Jilid 01
DITENGAH-TENGAH remangnya cuaca senja, sebuah perahu sampan melaju dengan cepatnya dari mulut telaga Tong-ting-ou menuju ke arah bukit Kun-san.
Diujung geladak duduk seorang bocah laki-laki berusia empat lima belas tahunan, ia mempunyai potongan badan yang bagus dengan bibir yang merah, sebaris gigi yang putih dan pakaian serba putih.
Ia duduk diujung geladak dengan wajah riang, matanya melihat kesana kemari, menyaksikan perahu-perahu sampan yang hilir mudik bagaikan kunang-kunang, sekulum senyuman segera menghiasi bibirnya.
Dibelakang bocah laki-laki berbaju putih itu, berdiri seorang pemuda baju hijau yang berusia dua puluh tahunan, alis matanya melentik ke atas dengan mata yang jeli, tubuhnya tegap kekar, mukanya tampan menawan hati.
Cuma sayangnya, pemuda berbaju hijau itu tidak berniat untuk menikmati keindahan malam di telaga tersebut mukanya dingin serius tak tampak senyuman, malah dahinya berkerut, rupanya banyak persoalan yang merisaukan hatinya sehingga mengurangi minatnya untuk memperhatikan alam semesta di sekelilingnya.
Memandang air yang koyak terbelah oleh dayung ia berdiri termenung dengan mulut membungkam.
Di tengah keheningan malam yang menyelimuti sekitarnya tiba-tiba bocah laki-laki berbaju putih itu berbisik, “Toako, ada perahu mendekati kita!”
Yaa, dari depan sana muncul dua titik sinar lentera yang makin lama makin dekat ke arah mereka.
Pemuda baju hijau itu mendesis lalu mengalihkan sorot matanya yang jeli ke arah depan, memandang sampan-sampan di kejauhan sana.
Murungkah dia? Atau sedihkah dia? Apa yang menyebabkan dia bersikap demikian?
Tiba-tiba dua buah sampan kecil itu memisahkan diri, kemudian satu dari sebelah kiri yang lain dari sebelah kanan, dengan kecepatan yang luar biasa langsung menerjang perahu yang mereka tumpangi.
Agaknya kejadian tersebut diluar dugaan sibocah baju putih itu, dengan kaget dia lantas membentak, “Hei, kenapa kalian tumbuk perahu kami……” Sepasang telapak tangannya segera diayun ke depan menyongsong datangnya terjangan sampan-sampan tersebut.
Hembusan angin pukulan menderu-deru, termakan oleh pukulan yang begitu dahsyat kedua buah sampan tadi terseret hingga meluncur lewat dari kedua belah samping sampan mereka.
Suara tertawa dingin segera berkumandang dari atas sampan-sampan tersebut.
Begitu mendengar suara tertawa dingin, paras muka si anak muda berbaju hijau yang semula hambar tanpa emosi berubah hebat, hawa pembunuhan yang tebal mencorong keluar dari balik matanya, ia mendengus lalu bagaikan burung elang yang mencari mangsa tubuhnya melambung ke udara dan langsung menerkam sebuah sampan yang sudah berlalu dari sampingnya itu…….
Saat tubuhnya melambung di udara, tangannya diayun ke muka berulangkali, dan tiga rentetan cahaya putih yang menyilaukan mata langsung mengenai ke atas sampan itu.
Jerit kesakitan yang menyayatkan hati berkumandang memecahkan kesunyian, sesosok bayangan manusia tiba-tiba melambung ke udara dan kabur ke arah telaga.
Pemuda berbaju hijau itu tertawa dingin, begitu badannya melayang turun diatas geladak, telapak tangan kirinya langsung diayun ke muka.
“Aduuh…….!” kembali suatu jeritan ngeri yang menyayatkan hati berkumandang memecahkan keheningan, bayangan manusia yang mencoba kabur itu terhajar telak oleh pukulan musuh hingga tubuhnya tercebur ke dalam air telaga.
Tiba-tiba bentakan nyaring menggelegar di angkasa, “Kalian mau kabur kemana ”
Ternyata pembunuhan yang terjadi di sampan itu menimbulkan kepanikan pada sampan lainnya, orang-orang yang berada dalam sampan itu segera mengambil keputusan untuk melarikan diri.
Tapi si bocah berbaju putih yang bermata jeli tidak berpeluk tangan belaka, mengikuti di belakang pemuda berbaju hijau, tubuhnya langsung menerjang ke arah sampan tersebut.
Tiga orang laki-laki berbaju ringkas berwarna hitam segera berlompat keluar dari ruangan sampan masing-masing bersenjatakan sebilah pedang tajam, begitu musuhnya tiba, serentak menyerang dari tiga jurusan yang berbeda.
Selincah kijang gerak-gerik bocah berbaju putih itu, tubuhnya berputar bagaikan gasingan, tiba-tiba lengan kirinya diayun ke muka dan langsung melepaskan sebuah pukulan gencar.
Salah seorang laki-laki berbaju hitam yang ada di tengah menjerit kesakitan, pedangnya terlepas dan jatuh diatas geladak.
Bocah berbaju putih itu bergerak cepat, sambil memutar badan, ujung jarinya kembali menotok jalan darah Cian-keng-hiat di tubuh laki-laki yang lain. Baik memukul jatuh senjata musuh, maupun menotok jalan darah lawan kedua gerakan itu sama-sama dilakukan dengan kecepatan yang hampir bersamaan waktunya.
Terkesiap laki-laki yang pedangnya terpukul jatuh itu setelah menyaksikan kelihayan kungfu musuhnya, mereka tak sempat memperdulikan nasib rekannya yang tertotok lagi, tanpa komando serentak orang-orang itu melompat ke dalam telaga untuk melarikan diri.
Bocah berbaju putih itu membentak keras, pedangnya berkelebat menusuk ke muka, sekilas cahaya putih membelah angkasa.
Ditengah jerit kesakitan yang memilukan hati, darah berhamburan membasahi seluruh permukaan tanah, tahu-tahu laki-laki itu sudah mati terpapas senjata.
Tapi pada saat yang bersamaan pula, laki-laki di depan sana sudah melompat masuk ke dalam air telaga.
Detik terakhir sebelum laki-laki itu lenyap di bawah permukaan air, suara tertawa dingin kembali berkumandang, pemuda baju hijau yang berada di sampan sebelah kiri telah menyergap tiba secepat meteor, telapak tangannya langsung diayun menghantam permukaan air telaga.
“Plaaak……! Byuuar…! Percikan butir-butir air bermuncratan keempat penjuru, tubuh laki-laki itu mencelat beberapa kaki ke udara, lalu dengan lemas badannya tercebur kembali ke dalam air dan tenggelam ke dasar telaga.
Setelah berhasil membinasakan orang itu, menggunakan tenaga pantulan yang masih tersisa pemuda berbaju hijau tadi melayang kembali ke atas sampan, kemudian memandang bocah baju putih itu, diapun tertawa.
“Adik Liong, ilmu silatmu telah mendapat kemajuan yang amat pesat…….!”
Tampan sekali senyuman itu, lagipula begitu polos dan halus, siapapun tidak akan percaya kalau pemuda sehalus itu sebetulnya memiliki ilmu silat yang amat tinggi dan baru saja secara beruntun membinasakan empat orang musuh tangguh.
Bocah berbaju putih itu tertawa merdu, “Aah…..toako yang lebih cerdik dan cekatan, hampir saja aku terkecoh oleh mereka!”
Tiba-tiba kekesalan dan kemurungan kembali menyelimuti wajah pemuda berbaju hijau itu, begitu suram wajahnya hingga mendatangkan perasaan yang sayu bagi siapapun yang melihat, ia menghela napas ringan.
“Aaai…..! Tampaknya jago-jago lihay dari dunia persilatan sudah mendapat pula berita tentang soal itu!”
Kembali suatu kemurungan menyelimuti raut wajah anak muda itu.
Mendadak bocah berbaju putih itu seperti teringat akan sesuatu, ia berpaling lalu serunya, “Toako, apa salahnya kalau kita tanyai orang ini?” Sambil berkerut kening pemuda berbaju hijau itu mengangguk, tindakan semacam itu tanpa terasa membuat suasana di sekelilingnya bertambah guram.
Setelah mendapat persetujuan, bocah berbaju putih itu lantas membebaskan jalan darah laki-laki yang tertotok tadi, kemudian tegurnya, “Hei! Engkau berasal dari perguruan mana?”
Laki-laki itu berwajah keren gagah dan jelas merupakan orang gagah yang tak takut menghadapi kematian, dengan pandangan gusar ditatapnya sekejap kedua orang itu, kemudian menengadah dan tertawa terbahak bahak.
“Haahh…..haahh…..haahh….. bagi seorang ksatria lebih baik mati terbunuh daripada hidup terhina, bocah bocah kunyuk, tak usah banyak bicara lagi, kalau mau bunuh hayo cepat laksanakan keinginanmu itu.
“Hmm… memangnya kau anggap siauya tak berani membunuh engkau?” teriak bocah baju putih itu dengan wajah melotot penuh kemarahan.
