Pendekar Pengejar Nyawa Jilid 01

Jilid 01

Beberapa baris tulisan huruf-huruf indah yang masih basah tintanya itu tertera di atas selembar kertas yang dibentangkan di atas sebuah meja batu marmer. Sinar lilin menyorot dari sebuah lampion yang dibungkus kain paris merah, membuat kertas berwarna biru muda itu terlihat berwarna ungu muda tertimpa cahaya merah dari lampion, kelihatan aneh dan janggal. Tulisan yang indah dan berseni itu jadi tampak lebih menarik dan merasuk hati. Surat itu tidak dibubuhi tanda tangan pengirimnya, namun mengandung bau dupa wangi, bau dupa yang mengandung seni, dari tulisan surat bukan surat, syair bukan syair itu, siapa pun susah menduga siapakah orang yang mengirimkan surat ini.

Yang menerima surat ini adalah Kim Pian-hoa, anak seorang hartawan terkenal di Pak-khia. Ia sedang duduk di pinggir meja. Raut mukanya yang putih halus dan selalu terpelihara itu terlihat berkerut-kerut seakan mendadak kesakitan lantaran terbacok senjata tajam. Kedua biji matanya melotot mengawasi surat itu, seolah baru saja menerima surat panggilan dari Giam-lo-ong (Raja Akhirat).

Dalam ruang pendopo yang besar itu hadir tiga orang lagi. Seorang adalah laki-laki tua berjubah sutera, berperawakan kekar dan bersikap gagah, namun rambutnya sudah beruban. Ia sedang menggendong kedua tangannya mondar-mandir di ruangan itu. Entah sudah berapa lama atau berapa kali ia berjalan pulang-pergi, seperti tidak merasa letih. Umpama ia berjalan lurus, mungkin jarak yang telah ditempuhnya tidak kurang dari jarak antara Pak-khia dan Thio-kah-gou.

Seorang lagi adalah laki-laki berpakaian serba hitam dengan tulang pipi yang menonjol, bermata elang dan bersikap dingin tenang, tapi terlihat jelas wataknya yang keji dan culas. Ia duduk di samping Kim Pian-hoa. Kedua tangannya sedang mengelus-elus sepasang potlot baja yang ditaruh di atas meja. Jari-jari tangannya kurus kering dan panjang, sendi-sendi tulangnya tampak menonjol seperti rangka besi.

Raut wajah kedua orang ini kaku serius, sepasang mata yang jeli selalu berputar mengawasi sekelilingnya, dari pintu ke arah jendela, dari jendela balik ke arah pintu, begitu tak putus-putusnya dengan perhatian penuh.

Selain kedua orang ini, masih ada seorang tua berkepala gundul berpakaian sederhana, tubuhnya kecil pendek dan kurus, ia duduk di pojok seakan bersemedi dengan memejamkan mata. Tiada tanda istimewa di badan orang ini, tapi kedua daun kupingnya entah kenapa tidak tampak di tempatnya, namun digantikan oleh kuping palsu berwarna putih, entah terbuat dari apa.

Laki-laki tua berjubah sutera menghampiri meja, dijemputnya kertas bertulisan itu, katanya dingin: "Ini terhitung apa? Undangan? Tanda hutang? Dengan mengandalkan secarik kertas tak berharga seperti ini, dengan gampang dia hendak mengambil Giok-bi-jin, satu dari empat benda mestika di kota raja. " Lalu ia menggebrak meja dengan keras, bentaknya: "Coh Liu-hiang, oh

Coh Liu-hiang. Jangan kau memandang remeh para enghiong di kota raja."

Kim Pian-hoa bersungut-sungut, katanya dengan gemetar dan sangsi: "Kenyataannya dengan hanya mengandalkan secarik kertas yang sama, entah sudah berapa banyak benda mestika yang berhasil dicurinya. Kalau dia mengatakan jam sekian hendak mengambil sesuatu barang, siapa pun jangan harap bisa menggagalkan usahanya."

"Oh, apa ya?" sela laki-laki baju hitam dengan nada dingin.

Kim Pian-hoa menghela nafas, ujarnya: "Bulan lalu Khu Sian-ho dari Jalan Gulung Tirai juga menerima secarik kertas yang sama, katanya hendak menjemput Kim-liong-pwe milik Khu-ya warisan leluhurnya. Bukan saja Sian-ho menyimpannya di sebuah kamar rahasia, malah mengundang dua orang Si-wi dari istana raja pula, Siang-ciang-hoan-thian (Sepasang Tangan Membalik Langit) Cui Cu-ho dan Bwe-hoa-kiam Pui Hoan untuk berjaga di luar pintu rahasia.

Penjagaan sedemikian rapat, seumpama lalat pun tidak akan dapat lolos. Namun setelah lewat jam yang dijanjikan, saat mereka membuka pintu kamar. aaaiii, Kim-liong-pwe tetap saja

hilang."

Laki-laki baju hitam tertawa dingin, jengeknya, "Ban-lo-piauthau bukanlah Cui Cu-ho, aku Seng-si-poan bukan Pui Hoan, apalagi. " ia melirik laki-laki tua gundul di pojok, lalu

menyambung dengan perlahan, "Eng-locianpwe yang paling ditakuti oleh kalangan maling dan pencuri di seluruh dunia pun hadir di sini, kami bertiga kalau tidak mampu membekuk Coh Liu- hiang, pasti tidak ada lagi orang yang mampu."

Baru sekarang laki-laki tua gundul itu membuka matanya, ujarnya, "Cui-heng terlalu mengagulkan diriku. Sejak peristiwa Hun-tai dulu, Lo-si sudah tidak berguna lagi. Orang yang hidupnya mencari nafkah dengan mengandalkan sepasang telinganya, kini telah diprotoli orang, kan sama seperti pengemis kehilangan ular untuk bermain sulap."

Bila orang pernah mengalami kekalahan yang begitu mengenaskan, apalagi kedua kupingnya pun hilang, pasti ia tidak berani mengungkit-ungkit peristiwa yang memalukan itu. Kalau orang berani mengolok-olok, tentu dia akan menghunus senjata untuk ajak adu jiwa. Tapi laki-laki tua gundul itu bicara sambil tertawa berseri tanpa malu, malah seakan merasa bangga dan senang.

Laki-laki tua berjubah sutera itu adalah Thi-ciang-gin-pian (Pukulan Besi Ruyung Perak), Ban Bu-tik, Cong-piauthau Ban-seng Piaukiok di kota raja. Sambil mengelus jenggotnya, ia tertawa gelak, ujarnya: "Kaum persilatan siapa yang tidak tahu ketajaman telinga Toh Eng yang tiada bandingannya di dunia? Memang saat peristiwa Hun-tai dulu mengalami kekalahan kecil, tapi kekalahan itu malah membawa rezeki besar. Apalagi sejak kau memasang dan menggunakan Pek-ih-sin-hi (Telinga Sakti Baju Putih), ketajaman kupingmu jadi semakin lihai."

Toh Eng atau si Elang Gundul menggeleng kepalanya, ujarnya tersenyum senang, "Aku sudah tua, sudah tak berguna lagi, kalau bukan karena ingin berkenalan langsung dengan maling paling sakti di antara para pencuri, laki-laki sejati di antara bajingan, tidak sudi aku muncul kembali di Bulim."

Tiba-tiba Kim Pian-hoa tertawa: "Kabar yang kudengar dari pembicaraan orang di Bulim, katanya cukup asalkan Eng-locianpwe pernah mendengar suara pernafasan seseorang, maka lantas dapat membedakan apakah orang itu laki-laki atau perempuan, berapa usianya, bagaimana asal-usulnya. Peduli siapa pun asalkan suara pernafasannya pernah didengar oleh Eng-locianpwe, selama hidup ia tak akan bisa lolos, ke mana pun ia melarikan diri, Eng-locianpwe pasti akan menemukan dan menangkapnya pula."

