Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Jilid 14

Jilid 14

“Persoalanmu telah kuketahui, asal aku mau pasti akan kucari dirimu,” jawab nona itu.

“Kalau demikian, maaf bila aku mohon diri lebih dahulu.”

Sebenarnya apa yang mereka bicarakan? Tentu saja para jago tidak mengerti, cuma semua orang adalah jago-jago berpengalaman dan sudah terbiasa menyerempet bahaya, maka sedikit banyak mereka sudah bisa meraba duduknya persoalan.

Selesai berkata, Oh Kay-thian lantas putar ba-dan dan berlalu, tapi baru beberapa langkah, ia berpaling ke arah Bu- sian-gi-su dan berkata sambil tertawa, “Saudara Kwanliong, kesehatanmu sangat penting, semoga baik-baik menjaga diri.”

Tanpa menanti jawaban Kwanliong Ciong-leng, dia putar badan dan berlalu dari situ, dalam waktu singkat bayangannya telah lenyap.

Tiba-tiba Bu-sian-gi-su Kwanliong Ciong-leng menghela napas sedih, katanya, “Saudara Bok, ke marilah! Akan kukatakan sesuatu kepadamu!” “Apa yang hendak kau katakan, katakan saja terus terang!” seru Ji-sia ketus.

Tiba-tiba Kwanliong Ciong-leng menghampiri pemuda itu, kemudian membisikkan sesuatu di sisi telinganya, bisikan itu amat lirih, semua orang tak tahu apa yang dikatakannya.

Tapi setelah mendengar bisikan tersebut, air muka Bok Ji- sia segera berubah mendadak, ia me-lompat ke sana, tapi segera berpaling pula, katanya kepada nona berbaju biru itu, “Benarkah kau telah turun tangan keji kepada Cu Giok-ceng?”

“Soal ini dari mana kutahu, bukankah kau pu-nya mata?

Kenapa tanya padaku?”

“Jika dia sampai mati, akan kucabut nyawamu sebagai gantinya!” seru Ji-sia dingin.

Selesai berkata, dia lantas putar badan dan berlalu.

Tiba-tiba si nona berbaju biru itu menghela napas, katanya, “Mungkin ia buru-buru ingin meng-antar kematian!”

Sementara itu Ji-sia telah berkelebat ke arah Oh Kay-thian melenyapkan diri tadi.

Lik-ih-hiat-li segera hendak menyusul ke sana, tiba-tiba Kwanliong Ciong-leng berteriak, “Lik-ih-lihiap, tunggu sebentar, hendak kubicarakan sesuatu danganmu!”

“Apa yang hendak kau katakan? Ayo cepat utarakan!”

“Di sini banyak mata telinga, tidak cocok un-tuk  berbicara!”

Hian-thian-koancu Kun-tun Cinjin tertawa di-ngin, serunya, “Saudara Kwanliong, memangnya ada rahasia apa yang tak boleh didengar orang lain? Hehehe…..”

Lik-ih-hiat-li menjadi gusar, sambil membentak telapak tangannya diayun ke depan, angin pukul-an keras menghantam Hian-thian-koancu, sedang-kan tangan yang lain menyerang Bu-sian-gi-su.

Hian-thian-koancu Kun-tun Cinjin tahu akan kehebatan ilmu pukulan lawan, ia tak berani me-nyambut dengan kekerasan, buru-buru ia melom-pat ke samping.

Tapi Bu-sian-gi-su Kwanliong Ciong-leng sem-pat menghindarkan diri, pukulan yang sangat kuat itu membuatnya tergetar mundur tiga langkah dan tumpah darah.

Melihat Hian-thian-koancu lolos dari serangannya, Lik-ih- hiat-li mendengus, dengan suatu gerak cepat ia melancarkan lagi pukulan dahsyat ke arah Kun-tun-cinjin.

Baru saja ujung kaki Kun-tun Cinjin menem-pel permukaan tanah, angin dingin telah berhembus tiba, tanpa pikir lagi terpaksa telapak tangan kanan menyambut pukulan tersebut.

Ketika angin pukulan saling bentur, “blang!” dengan wajah pucat seperti mayat dan bahu ber-getar Kun-tun Cinjin tergetar mundur setengah langkah.

Setelah melancarkan serangan, Lik-ih-hiat-li se-gera melayang ke sana menyusul ke arah Bok Ji-sia tadi.

Memandangi bayangan punggung Bok Ji-sia melenyapkan diri, si nona berbaju biru mendongakkan kepala memandang angkasa, lama sekali ia ter-menung. Terhadap peristiwa dilukainya Kus-tun Cinjin dan Bu-sian-gi-su oleh Lik-ih-hiat-li, seakan tidak tahu menahu.

Mendadak ia menundukkan kembali kepalanya dan menghela napas, omelnya dengan gemas, “Ai, dasar goblok, tak punya otak!”

“Nona,” kata Pek Bi dengan tertawa, “kau begitu galak, tentu saja ia lari ketakutan.”

“Aku ingin menyaksikan sendiri atas kematiannya!” seru nona berbaju biru itu dengan gemas. Pek Sat mengernyitkan dahi, selapis hawa mem-bunuh menghiasi wajahnya yang cantik, katanya, “Manusia semacam dia lebih baik cepat2 mam-pus saja.”

“Enci Pek Sat, siapakah yang kau maksudkan dengan dia?” tiba-tiba si nona berbaju biru menghela napas sedih.

Pek Sat tertegun, jawabnya, “Tentu saja Bok Ji-sia!”

“Enci Pak Sat, kalau begitu kau suruh kubantu dia untuk mengobrak-abrik dunia persilatan daerah Tionggoan?”

Sinar mata yang bengis dan buas terpancar da-ri mata Pek Sat yang jeli, sahutnya dingin, “Nona, tentu saja kita akan membuat dunia persilatan Tionggoan ini banjir darah, biarkan mereka saling mem-bunuh hingga mayat bergelimpangan di mana2.”

Terkejut si nona berbaju biru itu demi men-dengar perkataan itu, dengan termangu-mangu ia me-mandang langit dengan mata sayu.

Tiba-tiba terpancar sinar wajah yang dendam dan banci, ia berkata dengan suara ketus, “Ya, aku akan berbuat demikian, dunia persilatan harus di-obrak-abrik, Jisuheng, Cici berdua, mari kita ber-angkat!”

“Berhenti!” tiba-tiba Pek-pin-kui-po Jik Say-kiau membentak, “sebelum ia sadar kembali, kalian tak boleh pergi!”

Perlahan Pek Sat berpaling, lalu katanya dengan dingin, “Dalam arena sekarang tinggal kau sendiri, apakah kau sanggup menahan kami?”

Ternyata entah sejak kapan kawanan jago yang hadir itu sudah mengundurkan diri dari situ dan lenyap tak berbekas, bahkan Bu-sian-gi-su Kwan-liong Ciong-leng pun sudah pergi. Walaupun Pek-pin-kui-po Jik Say-kiau tahu dengan kekuatannya sendiri tak sanggup menghadapi salah satu di antara ketiga gadis itu, akan tetapi iapun tak bisa membiarkan putri kesayangannya tewas di tangan mereka, dan membiarkan musuh pergi begitu saja.

Maka setelah termenung sejenak, katanya de-ngan sedih, “Nona, harap beritahu padaku terus terang, apakah dia akan sadar kembali?”

“Jangan kuatir,” sahut si nona bercadar it dengan dingin, “dia takkan mati!”

Selesai berkata, dengan langkah lemah gemulai bersama rekan-rekan lainnya berlalu dari situ dan lenyap di tengah remang cuaca.

Setelah bayangan orang lenyap dari pandangan, Pek-pin- kui-po Jik Say-kiau memandang Giok-ceng yang pucat dalam rangkulannya, dengan air mata bercucuran katanya, “Anak yang patut dikasihani, kutahu kau jatuh cinta padanya. Ai….anakku, tahukah kau bahwa cinta adalah kuburan bagimu?….”

Pek-pin-kui-po Jik Say-kiau membungkukkan badannya dan pelahan memondong tubuh Cu Giok-ceng, tanpa mengucapkan sepatah katapun ia berlalu dari situ dengan air mata bercucuran.

Ia sangat sedih, satu-satunya harapan sekarang adalah supaya putrinya bisa segera tersadar kem-bali.

Sementara itu Bok Ji-sia telah melakukan per-jalanan cepat ke depan sana. Kiranya Bu-sian-gi-su Kwanliong Ciong-leng telah berbisik padanya bahwa kemungkinan besar sarung ruyung Jian-kim-si hun-pian telah dirampas oleh Seng-gwat- kiam Oh Kay-thian yang menyamar sebagai manusia aneh bertubuh tinggi besar itu.

Sudah dua li ia melakukan perjalanan, akan tetapi jejak Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian belum ditemukan juga, diam- diam ia terkejut oleh kecepat-an orang. Dengan sedih Ji-sia menghela napas dan meng-hentikan langkahnya, ia pandang Jian-kim-si-hun~pian yang berada di tangannya, kembali ia terba-yang pada pesan Thian-kang-te- sat-seng-gwat-kiam Oh Kay-gak yang meminta kepadanya agar ruyung itu jangan sampai dirampas orang, tapi belum sam-pai sebulan, sarung ruyung itu sudah lenyap, hal ini sungguh membuat anak muda ini merasa malu.

Tiba-tiba mencorong sinar matanya, diam-diam ia mengambil keputusan akan berkunjung ke Thian-seng-po untuk merampas kembali sarung ruyung itu, meski Oh Kay- gak tidak membicarakan masa-lah yang menyangkut pribadinya ketika menyerahkan ruyung tersebut, tapi Bok Ji- sia tahu bahwa ruyung emas Jian-kim-si-hun-pian tersebut pasti menyangkut pula soal kehidupan kakek itu di masa lalu.

Demikianlah pikiran Bok Ji-sia terombang-ambing tak menentu.

Bintang bertaburan di angkasa, tiba-tiba ter-dengar seseorang berseru dengan suara dingin, “Bok Ji-sia, sekali ini kau pasti mampus!”

Air muka Ji-sia berubah hebat demi mendengar perkataan itu, seperti anak panah yang terlepas da-ri busurnya ia meluncur ke arah semak belukar di mana berasalnya suara tersebut, belum lagi tubuh-nya tiba, suatu pukulan dahsyat telah dilancarkan.

Angin pukulan yang sangat kuat segera mem-belah semak belukar dan menggetarkan ranting dan dedaunan.

Menurut pikiran Bok Ji-sia, serangan itu pasti akan berhasil memaksa orang itu memuncul-kan diri, dan bila orang itu muncul, dengan se-genap kemampuannya akan menangkap lawan.

Siapa tahu kejadian di luar dugaan, ketika se-mak belukar itu terbelah oleh embusan angin pu-kulan, ternyata tak sesosok bayangan pun yang nampak. Ji-sia amat penanaran, ia menyusup ke depan untuk menggeledah lebih jauh.

Semak belukar itu sangat lebat dan setinggi manusia, di bawah sinar bintang Ji-sia telah masuk sejauh dua-tiga tombak ke dalam semak, akan te-tapi tidak nampak juga bayangan manusia, ini me-nimbulkan kecurigaannya.

“Jelas terdengar suara orang itu berasal dari sini, mungkinkah aku salah dengar?” demikian ia barpikir. “Apalagi semak di sekitar sini amat lebat, bagaimana pun tingginya ilmu meringankan tubuh, asal bergerak niscaya akan bersuara, tapi kenyata-annya tiada suara gemersik, tidak kelihatan pula bayangan orang…..”

Sementara ia termenung, tiba-tiba dari samping kiri terdengar suara gemersik.

Sambil membentak Ji-sia melompat ke depan, tiba-tiba ia memutar badan di tengah udara dan langsung menubruk ke arah suara tadi.

Gerakannya dilakukan dengan cepat luar biasa, sekali kelebatan saja sudah tiba di tempat tujuan, belum lagi rumput itu berhenti bergoyang, anak muda itu sudah tiba.

Akan tetapi di tempat itupun sepi, tak nampak sesosok bayangan apa pun.

Kontan saja amarahnya memuncak, dengan suara keras bentaknya, “Bermain sembunyi macam kura-kura, bukan tindakan seorang laki-laki sejati!”

Di tengah bentakan, kedua telapak tangannya bekerja sekaligus, angin pukulan dahsyat menggu-lung ke empat penjuru. Tenaga dalamnya sekarang amat sempurna, he-bat sekali akibat pukulan itu, ranting yang patah dan rumput yang terbabat segera berhamburan kemana-mana.

Beruntun ia melancarkan belasan kali pukulan berantai, rumput kering di sekitar tempat itu ter-babat oleh angin pukulannya yang dahsyat sehing-ga berubah menjadi tanah kosong, tapi bayangan musuh tetap tak tampak juga.

Sementara ia heran, tiba-tiba terdengar suara dengusan tertahan berkumandang tak jauh dari sana.

Dengan cepat Ji-sia berpaling, tertampak oleh-nya rerumputan dari mana ia masuk tadi tiba-tiba mengepulkan asap api, tapi segera padam lagi.

Ia terperanjat, ia tahu ada musuh hendak mem-bakar mati dirinya, tindakan keji ini segera mengo-barkan hawa amarahnya, sambil membentak secepat kilat ia menerjang ke depan.

Tiba-tiba terdengar seseorang memaki dengan su-ara yang dingin, “Anak goblok, tahu begini, tentu kubiarkan kau mati terbakar!”

Di tengah seruan tersebut, Ji-sia segera mera-sakan angin pukulannya besar, ia menjadi terpe-ranjat, tubuhnya yang sedang menubruk maju se-gera melayang turun ke samping.

Di bawah sinar bintang, tampaklah seorang nyonya setengah umur yang agung dan berwajah cantik telah berdiri di hadapannya. Sorot matanya yang tajam membuat orang  tak berani memandangnya terlalu lama. Wajahnya yang cantik dan tidak berkerut itu tampak tercengang ketika melihat tenaga pukulan Ji-sia yang begitu dahsyatnya.

Tak jauh di samping nyonya berbaju merah cantik itu meringkuk sesosok bayangan manusia, dengan cepat Ji-sia menduga orang yang meringkuk itu tentulah orang yang hendak membakar dirinya tapi telah dibunuh oleh perempuan itu lebih dulu.

Untuk sesaat lamanya Ji-sia jadi tertegun, ia tak bisa menebak siapa gerangan nyonya setengah umur yang cantik ini. Dengan wajah membesi dan suara dingin nyo-nya cantik setengah umur itu menegur, “Apakah kau ini ahli waris Oh Kay-gak?”

Ji-sia melengak, pikirnya, “Kenapa hanya se-kilas pandang saja ia dapat menduga aku adalah ahli waris Oh Kay-gak?”

Melihat pemuda itu hanya membungkam, nyo-nya cantik setengah umur itu mendengus, katanya lagi, “Ruyung emas Jian-kim-si-hun-pian ini sudah terjatuh ke tangan Oh Kay-gak pada delapan tahun yang lalu, kalau kau bukan ahli warisnya, masakah kau punya kepandaian merampas ruyung ini dari dia?”

“Kalau sudah tahu, buat apa bertanya lagi?” kata Ji-sia ketus.

Mendengar jawaban itu, nyonya cantik setengah umur itu tertawa merdu, suara tertawanya begitu nyaring, mengandung daya pengaruh iblis yang pembetot sukma. Mendengar suara gelak tertawa yang membe-tot sukma itu, Ji-sia merasakan darah dirongga da-danya bergolak keras.

Mendadak nyonya setengah umur itu meng-hentikan gelak tertawanya, dengan wajak sedingin es dia melayang tiba dengan entengnya. Ji-sia terkejut, dengan sinar mata beringas ia pegang ruyung emas Jian-kim-si-hun-piannya erat2, tenaga murni dihimpun dan siap menghadapi sega-la kemungkinan.

Nyonya cantik itu melayang turun tidak jauh di depan Bok Ji-sia, katanya dengan dingin, “Bok Ji-sia, lekas berlutut untuk menerima kematian!”

Kata-katanya sombong luar biasa.

Ji-sia berkerut dahi, sambil mendengus katanya, “Siapa kau? Takabur amat ucapanmu! Hm, sekali-pun berhadapan dengan ratu juga orang she Bok takkan merendahkan diri untuk berlutut.”

“Ehm, boleh juga, pantas muridku itu sampai terpikat olahmu!” ujar nyonya cantik itu sambil ter-tawa dingin. Hati Ji-sia tergetar, cepat ia tanya, “Apa kau bilang?”

“Tak perlu banyak bicara,” bentak nyonya cantik itu,  “cepat serahkan ruyung Jian-kim-si-hun~ pian itu kepadaku!”

“Tidak sulit bila menginginkan ruyung mestika Jian-kim-si- hun-pian ini,” jawab Ji-sia sambil ter-tawa dingin, “silakan turun tangan !”

“Hmm, dengan sedikit kemampuanmu itu juga berani menantang diriku? Rupanya kau sudah bosan hidup!”

Walaupun Ji-sia tahu lawan pasti seorang jago kenamaan dalam dunia persilatan, belum tentu ia sanggup menang, tapi ia naik darah juga karena orang memandang rendah padanya.

“Aku ingin tahu sampai di manakah kehebatanmu!” jengeknya.

Di tengah seruan tersebut, dengan cepat ia me-nerjang maju, tangan kirinya disodokkan ke depan, menutuk jalan darah Hian-ki-hiat di bagian dada. Nyonya cantik setengah umur itu sedikit ber-gerak, tahu-tahu ia melompat ke samping.

Gagal dengan serangan yang pertama, Ji-sia melancarkan serangan berikutnya, ruyung mestika itu dengan membawa desing tajam menyambar ke depan, sementara telapak tangan kiri melepaskan suatu pukulan.

Nyonya cantik berbaju merah itu tertawa di-ngin, entah dengan gerakan apa, tahu-tahu ia su-dah menyurut mundur meloloskan diri dari ancam-an ruyung serta pukulan anak muda itu.

“Jika dalam seratus jurus kau sanggup memukulku atau menendangku, aku akan mengurung diri selama delapan belas tahun lagi dari keramaian du-nia persilatan,” katanya dingin.

Sebenarnya Ji-sia sudah siap menyerang lagi, akan tetapi ia membatalkan niatnya itu demi men-dengar ucapan orang, setelah termenung sejenak, katanya, “Kita tak punya perselisihan apa-apa, buat apa saling beradu kepandaian, andaikata dalam se-ratus gebrakan nanti aku dapat melukaimu, bukan-kah hanya akan menambah beban pikiran bagiku?”

Kiranya waktu Ji-sia mendengar orang menga-takan akan mengurung diri selama delapan belas tahun lagi, tiba-tiba ia teringat pada nasib gurunya, Oh Kay-gak, yang terkurung juga selama delapan belas tahun dalam ruangan tertutup, hal mana mem-buat ia berpikir apabila perempuan ini sampai dilukainya, bukankah ia mencelakainya mengurung diri selama delapan belas tahun lagi? Padahal waktu sangat berharga bagi kaum perempuan, bukan cuma perempuan, lelaki pun sama.

Tiba-tiba nyonya cantik berbaju merah itu ter-tawa cekikikan, lalu berkata, “Jika dalam seratus jurus kau mampu melukaiku, maka akan kubantu dirimu untuk menyelesaikan suatu keinginanmu, habis itu baru aku menutup diri lagi selama delapan belas tahun.”

Ji-sia terkesiap, tanpa terasa ia bertanya, “To-long tanya siapakah Anda?”

“Sementara tak perlu tanya siapa diriku, asal kau sanggup menghantam atau menendangku, segera akan kulaksanakan seperti apa yang telah kujanji-kan.”

“Jadi, kau yang memaksaku untuk bertarung!” “Memangnya aku perlu sembarangan bicara denganmu?”

seru nyonya cantik itu dengan gusar.

Diam-diam Ji-sia berpikir, “Perempuan ini be-nar-benar aneh, kalau dia berniat beradu kepandai-an denganku, seharusnya langsung saja bertarung denganku, mau mengalah pun paling-paling tiga ju-rus saja, masa mengalah sampai seratus jurus? Sekalipun ilmu silatnya jauh lebih unggul, jika aku gunakan tenaga pukulan sepenuhnya, apakah dia sanggup bertahan? Tapi dia bilang bersedia mem-bantuku untuk mewujudkan sesuatu keinginanku, jelas hal ini sangat menguntungkan diriku.”

Berpikir demikian, selagi ia hendak terima ga-gasan orang, tiba-tiba terpikir lagi, “Aku Bok Ji-sia adalah seorang laki-laki sejati, mana boleh menarik keuntungan atas diri orang lain? Apalagi dia adalah seorang perempuan!”

Berpikir sampai di sini, dengan suara keras ia lantas berkata, “Jika kau berkeras hendak bertarung melawanku, biarlah kita tak perlu saling mengalah, mari kita bertarung menurut kepandaian masing-masing.”

“Serang dulu seratus jurus, coba dulu apakah kau pantas berkelahi denganku atau tidak, setelah itu baru bicara lagi.”

“Itu tak perlu, kita boleh bertarung dengan mengandalkan kepandaian masing-masing, dengan begitu biarpun kalah bisa kalah dengan puas.”

“Jika kau kalah akan kehilangan ruyung mestika Jian-kim- si-hun-pian tersebut!” kata nyonya can-tik berbaju merah itu sambil tertawa dingin.

“Apa?” seru Ji-sia kaget, “kita kan bertarung tanpa taruhan, kapan kau katakan ruyung itu seba-gai barang taruhan?”

Nyonya cantik berbaju merah itu tertawa, “Da-lam pertarungan seratus jurus kita memang tidak mempertaruhkan ruyung mestika itu, cuma bila kau- gagal menang dalam seratus jurus, lalu kurampas ruyung mestika itu, bukankah bisa kulakukan dengan mudah? Dengan begitu, bukankah sama halnya kau akan kehilangan ruyung mestika itu?”

“Betul juga perkataannya!” pikir Ji-sia, “jika dalam seratus gebrakan aku tak sanggup melukai-nya, itu berarti ilmu silatnya tiada tandingannya di dunia ini, asal dia mau merampas, bukankah ru-yung ini akan menjadi miliknya dengan mudah….?” Berpikir demikian, Ji-sia lantas bertanya, “Ka-lau begitu, kau bertekad hendak merampas ruyung mestika ini setelah seratus gebrakan?”

“Itu belum tentu, persoalan selanjutnya biar kita bicarakan nanti saja!”

“Baik, untuk sementara ruyung ini ku taruh di tanah, jika dalam seratus jurus tak dapat kukalahkan dirimu, akan kuserahkan ruyung ini kepadamu.”

Seraya berkata, pemuda itu menancapkan ru-yung Jian- kim-si-hun-pian di atas tanah.

Nyonya berbaju merah itu tertawa dingin, ka-tanya, “Kau tidak menggunakan keampuhan ruyung mestika itu, sebaliknya hanya bertangan kosong, jika dalam seratus jurus berhasil meraba ujung ba-juku, maka akan kuanggap  kau yang menang.”

“Segala sesuatunya terserah padamu, tapi kau perlu hati- hati, aku akan melancarkan serangan!”

Meskipun Ji-sia tak tahu mengapa perempuan itu hendak mengalah seratus jurus kepadanya, tapi untuk menghindari agar ruyung mestika Jian-kim--si-hun-pian itu jangan sampai hilang, iapun tidak banyak bertanya lagi, dengan jurus Se-lui- sian~tian (guntur di barat kilat menyambar) ia menghantam dada lawan.

Jurus serangan ini merupakan salah satu jurus ajaran Oh Kay-gak, tiba-tiba teringat olehnya, maka dipakai untuk menyerang.

Ketika dilihatnya serangan itu datangnya se-perti menutuk, seperti juga menabas, nyonya cantik berbaju merah itu rada melengak.

Ji-sia sendiri pun merasa heran ketika dilihat-nya perempuan itu tidak bermaksud menghindari serangannya, segera dia berpikir, “Jangan-jangan dia melatih sejenis khikang pelindung badan, maka sengaja membiarkan pukulanku bersarang ditubuhnya agar dia bisa melukaiku dengan getaran tenaga dalamnya?”

Ketika serangan Ji-sia hampir mengenai tubuh-nya, tiba- tiba nyonya cantik itu melayang mundur, dengan tepat ia menghindarkan diri dari serangan anak muda itu.

Gagal dengan serangannya, Bok Ji-sia melang-kah ke depan, tangan kanan yang melancarkan serangan tadi tidak ditarik, sedang tangan kiri dari bawah membalik ke atas untuk mencengkeram urat nadi pergelangan tangan kiri lawan dengan jurus Nu hay-poh-liong, (naga bertarung di tengah laut).

Belum lagi tangan kirinya mendekati pergelangan tangan musuh, tiba-tiba nyonya cantik berbaju merah itu berseru tertahan, lalu menyurut mundur beberapa langkah. Sekalipun nyonya cantik itu telah menghindar-kan serangan lawan, tapi ia merasa heran, dia tak menyangka serangan Bok Ji-sia sedemikian aneh-nya, sebab dia cukup mengetahui akan ilmu silat Oh Kay-gak, sebagai muridnya Ji-sia pasti telah memperoleh semua warisan ilmu silatnya, tapi dua jurus serangan yang digunakannya sekarang ternyata merupakan jurus aneh yang belum pernah dilihatnya.

Perlu diketahui, dua jurus serangan yang di-gunakan Bok Ji-sia barusan adalah jurus serangan yang tercantum dalam kitab Koat-im-siang-gi-cin-keng.

Sementara nyonya cantik berbaju merah itu termenung, tiba-tiba terasa angin pukulan menyam-bar tiba, dengan terkejut buru-buru ia melompat ke belakang. Sungguh tak terlukiskan rasa kagetnya, dia merasa Bok Ji-sia telah berhasil melatih sejenis te-naga murni, semacam ilmu yang berkekuatan maha tinggi.

Sementara itu Ji-sia telah menyusul maju, tangan kiri secepat kilat mencengkeram urat nadi nyonya cantik berbaju merah itu. Setelah terdesak mundur, nyonya cantik ber-baju merah itu merasa kaget bercampur mendong-kol, ia tak berani memandang enteng musuh lagi, kini ia merasa ilmu silat Bok Ji-sia boleh disejajarkan dengan kelihaian Bu-lim-jit-coat.

Segera ia berputar ke samping, tampaknya hen-dak menerjang ke muka, tahu2 malah mundur se-jauh empat-lima langkah dari tempat semula.

Bok Ji-sia terperanjat, pikirnya, “Ilmu gerak-an apakah itu? Kalau aku berganti jurus serangan, bila dia terus menyelinap ke belakangku dengan gerakan aneh ini, dan menyergap dari belakang, wah, bisa berabe! Aku harus berjaga2 atas kejadian ini, paling tidak jangan sampai kena didahului olehnya.”

Segera gerak tubuhnya yang sedang menerjang ke depan ditahan lalu cepat memutar badan.

Setelah mundur dua langkah, sambil menjura katanya dengan serius, “Ilmu silat Locianpwe sung-guh sangat lihai, Wanpwe tahu bukan tandinganmu, apalagi di antara kita tak pernah terikat permusuh-an, buat apa Locianpwe berkeras ingin bertarung melawanku untuk menentukan menang kalah….?

Belum habis berkata, nyonya cantik berbaju merah itu telah menukas dengan dingin, “Buat orang lain, sekalipun mereka ingin bertarung denganku juga aku tidak sudi bertarung dengan mereka, se-karang aku mau bertarung denganmu lantaran aku menilai tinggi dirimu, jika ingin mempertahankan ruyung mestikamu itu, baik-baiklah menyerang sem-bilan puluh tujuh jurus lagi.”

Terkejut sekali Ji-sia mendengar perkataan itu, pikirnya, “Jika ia benar-benar berniat merampas ruyung ini, sudah pasti aku tak sanggup melindungi-nya…..”

Berpikir sampai di sini, ia menghela napas se-dih, katanya, “Locianpwe, jika kau sudah tahu aku adalah murid Oh Kay- gak, mestinya kau juga tahu akan harapannya ketika menyerahkan ruyung ini kepadaku, terus terang saja, aku tak ingin oaang lain merampas ruyung mestika ini.”

“Ilmu silatmu tidak tinggi, jika aku tidak me-lakukan hal ini, memangnya orang lain tak akan merampas ruyung ini?”

Setelah berhenti sebentar, tiba-tiba ia bertanya, “Sudah berapa lama kau belajar pada Oh Kay-gak?”

“Hanya tiga-empat hari, cuma aku merasa ba-gaikan mempunyai hubungan batin selama puluhan tahun dengan beliau.”

“O, jadi sebelum bertemu dengan dia memang kau sudah mahir ilmu silat?”

“Jurus serangan sekedar tahu, tapi tidak me-miliki tenaga dalam.”

“Kau memang anak baik, coba serang sebanyak sembilan puluh tujuh jurus lagi, mungkin saja di kemudian hari kita bisa mengikat hubungan yang lebih akrab.”

“Aku hanya seorang angkatan muda, mana pantas mengikat tali persahabatan dengan Locian-pwe?”

Nyonya cantik berbaju merah itu tertawa di-ngin, “Sahabat atau musuh, kemungkinannya selalu ada, hm, lebih baik cepat turun tangan!”

“Dalam suatu pertarungan pasti ada korban yang jatuh, kalau bukan kau yang mati mungkin akulah yang mampus….”

“Ada apa, kau hendak beradu jiwa denganku?” jengek nyonya cantik berbaju merah itu.

“Ilmu silatmu tinggi, tenaga dalammu sempurna, jika aku tidak bertekad beradu jiwa, mana bisa menangkan dirimu? Lagipula jika ruyung ini sam-pai kau rampas, lebih baik aku mati daripada hidup.” Kiranya Bok Ji-sia telah dipaksa berulang kali untuk bertarung hingga timbul juga kemarahannya, maka dia mengatakan hendak beradu jiwa, padahal tatkala menerima pemberian ruyung dari Oh Kay-gak ia pernah bersumpah akan melindungi ruyung tersebut dengan jiwa sendiri, bila ruyung itu lenyap iapun akan ikut mati.

“Bagus sekali!” seru nyonya cantik berbaju merah itu sambil tertawa, “tak kusangka dalam du-nia persilatan kini masih ada manusia yang bisa pegang janji.”

“Sebenarnya aku memang tak sudi menerima tantanganmu untuk bertarung seratus jurus, tapi urusan telah berkembang menjadi begini, terpaksa aku harus menyanggupi.”

“Sudah, cukup! Sekarang berusahalah dengan sepenuh tenaga!”

Ji-sia tidak bicara lagi, kedua telapak tangan-nya beruntun melancarkan serangan berantai.

Nyonya cantik berbaju merah itu miringkan badan menghindari serangan, kemudian berdiri te-gak di tempat semula untuk menantikan serangan berikutnya dari Bok Ji-sia.

Gagal dengan serangan pertama, Ji-sia mener-jang maju lebih dekat, kedua tangan sekaligus melancarkan serangan dahsyat secara bergantian. Ilmu silat nyonya cantik berbaju merah itu benar-benar luar biasa, selama pertarungan berlangsung, kedua tangannya lurus menempel badan, hanya ka-kinya bergerak ke sana kemari dengan cepat, ha-nya bayangan merah saja yang tampak berkelebat, tapi sukar ditahan.

Walaupun Ji-sia melancarkan serangan cepat dan gencar, tapi sudah empat-lima puluh jurus se-rangan, jangankan mengenai sasaran, meraba ujung bajunya pun tak mampu. Hati Bok Ji-sia mulai tegang, tapi hawa ama-rah makin berkobar, mendadak ia melompat mun-dur seraya melancarkan pukulan dengan tangan membalik.

Dalam pada itu si nyonya cantik berbaju me-rah pun mulai merasakan betapa sempurnanya te-naga dalam Bok Ji-sia, setelah melangsungkan pertarungan itu, iapun merasakan adanya hawa murni tak berwujud pelindung tubuh, ketika dilihatnya pe-muda itu menyerang dengan gencar, tahulah dia anak muda itu sudah marah, maka gerak-geriknya juga tak berani gegabah.

Terasalah ada segulung angin pukulan berat menghantam tubuhnya, sambil mengerahkan tenaga untuk melindungi badan ia bergeser ke samping kiri….

Setelah melepaskan pukulan tadi, Ji-sia berpu-tar dengan gerakan aneh, lalu sekali lagi menerjang maju dan melepaskan pukulan gencar.

Serangan yang dilancarkan ini jauh berbeda dengan semula, serangan kali ini selain dengan jari tangan, juga dengan pukulan, demikian pula kaki, semuanya jurus  serangan yang mematikan.

Pukulan bagaikan martil, telapak tangan ba-gaikan bayangan setan, jari tangan seperti gunting, semuanya jurus serangan aneh sukar diraba arah tujuannya.

Sekalipun pada masa lalu nyonya cantik ber-baju merah itu menempati kedudukan sebagai jago nomor satu dalam dunia persilatan, tapi di bawah serangan gencar dan aneh Bok Ji-sia, lama-lama dirasakan juga hebatnya daya tekan lawan. Bahkan beberapa kali terpaksa gerakan tubuh-nya menjadi kacau, tangan yang menempel badan hampir saja diangkat untuk menangkis, untung saja ia cukup siap sehingga tak sampai mempergunakan tangannya. Dalam sekejap mata, empat puluh jurus lebih sudah lewat pula, Bok Ji-sia menghitung terus sambil bertarung, segera ia tahu bila tiga gebrak-an lagi akan genaplah seratus jurus.

Ia menjadi terkesiap, sambil berhenti menye-rang, pikirnya dalam hati, “Ilmu silat orang ini betul-betul baru pertama kali ini kujumpai, kalau pertarungan dilanjutkan, sekalipun seratus gebrakan lagi juga percuma.”

“Kenapa tidak kau lanjutkan?” nyonya cantik berbaju merah itu menegur dengan tertawa.

Bok Ji-sia menghela napas, katanya, “Ilmu si-lat Locianpwe betul-betul hebat dan boleh dikata-kan nomor satu di dunia, sekalipun bertarung se-ratus jurus lagi Wanpwe takkan mampu menyentuh badanmu.”

Nyonya cantik berbaju merah itu tersenyum, “Cukup mendengar beberapa patah kata sanjunganmu ini, aku jadi menyukaimu, lebih baik lanjutkan saja tiga jurus yasg terakhir ini. Dalam tiga jurus terakhir ini, kuizinkan kau untuk mengguna-kan ruyung dan tangan sekaligus, sedangkan akupun melancarkan serangan balasan, asal aku bisa merampas ruyungmu, akulah yang menang, dalam tiga jurus ini aku hanya akan menyerang satu kali, kalau gagal merampas ruyungmu itu, anggaplah aku yang kalah.”

Mencorong sinar mata Bok Ji-sia, ia lantas menyambar ruyung mestikanya dari tanah, lalu katanya dengan lantang, “Locianpwe, Wanpwe akan menuruti kehendakmu!”

Sambil berkata, ruyung mustika Jian-kim-si-hun-pian segera berputar menciptakan selapis ca-haya emas, suara mendengung nyaring yang mem-betot sukma pun mencekam perasaan orang.

Ternyata Bok Ji-sia teringat pada pesan Oh Kay-gak yang mengatakan jika ruyung ini diputar kencang maka sekalipun seorang jago kelas satu dari dunia persilatan juga tak berani mendekat, tentu saja Ji sia tak ingin ruyungnya dirampas orang dengan begitu saja, maka dia teringat pada jurus ajaran Oh Kay-gak tersebut.

Melihat jurus ruyung tersebut, tiba-tiba nyo-nya cantik berbaju merah itu menerjang maju ke depan. Bok Ji-sia putar Jian-kim-si-hun-pian , dan mengunci ancaman lawan, siapa tahu dengan me-ngikuti gerak ruyung, sekali berkelebat tahu- tahu nyonya cantik itu sudah menyelinap ke samping. Gerak tubuh itu sungguh amat cepat dan aneh.

Ji-sia terperanjat, cepat ia mundur, cahaya ta-jam berkilau melindungi tubuh sendiri. Tampak nyonya cantik berbaju merah itu lan-tas menyelinap keluar dari celah kosong antara sambaran ruyung, kemudian tangan kanan secepat kilat menyambar ke depan, mencengkeram sendi tulang siku kanan Bok Ji-sia yang memegang ru-yung.

Ji-sia terkejut, telapak tangan kiri segera menabas ke depan membacok dada musuh. Serangan ini merupakan jurus serangan terakhir di antara seratus jurus yang ditetapkan.

Dengusan tertahan berkumandang, tahu-tahu lengan kanan Bok Ji-sia yang menggenggam ruyung telah dicengkeram oleh ilmu Kim-na-jiu lawan yang aneh, tenaga pukulannya segera punah, karena ke-sakitan akibat tercengkeramnya persendian pada sikunya, ruyung mestika itu serta merta jatuh ke tanah.

Sementara itu, telapak tangan kiri Bok Ji-sia yang melancarkan serangan itu meski telah kehi-langan tenaga, tapi secara kebetulan sekali tangan itu menyentuh pakaian bagian dada si nyonya.

Nyonya cantik berbaju merah itu menjerit ka-get dan melompat mundur, dengan tajam ditatap-nya wajah Ji-sia tanpa berkedip. Ji-sia sendiri tidak merasakan telapak tangan-nya menyentuh baju lawan, dengan melongo ia me-natap wajah nyonya cantik berbaju merah itu dengan tercengang, terhadap ilmu Kim-na-jiu lawan yang tangguh dan aneh itu, ia benar-benar amat kagum. Ia merasa seakan-akan ilmu silat macam apa pun di dunia ini tak ada yang bisa memenangkan ke-cepatan dan kesaktian Kim-na-jiu-hoat tersebut.

Tiba-tiba nyonya cantik berbaju merah me-mutar badan, tanpa mengucap sepatah kata pun lantas berlalu dari situ.

Hanya dalam sekejap saja perempuan itu sudah berada lima-enam tombak jauhnya, melihat itu buru-buru Ji-sia berteriak, “Locianpwe, ruyung ini…..”

Belum selesai ucapannya bayangan tubuh nyo-nya cantik itu sudah lenyap di balik kegelapan malam. Terpaksa Bok Ji- sia menghela napas sedih, ia memandang langit yang kelam, tak bisa dilukiskan bagaimana perasaannya sekarang, ia merasa ilmu silat sendiri terlalu rendah.

Dengan perasaan gundah akhirnya ia memutar badan dan hendak menuju ke Thian-seng-po. Mendadak di bawah sinar bulan beberapa tom-bak di depan sana berdiri sesosok bayangan. Orang itu muncul dengan sangat mendadak dan tanpa menimbulkan sedikit suara pun, Ji-sia tak tahu sejak kapan orang itu tiba di belakangnya.

Setelah mengamati orang itu sejenak, dengan suara keras Ji-sia membentak, “Oh Kay-thian, ba-gus sekali kedatanganmu ini, memang orang she Bok sedang mencarimu!”

Ternyata orang itu adalah Seng-gwat-kiam atau si pedang bintang dan rembulan Oh Kay-thian.

Sambil tertawa ia menyahut, “Bok-siauhiap ada urusan apa kau cari -diriku?”

Berhadapan muka dengan musuh besar, kon-tan mata pun jadi merah dan muka menyeringai, dengan geram Ji-sia membentak, “Mau apa lagi? Tentu saja minta kembali sarung ruyung Jian-kim-si-hun-pian dan membalas dendam bagi kematian guruku!” “Bok-siauhiap, sungguh aku tidak mengerti atas perkataanmu itu, berdasarkan apa kau tuduh aku merampas sarung ruyung mestika? Lagipula, si-apakah gurumu? Apakah kau maksudkan Jihengku Oh Kay-gak?”

Tertegun juga Ji-sia mendengar perkataan itu, pikirnya, “Betul juga, berdasar apa aku menuduhnya sebagai perampas sarung ruyung itu? Apakah manusia aneh tinggi besar itu bukan dia? Tapi ke-tiga belas sosok mayat hidup itu jelas pernah ku-lihat sendiri di balik alat jebakan dalam benteng Thian-seng-po.”

Sambil tertawa dingin ia lantas berkata, “Oh Kay-thian, selamanya kau licik dan banyak tipu muslihat, tapi dalam peristiwa ini jangan harap kau bisa merahasiakan dirimu lagi!”

Tetap dengan rasa bingung Oh Kay-thian ber-kata, “Bok- siaubiap, jangan kau fitnah orang dengan yang bukan-bukan, ketahuilah orang persilatan paling mengutamakan  setia kawan, sesungguhnya apa maksudmu menuduh diriku?”

“Memangnya bukan kau yang melarikan sarung ruyung Jian-kim-si-hun-pian?”

“Aneh, ada beribu orang persilatan yang ber-minat merebut ruyung mestika itu, orang yang berilmu lebih tinggi pun tak terhitung banyaknya, kau anggap aku mampu berbuat demikian? Seperti perempuan tadi, ilmu silatnya luar biasa, kau tahu siapakah dia?”

Ji-sia, mendengus, katanya ketus, “Memangnya siapa dia?

Coba katakan!”

“Dia bukan lain adalah Kiu-thian-mo-li yang pada delapan belas tahun lalu disebut sebagai ja-goan nomor satu.”

Kejut dan heran Ji-sia mendengar perkataan itu, mimpi pun ia tak menyangka nyonya cantik berbaju merah tadi adalah Kiu-thiau-mo-li, pantas ilmu silatnya selisih begitu jauh dibandingkan dirinya. Tapi Ji-sia pun merasa menyesal, sebab hing-ga detik ini hanya Kiu-thian-mo-li, Lamkiong Hian serta saudaranya saja yang tahu kehidupan gurunya Oh Kay-gak, yang penuh teka- teki itu, tapi ia telah melewatkan kesempatan baik untuk bertanya dengan jelas pada nyonya cantik tadi.

Melihat pemuda itu lama sekali membungkam, Seng-gwat- kiam Oh Kay-thian kembali berkata, “Menurut apa yang kuketahui, para jago persilat-an telah berdatangan kemari, semua orang berniat merebut ruyung mestika Jian-kim-si-hun- pian, bila kau bawa ruyung tersebut sekarang, rasanya tidak menguntungkan.”

“Untung atau buntung sudah pernah kau kata-kan ketika berada di tanah pekuburan dahulu, ku-kira tak perlu kau ulangi lagi sekarang dan banyak mulut.”

Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian bergelak tertawa, “Wah, aku kan hanya memberi nasihat saja padamu, kukira nyawamu……”

Bok Ji-sia mendengus dengan sikap menghina, sebelum orang menyelesaikan kata-katanya ia telah menukas, “Nyawaku kenapa? Barangkali kau kasih-an padaku? Kini keadaan kita ibaratnya api dan air, dalam hati kita masing- masing tahu dengan je-las, aku hendak merenggut nyawamu, dan kaupun hendak merenggut nyawaku, sebagai laki-laki sejati, buat apa main pura-pura dan munafik. Hmm, semuanya itu hanya perbuatan orang rendah.”

“Bok-siauhiap, tampaknya kesalahpahamanmu terhadapku terlalu mendalam….” kata Oh Kay-thian sambil tertawa, “masakah Jihengku Oh Kay-gak menuduhku memperlakukan dia secara keji se-belum kematiannya?”

“Oh Kay-thian!” bentak Ji-sia, “Jika kau ma-sih merasa mempunyai hubungan darah dengan dia, kenapa kau menyiksa dia begitu rupa? Membuatnya menderita selama delapan belas tahun dalam kese-pian dan mati secara mengenaskan? Coba katakan apa sebabnya!”

Terbayang pada keadaan Oh Kay-gak yang mengenaskan itu, Ji-sia merasakan darah dalam da-danya bergolak, kata- kata itupun diucapkan dengan nada lebih keras.

Senyuman yang menghiasi ujung bibir Oh Kay-gak seketika lenyap, dengan wajah kelam katanya, “Bok-siauhiap, caramu bicara betul-betul tak tahu diri, bila Jihengku mengatakan aku telah menyiksa-nya hingga menjadi begitu rupa, maka aku siap bunuh diri di hadapanmu!”

Melihat keseriusan orang dan kata-katanya yang tegas, Ji- sia jadi ragu, pikirnya, “Sebelum meninggal, Oh Kay-gak memang tidak menerangkan siapa yang telah mencelakainya, dia hanya bilang dirinya rela menjalankan penghidupan terpencil dan tersiksa itu, tapi pasti hal itu dikarenakan alasan- alasan ter-tentu…..?”

Berpikir demikian, iapun berkata, “Kalau be-gitu, kenapa- Oh Kay-gak rela mati menanggung dendam? Coba jelaskan pedaku!”

Air muka Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian pulih kembali dalam kelembutan dan keramahan, katanya, “Sesungguhnya hal ini disebabkan oleh suatu per-soalan yang amat rumit, aku sendiri kurang jelas, tapi yang pasti hal itu menyangkut ruyung mestika Jian-kim-si-hun-pian yang berada di tanganmu se-karang.”

Ji-sia tahu orang enggan memberi keterangan kepadanya, diam2 iapun berpikir, “Menurut ucapan Suhu, menjelang kematiannya, seakan- akan semua per-soalannya timbul dari ruyung mestika ini, tapi ada pula sebagian yang timbul akibat pergolakan di an-tara mereka bertiga saudara sendiri….”

Tiba-tiba anak muda itu tertawa dingin, ke-mudian tanyanya, “Oh Kay-thian, aku ingin mengajukan satu pertanyaan kepadamu, apakah nona Oh Keng-kiau adalah putri kandungmu?”

Kembali air muka Oh Kay-thian berubah he-bat, serunya dengan gusar, “Kau tidak boleh men-ceritakan keadaan yang sebenarnya kepadanya!”

Ji-sia tertawa dingin pula, “Persoalan itu me-mang merupakan urusan kalian bersaudara sendiri, sebagai orang luar aku tidak pantas untuk -ikut campur, aku hanya berutang budi kepada Oh Kay-gak, maka selama hidup akan kuselidiki asal mula dendam yang tersimpan dalam hati orang tua itu. Jika kau tak menyimpan rahasia terhadap ka-kakmu, kenapa tidak kau ceritakan saja semua ma-salahnya secara jujur?”

Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian menghela napas panjang, “Ai, kalau diceritakan kembali, maka hal ini akan menodai pula nama baik kami bertiga, buat apa kau ingin mengetahuinya?”

“Baik!” kata anak muda itu dengan mendong-kol, “kalau kau enggan bicara juga tak apalah, su-atu hari aku pasti akan berhasil mengetahui semua persoalan ini. Sekarang, ayo cepat serahkan kembali sarung ruyung tersebut kepadaku!”

“Hei, apa kau bilang? Kapan kurampas sarung ruyungmu?” tanya Oh Kay-thian tertegun.

“Hmm, bukankah ketiga belas mayat hidup itu adalah hasil didikanmu?” dengus Ji-sia.

Tersembul senyuman menyeramkan di ujung bibir Oh Kay- thian, tapi hanya sejenak saja lantas lenyap, katanya, “Bok- siauhiap, persoalan itu lebih baik tak usah dibicarakan lagi, sekalipun sarung ruyung itu kudapatkan, tapi aku telah menolong jiwamu, apakah boleh kau anggap sebagai balas ja-sanya?”

“Kapan kau pernah menolongku?”

“Sekarang juga aku akan segera menolongmu!” jawab Oh Kay-thian sambil tertawa. Ji-sia segera tertawa dingin, “Dewasa ini aku baik2 saja, berdasarkan apa hendak kau tolong aku?”

“Bok-siauhiap,” tiba-tiba Oh Kay-thian bertanya, “kau kenal si nona berbaju biru itu?”

“Maksudmu si nona bercadar dari tiga gadis Hek-Iiong- kang itu?”

Entah permainan apa yang dirancang Oh Kay-thian, kembali ia bertanya, “Ada hubungan apa antara kau dengan dia?”

“Antara laki-laki dan perempuan ada batas2nya, aku tak punya hubungan apa-apa dengan dia, bahkan dia adalah musuh besarku!”

“Hahaha….itulah dia…..” kata Ok Kay-thian sambil terbahak2.

“Ada apa?” bentak Ji-sia dengan gusar, “kem-bali kau hendak kau pergunakin akal busuk?”

“Siapa yang menyembuhkan racun Bu-siang~te-im-hu-kut- kang dalam tubuhmu?”

“Kau sudah tahu, buat apa bertanya lagi?”

“Manusia dunia persilatan dewasa ini keba-nyakan licik dan banyak tipu muslihatnya, diuta-makan semakin licik semakin baik, bila bermusuhan dengan seseorang selalu berusaha untuk melenyap-kan lawannya. Begitu pula dengan perempuan ber-cadar itu, ia tiada hubungan apa-apa denganmu, kenapa ia bersedia menyembuhkan racunmu? Bu-kankah itu berarti ia mempunyai maksud tertentu?”

Terkejut juga Ji-sia mendengar perkataan itu, segera pikirnya, “Kalau melihat kekejaman dan kebusukan hati ketiga gadis Hek-liong-kang, me-mang tidak mungkin mereka bersedia menolong orang, tapi kenapa ia menyembuhkan lukaku? Benar-kah dikarenakan Cu Giok-ceng bersedia menukar nyawanya dengan nyawaku…..?”

Berpikir sampai di sini, iapun berkata, “Ia mempergunakan nyawa Cu Giok-ceng untuk me-nukar jiwaku, inilah cara yang adil, memangnya ia bertujuan lain?”

Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian tertawa, “Apa-kah kau yakin banar Cu Giok-ceng mempergunakan nyawanya untuk ditukar dengan nyawamu?”

“Ngaco-belo melulu!” teriak Ji-sia dengan ma-rah, “kalau ingin menyampaikan sesuatu, katakan saja terus terang, caramu bicara yang berbelit-belit sungguh menjemukan.”

Seng-gwat-kim Oh Kay-thian sama sekali tidak gusar oleh perkataan itu, ia tetap tertawa, ka-tanya, “Kalau Cu Giok-ceng tidak mati, tentu saja kau yang akan mati, tapi melihat gelagatnya sekarang, orang yang benar-becar terancam kematian bukanlah dia melainkan kau.”

“Kenapa bisa begitu?”

“Kau masih ingat, waktu nona berkerudung itu selasai menyembuhkan racunmu, ia telah mem-beri sebutir pil kepadamu?”

“Aku tidak tahu kalau pil itu racun, buktinya aku masih hidup sampai sekarang.”

“Bok-siauhiap, kau tahu pil tersebut adalah se-macam obat beracun yang kerjanya lambat? Sete-lah dimakan, racunnya perlahan akan merantas isi perutmu, beberapa bulan kemudian baru mulai be-kerja, waktu itu racun telah menyusup ke semua bagian tubuh, sekalipun dewa juga tak berdaya lagi menolongmu.”

Ji-sia bergidik, tanpa terasa ia bertanya “Sung-guhkah perkataanmu?” “Betul atau tidak bisa segera dibuktikan. Se-karang coba kau salurkan hawa murnimu dari perut, coba rasakan adakah sesuatu gejala aneh?”

Buru-buru Ji-sia menuruti perkataannya dengan menyalurkan hawa murni mengitari semua jalan da-rah penting di sekujur badan.

Harus diketahui Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian pernah mendapatkan sejilid kitab racun yang isinya mencakup segala racun, kepandaian tersebut telah berhasil ia pelajari semua dengan sempurna, maka tindakan Bok Ji-sia dengan mengerahkan tenaga dalam ini justeru terjebak oleh siasat busuknya!

Baru saja Ji-sia menarik napas, tiba-tiba ia mengendus bau harum yang amat tipis menerjang masuk ke dalam perut.

Ia terkesiap, dengan cepat teringat olehnya akan pesan terakhir Oh Kay-gak yang memintanya agar berjaga-jaga terhadap kepandaian racun Oh Kay-thian.

Air mukanya berubah hebat, mendadak ia mem-bentak, “Manusia laknat! Mumpung aku belum mati, akan kubunuh kau lebih dulu!”

Seraya berkata, Ji-sia memutar ruyung mestikanya terus menghantam.

Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian berkelit ke sam-ping, bentaknya, “Kalau ada urusan, bicara saja secara baik-baik, buat apa memakai kekerasan?”

Ji-sia tahu dirinya sudah keracunan, mungkin sebentar lagi nyawanya akan melayang, maka ia tidak menjawab, tangan kiri melancarkan tutukan kilat ke jalan darah Ci-ti-hiat di siku lawan.

Dengan cekatan Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian menarik lengannya manghindari tutukan tersebut kemudian telapak tangan berputar dari bawah ke atas dan mencengkeram urat nadi pergelangan ta-ngan Bok Ji-sia.

Ji-sia mendengus, dengan telapak tangan yang tajam ia bacok pergelangan tangan Oh Kay-thian. Perubahan cerangan ini bukan saja amat cepat, lagipula di balik serangan ini terkandung tenaga dalam yang hebat.

Oh Kay-thian mengebaskan tangannya mem-bentur tenaga pantulan yang menerjang datang de-ngan kuat.

Ji-sia tergetar mundur, sebaliknya Oh Kay-thian hanya sedikit menggeliat.

Sambil tersenyum ia lantas berkata, “Tenaga dalam Bok- siauhiap memang mengagumkan, tapi setelah terjadinya benturan barusan, yakinkah kau bisa menang? Jika kau merasa tak mampu menangkan aku, bila aku ingin mencelakaimu, hal ini bisa ku-lakukan lebih gampang. Terus terang jika kau ma-sih sayang pada nyawamu, minumlah pil ini, kalau masih curiga, obat itu jangan dimakan!”

Selesai mengucapkan kata-kata tersebut, Oh Kay-thian mengeluarkan satu botol kecil putih ber-isi sebutir pil berwarna merah, botol itu dibuang ke tanah, dengan langkah lebar lantas berlalu dari situ.

Termangu-mangu Bok Ji-sia memandangi ba-yangan punggung Oh Kay-thian hingga lenyap dari pandangan, tak tahan lagi ia menghela napas sedih.

Dalam dua jam terakhir ia telah berjumpa de-ngan dua orang jago yang ilmu silatnya jauh lebih tangguh daripadanya, bahkan mereka berniat me-rampas ruyung mestika Jian-kim-si hun-pian, tapi sikap mereka sebentar kawan sebentar lawan, jelas kepandaian mereka bisa melebihi dia, tapi mereka tidak mencari kemenangan dengan ilmu silat me-lainkan menggunakan pelbagai cara lain, semua ini membuatnya bingung. Kini ia merasakan betapa ceteknya ilmu silat sendiri, sedih, marah dan kecewa menyelimuti peragaannya.

Terhadap perkataan Oh Kay-thian ia merasa setengah percaya setengah tidak, sorot matanya ber-alih pada botol kecil di tanah itu, lalu dipungut-nya botol itu….Kematian, baginya bukanlah sua-tu hal yang mengerikan. Tapi dendam kesumat membuatnya enggan mati dulam waktu sesingkat ini.

Tiba-tiba Ji-sia membuka tutup botol dan mengeluarkan pil berwarna merah itu dan siap di-telan…..

Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar seorang berseru dengan suara gemetar, “Bok….Bok Ji-sia jangan dimakan….”

Di bawah sinar bulan, lebih kurang lima kaki di depan sana berlari mendekat sesesok bayangan manusia, dia bukan lain adalah Bu-sian-gi-su Kwan liong Ciong-leng.

Dengan wajah pucat Ji-sia menatap sekejap Kwanliong Ciong-leng, kemudian katanya dengan bimbang, “Kenapa? Kenapa pil ini tak boleh dimakan!”

Dengan wajah kelam dan kulit mengejang se-perti menahan suatu penderitaan yaug luar biasa, jawab Bu-sian-gi- su Kwanliong Ciong-leng dengan gemetar, “Itu…itu racun!”

“Dari mana kau tahu? Kau ingin membohongi aku?” seru Ji-sia terkejut bercampur cemas.

Kwanliong Ciong-leng menghela napas, ujar-nya, “Aku hanya bisa hidup setengah malam saja, bila fajar menyingsing esok pagi, aku akan mati, bahkan mati secara mengerikan, mana mungkin aku berbohong? Apalagi kau…….”

“Dari mana kau tahu besok pagi akan mati?” tanya Ji-sia heran.

“Aku telah makan racun pemberian Oh Kay-thian ……” “Manusia laknat yang berhati keji!” kata Ji-sia dengan menggreget, “tunggulah sebentar di sini, akan kususul Oh Kay-thian untuk minta obat penawar bagimu!”

Selesai berkata ia lantas putar badan dan me-layang pergi.

Buru-buru Kwanliong Ciong-leug memburu ke depan sambil berteriak, “Bok Ji-sia, tunggu sebentar, masih ada urusan hendak kusampaikan kepadamu!”

“Locianpwe masih ada urusan apa?” tanya Ji-sia sambil berpaliag.

Ditatapnya wajah Ji-sia dengan sorot mata ta-jam, lama sekali Kwan-liong Ciong-leng baru meng-hela napas panjang dan berkata, “Jika Oh Kay--thian berniat membunuhku, dia tak akan membe-rikan obat penawar kepadamu, bilamana dia meng-hendaki kematian seseorang, tak mungkin korban bisa lolos dari cengkeraman mautnya, aku sudah makan racun yang bersifat lambat, pula ia telah menutuk beberapa jalan darah pentingku, sekalipun kau mendapatkan penawar racun, tanpa mengerti ilmu membebaskan jalan darah yang ditutuknya, aku tetap akan mati secara mengerikan esok pagi……Ai, matiku tak perlu disayangkan, cuma ada beberapa persoalan belum sempat kuketahui dengan jelas, matipun aku penasaran.”

Setelah berhenti sejenak, tiba-tiba ia bertanya “Apakah ayah-ibumu masih sehat walafiat?”

Sambil bertanya dengan sarot mata yang tajam ditatapnya wajah Bok Ji-sia tanpa berkedip. Pertanyaan ini ibarat sebilah pedang tajam yang menembus hati Bok Ji-sia, seketika itu juga darah dalam dadanya bergolak hebat, air matapun jatuh bercucuran.

“Kedua orang tuaku sudah mati!” jawab Ji-sia kemudian pelahan. Hati Kwanliong Ciong-leng tergetar, kembali ia bertanya, “Apakah….apakah ayahmu bernama Gi-hong-gi-su (bertapa angin lembut) Bok Bun-tim?”

“Dari….dari mana kau tahu nama ayahku?” seru Ji-sia terkejut.

Air mata bercucuran membasahi wajah Kwan-liong Ciong- leng, dengan sedih katanya, “Kalau be-gitu, kau benar-benar keturunan adik Tim, sungguh tak kusangka kau benar-benar putranya……”

Bicara sampai di sini, entah karena luapan emosi atau karena hal lain, tiba-tiba saja ia me-nangis tersedu-sedu.

“Engkau….kenalan lama ayahku?……” ta-nya Ji-sia dengan gemetar.

“Bok-hiantit, aku dan ayahmu adalah saudara angkat…..”

Walaupun Ji-sia merasa kaget dan curiga, tapi ketika dilihatnya laki-laki berusia setengah abad lebih ini menangis sedih penuh emosi, ia merasa tak mungkin hal ini dilakukannya secara pura-pura.

Sejak kecil Ji-sia belum pernah berjumpa de-ngan paman ini, tapi ia tahu ketika ayahnya ber-kelana dalam dunia persilatan dulu memang mem-punyai banyak sahabat.

Sambil menahan isak tangisnya, Kwanliong Ciong-leng kembali berkata, “Nak, tahukah kau bahwa di kolong langit masih ada seorang yang rela mendapat nama jelek dan berkumpul dengan kaum laknat dengan harapan akan dapat memba-laskan dendam bagi kematian ayah-ibumu? Tahukah kau bahwa orang itu tak segan berkelana ke mana-mana dan berusaha dengan segala akal muslihatnya hingga perbuatanku sering dikutuk orang…..?”

“Engkau….engkaulah pamanku….” tiba-tiba Ji-sia menjerit. Setelah menangis sekian lama, agaknya rasa sedih yang mengganjal hati Kwanliong Ciong-leng telah terlampiaskan semua, berangsur perasaannya menjadi tenang kembali.

Sekali lagi ditatapnya wajah Bok Ji-sia tajam-tajam, kemudian gumamnya seorang diri, “Sudah delapan belas tahun lamanya, ya, delapan belas ta-hun lamanya tak pernah bersua dengan adik Tim suami-isteri, tapi hari ini, dari wajahmu dan sikap-mu aku telah melihat kembali wajah mereka.”

Setelah mendengar perkataan itu, Ji-sia baru tahu apa sebabnya ia tidak kenal paman ini, dengan sedih ia berseru lagi, “Empek Kwanliong, maafkan-lah jika sebelum ini aku banyak bertindak kasar dan kurang hormat kepadamu.”

Bu-sian-gi-su Kwanliong Ciong-leng tertawa sedih, katanya, “Nak, aku merasa puas asal kau tidak membenci empekmu yang jahat ini, kenapa kau minta maaf kepadaku? Aii, sesungguhnya tujuan empek hendak merampas ruyung mestikamu sema-lam tak lain karena aku hendak membalaskan den-dam bagi ayahmu yang mengenaskan itu.”

“Empek Kwanliong, anak Sia takkan mem-bencimu, kutahu perasaanmu, aku….aku amat gembira, karena di dunia ini aku masih mempunyai seorang paman sebagai sanak keluargaku.”

Tiba-tiba Kwanliong Ciong-leng mendongak memandang awan jauh di sana, lalu berdoa, “Teri-ma kasih kepada Thian atas pelindunganmu, adik Tim punya keturunan sebagus ini, dendam berdarah-nya pasti akan terbalas. Adik Tim, arwahmu dapat-lah beristirahat dengan tenang….Ai, aku akupun dapat mati dengan tenang……”

“Empek, kau….kau tak boleh mati!” seru Ji-sia, “di dunia yang luas ini, hanya Empeklah satu-satunya sanak keluargaku, begitu tegakah kau- tinggalkan aku seorang diri?”

“Ai, kau masih mempunyai seorang sanak yang berilmu sangat tinggi….” “Apa kau bilang, Empek?” “Ibumu, dia….dia masih hidup….”

Mendengar perkataan ini, Ji-sia menangis ter-sedu-sedu, katanya, “O, Empek, dia….dia orang tua telah mati bunuh diri……”

“Apa? Dia mati bunuh diri?” seru Kwanliong Ciong-leng dengan terkejut.

Kiranya Kwanliong Ciong-leng belum tahu kalau Ji-sia telah dicekoki obat perangsang oleh musuh hingga melakukan perzinahan dengan ibu-nya sendiri, menurut hasil penyelidikannya, dia ha-nya tahu mereka telah dibunuh musuh.

Tentu saja Ji-sia tahu Kwanliong Ciong-leng tidak mengetahui peristiwa memalukan yang ia laku-kan dengan ibunya sendiri, dengan sedih luar biasa ia menasigis tersedu- sedu, katanya, “O, Empek, Sia-ji tak punya muka untuk hidup lagi di dunia ini, aku……aku……”

Dari kesedihan anak muda itu, Bu-sian-gi-su Kwanliong Ciong-leng tahu pasti ada sesuatu yang mengganjal hatinya, dengan suara berat katanya, “Anak Sia, bagaimanapun juga kau tak boleh mati, sebab dari keluarga Bok hanya kau saja yang akan meneruskan keturunannya!”

“Empek, bagaimana mungkin Sia ji punya mu-ka untuk hidup terus di dunia ini? Peristiwa me-malukan itu….manusia laknat itu sungguh ter-amat keji…..”

“Sia-ji, tenangkan dulu perasaanmu, coba cerita-kan duduk persoalan yang sebenarnya.”

“Empek…..” teriak Ji-sia dengan sedih.

Kata-kata selanjutnya tak bisa diucapkan lagi, karena telah tenggelam oleh air matanya yang ber-cucuran, ia segera menubruk ke dalam pangkuan Kwanliong Ciong-leng. Pengalaman Bok Ji-sia betul-betul mengenas-kan, terutama perzinahannya dengan ibu sendiri, membuat ia malu dan sedih. Begitulah, sambil me-nubruk ke dalam pangkuan Kwanliong Ciong-leng, ia menceritakan semua peristiwa itu serta bagaimana keadaan pada saat ibunya membunuh diri.

Selesai mendengarkan cerita tersebut, Kwan-liong Ciong- leng ikut merasa sedih, katanya lirih, “Anak yang patut dikasihani….Ai, ternyata be-gitulah duduknya perkara, pantas ia tak mau un-juk diri….”

“Empek,” tiba-tiba Ji sia bertanya, “tadi kau bilang ibuku belum mati, benarkah itu? Atau cuma bohong belaka?”

Hati Kwanliong Ciong-leog bergetar keras, pi-kirnya, “Bila kukatakan ibunya belum mati, anak yang keras hati ini pasti tak punya muka untuk hi-dup terus di dunia. Ai, peristiwa  yang tragis ini mungkin sekali akan mengakibatkan kematian me-reka berdua…….” 

Dalam keadaan demikian, Kwanliong Ciong-leng benar- benar tak berani membayangkan lagi.

Melihat orang tidak menjawab, Ji-sia kembali bertanya, “Empek, kenapa kau tidak menjawab?”

“Anak Sia, aku ingin tanya padamu,” kata Kwanliong Ciong-leng lembut, “seandainya ibumu masih hidup, apa rencanamu?”

Sekujur badan Ji-sia gemetar keras, tergagap bisiknya, “Be…..benarkah ibu masih…..masih hi-

dup?”

Kwanliong Ciong-leng terkesiap melihat peru-bahan, air mukanya, buru-buru sahutnya, “Ibumu sudah mati!”

“Empek, kau bohong!” kata Ji-sia sambil terisak, “ibuku tentu masih hidup….” Kwanliong Ciong-leng menghela napas, “Sia-ji, bagaimanapun juga kau tak boleh mati!”

“Tapi Empek….bagaimana mungkin aku bi-sa hidup terus?”

“Anak Sia, seperti apa yang dikatakan ibumu, kau harus melupakan peristiwa memalukan itu!” teriak Kwanliong Ciong- leng dengan gusar, “harus diketahui, manusia laknat itu sengaja berbuat de-mikian dengan maksud untuk memutuskan hubu-ngan kalian ibu dan anak serta menumpas keluarga Bok dari muka bumi. Kenapa kau bersikap begitu bodoh? Kalau kau mati, apakah arwah ayahmu di alam baka bisa beristirahat dengan tenang?”

Mendadak Bok Ji-sia menghentikan isak ta-ngisnya, lalu bertanya, “Empek, di manakah ibuku? Kenapa ia tidak datang mencariku?”

“Anak Sia, untuk sementara waktu jangan kau tanya soal ini, benarkah orang itu adalah ibumu atau bukan, aku tak berani memastikan, sekarang aku minta kepadamu untuk bersumpah, sebelum empek meninggal dunia, bagaimanapun juga kau harus tetap hidup… ”

Sebelum selesai kata-katanya, mendadak seku-jur badannya menggigil keras, mukanya yang pucat mengejang, giginya terkatup rapat, agaknya sedang menahan penderitaan yang luar biasa.

Dengan terkejut Bok Ji-sia segera bertanya, “Empek, apakah badanmu tidak sehat?”

Dibimbingnya Kwanliong Ciong-leng untuk duduk di tanah. Sambil  berusaha  menahan  rasa  sakit  yang  luar  biasa,

Kwanliong Ciong-leng tersenyum, katanya “Anak Sia, rasanya

aku tak bisa hidup sampai eeok pagi….”

“Empek, jalan darah apa saja yang telah tertutuk olehnya?

Mungkin anak Sia bisa memberi pertolongan.” “Ai, jangankan racunnya sukar ditawarkan, sekalipun jalan darahnya dapat dibebaskan, belum tentu racun yang mengeram di tubuhku bisa dipu-nahkan sama sekali!”

Setelah berhenti sebentar, ia menghela napas dan berkata pula, “Luka yang kuderita ini kecuali disembuhkan oleh Oh Kay-thian sendiri, rasanya masih ada seorang di dunia ini yang bisa meno-longku. Tapi sekarang matipun aku rela….”

“Empek, siapa yang kau maksudkan? Mari kita mencari orang itu,” seru anak muda itu cepat.

“Ai, dia adalah si nona baju biru dari Hek~liong-kang….” “Empek, sekarang baru kentongan pertama, mari anak Sia

membawamu pergi menjumpainya.”

“Jangan, dia takkan menyanggupi permintaan-mu.” “Kenapa?”

Kiranya Kwanliong Ciong-leng cukup memaha-mi watak Ji- sia yang tinggi hati, keras kepala dan tak mau tunduk kepada orang lain, sedangkan si no-na berbaju biru pun angkuh, setiap tindakan yang tidak mendatangkan keuntungan baginya, tak nanti gadis itu mau terima.

Ketika dilihatnya Kwanliong Ciong-leng diam saja, Ji-sia menghela napas, katanya, “Empek, pe-duli apakah dia setuju atau tidak, anak Sia akan berusaha dengan segala kemampuanku, jangan kuatir, dia pasti akan mengabulkan permintaanku.”

Pengalaman masa lalu yang penuh penderitaan membuat Ji-sia merasa kagum dan hormat kepada Kwanliong Cing-leng, bahkan menyayanginya se-bagai orang tua sendiri, jika satu- satunya sanak yang masih hidup ini pun mati, bukankah dia ba-kal sebatang kara pula?” Itulah sebabnya ia memandang serius kehidup-an Kwanliong Ciong-leng, malah jauh lebih pen-ting daripada kehidupan sendiri, ia pikir bila perlu ruyung mestika yang penting itupun akan

dipertukarkan dengan penyembuhan bagi Kwanliong Ciong- leng.

Tiba-tiba Ji-sia memayang Bu-sian-gi-su, kata-nya, “Empek, mari kubawa kau ke gedung itu un-tuk memohon pengobatannya.”

Kwanliong Gong leng sangat terharu, tadinya dia mengira Bok Ji-sia adalah seorang pemuda yang dingin, kaku dan tak berperasaan, tapi sekarang dia baru tahu pemuda itu adalah laki-laki yang amat berperasaan.

Kwanliong Ciong-leng tertawa getir, lalu ber-kata, “Nak, sebelum sakit hati ayahmu terbalas, kau kira aku rela mati begitu saja? Cuma…..”

“Empek, jangan kau lanjutkan kata-katamu!” tukas Ji-sia.

Kwanliong Ciong-leng melirik sekejap botol kecil di tanah itu, kemudian bertanya, “Anak Sia, apakah kau keracunan?”

“Tidak! Sama sekali tidak!” buru-buru Ji-sia menyahut dengan terkesiap.

Kwanliong Ciong-leng menghela napas sedih, “Ai, anak Sia! Jangan kau remehkan nyawamu sendiri, ketahuilah sebelum sakit hati ayah-ibumu ter-balas, bila kau mati, maka kau akan menjadi seorang anak yang tak berbakti.”

“Terkesiap hati Ji-sia mendengar perkataan itu, pikirnya, “Jangan-jangan aku memang betul terkena racun tak berwujud dari Oh Kay-thian?”

Berpikir demikian, ia lantas berkata, “Empek, aku sendiri tak tahu apakah diriku keracunan atau tidak?” “Baiklah nak, mari kita bersama-sama men-cari nona berbaju biru itu untuk memohon pengobatannya!”

Ji-sia tidak bicara lagi, ia pondong sang pa-man siap berlalu dari situ.

Mendadak terdengar suara gelak tertawa yang merdu berkumandang memecahkan keheningan. Gelak tertawa itu kedengaran sangat aneh, membuat hati orang bergetar, mengandung daya pengaruh iblis yang membangkitkan nafsu berahi.

Mengikuti arah datangnya gelak tertawa itu, Ji-sia berpaling. Tertampaklah dua orang nyonya muda yang berwajah cantik dengan mengenakan baju tipis ber-warna merah telah berdiri di sana.

Tiba-tiba dari arah belakang terdengar lagi su-ara tertawa cekikikan yang genit merangsang. Ketika Ji-sia menyapu pandang sekejap seke-liling tempat itu, terlihatlah entah mulai kapan di sekelilingnya telah dikurung oleh dua belas orang perempuan muda cantik jelita yang berbaju sutera yang amat tipis.

Di bawah sinar bulan, Ji-sia dan Kwanliong Ciong-leng seakan-akan berada di surgaloka dan dikelilingi oleh bidadari.

Dengan terkesiap mendadak Ji-sia menjerit keras, “Dua belas perempuan iblis!”

Ternyata perempuan-perempuan itu bukan lain adalah kedua belas perempuan telanjang yang ber-baring di pembaringan gading dalam ruang rahasia di Thian-seng-po yang pernah dilihatnya ketika ia dan Tong Yong-ling terjebak di sana.

Mendengar nama dua belas perempuan iblis Kwanliong Ciong-leng ikut terkesiap, buru-buru ia menengok sekejap ke arah kawanan perempuan mu-da itu. Apa yang dilihatnya segera mendebarkan jantungnya, sungguh pemandangan yang merangsang

nafsu, bahkan ia yang berusia lanjut pun merasakan darah bergolak, nyaris tak kuasa menahan diri.

Pakaian sutera yang dikenakan kedua belas perempuan Iblis sedemikian tipisnya hingga boleh dibilang tembus pandang, walaupun ketika itu da-lam kegelapan malam, mereka tetap dapat menyak-sikan semua itu dengan jelas.

Apa yang mereka lihat kini tak lain adalah potongan badan yang amat menggiurkan, bukan cu-ma payudaranya yang montok saja tampak jelas, puting susu yang merah dan merangsang pun lamat-lamat terlihat.

Buat seorang laki-laki, perempuan setengah telanjang justeru menimbulkan rangsangan yang le-bih besar daripada telanjang bulat, gadis yang te-lanjang bulat malah kurang seni keindahannya.

Di bawah hembusan angin malam yang sepoi dan kibaran baju yang melambai-lambai, lamat-lamat tampak pula bagian tubuh yang seharusnya di-rahasiakan.

Gelak tertawa yang genit dan membetot sukma sekali lagi berkumandang memecah keheningan.

Kedua belas perempuan cabul itu mendesak maju bersama ke depan dan mengurung Bok Ji-sia dan Kwanliong Ciong-leng rapat-rapat.

Dengan kulit tubuh mereka yang putih bagai-kan salju, payudara yang montok, rambut yang hitam dan senyum merayu, perempuan-perempuan itu tambah mempesona.

Begitu berhadapan dengan perempuan-perem-puan cantik itu, seperti terpagut ular berbisa, tanpa terasa Bok Ji-sia menyurut mundur ke belakang. Tapi tiba-tiba ia teringat di belakang pun ter-dapat perempuan-perempuan cantik seperti ular ber-bisa itu, tanpa terasa iapun berhenti.

Dalam waktu singkat kedua belas perempuan iblis cabul itu telah mengurung mereka dalam ling-karan seluas satu tombak saja.

“Kalian berhenti semua!” bentak Ji-sia dengan sinar mata meegidikkan.

Bentakan itu bagaikan guntur membelah bumi di siang bolong, serentak kedua belas perempuan itu menghentikan gerakan mereka.

Tapi hanya sebentar saja kedua belas wajah yang cantik bak bidadari dari kahyangan itu kem-bali bersenyum memikat hati.

Karena senyuman mereka yang merangsang itu, sukma Ji- sia seakan-akan melayang meninggal-kan raganya, begitu memikat sungguh membuat orang tak tahan.

Tiba-tiba perempuan-perempuan itu mulai mem-buka pakaian tipis mereka sehingga Bok Ji-sia dan Kwanliong Ciong- leng terbelalak lebar. Semua bagian tubuh perempuan yang paling rahasia, dengan jelas terpampang di depan mata me-reka berdua.

Cepat Ji-sia dan Kwanliong Ciong-leng meme-jamkan mata dan tak berani memandang lebih jauh, sebab mereka merasakan darah dalam tubuh ber-golak, nafsu berahi ikut membara pula.

Tapi pada saat mereka memejamkan mata, ba-gaikan ular berbisa kedua belas orang perempuan cabul itu segera menubruk maju. Merasakan terjangan musuh, Ji-sia yang berdiri mungkur dengan Kwanliong Ciong-leng mendengus, ruyung mestika Jian-kim-si-hun-pian menyapu meng-ikuti gerak putar tubuhnya. Jeritan kaget segera berkumandang……

Cara mereka menghindarkan diri sungguh amat lihai, membuat Bok Ji-sia dan Kwanliong Ciong-leng sama terperanjat.

Sebab serangan Bok Ji-sia itu dilancarkan de-ngan kecepatan luar biasa, musuh pun sedang me-nyongsong maju dengan kecepatan tinggi, biarpun jago kelas satu juga sulit menghindarkan diri, tapi nyatanya kedua belas perempuan itu bisa melolos-kan diri secara manis.

Satelah menghindarkan diri, agaknya kedua be-las’ orang perempuan cabul itu rada tertegun, tapi senyumnya yang memikat masih tersungging pada wajah mereka, tangan mereka bergerak bersama, senjata khas kaum wanita pun di perlihatkan pula dengan menyolok di hadapan kedua orang itu.

Padahal senyuman mereka mengandung daya pikat yang kuat, ditambah lagi tubuh mereka yang bugil menggiurkan, laki-laki mana yang sangup me-ngendalikan gelora nafu berahinya?

Bok Ji-sia dan Kwanliong Ciong-leng merasa serba salah, mereka ingin pejamkan mata tapi kuatir diserang lawan, membiarkan matanya terbaka, tak kuat menahan nafsu berahi…..

Selama kedua belas orang perempuan cabul itu membentangkan pakaiannya, Bok Ji-sia dan Kwanliong Ciong- leng juga memandang tubuh me-reka dengan kesima.

Akhirnya kedua orang itu tak sanggup mena-han rangsangan yang begitu kuat, sekali lagi mereka pejamkan mata.

Begitu mata mereka terpejam, kembali kedua belas orang perempuan cabul itu menerjang maju. Kecepataa mereka kali ini jauh lebih hebat, dalam sekejap mata mereka sudah mendekat.

Bok Ji-sia mendengus gusar, ruyung mestika Jian-kim-si- hun-pian segera diputar kencang dan menyapu lagi ke sekelilingnya. Ternyata kedua belas orang perempuan cabul itu cukup licik, waktu Ji-sia melancarkan serang-an, mereka segera menyebarkan diri, pada saat membubarkan diri itulah mereka pun segera menyentilkan kukunya pelahan.

Bagaikan terkena pasir pemabuk, Bok Ji-sia dan Kwanliong Ciong-leng segera roboh ke tanah…..

Kedua belas orang perempuan itu tertawa cekikik senang, dengan cepat mereka menerjang lagi ke depan dan mengangkat tubuh Bok Ji-sia dan Kwan-liong Ciong-leng.

Lalu terdengar lagi suara gelak terbawa yang genit menggiurkan, sereatak mereka berlalu dari situ, dalam sekejap bayangan mereka telah lenyap di kejauhan sana, bahkan ruyung mestika Jian-kim-si-hun-pian pun ikut di bawa kabur.

Entah berapa lama sudah lewat, pelahan Bok Ji-sia tersadar kembali dan pingsannya, lamat-lamat didengarnya sesuatu suara aneh yang berirama.

Suara yang menusuk telinga, membuat darah orang mendidih den bergolak.

Di tengah suara aneh itu terdengar pula suara napas orang yang terengah-engah dan tertawa yang jalang.

Lalu iapun mengendus bau harum semerbak, Ji-sia membuka matanya…..

Tapi seketika mukanya merah padam dan me-longo.

Ternyata di seberang tempat Ji-sia berbaring terdapat pula sebuah ranjang gading, di situ ada sepasang laki perempuan sedang bergumul dengan seru dalam keadaan telanjang bulat.
Terima Kasih atas dukungan dan saluran donasinya🙏

Halo, Enghiong semua. Bantuannya telah saya salurkan langsung ke ybs, mudah-mudahan penyakitnya cepat diangkat oleh yang maha kuasa🙏

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar