Jilid 02
"Coba kau terka dulu dia adalah teman baikku, takaran araknya hampir sama dengan aku, demikian pula takaran nasinya setanding, suatu ketika, malah pernah dia menggambar lukisan untuk kau!"
"Ah, mungkinkah Lamkiong Ling?" "Benar dia!"
"Kalau dia terpilih menjadi Kaypang Pangcu, maka suasana dan kehidupan kaum persilatan tentu berubah, tidak melulu memupuk kebijaksanaan dan kesetiaan, tidak pula mengutamakan perbedaan tua muda, kini sudah mulai mementingkan pambek dan kecerdikan dan watak, sungguh suatu hal yang harus dibuat girang."
Li Ang-siu tiba-tiba menyeletuk: "Sudah tentu Lamkiong Ling tidak akan punya sangkut paut dengan peristiwa ini, maka. "
"Maka aku sudah kehabisan akal" tukas Coh Liu-hiang tertawa getir.
"Lebih baik lagi kalau kau kehabisan akal" ujar So Yang-yang. "Aku sendiripun tidak ingin merepotkan diri"
Coh Liu-hiang melotot ke arah layar terbentang itu, katanya: "Coba kalian pikir, adakah persamaan di antara kelima orang ini, umpamanya "
"Umpamanya mereka semua adalah manusuia. " tukas Li Ang-siu.
Coh Liu-hiang tertawa getir pula, ujarnya: "Kecuali persamaan ini memangnya tidak ada persamaan yang lain?" Coba kau pikir sedikit cermat.
So Yang-yang bangkit sembari berseri tawa: "Kalian ingin berpikir, marilah dipikir di ruang bawah saja, aku hendak menyeduh air teh kental, semalam suntuk kalian berpikirpun tak menjadi soal. Tapi siapapun kularang duduk di sini makan angin"
Kamar-kamar di bagian ruang bawah dibangun serba mewah dan serasi, tiada sejengkalpun tempat kosong yang percuma, tiada sesuatu benda yang menyolok pandangan, segalanya serba cocok serasi dan semarak, barang-barang di sini serba antik. Tepat di bawah tangga adalah sebuah kamar tidur yang dipajang serba mewah dan sedap dipandang, pelan-pelan sinar lampu menyoroti segala pelosok kamar, kamar bawah yang semula gelap lambat laun menjadi terang. Coh Liu-hiang yang berjalan paling depan mendadak menghentikan langkahnya, seolah-olah kakinya mendadak terpaku di atas lantai tak bergeming lagi. Di dalam ruang bawah ini ternyata sudah ada seseorang, seorang perempuan.
Tampak orang membelakangi pintu, duduk di atas kursi yang biasa senang diduduki Coh Liu- hiang dilihat bayangan orang dari arah belakang tampak sanggul kepalanya serta sebuah tangan, tangan yang putih halus dan indah sekali.
Tatkala itu tangannya memegangi sebuah cangkir, isi cangkir adalah arak yang biasanya suka diminum Coh Liu-hiang. Agaknya sedikitpun orang itu tidak merasa sungkan.
Coh Liu-hiang, So Yang-yang, Li Ang-siu dan Song Thiam-ji berempat sama berdiri melongo di atas lantai papan, mulut terbuka, suara tertelan dalam tenggorokan. Kapan perempuan ini masuk, sedikitpun mereka tidak tahu. Mungkin dia masuk di saat Coh Liu-hiang terjun ke laut tadi, namun gerak-geriknya dapat mengelabui So Yang-yang, Li Ang-siu dan Song Thiam-ji mungkin tidak rendah kepandaiannya!
Terdengar suara nan merdu dingin berkata pelan-pelan: "Apakah maling kampiun Coh Liu- hiang yang masuk?"
"Benar, apakah cayhe salah memasuki rumah orang?" sahut Coh Liu-hiang. "Kau tidak salah jalan, memang ini tempatmu." kata perempuan itu dingin. "Kalau toh ini tempatku sendiri, kenapa nona duduk di tempatku itu?" "Karena aku senang duduk di sini"
"Tepat benar alasanmu, sungguh tepat"
"Selain itu kudengar Coh Liu-hiang selamanya tidak pernah menampik kehadiran perempuan", tiba-tiba ia menggeser kursi dan berputar balik menghadap ke arah Coh Liu-hiang, sinar lilin tepat menyinari wajahnya.
Kalau dalam dunia ini ada wajah perempuan yang bisa membuat laki-laki menghentikan napasnya, itulah wajah perempuan ini, demikian pula bila kerlingan perempuan dalam dunia ini mendebarkan jantung laki-laki, tak lain kerlingan perempuan ini juga, kini kedua biji mata yang pandai mengerling itu sedang menatap muka Coh Liu-hiang, katanya aleman:
"Sekarang sudah cukup belum alasanku itu?"
"Ya, alasan itu mendadak berubah menjadi cukup dan jadi baik" ujar Coh Liu-hiang tersendat. Sorot matanya pelan berkisar dari raut wajah nan cantik itu menurun ke bawah. Kini ia mendapati orang mengenakan jubah panjang dari sari putih, dilihatnya pula orang itu mengenakan tali sabuk warna perak.
"Sekarang," ujar perempuan itu pula dengan kalem. "Mungkin kau sudah tahu aku datang dari mana?"
"Lebih baik kalau aku tidak tahu." "Kenapa?" "Dalam dunia ini, anak perempuan yang tidak sudi kukenal, itulah anak murid Sin-cui-kiong"
Mendadak perempuan itu berdiri, memutar badan mengangkat poci perak dari atas rak serta menuang secangkir penuh. Coh Liu-hiang menghela napas dengan rasa rawan, tanyanya: "Ingin aku tahu maksud kedatanganmu kecuali minum arak, adakah urusan lainnya?" sembari bicara ia maju mendekat serta menarik kursi itu dan lekas-lekas mendudukinya.
Perempuan itu berpaling, katanya sepatah demi sepatah sambil menatap mukanya: "Angkuh, tidak sopan, dingin kaku, tapi ada pula satu dua titik terang yang membuat setiap nona cilik kepincut padamu... ternyata memang tidak berbeda keadaanmu dengan kabar yang kudengar."
"Terima kasih. entah ada tidak khabar di Kang-ouw itu membicarakan kepribadianku yang
lain?"
"Tentang apa?"
"Kalau ada perempuan asing menyelundup masuk ke kamarku, duduk di atas kursiku, minum arakku lagi, sering kulempar dia ke dalam laut. Terutama bila perempuan itu anggap dirinya amat cantik, sebenarnya sedikitpun dia tidak cantik." dengan nyaman ia menggeliat menjulurkan kaki, tangan seolah-olah sudah siap menikmati sikap galak perempuan ini yang marah-marah.
Memang seketika memutih selebar muka perempuan itu saking marahnya, tangan yang pegang cangkirpun gemetar. Lekas Li Ang Siu memburu maju dan merebut cangkir emas di tangannya itu, katanya tertawa manis: "Kalau nona hendak membanting cangkir, biar kuganti dulu dengan cangkir besi."
Rona wajah perempuan ini berubah pula dari putih menghijau lalu merah padam, tiba-tiba malah ia unjuk senyum lebar bak bunga mekar, katanya: "Bagus sekali, kalian memang amat lucu dan menyenangkan, tapi suasana berkelakar sudah berlalu."
"Oh, jadi sekarang kau sudah siap untuk menangis?" olok Coh Liu-hiang pula.
"Kalau tidak kau kembalikan barang itu, mungkin hendak menangispun kau tidak bisa." "Kembalikan? Memangnya pernah aku meminjam sesuatu kepadamu?"
"Sudah tentu kau tidak pinjam, siapa yang tidak tahu di kolong langit ini, Coh Liu-hiang selamanya tidak pernah pinjam sesuatu barang dari orang lain", ejeknya dingin. "Kau mencurinya!"
"Mencuri?" seru Coh Liu-hiang mengerut kening. "Barang apamu yang kucuri?" "Thian-it-sin-cui", sahut perempuan itu lantang.
Mendadak melotot besar biji mata Coh Liu-hiang, teriaknya: "Apa katamu?" Kembali perempuan itu berseru pelan-pelan, "Thian-it-sin-cui!" "Maksudmu, Thian-it-sin-cui dalam istana kalian dicuri orang?"
"Dari tempat ribuan li jauhnya kesusul kemari, memangnya aku harus menipu dan main-main dengan kau?" Seketika terpancar rasa senang dari sorot mata Coh Liu-hiang, gumamnya: "Bagus, bagus, sekali segala perubahan ini menjadi menarik sekali, entah berapa banyak Thian-it sin-cui kalian yang tercuri orang?"
"Tidak banyak, hanya beberapa tetes saja, tapi cukup membuat tiga puluhan tokoh-tokoh kosen Bulim mampus secara konyol tanpa diketahui sebab musababnya. Kalau cara yang digunakan tepat seluruhnya bisa tiga puluh tujuh"
So Yang-yang menghembuskan napas, katanya: "Jadi kau beranggapan kehilanganmu itu adalah dia yang curi?"
"Kecuali maling kampiun Coh Liu-hiang, siapa pula yang mampu mengusik sebatang rumput atau seonggok kayu di Sin-cui-kiong?"
"Terima kasih akan pujianmu, kalau begitu kalau kukatakan aku tidak pernah melakukan hal itu pasti kau tidak akan mau percaya"
"Bisakah kau membuat aku percaya?"
"Mungkin. mungkin bisa" mendadak ia mencelat bangun terus menarik tangannya, katanya:
"Paling tidak kau harus kubawa melihat sesuatu, aku berani tanggung beberapa benda itu cukup menarik perhatianmu. menarik sekali"
Perempuan yang dingin dan angkuh ini, entah kenapa dia mandah saja tangannya digenggam dan ditarik.
Kata So Yang menghela napas: "Kalau dia ingin menarik tangan anak perempuan, mungkin tiada orang yang menolaknya"
Song Thiam-ji berkedip-kedip, ujarnya: "Kalau anak murid Sin-cui-kiong semua terdiri dari kaum pria tentuknya lebih baik!"
"Perempuanpun tidak menjadi soal" sela Li Ang-siu, "Tapi lebih baik kalau dia rada jelek."
"Ya, lebih baik pula kalau muka mereka rata-rata seperti sundel bolong" kelakar Song Thiam-ji.
Waktu kain layar itu tersingkap, mayat-mayat itu di bawah sorotan bintang-bintang di langit kelihatan seram dan mengerikan.
"Kau periksa dia lebih dulu, tentunya kau kenal siapa dia?" kata Coh Liu-hiang.
Dengan nanar gadis itu mengawasi pundak kiri yang terbelah itu, sekian lama ia menjublek seperti patung kayu, sedikitpun tidak menunjukkan perubahan mimik wajahnya, katanya dingin: "Dia bukan murid Sin-cui-kiong".
Kembali Coh Liu-hiang terkejut, teriaknya pula: "Bukan?" "Selama hidupku belum pernah kulihat perempuan ini."
Coh Liu-hiang mengelus-elus hidung, seakan-akan barusan kena ditempeleng orang, katanya getir: "Semula kukira orang-orang dalam Sin-cui-kiong kalian sendiri yang mencurinya, prasangkaku adalah dia ini, tapi sekarang. " "Sekarang kau masih merasa lucu dan ketarik."
"Kalau perempuan ini bukan murid Sin-cui-kiong, kenapa dia berdandan seperti itu? Tentunya bukan maksud tujuannya sendiri, dan si dia itulah yang menyuruhnya menyamar untuk memancing terkaan orang ke arah yang salah."
"Terkaan salah apa?" tanya gadis itu.
"Dia ingin supaya orang menyangka Ca Bok-hap terbunuh oleh perempuan ini, kalau kenyataan dia sendiripun terbunuh oleh Ca Bok-hap segala persoalan tamat sampai di sini, jelas dia tidak ingin orang lain menyelidiki persoalan ini lebih lanjut, cuma perempuan yang harus dikasihani ini menjadi kambing hitamnya."
"Kau bicara begitu jelas, tentunya sudah tahu siapa si dia yang kau maksud?" Coh Liu-hiang menghela napas, ujarnya: "Semoga aku bisa mengetahuinya"
Terkulum senyuman sinis dan jahat di ujung mulut si gadis, namun Coh Liu-hiang tidak memberi kesempatan orang bicara, kembali ia menarik tangannya, matanya menatapnya pula, katanya: "Nona Leng (dingin), kalau kau ingin memecahkan jawaban teka-teki ini, maka kau harus percaya kepadaku!", kedengarannya suaranya lemah lembut kasih sayang dan jujur pula, sebaliknya sorot matanya jauh lebih kuat daya tariknya dari nada suaranya yang dapat menundukkan kekerasan hati orang lain.
Akhirnya tersenyum lebar gadis itu, ujarnya: "Aku bukan she Leng" "Lalu aku harus panggil kau siapa?" bersinar sorot mata Coh Liu-hiang.
Tiba-tiba gadis itu menarik muka pula, katanya dingin: "Kau boleh panggil aku nona Leng saja!"
"Pertama, yang harus kuselidiki lebih dulu Thian-it-sin-cui itu tidak akan mendatangkan kekayaan, juga tidak bisa menambah kepandaian ilmu silat berlipat ganda, memangnya kenapa mencurinya?"
"Kukira pertanyaannya ini harus ditujukan kepadamu lebih dulu"
"Hanya satu kegunaan Thian-it-sin-cui, yaitu untuk mencelakai jiwa orang, malah membunuh tanpa dirasakan dan diketahui lebih dulu oleh si korban, dia mengeluarkan banyak tenaga memeras daya pikiran dan akal untuk mencuri Thian-it-sin-cui, terang hanya satu tujuan."
"Satu tujuanpun sudah cukuplah."
"Nah, dapat kita pastikan bahwa seseorang yang hendak dicelakai jiwanya oleh si dia, pastilah seseorang yang tidak gampang dibunuh menggunakan sembarangan obat beracun, lain pula seseorang yang tidak mungkin dia bunuh mengandalkan kepandaian atau kekuatannya sendiri"
Gadis itu segera manggut-manggut, katanya: "Benar, kalau tidak buat apa si dia menyerempet bahaya untuk mencuri Thian-it-sin-cui?"
"Tapi kalau benar dia berhasil mencuri Sin-cui dari Sin-cui-kiong, masih berapa orang yang tidak mampu dia bunuh? Untuk bisa berhasil mencuri air sakti itu dari Sin-cui-kiong tentunya memerlukan kepandaian setingkat seperti kau". Coh Liu-hiang tersenyum, katanya lebih lanjut: "Dari sini dapatlah kita simpulkan dia mencuri air sakti itu, tentu ada orang yang membantunya secara diam-diam" "Siapa orang yang kau maksudkan?" jengek si gadis dingin.
Coh Liu-hiang menatapnya bulat-bulat: "Setelah air sakti itu hilang, adakah orang hilang dari istana kalian?"
"Jadi kau maksudkan bahwa murid istana kami sendiri yang bantu dia mencuri air sakti itu, maka setelah air itu tercuri, maka dia sendiripun harus menyelamatkan diri begitu?"
"Memangnya tidak mungkin terjadi?"
"Sudah tentu mungkin, sayang sekali selama puluhan tahun tidak pernah seorang murid istana kami yang hilang atau melarikan diri!"
Bertaut alis Coh Liu-hiang, sejenak berpikir, lalu katanya pula: "Sejak kehilangan air sakti itu, masakah istana kalian tiada terjadi sesuatu? Umpamanya ada orang bunuh diri. "
Seketika berubah sikap si gadis, serunya: "Darimana kau bisa tahu?"
Bersinar mata Coh Liu-hiang, katanya keras: "Jadi ada orang bunuh diri, betul tidak? Kenapa dia harus bunuh diri?"
"Persoalan istana kita memangnya setimpal kau sembarang tanya?" sentak gadis itu beringas.
Coh Liu-hiang menggenggam tangannya, katanya pelan-pelan: "Nona Leng, kau harus sejujurnya menceritakan peristiwa itu kepadaku, karena peristiwa itulah kunci dari persoalan ini, kau. kau harus percaya padaku"
Gadis itu menarik tangan serta pelan-pelan berpaling muka, lama sekali ia menepekur diam, akhirnya dengan lambat-lambat ia berkata: "Dia seorang anak gadis yang mungil dan cantik jelita, rupawan dan romantis lagi, usianyapun paling muda, dia. dia sudah meninggal, tidak bisa
kusinggung soal dirinya lagi. "
Berkilat biji mata Coh Liu-hiang, katanya: "Apakah dia sudah hamil, merasa malu dilihat orang?"
Gadis itu tidak menjawab, tapi sebelah tangannya semampai menggenggam kencang bajunya, terang hatinya bergolak diliputi haru dan pedih serta penasaran.
"Jelas sudah kalau begitu," kata Coh Liu-hiang lantang. "Tentu si dia itu sudah melanggar kesuciannya lebih dulu, di bawah ancaman dan bujuk rayunya, dia berhasil mencuri 'air sakti' itu, tapi si 'dia' tidak menepati janjinya membawanya pergi untuk dijadikan istrinya, maka terpaksa dia menempuh jalan pendek!"
"Tutup mulutmu!" sentak gadis itu dengan badan gemetar.
"Sejak dulu kala, gadis yang romantis sering mengalami nasib yang mengenaskan, daripada kau bersedih, lebih baik kau berusaha menemukan si 'dia', menuntut balas bagi si korban."
Sigap sekali gadis itu membalik tubuh, katanya bergetar: "Cara bagaimana untuk mencari si 'dia' itu?"
"Sebelum dia ajal, apakah dia berpesan apa-apa?" Berlinang air mata si gadis, katanya haru: "Dia cuma berkata... dia berdoa terhadap bayi dalam kandungannya."
"Dalam keadaan demikian, kenapa dia tidak sudi menyebut si 'dia' itu, seolah-olah dia kuatir orang lain bakal mencelakai jiwanya...ai! Kekuatan iblis apakah yang dia miliki, gadis yang baru mekar itu sampai kepincut mati-matian kepadanya?"
"Selamanya memang dia tidak pernah menyinggung si 'dia'. Hakekatnya tak pernah mulutnya menyebut seseorang lelaki, sungguh mimpipun kami tidak pernah menduga peristiwa semacam itu bisa terjadi."
"Biasanya, adakah dia punya teman lelaki?"
"Hampir boleh dikatakan selamanya dia tidak pernah bicara dengan lelaki siapapun!"
Aneh, kenapa hari ini, bisa terjadi peristiwa-peristiwa aneh. empat orang yang satu sama lain
tidak saling kenal meninggal dalam waktu yang bersamaan pada satu tempat pula! 'Air' sakti dari Sin-cui-kiong secara misterius tercuri orang! Seorang gadis suci pingitan yang selama hidupnya tidak pernah bicara dengan lelaki tiba-tiba diketahui hamil, selintas pandang ketiga peristiwa aneh ini satu sama lain tiada hubungan apa-apa, namun justru saling gandeng geret Coh Liu-hiang
angkat kepala, gumamnya: "Siapa yang bisa memberi penjelasan menghadapi persoalan aneh seperti ini?"
"Kau sendiri!" seru gadis itu.
Cohg Liu-hiang tertawa getir, ujarnya: "Aku"
Gadis itu memandang tajam, katanya begis: "Demi kau sendiri, kau harus membongkar rahasia teka-teki ini."
"Tapi dari mana aku harus menyelidiki? Boleh dikata aku tidak punya sumber penyelidikan sama sekali."
"sumbernya pasti ada, dan kau sendiri pula yang harus menemukannya." kata si gadis, kembali ia membalik badan membelakangi Coh Liu-hiang, katanya tandas: "Kuberi tempo satu bulan, jika kau tidak berhasil menemukan Sin-cui-kiong akan meluruk mencarimu"
"Kenapa kau membalik badan? memangnya bila kau berhadapan dengan aku tidak mampu mengeluarkan kata-kata yang tidak aturan ini?"
Gadis itu tidak hiraukan kata-katanya, dengan gemulai ia beranjak menuju buritan kapal. Di belakang kapal, di tempat yang gelap tampak sebuah sampan kecil yang dapat bergerak gesit dan laju. Dengan enteng ia melayang turun, sekejap lalu sampan itu sudah meluncur pergi ditelan kegelapan malam.
Coh Liu-hiang bertopang dagu di dek kapal, dengan berdiam diri ia mengawasi bayangan orang pergi. Sinar bintang redup, sampan kecil itu terombang-ambing digoyang-gontai alunan ombak, sari panjang di atas badannya tertiup angin melambai-lambai seolah-olah dewi kahyangan sedang menari-nari di tengah lautan. Tiba-tiba saja dia berpaling muka sambil unjuk seri tawa manis, serunya: "Aku bernama Kiong Lam-yan!"
Coh Liu-hiang menjulurkan kedua kakinya dengan nyaman, ia rebah di atas kursi malasnya, matanya menatap pusaran arak yang berada di dalam cangkirnya, katanya menggumam: "Memang dia amat cantik, terutama senyum tawanya lebih cemerlang dari sinar bintang yang kelap-kelip di angkasa dan akhirnya menghilang ditelan kegelapan" "Sebulan kemudian, kemungkinan kau tidak akan merasa dia cantik, terutama bila ujung pedangnya mengancam tenggorokanmu..." demikian goda Li Ang-siu tawar.
"Dia tidak menggunakan pedang." ujar Coh Liu-hiang.
Berkedip-kedip mata Li Ang-siu, "Apa dia menggunakan pisau sayur?" Tak tahan Coh Liu- hiang tertawa geli, katanya sungguh-sungguh: "Yang dia gunakan adalah mangkok sayuran"
"Mangkok sayuran?"
"Kalau tidak pakai mangkok, mana bisa menadahi cukamu yang tumpah dari gucimu yang terbalik?"
Song Thiam-ji cekikikan, katanya: "Jangan kau menyakiti hatinya lho, bahwasanya dia lebih lihay dari Kiong Lam-yan"
"O. " Coh Liu-hiang berseru heran.
Song Thiam-ji memegang pinggang, katanya dengan megap-megap geli: "Kiong Lam-yan paling hanya seorang murid dari Sin cui-kiong, tapi nona Li Ang Siu kita ini sebaliknya adalah Ciang-bujin Sin-cui-kiong!"
Li Ang-siu menubruk maju, dampratnya kertak gigi: "Setan cilik, ingin mampus kau!" Sambil terkekeh geli, Song Thiam-ji berlari sambil berkaok-kaok: "Yang-ci, tolong! Lihay benar Ciang-bujin dari Sin-cui-kiong!" begitulah mereka kejar-mengejar dengan senda gurau riang gembira.
Dengan tersenyum simpul, So Yang-yang mengawasi Coh Liu-hiang, katanya lembut: "Sekarang bagaimana tindakanmu?"
"Sampai detik ini, memang tiada sesuatu sumber penyelidikan yang dapat kutemukan, tapi paling tidak sekarang ini sudah tahu bahwa si 'dia' pasti adalah seorang lelaki tampan, kalau tidak mana mungkin gadis pingitan itu bisa terpincut kepadanya?"
"Belum tentu seorang gadis pasti menyukai seorang lelaki yang tampan lho" "Menurut pandanganmu, orang macam apa sebenarnya si 'dia' itu?"
"Pasti dia seorang yang pandai bicara, sangat pintar, pandai menarik perhatian dan hati seorang gadis, serta romantis sekali, gadis remaja yang menanjak dewasa, selamanya tak akan kuasa melawan laki-laki semacam itu."
"Tapi laki-laki macam itu memangnya bisa masuk ke Sin-cui-kiong?"
"Laki-laki seperti itu bila sudah masuk ke Sin-cui-kiong, mungkin takkan bisa keluar dengan jiwa tetap hidup. dalam dunia ini laki-laki yang bisa keluar dengan tetap hidup dari Sin-cui-kiong,
mungkin hanya beberapa orang saja"
"Oleh karena itu, terpaksa aku harus mohon bantuanmu untuk melakukan sesuatu." "Maksudmu hendak mengutus aku ke Sin-cui-kiong?"
"Aku. aku hanya menguatirkan kesehatan badanmu" "Kau anggap aku selemah itu tak tahan dihembus angin?"
"Entah bisa tidak kau menemukan piaukohmu, tanyakan biasanya laki-laki mana yang diperbolehkan keluar masuk Sin-cui-kiong? Serta tanyakan juga orang macam apakah sebenarnya gadis yang bunuh diri itu? Lebih baik kalau bisa menemukan barang-barang peninggalan gadis itu, kalau dia ada meninggalkan buku atau surat, itulah lebih baik."
"Begitu terang tanah, aku segera akan berangkat." "Cuma kau. "
Dengan aleman So Yang-yang segera mendekap mulut orang dengan jari-jarinya yang runcing halus, katanya tertawa: "Apa yang ingin kau kemukakan, aku sudah tahu. setelah aku pergi,
bagaimana dengan dirimu?"
"Tujuh hari kemudian, akan kutunggu kau di Hong-hi-ting di pesisir Tay-bing-ouw di Ki-lam" "Kilam? Bukankah di sana letak dari pusat Cu-soa-pang?"
"Hay-lam-pay dan Chit-sing-pang terlalu jauh dari sini, Ca Bok-hap sebaliknya datang dari ujung perbatasan yang jauh di ujung langit, aku mengharap dari anak murid Cu-soa-pang dapat mencuri berita yang kuperlukan."
"Tapi kau harus hati-hati, kalau mereka tahu kau. "
"Walau mereka membenci aku, mereka tidak akan bisa berbuat apa-apa terhadapku". Tiba-tiba Coh Liu-hiang membentangkan tapak tangannya, entah kapan tahu-tahu tangannya sudah menggenggam sebuah botol porselen kecil, begitu sumbatnya dibuka, seketika terendus semacam bau harum yang terasa aneh memenuhi ruangan besar itu.
Segera Coh Liu-hiang tarik suara dan bersenandung: "Malam hari maling kampiun meninggalkan bau wangi, entah di mana sukma gentayanganmu?"
"Jadi kau ingin supaya aku meninggalkan bau-bau wangi ini di mana-mana?"
"Betul! Sepanjang jalan ini, tiada halangannya kau meninggalkan sedikit bau ini, supaya orang selamanya susah meraba jejakku sebetulnya di mana, takkan terduga pula oleh mereka bahwa aku sebenarnya sudah berada di Kilam"
"Tapi kau. kali ini hendak muncul dengan duplikat siapa?"
"Anggota Cu-soa-bun kebanyakan adalah hartawan besar. Kalau aku ingin mendapatkan kepercayaan mereka, menghormatiku, jalan satu-satunya harus menyamar sebagai seorang laki- laki per
lente yang lebih royal membuang uang dari mereka, sambil menggeliat malas ia bangkit berdiri lalu mendorong almari yang penuh buat menyimpan botol-botol arak itu ke samping, ternyata di belakang almari minuman ini terdapat sebuah pintu kecil yang sempit.
Di belakang pintu sempit rahasia ini terdapat sebuah kamar segi enam yang berbentuk aneh.
Enam dinding sekelilingnya terpasang kaca yang halus dan terang, cukup memasang sebuah lentera sudah dapat menerangi sepuluh lipat keadaan kamar kecil ini. Sepanjang dinding kaca ini, dikelilingi pula lemari-lemari pendek terbuat dari kayu di mana terdapat ratusan laci-laci kecil, setiap laci tercantum nomor-nomor yang berbeda, tak ubahnya seperti laci-laci toko obat.
So Yang-yang menggelendot dipinggir pintu, katanya tertawa: "Yang kau inginkan mungkinkah nomor enam puluh tiga? Atau mungkin pula nomor seratus tiga belas?"
Coh Liu-hiang menarik laci bernomor enam puluh tiga, di dalamnya tersimpan perangkat jubah dan celana ketat yang terbuat dari sutra halus warna biru tua, kelihatannya setengah baru, di samping itu terdapat pula sepasang sandal yang dari kain, sebuah kantong kecil warna hitam terbuat dari kulit ikan cucut, serta sejilid buku tipis.
Coh Liu-hiang mengerut kening, tanyanya: "Apa benar nomornya?" Mungkin tidak salah.
Tapi dinilai dari pakaian ini, bukan baju yang sering dipakai orang kaya.
Para pedagang besar yang bermukim di kota Kilam yang paling besar menanam modal hanya terdapat dua macam saja. Macam pertama adalah Cukong besar dari pemilik Bank di Sansay, bagi cukong yang sudi mengenakan pakaian seperti itu boleh dianggap cukup berlebihan.
"Oh ya, hampir aku lupa bahwa perak milik orang-orang Sansay kebanyakan pernah digodok dulu dengan air obat, adakalanya aku amat heran, mereka menyimpan uang sebanyak itu, apakah tujuannya?"
Lalu ia membalik halaman buku itu, tampak halaman pertama bertuliskan:
Nama : Ma Pek Ban Pekerjaan : Direktur bank Su-kong Sansay Usia : Empat puluhan Hobby : Tiada Ciri-ciri : Setiap melewati tempat berair pasti mencopot sandal, di waktu hujan selalu berusaha mengenakan payung orang lain, badannya selalu membawa bau seperti sudah lama tidak pernah mandi.
Belum selesai Coh Liu-hiang membaca, lekas ia tutup buku itu terus dikembalikan ke dalam laci. Katanya menghela napas panjang: "Kalau kau ingin aku menyamar seperti orang ini, lebih baik aku mati saja"
"Kau sendiri yang suruh aku menulis dan mencatat bahan-bahan itu di dalam buku, pengemis yang joroknya setengah mati kau pernah menyamarnya, kenapa tidak mau. ?"
Lekas Coh Liu-hiang ulapkan tangannya, ujarnya: "Lebih baik aku menjadi pengemis daripada menjadi cukong seperti dia itu."
"Kalau begitu, coba kau lihat nomor seratus tiga belas"
Coh Liu-hiang menarik laci nomor seratus tiga belas, di dalam tersimpan seperangkat pakaian yang bagus dan perlente terbuat dari bahan yang mahal, sepasang sepatu kulit yang mengkilap, dua butir bola besi yang mengeluarkan suara gemerincing bila ditimang-timang di telapak tangan, sebatang golok melengkung yang dihiasi jamrut, kecuali itu terdapat sebuah kantong yang terbuat dari kulit ikan cucut hitam sejilid buku tipis pula. Kata So Yang-yang: "Yang sering pulang pergi di Kilam ini, kecuali Cukong dari Sansay ini, orang lain yang paling royal adalah pemilik perkebunan didaerah luar perbatasan Tiang pek-san, yaitu ketua Jay-sam-pang yang berdagang kolesom.
"Nah agaknya orang ini jauh lebih menarik" ujar Coh Liu-hiang.
Lalu iapun membalik lembaran buku tipis itu, dimana tercantum juga: Nama : Thio Siau Lim.
Pekerjaan : Pedagang obat kolesom di Koang-gwa. Usia : Tiga puluh enam.
Hobby : Arak keras, berjudi dan main perempuan...
Belum habis membaca kembali Coh Liu-hiang ,menutup buku itu, katanya tersenyum: "Cukup menarik, memang amat menarik."
"Aku sudah tahu tentu cukup memenuhi seleramu. Tapi bagaimana juga, kau tetap harus bawa peti itu, aku sudah siapkan nomor tiga, tujuh, dua delapan dan empat puluh di dalam peti itu."
"Baik, sejak sekarang biar aku menyamar jadi Thio Siau lim untuk beberapa hari lamanya" ditengah gelak tawanya ia mambuka kantong kulit itu, lalu mengeluarkan sebuah kedok muka yang halus dan tipis.
"Kwi-gi-tong", tiga huruf emas bergaya tandas seperti naga melingkar atau burung hong menari, tampak berkilauan di bawah penerangan sinar pelita.
Di sanalah komplek perjudian terbesar di seluruh kota Kilam.
Tatkala itu pelita baru saja dipasang, suasana di Kwi-gi-tong amat ramai dan hiruk-pikuk.
Sebuah ruangan besar penuh sesak, diliputi bau arak dan asap tembakau yang mengepul menyesakkan nafas, terendus pula bau pupur dan gincu di atas badan perempuan, bau keringat busuk di atas badan laki-laki... kepala setiap hadirin semua dibasahi butiran keringat yang kemilau tersorot sinar pelita.
Tapi ada pula yang berseri tawa riang, namun ada pula yang lesu dan patah semangat, ada yang bersikap tenang, ada pula yang bersikap tegang mengepal tinju dan gemetar seluruh badannya.
Ruangan paling depan ada dua meja Bay-kiu, dua meja judi dadu, dua meja Capjiki. Tingkatan orang yang bertaruh di sini pun paling acak-acakan, kaya miskin tidak ada perbedaan, asal ada uang boleh bertaruh. Suara hiruk-pikuk di sini pun paling ramai. Pada setiap meja judi itu berdiri seorang laki-laki berseragam hitam yang berikat pinggang kain merah, siapapun yang menarik dalam taruhan, dia harus menyetornya sepuluh persen.
Ruangan tengah rada sepi dan tenang, di sini hanya terdapat tiga meja, orangnya pun lebih sedikit, tiga meja sama penuh dikelilingi orang-orang gemuk berperut gendut, terang mereka itu hartawan-hartawan yang getol judi, uang perak bertumpuk-tumpuk yang ada di atas meja dan ada pula di hadapan orang-orang, di pinggir meja tersedia arak dan makanan, tak ketinggalan pula rokok. Puluhan gadis-gadis ayu yang berpakaian mewah dengan perhiasan menghiasi seluruh badan mondar-mandir sambil jual senyuman manis, seperti kupu-kupu yang mengelilingi kuntum bunga, dari sini mencorot uang perak, di sini menjumput dua keping uang emas. Para penjudi itu agaknya tidak hiraukan perbuatan mereka, maklum berapa sih arti uang kecil itu. Maka yang kalah cepat sekali kantong uangnya kosong, yang menang sebaliknya kantong uangnyapun tidak kelihatan padat. Uang perak atau emas sama mengalir ke kantong baju gadis- gadis itu melalui jari-jari yang penuh dihiasi cincin berkilauan, akhirnya sama bertumpuk di dalam kas sang majikan yang memiliki rumah perjudian ini. Perjudian di sini memang dibuka dan diusahakan oleh pihak Cu-soa-pang.
Rumah dibagian belakang, pintunya tertutup kerai tebal. Dalam rumah ini terdapat tujuh delapan penjudi, namun gadis-gadis yang melayani di sini pun paling banyak, ada yang menyediakan hidangan, ada yang menuang arak, ada pula yang menggelendot dalam pelukan orang. Sebutir demi sebutir mereka ngupaskan kwaci terus dijejalkan ke mulut penjudi-penjudi yang dermawan itu, jari-jari mereka laksana duri mawar, kerlingan matanya tajam semanis madu.
Disini tidak kelihatan uang perak dan mas kontan cuma beberapa lembar cek yang bergerak kesana kemari, namun angka angka yang tertulis di atas lembar cek itu, cukup membuat orang bisa hidup senang seumur hidup.
Seorang pemuda bermuka pucat, mengenakan jubah panjang hijau pupus berdiri di pinggir meja sambil tersenyum simpul, tak henti-hentinya ia menepuk pundak dari satu ketamu yang lain, katanya, "Hari ini nasibmu kurang mujur, pergilah bawa Cu-ji ke dalam malas-malasan saja."
Jawabnya selalu diselingi tawa besar: "Buat apa kesusu, belum lagi lima laksa tail!"
Maka tangan si pemuda segera ditarik, dengan tersenyum senang ia mengelus jenggotnya yang baru tumbuh, tangan yang ia gunakan selalu tangan kiri. Tangan kanannya selalu bersembunyi di dalam lengan bajunya.
Pemuda ini bukan lain adalah pengurus tertinggi Kwi-gi-tong ini, tak lain adalah murid Ciang- bunjin Cu-soa-pang, yaitu Sat-jin-giok-lan, Han-bin-beng-siang Leng Chiu-hun.
Tiba-tiba seorang laki-laki kurus tepos bermata juling dengan kepala seperti keledai berpakaian perlente menyelinap masuk, dari kejauhan ia sudah menjura dan berkata hormat sambil tertawa, "Selamat siang, Cheng-cu baik-baik saja?"
Leng Chiu-hun menarik muka, segera ia menghampiri sambil menggendong tangan, makinya dengan mengerut kening, "Thia Sam, berani kau main terobos di tempat ini?"
Tersipu-sipu Thia Sam membungkukkan badan, sahutnya sambil tertawa lebar, "Mana Siaujin berani sembarangan masuk,cuma. " Sambil melotot lalu dia berbisik: "Semalam kedatangan
seorang tamu royal, semalam saja dia sudah menghamburkan tiga laksa di tempat Siau-cui sana, waktu Siaujin mencari tahu, ternyata tangannya masih gatal, maka Siaujin memberanikan diri membawa orang itu ke mari."
"O, orang macam apakah dia?"
"Dia she Thio, bernama Thin Siau-lim."
"Thio Siau-lim?" Leng Chiu-hun menepekur. "Amat asing nama ini bagiku." "Kabarnya dia jarang masuk perbatasan, maka. " "Orang-orang macam apa yang berjudi di tempat ini, tentunya kau sudah tahu. Orang yang tiada punya asal-usul seumpama hendak menghamburkan uangnya, orang-orang ini pun takkan memberi peluang kepadanya."
"Siauya tak usah kuatir, orang yang tidak punya asal-usul mana Siaujin berani membawanya ke mari. tamu she Thio itu adalah pedagang kolesom terbesar di Siang-pek-san, kali ini datang
ke Kilam hendak membuang sedikit uang mencari hiburan."
"Kiranya, pemetik kolesom, biar kulihat dulu," kata Leng Chiu-hun, lalu ia menyingkap kerai melongok keluar, tampak seorang lelaki berjambang pendek, muka ungu, dengan sikap gagah sedang berdiri di luar pintu sambil menggendong tangan. Tangannya menggenggam dua butir bola besi yang mengeluarkan suara gemeretak, namun tindak-tanduknya kelihatan angker dan berwibawa, semua hadirin di dalam rumah itu tiada yang sebanding dengan dia, seolah-olah burung bangau di tengah ayam babon.
Bergegas Leng Chiu-hun menyingkap kerai dan melangkah maju dan memapak, katanya sambil bersoja: "Thio-heng datang dari tempat jauh, siaute tidak melayani dengan semestinya, harap suka dima'afkan" sembari tertawa lebar segera ia menarik tangan Thio Siau-lim seolah-olah sekali pandang seperti teman lama layaknya.
Thio Siau-lim ternyata seorang jujur yang selalu menepati omongannya, orang kaya yang keluar uang tanpa berubah air mukanya, kebetulan meja di tengah sedang berjudi pay-kiu, segera ia rogoh kantong dan ikut pasang, beberapa kali lintasan saja dia sudah kalah lima laksa tail.
Gadis-gadis ayu itu segera berebut maju, beramai-ramai berebut menuangkan arak, berebut hendak melihat kartu pula, Thio Siau-lim bergelak tertawa, tangan kiri menarik tangan kanan memeluk, mendadak dari kantong bajunya dia mengeluarkan setumpuk uang kertas, katanya: "Nah mari dimulai lagi, bagaimana kalau aku jadi bandarnya?"
Waktu Leng Chiu-hun melirik dilihatnya lembaran uang kertas paling atas adalah lembaran sepuluh laksa tail, seketika mukanya berseri tawa senang, katanya: "Kalau Thio-heng jadi bandar, biar siaute ikut bertaruh"
Yang jadi bandar saat itu adalah ketua dari empat puluh perusahaan besar di seluruh kota Kilam, dia sudah meraih puluhan laksa tail, memangnya ingin mengundurkan diri, tawaran dari Thio Siau-lim jadi kebetulan malah, segera ia surungkan kartunya ke tengah meja, katanya: "Silahkan Thio-heng pegang kartu, Siaute pasang Thian bun"
Thio Siau-lim menindihkan dua bola besinya ke atas lembaran uang, serunya: "Mestikaku, tindih mereka baik-baik, jangan sampai ada satupun yang lari"
Babak perjudian seterusnya sungguh amat menyenangkan, masing-masing berlomba mempertahankan uang dengan kemahirannya, namun jantung berdebar dan hatipun tidak kurang tegangnya, keringat sama bercucuran di jidat, separo dari kemenangan uang cukong beras tadi akhirnya kendang, namun ia bisa melihat gelagat, segera ia berhenti dan tinggal ke belakang menarik gadis kesayangannya. Dua orang yang lain kabarnya terkenal paling takut bini, meskipun ingin menarik balik modalnya semua, namun terpaksa harus mundur dan pulang. Setelah tengah malam yang masih berjudi dalam rumah ini tinggal empat lima orang.
Thio siau-lim mengisap pipa cangklong yang diangsurkan seorang gadis yang duduk di pinggirnya, tangannya mengocok kartu sedang matanya menghadap Leng Chiu-hun, katanya tertawa lebar: "Lote, keluarkan uangmu dan pasanglah!"
Leng Chiu-hun tersenyum, sahutnya: "Ya, Siaute memang sudah siap pasang." kembali ia merogoh keluar setumpukan uang kertas, sepasang matanya jelalatn seperti mata anjing ajak yang mencari sasaran, mendadak ia dorong semua uangnya dipasangkan ke Thian-bun pula, katanya tersenyum: "Tiga puluh laksa tail, tidak peduli kalah menang, kali inilah yang menentukan"
Sekali pasang tiga puluh laksa tail, meski yang hadir dalam perjudian adalah hartawan kaya raya, semua sama kaget dan berubah air mukanya, tiada satupun yang berani ikut pasang.
Thio Siau-lim tetap tertawa riang, katanya: "Baik, mari kita berhantem sendirian", segera ia lemparkan dadunya, tujuh angin. Leng Chiu-hun segera mengambil kartu, seratus, semetara Thio siau-lim ambil yang nomor tiga, tanpa dilihat lagi Chiu-hun terus membalik kartu itu pelan-pelan.
Selembar Thian dan selembar Jin, itulah Thiankan. Serempak semua hadirin sama mengeluarkan suara kagum dan ngiler, para gadis malah berteriak-teriak sambil tepuk tangan.
Tampak Thio Siau-lim merangkap tangan, ditepuk lalu didorong, hanya sekilas dilihatnya, lalu "Plak", ia banting kedua kartunya di pinggir meja. Semua orang menunggu de
ngan rasa tegang dan mata terbelalak tak tahan tanya berbareng: "Bagaimana?"
Sedikitpun tidak berubah air muka Thio Siau-lim, segera ia menghitung tiga puluh laksa tail terus diangsurkan ke dapan Leng Chiu-hun, katanya tertawa: "Nah terimalah, aku mengaku kalah!"
Berputar biji mata Leng Chiu-hun, katanya tertawa: "Hari ini tentunya kalian sudah puas, biarlah dilanjutkan lain hari saja"
Perjudian bubar, masing-masing melangkah ke belakang sambil menggandeng gadis pujaannya kelelap dalam buaian mimpi dengan berpelukan.
Thio Siau-lim menggeliat, katanya tertawa: "Lote, kau memang jempol, tepat pandanganmu, menyikatnyapun dengan telak"
Leng Chiu-hun tertawa tawar, ujarnya: "Apa ya...", secepat kilat mendadak tangan kiri terulur mencabut golok yang tergantung di pinggang Thio Siau-lim, ujung golok yang kemilau tahu-tahu sudah mengancam pelipisnya, jengeknya dingin: "Sebenarnya siapa kau? Apa kerjamu di sini?"
Sikap Thio Siau-lim tidak berubah sedikitpun, katanya berseri tawa: "Apa Lote sedang berkelakar sama aku? Aku tidak mengerti?"
"Betul, kau tidak tahu!" jengek Leng Chiu-hun dingin. Tangan kirinya tiba-tiba menggablok meja, dua kartu yang disisihkan Thio Siau-lim ke pinggir meja itu mendadak mencelat naik dan jatuh terbalik, tergeser ke atas meja. Tampak kedua kartu sama bentuk sama nomornya. Dua- duanya As.
Mata Leng Chiu-hun setajam pisau, desisnya bengis: "Terang barusan kau menang, kenapa pura-pura kalah?"
"Mataku rada lamur, mungkin aku salah lihat.", sahut Thio Siau-lim tertawa.
"Seorang laki-laki sejati berani terus terang, saudara ada keperluan apa datang ke sini?" bentak Leng Chiu-hun: "Lebih baik bicara terus terang. apa sengaja kau hendak menarik hatiku?
Apa maksud tujuanmu?"
Sirna senyum tawa Thio Siau-lim, katanya dengan bada berat: "Mata Leng-heng memang tajam. ya, memang cayhe kemari memang ada maksud-maksud tertentu, tapi persoalan ini bukan saja membawa untung bagi diriku, dengan pang kalianpun. " sengaja ia unjuk tawa penuh arti,
secara lihay sengaja ia hentikan kata-katanya.
Tanpa berkesip Leng Chiu-hun menatapnya, sorot matanya semakin kalem dan tangan ditarik sambil melempar pisau ke atas serta ditangkapnya pula, "srettt" ia kembalikan pisau ke dalam sarungnya, katanya pelan-pelan: "Kalau begitu, kenapa tidak secara terus terang saja kau minta bertemu dengan aku?"
Thio Siau-lim tersenyum, ujarnya: "Untuk mengerjakan urusan luar biasa, harus melalui jalan yang tidak biasa pula, jikalau aku tidak membuat sesuatu sehingga Leng-heng menaruh kesan dan perhatian kepadaku, apa yang cayhe katakan Leng-heng mau percaya?"
Leng Chiu-hun berkata tawar: "Dengan tiga puluh laksa tail untuk memberi kesan itu, apa kau tidak merasa terlalu mahal?"
"Kalau persoalan bisa sukses, tiga puluh laksa tail cuma beberapa persen saja dari seluruh peruntungan yang bisa kita capai."
Muka pucat Leng Chiu-hun seketika memancarkan sinar terang, katanya: "Pekerjaan yang melanggar hukum, Pang kami selamanya tidak mau mengerjakannya"
"Walau Cayhe miskin, sedikitnya punya kekayaan ribuan laksa tail, pekerjaaan melanggar hukum dan berbahaya sekali-kali Cayhe tidak akan sudi mengerjakannya"
Tiba-tiba Leng Chiu-hun menepuk meja pula, sentaknya beringas: "Urusan ini kalau tidak melanggar hukum dan tidak menyerempet bahaya, keuntungan bakal sedemikian besarnya, kenapa tidak cari orang lain tapi justru kau mencari Pang kita?"
"Karena pekerjaan ini harus diselesaikan oleh tampilnya salah satu tianglo Pang kalian, kalau tidak bukan saja tidak terhitung kesulitan yang harus kita hadapi, boleh dikata sulit bisa berhasil"
"Siapa yang kau maksudkan?" "Sat-jiu-su-seng Sebun Jian!"
Leng Chiu-hun perlahan-lahan membalik badan melangkah dua tindak dengan kalem pula serta duduk pelan.
"Kalau Sebun cianpwe sudi menampilkan diri, pekerjaan ini seratus persen pasti berhasil, oleh karena itu Leng-heng harus berusaha supaya Sebun-cianpwe sudi keluar untuk merundingkan persoalan ini. Setelah mendengar penjelasan Cayhe, Sebun cianpwe sendiri pasti tidak akan menampik"
"Guruku selamanya tidak gampang mau menemui tamu, katakan saja kepadaku kan sama saja"
"Untuk soal ini aku harus bicara berhadapan dengan Sebun-cianpwe"
Leng Chiu-hun tiba-tiba putar badan, bentaknya gusar: "Memangnya sengaja kau hendak mempermainkan aku"
Thio Siau-lim tertawa gelak-gelak, serunya: "Orang yang main-main dengan uang tiga puluh laksa tail mungkin belum pernah terjadi di dunia ini?" Dengan nanar Leng Chiu-hun menatap muka orang sekian lamanya, akhirnya berkata dengan nada berat: "Kedatanganmu tidak kebetulan, guruku sekarang tidak berada di Kilam."
"Apa benar?"
"Selamanya aku tidak pernah bohong"
Lama sekali Thio Siau-lim menepekur, lamat laun sikapnya kelihatan amat kecewa, katanya menghela napas seraya menengadah:
"Sayang! sayang! Keuntungan tiga ratus laksa tail sudah di depan mata, agaknya segala rencana bakal gagal total" segera ia bersoja terus angkat langkah keluar dengan lesu.
Lekas Leng Chiu-hun memburu maju serta menariknya, katanya: "Maksudmu tiga ratus laksa?"
"Aku ini seorang pedagang, kalau tidak mendapat keuntungan sepuluh lipat, mana aku sudi menghamurkan tiga puluh laksa?"
Tergerak hati Leng Chiu-hun, tanyanya: "Sudikah kau menunggu sampai guruku pulang?" "Urusan sepenting dan segenting ini mana bisa diulur-ulur, kecuali. "
"Kecuali?" cepat Leng Chiu-hun menegas, "Kecuali bagaimana?"
"Kecuali sebelum pergi Sebun-cianpwe ada meninggalkan pesan apa-apa, dikatakan kemana tujuannya lalu cepat kita menyusulnya ke sana, mungkin waktunya masih keburu"
Sampai detik itu, mau tidak mau Leng Chiu-hun semakin ketarik, katanya membanting kaki: "Setiap kali suhu keluar pintu tak pernah dia meninggalkan pesan apa-apa, cuma kali ini. setelah
menerima sepucuk surat, hari kedua pagi-pagi benar lantas berangkat." Bersinar mata Thio Siau-lim, tanyanya: "Sepucuk surat? Dimana?" Leng Chiu-hun menariknya, katanya tergesa-gesa: "Mari ikut aku?" "Kemana?"
"Lip-te-kui-hun-jin Nyo Siong, tentunya kau pernah mendengar namanya bukan?" "Jadi surat itu sekarang berada di tangan di rumah Nyo cianpwe?"
"Benar, kuingat sebelum guruku pergi, pernah masukkan surat itu ke dalam sampulnya pula dan diserahkan kepada Nyo susiok untuk disimpan, jikalau bisa melihat surat itu, kukira pasti bisa tahu kemana tujuan guruku"
"Tapi, apakah Nyo-cianpwe sudi memperlihatkan surat itu kepada kita?"
"Tiga ratus laksa tail, bagi siapapun asal dia manusia, jumlah ini bukan terhitung jumlah kecil"
Mereka tidak menunggu kereta, dengan jalan cepat setelah menikung dua jalanan mereka tiba di tempat tujuan. Pada sebuah jalanan berbatu yang bersih dan tidak begitu pendek, di sini hanya terdapat enam bangunan gedung-gedung besar. Rumah kediaman Nyo Siong adalah bangunan nomor dua dari kiri.
Tak perlu Thio siau-lim memperhatikan keadaan sekitarnya, ia cukup tahu bahwa bangunan gedung-gedung besar di sekitar ini rata-rata adalah tempat tinggal hartawan-hartawan kaya raya dari seluruh Kilam, malah celah-celah papan batu antara satu dengan yang lainnyapun disapu dengan bersih. Tapi seorang berkedudukan seperti Nyo siong ini, seharusnya mendiami sebuah bangunan tunggal yang menyendiri di luar kota.
Agaknya Leng Chiu-hun meraba jalan pikirannya, segera ia menjelaskan sambil tertawa: "Walaupun guruku rada aneh dan suka menyendiri, tapi entah mengapa, justru berkukuh untuk tinggal dalam kota, memang beliau tidak suka bicara dengan orang, tapi malah menyukai suara percakapan orang."
"Gurumu.... bukankah ini rumah ini tempat tinggal Nyo. "
"Suhu dan Nyo susiok tinggal bersama dalam satu gedung, pintu hitam pekarangan bagian luar ternyata hanya dirapatkan saja. Leng Chiu-hun langsung mendorong pintu terus beranjak masuk, pekarangan sepi dan tak terdengar suara orang.
Pelita di dalam ruang pendopo seharusnya ditambah minyak, ruang sedemikian besar hanya disinari lampu yang remang-remang menjadikan suasana terasa seram dan mendebarkan jantung.
"Biasanya Nyo-susiok suka tidur pagi-pagi" demikian kata Leng Chiu-hun. "Begitu beliau tidur, para pembantunya segera ngeloyor keluar diam-diam, terutama bila guruku tiada di rumah, mereka semakin bertingkah."
"Pelayan atau gendak masakah juga keluyuran keluar malam hari?" "Dalam rumah ini selamanya tiada kacung dan babu"
Mereka berputar melewati ruang pendopo langsung menuju bilangan belakang. Keadaan di sini lebih senyap, pada deretan kamar di sebelah kiri sana lapat-lapat terlihat cahaya api yang menyorot keluar. Kata Leng Chiu-hun: "Aneh, apakah Nyo susiok malam ini belum tidur?"
Baru saja kaki melangkah hendak melewati deretan pohon mangga di tengah pekarangan setetes air tiba-tiba jatuh menitik di atas pundaknya, tanpa sadar ia segera mengusap dengan tangannya, cahaya api yang menyorot keluar dari jendela kebetulan menerangi tangannya, darah segar, punggung tangannya ternyata berlepotan darah.
Dengan kaget Leng Chiu-hun angkat kepala, di atas dahan pohon mangga lapat-lapat seperti terlihat seseorang sedang menggapai kepadanya. Sebat sekali ia enjot kaki melesat naik, secepat kilat pula ia mencengkeram pergelangan tangan, namun hanya sebelah tangan orang yang dipegangnya tiada yang lainnya, hanya tangan yang berlepotan darah.
Tak tertahan Leng Chiu-hun menjerit kaget: "Susiok, Nyo susiok!" tak ada jawaban dari dalam kamar.
Seperti orang kemasukan setan segera ia lompat turun dan menerjang daun pintu menerobos masuk ke dalam. Dilihatnya Nyo Siong rebah di atas ranjang seolah-olah sedang tidur lelap, hanya batok kepalanya dan rambutnya yang ubanan yang berada di luar kemul yang menutupi seluruh badannya. Tapi keadaan dalam kamar morat-marit, setiap benda berkisar dari tempatnya semula, tiga peti kayu di pinggir ranjangpun sudah jungkir balik dan terbuka. Tanpa banyak pikir Leng Chiu-hun memburu ke dekat ranjang dan tanganpun menyingkap kemul tebal yang terbuat dari kain kapas.
Darah, badan yang berlepotan darah tanpa terlihat kaki dan tangan.
Gemetar seluruh badan Leng Chiu-hun seperti orang kedinginan, katanya seraya gemetar: "Ngo-kui-hun-si, beginikah Ngo-kui-hun-si itu. "
Bergegas ia putar badan dan menerjang keluar pula, sebuah tangan yang lain tergantung di atas teras, darah masih menetes, kematian Nyo siong dengan badan terpotong-potong terang berlangsung sebelum melebihi setengah jam.
Agaknya Thio Siau-lim pun amat kaget dan berdiri terlongong di tempatnya.
"Cu-soa-bun tiada dendam permusuhan dengan Ngo-kui, kenapa Hiat-sat-ngo-kui menurunkan tangan jahatnya?"
"Kau. darimana kau tahu kalau Hiat-sat-ngo-kui yang turun tangan?" tanya Thio Siau-lim.
"Ngo-kui-hun-si (lima setan membagi mayat) merupakan lambang mereka" desis Leng Chiu- hun dengan penuh dendam dan kebencian.
"Lambang kan biasanya bisa juga dipinjam orang lain untuk melakukan kejahatan"
Agaknya Leng Chiu-hun tidak mendengar ucapan Thio Siau-lim, kini ia mulai memeriksa dan mengobrak-abrik pula semua barang-barang yang ada di dalam kamar.
"Apa pula yang kau cari? surat itu terang sudah hilang" ujar Thio Siau-lim. Memang surat itu tiada di tempatnya, hilang tanpa bekas.
Semakin pucat raut muka Leng Chiu-hun, kelihatannya begitu menakutkan, mendadak orang menubruk tiba menjambak baju Thio Siau-lim, teriaknya beringas: "Sebetulnya apa sangkut pautmu dengan peristiwa ini?"
"Kalau ada sangkut pautnya, memangnya aku bisa berada di sini?"
Dengan melotot sekian saat Leng Chiu-hun deliki orang, pegangan tangannya semakin kendor dan akhirnya terlepas, katanya dengan suara serak berat: "Tapi bagaimana kedatanganmu bisa begini kebetulan?"
"Karena beberapa hari ini aku memang sedang sebal" sahut Thio Siau-lim tertawa getir, tiba- tiba sorot matanya berputar katanya: "Kenapa kau tidak lihat ke kamar gurumu, mungkin sesuatu dapat kau temukan di sana"
Leng Chiu-hun berpikir sebentar, pelita di angkatnya terus menuju bilik sebelah timur.
Pintunyapun tidak terkunci, tianglo Cu-soa-bun yang suka menyendiri ini ternyata tinggal di sebuah kamar serba sederhana.
Di atas dinding cuma terdapat selembar gambar lukisan, bukan gambar pemandangan atau hasil seni lukis dari karya pelukis kenamaan, namun hanya selembar gambar seorang perempuan setengah badan, sedemikian hidup dan menakjubkan lukisan gambar ini. Jaman itu sulit dicari gambar orang setengah badan. Tak terasa Thio Siau-lim meliriknya dua tiga kali ke arah gambar itu, semakin dipandang semakin terasa perempuan dalam gambar sedemikian cantik jelita, sulit dikatakan dengan kata-kata. Meskipun hanya selembar gambar lukisan saja, namun seolah-olah mempunyai daya tarik yang tak bisa dilawan.
Tak tahan Thio Siau-lim memuji sambil menghela napas gegetun: "Tak nyana Subomu ini ternyata seorang perempuan cantik luar biasa"
"Sampai sekarang guru masih jejaka" sahut Leng Chiu-hun dingin.
Thio Siau-lim tertegun: "O, kalau begitu tak heran kalau dia suka tinggal bersama Nyo cianpwe, tidak heran pula di sini tidak pakai pelayan perempuan" mulutnya bicara sementara dalam hati ia membatin: "sampai sekarang Sebun Jian masih jejaka? Kenapa pula dia menggantung gambar perempuan cantik ini di dalam kamarnya? Siapa dan pernah apa perempuan ini dengan dia?"
Mungkin gambar ini hanyalah lukisan biasa saja. Tapi lukisan biasa, kenapa pula bisa digambar setengah badan?
Kini Thio Siau-lim sudah berada dalam kamar sebuah hotel, di luar jendela tampak tujuh delapan laki-laki tinggi besar yang berikat pinggang kain merah tua sedang mondar-mandir berjaga di sekeliling kamar.
Laki-laki ini selalu merubung dan membimbingnya kembali ke dalam kamarnya seolah-olah pengawal pribadinya saja. Yang benar, mereka adalah anak buah yang diutus Leng Chiu-hun untuk mengawasi gerak-geriknya.
Leng Chiu-hun sih tidak bertujuan jahat terhadapnya, cuma saja ia tidak rela dan penasaran bila tiga ratus laksa tail itu terjatuh ketangan orang lain. Tentunya Thio Siau-lim sendiripun paham akan seluk beluk ini. Tak tertahan ia tertawa geli, tawa riang yang mengandung arti.
Kalau dia benar-benar ingin melakukan sesuatu, dalam pandangannya kedelapan laki-laki ini bolehlah dianggap delapan patung kayu belaka!
Ia padamkan pelita lalu melojoti seluruh pakaian sampai telanjang bulat terus rebah di atas ranjang. Sedapat mungkin ia kendorkan kaki tangannya, kemul kapas yang bersih terasa empuk dan kasar menggesek badan, rasanya sungguh nyaman dan nikmat sekali. Lama kelamaan seluruh badannya sudah berhenti bergerak dan dalam keadaan ketenangan cuma otaknya saja yang masih bekerja.
Mendadak genting di atas kamar berkeresek dan bergerak pelahan, cahaya rembulan yang remang-remang menyorot masuk menerangi kamar yang gelap ini. Beberapa buah genteng sudah bergeser dan dipindah dari tempatnya namun sedikipun tidak mengeluarkan suara yang mengejutkan, agaknya penyatron ini adalah seorang ahli dalam perjalanan malam, gerak-gerik kakinya cekatan dan hati-hati.
Kejap lain tampak sesosok bayangan orang selicin ikan menerobos masuk, kedua tangan bergelantungan di atap rumah, menunggu sebentar setelah tidak mendengar sesuatu suara, lalu seenteng daun ia melompat turun ke atas lantai.
Thio-Siau-lim tetap rebah tanpa bergerak, mata dipincingkan mengawasi gerak-gerik orang dalam hati ia tertawa geli, kalau orang ini maling kecil, kalau dia berani datang kemari terang bahwa kakek moyangnnya dulu memang berhutang jiwa kepada dirinya,