Toh Eng tertawa senang, dengan memicingkan mata ujarnya, "Kabar di kalangan Kangouw seringkali dibumbui dan dibesar-besarkan."

Terdengar suara kentongan yang terbawa hembusan angin malam, tiba-tiba Seng-si-poan berjingkrak bangun, lalu katanya, "Jam satu tepat!" Kim Pian-hoa segera berlari ke pojok tembok, dari belakang sebuah pigura bergambar perempuan telanjang, ia menekan sebuah tombol untuk membuka pintu rahasia, dilihatnya kotak kayu cendana berukir indah masih menggeletak di situ, seketika ia menarik nafas dan menghembuskannya dengan lega, katanya tertawa sambil berpaling, "Tak nyana ketenaran nama kalian bertiga benar-benar cukup membuat Coh Liu-hiang jeri dan tidak berani datang."

Seng-si-poan menengadah, ujarnya sambil bergelak tertawa, "Coh Liu-hiang, Coh Liu-hiang, ternyata kau pun seorang. "

"Ssstt!" tiba-tiba didengarnya Toh Eng mendesis, segera Seng-si-poan menghentikan tawanya, maka terdengar suara rendah serak yang mengandung daya tarik sedang berkata, "Giok-bi-jin sudah kuambil, Coh Liu-hiang mengucapkan terima kasih!"

Bergegas Ban Bu-tik memburu ke jendela dan memukulnya hingga terbuka, dilihatnya di tempat gelap di kejauhan sana berdiri seseorang, tangannya menggenggam sebuah benda sepanjang tiga kaki, di bawah sinar rembulan, warnanya yang putih kehijauan berkilau memancarkan cahaya terang, mulut orang itu sedang berkata: "Jam dua belas mencuri, jam satu ke mari untuk mengucapkan terima kasih, tata tertib selalu kupatuhi, maaf, maaf!"

Pucat pias wajah Kim Pian-hoa, serunya gemetar: "Kejar, lekas kejar!"

Api lilin berkerlap-kerlip, angin menderu, bayangan orang berkelebatan. Seng-si-poan dan Ban Bu-tik telah melesat keluar lebih dulu.

Toh Eng berkata dengan nada berat: "Apa benda itu betul Giok-bi-jin?"

Kim Pian-hoa membanting kaki: "Aku melihat jelas, tidak salah lagi!" Berbareng dengan bantingan kakinya, badannya sudah meluncur keluar, ternyata kongcu hartawan ini memiliki kepandaian silat yang tidak lemah.

Toh Eng sedikit menggelengkan kepala, ujarnya: "Orang lain gampang kau tipu, tapi aku....

hm!" Dengan nanar ia menatap kotak kayu cendana itu dan berjalan perlahan mendekatinya. Sekonyong-konyong sebuah suara "Breng" yang keras terdengar di belakangnya, begitu keras bunyi suara itu sampai badannya tergetar mencelat. Ternyata Pek-ih-sin-hi atau kuping palsu itu terbuat dari logam campuran perak, daya salurnya teramat hebat, suara yang memekakkan itu terasa menggetar-pecahkan selaput kupingnya. Selamanya ia amat membanggakan sepasang kupingnya ini, sungguh mimpi pun tak terfikir olehnya kalau kuping logamnya ini akan membawa akibat yang amat fatal juga bagi dirinya. Saking terkejutnya, ia berjumpalitan ke tengah udara, berbareng dengan itu sepasang telapak tangannya membalik menghantam ke belakang, tapi bayangan orang tak kelihatan lagi di belakangnya.

Suara itu kembali terdengar di luar jendela, dengan sebat ia menjejakkan kakinya, badannya pun melenting keluar jendela, tiba-tiba terdengar bunyi yang ramai di bawah kakinya, waktu ia menunduk, ternyata kakinya menginjak sepasang gembreng yang besar.

Berobah pucat roman muka Toh Eng, teriaknya: "Celaka!" Seperti orang gila, lekas ia melesat masuk ke dalam pendopo. Dilihatnya kotak kayu cendana itu masih tetap di tempatnya tanpa kurang suatu apa pun, tapi sebuah daun jendela di sebelah sana tampak bergerak tak henti- hentinya.

Seperti patung kayu, Toh Eng menjublek di tempat, mimik mukanya aneh dan lucu, entah sedang menangis atau lagi tertawa, cuma mulutnya bergumam: "Coh Liu-hiang, Coh Liu-hiang, kau benar-benar lihai, tapi kau jangan takabur, suaramu sudah kudengar, akan datang suatu ketika kau akan kutemukan." Angin berdesir di belakangnya. Ban Bu-tik, Seng-si-poan dan Kim Pian-hoa beruntun melesat masuk ke dalam pendopo. Dilihatnya tangan Ban Bu-tik menjinjing sebuah patung wanita laksana bidadari yang terbuat dari batu giok, katanya: "Ternyata hanya tipuan belaka, Giok-bi-jin ini ternyata palsu."

"Meski palsu, paling tidak juga berharga beberapa tahil perak. Itu yang namanya tidak berhasil mencuri ayam malah kehilangan segenggam beras. Begitu tenar dan besar namanya, malam ini toh terjungkal pula di tangan kita."

Dengan sorot mata pudar Toh Eng tetap mengawasi kotak kayu cendana itu, katanya lirih: "Jika itu palsu, lalu yang tulen ada di mana?"

Berubah pucat wajah Kim Pian-hoa, serunya gemetar: "Sudah tentu.... ada... di dalam... kotak ini.."

Segera ia berlari memburu maju dan membuka kotak itu. Giok-bi-jin yang tersimpan di dalam kotak itu ternyata telah lenyap. Kim Pian-hoa menjerit pilu, lalu roboh pingsan.

Saat Ban Bu-tik memeriksa, di dalam kotak terdapat secarik kertas biru muda berbau wangi, di atasnya ada tulisan indah dan tajam berbunyi: "Pian-hoa Kongcu kehilangan, maling sakti meninggalkan bau harum."

-ooo-

Kini ia tidur tengkurap di dek sebuah kapal. Cahaya matahari pagi bulan lima dengan hangat menerpa tubuhnya yang separuh telanjang, terutama punggungnya yang lebar, sehingga berwarna merah seperti tembaga. Angin laut basah sejuk berhembus sepoi-sepoi menyingkap rambutnya yang panjang halus terurai, kedua tangannya yang berotot terjulur ke depan, jari-jarinya panjang terpelihara dan kuat, serta memegang sebuah patung porselen yang mengkilap halus berkilauan, itulah Pek-giok-bi-jin, patung perempuan cantik terbuat dari batu pualam.

Seolah-olah ia sedang terlelap di tengah samudera raya.

Sebuah kapal dengan tiga tiang layar besar dan tinggi, layar berwarna putih, bentuk kapal panjang menyempit, terbuat dari bahan kayu yang keras dan mengkilap. Siapa pun yang berada di atas kapal ini, pasti hatinya tenang tenteram, merasa hidupnya penuh dengan kemewahan.

Waktu itu permulaan musim panas, sang surya memancarkan cahaya terang benderang, burung camar terbang rendah berputar-putar di sekeliling kapal, terasa semarak dan romantis, diliputi oleh kegembiraan masa muda yang gemilang.

Selayang pandang, samudera raya amat luas tak berujung pangkal, daratan nun jauh di sana terlihat seperti segunduk bayangan abu-abu yang sejajar dengan garis langit dan air. Di sini adalah dunia tersendiri, tak pernah kedatangan tamu-tamu yang membosankan.