“Hidup sebagai enghiong, matipun sebagai hohan mau bunuh mau cincang cepat lakukan tak nanti toaya mu bakal kerutkan dahi”
Sepasang mata pemuda baju hijau itu kontan mendelik, mukanya juga berubah sedingin es, dengan sinar mata yang menggidikkan hati ditatapnya laki-laki berbaju hitam itu tanpa berkedip.
“Apakah engkau ingin merasakan bagaimana nikmatnya kalau otot-ototmu dipisahkan dan tulang-tulangmu dialihkan posisinya?” dia mengancam.
Bertemu dengan sinar mata si pemuda baju hijau yang begitu tajam, bergidik seluruh perasaan laki-laki berbaju hitam itu, dia merasa betapa buas keji dan kejamnya sorot mata itu hingga melebihi sinar mata majikannya.
Setelah merenung sebentar, laki-laki berbaju hitam itu tertawa dingin. “Heeehhh…..heeehhh…..heeehhh……aku tahu otot-ototku dipisahkan dan tulang-
tulangku dialihkan posisinya, aku akan merasakan kesakitan yang bukan kepalang tapi percuma kalau hendak diterapkan diatas diriku, sebab penyiksaan semacam itu masih terhitung enteng dalam pandangan kami!”
Dengan kening berkerut, pemuda berbaju hijau itu lantas menengadah memandang bintang-bintang di langit, lama sekali dia membungkam.
Mungkin ia sedang merasa heran, apa sebabnya laki-laki itu tak takut mati? Bukankah kematian adalah suatu kejadian yang paling ditakuti oleh setiap manusia?
Tiba-tiba pemuda berbaju hijau itu berkata, “Adik Liong, totok jalan darahnya, kemudian mari kita pergi!”
“Jangan! Jangan!” mendadak laki-laki itu menjadi ketakutan, mukanya berubah hebat, “lebih baik bunuhlah diriku…..” Suaranya begitu tegang, membuat orang jadi keheranan atas sikapnya itu. Ketika jiwanya diancam dengan kematian, dia sama sekali tak takut, tapi ketika pemuda baju hijau itu tak jadi membinasakannya, kenapa laki-laki berbaju hitam itu malah ketakutan setengah mati…..?
Rupanya pemuda berbaju hijau itu bukan seorang laki-laki yang bodoh, dengan kecerdasan otaknya, cukup dipikir sebentar saja dia lantas mengerti kenapa laki-laki berbaju hitam itu rela dirinya dibunuh.
Maka sambil tertawa ujarnya lagi, “Adik Liong, waktu sudah tidak pagi, cepat kerjakan!”
Bocah berbaju putih itu segera menggerakkan jari tangan kanannya siap menotok jalan darah musuhnya.
“Tunggu sebentar!” laki-laki itu berseru cemas, kumohon kepada kalian bunuhlah diriku ini, dan apa yang kalian tanyakan pasti akan kujawab sejujurnya!”
“Bagus sekali!”pelan-pelan pemuda berbaju hijau itu putar badannya, “sekarang akan kuajukan satu pertanyaan, kuminta kaupun segera menjawab pertanyaanku itu, mengerti?”
Laki-laki berbaju hitam itu menghela napas sedih. “Aaai…. tanyalah!”
“Mengapa kau tak mau hidup?”
“Sebab lolos dari cengkeraman kalian justru lebih mengerikan daripada mati secara konyol!”
Pelan-pelan pemuda berbaju hitam itu mengangguk.
“Lantas apa maksud dan tujuan kalian mencari gara-gara dengan kami….?” tanyanya pula.
Laki-laki berbaju hitam itu tertegun.
“Masa kalian tidak tahu kalau Tok liong-cuncu (datuk naga beracun) mau datang ke bukit Kun-san untuk menerima To-liong-leng-pay (lencana pembunuh naga)? Padahal berita besar itukan sudah menggetarkan seluruh dunia persilatan?!”
“Hei, apa yang kami tanyakan jawab saja secara langsung! Mengapa kau singgung- singgung urusan yang tak ada gunanya?” bentak si bocah cilik itu.
“Kami mendapat tugas untuk menghadang serta membinasakan kawanan jago persilatan yang berdatangan ke bukit Kun-san!” jawab laki-laki berbaju hitam itu kemudian.
Tiba-tiba diatas wajah pemuda berbaju hijau itu melintas kembali rasa kesal yang dalam.
“Adik Kiu-liong, binasakan orang itu!”ujarnya kemudian. Si bocah berbaju putih yang bernama Ji Kiu liong itu segera mengayunkan telapak tangannya ke depan, ujung jarinya yang tajam menyambar hanya setengah depa di depan dada laki-laki berbaju hitam itu.
Meski begitu, laki-laki berbaju hitam itu segera mendengus dan tubuhnya langsung tergeletak ke atas geladak dalam keadaan tak bernyawa lagi.
Pemuda berbaju hijau itu menghela napas, pelan-pelan ia melangkah kembali ke sampannya, sementara paras mukanya makin lama berubah makin layu seakan-akan dalam waktu yang amat singkat ia sudah mengidap penyakit yang amat parah hingga tak sanggup berdiri tegak lagi, ia terduduk diujung geladak.
Sementara itu Ji Kiu-liong sudah melompat kembali ke perahunya setelah menenggelamkan kedua buah sampan itu, tapi ia jadi tertegun setelah menyaksikan raut wajahnya itu. Sebab sekalipun ia tahu betapa menyedihkan asal usul toakonya, namun tak diketahui olehnya apa yang menyebabkan toakonya jadi begini putus asa.
“Toako!” Ji Kiu-liong lantas menegur “Jangan sampai merusak kesehatanmu sendiri!”
Pemuda berbaju hijau itu seperti tidak mendengar teguran tersebut, air matanya meleleh keluar membasahi pipinya, memandang air ditengah telaga tiba-tiba ia berteriak keras, “Aku Gak Lam-kun juga manusia yang dilahirkan ayah dan ibu, aku juga manusia yang berhati bersih, tapi mengapa semua orang di dunia ini memandang hina kepadaku?”
Mengikuti teriaknya itu, air matanya semakin deras membasahi pipinya…….
Saat itulah, kenangan lama bagaikan sambaran kilat melintas dalam benaknya dia
teringat kembali pengalamannya yang getir sewaktu masih bocah dulu.
Ibunya sudah lama meninggal, sedang ayahnya adalah seorang guru ilmu sastra yang rudin dan mengajar disebuah sekolahan yang letaknya dalam dusun lain.
Ketika ia berusia tujuh tahun, ayahnya dipecat dari jabatannya karena usianya yang sudah lanjut dan sakit-sakitan.
Karena kehilangan mata pencaharian, sedang keahlian lain tidak dimiliki terpaksa sambil mengemis ayahnya pulang kembali ke rumah, tapi sakitnya disepanjang jalan makin bartambah parah, tiga tahun kemudian sampai juga ayahnya didesa kelahirannya, tapi sakitnya yang parah akhirnya merenggut juga selembar jiwanya.
Sejak itulah ia menjadi seorang pengemis cilik yang bergabung dengan pengemis lainnya untuk meminta-minta disepanjang rumah, bajunya dekil dan tubuhnya penuh dengan kutu, keadaannya waktu itu tak ubahnya dengan pengemis lainnya, tak ada orang yang memperhatikan keadaannya…..
Hidup sebagai pengemis kembali dilewatkan selama tiga tahun, entah lantaran hidupnya terlalu kotor atau terkena penyakit aneh, tiba-tiba sekujur tubuhnya timbul bintik-bintik bisul kecil yang menjalar sampai Wajahnya, mula-mula bisul itu berwarna merah akhirnya pecah dan bopeng-bopeng menjijikkan. Waktu itu dia masih kecil, tentu saja tak tahu apa yang telah menimpa dirinya, tapi sejak itu pengemis-pengemis yang lain selalu menghindari dirinya, waktu meminta-minta semua orang juga menjauhi dirinya, ini menyebabkan bocah itu seringkali menderita kelaparan.
Seorang pengemis tua yang baik hati memberitahu kepadanya, ia bilang begini, “Agaknya kau sudah mengidap penyakit kusta, lebih baik janganlah meminta-minta di tempat yang banyak orangnya, sebab orang bisa menghajar dirimu sampai mampus!”
Mendengar peringatan tersebut, dia jadi sangat ketakutan, sekarang dia baru mengerti apa sebabnya rekan-rekan pengemis yang lainpun menjauhi dirinya.
Sejak itu dia tak berani meminta-minta lagi, bila malam sudah tiba, diam-diam dia baru keluar dari tempat persembunyiannya dan mencuri buah-buahan serta sayur-mayur di kebun orang untuk mengisi perutnya yang lapar.
Suatu hari ia tertangkap dan dihajar sampai setengah mampus, beberapa bulan dia harus beristirahat sebelum tubuhnya menjadi kuat kembali.
Setiap kali dia munculkan diri di pagi hari, maka orang memakinya sebagai ’si kusta’ yang bernyali kecil pada kabur sedang yang bernyali agak besar mengejarnya sambil berteriak-teriak hendak menguburnya hidup-hidup, untung larinya cukup cepat hingga setiap kali berhasil lolos dari kematian.
Begitulah, setelah beberapa bulan ia hidup bagaikan orang liar, siksaan batin yang dialaminya ketika itu sungguh amat sukar dilukiskan dengan kata-kata.
Makin dipikir ia merasa semakin tak berarti hidupnya di dunia ini, suatu hari dia mendaki ke atas puncak gunung yang tinggi, perutnya dan badannya kedinginan, setelah berteriak memanggil nama ayahnya dan memanggil nama ibunya, tiba-tiba ia jadi nekad dan melompat masuk kedalam jurang yang dalam.
Dibawah tebing itu adalah sebuah air terjun yang dalamnya ratusan kaki lebih, dengan jiwa yang tertekan dan perasaan yang hancur lebur, terjunlah bocah itu ke bawah untuk menghabisi nyawanya.
Ketika tubuhnya meluncur kebawah, kesadarannya hampir hilang tiba-tiba ia merasakan ada sebuah tangan yang amat besar menyambar tubuhnya dari tengah udara dan menariknya keluar dari lembah Kematian.
Ia merasa seperti mendapat suatu impian buruk yang menakutkan, badannya seakan- akan dilempar ke atas awan, tapi seakan-akan pula diceburkan ke dalam samudra yang dalam, secara lapat-lapat telinganya mendengar suara gulungan ombak yang memekikkan telinga.
Entah berapa lama sudah lewat, tiba-tiba ia mendengar seperti ada orang berbisik, “Aaaah…..bocah yang patut dikasihani!”
Sejak itu nasibnya telah dirubah oleh seorang kakek yang luar biasa, dan kakek itu bukan lain adalah orang yang paling dihormati sepanjang hidupnya. Tapi delapan tahun kemudian, kakek itu telah tewas secara mengenaskan, sesaat sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir, ia telah menyerahkan tugas yang maha besar kepadanya.
Itulah dendam kesumat yang lebih dalam dari samudra……. maka dengan membawa sikap yang pongah, ia mulai menantang terhadap dunia yang pernah menganiaya dirinya, ia mulai melakukan pembalasan dendam!
Dalam tiga tahun belakangan ini, sudah banyak jago lihay yang dirobohkan, nama besar Tok liong Cuncu (Datuk naga beracun) juga sudah termashur diseluruh dunia persilatan, baik jago-jago dari golongan putih maupun jago-jago dari golongan hitam pada menyingkir jauh-jauh bila mendengar nama besarnya.
Setiap kali ia berhasil mengalahkan musuhnya, suatu perasaan bangga selalu muncul dalam hatinya, tapi kemudian dia merasa kesepian dan bersedih hati, karena semakin menang dia, semakin sedih pula hatinya.
Sebab keganasan dan keangkuhannya, mengikuti setiap kali kemenangan yang berhasil diraih bertambah makin dalam, setiap kemenangan dan rasa bangga yang diperolehnya ibarat bianglala diujung langit.
Kesepian, kesedihan dan kedukaan yang dalam selalu dan selamanya menyelimuti perasaan pemuda itu.
Suatu senja, ia bertemu dengan seorang gadis yang cantik jelita, dia tak lain adalah kakak perempuan Ji-Kiu-liong yang bernama Ji-Cing-peng.
Sejak bertemu dengan gadis itu, ibaratnya sebuah lembah gersang yang ketimpa cahaya matahari, mendatangkan suasana yang hangat dan nyaman bagi hatinya yang beku, sebab di dunia ini kecuali gurunya yang sudah tiada, hanya dia seoranglah yang dapat merubah wataknya yang aneh dan kaku itu……
Tapi, gadis cantik yang amat jelita itu hanya mendatangkan luka yang semakin tak tertahan dalam hati kecilnya, sebab jiwa gadis itu telah direnggut oleh sekawanan penyamun……
Yaa, pengalaman getir yang dialaminya sejak kecil ditambah lagi kematian kekasihnya…. membuat pemuda yang baru berusia dua puluh tahunan itu selalu murung, selalu kesal dan selalu bersedih hati.
Justru karena itu, dia semakin membenci dunia ini, ia semakin ganas, semakin keji dan tak kenal apa artinya perikemanusiaan…….
Ia membenci langit, membenci bumi, membenci semua orang jahat di dunia ini, bahkan hampir saja membenci dirinya sendiri, kesemuanya itu membuat pikirannya bertambah cupat, membuat pemuda itu merasa bahwa setiap orang yang berani mencari gara-gara dengannya, tak boleh dilepaskan dengan begitu saja.
Sampan bergerak maju membelah air telaga, kenangan Gak Lam-kun semasa kecilpun lewat bagaikan air telaga yang mengombak. Ditengah kegelapan malam, dari kejauhan muncul kembali sebuah perahu besar yang pelan-pelan berlayar mendekat, tak lama kemudian perahu itu sudah tiba didekat mereka, berbareng itu juga dari sebelah kanan meluncur kembali empat buah sampan.
“Lam-kau toako!” bisik Ji Kiu liong kemudian mari kita kasih pelajaran yang setimpal kepada mereka”
Sementara Ji Kiu-liong masih berbisik, keempat buah sampan itu dengan formasi satu garis telah menghadang di depan perahu kecil itu, pada ujung geladak masing-masing perahu berdirilah seorang laki-laki berbaju pendek.
Sambil tertawa dingin Ji Kiu-liong segera membentak, “Hei! Kalian tidak kenal dengan kami, dan kamipun bukan perompak-perompak yang membegal harta kekayaan milik orang lain, apa maksud kalian semua menghadang di depan perahu kami ini?”
Diatas sampan cepat sebelah kiri berdiri seorang laki-laki berusia empat puluh tahunan, sambil balas tertawa dingin sahutnya, “Andaikata kalian berdua adalah kaum pedagang kaya, kamipun tak usah bersusah-payah menggerakkan anggota kami sebanyak ini.
Tolong tanya sobat, siapakah diantara kalian yang bernama Gak Lam-kun sauhiap?”
Paras muka Gak Lam-kun agak berubah, tapi sebentar kemudian sudah pulih kembali seperti sedia kala, sambil menjura dia tertawa.
“Tolong tanya ada persoalan apa kalian mencari aku orang she-Gak?” tegurnya kemudian.
Laki-laki kekar itu tertawa ringan.
“Tidak berani!” Tidak berani! Nama besar Gak sauhiap sudah menggetarkan seluruh kolong langit kami tak ada urusan lain, hanya nona kami berhubung sudah lama mengagumi nama besar sauhiap maka sengaja mengundang kedatangan sauhiap untuk berkenalan”
Gak Lam-kun berkerut kening, hawa napsu membunuh menyelimuti seluruh wajahnya, ia berpikir, “Walaupun sudah banyak jago persilatan yang pernah kujumpai, tapi aku rasa belum pernah berhubungan dengan orang-orang dari suatu perkumpulan, apalagi namaku memang tak banyak yang tahu, darimana bisa muncul seorang perempuan yang kenal dengan diriku? Biasanya yang datang itu selalu membawa maksud tak baik, kali ini aku harus lebih waspada”
Kalau sikap Gak Lam-kun tadi murung, kesal dan sedih, maka sekarang wajahnya tampak tampan dan gagah, perubahan sikapnya itu sungguh diluar dugaan orang.
Ji Kiu-liong sendiri juga berkerut kening, tiba-tiba ia menegur, “Siapakah nama siocia kalian?”
“Cerdik betul bocah cilik ini!”pikir Gak Lam-kun.
Ternyata Ji Kiu-liong sendiri juga merasa tercengang, sebab sejak encinya tewas, toakonya selalu membawa dia bergelandangan kesana kemari, sangat jarang orang mengetahui namanya, sekalipun julukan Tok-liong Cuncu juga merupakan julukan suhu toakonya yang dicatut, padahal kemunculan kembali Tok-liong Cuncu dalam dunia persilatan teramat rahasia, tentu saja orang lebih-lebih tak akan menyangka kalau Datuk naga beracun yang muncul saat ini tak lain adalah penyaruan Gak Lam-kun.
Laki-laki kekar itu tersenyum.
“Saudara cilik, kau memang hebat! Pada hakekatnya siocia kami memang belum pernah kenal dengan Gak sauhiap, beliau cuma mengagumi saja nama besar sauhiap…..”
“Empat penjuru adalah saudara, ujung langit adalah tetangga, kalau toh siocia kalian mengagumi diriku, sudah sepantasnya, kalau aku Gak Lam-kun juga datang menyambanginya” kata anak muda itu sambil tertawa.
“Bagus sekali” laki-laki itu mengangguk, Nio-nio yang mendampingi siocia telah berangkat sendiri kemari untuk menyambut kedatangan sauhiap….!”
Seraya berkata, laki-laki itu lantas menuding ke arah belakang.
Mengikuti arah yang ditunjuk Gak Lam-kun melihat perahu besar itu sudah membuang sauh dihadapannya, pintu ruang perahu terbentang lebar cahaya lampu memancar terang benderang dari dalam. Empat orang laki-laki berpakaian ringkas warna hijau dengan memegang golok besar berdiri tegak ditepi pintu.
Saat itulah dari balik ruangan perahu pelan-pelan muncul empat orang dayang berbaju hijau, mereka berdua membawa dua buah lentera yang indah.
Dibelakang dua orang dayang itu, mengikutlah seorang kakek berjenggot panjang yang rambutnya telah beruban semua, menyusul kemunculan kakek itu, perahu besar pelan- pelan bergerak kembali mendekati sampan.
Kepada Gak Lam-kun, kakek tersebut segera menjura sambil tertawa.
“Tanpa sebab kami telah menghalangi perjalanan saudara, untuk menebus kesalahan itu bagaimana kalau kupersilahkan naik ke perahu untuk meneguk secawan arak lebih dahulu?”
Sebenarnya Gak Lam-kun mengira nona itu berada diatas perahu besar, maka terdorong oleh perasaan ingin tahunya, ia menerima tawaran tersebut…….
Tapi kemudian, setelah mendengar bahwa nona itu tidak hadir di perahu, rasa ingin tahunya segera tersapu lenyap, namun kakek itu keburu munculkan diri dalam keadaan demikian ia merasa kurang leluasa untuk menolak tawaran orang.
Kepada Ji Kiu liong yang berada disisinya, dia lantas berkata, “Adik Liong, tunggulah disini, aku sebentar akan balik lagi kemari!”
Begitu selesai berkata, dia lantas melompat naik ke atas perahu besar.
Dikala tamunya sedang melompat naik ke atas perahu, kakek berjenggot panjang itu lantas berpaling ke arah dua orang dayang baju hijau di belakangnya seraya berkata, “Berilah laporan kedalam! Katakan kalau tamu sudah tiba di atas perahu…..” Dua orang dayang cilik yang membawa lentera itu segera mengiakan dan masuk ke ruangan dalam.
Sepeninggal dua orang dayang tersebut, kakek berjenggot panjang itu baru berkata kepada Gak Lam-kun sambil tertawa, “Silahkan Gak sauhiap, dalam ruang perahu sudah disiapkan arak, bagaimana kalau meneguk beberapa cawan dulu?”
“Terima kasih banyak atas jamuan yang disiapkan, tapi sebelum itu, bolehkah aku tahu siapa nama saudara?”
Sambil mengelus jenggotnya yang panjang, tergelaklah kakek itu. “Haaahhh……..haaahhh……..haaahhh aku she Siangkoan bernama It. Mari masuk
ke dalam ruangan untuk minum arak, majikan kami masih ada beberapa urusan yang
hendak dirundingkan”
Diam-diam terkesiap juga Gak Lam-kun setelah mengetahui bahwa kakek itu bukan lain adalah Siangkoan It, dia tak mengira kalau kakek itu adalah Tam-ciang-teng-kan-kun (telapak tangan tunggal penenang jagad)
Siangkoan It yang namanya termashur di utara maupun selatan sungai besar, lebih- lebih lagi karena orang itu sudah sejak dua puluh tahun berselang mengundurkan diri dari keramaian dunia, sungguh tak disangka malam ini bisa muncul di telaga Tang-ting-ou, bahkan sudi menjadi budaknya orang lain, dari kesemuanya itu terbuktilah sudah bahwa majikannya sudah pasti adalah seorang jago silat yang amat lihay.
Sebenarnya Gak Lam-kun mempunyai rencana akan mengundurkan diri setelah mengucapkan beberapa patah kata, tapi untuk mengetahui asal usul majikannya, maka diapun tersenyum.
“Selamat bertemu, selamat bertemu, sudah lama kudengar nama besar Sam-ciang-lam- kok (sukar lewati tiga buah pukulan) yang telah menggetarkan seluruh dunia persilatan itu Siangkoan lo sianseng, perjumpaan ini sungguh menggembirakan hatiku”
Telapak tangan tunggal penenang jagad Siangkoan It tertawa ringan.
“Tidak berani tidak berani itulah julukan yang dihadiahkan sahabat-sahabat persilatan kepadaku, padahal lohu malu untuk menggunakannya!”
Sambil melangkah masuk kedalam ruangan, diam-diam Gak Lam-kun menyumpah dalam hati, “Huuuh….jangan keburu bersenang hati dulu, suatu waktu aku pasti akan menjajal sampai dimanakah kepandaian silat yang kau miliki!”
Ruang perahu dihiasi dengan aneka barang antik yang indah dan mahal-mahal, permadani merah menutupi lantai, hiasan mahal tergantung didinding, dibawah pantulan cahaya yang terpancar dari dua buah lilin besar, tampaklah horden hijau menjadi latar belakang hiasan ruang perahu itu, disisi jendela tertera pula sebuah meja perjamuan dimana dua orang bocah laki-laki berbaju hijau berdiri dengan tangan terjulur ke bawah.
Setelah Tam-ciang-teng-kan-kun Siangkoan It mempersilahkan tamunya duduk, Gak- Lam kun segera menjura sambil bertanya, “Tolong tanya Siangkoan lo sianseng, siapakah nama besar dari majikanmu……?” Mendengar pertanyaan itu, dengan wajah serius telapak tangan tunggal penenang jagad Siangkoan It segera menjawab, “Majikan ada perintah, maafkanlah lohu bila tak bisa mengatakannya secara berterus-terang”
Diam-diam Gak Lam-kun mengerutkan dahinya.
“Lalu, apakah aku dapat berjumpa dengan Nio-nio dan siocia kalian yang berada di perahu ini?” ujarnya pula.
Sekali lagi air muka Siangkoan It menunjukkan perasaan keberatan.
Kebetulan dari belakang ruangan muncul dua orang dayang cilik berbaju hijau yang segera berkata, “Nio-nio ada perintah, harap Siangkoan loya saja yang melayani tamu kita!”
Gak Lam-kun adalah seorang jagoan berwatak tinggi hati, menyaksikan sikap memandang rendah musuhnya, dia jadi mendongkol, kontan saja ia bangkit berdiri.
“Kalau toh majikan kalian tidak berada diatas perahu” demikian ujarnya sambil menjura ke arah Siangkoan It, “harap maafkan diriku lebih tak bisa menemani lebih lama lagi, sebab aku sendiripun masih ada urusan”
Tiba-tiba dari luar ruang perahu terdengar jeritan dari Ji Kiu-liong, “Toako……kau hendak pergi kemana?”
Suara itu penuh kekuatiran dan gelisah, jelas perahu besar itu sudah mulai bergerak. Gak Lam-kun mengerutkan dahinya! kemudian melangkah keluar dari ruang perahu itu.
Empat orang laki-laki berpakaian ringkas yang menjaga di depan pintu itu mendadak melintangkan golok besarnya dan menghadang jalan pergi si anak muda itu.
Gak Lam-kun tertawa dingin, ia bersikap seolah-olah tidak melihat gerakan tersebut, bahkan langkahnya sedikitpun tidak nampak gugup atau panik.
Suara seruan dari Siangkoan It kembali berkumandang dari belakang, “Perahu sudah bergerak jauh meninggalkan tempat semula, Gak sauhiap, apa salahnya kalau duduk saja dalam ruangan dengan tenang sambil minum beberapa cawan arak?”
Mendengar ucapan tersebut, tiba-tiba napsu membunuh menyelimuti seluruh wajah Gak Lam-kun pelan-pelan ia putar badan lalu berkata dengan hambar, “Kuperintahkan kepadamu untuk menjalankan kembali perahu ini ketempat semula, kalau tidak jangan salahkan kalau aku akan bermain kasar”
Siangkoan It tertawa tergelak-gelak.
“Haaahhh. …..haaahhh…….haaahhh…… di dunia ini belum pernah ada orang yang bernyali begitu besar untuk memandang hina diriku, bila Gak sauhiap enggan untuk bercakap-cakap diperahu ini kenapa tidak segera angkat kaki…….?” Gak Lam-kun menggerakkan bahunya, sekali lompat tahu-tahu ia sudah menerobos keluar dari ruangan perahu itu.
Empat orang laki-laki berbaju ringkas itu serentak menggerakkan pula senjata mereka untuk melancarkan serangan, diantara kilauan cahaya berwarna keperak-perakan, senjata mereka langsung membacok tiga bagian tubuh yang berbeda dari Gak Lam-kun.
Sepintas lalu, gaya Gak Lam-kun seperti seseorang yang sama sekali tak siap, tapi kenyataannya serangan yang kemudian dilancarkan lebih cepat dari sambaran kilat.
Dua dengusan tertahan berkumandang susul menyusul, dua orang laki-laki berbaju ringkas yang ada dipaling depan serentak tergeletak tak berkutik dilantai.
Demikian cepatnya serangan itu dilancarkan, sampai-sampai Siangkoan It yang nama besarnya menggetarkan di utara maupun di selatan sungai besarpun tak sempat melihat jelas dengan cara apakah Gak Lam-kun menyarangkan serangan-serangannya itu.
Menyaksikan rekannya roboh, dua orang laki-laki yang lain segera membentak keras, golok besarnya diputar sedemikian rupa menciptakan dua jalur cahaya perak yang segera menutup pintu keluar ruang perahu itu.
Gak Lam-kun tertawa dingin, tangan kirinya berkelebat kemuka dan tahu-tahu ia sudah mencekal pergelangan tangan kanan salah seorang laki-laki berpakaian ringkas itu, lalu menggunakan kesempatan itu tangannya diayun kedepan dan. bentrokan nyaringpun berkumandang memecahkan kesunyian, golok besar lainnya kena ditangkis sampai mencelat ke belakang.
Gak Lam-kun tidak berdiam sampai disitu saja, lutut kirinya segera diangkat dan sikut kanannya menyodok ke belakang, kembali dua kali dengusan tertahan menggema diudara, dan robohlah dua orang laki-laki tersebut.
Begitu beres menghabisi keempat orang musuhnya, Gak Lam-kun melompat keluar dari ruang perahu, tapi sepanjang pandangannya ke depan yang tampak hanya air telaga yang menggulung, dari kejauhan sana tampak setitik cahaya lentera, tapi letaknya sangat jauh, dari arah titik cahaya itulah lapat-lapat terdengar suara teriakan Ji Kiu-liong yang memilukan hati……..
Hawa napsu memburuh tiba-tiba membakar di rongga dada Gak Lam-kun, pelan-pelan ia putar badannya lalu memandang sekejap ke sekeliling tempat itu dengan pandangan tajam.
Dua belas orang Laki-laki berbaju hitam sudah mengelilingi geladak, ditangan mereka masing-masing tersoren sebilah pedang yang memancarkan cahaya perak, terutama posisi dari belasan orang itu jelas merupakan sebuah barisan pertahanan yang cukup tangguh.
Gak Lam-kun sama sekali tak menggubris kedua belas orang laki-laki bersenjata pedang itu, orang-orang berbaju hitam yang berdiri dengan napsu membunuh membara itu seakan-akan dianggapnya sebagai patung yang tak berguna malah sinar matanya yang tajam langsung mencorong kedalam ruangan perahu, sementara kakinya pelan-pelan melangkah maju mendekati Siangkoan It. Angin malam menderu-deru, deburan ombak memekikkan telinga, suasana syahdu yang semula menyelimuti perahu itu, kini sudah berubah jadi tegang dan penuh dengan hawa pembunuhan.
Siangkoan It tertawa dingin tiada hentinya, dengan suara yang menyeramkan ia berseru, “Setelah berada di perahu kami, berarti hanya ada dua jalan yang bisa kau tempuh, yakni tunduk dibawah perintah majikan kami, atau mampus dalam keadaan mengerikan. Gak sauhiap, aku percaya engkau adalah seorang yang cerdik, aku rasa pilihan yang kau caripun seharusnya pilihan yang cerdik dan tepat”
“Heeehhh……..heeehhh…….heeehh…….bagus sekali, bagus sekali”
Gak Lam-kun tertawa dingin tiada hentinya, “kalau begitu biarlah kupilih jalan kematian saja, ingin kulihat jalan kematian macam apakah yang akan kulalui?”
Telapak tangan tunggal penenang jagad Sang kwan It memang seorang jagoan yang termashur namanya dalam dunia persilatan, entah berapa banyak sudah jago lihay yang telah ditundukkan olehnya selama ini, dia merasa sedikit kewalahan dibuatnya.
Terutama kemampuan Gak Lam-kun yang berhasil menaklukkan empat orang anak buahnya dalam sekali gebrakan, ilmu selihay itu sungguh membuat hati jago kawakan tersebut jadi bergidik.
Siangkoan It tertawa kering, kemudian berkata, “Gak-sauhiap, kalau toh engkau tetap membandel, jangan salahkan kalau akupun tak akan sungkan-sungkan lagi”
Begitu selesai berkata, tiba-tiba ia menerobos maju sambil melancarkan serangan, telapak tangan kirinya menyerang dengan jurus tui-poh-cu-lan (mendengar riak membantu ombak), sedang telapak tangan kanannya menyodok dengan gerakan Liu-im- cha-san (awan hitam menutupi bukit), sekali menyerang menggunakan dua jurus yang berbeda, bahkan kekuatan yang digunakanpun tak sama, hal ini semakin menunjukkan betapa lihaynya si kakek tersebut.
Gak Lam-kun tak berani gegabah menghadapi serangan yang begitu dahsyatnya dengan telapak tangan kiri dia pancing serangan musuh miring ke arah lain, sementara tubuhnya segera melompat tiga depa ke samping, darimana sebuah pukulan segera balas dilancarkan pula.
Tapi dua orang laki-laki baju hitam yang ada disampingnya tidak berpeluk tangan belaka, diantara kilatan cahaya tajam, dengan menciptakan berkuntum-kuntum bunga pedang, mereka tusuk tubuh si anak muda itu dari dua arah.
Gak Lam-kun tertawa dingin, sepasang kakinya melayang ke atas melancarkan beberapa buah tendangan berantai.
Dua buah tendangan dilepaskan dengan suatu gerakan yang sangat aneh, tak sempat dua orang laki-laki berbaju hitam itu menghindarkan diri masing-masing terkena sebuah tendangan yang bersarang telak di dadanya.
Diiringi jerit kesakitan yang memilukan hati, dua orang itu mencelat ke belakang dan roboh tak bernyawa lagi. Betapa gusarnya Siangkoan It melihat anak buahnya tewas, sambil membentak penuh kemarahan sepasang telapak tangannya melancarkan sebuah pukulan dahsyat menghajar punggung Gak Lam-kun, serangan itu belum tiba, angin pukulannya sudah terasa menyayat badan.
Gak Lam-kun agak kaget menyadari akan hal itu, segera pikirnya, “Sungguh sempurna tenaga dalam yang dimiliki kakek ini!”
Tiba-tiba ia tarik ke belakang sepasang kakinya kemudian berjumpalitan di udara, setelah itu badannya menerobos kesamping dan menumbuk seorang laki-laki berbaju hitam yang kebetulan berada di sampingnya.
Setelah menyaksikan kelihayan Gak Lam-kun yang dalam sekali gebrakan berhasil membinasakan dua orang rekannya, kedua belas orang laki-laki berbaju hitam itu merasa terkesiap, maka ketika Gak Lam-kun menyambar tiba, pedang mereka serentak diayun kedepan menciptakan selapis bayangan pedang menyongsong tibanya tubuh Gak Lam- kun.
“Mundur ke belakang dan pertahankan sudut barisan!” tiba-tiba Siangkoan It membentak.
Terhadang oleh belasan pedang sekaligus, terpaksa Gak Lam-kun harus tarik kembali terjangannya, sepasang telapak tangannya melancarkan serangan berantai, dua gulung angin puyuh yang menusuk telinga berhembus keluar memaksa belasan orang laki-laki berbaju hitam itu harus menarik kembali serangannya sambil mundur ke belakang.
Siangkoan It mendengus dingin, dia menerobos maju kemuka, sepasang telapak tangannya melancarkan serangan berulangkali untuk merangsek lawannya…….
Gak Lam-kun tertawa panjang, nyaring sekali suaranya, dengan sinar mata mencorong keluar dia himpun tenaga murninya ke dalam lengan kiri untuk membendung tibanya ancaman tersebut.
Selincah ular sakti telapak tangan kirinya melambung ke atas menerobos kebawah, dengan jurus yang lihai dan tersakti, dan secara beruntun dia hujani sekujur badan Siangkoan It dengan delapan buah pukulan.
Memang hebat tenaga pukulan yang dimiliki Siangkoan It, setiap pukulan yang dia lepaskan tentu membawa desingan angin tajam yang memekikkan telinga, belasan gerakan kemudian, daya pantulan yang terpancar keluar dari serangannya telah mencapai beberapa depa.
Gak Lam-kun memang berhasrat menyaksikan kehebatan lwekang Siangkoan It, dengan sedikitpun tak jeri disambutnya semua pukulan itu dengan keras lawan keras.
Sebagaimana diketahui, Siangkoan It terkenal sebagai Telapak tangan tunggal penenang jagad, itu berarti hawa pukulannya lebih mengandalkan pada tenaga Yang-kang yang maha dahsyat.
Justru karena kehebatan itu, setiap orang yang bertarung melawan dirinya, tentu berusaha untuk menghindari suatu bentrokan secara kekerasan. Tapi kini, Gak Lam-kun malahan berani menerima pukulannya itu dengan keras lawan keras, kejadian ini segera menimbulkan hawa napsu membunuh didalam hati Siangkoan It.
Tiba-tiba hawa murninya dihimpun menjadi satu kemudian melepaskan serangan dengan sepenuh tenaga. Otomatis dua gulung tenaga murni yang terpancar keluar dari balik telapak tangannya juga semakin dahsyat ibaratnya bacokan kampak yang membelah bukit.
Melihat kakek itu makin bertarung makin gagah, angin pukulannya makin lama semakin gencar, tanpa terasa Gak Lam-kun memuji dalam hatinya, “Memang hebat orang tua itu, nama besarnya ternyata bukan nama kosong belaka!”
Siangkoan It sendiri diam-diam juga terkesiap, sepanjang masa berkelananya dalam dunia persilatan, belum pernah angin pukulannya itu mendapat tandingan yang setimpal, tapi malam ini, setelah berjumpa dengan jago muda tersebut, ternyata tenaga pukulannya beberapa bagian lebih dahsyat dari apa yang dimilikinya, bahkan jurus serangan yang digunakannya juga jauh lebih sempurna.
Dalam kaget dan ngerinya, tanpa terasa ia berpikir, “Menurut majikan, ilmu silat yang dimiliki orang ini sudah menggetarkan sungai telaga, diapun merupakan jagoan paling lihay diantara kelompok kaum muda, setelah kubuktikan sendiri malam ini, ternyata ucapan tersebut memang bukan nama kosong belaka, tapi apa julukannya dalam dunia persilatan?”
Meskipun Siangkoan It mengetahui nama Gak Lam-kun, tapi mereka tak tahu kalau dia adalah Tok-liong Cuncu yang telah muncul kembali dalam dunia persilatan.
Karena ada yang dipikirkan dalam benaknya, tanpa sadar perhatian Siangkoan It juga ikut bercabang, tiba-tiba ia merasa ada segulung angin pukulan yang maha dahsyat menerjang dadanya, dalam kagetnya cepat-cepat ia menyingkir kesamping.
Gak Lam-kun tidak mengejar karena keberhasilan itu, dia malah menarik kembali serangannya sambil berdiri dengan wajah gagah, ujarnya sambil tertawa nyaring, “Kuakui bahwa tenaga pukulan yang kau miliki terhitung nomor satu dalam dunia persilatan, aku orang she-Gak menyesal tak mampu menandinginya, untuk menghindari pertikaian lebih lanjut yang tak berguna, harap Siangkoan lo-sianseng segera menjalankan perahu ini kembali ke tempat semula, tapi jika engkau menolak permintaan ini terpaksa aku orang she-Gak pun tak akan sungkan-sungkan lagi”
Ucapannya itu setengah bernada lembut setengah bernada keras, seperti juga suatu sindiran, seperti juga suatu cemoohan.
Siangkoan It yang mendengar sindiran itu jadi naik pitam, kontan saja ia tertawa seram.
“Heeehhh……. heeehhh…….. heeehbh……… meskipun ilmu silatmu terhitung lihai dalam dunia persilatan, tapi kalau ingin paksa lohu menyerahkan diri…..oohoo….. kau musti melatih diri beberapa tahun lagi”
Gak Lam-kun tertawa dingin. “Di dunia ini memang terlampau banyak terdapat manusia-manusia bandel, Siangkoan sianseng, kalau begitu jangan kau salahkan lagi jika aku bertindak kejam”
Begitu selesai berkata, Gak Lam-kun segera melangkah maju ke posisi tiong kiong dan menerobos kedepan, telapak tangan kirinya langsung dikebaskan ke tubuh lawan.
Siangkoan It tidak menyangka kalau pemuda itu segera menyerang begitu mengatakan akan menyerang, sedikit kurang cermat, ia sudah terjatuh dibawah angin.
Untung pengalamannya dalam menghadapi serangan lawan cukup sempurna, meski menghadapi mara bahaya, ia tak sampai gugup.
Dengan cepat pinggangnya ditekuk kebawah, lalu memakai jurus Gi-san-tiam-hay (memindahkan bukit menimbun samudra) sepasang telapak tangannya didorong kemuka sejajar dengan dada, disambutnya serangan tersebut dengan keras lawan keras.
“Blaaaaang….!” desingan angin berpusing memancar keempat penjuru menyusul terjadinya bentrokan itu.
Seketika itu juga Siangkoan It merasakan darah dalam dadanya bergolak keras, hampir saja ia tak sanggup berdiri tegak.
Dengan mata mencorongkan sinar tajam, Gak-Lam kun tertawa dingin tiada hentinya, kemudian ia berseru, “Suatu kekuatan yang luar biasa, hayo sambutlah pukulan lagi……!”
Tanpa mengubah posisi telapak tangan kirinya, ia membalik tangan itu ke belakang lalu dikebaskan ke tubuh lawannya dengan gerakan aneh.
Siangkoan It terkesiap, buru-buru dia tarik napas sambil menghimpun tenaga murninya guna menyambut datangnya ancaman tersebut.
00000O00000
TAPI, sebelum niat tersebut dilaksanakan, mendadak terdengar suara bentakan yang amat merdu bagaikan suara keleningan menggelegar memecahkan kesunyian, “Siangkoan sianseng, cepat hentikan pertarungan…!”
Begitu ucapan tersebut timbul, tiba-tiba muncullah segulung tenaga pukulan yang lembut menerjang ke tengah-tengah mereka berdua, dimana angin pukulan Gak Lam-kun yang amat tangguh tersebut segera tersapu lenyap hingga tak berbekas.
Menggunakan kesempatan itu Siangkoan It menarik kembali serangannya dan melompat mundur ke belakang, sambil memberi hormat buru-buru serunya lirih, “Menanti perintah dari Nio-nio!”
Gak Lam-kun mendengar, meski suara itu merdu bagaikan kicauan burung nuri tapi dibalik kemerduan tersebut terkandung kewibawaan yang luar biasa, ini membuat anak muda itu tanpa terasa berpaling ke arah mana berasalnya suara.
Seorang perempuan berbaju hijau diiringi empat orang dayang berbaju hijau pula pelan-pelan memunculkan diri dari balik ruangan perahu. Dibawah cahaya lentera yang dibawa keempat orang dayang itu, tampaklah perempuan itu mempunyai sepasang alis mata yang lentik dengan bibir yang mungil, dibalik sepasang matanya yang bulat mencorong keluar sinar mata yang memikat hati, hidungnya mancung dan sekulum senyuman manis menghiasi bibirnya.
Kepada Gak Lam-kun ia berkata lembut, “Aaaah……! Kamu ini sungguh tak tahu suasana, dimalam yang romantis seperti ini, bukannya menikmati arak wangi sambil memandang alam yang indah, apakah tidak kau rasakan bahwa berkelahi hanya akan merusak suasana yang bagus ini?”
Diantara suara pembicaraannya itu terselip kerlingan mata yang mendatangkan gairah orang, memang daya pikat dari seorang perempuan yang sudah matang.
Gak Lam-kun berusaha menenangkan hatinya, lalu berkata dengan nada yang dingin. “Aku masih mempunyai seorang saudara cilik yang tertinggal di sampan, karena itu
maafkan daku bila tak dapat menikmati keromantisan ditempat ini. Kalau toh Nio-nio
majikan dari perahu ini harap segera turunkan perintah untuk menjalankan perahu ini balik ke tempat semula daripada pertarungan ini harus dilanjutkan”
Perempuan berbaju hijau itu tertawa, dengan mata yang memikat ia mengerling pemuda itu sekejap kemudian berkata, “Jika kau hanya menguatirkan saudara cilikmu menunggu sendirian di sampannya, kalau begitu biarlah kuutus tiga orang untuk menemaninya”
Gak Lam-kun semakin mengerutkan dahinya.
“Tolong tanya nio-nio, dengan maksud apakah kau menahan diriku dengan paksa?
Kalau tidak kau terangkan…….”
Agaknya perempuan berbaju hijau tak menyangka kalau ia bakal mendapat pertanyaan semacam itu, tanpa terasa pipinya jadi merah, setelah termenung sebentar dia baru tertawa ewa.
“Kalau tidak, bagaimana? Jika engkau merasa kurang leluasa diatas perahuku ini, silahkan pergi!”
Gak Lam-kun tahu bahwa perahu besar yang sedang melaju ini tak bisa dihentikan lagi, dengan sinar mata yang menggidikkan dia lantas menatap ke arah musuhnya, mendadak pemuda itu menerobos maju kemuka dan telapak tangan kanannya diayun kedepan melepaskan sebuah pukulan yang amat gencar.
Sedikit saja perempuan berbaju hijau itu menggerakkan bahunya, tahu-tahu dia sudah bergeser tiga depa dari posisinya semula, kemudian sambil tertawa cekikikan katanya, “Hiiihh….. hiiihh….. hiiihh…. dalam sepuluh gebrakan mendatang, jika engkau sanggup menjawil ujung bajuku, maka segera kuhantar engkau untuk kembali ke tempat semula”
Gak Lam-kun ikut tertawa dingin.
“Dalam tiga jurus, bila aku tak berhasil melukai dirimu aku orang she-Gak juga akan menyerahkan diri untuk kau jatuhi hukuman.” Begitu selesai berbicara, tiba-tiba ia tarik kembali pukulannya lalu sambil memutar badan, sebuah totokan dilancarkan.
Perempuan berbaju hijau itu mengegos kesamping, dengan suatu langkah yang enteng dan lincah tahu-tahu ia sudah melepaskan diri dari ancaman totokan tersebut.
Indah dan menawan hati gerakan tubuhnya itu, meskipun menghadapi suatu pertarungan yang mempertaruhkan jiwa raganya, gerak-geriknya sama sekali tidak kehilangan kebagusan serta daya tariknya.
Begitu berhasil melepaskan diri dari serangan yang pertama, perempuan berbaju hijau itu tertawa terkekeh-kekeh.
“Heehhh…. heeehhh…. heeehhh…. masih ada delapan gerakan lagi, gunakanlah dengan lebih berhati-hati!”
Begitu gagal dengan serangan yang pertama, tiba-tiba Gak Lam-kun menarik tangan kanannya ke belakang, kemudian ia menyerang sejajar dengan dada, secepat kilat ia menerobos kemuka melakukan pengejaran.
Sekulum senyuman masih tersungging diujung bibir perempuan berbaju hijau itu ketika tangan kiri anak muda itu diayun kedepan melepaskan sebuah pukulan dengan jurus Hui- jian-cing tham (Menyapu debu berbicara santai).
Rupanya perempuan berbaju hijau itu mengetahui bahwa dibalik jurus serangan tersebut terkandung dua perubahan yang berbeda, ditengah lengkingan gelak tertawanya kembali ia melejit kesamping untuk melepaskan diri dari ancaman.
Padahal ketika itu, jurus serangan yang digunakan Gak Lam-kun belum mencapai pada puncaknya, ia lantas mendengus, mumpung perempuan musuhnya belum melayang turun ketanah, telapak tangan kirinya dengan mengandung hawa pukulan yang maha dahsyat tiba-tiba dilontarkan kedepan.
Sungguh tepat penggunaan waktu yang dilakukan dalam serangan tersebut, pada saat sepasang kaki perempuan berbaju hijau itu hampir menempel diatas permukaan tanah, serangan dari Gak Lam-kun yang ibaratnya gulungan ombak dahsyat itu sudah melanda tiba.
Jangan dilihat perempuan baju hijau itu genit dan meliuk-liuk manja, pada hakekatnya dia memiliki ilmu silat yang maha dahsyat.
Ketika serangan tersebut menyergap datang, cepat lengannya dikebaskan, lalu badannya melambung keudara secara tiba-tiba, setelah berjumpalitan beberapa kali, ia melayang turun kembali ditempat lain yang jauh lebih aman.
Tapi, Gak Lam-kun juga bukan orang bodoh, tampaknya ia sudah memperhitungkan sampai disitu, buktinya dalam serangan itu terkandung lima jalur desingan angin tajam yang memekikkan telinga…….
“Sreeeeet ……! akhirnya gaun panjang yang dikenakan perempuan berbaju hijau itu kena tersambar juga hingga robek sebagian, maka terlihatlah paha kakinya yang putih mulus seperti salju. Tiba-tiba Gak Lam-kun menghela napas sedih.
“Aaaai… aku sudah menggunakan setengah jurus lebih banyak dari seharusnya, terserah hukuman apa yang hendak kau jatuhkan atas diriku!” katanya.
Ketika gaun panjangnya tersambar robek, perempuan berbaju hijau itu merasa amat jengah hingga seluruh wajahnya berubah jadi merah padam, lama sekali dia termangu- mangu tanpa mengetahui apa yang harus dilakukan.
Setelah mendengar helaan napas dari Gak Lam-kun, ia baru terkejut dan merasa seperti baru sadar dari impian, setelah berhasil menenangkan hatinya perempuan itupun menghela napas panjang.
“Aaaai…..Sungguh tak nyana kalau ilmu silatmu amat lihay pergilah dari sini!” “Hmm…..! Perkataan seorang laki-laki sejati lebih berat dari batu karang, aku Gak Lam-
kun mengaku kalah!”
“Huuuh….. Memangnya ucapan pun-kiong (aku) tidak masuk hitungan…..?” perempuan berbaju hijau itu mengernyitkan sepasang alis matanya.
Sekalipun perempuan berbaju hijau itu telah berjanji, bahwa anak muda itu akan dihantar pulang andaikata dalam sepuluh gebrakan ujung bajunya berhasil dijawil, tapi Gak Lam-kun sendiripun baru berhasil merobek gaun lawannya dalam tiga jurus setengah, padahal pemuda itu mengatakan dia akan berhasil dalam tiga gebrakan belaka.
Mereka berdua sama-sama merupakan tokoh persilatan yang punya nama besar, mereka berduapun sama-sama berwatak angkuh dan tinggi hati, setelah apa yang disumbarkan tak terwujud, kedua belah pihak sama-sama tak mau mengingkari janjinya.
Dengan wajah murung baik Gak Lam-kun maupun perempuan berbaju hijau itu sama- sama termenung dan berdiri melamun.
Untuk sesaat lamanya, suasana di sekeliling tempat itu diliputi keheningan, seandainya tiada suara air telaga yang menyampok perahu, mungkin jatuhnya sebatang jarumpun akan kedengaran dengan jelas.
“Toako, aku datang membantumu!” tiba-tiba terdengar suara jeritan memecahkan kesunyian.
Menyusul kemudian sesosok bayangan manusia melompat naik ke atas perahu, siapa lagi orang itu kalau bukan Ji Kiu-liong?
Kemunculan Ji Kiu-liong secara tiba-tiba membuat Gak Lam-kun terkejut bercampur gembira, dia tidak habis mengerti kenapa adiknya bisa muncul disitu secara tiba-tiba.
Sementara dia masih termenung, mendadak dari balik perahu besar menggema lagi gelak tertawa yang amat nyaring. “Haaaahhh……haaahhh……haaahhh…….Si Tiong pek dari barisan Tiat-eng tui perkumpulan Tiat-eng-pang (elang baja) sengaja berkunjung datang, harap Han Nio-nio sudi memaafkan kedatanganku yang tidak terduga ini!”
Seorang pemuda tampan berbadan kurus dan berbaju warna biru melompat naik ke perahu, lalu pelan-pelan maju kedepan.
Ji Kiu liong segera menuding ke arah pemuda baju biru itu seraya berseru, “Toako, Si toako itulah yang menghantar aku sampai kesini!”
Gak Lam-kun berpaling dan memandang sekejap wajah Si Tiong-pek, lalu dia menjura. “Terima kasih banyak atas bantuan saudara yang telah menghantar adikku sampai
disini, aku orang she Gak mengucapkan banyak-banyak terima kasih…….”
“Aaaaaaah ……mana, mana” Si Tiong pek tertawa, “sudah selayaknya kalau orang persilatan itu saling membantu, urusan sekecil itu kenapa harus dipikirkan terus? Boleh aku tahu siapa nama saudara?”
“Aku she-Gak bernama Lam-kun!” sahut si pemuda sambil tertawa ewa.
Betapa kecewanya Si Tiong pek setelah mendengar kalau nama itu masih terlampau asing dalam dunia persilatan, namun ia tersenyum juga.
“Selamat berjumpa, selamat berjumpa!”
Han Nio-nio atau perempuan berbaju hijau itu rupanya sudah tidak sabaran, mendadak dengan paras muka serius ia berkata, “Si Tiong pek, berani betul engkau mencari gara- gara dengan kami!”
Kalau tertawa, perempuan cantik ini tampak genit dan mempesonakan hati, tapi setelah serius, kelihatanlah betapa agung dan berwibawanya dia.
Gak Lam-kun merasa seakan-akan dalam waktu sekejap perempuan itu sudah berubah menjadi seorang manusia yang lain, dibalik keagungannya secara lapat-lapat terpancar pula kewibawaan yang sangat tebal.
Si Tiong pek mengangguk lirih sebagai tanda hormatnya kemudian berkata, “Han Nio- nio, kau jangan salah paham, aku orang she Si tidak lebih hanya manusia diluar garis yang cuma ingin menonton keramaian belaka lihatlah sendiri, perahuku sudah berada sepuluh kaki jauhnya dari sini, bila Han Nio-nio tak senang menyambut kedatanganku, lebih baik aku orang she Si mohon diri saja”
Selesai berkata, dia lantas putar badan dan siap berlalu dari tempat itu. “Berhenti!” bentakan nyaring menggelegar memecahkan kesunyian.
Tiba-tiba Han Nio-nio melompat kedepan secepat sambaran kilat, jari-jari tangannya yang lentik langsung mencengkeram ke arah bahu Si Tiong-pek. Sekalipun ketika itu Si Tiong-pek berdiri membelakanginya, namun seakan-akan dipunggungnya juga tumbuh mata baru saja Han Nio-nio beraksi tiba-tiba dia putar badannya dan melejit enam depa kesamping untuk menghindarkan diri.
“Haaahhh…haaahhh…haaahhh…Han Nio-nio” serunya sambil tertawa tergelak, lebih baik kita jangan bergerak dulu, kalau ingin beradu kekuatan tunggu sesampainya di bukit Kun-san, perkumpulan elang baja kami pasti akan melangsungkan suatu pertarungan yang seru melawan perguruan Ciang-ciam-bun kalian!”
Kembali Gak Lam-kun merasa terkesiap, konon ia dengar orang berkata bahwa dalam dunia persilatan telah muncul sebuah perguruan rahasia yang disebut Ciang-ciam-bun (perguruan panah bercinta) siapakah ciangbunjinnya? Ternyata tak seorang manusia persilatanpun yang tahu.
Dia tak pernah mengira kalau perempuan berbaju hijau serta Siangkoan It yang dijumpainya sekarang ternyata adalah anggota perguruan panah bercinta, dari sini dapat diketahui bahwa Ciang-ciam-bun memang terhitung sebuah perguruan besar yang mempunyai kekuatan amat tangguh.
Dengan kening berkerut Han-Nio-nio sudah tertawa dingin. “Heeehhh…heeehhh…heeehhh…memang pada tiga puluh tahun berselang perkumpulan
Tiat eng pang kalian menjagoi seluruh daratan Tiong-goan, tapi sekarang…Hmm!
Perkumpulan Tiat eng-pang kalian tak akan bisa menandingi kehebatan Ciang ciam-bun- kami…”
Perlu diterangkan disini, semenjak dua puluh tahun berselang, perkumpulan Tiat-eng- pang memang merupakan suatu perkumpulan yang amat besar dalam kalangan hek-to di dunia persilatan, banyak jago tangguh dan pandai yang bergabung dalam perkumpulan itu, ini menyebabkan kekuatan mereka pada hakekatnya jauh melampaui kekuatan sembilan partai besar.
Ketua mereka Tiat eng sin siu (kakek sakti elang baja) Oh Bu hong adalah seorang tokoh persilatan yang berilmu tinggi, dia merupakan seorang manusia berbakat yang muncul belum lama berselang, namun kemampuannya memimpin para anak buahnya sangat hebat, orang ini merupakan seorang tokoh persilatan yang paling susah dihadapi dalam golongan hitam maupun putih.
Si Tiong-pek adalah murid kesayangan Oh Bun-hong, dengan kedudukannya sebagai komandan pasukan Elang Baja, bukan saja namanya termashur sampai dimana-mana, pengaruhnya juga menyebar luas baik diutara maupun diselatan sungai besar.
Dalam pada itu Si Tiong-pek sudah tersenyum seraya berkata, “Kalau memang begitu, mari kita saksikan saja!” katanya sambil berjalan.
“Hmm…!” Han Nio-nio mendengus, “barangsiapa sudah naik keperahu ini, maka dia harus menyambut sepuluh buah seranganku lebih dulu sebelum bisa tinggalkan tempat ini dengan selamat, Si Tiong-pek! Bersiap sedialah menerima seranganku ini!”
Tiba-tiba ia menerobos maju kedepan sambil menyerang, jari tangannya menotok jalan darah juga sikutnya menyodok ulu hati, dua serangan yang berbeda namun memiliki kekuatan yang hampir sama. Si Tiong-pek tertawa dingin lalu berseru, “Han Nio-nio, kalau engkau mendesak terus menerus diriku, janganlah dianggap aku Si Tiong-pek jeri kepadamu!”
Berbicara sampai disitu, tubuhnya lantas miring kesamping menghindarkan diri dari terjangan sikut Han Nio-nio, lalu bukannya mundur dia malah mendesak maju kedepan, tangan kanannya dengan jurus Kim-cian toam-bwe (memotong sakura dengan gunting emas) langsung menyodok ketubuh Han Nio-nio pula.
Tapi pada saat itulah tendangan kaki kanan dari perempuan itu sudah mengancam lutut kanan Si Tiong-pek…
Agaknya Si Tiong-pek tidak menyangka kalau ilmu silatnya itu begitu lihay, dengan terkesiap dia mundur dua langkah untuk menghindarkan diri dari serangan dua buah pukulan dan sebuah tendangan kilat itu.
Mendadak hembusan angin tajam menyambar lewat, tahu-tahu kelima jari tangan Han Nio-nio bagaikan kuku garuda sudah menyambar tiga inci diatas wajah Si Tiong-pek.
Kali ini Si Tiong-pek benar-benar merasa terkesiap, bahunya langsung dibuang kesamping seraya melompat mundur, tapi gerakan itu toh masih terlambat satu langkah…
“Sreeeet…!” baju putih dibahu kiri Si Tiong-pek segera tersambar oleh jari-jari tangan Han Nio-nio yang lentik hingga robek besar sekali…
Kejut dan gusar Si Tiong-pek menghadapi kenyataan tersebut, sepanjang masa berkelananya dalam dunia persilatan belum pernah ia dipecundangi orang seperti kali ini, sambil membentak keras, sepasang telapak tangannya segera diayun kedepan melepaskan pukulan-pukulannya yang amat dahsyat…
Sedikit miring kesamping, tubuh Han Nio-nio sudah berada empat depa disisi gelanggang, mendadak ia menerobos maju lagi ke depan.
Bayangan manusia melintas lewat, tiba-tiba Gak Lam-kun menerobos masuk kedalam arena dan menghadang dihadapan Han Nio-nio seraya berseru, “Saudara Si, sisanya enam jurus biar aku orang she Gak saja yang menyambutnya!”
Ketika menyaksikan Gak Lam-kun terjun kearena, tiba-tiba Han Nio-nio menghentikan gerakan tubuhnya lalu tertawa merdu.
“Bagus sekali, bagus sekali, boleh saja kalau engkau hendak mewakilinya untuk menerima sisa enam jurus itu”
Sebenarnya Si-Tiong-pek tidak pandang sebelah matapun atas diri Gak Lam-kun, tapi setelah menyaksikan gerakan tubuhnya sekarang, dia baru terperanjat.
“Masa seorang pemuda yang tak ternama semacam dia, sebetulnya adalah seorang jago lihay?” demikian dia berpikir.
Sementara itu Gak Lam-kun sudah berkata dengan dingin, “Tadi aku sudah kebagian menyerang tiga setengah jurus, maka sekarang adalah giliranku untuk menerima keenam jurus seranganmu tanpa menggeserkan sepasang kakiku” Ketika Han-Nio-nio berangkat ketelaga Tong-ting ou, majikannya telah berpesan: Gak Lam-kun merupakan seorang tokoh persilatan yang amat lihay!
Waktu itu dia masih tidak percaya, tapi setelah terjadi bentrokan fisik barusan, dia baru mengakui bahwa si pemuda pada hakekatnya adalah seorang musuh tangguh yang belum pernah dijumpainya.
Misalnya, ucapan semacam itu diucapkan orang lain kepadanya, Han-Nio-nio pasti tidak akan membiarkan dirinya dihina begitu saja, tapi keadaannya sekarang justru berbeda, dia sudah menderita kalah ditangan Gak Lam-kun, meskipun dalam pertarungannya itu dia cuma bertahan tanpa menyerang, namun pada hakekatnya tiga setengah jurus serangan yang dilancarkan Gak Lam-kun itu betul-betul luar biasa bebatnya.
Kendati begitu, ia tersenyum juga melihat kepongahan orang. Hendak menerima enam jurus serangannya tanpa menggeserkan sepasang kakinya?
Kecuali orang goblok, rasanya tak mungkin dia berani mengucapkan kata-kata sesumbar seperti itu.
Sekulum senyuman lantas menghiasi wajah Han Nio-nio, ia berkata dengan hambar, “Cukuplah sudah asal kau mampu menerima enam jurus seranganku itu, mau menggeserkan kaki atau tidak, aku tak ambil perduli. Nah, sambutlah seranganku ini!”
Dengan kelima jari tangan yang direntangkan, secepat kilat tangan kirinya menyambar kedepan Gak Lam-kun sama sekali tidak bergeser dengan jari tengah dan jari telunjuknya dia balas menotok urat nadi dari Han Nio-nio.
Cepat-cepat perempuan berbaju hijau itu merentangkan pukulannya jadi totokan, dan dia ganti menotok urat nadi penting diatas pergelangan tangan kanan Gak Lam-kun.
Serangan itu bukan saja dilancarkan dengan kecepatan luar biasa perubahan yang dilakukan juga sangat mendadak…
Gak Lam-kun terperanjat, dalam keadaan demikian terpaksa telapak tangan kanannya membalik kebawah kemudian memapas pergelangan tangan Han Nio-nio.
Serangan ini berhasil juga memaksa Han Nio-nio harus menarik pergelangan tangan kirinya untuk menghindari bacokan anak muda itu, tiba-tiba ia melompat kesamping, telapak tangan kanannya secepat kilat menerjang jalan darah penting dibahu lawan.
Demikianlah, suatu pertarungan sengit segera berkobar, kedua belah pihak sama-sama menggunakan serangan yang tercepat dan terlihay untuk berusaha menundukkan pihak lawan, dalam waktu singkat lima gerakan sudah lewat.
Meskipun hanya lima jurus tapi kecepatan berubah jurus yang berlangsung sukar diikuti dengan pandangan mata, semua jurus serangan yang dipakai, otomatis merupakan pula serangan yang paling tangguh.
Tiba-tiba Han Nio-nio melepaskan sebuah tendangan kilat, gaun yang robekpun lantas menyingkap hingga tampak pahanya yang putih dan mendatangkan gairah birahi. Tendangan tersebut boleh dibilang dilancarkan dengan suatu gerakan yang sangat aneh, sekalipun ilmu silat Gak Lam-kun lebih lihaypun jangan harap dia bisa hindari serangan itu tanpa menggeserkan kakinya.
Gak Lam-kun yang lihay memang tak malu disebut jagoan kosen, ketika ujung kakinya Han Nio-nio hampir menyentuh tubuhnya, tiba-tiba Gak Lam-kun menjatuhkan tubuh bagian atas ke belakang sementara telapak tangannya disilangkan di depan dada untuk menjaga segala sesuatu yang tidak diinginkan.