, ternyata serangannya hanya membentur tempat kosong. Karena Raja Petir dapat menghindari dengan lompatan kecil, maupun lemparan tubuhnya.
Malahan gerakan si Raja Petir yang tak diduganya sama sekali, membuat serangan gencar yang semula dilakuannya malah jadi terbalik. Karena Raja Petir dengan serangan pukulan jarak jauhnya, membuat si Ludah Setan hanya harus berjumpalitan menghindari pukulan dahsyatnya.
Dan pada saat Gandewa sibuk menghindari terjangan pukulan jarak jauh, dengan kecepatan luar biasa Raja Petir berkelebat menerjang. Tapi kini, yang jadi sasarannya adalah Ki Angkara yang baru tegak berdiri.
"Mampus kau, Setan!"
"Heaaa!"
"Uts!"
Di luar dugaan Raja Petir, Ki Angkara mampu menghindari serangannya. Tubuhnya nampak bergulingan di tanah berumput halus.
Melihat Ki Angkara dalam keadaan bergulingan seperti itu, Raja Petir segera mencabut bambu kuning yang tanpa lubang di tengahnya. Secepat bambu kuning itu tercabut dari pergelangan tangannya, secepat itu pula si Raja Petir menempelkan bambu kuning itu ke bibimya dan menghembuskannya kuat-kuat.
Wusss...!
Sinar kuning seketika meluruk cepat ke arah Ki Angkara yang bergulingan.
Slap! "Aaakh...!"
Ki Angkara memekik berbarengan begitu sinar kuning yang melesak menerjang tubuhnya. Beberapa saat Ki Angkara mampu bangkit lagi, seperti tidak merasakan akibat dari sinar kuning yang menerpanya berusan.
Akan tetapi, sebentar kemudian....
Ki Angkara limbung tak tentu arah. Tubuhnya dilempar ke kanan dan ke kiri. Kemudian, dia bangkit berdiri, lalu jatuh lagi. Ki Angkara merasakan kulitnya seperti terpanggang bara api, dan seperti ingin mengelupas dengan sendirinya.
Gandewa merasa ciut nyalinya menyaksikan apa yang tengah dialami Ki Angkara yang berjuluk si Seruling Setan. Dia merasakan dirinya akan mengalami nasib yang sama.
Belum lengkap kegirisan di hati Gandewa, tiba-tiba tiga benda berwarna perak meluruk dengan kecepatan tinggi ke arah Ki Angkara.
Sing! Sing. ! Crab! Crab...! "Aaakh!"
Ki Angkara kontan berteriak nyaring. Tiga buah benda yang menancap di tubuh dan kepala, akhirnya memisahkan nyawa dari raganya. Tiga buah benda yang justru merupakan patahan senjata andalannya sendiri!
Raja Petir yang menyaksikan tubuh lawannya sudah mengejang kaku, segera menatap ke arah Gandewa.
"Heh Gundul biadab! Kau juga akan merasakan hal yang lebih mengerikan daripada temanmu yang sesama setan itu!" ancam Raja Petir, lantang.
Gandewa seketika mersakan wajahnya memanas.
"Lakukanlah kalau kau mampu, Raja Petir!" balas Gandewa tidak kalah sengit. "Aku akan meladenimu sampai nyawaku terpisah dari raga!"
Mendengar kesombongan Gandewa, Jaka tak mau membuang-buang waktu lagi. Tubuhnya segera melesat cepat menyambar Gandewa yang memang sudah bersiap-siap.
"Hiaaa...!" Plak! Plak! "Aaakh!"
Gandewa terhuyung ke belakang ketika tangannya mencoba menangkis sodokan keras yang dilancarkan Raja Petir. Bahkan tangannya terasa seperti tersengat ribuan lebah berbisa. Rupanya, Jaka betul-betul berniat menghabisi Gandewa. Dengan kecepatan luar biasa, Raja Petir melesat melepaskan tendangan keras ke arah dada Gandewa diserti pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hiaaa...!" Dagkh! "Aaa...!"
Tubuh Gandewa terpental sejauh dua batang tombak. Dari sela bibirnya tampak merembes cairan merah. Dan itu menandakan kalau si Ludah Setan mengalami luka dalam yang cukup parah. Namun, Gandewa adalah seorang lelaki yang kuat hati. Maka dengan keadaan tubuh yang terluka seperti itu, dia tetap berusaha bangkit.
"Gandewa!" bentak Raja Petir murka. "Kali ini, tidak lagi tanganmu yang berpisah dengan badan. Sabuk petirku ini lebih memilih kepala agar terpisah dari badanmu!"
Jaka si Raja Petir segera memajukan sabuk yang tercekal di tangan kanan. Dan sebentar kemudian pergelangan tangannya telah diputarputar.
"Hiyaaa...!"
Tahaaan...!"
***
Sosok tubuh berpakaian merah seketika melompat kearena pertarungan. Dari gerakannya yang cepat dan ringan, menandakan kalau sosok yang ternyata seorang perempuan setengah baya itu memiliki ilmu olah kanuragan yang patut diperhitungkan.
"Purwakanti...?" Gandewa menggumam lemah, menyaksikan kehadiran sosok yang memang begitu dikenalinya.
Namun, tidak bagi si Raja Petir. Tatapan matanya yang tajam, menghunjam ke bola mata perempuan setengah baya berpakaian merah itu.
"Maaf. Aku tidak bermaksud mencampuri urusanmu, Raja Petir," ucap perempuan setengah baya itu lembut.
Jaka yang sejak tadi dikuasai amarah menggelora, seketika itu tak mampu berkata-kata. Ucapan perempuan berpakaian merah barusan seakan-akan mampu meredakan amarahnya. Ucapan itu sedemikian lembutnya, hingga terasa bagai hembusan angin menyejukkan.
"Jangan halangi dia untuk membunuhku, Purwakanti," ujar si Ludah Setan di sela sesak napasnya.
Purwakanti menatap si Ludah Setan yang tengah terkulai, menahan rasa nyeri yang teramat sangat Sementara Jaka si Raja Petir pun melakukan hal yang sama.
"Aku tidak menginginkan kematianmu, Kakang Gandewa. Aku menginginkan agar kau kembali kejalan yang benar dan meninggalkan segala bentuk kesesatan," tukas perempuan berpakaian merah yang dipanggil Purwakanti.
Jaka sedikit heran mendengar percakapan Gandewa dengan perempuan yang barusan menahan maksudnya.
"Purwakanti...?" gumam Jaka dalam hati. "Apakah perempuan setengah baya ini ibu kandungku? Ahhh."
"Maaf. Apakah nama aslimu betul Jaka, Raja Petir?"
Jaka terharu mendengar pertanyaan yangseakan-akanmenelusupmasukke kalbunya. Ada perasaan tenteram kerika perempuansetengahbayayangtadi dipanggil Purwakanti menyebut namanya.
Si Raja Petir menganggukkan kepala perlahan.
Perempuansetengahbayaberpakaian merah mengembangkan senyumnya. "Duapuluhtahunsilam,aku pernah melahirkan seorang anak lelaki yang sehat Anak itu kuberi nama Jaka Sembada,sepertinamamuRajaPetir,"
Purwakanti.
Si Raja Petir menatap wajah perempuan setengah baya di hadapannya. Dia seakan-akan meminta perempuan itu untuk melanjutkan ceritanya.
"Anak yang pernah kulahirkan dua puluh tahun silam itu mempunya tanda berupa dua titik hitam sebesar kacang hijau. Dan tanda itu terdapat di telapak tangan kanan," lanjut Purwakanti.
Jaka segera membalik telapak tangan kanannya. Tampak dua titik hitam memang berada di tangan kanannya. Akan tetapi....
"Apakah ada tanda-tanda yang lainnya. Nisanak?" tanya Raja Petir.
Perempuan setengah baya berpakaian merah menggelengkan kepalanya. "Tidak ada, Raja Petir. Aku hanya menyimpan sapu tangan ini yang kubuat sepuluh hari setelah kelahiran anakku"
Terhenyak Jaka ketika melihat sebuah saputangan warna merah bersulam benang warna keemasan. Sehelai sapu tangan yang tertulis namanya, yang juga dimilikinya.
Memang, sapu tangan itu terbawa dipakaian Jaka saat dia masih bayi. Kemudian, Eyang Legar menyimpannya dengan harapan kalau-kalau sapu tangan itu bermanfaat bagi Jaka. Makanya, ketika Jaka telah cukup dewasa, sapu tangan itu diserahkan kembali Dan nyatanya kini benar-benar ada gunanya!
"Ibuuu. !"
Jaka seketika menghambur dan langsung berlutut di hadapan perempuan berpakaian merah yang memang ibu kandungnya. Seketika Jaka merasa dirinya menjadi cengeng! Pemuda itu seperti haus kasih sayang. Makanya dia tak segan-segan lagi untuk menangis.
"Bangkitlah anakku," pinta Purwakanti penuh kearifan.
"Raja Petir! Kenapa kau jadi pengecut seperti itu? Bunuhlah aku, cepat! Aku rela mati ditangan orang yang mempunyai kesaktian lebih tinggi dariku. Bunuh aku, Raja Petir!" ucap Gandewa yang menggelegar mengejutkan Jaka. Pemuda itu bergegas berdiri.
"Jangan turuti permintaannya, Anakku," bisik Purwakanti.
Raja Petir yang matanya masih basah menatap Gandewa lekat-lekat.
"Tunggu apa lagi, Raja Petir? Bukankah sudah lama kau ingin melenyapkanku?"
"Gandewa! Putraku tidak menginginkan kematianmu sekarang. Seperti aku, dia sekarang menginginkan agar kau sadar dan meninggalkan semua kebiasaan burukmu," Purwakanti yang menyahuti dilepaskannya cekalan tangannya pada bahu Raja Petir. Purwakanti bermaksud menghampiri Gandewa, tetapi....
Gandewa bergerak cepat meraih sebatang pedang berkeluk lima milik Barrot yang tergeletak tak jauh darinya.
Purwakanti tentu saja terkejut melihat tindakan Gandewa. Maka secepatnya Purwakanti melompat mundur. Namun....
Tubuh Jaka ternyata lebih dulu melesat cepat, menghadang gerakan Gandewa. Dengan tangan mencekal sabuk kuning keemasan, Raja Petir memutar-mutar pergelangan tangannya dengan kecepatan luar biasa.
Glarrr...!
Seberkas sinar keperakan melesat cepat dari ujung sabuk yang dilepaskan Jaka. Sinar keperakan yang bagai petir itu melesat, langsung menerjang tubuh Gandewa. Maka seketika itu juga tokoh sesat itu rebah ke tanah dengan tubuh bagai hangus terbakar. Nyawa si Ludah Setan kini telah pergi meninggalkan jasadnya.
Dengan mata merembang, Purwakanti menatap jasad Gandewa yang begitu mengerikan.
"Ahhh.... Kasihan Soraya," desah Purwakanti, parau.
"Siapa Soraya, Ibu...?" Purwakanti menatap Jaka penuh haru.
"Adikmu, Jaka. Anak kandungku bersama Gandewa."
"Hhh...," desah Jaka.
***
Matahari bersinar tepat di atas kepala kerika jasad Gandewa selesai dikuburkan. Jaka segera mengambil tangan ibunya. Kedua anak beranak itu pun pergi meninggalkan segundukan tanah merah yang masih baru, diiringi hembusan angin panas.
Bagaimana petualangan Raja Petir selanjutnya? Dan bagaimana mengenai Soraya yang adik tiri Jaka itu? Lalu, bagaimana pula dengan petualangan Seruni, gadis cantik yang diam-diam menaruh hati pada Raja Petir?
Silakan ikuti serial Raja Petir pada episode-episode berikutnya.
SELESAI