Pintu yang menembus ruang bawah selalu terbuka, dari kamar bawah berkumandang suara tawa nyaring merdu. Kemudian seorang gadis cantik muncul dan berjalan di dek kapal. Ia mengenakan pakaian longgar berwarna merah menyala yang sedap dipandang, rambutnya terurai mayang, setiap kakinya melangkah, tampak betis dan telapak kakinya yang indah dan putih halus menggiurkan, terus saja ia menghampiri, dengan perlahan ujung jari kakinya menggelitik telapak kaki orang. Terbersit senyuman mekar di raut mukanya yang elok seakan ratusan macam kembang serempak mekar semerbak dalam waktu yang bersamaan. Laki-laki itu mengerutkan kakinya, katanya sambil menghela nafas, "Thiam-ji, apa kau tidak bisa diam?" Lagak lagu suaranya rendah, mengandung daya tarik yang luar biasa.

Terdengar suara kikik tawa yang panjang nyaring, "Akhirnya salah juga terkaanmu!"

Dengan malas ia membalikkan badan, cahaya matahari menimpa mukanya, kedua alis tebal memayang, diliputi kekasaran sikap laki-laki yang penuh dengan kejantanan, namun biji matanya yang bening menunjukkan kehalusan hatinya. Hidung yang tegak berdiri membayangkan ketegasan, tegas dalam keputusan dan tindakan. Tapi sekali tertawa, ketegasan hati yang keras itu seketika berubah menjadi halus mesra, sikap dingin itu seketika berubah menjadi simpatik dan halus kasihan.

Ia mengangkat tangannya untuk menutupi cahaya matahari yang menyilaukan matanya, wajahnya dihiasi senyum lebar sambil memicingkan mata, sorot matanya memancarkan kenakalan, penuh humor dan kecerdikan, katanya, "Li Ang-siu, jangan nakal ya, seorang Song Thiam-ji saja sudah cukup membuatku tobat!"

Li Ang-siu tertawa terpingkal sambil memeluk pinggang, katanya menahan tawa, "Kecuali Song Thiam-ji, memangnya orang lain tidak boleh nakal?"

Coh Liu-hiang menepuk papan dek di sebelahnya, katanya, "Baiklah kau duduk di sini dan menemani aku berjemur. Karanglah sebuah cerita untuk kudengar, cerita banyolan yang lucu, dengan akhir cerita yang menggembirakan, tragedi menyedihkan di dunia ini sudah cukup banyak."

Li Ang-siu menggigit bibir, katanya, "Aku tidak mau duduk, tak mau bercerita, aku pun tak mau berjemur... sungguh tak terfikir olehku, kenapa kau suka berjemur. "Lain di mulut lain di hati,

katanya tidak mau berjemur, justru dia berjongkok dengan perlahan dan duduk di pinggir orang, malah kedua kakinya terjulur agar tersorot sinar matahari.

"Apa jeleknya berjemur? Seseorang asal bisa meniru sifat matahari, dia pasti takkan melakukan perbuatan yang hina dan memalukan. Siapa pun bila berada di bawah sorotan sinar matahari yang sejuk menyegarkan ini, dia pasti takkan memikirkan sesuatu yang jahat."

"Aku justru sedang memikirkan hal jahat, "ujar Li Ang-siu sambil mengerling penuh arti. "Tentu kau sedang mencari akal supaya aku merangkak bangun mengerjakan sesuatu, betul

tidak?"

"Kau ini memang setan, segala persoalan tak bisa mengelabuimu," lamat-lamat suara tawa cekikikannya pun berhenti, lalu katanya pula, "Tapi kau memang harus mengerjakan persoalan ini, sejak pulang dari kotaraja, kau selalu tiduran, bila terus-terusan begini maka kau tentu akan menjadi bajingan."

Coh Liu-hiang menghela nafas, "Kau ini mirip dengan guru sekolahku waktu kecil, kecuali kau tidak punya jenggot kambing seperti dia."

Seketika mata Li Ang-siu melotot, Coh Liu-hiang tertawa lebar, katanya pula, "Di kotaraja aku sudah menghadapi tampang-tampang orang yang mengagulkan diri sebagai Enghiong, kecuali si Elang Gundul tua bangka itu yang punya sedikit kepandaian, yang lain gentong nasi belaka. Ban Bu-tik katanya berkepandaian tinggi, sepasang potlotnya menurut kabar bisa menotok dua ratus delapan belas Hiat-to di tubuh orang. Namun ketika aku berkelebat di sampingnya, ia hanya berdiri seperti baru bangun dari mimpi." Li Ang-siu membuka mulut, "Siapa yang tidak tahu ginkang Coh-toasiauya tiada bandingannya... tetapi Coh-toasiauya, bualanmu sudah selesai belum?"

"Sudah habis, nona Li ada petunjuk apa?"

"Akan kuajukan beberapa persoalan padamu," kata Li Ang-siu sambil mengeluarkan sejilid kitab tipis kecil dari lengan bajunya. "Barang yang kau ambil di Kilam tempo hari terjual tiga puluh laksa tail. Untuk membantu keluarga Ong-piauthau Liong-hou piaukiok selaksa tail, pembantu keluarga Tio dan Thio masing-masing disokong lima ribu tail, untuk membantu Ong-siucay melunasi ongkos penguburan seribu tail, membeli kado pernikahan Tio Kok-bing seribu lima ratus tail, untuk menyumbang The. "

Coh Liu-hiang menghela nafas, tukasnya, "Memangnya aku tidak tahu semua itu?"

Li Ang-siu meliriknya, katanya, "Pendek kata, tiga puluh laksa tail itu telah habis dibagikan, lima ribu tail yang kau sedot dari pengeluaranmu sendiri pun telah aku gunakan empat ribu tail untuk keperluan kita."

Coh Liu-hiang tertawa getir, "Nona, memangnya kau tidak bisa sedikit berhemat?" "Apa hidupmu belum cukup mewah? Orang-orang usil di kalangan Kangouw mulai

membicarakan kejelekanmu, orang tidak tahu, uang yang kau pakai adalah milikmu sendiri, semua bilang kau pura-pura dermawan lantaran memakai uang hasil curian."

"Persetan dengan omongan orang, perduli apa dengan kita? Hidup manusia di dunia ini apa artinya kalau tidak berfoya-foya, mengapa kita harus hidup menderita? Mengapa kau berubah menjadi sedemikian cupat?"

"Aku tidak menyuruhmu hidup menderita, aku cuma. "

"Kalian sedang mengobrol tentang apa? Apa tidak lapar?" tiba-tiba berkumandang suara dari ruang bawah.

Li Ang-siu geli mendengar logat orang, katanya tertawa, "Terlalu, memangnya dia tidak bisa bicara dengan logat yang enak didengar orang lain?"

"Kau tidak perlu mencelanya, dengan susah-payah dia memasak buat kita, namun kau tidak mau makan, tak heran kalau dia marah-marah. Orang kalau marah, logat kampung-nya pun akan dibawa serta, "demikian ujar Coh Liu-hiang. Tampaknya ia tidak bergerak, tahu-tahu sudah menarik tangan Li Ang-siu sembari berbangkit.

Dengan sengaja Li Ang-siu merengek aleman, "Segala urusan selalu kau membela Thiam-ji, maka dia. "belum habis bicara, tiba-tiba raut mukanya berubah, serunya tertahan, "Coba lihat,

apa itu?"

-ooo-

Permukaan laut ditimpa cahaya sang surya, tampak sesosok bayangan orang terapung mendatangi terbawa oleh arus, ternyata sesosok mayat manusia.

Hanya dengan memutar badan, Coh Liu-hiang sudah berada di pinggir dek, sekali raih ia menarik segulung tali terus diikatnya, sekali ayun tali panjang itu melesat seperti anak panah langsung mengarah pada mayat terapung itu, seperti ular hidup saja, tali dengan tepat dan persis menjerat mayat itu. Mayat ini masih mengenakan pakaian sutera halus yang mahal, pinggangnya menyoren pipa cangklong terbuat dari batu pualam, raut mukanya hitam legam melepuh besar. Dengan perlahan Coh Liu-hiang meletakkan mayat itu di atas dek, katanya sambil menggeleng, "Tak tertolong lagi."

Sebaliknya Li Ang-siu mengamati kedua tangan mayat itu, tampak jari tengah dan jari manis tangan kiri mayat itu masing-masing terpasang cincin emas hitam mengkilap terbuat dari baja murni. Tangan kanannya tidak mengenakan cincin, tapi ada bekas jalur putih yang menandakan biasanya pada jari tengahnya itu pun mengenakan cincin.

Berkerut alis Li Ang-siu, katanya, "Chit-sing-hwi-hoan (Cincin Terbang Tujuh Bintang), mungkinkah orang Thian-sing-pang?"

"Ya, dari Thian-siang-pang, malah pimpinan tertingginya Chit-sing-toh-hun (Tujuh Bintang Perenggut Nyawa) Cou Yu-cin. Tetapi Thian-sing-pang biasanya bercokol dan berkuasa di daerah Hoan-lam, mengapa dia bisa mati di tempat ini?"

"Badannya tidak terluka, mungkinkah dia mati karam?"

Coh Liu-hiang menggelengkan kepala, perlahan ia menyingkap baju orang, terlihat tulang rusuk ke-lima di dada sebelah kiri, antara Yu-kin-hiat dan Ki-hun-hiat, bercap sebuah telapak tangan warna merah darah.

"Cu-soa-ciang!" seru Li Ang-siu menghela nafas.

"Akhir-akhir ini dari Cu-soa-bun telah muncul beberapa tokoh muda yang lihai, jumlah anak murid kurang lebih tujuh puluhan, namun yang bisa mengalahkan dan membunuh Chit-sing-toh- hun tidak lebih dari tiga orang."

"Ya, Pang, Nyo, Sebun ilmu silat ketiga orang ini mungkin lebih unggul dari Cou Yu-cin."

"Tapi ada permusuhan apa antara Cu-soa-bun dan Thian-sing-pang?"

Li Ang-siu berfikir, lalu menjawab, "Tiga puluh tujuh tahun yang lalu, Sing-tong Hiangcu dari Thian-sing-pang mempersunting puteri kedua Ciangbunjin Cu-soan-bun waktu itu, Pang Hong. Dua tahun kemudian, nona Pang meninggal dunia. Pang Hong lalu meluruk ke markas Thian-sing- pang untuk mengusut persoalan ini, akhirnya diketahui ternyata nona Pang memang meninggal dunia lantaran sakit keras, tapi hubungan kedua keluarga sejak itu terputus."

"Masih ada yang lain?"

"Dua puluh enam. mungkin dua puluh lima tahun yang lalu, Thian-sing-pang pernah

merampas barang kawalan yang dilindungi oleh anak murid Cu-soa-bun. Waktu itu kebetulan Pang Hong baru saja wafat setelah sakit tua, fihak Cu-soa-bun sedang sibuk memilih calon Ciangbunjin penggantinya, maka urusan itu tertunda setahun berikutnya. Meski murid Thian-sing- pang yang merampas barang kawalan itu sudah mengaku salah dan meminta maaf, namun barang-barang itu tidak pernah dikembalikan."

Peristiwa dua puluh lima tahun yang lalu ia tuturkan dengan hafal dan fasih sekali, seolah-olah sedang menceritakan sejarah rumah tangga leluhur sendiri.

Coh Liu-hiang tertawa lebar, katanya, "Ingatanmu memang tidak pernah mengecewakan orang lain. tetapi semua peristiwa itu sudah berlalu, juga tidak terhitung permusuhan dendam kesumat

sedalam lautan, fihak Cu-soa-bun tidak akan menguntit Cou Yu-cin sampai di sini lantaran peristiwa lama itu, lalu turun tangan keji, pasti dalam peristiwa ini ada latar belakang atau ada sebab-musabab yang belum kita ketahui."

Sekonyong-konyong seorang gadis lain muncul dari ruang bawah, serunya dengan bersungut- sungut, "Kalian sedang mengobrol apa?" Dia pun memakai pakaian lebar yang amat longgar, berwarna kuning seperti bulu angsa, setiap langkah kakinya memperlihatkan pahanya yang halus, betis kakinya yang indah dan kulit kakinya yang putih lembut.

Rambutnya yang panjang hitam legam diikal menjadi dua jalur kuncir, waktu memburu keluar gerak-geriknya lincah, kedua kuncirnya bergoyang-gontai, raut mukanya yang bundar seperti kwaci berwarna abu-abu pudar, dihiasi sepasang biji mata yang jelas perbedaan hitam putihnya, kelihatan amat menawan, cantik dan nakal. Mukanya sedang bersungut mendongkol, tetapi begitu melihat mayat itu, mendadak ia menjerit ketakutan, lalu memutar badan terus lari terbirit-birit masuk kembali ke ruang bawah, larinya malah lebih cepat daripada waktu datangnya tadi.

"Nyali Thiam-ji biasanya besar bila melakukan tugas berat apa pun, tapi setiap kali melihat mayat, takutnya setengah mati, makanya sering kukatakan, siapa yang bisa menundukkan dia, hanya orang mati yang bisa mengekang dirinya."

Dengan nanar Coh Liu-hiang mengawasi permukaan laut nan jauh di sana, katanya kalem, "Coba tunggu saja, mayat yang terapung lewat di sini kupastikan tidak hanya satu."

Belum lagi Li Ang-siu sempat buka suara, tiba-tiba dari ruang bawah di balik pintu, terlihat tangan halus putih terjulur keluar mendorong sebuah nampan besar. Nampan besar itu diletakkan di atas dek, di atasnya ada dua ekor burung dara yang dipanggang matang, jeruk kuning teriris merekah, beberapa kerat potongan daging kerbau, separoh ayam goreng, seekor ikan gurame, di samping itu ada pula secawan air tomat kental, dua piring nasi putih, sebotol anggur berwarna merah coklat, botol itu basah oleh butiran-butiran air yang menguap, agaknya baru dikeluarkan dari rendaman es batu.

Tatkala itu Coh Liu-hiang sudah menurunkan jangkar, sehingga perahu mereka berlabuh di tengah lautan. Tanpa sungkan-sungkan Coh Liu-hiang gegares semua hidangan yang sudah disiapkan untuk dirinya, belum lagi ia habis menggeragoti seekor burung dara, betul juga dari arah semula terapung datang pula sesosok mayat orang.

Mayat ini mengenakan jubah pendek warna merah legam, panjangnya cuma sampai ke lututnya, meski raut mukanya sudah terendam air laut tapi kelihatan masih sedemikian putih bersih, usianya paling baru empat puluhan, di bawah dagunya memelihara jenggot pendek, namun ujung matanya belum memperlihatkan kerut-kerut kulit muka. Telapak tangan kirinya halus, telapak tangan kanan sebaliknya begitu kasar dan jelek sekali, otot-otot tulangnya menonjol keluar, hampir satu kali lipat lebih besar daripada telapak tangan kirinya. Waktu telapak tangannya dipentang, warnanya mirip dengan jubah yang dipakai.

Mata Li Ang-siu yang bening terbelalak membundar, katanya kaget, "Orang ini adalah Sat-jiu- suseng (Pelajar Bertangan Pembunuh) Sebun Jian."

Coh Liu-hiang menghela nafas, "Sebun Jian membunuh Cou Yu-cin, namun dia terbunuh pula oleh orang lain."

"Tapi siapa pula yang membunuhnya?" tanya Li Ang-siu seperti menggumam. Habis bicara matanya menjelajahi keadaan tubuh orang, terlihat luka berlubang di tenggorokan Sebun Jian, darah sudah tersapu bersih oleh air laut, kulit dagingnya berwarna abu-abu merekah membesar. Li Ang-siu menarik nafas, katanya, "Luka tusukan pedang."

Coh Liu-hiang mengiyakan sambil manggut-manggut. "Lebar luka pedang ini cuma satu dim lebih, di dalam Bulim cuma Hay-lam dan Lao-san dua aliran besar ilmu pedang yang biasa menggunakan pedang setipis dan sesempit seperti ini."

"Tidak salah," kata Coh Liu-hiang mengiyakan.

"Hay-lam dan Lao-san, dua partai ini berjarak tidak jauh dari sini, tetapi ilmu pedang Lao-san hanya diajarkan pada murid-murid tosu yang beragama, mengutamakan welas asih dan berjiwa luhur, jadi Sebun Jian mati tertembus pedang murid Hay-lam-kiam-khek yang ganas dan telengas, benar-benar peristiwa yang aneh dan membingungkan."

"Aneh?" Coh Liu-hiang mengerutkan kening.

"Rasanya Hay-lam-pay tiada dendam dan tidak ada permusuhan dengan Cu-soa-bun, malah boleh dibilang punya hubungan yang cukup erat. Delapan tahun yang lalu, Cu-soa-bun diserbu dan dikepung oleh Bin-lam-chit-kiam, dari tempat ribuan li Hay-lam mengirim anak buah memberi bantuan, sekarang tokoh kosen Hay-lam-pay membunuh Tianglo Cu-soa-bun, sungguh membingungkan dan tak bisa dimengerti."

Coh Liu-hiang menghela nafas, "Tanpa sebab Cou Yu-cin mampus di tangan Sebun Jian, sebaliknya Sebun Jian terbunuh pula oleh murid Hay-lam-pay, sebetulnya rahasia apa yang terselip dalam peristiwa ini?"

Li Ang-siu tertawa manis, katanya, "Memangnya kau hendak turut campur urusan orang lain?" "Bukankah tadi kau bilang aku terlalu malas? Akan kuselesaikan persoalan ini supaya kau bisa

membuktikan apakah aku malas atau seorang cerdik pandai."

"Kukira peristiwa ini berlatar-belakang dan berbuntut luas dan panjang, lagi pula amat berbahaya. Yong-cici sedang sakit, menurut hematku, lebih baik kita tidak melibatkan diri dalam peristiwa ini."

"Segala persoalan yang berbahaya selalu mendorong hasratku untuk menyelesaikannya.

Semakin menyangkut rahasia yang lebih rahasia, pasti nilai benda yang tersangkut-paut pun amat mahal, memangnya aku hanya berpeluk tangan saja melihat peristiwa ini?"

"Aku tahu kalau kau tidak berhasil membongkar rahasia ini, pasti kau tidak bisa tidur nyenyak, sejak dilahirkan kau memang sudah ditakdirkan untuk menjadi tukang mengurus persoalan orang lain," Tiba-tiba tawanya semakin lebar, katanya pula, "Tapi persoalan ini tiada berujung pangkal, seumpama menggagap jarum di laut. Sampai detik ini, tidak ada satu pun sumber penyelidikan, kau hendak mencampuri urusan ini, kurasa kau tak akan bisa turun tangan."

"Coba kau tunggu saja, sumber penyelidikanku lambat-laun akan semakin banyak," Setelah meneguk arak, Coh Liu-hiang mulai menggerogoti paha ayam dan makan-minum dengan lahapnya di atas geladak.

"Aku kagum melihat seleramu. Dalam keadaan seperti ini kau masih bisa makan dengan lahapnya."

Tanpa terasa kakinya bergeser ke pinggir, tangannya bersandar pada pagar besi, pandangan matanya mengawasi permukaan laut di kejauhan sana.

Dilihatnya sesosok mayat lain terapung di permukaan, seperti terbawa oleh arus ke arah sini.

Ternyata mayat ini adalah seorang Tosu berjubah hijau dengan wajah yang dipenuhi jambang. Tangan-kakinya telah dingin kaku, tetapi jari-jarinya masih menggenggam sepotong pedang buntung, badan pedang yang sempit panjang masih memancarkan cahaya dingin, rambut kepalanya awut-awutan menutupi separoh wajah, batok kepalanya terbelah dua. Sungguh mengenaskan kematian orang ini, sampai Li Ang-siu memalingkan muka tak tega melihat keadaannya yang mengerikan.

"Ternyata betul murid Hay-lam-pay." "Kau. kau kenal dia?"

"Ya, orang ini adalah Ling-ciu-cu, salah seorang dari Hay-lam-sam-kiam (Tiga Pedang dari Hay-lam-pay), keganasan ilmu pedangnya di dalam Bulim hanya ada beberapa orang saja yang bisa menandingi."

"Sekali tusuk melubangi tenggorokan orang, tidak nyana batok kepala sendiri pun terbelah menjadi dua oleh bacokan orang," Sepintas ia berpaling melihat sebentar, lalu katanya pula, "Dilihat dari keadaannya, waktu bacokan orang itu meluncur tiba, dia tidak mampu berkelit lagi, terpaksa ia mengangkat pedang menangkis, tidak dinyana, bukan saja orang itu mampu membacok putus pedangnya, kekuatannya yang hebat masih kuasa membelah batok kepalanya pula. Hay-lam-cui-kiam kabarnya terbuat dari gemblengan besi dingin dari dasar lautan, orang itu mampu membacok pedangnya hingga putus, ai. pedang yang tajam! Pedang yang berat!"

"Dari mana kau tahu kalau lawannya itu menggunakan pedang?"

"Tokoh silat kenamaan yang menggunakan golok di Bulim zaman ini, siapa yang mampu mendesak Ling-ciu-cu hingga tidak mampu mengegos lagi. tiada jurus ilmu pedang Hay-lam-

kiam-pay yang tidak menggunakan kekerasan, kalau dia tidak terdesak dan terpaksa, mana mungkin ia mengangkat pedang untuk menangkis bacokan golok musuh yang mengarah batok kepalanya?"

"Benar," Coh Liu-hiang manggut-manggut. "Perubahan ilmu golok memang tak selincah dan serumit ilmu pedang umumnya. Bagi orang yang bergaman golok, jika hendak mendesak lawan yang bersenjatakan pedang hingga tidak mampu berkelit lagi, memang sesukar memanjat ke langit," ia tertawa lebar, katanya lebih lanjut, "Tapi kau melupakan seseorang."

Biji mata Li Ang-siu bersinar, katanya tertawa, "Kalau yang kau maksud Bu-ing-sin-to (Golok Sakti Tanpa Bayangan) Ca Bok-hap, dugaanmu salah besar."

"Mengapa salah?"

"Ca Bok-hap sebagai tokoh nomor satu dalam ilmu golok, kecepatan ilmu goloknya tiada wujud, tidak kelihatan bayangannya. Waktu ia membacok, mungkin Ling-ciu-cu belum sempat tahu dari arah mana sambaran golok itu datang, terpaksa ia mengangkat pedangnya untuk menangkis, namun Toa-hong-to merupakan salah satu senjata pusaka dari tiga belas senjata sejati di kolong langit, rasanya cukup berlebihan untuk membacok Hay-lam-cui-kiam."

"Nah, uraianku kan sudah cocok dengan keadaan?"

"Tapi kau jangan lupa, Ca Bok-hap malang-melintang tiga puluhan tahun di padang pasir, julukannya "Soa-mu-ci-ong" (Raja Padang Pasir), untuk apa dia jauh-jauh meluruk ke sini?"

"Kau bilang tidak mungkin, sebaliknya aku berpendapat kemungkinan besar ya." "Kau ingin bertaruh denganku?"

"Aku tidak mau bertaruh denganmu, karena jelas kau akan kalah."

"Boleh kalian bertaruh, siapa kalah harus mencuci mangkuk-piring selama setengah bulan," tiba-tiba terdengar suara menyeletuk dari ruang bawah.

"Setan cilik, memang kau biasa mengambil keuntungan dari kekalahan orang lain," semprot Li Ang-siu.

Coh Liu-hiang terlongong sambil bertopang dagu di pinggir geladak, seolah-olah ia tidak mendengar percakapan mereka.

"Apa yang sedang kau tunggu?" tanya Li Ang-siu mendekati. "Apa kau sedang menunggu Ca Bok-hap?"

"Mungkin. "

"Sia-sia saja, Raja Padang Pasir takkan datang, seumpama kemari, tiada seorang pun yang mampu membunuh dia."

"Cou Yu-cin jarang bergaul dengan Sebun Jian, kenapa Cou Yu-cin dibunuhnya? Ling-ciu-cu tiada dendam permusuhan dengan Sebun Jian, mengapa Sebun Jian dibunuh? Ca Bok-hap dan Ling-ciu-cu, yang seorang tinggal di ujung laut, yang lain tinggal di ujung langit, jelas tiada hubungan antara satu dengan lainnya, kenapa pula Ling-ciu-cu sampai dibunuh olehnya?" Coh Liu-hiang menghela nafas, katanya lebih lanjut, "Itu menandakan banyak persoalan dalam peristiwa ini, semuanya belum bisa ditentukan."

Kini sudah lewat lohor, sejak pertama kali menemukan mayat, kira-kira sudah dua jam berselang, di atas geladak terbaring tiga sosok mayat manusia, ternyata mayat keempat sudah terapung mendatangi terbawa arus.

Kalau ketiga mayat terdahulu terapung dan naik-turun mengikuti alunan gelombang, mayat yang ini justru seperti kantong kulit yang berisi hawa padat, seluruh badannya terapung di permukaan air. Menghadapi tiga mayat seram terdahulu, Li Ang-siu masih berani melirik dua tiga kali, tapi begitu melihat mayat yang ini, meski hanya sekilas saja, seluruh badannya terasa menggigil dan mengkirik bulu kuduknya, serta tak berani melihatnya lagi.

Awalnya badan mayat ini entah gemuk atau kurus, Coh Liu-hiang sendiri tidak bisa membedakan, yang terang mayat ini sekarang sudah melembung besar seperti diisi air, malah sebagian anggota badannya sudah mulai membusuk. Berapa usia mayat ini, tua atau muda, Coh Liu-hiang juga sukar menebak, karena rambut dan alis serta bulu badannya sudah sama rontok dan mengelupas kulitnya. Demikian pula biji matanya mencotot keluar hampir pecah, seluruh kulitnya sudah berubah warna abu-abu gelap, sehingga membuat orang mual dan ngeri, menyentuh dengan jari pun Coh Liu-hiang merasa enggan.

"Racun yang hebat sekali," ujar Li Ang-siu. "Biar kuminta Yong-ci naik memeriksanya, sebetulnya racun macam apakah ini?"

"Racun ini, Yang-yang pun tak akan mengenalnya," kata Coh Liu-hiang.

"Kau membual lagi, meski ilmu silatmu cukup hebat, namun dalam hal Am-gi, belum tentu kau lebih unggul dari Thiam-ji, bicara soal menyamar dan merias serta kepandaian menggunakan racun, kau bukan apa-apa dibanding Yong-ci." "Tapi orang ini mati bukan lantaran terkena racun saja." "Bukan racun, memangnya gula?"

"Boleh juga dianggap gula. air gula."

Li Ang-siu melengak, serunya heran, "Air gula?"

"Itulah hasil ramuan Sin-cui-kiong yang dibanggakan, di kalangan kangouw dinamakan Thian- it-sin-cui, sementara murid-murid Sin-cui-kiong menamakannya Jiong-cui."

"Memangnya Thian-it-sin-cui jauh lebih hebat dan lebih beracun daripada segala macam racun yang ada di kolong langit ini?"

"Sudah tentu, kabarnya bobot setitik Thian-it-sin-cui sama dengan tiga ratus gantang air biasa, orang biasa cukup minum setetes saja, kontan jiwanya akan melayang karena seluruh badannya akan meledak," kata Coh Liu-hiang menghela nafas, lalu menambahkan, "Thian-it-sin-cui tidak berbau tidak berwarna, sukar dicoba dan sukar diketahui kelainannya, maka si raja padang pasir pun tak terhindar dari bokongannya."

"Jadi. orang ini adalah Ca Bok-hap?"

"Ehm!" Coh Liu-hiang manggut-manggut.

"Badannya sudah berubah sedemikian rupa, dari mana kau bisa mengenalinya?" "Pakaian yang dikenakannya meski baju biasa, namun kakinya mengenakan sepatu kulit

domba yang tinggi, terang dia adalah seorang penggembala. Kulit badannya putih halus, sebaliknya kulit muka kasar, itu karena dia biasa mondar-mandir di padang pasir, di pinggangnya tergantung gelang baja peranti untuk menggantung golok, namun golok dan sarungnya sudah hilang, menandakan bahwa senjata yang dia bawa adalah golok pusaka, maka sudah diambil oleh orang yang mengincarnya."

"Dari beberapa petunjuk yang ada ini, aku yakin orang ini pasti si raja padang pasir Bu-ing-sin- to Ca Bok-hap adanya," kata Coh Liu-hiang lebih lanjut.

"Kulihat kau memang cocok menjadi opas, setiap persoalan pembunuhan yang kau usut tentu lebih sempurna dan lihai daripada si Elang Gundul yang tersohor sebagai opas nomor wahid di seluruh jagad ini."

"Masih ada lagi," kata Coh Liu-hiang tertawa. "Di atas badannya tergantung sebuah lencana perak, di atas lencana ini terukir seekor onta bersayap. Kalau aku tidak bisa menebak bahwa orang ini adalah si raja padang pasir, tentulah aku ini seorang yang sudah pikun."

Kembali Li Ang-siu cekikikan geli, katanya, "Kau memang seorang cerdik yang hebat." Tetapi segera sirna seri tawanya, katanya pula dengan mengerut kening, "Soal apa yang menggerakkan hati si raja padang pasir dan murid-murid Sin-cui-kiong? Terang persoalan ini pasti tidak kecil artinya, kini si raja padang pasir sudah ajal, jelas. "

Coh Liu-hiang segera menukas, "Kau hendak membujuk aku agar berpeluk tangan saja, bukan?"

"Aku tidak ingin membujukmu, cuma kuharap kau jauh lebih berhati-hati." Coh Liu-hiang menengadah mengawasi segumpal awan yang melintas, katanya tertawa, "Kabarnya murid-murid Sin-cui-kiong adalah dara ayu jelita yang jarang dicari bandingannya, entah bagaimana kalau dibandingkan dengan ketiga nona kami?"

Li Ang-siu tertawa getir sambil menggeleng kepala, "Apa kau tidak bisa bicara yang benar?"

Satu jam sudah berlalu, suasana lautan tetap hening lelap, tiada pertanda sesuatu gerakan apa pun.

"Kurasa kau tidak perlu menanti pula," ujar Li Ang-siu.

"Kalau tidak ada mayat yang lain, maka persoalan ini berhenti pada utusan dari Sin-cui-kiong. Kalau orang-orang ini memperebutkan benda mestika, maka benda pusaka itu sudah pasti jatuh ke tangan utusan Sin-cui-kiong."

"Kalau ada mayat lainnya pula?"

"Perduli apa, berapa pun banyaknya mayat manusia, cukup kita perhatikan dan sadari mayat terakhir terbunuh oleh siapa, maka sumber penyelidikan sudah berada di tangan kita."

"Kau yakin tokoh-tokoh kosen ini mati karena memperebutkan benda pusaka?" "Manusia mampus lantaran harta benda, setidaknya orang-orang ini tetap manusia."

Li Ang-siu melepaskan pandangan ke arah nan jauh, katanya perlahan, "Benda pusaka yang menarik, sampai tokoh-tokoh kosen seperti mereka pun ikut berebut, maka barang ini tentu amat berharga dan mengejutkan," Lama-kelamaan ia menjadi tertarik oleh persoalan ini, terbukti dari sorot matanya yang bercahaya.

Song Thiam-ji yang berada di ruang bawah mendadak bersuara pula, "Kalian tidak tahu kalau Yang-yang punya seorang bibi misan yang berada di Sin-cui-kiong?"

"Oh, Yang-yang punya seorang bibi misan yang menjadi murid Sin-cui-kiong? Dua hari ini apakah kesehatannya sudah lebih baik? Apa masih mengalirkan air liur?"

"Kau ingin dia naik ke atas?" tanya Li Ang-siu. "Sudahlah, orang demam pilek lebih baik tiduran saja."

Terdengar seorang menyahut dengan suara lembut, "Tidak menjadi soal, sakitku memang sudah sembuh, mendengar kata-katamu, aku. "

Terdengar Song Thiam-ji berseru pula, "Yong-ci jangan kena tipu, dia sudah tahu kau datang, maka sengaja dia mengeluarkan kata-kata prihatin padamu."

Suara lembut itu menjawab, "Seumpama dia memang berkata begitu, asal dia suka mengatakan, aku sudah senang." Sesosok bayangan semampai dengan langkah kaki gemulai seenteng asap melenggok muncul dari tangga kayu dari ruang bawah.

Gadis ini mengenakan jubah panjang yang longgar dan lemas, kepanjangan sampai terseret di atas geladak dan menutupi seluruh kakinya, cahaya matahari yang benderang menyinari rambut panjangnya yang terurai mayang, biji matanya bening, membayangkan senyum manisnya nan lembut, selintas pandang seolah bidadari dari kahyangan. "Yang-ci, "seru Li Ang-siu membanting kaki, "Angin begini besar, buat apa kau naik ke sini?

Awas nanti kau jatuh sakit lagi dan tidak bisa bangun, kongcu kita yang romantis bisa marah pada kami."

"Di atas sini panas dan gerah, siapa yang tahan menyekap diri di ruang bawah, lagipula aku pun ingin melihat apakah benar murid Sin-cui-kiong bakal datang." Tangannya membawa seperangkat kimono yang lembut halus, dengan perlahan ia melampirkannya ke atas badan Coh Liu-hiang, lalu katanya lembut, "Cuaca mulai dingin, awas nanti kau pun terkena demam."

Coh Liu-hiang tertawa, katanya, "Kau selalu memperhatikan orang lain, sebaliknya tidak prihatin terhadap dirimu sendiri. asal kau memperhatikan dirimu, masa kau bisa sakit."

Li Ang-siu mencibirkan bibir, lalu katanya, "Memangnya kami yang tidak pernah sakit, tidak pernah memperhatikan kesehatanmu."

So Yang-yang menepuk kedua pipinya, katanya tertawa, "Terlalu banyak bermakan hati, kau bisa cepat bertambah tua."

Li Ang-siu memeluknya, katanya cekikikan, "Aku ini memang kutu busuk yang suka cemburu dan makan hati, Yong-ci, mengapa kau tetap baik pada diriku?" Tubuh So Yang-yang yang semampai dan lemah dipeluknya dan diangkat ke atas.

Pada saat itulah mayat kelima terapung tiba.

-ooo-

Kalau dinilai secara keseluruhan, mayat ini sudah bukan mayat yang lengkap lagi, karena anggota badan sebelah kiri terbelah dari pundak, seluruh lengan kirinya sudah hilang. Untung mukanya masih dalam bentuk lengkap, jadi masih jelas kelihatan wajahnya yang jelita, pembunuh yang telengas itu agaknya tak tega merusak raut wajahnya yang cantik.

Badannya mengenakan pakaian dari kain sari panjang, pakaian tanpa potongan dan model, karena begitu saja dari atas ke bawah sari halus itu membelit badannya, di tengah pinggangnya mengenakan sabuk tali sutera warna perak, kedua kakinya yang indah mengenakan sepatu dari bahan yang sama seperti sabuk peraknya.

Pakaian sari yang tinggal separoh itu berlepotan darah, jika tidak mengenakan sabuk tali perak, tentu kain sari halus yang melilit tubuh itu sudah hanyut terbawa gelombang laut, meski demikian badannya sudah hampir telanjang.

Lekas So Yang-yang memalingkan muka, matanya yang elok sudah berlinang air mata.

Li Ang-siu pun memejamkan mata, katanya, "Yong-ci, menurutmu apakah dia murid Sin-cui- kiong?"

So Yang-yang manggut-manggut tanpa bersuara.

"Perempuan secantik ini siapa tega membunuhnya?" ujar Coh Liu-hiang gegetun. "Orang yang bertangan keji ini pun sudah ajal," kata Li Ang-siu.

"Maksudmu Ca Bok-hap?" "Sudah tentu Ca Bok-hap, kecuali dia, siapa pula yang mampu melancarkan serangan golok sedemikian cepat?"

"Ehm!" kembali Coh Liu-hiang memanggut.

"Setelah tahu dirinya terkena racun, menggunakan sisa tenaga yang masih ada, dia membacok lawan, hatinya dirundung kebencian yang meluap, maka bacokannya itu menghasilkan akibat yang mengerikan, keji dan berat."

"Semua uraianmu itu memang masuk akal," ujar Coh Liu-hiang.

"Kini sumber penyelidikan yang kita tunggu sudah putus, kita pun tak perlu bersusah-payah lagi."

"Memang tiada perkara lagi?"

"Semua orang yang bersangkutan sudah mati, masih ada perkara lain?" "Kau yakin dia mati di tangan Ca Bok-hap?"

"Memangnya bukan?"

"Jangan kau lupa, setelah Ca Bok-hap mati, Toa-hong-to mungkin jatuh ke tangan orang lain. Dengan menggunakan Toa-hong-to, orang itu bisa membunuh dia supaya orang lain menyangka persoalan ini sudah tamat sampai di sini."

"Ah, benar juga fikiranmu."

"Kalau dia ingin orang berpendapat demikian, maka peristiwa ini sudah tentu belum berakhir.

Menurut pendapatku, persoalan ini justru baru dimulai."

"Kalau begitu, mengapa dia tak melenyapkan saja mayat-mayat ini, supaya orang tak mampu membedakan dan mengenali mayat-mayat ini, mana mungkin mengusut persoalan ini pula?"

"Orang-orang ini adalah tokon kosen ternama di kangouw, boleh dikata adalah pimpinan tertinggi cabang persilatan. Jika mereka mendadak menghilang bersama, anak murid atau anggota perguruan mereka masa tidak menyelidiki dan mencari jejak mereka?"

"Oleh karena itu. "So Yang-yang mengerut kening.

"Oleh karena itu dia harus bertindak sesuai rencana, supaya orang lain menyangka kelima orang ini saling bunuh, sehingga anak murid dan anggota perguruan sendiri pun kehilangan sasaran untuk menuntut balas, apa pula yang harus mereka selidiki?"

Li Ang-siu menghela nafas, katanya, "Tapi pasti tak terfikir olehnya di dunia ini masih ada orang yang senang mencampuri urusan orang lain."

Coh Liu-hiang tertawa, katanya, "Kukira dia memang tak pernah memikirkan hal itu."

"Tapi siapakah si dia itu? Kemungkinan setiap orang adalah si dia itu sekarang sumber yang

ada pun sudah terputus, kau hendak menyelidiki, bukankah berarti menggagap jarum di lautan?" "Tidak salah," ujar Coh Liu-hiang. Tiba-tiba badannya mencelat tinggi terus terjun ke laut. "Apa yang hendak kau lakukan?" teriak Li Ang-siu. "Mengambil jarum," sahut Coh Liu-hiang sebelum badannya masuk ke air, seperti seekor ikan raksasa, tahu-tahu badannya sudah hilang ditelan air laut. Permukaan laut ditimpa sinar matahari keemasan, sama sekali tidak menimbulkan percikan sedikit pun.

"Yang-ci, kau...," seru Li Ang-siu sambil membanting kaki. "Mengapa kau tidak mencegahnya?"

"Dalam dunia ini, siapa yang mampu mencegah setiap keiinginannya?" sahut So Yang-yang.

So Yang-yang berdua mengeluarkan kain layar yang besar untuk menutupi ke eempat mayat manusia itu. Baru sekarang Song Tham-ji berani menongolkan kepalanya. Tangan kanannya menjinjing sebuah lampion, berbentuk bagus, sementara tangan kiri membawa sekeranjang buah- buahan.

Sinar bintang mulai pasang aksi berkelap-kelip di tengah angkasa raya, air laut kelihatan mengeluarkan cahaya cemerlang seperti lembaran kain sutra yang mengkilap, dengan nyaman dan segar mereka duduk berjajar merasakan hembusan angin lalu yang sepoi-sepoi namun dalam sanubari mereka sedikitpun tidak merasa nyaman dan tenteram. Siapa akan merasa segar dan nyaman bila di samping mereka rebah lima sosok mayat manusia.

Lama sudah Coh Liu-hiang pergi jauh di permukaan laut sana, nampak setitik sinar kelap-kelip laksana bintang di tengah lautan, segera Li Ang-siu berseri tawa riang serta berkata: "Aku hanya mengharap jangan sampai dia kena dijala orang karena dianggapnya seekor ikan raksasa."

Song Thiam-ji cekikikan, ujarnya: "Kalau ada orang anggap manusia sebagai ikan, tentu orang itu termasuk saudara tuamu." Belum habis ia bicara, tiba-tiba ia berjingkrak bangun seraya menjerit-jerit, kaki mencak-mencak berlompatan sedang kedua tangan mencakar sana garuk sini, tahu-tahu sebuah benda meluncur jatuh dari lengan bajunya, kiranya itulah seekor ikan.

Li ANg-siu ketika bertepuk tangan dan tertawa besar, serunya: "Bagus, bagus sekali, akhirnya ada orang yang melampiaskan kedongkolanku!"

Entah kapan ternyata Coh Liu-hiang tahu-tahu sudah berdiri di sana, tangannya menjinjing eekor ikan, sebetulnya tangan kananpun menjepit seekor ikan yang lain namun tahu-tahu sudah masuk ke dalam baju Song Thiam-ji saking kaget dan ketakutan, selebar muka Song Thiam-ji sampai pucat pias, sambil banting-banting kaki segera ia memburu hendak mencubitnya.

Coh Liu-hiang tertawa gelak-gelak, katanya: "Barusan aku melihat seorang yang selalu ingin kau temui, kalau sampai sakit kau mencubit aku, aku tidak akan omong lagi."

Song Thiam-ji mencubit lengannya lalu memeluk lehernya, tanyanya: "Siapa dia lekas katakan?"

Coh Liu-hiang mengedipkan matanya, sorot matanya laksana bintang-bintang berkelap-kelip.

Katanya tertawa: "Siapa orang yang paling ingin kau temui? Dalam kolong langit ini petikan harpa siapa paling bagus? Seni lukis siapa paling baik? Syair siapa yang dapat membuat orang kehilangan semangat? Masakan siapa pula yang lezat dan tiada bandingannya di seluruh dunia?"

Belum habis ia berkata, Li Ang-siu sudah menyeletuk seraya bertepuk: "Aku tahu sudah yang kau maksudkan adalah Biau-ceng Bu hoa itulah." Song Thiam-ji tarik tangan Coh Liu-hiang, katanya: "Apa benar kau melihatanya? Dimana dia sekrang?"

"Seorang diri dia duduk di atas sebuah sampan, seperti membaca mantera seperti sedang membaca syair, waktu mendadak aku menongol keluar dari dalam air, air mukanya itu sayang kalian tidak akan pernah melihatanya!"

"Kau kenal dia?" tanya Song Thiam-ji.

"Aku hanya tiga kali bertemu dengan dia, pertama kali, tiga hari tiga malam dia menemani aku minum arak, kedua kali bermain catur lima hari lima malam, dan terakhirnya dia berdebat tentang ajaran Buddha selama tujuh hari tujuh malam dengan aku." Meneguk air tomat, lalu ia menambahkan. "Tentang ajaran Budha sudah tentu aku tidak ungkulan melawan dia, tapi minum arak dia bukan tandinganku."

"Bagaimana permainan catur kalian?" tak tahan Li Ang-siu bertanya.

"Biar kukatakan seri alias sama kuat. Tapi hwesio itu justru tidak mengakui putusan ini!" "Kecuali minum arak dan berkelahi, mungkin apapun kau tidak akan ungkulan melawan

orang." olok Li Ang-siu.

"Omong kosong, paling tidak sola makan aku jauh lebih kuat dari dia," kata Coh Liu-hiang sungguh-sungguh. Saking gelinya Li Ang-siu terloroh-loroh sampai memeluk pinggang.

Sebaliknya Song Thiam-ji menarik-narik lengan bajunya, tanyanya mendesak: "Kenapa tidak kau undang dia untuk mampir kemari?"

"Semula dia mau, tapi baru saja kukatakan ada beberapa gadis cantik ingin bertemu dengan dia, tiba-tiba berubah sikapnya seperti kelinci yang mendadak kena panah, lari terbirit-birit."

"Diakan sudah menjadi Hwesio, kenapa pula harus takut terhadap perempuan?" kata Thiam-ji gemas sambil memonyongkan mulut.

"Justru karena dia seorang Hwesio baru dia takut, kalau bukan Hwesio tentu dia tidak takut." Coh Liu-hiang menjelaskan.

"Kalau dia bukan Hwesio" sela Li Ang-siu. "Ku tanggung dia akan lari datang lebih cepat dari lari seekor kelinci."

So Yang-yang tertawa lembut, timbrungnya: "Khabarnya orang itu adalah Hwesio kenamaan dalam kalangan Buddha, bukan saja Syair, tulis, gambar seni sastra serba pandai, malah silatnyapun termasuk golongan tokoh kosen."

"Memangnya tokoh kosen belaka," sela Coh Liu-hiang. "Malah boleh dikata merupakan salah satu murid dari Siau-lim yang paling menonjol dan paling pintar, sayang dia... sungguh dia terlalu pintar keahliannya terlalu luas dan banyak, namanyapun amat besar dan harum. Maka Thian-ouw taysu dari Siau-lim-si dalam mencantumkan nama-nama calon pengganti Ciangbunjin mendatang, ternyata memilih Bu-siang yang segalanya tidak ungkulan melawan dia." Demikian tutur Coh Liu- hiang.

Tiba-tiba Coh Liu-hiang bertepuk tangan dan berkata: "Sungguh tak nyana, Li Ang-siu ternyata kenalan intim Bu-hoa yang tahu segala seluk beluk." "Sudah tentu dia tidak akan punya sangkut paut dengan peristiwa ini." Demikian sela So Yang- yang, "Adakah kau melihat orang lain pula?"

"Mayat-mayat ini terbawa arus dari arah timur, setiap perahu di sebelah timur asa sudah kuperiksa semua, kecuali Bu-hoa, hanya sebuah perahu lain termasuk milik kaum persilatan."

"Siapa dia?" tanya So Yang-yang.

"Di atas perahu itu terdapat Su-toa_hu-hoat dari Kay-pang, Su-toa tianglo dan Pangcu mereka yang baru. Tahukah kau Jin-lo-pangcu tahun yang lalu sudah meninggal? Coba kau terka siapakah pejabat Pangcu yang baru?"

"Siapa?" balas tanya So Yang-yang. 

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar