Postingan

 
Jilid 05

“Lu tua! Kemana perginya jago-jago pedang lainnya”

Dg perasaan tegang si pedang tanpa bayangan menjawab:

“Aku telah menempatkan mereka didepan dan dibelakang gedung ini, maksudku dg menyebarkan mereka disetiap sudut gedung yg strategis, maka kedatangan si kedele maut akan segera ketahuan.”

Kho Beng segera menghela napas panjang:

“aaai...tindakan saudara Lu dg menyebarkan mereka disetiap sudut gedung merupakan suatu tindakan yg keliru besar, untuk menghadapi ancaman musuh yg sangat tangguh, kita wajib menghimpun segenap kekuatan yg ada untuk menghadapi secara bersama-sama” Tampaknya waktu itu si pedang tanpa bayangan sudah kehilangan pendirian saking gugup dan paniknya, mendengar perkataan tersebut buru-buru katanya:

“Bagaimana kalau kukumpulkan mereka sekarang juga?” Dg cepat Kho Beng menggeleng.

“Sekarang sudah terlambat, daripada bergerak lebih baik kita pilih gerakan menanti saja, coba kita saksikan dulu tindakan apa yg hendak dilakukan lawan.”

Kedua orang itupun segera berdiri penuh kewaspadaan sambil mengawasi sekeliling arena dg pandangan tajam, mereka ingin tahu dari arah manakah si kedele maut akan munculkan diri.

Namun suasana betul-betul mencekam hati, keheningan terasa mencekam sekeliling tempat itu, bukan saja tidak dijumpai jejak musuh, setitik gerakan pun tak nampak.

Dg sikap yg tegang Kho Beng bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan yg tak diinginkan, sementara benaknya terlintas kembali dg peristiwa yg dialami dirumah makan Kwan tong tin tempo hari.

Ia masih ingat, kedele maut yg dikirimkan kepada si pedang tanpa bayangan sebagai ancaman, betul-betul tak berbeda dg keele maut yg berada dalam karung yg dibawa saudagar tersebut, mungkinkah iblis misterius yg disebut kedele maut adalah orang itu?

Sementara dia masih termenung dg penuh perasaan keheranan, pedang tanpa bayangan yg berada disisinya juga mulai tak tenang, wajahnya makin lama semakin tegang.

Menanti saat kematian memang merupakan saat penantian yg paling menyiksa batin, sekalipun suasana disekeliling tempat itu sangat hening sehingga tak kedengaran sedikitpun suara, namun keheningan tersebut justru menambah suasana menyeramkan yg mencekam tempat tersebut.

Terutama sekali bagi pedang tanpa bayangan, dia merasa seakan-akan dari empat penjuru telah muncul cengkeraman iblis yg siap menerkam serta merenggut nyawanya.

Ditengah keheningan yg mencekam seluruh jagad inilah, mendadak dari arah ruang tengah berkumandang datang suara langkah kaki manusia yg sangat lirih.

Kho Beng dan pedang tanpa bayangan dapat mendengar suara tersebut dg jelas sekali, serentak mereka berpaling dg hati berdebar dan perasaan terperanjat. Dari kejauhan sana terlihatlah sesosok bayangan putih munculkan diri dg langkah yg lembut, ternyata dia adalah seorang nona berusia tujuh delapan belas tahun, wajahnya halus dan bersih, rambutnya dikepang menjadi dua.

Betul-betul suatu peristiwa yg mencengangkan hati! Bukankah dalam gedung tersebut selain lima belas jago pedang sama sekali tiada orang lain? Mengapa dalam keadaan begini bisa muncul seorang nona yg berdandan sebagai dayang?

Kho Beng segera membentak nyaring:

“Siapa kau?”

Dg suatu gerakan yg sangat ringan, nona berbaju putih itu mendekati mereka berdua, kemudian setelah memandang sekejap kearah Kho Beng, ujarnya kepada si pedang tanpa bayangan:

“Budah Bwee hiang mendapat perintah dari nona untuk mengundang kehadiran Lu tayhiap kehalaman belakang.”

Sementara Kho Beng masih tertegun, pedang tanpa bayangan telah membentak keras:

“Siapakah nona yg kau maksudkan? Darimana bisa muncul disini….?”

Dg cepat paras muka nona berbaju putih itu berubah menjadi dingin bagaikan es, kembali ujarnya:

“Seharusnya Lu tayhiap memahami persoalan ini dg sejelas- jelasnya, buat apa mesti banyak bicara lagi? Nona kami paling segan untuk membuang waktu, katakan saja Lu tayhiap, kau bersedia kebelakang atau tidak?”

Satu ingatan cepat melintas dalam benak Kho Beng, kepada si pedang tanpa bayangan segera serunya:

“Jangan-jangan dia adalah…..”

Sebelum perkataan itu selesai diutarakan, si pedang tanpa bayangan sudah menyadari pula akan sesuatu, dia berseru tertahan dan segera tanyakan kepada nona berbaju putih itu sambil menjura:

“Jangan-jangan siancu telah tiba?”

“Lu tayhiap kalau toh sudah tahu, mengapa tidak segera mengikuti budak untuk masuk kedalam?”

Selesai berkata dia lantas membalikkan badan dan beranjak pergi dari situ.

Pedan tanpa bayangan cukup tahu bahwa gerak gerik siancu memang selalu diliputi rahasia, lagipula bila bukan dia yg datang, apa sebab jago pedang berbaju kuning yg ditempatkannya digedung belakang sama sekali tidak menyiarkan tanda bahaya?

Merasa si dewi itu ternyata belum melupakan dirinya bahkan telah hadir sendiri saat terakhir, semua perasaa kesal dan dendam disenja tadi kini tersapu lenyap semua, dg semangat berkobar dan sedikitpun tak sangsi, ia segera mengikuti dibelakangnya.

Otomatis Kho Beng mengikuti pula dibelakangnya, dia memang ingin melihat manusia macam apakah siancu tersebut?

Siapa tahu baru saja kakinya maju selangkah, Bwee hiang telah menghentikan langkahnya sambil membalikkan badan, kepada pemuda tersebut tegurnya:

“Harap anda menghentikan langkah disitu!” “Kenapa?” tanya Kho Beng tertegun.

“Nona kami tidak memberi perintah untuk mengajak serta dirimu, karenanya budakpun tak ingin mengajak serta dirimu!”

Kho Beng segera berkerut kening, hatinya sangat gusar sehingga tanpa terasa mendengus dingin.

Baru saja dia hendak mengucapkan sesuatu, si pedang tanpa bayangan yg cukup mengetahui tabiat In in siancu, segera berpaling dan katanya pula seraya menjura:

“Perkataan nona ini memang benar, harap siauhiap sudi memberi muka kepadaku dg menanti sejenak diruang depan, sebentar saja aku tentu akan balik lagi.”

Oleh karena tuan rumah telah berkata begitu, yg menjadi tamu pun tak dapat berkata apa-apa lagi, betul Kho Beng merasa tidak puas, tapi diapun Cuma bisa kembali keruang tengah dan menyaksikan si pedang tanpa bayangan berangkat kehalaman belakang mengikuti dibelakang Bwee hiang.

Kini Kho Beng berada dalam ruang tengah seorang diri, terasa olehnya bukan saja si iblis kedele maut saja yg amat misterius gerak geriknya, bahkan pedang tanpa bayangan dan In in siancu pun dirasakan sangat misterius dan sukar diraba jalan pikirannya.

Mengapa si pedang tanpa bayangan menaruh rasa takut, ngeri dan menurut perintah perempuan tersebut? Sudah pasti hubungan mereka tidak sesederhana apa yg pernah diterangkan kepadanya.

Dg pikiran segala pertanyaan yg penuh tanda tanya, Kho Beng berdiri termangu-mangu dg mulut membungkam, tapi pedang tanpa bayangan yg sudah sekian lama masuk kehalaman belakang belum juga ada kabar beritanya. Menanti adalah pekerjaan yg paling membosankan, apalagi dalam situasi yg amat kritis seperti saat ini, rasa gelisah dan cemas timbul dalam hatinya betul-betul tak terlukiskan dg kata-kata….

Lama kelamaan Kho beng mulai tak sabar, apalagi ketidakmunculan si kedele maut hingga kini membuatnya makin keheranan, akhirnya tak bisa ditahan lagi, ia mulai beranjak meninggalkan ruangan dan lari kehalaman belakang.

Pada saat itulah, ditengah kegelapan malam, terdengar jeritan ngeri yg memilukan hati berkumandang datang dari gedung sebelah belakang.

Bukan begitu saja, dari suara jeritan tersebut Kho Beng segera mengenali sebagai jeritan si pedang tanpa bayangan.

Kho beng jadi tertegun, ia sadar keadaan tidak beres, dalam terkejutnya dg cepat hawa murninya dihimpun, lalu seperti seekor burung rajawali, tubuhnya melambung ditengah udara dan melesat kedepan dg kecepatan tinggi.

Siapa tahu baru saja ia tiba diatas atap rumah, tiga titik cahaya putih telah melintas datang dari hadapannya dg kecepatan bagaikan sambaran petir.

Berhubung kedua belah pihak sama bergerak dg kecepatan tinggi, sehingga nyaris mereka saling bertumbukan.

Jeritan kaget segera bergema memecahkan keheningan, bagaikan hembusan angin lembut, ketiga sosok bayangan manusia itu segera melayang turun keatas tanah…

Ternyata mereka adalah tiga orang nona cantik.

Sementara itu Kho Beng telah berjumpalitan pula ditengah udara serta melompat mundur sejauh tiga depa lebih, begitu berdiri tegak segera ia meloloskan pedangnya dan berdiri dg mata bersinar tajam.

Dg cepat ia melihat bahwa lebih kurang enam depa dihadapannya telah berdiri tiga orang nona muda.

Kedua orang nona yg berada dikiri kanan berusia tujuh belas tahunan serta memakai baju putih, seorang diantaranya tak lain adalah Bwee hiang yg telah munculkan diri dan mengajak pedang tanpa bayangan masuk kehalaman belakang.

Sedangkan nona yg berada ditengah berusia lebih tua dua tiga tahun, ia mengenakan baju yg berwarna keperak-perakan, sekuntum bunga putih menghias sanggulnya yg tinggi, sementara ditangannya memegang payung bulat berwarna perak, bentuk maupun potongan badannya mirip dg bidadari yg baru turun dari kahyangan. Setelah melihat jelas keadaan tersebut, Kho Beng semakin terkejut bercampur keheranan, pertama ia segera yakin kalau pihak lawan bukan In in siancu yg dimaksud pedang tanpa bayangan, sebab pedang tanpa bayangan pernah berkata, “In in siancu telah berusia tiga puluhan tahun.”

Sebaliknya nona berpayung bulat warna keperak-perakan ini baru berusia dua puluh tahunan, berwajah cantik namun sinar matanya tajam menggidikkan hati.

Kedua secara lamat-lamat diapun telah merasa bahwa si pedang tanpa bayangan bisa jadi telah dibunuh oleh dayang yg bernama Bwee hiang tersebut.

Karenanya begitu ingatan tersebut melintas dibenaknya, dg suara menggeledek ia segera membentak keras:

“Siapa kau?”

Dg wajah sedingin salju nona berpakaian perak itu berpaling kearah Bwee hiang, kemudian tanyanya:

“Apakah Kho Beng yg dikatakan tua bangka she Lu tadi adalah orang ini?”

Bwee hiang segera manggut-manggut.

Nona berpayung perak itu segera berpaling kearah Kho Beng, lalu ucapnya dg suara dingin:

“Lebih baik kau jangan bertanya macam-macam, memandang kau sebagai orang diluar garis, lagipula nona telah menyanggupi permintaan tua bangka Lu untuk mengampuni selembar jiwamu, lebih baik manfaatkanlah kesempatan ini untuk pergi dari sini, mumpung aku belum berubah pikran….”

Dg kening berkerut Kho Beng segera tertawa nyaring: “Selamanya aku percaya bahwa perkembangan suatu masalah

merupakan akibat dari perbuatan manusia, sedang nasib seseorang ditentukan takdir, oleh sebab itu mati hidupku bukan kau yg menentukan, tapi jika kalian bertiga ingin berlalu dari sini, beberapa buah pertanyaanku harus kalian jawab dulu!”

“Kalau aku bersikeras menolak untuk menyebutkan identitasku?” jengek nona berpakaian perak itu ketus.

“Kalau begitu bertanyalah dulu kepada pedangku ini, apakah dia bersedia memberi jalan lewat untuk kalian bertiga.”

Tiba-tiba Bwee hiang menyela sambil mengumpat dg penuh marah: “Bocah muda! Kau benar-benar tekebur, memangnya kau sudah bosan hidup didunia ini? Nona, budak rasa kalau kita tidak memberi sedikit kelihaian kepadanya, dia masih belum mau tahu tingginya langit dan tebalnya bumi.”

Nona berpayung perak itu segera mengulapkan tangannya, kemudian tanya lagi dingin:

“Tunggu sebentar, Kho Beng kau berasal dari perguruan mana?” “Aku tak punya perguruan…..”

“Kho Beng, aku dengar kau bermaksud akan menggabungkan diri dg komplotannya tua bangka she Lu ini?”

“Siapa bilang berkomplot? Aku hanya merasa tak puas dg cara kerja kaum iblis sehingga berniat membantunya.”

“Hmmm….” Nona berpayung perak itu tertawa dingin “Indah betul perkataanmu itu, tapi apa pula yg dapat kau lakukan?”

Dg perasaan tergetar keras Kho Beng segera membentak:  “Aku memang ingin bertanya kepadamu, dimanakah Lu tayhiap

sekarang….?”

“Bila ingin mencari si pedang tanpa bayangan, terpaksa kau harus pergi ke akhirat untuk menemaninya.”

Kho Beng tertegun, tapi dg cepat hatinya tergetar keras, serunya kemudian tertahan:

“Oooh….rupanya kau adalah si kedele maut!”

Perasaan hatinya sekarang disamping keheranan, diapun merasa peristiwa ini sama sekali diluar dugaannya.

Selama in dia selalu mengira manusia yg bernama “Kedele Maut” adalah lelaki berpotongan saudagar yg membawa kantung berisi kedele dan biasanya pembunuh semacam ini pasti seorang lelaki.

Siapa tahu apa yg dijumpai sekarang ternyata sama sekali bertolak belakang, ternyata kedele maut yg ditakuti sekian banyak jago tak lain adalah seorang perempuan, lagipula seorang nona berusia dua puluh tahunan yg berparas cantik.

Dg usia semuda itu, ternyata dia mampu membunuh ratusan orang jago lihay, apabila kabar ini sampai tersiar keluar, bukan saja seluruh dunia persilatan akan jadi gempar, bahkan orang lainpun belum tentu mau percaya.

Sementara Kho Beng masih mengawasi nona itu dg wajah tertegun, paras muka nona berpayung perak itu telah berubah makin dingin dan menyeramkan.

Tiba-tiba ia berkata: “Tak aneh bila kau tercengang dan keheranan, dalam kenyataan memang tak seorang manusia pun didunia ini yg bisa hidup terus setelah bertemu dgku, kau adalah satu-satunya pengecualian, tapi kalau melihat keadaanmu sekarang tampaknya akupun tak bisa melepaskan dirimu dg begitu saja….”

Kho Beng segea tersadar kembali dari lamunannya, dia menjadi sangat gusar dan geram setelah mendengar penjelasan tersebut.

Ia sedih karena gagal melindungi keselamatan jiwa si pedang tanpa bayangan, dia membenci lawannya karena telah membunuh pedang tanpa bayangan sehingga ia kehilangan sasaran yg utama dalam usahanya menyelidiki soal kitab pusaka milik Bu wi lojin yg tertipu.

Kerenanya setelah tertawa panjang dg penuh kegusaran, ia segera membentak nyaring:

“Baik! Bagaimanapun juga kalau bukan aku yg berhasil melenyapkan iblis dari muka bumi malam ini, akulah yg akan tewas diujung tanganmu. Rasanya tiada masalah serius lain yg bisa dibicarakan lagi, mari kalian ingin maju satu persatu ataukah akan maju segera bersama-sama?”

Nona berpayung perak itu segera tertawa dingin: “He….he…he….kau masih belum berhak untuk bertarung

melawanku. Sin Hong, Bwee hiang kalian segera bekuk bajingan cilik ini!”

Kedua orang dayang baju putih itu segera mengiakan dan serentak maju kedepan.

Kho Beng tak dapat menahan diri lagi, dia segera membentak marah, tubuhnya menerjang kemuka dg kecepatan tinggi.

Pedangnya dg memancarkan cahaya bianglala berwarna merah yg kemudian membentuk berpuluh-puluh bintang perak, segera menyerang tubuh gadis berpayung perak itu dg jurus “Bunga terbang memenuhi jambangan.”

Jurus pedang yg dipergunakan ini tidak lain merupakan salah satu jurus pedang Lui sui jit kiam hoat yg telah diwariskan Bu wi lojin kepadanya dalam tujuh hari berselang.

Selain itu, tokoh sakti tersebut telah menghadiahkan pula sepuluh dari tenaga dalamnya kepada pemuda itu dg ilmu Kun goan kuan teng, hal ini menyebabkan dia memiliki tenaga serangan yg benar- benar amat tangguh. Bagi seorang ahli silat, dalam sekilas pandang saja dapat mengetahui apakah musuhnya berilmu atau tidak.

Begitu Kho Beng melancarkan serangannya, berkilat sinar aneh dari balik mata nona berpayung perak tersebut, tanpa sengaja ia berseru tertahan.

Hampir pada saat yg bersamaan, kedua orang dayang itu telah mendesak kedepan.

Terlihatlah dua buah cahaya putih yg….

-------missing page 24 – 31 ----------

Sia Hong dan Bwee hiang melanjutkan serangannya, kemudian sambil mengawasi Kho Beng lekat-lekat, serunya dg suara dingin:

“Tampaknya kau seperti tak takut menghadapi kematian?” Kho Beng tertawa terbahak-bahak :

“Ha…..ha……ha… manusia manakah yg tak takut mati, tapi Kho

Beng adalah seorang lelaki yg tak sudi tunduk kepada siapapun juga, kalau toh sudah kuketahui takut mati tak ada gunanya, toh lebih baik mencaci maki dirimu sepuasnya lebih dulu sebelum mampus, paling tidak semua rasa mangkel dan mendongkolku dapat terlampiaskan….”

Nona berpayung perak itu segera melotot besar penuh amarah, serunya dingin:

“Terhadap orang yg tidak takut mati, aku mempunyai cara yg paling bagus, apakah kau ingin merasakannya?”

“Tidak menjadi masalah, aku memang ingin tahu sampai dimanakah kehebatan dari cara yg kau miliki itu, saksikan saja apakah aku sanggup untuk menahan diri atau tidak. Terus terang saja kukatakan, bila aku sampai mengerang kesakitan mulai hari ini namaku akan kubuat secara terbalik.”

“Bersemangat1” jengek nona berpayung perak itu sambil tertawa dingin.

Sementara berbicara, mendadak jari tangannya berkelebat dan segulung desingan angin tajam pun meluncur kedepan dg kecepatan tinggi…..

Dalam hati kecilnya diam-diam Kho Beng menghela napas, dia sadar sejarah hidupnya sudah hampir berakhir, bahkan dia harus mati secara tak jelas dan menahan rasa penasaran. Siapa tahu begitu desingan angin tajam itu menyentuh tubuhnya, ia segera merasakan peredaran darahnya menjadi lancar kembali, dalam tertegunnya dg cepat dia melompat bangun dan mundur sejauh satu kaki lebih dari posisinya.

Terdengar nona berpayung perak itu berkata lagi dg suara sedingin salju:

“Memandang kau sebagai lelaki sejati, nona tak ingin menyusahkan dirimu, ketahuilah meski korban yg tewas oleh kedele pencabut nyawaku berjumlah sangat banyak, namun mereka semua adalah manusia-manusia yg pantas untuk dibunuh…”

“Mengapa kau tidak membunuhku sekarang?” tanya Kho Beng dg wajah tertegun.

Nona berpayung perak itu mendengus dingin:

“Karena kau belum berhak untuk dibunuh, tapi nona peringatkan kepadamu, jika kau berani mencampuri urusanku lagi serta membocorkan rahasia identitasku kepada orang lain, hmmm…hmmmm…..bila kita bersua lagi untuk kedua kalinya, saat itulah merupakan saat ajalmu!”

Seusai berkata dia segera mengulapkan tangannya kepada kedua orang dayangnya seraya berseru:

“Mari kita pergi!”

Dg suatu gerakan yg amat cepat dia melesat ketengah udara dan meluncur pergi dari situ, dalam waktu singkat ketiga sosok bayangan manusia itu telah berada sejauh sepuluh kaki lebih dan lenyap dibalik kegelapan malam.

Dalam malu dan mendendamnya, Kho Beng menggertak giginya kencang-kencang menahan emosi, teriaknya lantang:

“Hey iblis perempuan! Kho Beng tak takut dg ancamanmu, cepat atau lambat aku pasti akan menuntut balas sakit hati yg kuterima hari ini.”

“Hmmm....hmmmm...kalau kau sanggup berusia panjang, silahkan saja untuk mencariku.”

Jawaban yg dingin kaku dan bernada lembut ini bergema ditengah kegelapan malam, tapi bayangan manusianya sudah lenyap tak berbekas.

Dg termangu-mangu, Kho Beng berdiri membungkam ditempat.

Ia sadar dalam keadaan bertangan kosong, sekalipun dilakukan pengejaran pun tak ada gunanya, apalagi dia baru terjun kedalam dunia persilatan untuk pertama kalinya setelah belajar silat, kekalahan yg diderita membuatnya masgul dan amat sedih.

Dg perasaan gemas dia melompat naik keatap rumah, memungut kembali pedangnya yg terlepas dari genggamannya, kemudian melakukan penggeledahan kedalam halaman belakang.

Gedung tempat kediaman si pedang tanpa bayangan memang sangat luas, Kho Beng hanya memeriksa sampai kehalaman lapis keempat setelah berhasil menemukan jenasah dari sipedang tanpa bayangan yg roboh terkapar diberanda sebelah kanan.

Darah segar nampak bercucuran keluar dari matanya, seakan- akan sedang melelehkan air mata darah, sementara dua biji kedele berwarna hitam telah menebusi kelopak matanya, persis seperti biji mata yg telah memudar cahayanya.

Sampai disini, dia belum juga menemukan kelima belas orang jago pedang berbaju kuning lainnya.

Kali ini merupakan saat pertama kali dia melihat jago persilatan tewas secara mengerikan oleh kedele maut, hawa amarah yg membara dalam dadanya segera meledak dan tak dapat terbendung lagi.

Dalam sekejap itulah rasa bencinya terhadap kekejian si kedele maut telah merasuk ketulang sum sum.

Terutama sekali kematian dair si pedang tanpa bayangan berarti memutuskan titik terang menuju ditemukannya kembali kitab pusaka, rasa jengkel Kho Beng semakin menjadi-jadi.

Dg penuh rasa iba Kho Beng mengubur jenasah si pedang tanpa bayangan, dia telah memutuskan untuk secepatnya berangkat ke cui wi san, dia berharap bisa mengetahui asal usulnya secepat mungkin, ia ingin tahu apakah dia benar-benar adalah keturunan dari Kho Beng sia, ketua perkampungan Hui im ceng?

Disamping itu, dia pun telah memutuskan untuk mengungkapkan wajah asli dari si kedele maut kepada umat persilatan melalui mulut orang-orang Sam goan bun, agar seluruh umat persilatan tahu dan mereka mempunyai sasaran yg jelas tentang iblis yg harus diburu.

Ia sadar hal tersebut bukan saja akan memberikan manfaat yg besar bagi usaha menangkap iblis, juga hal inipun merupakan suatu tantangan yg jelas terhadap si kedele maut.

Ditengah keheningan malam yg mencekam, buru-buru Kho Beng berangkat meninggalkan kota Tong sia menuju keperguruan Sam goan bun. Sepanjang perjalanan dia membayangkan terus, betapa gembiranya ketua Sam goan bun setelah memperoleh kabar tersebut.

Sudah hampir setahun lamanya tujuh partai besar dan para gembong iblis dari kaum sesat berusaha menyelidiki jejak si kedele maut, namun usaha mereka selama ini tak pernah mendatangkan hasil, bahkan tak ada yg tahu siapa gerangan orang itu.

Andaikata pihak Sam goan bun mengumumkan soal bentuk asli dari si kedele maut itu, niscaya seluruh dunia persilatan akan merasa kagum dan terkejut pada mereka.

Pemuda itu beranggapan bahwa inilah kesempatan baik baginya untuk membalas budi kebaikan dari Sam goan bun yg telah memelihara selama delapan belas tahun dan merupakan semacam pembalasan pula kepada ketua Sam goan bun yg telah mengusirnya.

Dalam situasi dan perasaan inilah Kho Beng mencapai bukit Cui wi san dalam sepuluh hari.

Waktu itu musim gugur telah lewat, pepohonan yg semula gugur kini sudah mulai tumbuh pucuk baru, melihat kesegaran alam yg mulai nampak, tanpa terasa pemuda itu pun merasakan semangatnya berkobar kembali.

Tiba dipunggung bukit gedung perguruan Sam goan bun telah muncul didepan mata, perpisahan selama setengah tahun, ternyata perkampungan Cui wi san ceng masih utuh seperti sedia kala.

Waktu itu sudah menjelang senja, pintu perkampungan tertutup rapat, Kho Beng segera mendekati pintu gerbang, membenahi pakaiannya yg kusut kemudian mengetuk pintu.

“Toook...toook...!”

Baru dua kali ketukan, pintu gerbang telah terbuka lebar, yg membukakan pintu adalah seorang pemuda berusia dua puluh tahunan.

Dalam sekilas pandangan saja Kho Beng telah mengenali orang ini sebagai murid keempat belas dari ketua Sam goan bun yg bernama Lu Bun hoan.

Cepat-cepat dia menjura seraya menegur:

“Saudara Lu, selamat bersua kembali!”

Mengetahui yg datang adalah Kho Beng, dg wajah tercengang Lu Bun hoan segera menegur:

“Saudara Kho! Kenapa kau balik kembali?” Kho Beng tersenyum. “Aku ingin bertemu dg suhu bungkuk disamping itu. ”

Belum selesai perkataan itu diutarakan, paras muka Lu Bun hoan telah berubah hebat, bisiknya pelan:

“Saudara Kho, mengingat hubungan kita dulu, kuanjurkan kepadamu tinggalkan saja tempat ini secepatnya, tak usah pulang lagi untuk mencari penyakit.”

Selesai berkata, cepat-cepat dia menutup pintu gerbang kembali tanpa menggubris kehadiran Kho Beng lagi.

Kho Beng menjadi tertegun, dia tak mengira akan memperoleh perlakuan demikian, padahal dia cuma ingin ketemu dg ciangbunkin saja.

Dalam marahnya tanpa berpikir panjang lagi, ia segera menggedor lagi keras-keras.

Kali ini dia menggedor dg sekuat tenaga sehingga suaranya menggetar sampai kedalam.

Tak selang berapa saat kemudian pintu gerbang dibuka kembali, yg muncul kali ini ternyata adalah ketua Sam goan bun, Sun Thian hong sendiri.

Hawa amarah tanpak menyelimuti seluruh wajahnya, sambil menatap wajah Kho Beng lekat-lekat, dia membentak:

“Hey! Mau apa kau datang kemari?”

Sambil menahan hawa amarahnya, Kho Beng menjura dalam- dalam, setelah itu ujarnya :

“ Boanpwee khusus datang untuk menemui caingbunjin sekalian menyampaikan salam. “

Pepatah kuno bilang : Jangan memukul orang berwajah senyum.

Meskipun ketua dari sam goan bun ini memperlihatkan sikap yg gusar dan keras, namun setelah melihat sikap menghormat Kho Beng, tak urung dia menjadi rikuh sendiri.

Karenanya sambil mengulapkan tangan dia berkata :

“Tak usah banyak adat, ada urusan apa kau datang kemari ? “ Sambil manggut-manggut pemuda itu berkata :

“Boanpwee khusus datang kemari untuk memberi kabar kepada cianpwee tentang masalah kedele maut. “

Paras muka ketua Sam goan bun ini kelihatan berubah hebat, serunya cepat :

“Lanjutkan perkataanmu ! “

“Jangan disini ! “ tukas Kho Beng sambil menggeleng, “Berhubung masalah ini menyangkut keadaan yg luar biasa, dapatkah cianpwee mengajak boanpwee untuk bicara didalam saja? “

Ketua Sam goan bun kelihatan termenung sebentar, nampaknya dia tertarik dg persoalan ini, akhirnya sambil miringkan badannya, dia berkata :

“Silahkan masuk ! “

Sambil tersenyum Kho Beng segera melangkah masuk kedalam, sementara dalam hati kecilnya berpikir :

“Ternyata perhitunganku tidak meleset, coba kalau tidak memakai alasan tersebut belum tentu aku bisa memasuki pintu gerbang ini serta bertemu dg Thio bungkuk. “

Setibanya diruang tengah, ketua Sam goan bun baru menegur : “Kho Beng, sebenarnya kabar apa yg hendak kau sampaikan ? “ Dg wajah serius Kho Begn segera berkata :

“Boanpwee telah bertemu dg kedele maut ketika berada dikota tong sia, ternyata gembong iblis tersebut adalah seorang nona berusia dua puluh tahunan yg didampingi dua orang dayangnya, seorang bernama Sin hong yg lain bernama Bwee hiang. “

Ketua Sam goan bun ini nampak semakin kaget bercampur tercengang, serunya :

“Kedele maut adalah seorang nona muda ? Tahukah kau identitas serta asal usulnya ? “

Kho Beng menggeleng, secara ringkas dia menceritakan apa yg dialaminya, kemudian menambahkan :

“jurus serangan yg dipergunakan gombong iblis wanita itu dangat aneh, senjata yg digunakan juga luar biasa, bentuknya tak berbeda dg sebuah payung yg bulat berwarna perak, sedang senjata yg dugunakan dayangnya berbentuk dua buah ikat pinggang, mungkin cianpwee bisa menemukan sedikit titik terang dari benda –benda yg mereka andalkan itu. “

Dg kening berkerut, ketua sam goan bun termenung sambil berpikir seenak, mendadak dg wajah berubah hebat ia menjerit kaget :

“Sungguh aneh, rasanya payung perak itu mirip sekali dg payung Thian li san milik Gin San siancu (Dewi payung perak), sedang ikat pinggang yg kau maksud adalah tali pengikat dewa, jangan-jangan kedele maut adalah murid Dewi payung perak ? “

Dg perasaan terkejut Kho Beng turut berpikir : “Thio bungkuk pernah menerangkan, Dewi payung perak menempati kedudukan satu diantara tiga manusia aneh, tapi masa dia mempunyai murid seperti ini.”

Sementara dia masih tercengang, ketua Sam goan bun telah berkata lebih jauh dg suara dingin:

“Penemuan yg berhasil kau peroleh ini benar-benar luar biasa, baiklah partai kami akan mewakilimu untuk menyampaikan berita tersebut kepada seluruh partai lain agar kau memperoleh penghargaan pula dari semua orang.”

Buru-buru Kho Beng menyela:

“Boanpwee sama sekali tidak berniat mencari nama dg berita tersebut, disamping itu boanpwee pun tidak mempunyai ambisi apa- apa, oleh sebab itu bila cianpwee menyampaikan kabar tadi kepada umat persilatan, jangan sekali-kali singgung nama boanpwee.”

“Lalu mengapa kau beritahukan soal ini kepadaku?” tanya ketua sam goan bun dg wajah tertegun.

“Boanpwee tak lain hanya bermaksud membalas budi kebaikan cianpwee yg telah memeliharaku selama delapan belas tahun.”

Untuk beberapa saat lamanya ketua Sam goan bun tertegun, tapi segera ujarnya dg suara dingin:

“Apa yg kau sampaikan kepadaku pasti akan kukabarkan kepada segenap umat persilatan, tapi iktikad baikmu itu biar kuterima dalam hati saja, aku tak ingin merebut jasamu, nah sekarang kau boleh turun gunung, biar kuhantar kau sampai dikaki bukit sana.”

“Tidak, boanpwee masih ada satu persoalan lagi.” Buru-buru Kho Beng berseru.

“Persoalan apa?”

“Boanpwee ingin bersua dg Thio suhu yg bertugas didapur.” “Sayang kedatanganmu terlambat selangkah. ” ujar ketua Sam

goa bun dingin.

“Apakah Thio suhu telah pergi?” tanya Kho Beng tertegun. “Tidak, Thio bungkuk telah berpulang kealam baka bulan

berselang.”

Jawaban itu seperti guntur yg membelah bumi disiang hari bolong, hampir saja membuat pemuda itu jatuh pingsan....

Thio bungkuk telah mati? Baru berpisah setengah tahun ternyata telah terjadi perubahan yg begitu besar dan hebat, hampir saja Kho Beng tak sanggup menahan pukulan batin itu, dia terkejut bercampur sedih. Dg termangu-mangu diawasinya ketua sam goan bun itu tanpa berkedip, dia tak tahu apaka ucapan tersebut benar-benar telah terjadi? Ataukah ketua Sam goan bun itu mempunyai maksud serta tujuan lain.

Namun paras muka ketua sam goan bun ini dingin kaku sama sekali tak berperasaan.

Dari sikap tersebut Kho Beng segera mengerti, walaupun dia datang dg maksud membalas budi serta mengutarakan seluruh isi hatinya secara tulus, namun sikap mana bukan saja tidak membuat ketua tersebut terharu bahkan kehadirannya jelas tidak pernah disambut.

Dalam sekejap mata itu pula pelbagai peristiwa lama melintas kembali dalam benaknya, pelbagai kecurigaan pun satu demi satu muncul kembali. Kho Beng mulai membayangkan kembali kehidupan Thio bungkuk selama belasan tahun terakhir ini yg selalu sehat dan tak pernah sakit, mengapa dia bisa mati secara tiba-tiba ?

Apakah dia telah menemui suatu musibah yg tak terduga? Kalau kematiannya benar-benar tertimpa musibah, apakah hal ini ada sangkut pautnya dg teka teki sekitar asal usulnya ?

Makin berpikir Kho Beng merasa makin curiga, sehingga tak tahan lagi ia bertanya :

“Dapatkah cianpwee jelaskan sebab-sebab kematian dari suhu bungkuk…?”

“Dia mati karena terserang penyakit gawat.” Jawab ketua Sam goan bun dg suara dingin dan hambar.

“Aku tidak percaya1” seru Kho Beng tanpa sadar.

Ciangbunjin dari Sam goan bun itu segera mendengus, katanya lagi dg suara dalam:

“Mau percaya atau tidak terserah kepadamu, yg jelas antara diriku dg sibungkuk mempunyai tali persahabatan selama dua puluh tahun lebih, masa aku bakal membunuhnya secara licik?”

Pertanyaan yg diungkapkan ini segera membuat Kho Beng menjadi tertegun dan seketika membungkam ribuan bahasa, oleh karena apa yg ingin diutarakan sudah didahului lawan. Maka walaupun dihati kecilnya dia menaruh curiga namun tak berani diungkapkan sebab tanpa bukti yg jelas tak mungkin baginya untuk menuduh orang secara sembarangan.

Dalam keadaan begini diapun sadar, bila ketua sam goan bun ini ditegur secara langsung, maka bukan saja tak akan mendatangkan hasil apa-apa malah sebaliknya justru akan menimbulkan bentrokan secara langsung.

Oleh sebab itu berganti nada pembicaraan, dia berkata: “Maafkan kehilapan boanpwee yg telah berbicara tanpa sadar,

maklumlah pikiran dan perasaan boanpwee saat ini amat kalut, tapi. bolehkah cianpwee menunjukkan dimanakah jenasah Thio

suhu dimakamkan, agar boanpwee pun dapat berziarah didepan pusaranya sebagai rasa duka citaku kepadanya?”

Dg suara hambar, ketua Sam  goan  bun  berkata: “Hmmm. coba kalau aku tidak memahami perasaan hatimu

sekarang, masa akan kubiarkan kau bertindak seenaknya seperti ini? Pusara si bungkuk berada dibalik huta siong ditebing bukit sana, pergilah seorang diri, tapi aku perlu memperingatkan kepadamu, selanjutnya lebi baik tak usah berkunjung lagi kebukit Cui wi san ini ketimbang mendatangkan rasa muak dan sebal bagiku!”

Sambil berusaha keras mengendalikan kobaran hawa amarah didalam dadanya, cepat-cepat Kho Beng membalikkan badan dan mengundurkan diri dari pintu gerbang, pikirnya dalam hati:

“Hmmmm, coba kalau aku tidak teringat dg budi pemeliharaan selama delapan belas tahun. hari ini juga aku Kho Beng akan

membuat kau benar-benar muak dan sebal. ”

“Blaaaammm. !”

Terdengar pntu gerbang dibanting keras-keras sehingga tertutup kembali rapat-rapat.

Untuk beberapa waktu lamanya Kho Beng Cuma bisa berdiri termangu-mangu didepan pintu sambil mengawasi papan nama “Sam goan bun” yg terpancang didepan pintu itu tanpa berkedip, rasa jengkel, marah, sedih dan benci terus bercampur aduk menjadi satu, sampai-sampai dia sendiripun tak bisa membedakan bagaimanakah perasaan hatinya waktu itu.

Dalam perasaan yg serba kalut dan kacau tak keruan itulah, dia mengitari dinding pekarangan menuju kebelakang perkampungan.

Dibalik perkampungan, terdapat sebuah hutan siong yg rindang serta sinar senja yg semakin redup menciptakan suasana suram disekitar situ.

Sepanjang perjalanan menelusuri hutan, Kho Beng menyaksikan pemandangan alam disana masih seperti semula, padahal apa yg telah dialaminya kini telah berbeda seratus delapan puluh derajat. Setelah menembusi hutan, terlihatlah sebuah kuburan batu berdiri tegak didepan mata, batu nisan yg berdiri didepan pusara tersebut terteralah beberapa huruf besar yg berbunyi demikian:

“Disinilah diunta sakti berpunggung baja Thio Cio lan beremayam.”

Teringat kembali pergaulannya selama delapan belas tahun terakhir serta budi kebaikan yg telah mewariskan ilmu silat kepadanya, Kho Beng tak dapat menahan asa sedihnya lagi, ia segera berlutut didepan pusara dan menangis tersedu-sedu.

Isak tangis yg memedihkan hati bergema diseluruh angkasa, menambah seramnya suasana disitu, sampai lama sekali Kho Beng menangis,, setelah semua rasa kesal dan sedihny terlampiaskan keluar, pelan-pelan kesaarannya baru pulih kembali seperti sedia kala, sekarang dia mulai berpikir bagaimana caranya untuk bertindak menyelidiki sebab-sebab kematian dari thio bungkuk...

Dalam keadaan inilah, mendadak telinganya menangkap suatu suara yg aneh sekali....

Kho Beng sekarang sudah bukan Kho Beng yg dulu, begitu suara aneh tersebut terdengar olenya, dia segera mengerti kalau ada orang sedang mengintip dan mengawasi gerak geriknya.

Waktu itu langit sudah gelap, namun sinar rembulan belum muncul, dalam keadaa terkejut bercampur curiga, Kho Beng segera meningkatkankewaspadaannya untuk menghadapi segala kemungkinan yg tidak diinginkan....

Setelah menyeka air mata yg bercucuran dipipinya, dia membalikkan badan lalu mengangkat kepala seraya membentak:

“Hey, sobat darimana yg sedang mengawasi diriku? Jika kau tidak segera munculkan diri, jangan salahkan Kho Beng menaruh kesalah pahaman kepadamu!”

Benar juga, begitu perkataan tersebut selesai diutarakan, sesosok bayangan manusia segera melayang turun dari atas pohon dg kecepatan tinggi, setelah tiba didepan mata pemuda itu segera mengenalinya sebagai anggota sam goan bun, Nyoo To li

Dg perasaan tertegun Kho Beng segera menegur: “Oooooh..rupanya Nyoo toako….”

Sambil tersenyun Nyoo To li segera menjura, serunya berkata: “Saudara Kho, baru setengah tahun tak bersua, sungguh tak

disangka ketajaman pendengaranmu sudah begitu luar biasa, nampaknya tenaga dalam yg kau miliki telah memperoleh kemajuan yg amat pesat.”

“Nyoo toako terlalu memuji,” cepat-cepat Kho Beng balas memberi hormat, kini hari sudah gelap, ada urusan apa Nyoo toako bersembunyi diatas pohon?”

Merah jengah selembar wajah Nyoo to li, dia menghela napas panjang:

“Aaaaai...sesungguhnya aku hanya melaksanakan perintah ciangbun suhu untuk melihat, apakah kau sudah pergi atau belum. ”

Mendengar keterangan tersebut, Kho Beng segera mengerutkan dahinya rapat-rapat, kemudian tertawa dingin:

“Ooooh. rupanya saudara Nyooo sedang melaksanakan perintah

untuk mengawasiku secara diam-diam..”

“Saudara Kho, kau jangan kelewat menaruh salah paham terhadap ciangbun suhu,” buru-buru Nyoo To li berseru, “Sejak kepergianmu suhu tak pernah teringat akan dirimu ”

Sambil tertawa dingin kembali Kho Beng menukas: “Saudara Nyoo, apa gunanya kau membelai suhu? Dari dulu

hingga sekarang bukti dan kenyataan telah terpapar didepan mata, apa gunanya kau berusaha membelai serta menutupinya?”

“Aku berani bersumpah dihadapan Thian, semua perkataanku kuucapkan dg kata yg sejujur-jujurnya.” Seru Nyoo To li dg wajah amat serius.

“Kalau toh saudara Nyoo bersikap begitu jujur kepada siaute, bersediakah kau untuk menjelaskan juga sebab kematian dari suhu bungkuk. !” jengek Kho Beng dingin.

Sekali lagi Nyoo To li menghela napas panjang:

“Kisah kematian Thio bungkuk karena sakit tidak begitu kupahami secara jelas, tapi aku dapat memberitahukan kepadamu, lebih setengah bulan berselang, Bok sian tianglo ketua Tat mo wan dari Siau lim si telah datang menyambangi suhu, bahkan telah terjadi keributan dantara dia dg Thio bungkuk. ”

Tergerak hati Kho Beng setelah mendengar keterangan itu, buru- buru ia bertanya:

“Karena persoalan apakah sehingga terjadi keributan diantara mereka. ?”

“Waktu itu, kecuali suhu, Bok sian tanglo dan sibungkuk sendiri, dalam kamar Thio bungkuk tiada orang keempat, lagi pula pintu jendela tertutup rapat, maka dari itu selain kadangkala terdengar suara bentakan marah dari sibungkuk, persoalan lain tak pernah diketahui orang luar….”

“Berapa lamakah selisih waktu antara kejadian tersebut dg saat kematian Thio bungkuk?” tanya Kho Beng sesudah berpikir sejenak.

“Sejak sore itu Thio bungkuk pantang makan minum, setiap orang dilarang memasuki kamarnya, kemudian setelah suhu melakukan pemeriksaan sendiri, barulah diumumkan bahwa Thio bungkuk telah sakit keras dan melarang siapapun datang mengganggunya. Pada keesokan harinya tahu-tahu suhu memerintahkan orang untuk menyiapkan petimati.

Aaaaai…..sungguh tak disangka Thio bungkuk telah dikebumukan pagi hari ketika itu juga, menurut suhu Thio bungkuk menghembuskan napas terakhir ditengah malam dan suhu sendiri yg memasukkan jenasahnya kedalam peti mati.”

“Tatkala jenasah Thio suhu dimasukkan kedalam peti mati, selain ciangbunjin, adakah orang kedua yg turut menyaksikan?”

“Menurut apa yg kuketahui, disaat Thio bungkuk menghembuskan napas terakhir, tiada rang kedua yg tahu.”

“Kapan pula Bok sian tianglo dari Siau lim si meninggalkan tempat ini?” tanya Kho Beng lagi.

“Dipagi hari saat suhu mengumumkan kematian dari Thio bungkuk.”

Ketika berbicara sampai disitu, tiba-tiba dia berseru lagi dg perasaan terkejut bercampur keheranan:

“Saudara Kho, apakah kau menaruh curiga kalau sebab kematian Thio bungkuk mencurigakan dan suhu kau curigai terlibat dalam peristiwa ini….”

Kontan saja Kho Beng tertawa dingin: “He….he….he….menurut pendapatmu benarkah suhu bungkuk

meninggal karena terserang penyakit?” Nyoo To li menghela napas panjang:

“Aaaai. cuaca dilangitpun susah diduga, apalagi nasib manusia,

siapakah yg bisa menjamin seorang manusia tetap sehat walafiat sepanjang masa?”

Kho Beng mendengus dingin:

“Hmmm. suatu jawaban yg sangat bagus tapi sayang belum

bisa melepaskan kecurigaanku terhadap gurumu sebagai pembunuh dari Thio suhu.” “Saudara Kho!” Nyoo To li berseru dg nada tercengang, “Kenapa kau berpendapat demikian? Dihari-hari biasa suhu selalu menaruh sikap hormat kepadanya, mana mungkin beliau berniat membunuhnya?”

“Murid membelai gurunya, hal ini memang lumrah dan tak aneh.” Kata Kho Beng sambil tertawa dingin, “Tapi hati manusia sukar diduga, tiada anginpun bisa timbul masalah, siapa yg bisa menjamin kelak hubungan antara gurumu dg Thio suhu disamping rasa setia kawan, masih terselip pula hubungan lain?”

Sementara Nyoo To li masih dibuat termangu-mangu, Kho Beng telah berkata lebih jauh:

“Terima kasih banyak atas pemberitahuan saudara Nyoo pada malam ini, kini ari sudah larut malam, biar siaute mohon diri lebih dulu!”

Selesai berkata dia segera menjura dan berjalan keluar dari balik hutan.

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar