Jilid 35
Teng It Beng menonton tidak lama, lantas dia bertindak guna membantui kawannya, supaya pertempuran segera sampai di akhirnya. Diam-diam dia mengeluarkan Bie Hun Tok Han dan menimpukkannya kepada Tio Siong Kang.
"Saudara, kau beristirahatlah !" dia teriaki kawannya.
Tio Siong Kang cerdik dan bermata jeli. Ia melihat orang menimpuk ke arahnya. Ia tidak tahu lawan menggunakan senjata apa, tetapi ia sudah menerka. Ia sendiri biasa menggunakan senjata rahasia. Maka ia menggunakan kesempatan menyimpan talinya untuk sebaliknya menggunakan senjata rahasianya. yaitu tiga batang Hui Hu Piauw, yaitu piauw Ikan Terbang, yang mana ia gunakannya dengan membungkukkan pinggangnya, sedangkan dengan tangan kirinya ia membarengi menimpuk dengan senjata rahasianya lainnya, ialah jarum beracun. Ia menyerang kepada Gak Hong Kun dan Teng It Beng berdua.
Dua-dua Gak Hong Kun dan Teng It Beng terkejut, dua-dua lantas menangkis dengan pedangnya masing-masing. Ketiga piauw dapat dibikin terpental balik, tetapi jarum beracun mesti dihindarkan dengan lompat berkelit, sebab jarum bukannya satu batang melainkan segumpal. Dari berlompat ke kiri dan kanan, terpaksa mereka menceburkan diri ke laut.
Selagi Tio Siong Kang bisa mengusir musuh, ia sendiri telah kena menyedot bubuk beracun, selekasnya ia terhuyung lantas tubuhnya roboh dengan ia tak sadarkan diri. Sudah begitu, di dalam perahu besar itu telah tidak ada seorang lain juga. Pemilik perahu kecil, melihat kedua penumpangnya terjatuh ke air, mulanya dia mengawasi saja, tak berani dia membantu sebab dia takut perbuatannya nanti dapat dilihat orang To Liong To. Itulah berbahaya. Tapi selekasnya dia melihat perahu besar tak ada orang yang bergerak, baru dia menyuruh orangnya lekas membantui Teng It Beng dan Gak Hong Kun naik ke kapalnya.
Dua-dua kawan itu tidak bisa berenang, tetapi mereka sadar dan cerdik. Diwaktu tercebur mereka menahan nafas, hingga mulut mereka tidak kemasukan air. Sesudah kecemplung masuk ke dalam air, tubuh mereka mumbul timbul. Mereka pun menggerakkan kaki tangan mereka buat mencakar-cakar air. Justru mereka timbul, mereka dihampiri anak buah perahu sewaannya, lalu ditarik buat dibawa ke perahu, hingga dilain saat mereka berhasil diangkat naik.
Mereka tidak terluka tetapi mereka kena menenggak juga air laut, dari itu, mereka nampak letih. Lantas mereka menyalin pakaian. Mereka meminjam pakaian kering tukang perahu, pakaiannya terus digarang di api. Mereka sendiri lantas duduk beristirahat buat bersemadhi.
Lewat sepuluh menit, maka pemilik perahu mengasih tahu kedua penyewanya bahwa perahu mereka terpisah dari tepian To Liong To tinggal belasan lie jauhnya, maka ia tanya mereka mau melanjuti belajar atau mau pulang dahulu, buat menunda sampai besok pagi.
"Sekarang sudah jam berapa ?" Teng It Beng tanya sebelum dia memberikan jawabannya.
"Kira-kira jam dua lewat."
"Jam berapa kita bakal tiba di To Liong To ?" Gak Hong Kun turut bicara. "Jika tak ada halangan, kita akan tiba pada jam empat lewat."
Teng It Beng berpikir sebentra, baru ia berkata : "Kalau kita maju terus kita bakal terhadang musuh. Sekarang ini malam gelap dan angin keras, gelombang pun dahsyat, berbahaya buat kita melakukan pertempuran di tengah laut. Kita pula tidak bisa berenang. Karena itu aku pikir baik kita pergi besok saja."
Penghidupan di atas perahu asing sekali bagi Gak Hong Kun dan Teng It Beng. Mereka merebahkan diri tetapi tak dapat tidur. Gelombang membuat tubuh perahu bergerak tiada hentinya. Buat bersemedhi pun sulit. Maka itu keduanya cuma rebah diam saja, mata mereka dipejamkan.
Entah sudah lewat berapa lama ketika Gak Hong Kun berdua dikejutkan suara terompet, keduanya lompat turun dari pembaringan, untuk melongok di jendela. Di dalam malam tampak bayangan dari dua atau tiga perahu yang terlihat hanya dari lentera diatas tiang layarnya. Seberhentinya suara terompet, perahu-perahu itu memencar diri. Menyusul itu ada api melesat ke arah perahu kecil itu. Teng It Beng terkejut.
"Musuh menyerang kita dengan panah api." katanya keras.
Kemudian ia lompat keluar menyuruh tukang perahu lekas mundur.
Tapi sudah kasip ! Panah-panah itu berdatangan terus. Dua batang kena terasampok tetapi ada pula yang mengenakan tutup perahu dan terus menyala, terus berkobar sebab angin laut seperti mengipasinya. Ada api yang menyambar Gak Hong Kun dan Teng It Beng yag terkena pada bajunya, maka keduanya lompat ke depan, guna menjatuhkan diri bergulingan akan memadamkan api itu. Keduanya menjadi bingung.
"Bagaimana sekarang kakak Teng ?" Gak Hong Kun tanya kawannya.
Teng It Beng melengak. Dia bingung juga.
"Api ini tak dapat dipadamkan." katanya kemudian. "Baik kita turun ke laut untuk berpegangan pada pinggiran perahu atau kemudinya."
Gak Hong Kun menurut. Memang jalan lainnya tidak ada. Kembali ada panah api menyambar, mereka menyampoknya. Lantas mereka mencari dadung akan mengikat pinggang mereka sesudah itu mereka merosot turun ke air, untuk melindungi diri dengan pertolongannya kemudi.
Anak buah perahu sudah pada terjun ke air, sebab tak sanggup mereka memerangi api yang lantas mengganas berkobar besar. Malam gelap tetapi cahaya api kebakaran memungkinkan orang melihat kesana kemari dengan cukup terang. Demikian tampak perahu-perahu penyerang.
Tengah Teng It Beng berdua mengawasi dari kemudi, mendadak mereka mendengar suara terompet lantas perahu- perahu penyerang itu bergerak menjauhkan diri. Rupanya mereka itu berlalu sebab melihat perahu lawan sudah menjadi seperti lautan api. Syukurlah sang fajar segera tiba. Api pun telah padam sendirinya.
Teng It Beng berdua Gak Hong Kun merayap naik. Mereka pun mendapatkan segala apa diatas perahu telah musnah dimakan api. Perahu tinggal dasarnya saja. Pakaian mereka cukup terpaksa mereka keringkan saja. Berdua mereka duduk dilantai.
Gak Hong Kun menghela nafas.
"Tak kusangka kita bakal mengalami nasib begini." katanya masgul. "Hampir kita mati konyol !"
Teng It Beng tertawa menyeringai.
"Jangan menyesal dan berduka cita saudaraku." katanya. "Inilah pengalaman berbareng pengajaran pertama bagi kita selama kita menjelajah dunia Kang Ouw !"
Gak Hong Kun mengernyitkan alis.
"Bagaimana sekarang ?" tanyanya. "Kita benar sudah lolos dari ancaman kematian tetapi sekarang kita berada di atas perahu kosong ini dan di tengah laut juga."
Teng It Beng tertawa. Nyata dia besar hati.
"Tak lama lagi musuh bakal datang memapak kita !" katanya. "Sekarang adikku, kau gunakanlah ketika ini untuk beristirahat ! Kita tunggu tibanya mereka itu..."
Terkaannya Teng It Beng tepat, belum terlalu lama, mereka melihat mendatanginya dua buah perahu kecil yang dapat berlayar dengan sangat pesat. Lekas sekali kedua perahu itu sudah datang sejarak empat tombak. Setiap perahu memuat lima orang. Dari masing-masing lima orang itu, yang satu memegang kemudi, yang empat ditengah-tengah. Di tempat kemudi ditancapkan sebatang bendera kecil hitam bawah putih. Itulah benderanya rombongan To Liong To.
"Adik bersiap sedialah." berkata Teng It Beng separuh berbisik pada kawannya. "Kita menerjang masing-masing sebuah perahu. Kita habiskan mereka itu."
Begitu berkata begitu Teng It Beng bangkit sambil menghunus pedangnya, justru perahu itu telah datang sangat dekat terus dia lompat ke sebuah diantaranya untuk tak ampun lagi menyerang kalang kabutan.
Hanya sekejap robohlah empat lawan, tinggal si tukang kemudi. Dia itu terkejut dia lantas turun tangan. Dia menimpuk tiga buah golok terbang Liu yap To setelah mana dia menghunus goloknya buat terus menerjang.
Teng It Beng repot menyelamatkan diri dari serangan senjata itu. Ia sampai mesti menjatuhkan diri, waktu ia mau bangun, serangan golok tiba. Ia menangkis sedangkan tangan kirinya sekalian menekan lantai, guna membantui tubuhnya berlompat bangun. Selekasnya ia dapat berdiri, ia membalas menebas penyerangannya itu.
Hebat serangan dan tangkisan itu, kedua senjata beradu keras. Teng It Beng terpental mundur, begitupun penyerangnya, orang To Liong To, tetapi dia kehabisan tempat. Dia terpental tercebur ke laut !
Selekasnya Teng It Beng menoleh ke perahu yang lainnya, di sana ia melihat Gak Hong Kun tengah melayani tiga orang musuh, yang lagi melibatkannya. Dua orang musuh lainnya sudah rebah binasa.
"Saudara Gak, akan aku bantu kau !" teriak Teng It Beng. Tetapi perahu terpisah kira lima tombak, tak dapat orang she Teng ini berlompat. Maka ia menjemput pengayuh untuk mengayuhnya maju, mendekati perahu To Liong To itu. Ketika orang To Liong To mendengar suaranya Teng It Beng, mereka menjadi berkuatir. Memangnya melayani Gak Hong Kun seorang diri mereka sudah kewalahan. Lantas mereka saling lompat ke sisi membuat perahu miring terus terbalik, mereka sendiri meneruskan menceburkan diri !
Teng It Beng menjerit saking kaget. Dia berkuatir buat kawannya. Dia percepat majunya perahunya. Dari tempat orang di perahu karam itu, tak ada seorang juga yang lekas timbul di permukaan air, baru kemudian terlihat kepalanya Gak Hong Kun yang terus merayap naik, akan berduduk di dasar perahu. Tadi ia berlaku cerdik. Karena ia tahu ia tidak bisa berenang, selagi perahu terbalik ia menyantol kakinya pada pinggiran perahu, ketika perahu karam ia tak terpisah dari perahu itu, tak usah ia terlempar ombak. Itulah sebabnya kenapa ia sempat naik ke atas perahu yang tetap terbalik itu.
Teng It Beng mengayuh perahunya menghampiri kawan itu.
"Kau jempol saudaraku !" katanya memuji sambil tertawa. "Bagus untungnya ketiga orang itu !"
Gak Hong Kun pindah ke perahu kawannya, dia pun tertawa.
"Inilah pengalaman kita yang berharga." katanya.
Keduanya lantas mengayuh perahu, membuat kendaraan air itu menuju ke To Liong To. Mereka tak sesal sesuatu, maju terus menurut rencana mereka. Di waktu tengah hari, mereka sudah melihat pulau yang melengkung bagai naga. Maka mereka merasa pasti, itulah To Liong To. Mereka maju terus, mereka mengayuh sekeras-kerasnya membuat perahu laju dengan pesat sekali.
Akhirnya mereka tiba juga ditepian, dibagian yang sepi.
Itulah bagian belakang dari To Liong To. Mereka tahu dimana beradanya markas To Liong To itu. Dari tengah laut tadi mereka melihat bendera besar di puncak. Mereka menduga itulah tentu markas tempat tujuan mereka tetapi mereka tak lantas pergi ke sana. Lebih dahulu mereka mencari sebuah goa buat merebahkan diri. Mereka merebahkan diri buat tiduran. Kapan sang lohor tiba mereka memburu kelinci buat dibakar, dijadikan barang hidangan.
Tepat jam pertama, dua orang ini mulai dengan perjalanan mereka menuju ke markas To Liong To. Jalanan sukar tapi mereka tak hiraukan itu. Mereka merayap dan berlari. Tujuan mereka ialah tempat ada cahaya api. Jalan berliku-liku membuat mereka tak lekas-lekas tiba ditempat tujuan.
Sampai jam dua, masih belum juga mereka sampai. Selama itu tak pernah mereka bertemu orang. Mereka heran kenapa kawanan To Liong To demikian lalai. Mereka maju terus sampai telinga mereka mendengar suara berkericik.
Kiranya itulah sebuah kali kecil yang lebar sepuluh tombak tetapi dasarnya cetek cuma dua atau tiga kaki, hingga dasar air dapat terlihat. Saking dangkalnya, air jadi mengalir deras hingga terdengar suaranya itu. Dasar kali terlihat seperti pasir. Teng It Beng berpikir keras. Dia mencurigai kali itu. Kenapa tempat demikian dibiarkan tak terjaga. Toh mudah saja orang maju dengan jalan menyeberang ke situ... Kecuali orang dalam, tak ada yang ketahui yang dasar kali itu pasirnya berupa pasir membal. Kalau orang injak, pasir melesak, kaki orang akan melebas masuk berikut tubuhnya.
Gak Hong Kun sudah lantas menCinCing celananya. Hendak dia turun ke air. DIa menurunkan sebelah kakinya, disusul kaki yang lain. Segera kakinya itu melebas masuk ke lumpur pasir. Dengan cepat ia sudah terlebas sebatas dengkul, terus ke paha dan perut ! Maka bukan main kagetnya !
"Kakak, tolong !" dia menjerit.
Teng It Beng terkejut, dia menoleh. Tahulah ia apa sebabnya jeritan itu.
"Adik, tahan nafas !" ia segera memberitahukan. "Ringankan ia bahaya, jangan bergerak ! Nanti aku mencari dahan guna membantumu !"
Kawan itu lari ke sebuah pohon yang tumbuh, ia tebas sembarang dahannya yang panjang. Ia lekas membawa itu, untuk lantas disodorkan pada kawannya.
"Pegang !" katanya, setelah mana, ia menarik.
Gak Hong Kun memegangi dahan itu, hingga ia terbawa ke tepian, dimana ia merayap naik ke darat. Ia menarik nafas lega. Hampir dia tenggelam di dasar lumpur pasir itu !
"Tak kusangka lumpur pasir ini merupakan semacam perangkap." katanya, peluhnya membasahi dahinya.
Keduanya mengawasi kali itu, yang panjang. Mereka bingung sebab terang disitu mereka tak dapat menyeberang. Tapi tak lama, Gak Hong Kun sudah lantas tertawa dan berkata : "Kita jangan kurang akal ! Mari kita cari pohon kayu yang besar, kita gunaui itu sebagai alat buat menyeberang ! Itu toh dapat, bukan ?"
Teng It Beng setuju. Maka keduanya lantas bekerja. Hanya sayang, disekitar itu, mereka tak berhasil mendapatkan sebuah pun pohon kayu yang besar. Kesudahannya mereka masgul dan mengeluh dengan berbareng.
Lama mereka berdiam, sampai Teng It Beng bersenyum. Ia dapat memikir satu akal.
"Adik, kau mengenakan berapa lembar celana ?" tanyanya. Gak Hong Kun melengak sambil mengawasi kawan itu. "Ah, kakak, kau masih dapat bergurau ?" tanyanya heran. "Buat dapat menyeberang disini, celana pun ada faedahnya
!" kata kawan itu, yang terus tertawa.
Melihat sikap kawan itu, Gak Hong Kun percaya orang tidak lagi berkelakar.
"Semuanya tiga lapis !" sahutnya kemudian.
"Bagus !" kata Teng It Beng. "Mari serahkan dua potong padaku !"
Gak Hong Kun menurut.
Segera setelah memegang celana, Teng It Beng ikat itu pada bagian kedua kaki dan pinggangnya. Talinya ialah ujung baju yang ia robek. Dengan itu ia membuat dua buah pelembungan. Gak Hong Kun tertawa.
"Sungguh kau cerdik, saudara. Kau dapat memikir akal ini
!" pujinya.
Teng It Beng tersenyum.
"Mari !" dia mengajak. Lantas dia turun ke air. Gak Hong Kun menurut dan mengikuti.
Dengan pelembungan istimewa itu, kedua saudara itu berhasil juga melintasi kali istimewa itu. Setibanya diseberang, Gak Hong Kun mengeringi celananya, buat dipakai pula.
Selama itu, waktu sudah jam tiga. Di situ tak ada jalanan, bahkan banyak batu besar dan pohon duri.
Ketika Teng It Beng mendongak, dia melihat di atas dinding terdapat ujungnya semacam bangunan pesanggrahan. Ia percaya disitu tentu ada penjaganya.
"Mari !" ia mengajak Gak Hong Kun. Terus ia mulai mendaki. Ia telah minta bantuannya pohon oyo dan batu batu yang menonjol, hingga dia mirip seorang pendaki gunung. Gak Hong Kun meniru buat.
Setelah bersusah payah dan membuang waktu, kedua kawan itu tiba juga diatas puncak. Mereka mendapati sepi saja di dalam pesanggrahan itu, yang merupakan sebuah bangunan terdiri dari ranggon serta beberapa kamar atau ruangan. Api pun tidak ada. Kedua saudara angkat itu saling mengawasi terus. Mereka menghunus pedangnya masing-masing lantas mereka membabat kutung terompet tanduk menjangan untuk terus mencoba berlompat naik memasuki ranggon. Tepat mereka sampai di depan ranggon, telinga mereka lantas mendengar tawa dingin di belakangnya diikuti dengan bentakan ini : "Tahan !" Dan suara itu lantas disusul munculnya tujuh orang dari belakang dan depan, hingga jalan mereka dihadang di depan dan di belakang.
Teng It Beng berdua berdiri diam, matanya diarahkan kepada semua orang itu, yang semua berseragam hitam, hingga tubuhnya masing-masing tinggi dan katai, dan senjatanya macam-macam.
Tio It Hiong palsu berani sekali, dia tertawa dingin. Dia kata
: "Untuk apakah Tio It Hiong datang ke To Liong to ? Tak usah aku jelaskan pasti kalian sudah ketahui ! Jika kalian laki- laki, kalian beritahukan nama kalian, untuk seterusnya menerima binasa."
Seorang yang bertubuh tinggi besar kata dengan dingin, "EH, bocah Tio It Hiong, apakah kau tidak kenali kami Lie Tay Kong dan Mie A Lun, kedua hiocu dari To Liong To ? Baiklah kalian lihat saja sepasang tombak cagakku. " Kata-kata orang itu dibarengi dengan satu serangan.
Juga Mie A Lun dengan cepat berlompat maju akan turut menyerang. Karena ini lima orang kawannya turut maju juga. Hingga Gak Hong Kun berdua segera kena diserang.
Selewatnya beberapa jurus, Gak Hong Kun dan Teng It Beng membikin musuh menjadi dua rombongan. Itu pula maksudnya Lie Tay Kong yang hendak memecah tenaga lawan. Tay Kong berkelahi dibantu dua kawannya, mereka mengepung Gak Hong Kun. Mie A Lun beserta tiga kawannya mengurung Teng It beng. Kedua belah pihak sama unggulnya. Gak Hong Kun dapat membuat ia seimbang dengan ketiga musuhnya, begitu juga Teng It Beng hanya lewat pula beberapa jurus lagi dia nampak repot bertarung tiga lawannya, Mie A Lun dapat mendesak hebat.
Pertempuran berlangsung seru dan berisik. Kecuali suara beradunya senjata, pihak To Liong To sering membentak. Dari atas ranggon suara terompet pun terdengar berngiang-ngiang. Itulah terompet tanda ada bahaya.
Gak Hong Kun melihat suasana buruk timbullah kegalauannya. Sembari melakukan Bie Hun Tok Hun ia kata murung pada kawannya, "Kakak Teng, kenapa kita masih tidak mau menurunkan tangan besi ? Buat apa melayani mereka lama-lama ?"
Lie Tay Kong tertawa. Kata dia, "Tio It Hiong, kau ada punya kepandaian apa ? Di saat kematianmu mendatangi, kau keluarkanlah !"
Kata-kata "tangan besi" dari Gak Hong Kun adalah isyarat darinya untuk mengasi bubuk beracunnya seperti ia sudah menyiapkannya.
Gak Hong Kun menanti kesempatan. Satu kali ia diserang sepasang tombak cagak, ia tidak menangkis. Hanya mendadak ia melengak hingga tubuhnya seperti rebah terlentang.
Sembari melengak itu telah tangannya diayun dipakai menimpukkan bubuk beracunnya.
Lie Tay Kong kaget sekali. Ketika ia menyedot bubuk, hidungnya terasa nyeri. Tahu ia apa artinya itu. "Mundur !" ia berteriak. Begitu pun dua orang lawannya itu.
Selagi orang roboh, Gak Hong Kun berlompat bangun untuk berlompat lebih jauh kepada tiga orang musuhnya itu. Ia bersiul nyaring dan dingin, menunjuki kepuasannya. Setelah itu berulang kali ia menebas dengan pedangnya, membikin Lie Tay Kong bertiga putus lehernya masing-masing.
Mie A Lun terperanjat ketika ia mendapat kenyataan Lie Tay Kong bertiga roboh, lantaran itu gerakan tangannya sedikit terlambat. Teng It Beng menggunakan ketika itu untuk mendesak hingga lawannya mundur tiga tindak. Justru itu Gak Hong Kun pun lalu segera berlompat datang guna membantui kakaknya. Maka kebetulan saja dia menyambut A Lun dengan satu tikaman !
Disaat sangat terancam itu A Lun sampai berkelit tetapi ujung pedang lawan menggores juga bahunya. Di lain pihak senjatanya telah mengenai lengan lawan hingga Gak Hong Kun juga terluka walaupun tidak parah. Ketika ia melihat ketiga kawannya, hatinya gentar dan giris. Ketiga kawan itu telah roboh sebagai mayat-mayat yang bermandikan darah sebab Teng It Beng tidak mau mengasih ampun pada mereka.
"Habislah." pikirnya. Maka tak ayal pula dengan menahan rasa nyerinya, ia terus lari ke kaki gunung.
"Sungguh berbahaya." berkata Teng It Beng sambil menyusuti peluhnya. Kemudian ia memeriksa lukanya. Syukur itu cuma luka dikulit. Setelah dibalut, darahnya tak keluar lebih jauh.
"Baiknya kau cerdas dan cepat saudara Gak !" kemudian ia memuji. "Sayang si orang she Mie dapat lolos !" kata Gak Hong Kun. "Sekarang sulit bagi kita menyerang lebih jauh. "
"Ah lihat." kata Teng It Beng. "Mereka ada orang-orang dari tingkat dua, tujuh bajingan dari To Liong To belum tampak sama sekali. "
"Kang Teng Thian bersama Siauw Wan Goat tidak berada dipulaunya." kata Gak Hong Kun. "Jie Mo Lam Hong Hoan dan Nho Mo bok Cee Lauw pernah aku menemuinya di perbatasan propinsi Secuan. Mungkin mereka itu belum pulang maka kalau yang lain-lainnya ada disini, tinggallah tiga orang lagi. Aku pikir dengan mengandalkan bubukku dapat kita melawan mereka itu. Kita lagi meminjam golok membunuh orang, makanya Biearlah kemudian mereka itu pergi cari Tio It Hiong!"
Teng It Beng tertawa.
"Kapan telah tiba saatnya kau bertemu Siauw Wan Goat, dapatkah kau membagi aku barang secangkir arak ?" katanya bergelak.
Gak Hong Kun pun tertawa.
Ketika itu kira jam empat, rembulan terang sekali. Karena itu untuk maju lebih jauh, Gak Hong Kun dan Teng It Beng tidak pergi melalui jalan berbata di jalan itu. Mereka selalu menyembunyikan diri diantara pepohonan dan gerombolan rumput. Dengan begitu tak dapat mereka menuju langsung ke markas To Liong To, mereka mesti jalan sedikit memutar.
Tepat fajar mendatangi, Gak Hong Kun berdua telah tiba di belakang gunung di belakang markas. Terlihat bangunan benteng yang berlapis-lapis dan megah, diempat penjurunya terdapat ranggon-ranggon pemilik yang tinggal dimanapun diakibatkan bendera To Liong To yang besar, tengkorak hitam diatas putih. Sang angin membuat bendera itu berkibar-kibar tak hentinya.
"Mari kita maju !" berkata Gak Hong Kun. "Tak perduli dengan jalan berterang atau menggelap, kita mesti mengacau dan mengubrak abrik mereka !"
Boleh dibilang belum berhenti suaranya murid dari Heng San Pay itu atau mereka sudah lantas mendapat dengar suara bersuitnya anak-anak panah yang dalam jumlah besar berjatuhan saling susul ke arah mereka. Lantas mereka mendekam, pedang mereka dihunus yang datang menyampok setiap anak panah yang datang menyambar.
Luar biasa penyerangan anak panah itu, hampir tak ada hentinya, ada tambahnya tak berkurang. Tentu saja Teng It Beng dan Gak Hong Kun menjadi repot juga. Tak dapat mereka menangkis terus-terusan, bisa-bisa ada anak panah yang lolos dari tangkisan atau mereka kurang gesit.
"Saudara Gak mari kita menyerbu benteng." Teng It Beng kata perlahan pada kawannya itu. Ia bukannya menjadi jeri, sebaliknya ia menjadi penasaran dan gusar. Memangnya mereka telah bertekad bulat untuk tidak mundur lagi.
Habis mengajak itu, tanpa menunggu jawaban, si orang she Teng sudah lantas lompat maju, sekali mencelat, ia mencapai tiga tombak. Gak Hong Kun menjawab dengan suaranya, lantas ia menyusul.
Selekasnya mereka berada ditempat dimana tidak terdapat serangan anak panah, hati mereka menjadi lega. Disini mereka lantas berlari-lari keras, hingga mereka mendekati sebuah ranggon pengawasan, jaraknya kira sepuluh tombak.
Tiba-tiba dua saudara itu sangat terkejut. Tahu-tahu ada anak panah menyambar mereka bahkan ada panah yang disertakan api. Panah itu terjatuh di belakang mereka mengenai rumput lantas menyala !
Gak Hong Kun gusar sekali. Dia ayal sedikit, bajunya termakan api. Maka dengan cepat ia berlompat maju menghampiri ranggon. Ia lantas tiba pada dinding bawahnya.
Dari atas ranggon lantas terdengar suara tertawa yang disusul dengan ini kata-kata dingin : "Tio It Hiong, ilmu pedangmu bagus sekali ! Karena itu aku si orang tua suka menghentikan panahku ! Kalau kau berani, kau majulah untuk kita bertempur buat mendapatkan keputusan !"
Suara itu tajam sebab itulah suaranya Su Mo Siauw Tiong Beng, bajingan nomor empat.
Gak Hong Kun tidak menjawab, hanya ia menggapaikan Teng It Beng buat mengajak kawan itu maju terus. Tanpa adanya serangan panah, mereka dapat maju dengan cepat dan mudah hingga mereka tiba di depan pintu dari bangunan ranggon pengawasan itu. Disitu ada sebuah tangga batu, di depan mana terdapat halaman terbuka penuh rumput. Di kiri dan kanannya terdapat semacam pagar. Di situ pun ada sebuah saluran air laut, peranti keluar masuknya perahu- perahu To Liong To. Di tepiannya tertambat beberapa buah perahu kecil.
Di depan tangga berkumpul banyak orang dengan seragam hitam, tiga orang yang menjadi pemimpin menempatkan diri di depan mereka itu semua. Itulah Sam Mo Cia Seng Ciang, bajingan nomor tiga yang berdandan sebagai pelajar yang menggembloki pedang di punggungnya. Yang kedua ialah Su Mo Siauw Tiong Beng, bajingan nomor empat. Dia ini mengenakan kopiah seragam bajunya kuning, celananya hitam tanpa senjata di tangan.
Yang ketiga ialah Mie A Lun yang tadi pernah bertempur dan sekarang melihat dua orang musuh itu dia yang paling dulu lompat menyerang Gak Hong Kun dengan jurus silat menawan roh menangkap sukma. Dia bersakit hati sebab tadi dia dikalahkan secara curang.
Gak Hong Kun menangkis dengan hebat maksudnya guna membuat kutung senjata lawan, diluar pengetahuannya Mie A Lun berlaku cepat, senjatanya lekas-lekas ditarik pulang buat menebas kaki ! Segera juga Gak Hong Kun kena terdesak mundur !
Menyaksikan Mie A Lun menang diatas angin, Siauw Tong Beng tertawa menghina. Kata dia : "Orang she Teng, mari kau mencoba menyambut beberapa kali tanganku !" Dia benar- benar maju dengan serangan tangan kosongnya !
Hebat serangan orang tua ini, walaupun ia tidak bersenjata. Angin gerakan tangannya menghembus keras. Inilah sebab ia adalah ahli "Hun Kin Co Kut Ciang hoat", ilmu membikin orang salah otot.
Teng It Beng terkejut, lekas-lekas ia menutup diri dengan pedangnya. Ia menggunakan tipu pedang "Menutup Jendela, Menolak Rembulan". Toh ia menjadi repot sekali.
Setelah itu tangan lawan mendadak berada di belakangnya. Hingga ia mesti berkelit nyamping satu tindak, menyusul mana ia terus berontar sambil menyabet dengan pedangnya, niatnya membikin kutung lengan si lawan.
Pertempuran ini selanjutnya berjalan secara berat sebelah.
Menurut pantas pedang melawan tangan kosong, pedang mesti lebih unggul tetapi sekarang ternyata tangan kosong yang menang diatas angin. Siauw Tiong Beng merangsek membuat lawannya berkelit atau berlompat. Teng It Beng kena didesak terus.
Selang tiga puluh jurus orang she Teng itu telah terdesak ke tepi pesisir buatan manusia itu.
Di pihak satunya mula-mula Gak Hong Kun kena terdesak oleh Mie A Lun, tetapi dasar dia lihai, perlahan-lahan dapat dia memperbaiki diri, hingga dari berada dibawah angin dia membuatnya pertempuran berjalan berimbang. Lalu dilain saat dia merubah keadaan membuatnya lebih unggul.
Tiba-tiba Mie A Lun dibuat menjadi kaget sekali waktu senjatanya yang kanan kena terpapas pedangnya Gak Hong Kun, sebab terus dia ditebas ! Dalam keadaan seperti itu sukar buat dia meloloskan diri dari ancaman bahaya, kecuali dia berlaku nekad, bersedia sama-sama terluka dan terbinasa.
Masih dia mencoba menangkis dengan senjata ditangan kirinya.
"Tas !" demikian satu suara keras dan kembali senjata itu kena terkutungkan ! Karena Gak Hong Kun berlaku bengis dan tak sudi dia memberi ampun. Kembali dia meneruskan menikam !
Dengan sangat terpaksa Mie A Lun mengetuk pedang lawan dengan gagang senjatanya. Dia berhasil tapi tak seluruhnya. Ujung pedang terasampok tetapi meluncur terus. "Traaaangg !" demikian satu suara lain dan pedangnya Gak Hong Kun terpental, untung tidak terlepas dari cekalan. Mie A Lun pun bebas dari ancaman maut.
Kiranya Cia Seng Ciang yang membantu pembantunya dengan jalan menghajar pedangnya Gak Hong Kun dengan senjata rahasianya, Thie Lian hoa atau bunga seroji besi.
Menyusul itu Cia Seng Ciang berlompat maju sambil berseru : "Bocah she Tio, apakah kau tak mau mengandalkan pedangmu menghina orang ?" sambil maju itu ia terus menyerang dengan satu tikaman kepada jalan darah tay yang.
Gak Hong Kun terkejut. Tidak saja pedangnya terhajar nyamping, juga tangannya sesemutan. Tapi masih ia berniat menghajar Mie A Lun atau ia melihat lawannya itu menyingkir dari kalangan dan Cia Seng Ciang telah menggantikan dia menghadang dan menyerangnya. Lekas-lekas dia berkelit, terus dia berlompat mundur.
Tepat itu waktu Gak Hong Kun juga melihat keadaan berbahaya dari Teng It Beng, maka mengertilah ia bahwa pihak To Liong To masih terlalu kuat buat pihaknya hingga ia lantas memikir untuk mengangkat kaki. Karena ini ia lantas memikir buat menggunakan bubuk beracunnya : Bie Hua Tok Han !
Setelah berkelit itu, Gak Hong Kun berhasil memperbaiki diri, ia lantas cepat menyerang buat mencoba merubah keadaan. Cie Seng Ciang melihat bahaya mengancam, ia berkelit ke samping, dari situ ia membarengi menggeprak keatas pedang. Gak Hong Kun terkejut. Gagal dia menikam, sebaliknya pedangnya kena terhajar. Dia terkejut sebab pedang itu hampir terlepas. Karena itu hendak ia menggunakan bubuknya yang jahat, yang sangat berbahaya itu. Begitulah tidak menanti sampai disusul dengan serangan lain, mendadak ia loncat mencelat dengan berjumpalitan, lalu selagi tubuhnya mau turun ia mengayun sebelah tangannya yang sudah menggengam bubuknya itu.
Mie A Lun telah kenal bubuk berwarna ungu yang jahat itu, selekasnya ia melihat bubuk berhamburan, dia lompat menyingkir sambil berteriak berulang-ulang : "Bubuk beracun ! Cia To cu, awas !'
Cia Seng Ciang sendiri sementara itu sudah bercuriga.
Memangnya ia adalah seorang Kang Ouw kawakan, banyak pengalamannya, luas pengetahuannya itu. Selagi lawan berjumpalitan ia sudah heran dan menerka itulah sepak terjang permulaan dari senjata rahasia yang bakal digunakan. Selekasnya dia melihat bubuk warna ungu itu tahulah ia yang lawan menggunakan bubuk beracun maka juga belum lagi Mie A Lun memperdengarkan peringatannya, ia sudah mendahului menahan nafas serta menutup jalan darahnya, menyusul mana ia berlompat ke kepala angin.
Gak Hong Kun kecele ! Dia bermaksud merobohkan musuh atau sedikitnya menghadang gerak gerik musuh itu supaya ia memperolah luang buat mengangkat kaki buat membantu Teng It Beng, siapa sangka ia telah menghadapi seorang lawan yang lihai kepandaian silat dan otaknya.
Dan belum lagi ia menginjak tanah, dua buah tie lian hoa sudah menyambar padanya, sebab lawan membalas menyerangnya dengan senjata rahasia juga. Terpaksa ia menjatuhkan diri dengan bergulingan di tanah, dengan pedangnya ia menyampok kedua belah senjata rahasia itu, menyusul mana ia berlompat bangun buat terus lari ke arah Teng It Beng.
Mie A Lun dengan mengajak ke empat kawannya maju untuk memegat. Tak kecewa dia bergelar "Coe Sun Ka" Si Tenggiling, dengan satu loncatan "KuCing Hutan Lompat keluar dari Lobang" dia segera tiba di depan lawan yang dia terus bacok !
Tadi sepasang senjata siangjin ciang dari A Lun telah terkutungkan lawan maka sekarang ia menggantikannya dengan golok, karena itu bukan genggaman pegangannya, bacokannya kurang tepat. Gak Hong Kun menyambuti bacokan itu. Ia berniat menebas kutung lawan, ia tapinya tidak berhasil. Setelah berpengalaman, Mie A Lun berlaku cerdik.
Dia menarik pulang goloknya setengah jalan buat diteruskan dipakai membabat dari samping, mengarah batang lehernya lawan itu. Gak Hong Kun terancam bahaya, ia menegakkan tubuhnya, dengan begitu selamatlah ia. Karena terhadang ini, ia sekarang kena disusul empat orang kawannya A Lun. Dengan begitu ia terus kena terkepung di empat penjuru. Ia insyaf akan bahaya itu, ia menjadi nekad.
"Awas !" dia berteriak sambil pedangnya disabetkan ke kiri dan kanan dibulang balingkan dengan jurus "Badai Menyapu Salju". Maka robohlah dua orang musuhnya sambil mereka itu mengeluarkan jeritan kesakitan !
Saking kaget dua orang musuh lainnya berlompat mundur. "Kurang ajar !" berteriak Mie A Lun yang gusar dan segera
lompat menerjang. Gak Hong Kun menangkis. Tak ada niatnya berkelahi lama. Maka ia lantas desak lawannya itu. Selagi si lawan mundur ia lompat lari pula menghampiri Teng It Beng kawannya. Tatkala itu Siauw Tiong Beng sudah mendesak Teng It Beng sampai dipojok, lagi kira dua tombak Teng It Beng pasti akan tercebur ke air. Tetapi Teng It Beng lihai walaupun terdesak hebat belum bisa ia segera dirobohkan. Dengan pedangnya ia bertahan sedapat-dapatnya.
Tadi itu sesudah lawan mundur, Cia Seng Ciang tidak mengejar. Ia hanya mengawasi. Ia pikir cukup asal ia dapat mengusir Tio It Hiong. Tidak ada niatnya akan nanti bermusuhan dengan Tek Cio Siangjin, walaupun murid orang ini sudah datang menyerbu tanpa alasan. Orang pun menggunakan bubuk beracun yang lihai itu. Tapi setelah menyaksikan dua orangnya dirobohkan, panas hatinya, membuat ia memikir lain.
"Dia sungguh kurang ajar !" pikirnya. Lantas ia lari memburu.
Gak Hong Kun sendiri selekasnya dia mendekati Teng It Beng dan Teng It Beng lagi dua tombak, dia melihat Teng It Beng menikam lawan tetapi pedangnya kena terasampok.
Karena pedangnya terpental, dadanya Teng It Beng menjadi terbuka. Melihat ini Siauw Tiong Beng lantas maju sambil menikam dada orang !
Sungguh Teng It Beng terancam bahaya. Gak Hong Kun melihat itu lantas ia lompat ke arah Siauw Tiong Beng dan menikam punggung jago To Liong To itu. Itulah cuma satu- satunya jalan buat membantu Teng It Beng. Siauw Tiong Beng mendapat tahu datangnya serangan dari belakang itu, tidak mau menangkis, hanya cepat bagaikan kilat ia mengegos tubuh ke samping membiarkan pedang meluncur terus ke arah Teng It Beng.
Ketika itu Teng It Beng justru merasa nyeri sediki pada dadanya. Ia tidak kena terhajar, baru terpental angin tangannya lawan. Kapan ia melihat pedangnya Gak Hong Kun, ia melejit mundur satu tombak lebih.
Habis membantu Teng It Beng, Gak Hong Kun melihat mendatanginya Cia Seng Ciang. Ia lantas memberi isyarat kepada saudara angkatnya itu, pertanda bahwa ia hendak menggunakan bubuknya, sembari berbuat begitu ia kata : "Kakak Teng, mari kita turuni tangan besi." Menyusul itu ia lompat ke sisinya saudara itu, terus ia melepaskan bubuknya, hingga dilain detik tubuh mereka teraling bubuk warna ungu itu.
Cia Seng Ciang sekalian melihat bubuk itu, mereka pada menyingkir ke kepala angin. Kapan bubuk sudah buyar, Gak Hong Kun dan It Beng tak tampak lagi sebab keduanya telah menggunakan kesempatan yang baik buat lekas-lekas menyingkir dari tempat yang berbahaya itu.
"Mari !" kata Cia Seng Ciang yang terus mengajak orang- orangnya lari ke arah pelabuhan. "Mereka itu pasti lari ke sini ! Biarlah mereka akan kepandaian mereka main jahat dengan kita."
Selekasnya mereka tiba di pelabuhan, Mie A Lun berseru kaget.
"Perahu kita hilang sebuah !" serunya. "Lihat Cia Tocu !" "Lekas kejar !" Cia Seng Ciang berseru dengan titahnya.
Orang pada lantas lari ke tepian, tiga buah perahu segera digayuh pergi menuju ke tengah laut buat mencari dan menyusul kendaraan mereka yang lenyap itu yang mereka terka pasti sudah dipakai Gak Hong Kun berdua untuk menyingkirkan diri.
Gak Hong Kun cerdik bukan main. Habis melepas bubuk dan kabur ke perahu tidak lantas mereka mengayuh ke tengah laut. Mereka tak pandai menggunakan pengayuh. Ia tahu kalau mereka dikejar, mereka bakal tergesa-gesal. Maka ia lantas menggunakan akal. Begitulah mereka turun ke air, perahu mereka terkejar, tetapi terus ditarik masuk ke dalam air. Biar tidak bisa berenang, mereka pandai mengatur pernafasan mereka. Dengan menahan nafas, dapat mereka menyelam mempertahankan diri. Air disitupun kira baru enam kaki dalamnya. Mereka mendekam di dalam air sampai ketiga perahu To Liong Ti melewatinya, sampai ketiga perahu itu tak nampak lagi. Ketika mereka timbul pula, sepi sekitar mereka.
"Sungguh berbahaya !" kata Teng It Beng yang mengeluarkan nafas lega. "Mari kita naik atas sebuah perahu lainnya. "
"Jangan !" kata Gak Hong Kun yang menarik baju kawannya. "Tak dapat kita menyingkir dengan jalan naik perahu ! Selekasnya kita berada diluar, musuh bakal dapat melihat kita. Bukankah itu berarti mengantarkan diri ke dalam jaring ?"
Teng It Beng diam berpikir, kemudian ia mengangguk. "Kau benar tabah dan cerdik, adikku !" pujinya. "Nah, mari kita menyingkir ke gunung belakang !"
Tio It Hiong palsu mengangguk. Maka berlari-larilah mereka ke belakang gunung, ke sebuah ranggon dimana ada delapan orang berseragam tengah melakukan tugasnya. Semua kedelapan orang To Liong To melihat dua orang ini, yang pakaiannya kuyup basah, sampai mereka pada melengak. Gak Hong Kun lari ke pintu ranggon.
"Siapa tidak kejam, dia bukan laki-laki sejati !" gumamnya, "Hm !"
Habis tertawa dingin, muridnya It Yap Tojin lantas maju untuk menerjang ke delapan orang To Liong To itu. Mudah saja untuk merobohkan mereka itu, hingga semuanya roboh bermandikan darah.
Dengan satu isyarat tangan, Gak Hong Kun mengajak Teng It Beng menerjang ke dalam ranggon dimana masih ada beberapa orang To Liong to. Mereka itupun dapat dirobohkan semua. Habis itu dengan menggunakan api, ranggon disulut dan dibakar ! Lekas sekali api berkobar besar.
Kebakaran itu menyebabkan banyak orang To Liong To lainnya datang untuk memadamkannya. Di lain pihak, Gak Hong Kun dan Teng It Beng lari ke belakang gunung dengan memondong seorang musuh yang tengah pingsan. Mereka mencari sebuah goa dimana mereka dapat menyembunyikan diri sekalian beristirahat. Selekasnya malam tiba, orang To Liong To, itu yang telah disadarkan dipaksa turut mereka mencari sebuah perahu dengan apa bersama-sama mereka berlayar ke tengah laut !
Kebetulan sekali, selagi rembulan terang, laut pun tenang.
Dengan duduk mengawasi si orang To Liong To, Gak Hong Kun berdua bersabar menantikan kendaraan air itu meluncur pergi. Layar dipasang, maka itu perahu laju pesat. Mereka berhati puas dan lega.
Orang To Liong To itu memegang kemudi dengan tak mengucap sepatah kata. Nampaknya dia jinak dan penurut. Ketika itu malam dan Teng It Beng berdua tak tahu arah.
Mereka pun berdiam saja. Mereka tak tahu yang perahu secara diam-diam diputar kembali ke pulau !
Tiba-tiba saja maka di tengah laut, di kejauhan tampak satu titik seperti bayangan bendera, makin lama terlihat makin besar. Hingga dilain saat ketahuanlah bahwa itu adalah layar dari sebuah perahu besar.
"Tempat apakah ini ?" tanya Gak Hong Kun kepada tukang kemudinya.
"Sudah tak jauh lagi dari daratan." sahut si tukang perahu, singkat. Diam-diam ia arahkan perahunya kepada perahu besar itu.
Kedua kendaraan air itu laju sama pesatnya, tak lama, keduanya sudah datang semakin dekat. Sengaja tukang kemudi membuat perahunya meluncur terus kepada perahu besar itu ! Lekas juga timbullah kecurigaannya Gak Hong Kun. Ia lantas mengulur tangannya menyambar tukang kemudinya. Justru itu kedua perahu sudah beradu satu dengan yang lain hingga terdengar suara tabrakannya yang berisik. Justru itu juga si tukang kemudi telah membuang diri terjun ke laut.
Dua dua Gak Hong Kun dan Teng It Beng merasai kepala mereka pusing. Tabrakan itu tak menyebabkan perahunya terbalik dan karam cuma terjadi benturan dan goncangan yang keras. Mereka mesti berpegangan dengan keras supaya tak usah terhuyung jatuh dari perahunya.
Tepat itu waktu dari atas perahu besar terdengar suara dingin : "Hm ! Tio It Hiong bocah ! Mana dapat kau lolos dari tangannya Cut Tong Kauw ? Hm !"
"Cut Tong Kauw", si Ular naga keluar dari Gua adalah gelarannya Tio Siong Kang, Liok Mo atau bajingan nomor enam dari To Liong To. Dia berasal perompak pandai menyelam tinggal dan berenang dan tersohor telengas. Habis membentak itu dia mengambil senjatanya tempaling No bie cie, bersiap buat lompat naik ke perahu kecil, guna menghampiri Gak Hong Kun berdua didalam perahu kecilnya itu.
"Sabar Tio Tocu" berkata Siauw Kwie, salah seorang tauwhak bawahannya, "Buat apa Tocu turun tangan sendiri ? Bukankah lebih baik untuk membiarkan mereka terkubur didalam perut ikan?"
Tio Siong Kang mengangguk sambil dia tertawa. Batal dia pindah ke perahu kecil. Lantas dia mengawasi kepada Gak Hong Kun dan Teng It Beng berdua.
Teng It Beng berdua masih tetap berada di atas perahunya. Mereka itu menyekal golok di tangan kanan dan tangan kirinya dimasuki ke dalam sakunya. Mereka mengangkat kepala, mendongak mengawasi ke atas perahu besar. Terang yang mereka itu bersiap sedia buat menyambut musuh.
Sebenarnya Gak Hong Kun telah berpikir keras. Keadaan mereka berbahaya terutama sebab mereka tidak bisa berenang. Maka ia pikir baiklah ia memancing kemarahan musuh supaya musuh suka melayani mereka bertempur. Tanpa bertempur tidak ada jalan lain buat menyelamatkan diri. "
"Cut Tong Kauw", kemudian ia berseru, "di dalam air kau benar lihai tetapi di darat itulah soal lain. Dulu pun kau lolos dengan mengandalkan senjata rahasiamu ! Beranikah kau datang padaku buat kita main-main barang beberapa jurus ?"
Siong Kang tertawa. Dia pun cerdik.
"Tio It Hiong !" jawabnya dingin, "kau berani membakar kami, maka sekarang kami hendak mengundang kau minum air laut. Inilah budi dibalas budi ! Ini pula yang dibilang keadilan api dan air saling tolong !"
Habis berkata demikian Siong Kang berseru kepada orang- orangnya, menyuruh menggunakan gala gaitan, maka itu dilain saat perahunya Gak Hong Kun sudah lantas terbalik karam dan Gak Hong Kun bersama Teng It Beng tercebur ke laut ! Maka sejak itu tersiarlah berita yang Tio It Hiong telah mati kelelap di laut....
Sementara itu Tio It Hiong yang sejati sebenarnya tengah melakukan perjalanan pulang. Habis lolos dari rumah penginapan di kecamatan Kwie teng di Kwiecie dimana ia "diganggu" Siauw Wan Goat, ia kabur keluar ke kecamatan. Dengan lompat naik ke atas sebuah pohon besar ia bisa melihat Wan Goat bersama Teng Thian berlari-lari menyusulnya. Tentu saja arah mereka berdua pihak jadi berlainan. Anak muda kita turun dari pohon dengan terus ambil jalan sepi lainnya.
Berjalan terus menerus, It Hiong kemudian telah memasuki wilayah propinsi Ouw Lam terus ke propinsi Ouwpak untuk setibanya dikota Gakyang mencari rumah penginapan untuk singgah.
Habis bersantap malam It Hiong merebahkan dirinya. Ia ingin mendapat istirahat dan tidur nyenyak. Tengah ia layap- layap telinganya mendengar ketukan perlahan pada daun pintu kamar, disusul dengan suaranya pelayan : "Tuan Tio ada tamu !"
Dengan merasa heran It Hiong turun dari pembaringannya, akan membukai pintu. Kiranya tamu itu seorang To kouw, rahib wanita kaum To Kauw, hanya aneh, selekasnya daun pintu dipentang itu, lantas menerobos masuk ke dalam kamar. It Hiong heran. Lekas-lekas ia membesarkan api untuk mengawasi To kauw itu guna mengenalinya.
Walaupun dia orang beragama, wanita itu tapinya berpupur medok dan memakai yancie, tampangnya centil sekali. Tanpa sungkan-sungkan, dia lantas menjatuhkan diri duduk diatas kursi, matanya menatap anak muda di depannya, selagi anak muda itu mengawasinya.
"Eh, Tuan Tio !" tegurnya sambil tertawa-tawa. "Tuan, kau telah melihat aku, kenapa kau berdiam saja ? Kapannya tuan tiba disini ?"
It Hiong mengawasi terus. Ia rasa kenal si imam tetapi ia tak ingat dimana pernah bertemu dengannya.
"Maaf," katanya bersenyum, "dimanakah kita pernah bertemu ? Kenapa aku lupa sekali ? Bagaimana aku harus memanggilmu ?"
"Ah, Tuan Tio, kenapa kau bergurau denganku ?" tanya rahib itu. "Ah, benarkah tuan tak mengenali aku ? Jangan- jangan kau telah menemukan yang baru maka juga kau lantas melepas yang lama !'
To kauw itu memanggil tuan, itulah sebenarnya sebutan "kong cu" kata-kata yang halus istimewa untuk orang muda, anak kaum berpangkat atau hartawan.
It Hiong heran sekali. Tetap ia tidak dapat segera mengenali orang suci itu - suci cuma jubahnya. Tentu sekali, ia menjadi curiga, ia tahu baik sekali lihainya orang Kang Ouw. Dan si To kouw pastilah orang Kang Ouw, kaum sungai telaga.
"Apakah kau tidak keliru mengenali orang ?' tanya ia akhirnya. "Aku yang rendah bernama Tio It Hiong ! Siapakah itu sahabatmu yang kita cari ?"
Mukanya si rahib terang tidak puas, tetapi dia masih dapat tertawa.
"Adik Tio It Hiong, masihkah kau tetap berpura-pura ?" katanya. "Bukankah pada bulan yang lain kau berada di kuil Siang Ceng Koan di Kiu Kiong San dimana kau singgah selama beberapa hari ? Bukankan selama di dalam kamar, kita ada bagaikan sepasang merpati yang mencintai satu sama lain ?"
Selekasnya orang menyebut nama kuil dan gunungnya, selagi terperanjat It Hiong lantas ingat kepada Tokauw ini, ialah Gouw Ceng. Lekas-lekas ia berkata : "Memang benar pernah aku pergi ke Siang Ceng Koan tetapi di sana aku cuma untuk mengambil pulang kitab Sam Cay Kiam, setelah itu aku sudah lantas turun gunugn lagi. Karena itu, kata-katamu yang tak bersih ini adalah kata-kata yang dibuat-buat !"
Sepasang alisnya Gouw Ceng bangkit, wajahnya menunjuki dia gusar dan menyesal. "Di kolong langit ini" katanya keras, "laki-laki yang tak berbudi adalah kau Tio It Hiong ! Sudah kau perdayakan cintaku, kau juga menyuruhku main gila dengan si orang she Teng sahabatmu itu! Aku lakukan itu semua demi kau. Kenapa sekarang, setelah kita bertemu pula, kau membaliki belakang padaku ? Bilang ! Bilanglah !"
Lantas si imam menangis sedu sedan. It Hiong bingung sekali. Inilah lakonnya Siauw Wan Goat. Orang menggilai dia sepihak. Maka ia menerka-nerka siapa itu yang telah menyamar menjadi ia yang tampangnya pasti sangat mirip hingga orang tak dapat membedia yang palsu dari yang tulen atau sebaliknya.
"Pernah guruku mengatakan hal bencana asmaraku, terang itulah benar." pikirnya. Ia menghela nafas. Tak dapat ia bergusar. Maka ia kata sabar, "Gouw Ceng Tokauw, kekasihmu bukanlah aku, karena itu silahkan kau pergi ke lain tempat mencarinya. "