Hikmah Pedang Hijau (Wu Qing Bi Jian) Jilid 04

Jilid 04

Menyaksikan kejadian ini, Tian Pek terperanjat, pikirnya: "Aneh. kekuatan apa yang merobek dinding batu ini sehingga terbuka sebuah celah seebesar ini?"

Sebelum lenyap rasa kagetnya, sesosok bayangan orang telah muncul di depan pintu.

Orang itu berdiri dengan membelakangi sinar, karena silau oleh cahaya yang masuk, maka untuk beberapa saat Tian Pek tak dapat mengenali raut wajah orang yang berdiri di depan pintu ibarat malaikat yang baru turun dari langit.

Setelah masuk ke dalam gua. orang itu masih tergelak tiada hentinya, suaranya nyaring menggetar ruangan itu dan terasa memekikkan telinga.

Tiba2 dia melayang ke atas pembaringan, waktu Tian Pek memandang lebih jelas, siapa lagi dia kalau bukan paman Lui.

Tian Pek melongo bingung ditatapnya paman Lui dengan sorot mata keheranan.

Pamad Lui bergelak tertawa dia loncat turun dari pembaringan dan berkata: "Kau tentu keheranan kenapa kubawa kau kemari, kemudian kutinggalkan kau scorang diri di sini?"

Tian Pek melengak, kcmudian mcngangguk. Paman Lui bertanya: "Dan kaupun merasa heran pada keanehan gua ini bukan?'

Kembali Tian Pek berdiri melongo, pikirnya: "Heran, darimana ia bisa menebak suara hatiku?" — Maka dia mengangguk lagi, sebab dia memang sedang memikirkun persoalan itu.

"Hahaha!" paman Lui ter-bahak2, ia duduk di sisi pembaringan dan menjawab: "Persoalan pertama tentu tak dapat kauterka, sedang soal kedua.."

Ia berhnti sejenak, sambil menuding sekeliling ruangan lalu melanjutkan: "Coba perhatikan lagi dengan seksama, sebetulnya gua ini tiada sesuatu yang istimewa, waktu kau tertidur nyenyak aku cuma menggeser letak pembaringan batu serta meja batu itu saja, kemudian menyumbat mulut gua dengan batu raksasa. Hahaha, di tengah kegelapan kau tentu mengira mulut gua masih berada di depan pembaringan bukan? Tak tahunya hahaha "

Ia tuding mulut gua di sisi pembaringan itu, kemudian sambil tertawa bangga menambahkan:

"Padahal mulut gua ini terletak di sebelah kanan pembaringan, asal kauraba maka tempat itu akan kau temukan!"

Tian Pek berpaling, ia lihat sinar sang surya memang memancar masuk dari sisi kanan pembaringan, sebuah batu tampak digeser ke samping. pahamlah pemuda ini akan duduk persoalan yang sebenarnya.

Diam2 ia menghela napas dan berpikir: "Kenapa tidak terpikir olehku kalau kesemuanya ini cuma tipuan belaka'"

Ingatan lain segera berkelebat pula dilain benaknva: "Setiap perkataan yang diucapkan kakek aneh ini bukan saja jelas bahkan sangat masuk di-akal, sedikitpun tak ada tanda2 sinting atau tak beres otaknya, jangan2 tingkah lakunya tempo hari cuma sengaja dilakukan untuk menutupi keadaan yang sebenarnya? Tapi kenapa ia berbuat begitu?" Walaupun penuh tanda tanya, namun pemuda itu tak tahu bagaimana mesti ajukan pertanyaan.

Sementara itu paman Lui telah alihkan sorot matanya pada kitab ilmu silat yang terletak di meja, senyuman kembali tersungging di ujung bibirnya ia menghampiri meja dan mengambil kitab tersebut.

Detik itulah untuk pertama kalinya Tian Pek melihat bentuk asli kitab ilmu silat tersebut, kitab yang tipis ini punya halaman depan yang berwarna-warni.

Semula dia mengira kitab pusaka tersebut tentu berwarna kuning atau coklat, setelah mengetahui bentuk yang sebenarnya ia jadi tertegun, tanpa terasa ia teringat kemibali akan dongeng "orang buta meraba gajah" di masa kecil.

Waktu itu ibunya dengan penuh kasih sayang berpesan kepadanya bila selesai bercerita: "Sebelum kau saksikan dengan mata kepala sendiri. sekalipun benda itu telah kau raba, tapi janganlah menarik kesimpulan cepat atas hasil rabaanmu itu, kalau tidak, maka engkau akan sama gobloknya dengan orang buta yang meraba gajah!"

Tian Pek dapat meresapi makna yang mendalam dari petuah itu, diapun dapat menyelami betapa pentingnya ucapan itu, untuk sesaat pikirannya jadi melayang dan melamun kembali kejadian di masa silam.

Sementara itu paman Lui telah berkata lagi sambil membalik-balik halaman kitab itu: "Maksudku membawa kau kemari adalah agar kau bisa membaca isi kitab pusaka ini, tentunya selama beberapa waktu yang lalu kau telah membaca isi kitab itu bukan?"

Dengan pikiran bingung Tian Pek mengangguk.

"Sengaja kubawa kau kemari dan mengurung kau dalam gua gelap ini seorang diri, tujuanku tak lain agar kau bisa meresapi makna dari isi kitab ini tanpa diganggu oleh siapapun, apakah selama ini "

Mendengar perkataan itu Tian Pek merasa agak mendongkol, pikirnya: "Kalau maksudmu agar kupelajari isi kitab ini, tidak sepantasnya kau sekap diriku dalam gua yang gelap gulita begini. Hm. omongnya saja enak didengar "'

Berpikir sarnpai di sini, tak tahan lagi dia lantas berkata: "Wanpwe merasa amat berterima kasih atas kebaikan hati Locianpwe, tapi Locianpwe mesti tahu, sepasang mataku belum buta dan tak pernah mengidap penyakit apapun, di tempat yang terang aku masih mampu membaca tulisan dengan jelas, kenapa Locianpwe membawa diriku masuk ke gua ynng gelap seperti ini, bukankah cara Locianpwe ini agak keterlaluan ?"

Karena hatinya merasa mendongkol, pemuda ini tak peduli siapa lawan bicaranya, serentetan kata2 pedas meluncur keluar, ia tak peduli bagaimana akibatnya, pokoknya bicara dulu dan urusan belakang.

Paman Lui sama sekali tidak tersinggung atau marah, malahan tetap tersenyum hambar, suatu perasaan aneh terlintas di wajahnya seperti teringat akan sesuatu, ia menghela napas panjang. Gumamnya: "Ai, gayanya waktu bicara, nadanya waktu menegur, wataknya yang keras kepala. tak ada yang berbeda .... Persis sekali ”

Tian Pek melongo, ia tidak tahu apa arti ucapan orang, sementara pikirannya masih melayang paman Lui telah sodorkan kitab warna-warni itu ke tangannya seraya berkata: "Anak muda memang harus bicara secara terus terang kepada siapapun, tapi kau harus timbang dulu persoalan itu persoalan apa dan yang kau ajak bicara itu siapa." Tian Pek tertegun, ia tak bisa menangkap makna ucapan tersebut, ketika terlihat kitab yang gemerlapan dengan aneka warna warni itu, cepat ia ambil kitab itu.

"Buka kitab itu dan baca isinya!" perintah paman Lui dengan ketus.

Tian Pek tertegun bercampur keheranan, ia berpikir: "Masa tulisan dalam kitap ini bisa lenyap kalau terkena sinar?"

Dia masih ingat, tulisan yang tercantum dalam kitab itu amat teratur dan rapi, ia coba membuka halaman pertama kitab itu dan dilihat ....

Apa yang terlihat membuat pemuda itu melenggong, jantungya juga berdebar keras dan mukanya juga berubah merah, hampir saja ia robek kitab pusaka itu.

Tapi pera»aan ingin tahunya serta gelora nafsu berahi yang sangat kuat telah menguasai pikiran pemuda itu, pandangannya tak mampu lagi bergeser lagi dari kitab itu, matanya jadi berkunang-kunang dan napasnya mulai memburu, hampir saja ia tak sanggup berdiri tegak.

Dengan tangan gemetar, mata merah dan nafsu menggelora segera ia hendak membalik halaman kedua.

"Plok!" sebuah tamparan keras tiba2 bersarang telak di pipinya, menyusul mana kitab pusaka itu lantas dirampas kembali oleh paman Lui,

Tian Pek terkesiap, kesadarannya pulih kembali dan keringat dingin membasahi seluruh tubuh-nya, teringat sikapnya yang linglung, tanpa terasa wajah pemuda itu jadi merah jengah.

Rupanya isi kitab tersebut bukan tulisan pelajaran ilmu silat melainkan gambar2 perempuan cantik dalam keadaan telanjang bulat dengan pose amat menggiurkan, ditambah pula gambar itu berwarna, maka bentuknya jadi lebih merangsang.

Lukisan perempuan cantik itu ada yang sedang duduk, ada pula yang berbaring, pantatnya yang bulat, putih dan berisi kelihatan amat merangsang, apalagi lukisan itu sedemikian hidupnya. Jangankan Tian Pek hanya seorang pemuda biasa, sekalipun manusia bajapun mungkin akan meleleh bila melihat gambar2 itu.

Tian Pek berusaha pusatkan seluruh perhatiannya dan menekan debar jantungnya, ia tak berani melirik lagi kearah buku itu.

Paman Lui lantas menjengek: "Sekarang tentu-nya kaudapat mengerti bukan? Walaupun dalam kegelapan dan tiada sesuatu yang terlihat, kan jauh lebih baik tidak melihat daripada melihatnya?"

Tian Pek merasa malu sekali, dengan perasaan menyesal dan jengah ia tundukkan kepalanya rendah-rendah.

Paman Lui tersenyum, ia tepuk bahunya dan berkata dengan lembut: 'Engkau tak usah bersedih hati karena perbuatanmu itu, ketahuilah sejak dulu hingga sekaiang entah sudah berapa banyak orang g»gah dan pendekar besar yang menemui ajalnya karena kitab pusaka So-kut-siau-hun- thian-hud-pit-kip (Kitab pusaka Buddha pengunci tulang dan penggetar sukma) ini, engkau masih muda, bukan apa2 perbuatanmu tadi."

Tian Pek sangat terharu, ia merasa perkataan. itu bukan saja menghibur hatinya bahkan member1 dorongan semangat pula kepadanya untuk maju, ia menengadah dan berkata ter-bata2: '"Paman Lui, aku .... aku masih muda  dan pengalamanku cetek, harap Paman Lui jangan menyalahkan diriku!" Orang yang berwatak keras memang harus di-tundukkan dengan sikap yang lembut, apabila orang lain memandang hina atau menganiaya dia, sampai matipun anak muda ini tak sudi menyerah, tapi kalau orang lain baik kepadanya, hatinya jadi lemas dan pemuda ittipun tunduk seratus persen.

Paman Lui tersenyum, kembali ia berkata: "Kitab pusaka penggetar sukma ini adalah kitab paling aneh di dunia, mungkin karena usiamu yang masih muda belum pernah kaudengar kata2 ini, tapi kalau ai, kalau orang2 sebaya

dengan aku yang mendengar nama tersebut, mereka pasti tahu bahwa kitab ini benar2 kitab yang paling aneh di kolong langit, dengan susah payah dan membuang tenaga dan pikiran aku berhasil mendapatkan kitab ini tapi aku sendiripun hampir mengalami kelumpuhan karena menyelami isi kitab pusaka tersebut!"

Ia berbenti sebentar, tiba2 kitab itu disodorkan pula ke depan Tian Pek dan ujarnya lagi: "Sekarang periksalah kitab ini sekali lagi, keanehan kitab in1 tidak terbatas sampai di sini saja."

Tapi Tian Pek lantas tunduk kepala, mata memandang ujung hidung, hidung menuju ke hati, ia tak berani memandang lagi barang sekejappun kitab itu-

Paman Lui tersenyum menyaksikan kelakuan pemuda itu. ia tutup sebagian halaman kitab itu dengan tangannya, lalu berkata lagi: "Coba bacalah tulisan yang tercantum di dalam kitab ini!"

Tian Pek masih kuatir kalau terlihat lagi gambar saru itu, tapi iapun tahu kakek aneh itu tentu mempunyai maksud yang mendalam dengan perbuatannya, maka ia coba mengintip ke arah kitab itu dengan ragu2. Apa yang dilihat sekarang tcrnvata hanya beberapa baris tulisan yang lembut dan rapi, tulisan itu berbunyi demikian: '"Yang dimaksudkan gadis cantik adalah gadis yang punya bodi menarik, punya api asmara yang membara, punya keunikan dalam bercinta dan punya pengertian yang mendalam tentang pria, makin matang gadis itu dalam pergaulan makin menarik dalam pandangan pria ..."

Membaca sampai di sini, ia jadi heran, ia menengadah dan tak berani membaca lebih jauh, serunya: "Paman Lui, waktu kuraba tulisan itu dalam

kegelapan, agaknya tulisan tidak berbunyi begitu, kenapa sekarang yang kulihat sama sekali berbeda? Di manakah letak keanehannya "

"Coba pejamkan matamu dan rabalah sekali lagi?" kata paman Lui dengan muka berseri.

Hati Tian Pek tergerak, ia pejamkan mata dan segera meraba kitab itu. Ketika tonjolan huruf itu diikuti kembali dengan seksama, ternyata isinya sama seperti rahasia ilmu silat yang telah dipelajarinya itu, dengan tercengang matanya terbelalak lebar.

"Cianpwe, sebenarnya apa yang terjadi?" serunya. Paman   Lui   tersenyum,   aganya   ia   gembira   sekali:

"Semula   aku   masih   kuatir   kalau   engkau   tak  berhasil

menemukan rahasia dibalik kitab ini, tak kusangka kau memang cerdik dan rahasia ini akhirnya dapat kau ketahui juga."

"Selama beberapa hari belakangan ini, tiap hari Wanpwe meraba tulisan tersebut, semua isi kitab ini telah kuapalkan di luar kepala."

"Sudah kau selami makna yang sebenarnya dari tulisan tersebut?" tanya paman Lui dengan dahi berkerut. Tian Pek menghela napas panjang: "Ai, sayang bakatku jelek, kecerdasanku juga terbatas, apalagi isi kitab itu dalam sekali artinya, walaupun Wanpwe telah berusaha sekian hari, baru sebagian kecil saja yang bisa kuselami, harap Cianpwe bersedia memberi petunjuk kepadaku"

Paman Lui tidak langsung menjawab, ia menengadah memandang jauh ke sana lalu menghela napas panjang. "Ai, segala sesuatu yang ada di dunia tak dapat dipaksakan, semua telah di atur oleh Yang Maha Kuasa, untung jerih payahku selama ini tidak sia2 belaka " bisiknya.

Ia duduk di pembaringan, lalu berkata lagi: "Kalau engkau telah menguasai seluruh makna pelajaran kitab ini dan mslatihnya dengan tekun, tak selang beberapa waktu mungkin akupun bukan tandinganmu lagi."

Tian Pek masih penasaran, ia berseru: "Locianpwe, kulihat isi kitap ini adalah pelajaran ilmu silat yang amat tinggi, kenapa nama kitab ini tak sedap didengar? Kukira si pembuat kitab ini bermaksud untuk mewariskan ilmu silatuya kepada angkatan yang akan datang, kenapa kitab itu malahan dilukisi dengan gambar perempuan bugil ....

Ai, apa ia tidak merasa perbuatnya itu keliru besar?"

Makin berbicara suaranya makin keras, ia melanjutkan kata2nya: "Kukira penulis kitab pusaka ini pasti bukan berasal dari kalangan yang baik, lebih baik Wanpwe tidak belajar saja!"

Tian Pek adalah pemuda keras kepala yang suka bicara blak2an, apa yang dipikir dalam hati langsung diutarakan tanpa tedeng aling2, dari sini dapat di nilai bahwa pemuda ini benar2 orang yang polos dan jujur.

Paman Lui tersenyum, ucapnya: "Sepintas lalu kitab ini memang kelihatan cabul dan menyesatkan, tapi dalam kenyataan pelajaran yang tercantum di dalamnya adalah ajaran ilmu silat murni yang berasal dari pelbagai aliran, lagi perbuatannya itu bukan tidak disertai dengan maksud yang dalam"

Tian Pek mendengus, dia hendak membantah, tapi paman Lui telah melanjutkan kata2nya: "Berita yang tersiar di dunia persilatan mengenai asal-usul kitap ini beraneka ragam dan tak ada yang sama, tapi sesungguhnya kitab ini memang sudah berusia dua ratus tujuh puluhan tahun lamanya, pembuatnya adalah seorang jago aneh dari dunia persilatan yang bernama Ciah-gan-long-kun (pemuda tampan satu mata)."

"Siapa itu Ciah-gan-long-kun? Apakah dia meniang buta sebelah?" tanya Tian Pek.

Paman Lui tersenyum: "Meskipun Ciah-gan-long knu memakai julukan'Ciah-gan', tapi sebenarnya ia tidak bermata satu, sayang aku dilahirkan agak lambat sehingga tak dapat berjumpa sendiri dengan tokoh sakti tersebut, menurut berita yang tersiar di dunia Kangouw. bukan saja Ciah-gun-long kun berkepandaiin tinggi, iapun amat gemar mencampuri urusan orang, dapat menyelami perasaan sesamanya, simpatik dan pandai bergaul, banyak pertikaian yang terjadi di dunia persilatan dapat di-lerai olehnya, banyak pula kaum munafik yang ter-bongkar rahasia kemunafikannya oleh tokoh sakti ini."

"Kalau dia adalah seorang tokoh sakti, tak mungkin dibuatnya barang peninggalan yang porno begini, menurut pendapat Wanpwe, jangan2 iapun orang jahat yang pura2 baik, manusia munafik?'' sela Tian Pek dengan alis berkernyit.

Paman Lui tersenyum: "Kebaikan seseorang baru dapat ditentukan bilamana dia sudah membujur di dalam peti mati, lain halnya dengan tokoh tua ini, meskipun 'peti mati' nya sudah lama di tutup, bahkan jenasahnya mungkin sudah menjadi abu, tapi ia tetap tak bisa 'tenang' karena terlalu banyak kejadian besar yang dilakukan selama hidupnya, kita tidak pedulikan apakah perbuatannya baik atau buruk, karena pandangan tiap manusia berbeda satu sama lainnya, tapi yang pasti kitab silat yang dia wariskan ini tak bisa disebut sebagai benda yang mendatangkan celaka!"

Tian Pek mengerut dahi, ia tidak puas dengan  keterangan tersebut, kembali bantahnya: "Paman Lui, katamu tadi, entah sudah berapa banyak orang gagah dan pendekar besar di dunia yang mampus karena kitab pusaka ini, masa barang macam begini bukan barang yang mendatangkan celaka bagi umat manusia?"

"Sungguh tak kusangka pemuda seusia kau bisa keras kepala begini," omel paman Lui sambil tersenyum, "kau harus ingat, keras kepala boleh2 saja, tapi harus bisa membedakan mana yang benar dan mana yang keliru, hanya manusia keras kepala yang bisa membedakan salah dan benarlah baru dapat disebut seorang Kuncu, seorang lelaki sejati."

Ia berhenti sebentar, lalu melanjutkan: "Menurut apa yang kudengar, bukan saja Ciah-gan-long-kun tidak  bermata satu, wajabnya boleh dibilang tampan sekali sehingga waktu itu merupakan pemuda tertampan di dunia persilatan, karena kegantengannya, maka sepanjang hidup entah berapa kali mesti dibikin pusing oleh masalah cinta, tapi untunglah ia berhati teguh bagaikan baja, maka perasaannya sama sekali tidak tergoyah oleh bujuk rayu wanita2 cantik."

Sekali lagi Tian Pek mendengus karena tak puas, pikirnya: "Kalau hatinya keras bagaikan baja, itu berarti dia tak kenal perasaan, kalau seseorang tidak berperasaan lagi, pastilah orang itu bukan manusia baik2."

Ia sudab mempunyai pandangan sendiri terhadap tokoh sakti yang bernama "Ciah-gan-long-kun" ini, maka bagaimanapun paman Lui melukiskan kebolehan tokoh sakti itu, ia tetap tidak puas, tapi ia tak berani mengatakan sesuatu sebab ia tahu paman Lui adalah salah seorang pemuja tokoh sakti tersebut.

Sementara itu paman Lui telah melanjutkan penuturannya: "Ketika mula2 Cianpwe itu berkelana di dunia persilatan, walau ilmu silatnya sangat tinggi, tapi belum mencapai puncaknya kesempurnaan, tentu saja orang2 yang dibongkar kemunafikannya jadi benci dan dendam, tapi karena banyak tokoh sakti jaman itu ikut membelanya, maka orang2 jahat itupun tak mampu bertindak apa2, rasa bencinya tak berani dilampiaskan apalagi membalas dendam, oleh sebab itu mereka lantas cari akal untuk memancing tokoh sakti ini melakukan suatu perbuatan terkutuk, kcmudian orang2 itu akan menggunakan alasan tersebut untuk menyingkirkan dia dari nmka bumi, siapa tahu .... haha . . . . " manusia aneh itu tergelak tertawa, terusnya: "Siapa tahu dia memang berhati keras bagaikan baja, bagaimanapun orang berusaha menjebaknya, memancing dengan wanita cantik, tak sebuah rencanapun yang mempan mempedayai dia."

Walaupun Tian Pek merasa tak puas, diam2 timbul juga rasa kagumnya setelah mendengar penuturan tersebut, pikirnya: "Kalau dalam kenyataan ia memang begitu hebat, dia tak malu disebut sebagai seorang lelaki sejati yang patut di-kagumi"

Paman Lui melanjutkan kembali penuturannya; "Suatu ketika tiba2 ia berhasil menemukan suatu rahasia ilmu silat. maka berangkatlah tokoh sakti ini ke suatu tempat yang terpencil guna mendalami ilmu silat yang ditemunya itu, sayang perhitungannya meleset, walaupun ia sudah cukup waspada, ia tetap dikhianati seorang sahabatnya yang paling karib karena temannya itu iri dengan kemampuan- nya, begitu tempat pengasingannya diketahui umum ber- bondong2lah para iblis meluruk ke situ, di antara kawanan pengacau itu ada seorang iblis wanita cantik jclita yang terhitung paling lihay, ia menggunakan ilmu Ni-li-mi-hun- tay-hoat (ilmu sakti perawan pcnbius sukma) uutuk mengacau ketenangan Ciak-gan-long-hun, akibatoya sebelum tenaga dalam yang dilatihnya mencapai kcsempurnaan, tokoh sakti itu telah tergoda"

"Sayang!" seru Tian Pek tanpa sadar, ia ikut menghela napas panjang.

"Kalau latihannya saja yang gagal masih mendingan, "ujar paman Lui, "ketahuilah makin tinggi ilmu yang dilatih seseorang makin besar pu!a risikonya. Kalau seorang telah melatih ilmunya hingga mencapai tingkat yang tinggi, maka dia harus menjaga diri dengan baik, sekali pikiran bercabang, bukan saja akan mengalami kelumpuhan, jiwapun bisa meiayang."

Ia berhenti scbentar untuk ganti napas, lalu sambungnya: "Begitulah, pada saat yang paling kritis dalam latihannya, tokoh sakti itu tergoda oleh wanita iblis tersebut hingga napsu berahinya berkobar, dalam keadaan demikian bukan saja hasil latihannya menjadi buyar, iapun mengalami kelumpuhan, seandainya Tiat-sim Tojin dari Bu-tong pay dan Ko-swi Sangjin dan Siau-lim si tidak datang tepat pada saatnya, andaikata jiwanya tidak melayang, paling sedikit dia akan jadi lumpuh dan tak bisa bergerak lagi untuk selamanya."

Walaupun peristiwa itu sudah berlangsung lama sekali, tak urung Tian Pek menarik napas lega. sambil mengusap keringat yang membasahi jidatnya ia geleng kepala, katanya: "Wah, sungguh berbahaya!"

Paman Lui berkata pula dengan gegetun: "Ai, walaupun jiwanya tertolong dan ilmu silatnya dapat diselamatkan, sayang karena peristiwa itu dia tak mampu lagi memecahkan inti ilmu silat tingkat yang terakhtr hingga ikut terkubur ke liang kubur, tapi iapun tak rela memberikannnya begitu saja kepada generasi yang akan datang, karena itu dengan susah payah dibuatlah kitab aneh ini dan kitab pusaka ini disembunyikan disuatu tempat yang sangat rahasia dipuncak bukit Lo-hu-san, kepada dunia ia mengumumkan bahwa terdapat sejilid kitab pusaka yang maha sakti, barang siapa ingin memperolehnya harus  dinilai dulu cukup kuatkah imannya "

Sampai di sini ia berpaling ke arah Tian Pek dan menambahkan: "Nah, apakah perbuatannya itu keliru?"

Tian Pek melengak, ia tunduk kepala dan bungkam.

Paman Lui lantas melanjutkan: "Setelah menyadari ilmu silatnya tak bisa maju lagi, tokoh sakti itu pun alihkan perhatiannya untuk mendalami ilmu membuat syair serta ilmu melukis, dasar bakatnya memang bagus dan otaknya encer, akhirnya diapun menjadi seorang pelukis kenamaan yang dikagumi, menurut kabar yang tersiar, semua lukisan yang tercantum dalam kitab aneh ini bukan saja merupakan hasil karyanya, orang yang digunakan sebagai model bukan lain adalah perempuan iblis yang telah menghancurkan hasil latihannya itu."

Dia ayun kitab itu ke atas dan melanjutkan: "Perempuan bugil yang kau lihat di dalam kitab ini bukan lain ialah wajah perempuan iblis tersebut, apakah tingkah laku wanita itu persis seperti apa yang tercantum di sini akupun kurang tahu, tapi yang pasti raut wajahnya memang persis sekali. Ai, perempuan iblis itu memang cantik dan  merangsang bati setiap orang, jangankan bertemu sendiri dengan orangnya, lukisan di dalam kitab inipun cukup menggoyahkan iman orang Ai, tak aneh kalau Ciah-gan- long-kun yang berhati sekeras baja akhirnya tergoda juga olehnya”

Ia menghela napas panjang dan menghentikan ceritanya.

Cerita yang menarik itu membuat Tian Pek berdiri melongo, se-akan2 tokoh yang disebut Ciah-gan long kun benar2 muncul di depan matanya.

Ia menunduk dan berpikir: "Lukisan dalam kitab ini sudah cukup bikin hatiku berdebar dan napsu berahi berkobar, dari sini dapat ditarik kesimpulan bukan saja Ciah-gan-long-kun adalah seorang tokoh sakti, perempuan iblis itupun terhitung seorang yang luar biasa!"

Lama sekali kedua orang membungkam, rupa-nya mereka sedang membayangkan kembali kejadian tersebut.

Kini Tian Pek sudah bertambah waspada, ketika angin berembus mengibarkan ujung bajunya ia menengadah dan bertanya: "Bagaimana nasib dari kitab ajaib itu selanjutnya? Dan cara bagaimana bisa terjatuh ke tangan Locianpwe?"

Se-olah2 baru sadar dari lamunan, paman  Lu, menjawab: "Walaupun Ciah-gan-long-kun telah memperingatkan kepada dunia agar mereka yang ber-iman rendah jangan ikut memperebutkan kitab tersebut, tapi dalam kenyataan siapa yang tidak terpikat ketika mengetahui bahwa isi kitab tersebut adalah pelajaran tenaga dalam tingkat tinggi? Tak sampai setengah tahun, para jago dari berbagai pelosok dunia telah berkumpul di puncak Lo- hu-san, semua orang bermaksud mendapatkan kitab pusaka itu. Setahun telah dilewatkan tanpa terasa, setiap gua yang ada di sekitar Lo-hu-san, semua telah digeledah, akhirnya kitab pusaka yang diidamkan setiap umat persilatan ini berhasil ditemukan oleh dua orang murid dari perguruan Hoat-hoa-lam-cong."

Tian Pek mengerutkan dahinya dan menyela: "Setelah kitab itu ditemukan mereka, tentu yang akan kecewa tak akan biarkan kedua orang itu ber-lalu dengan mcmbawa kitab pusaka itu bukan? Dan lagi bagaimana keadaan mereka setelah melihat kitab tersebut . . " Seraya berkata ia tuding kitab yang berwarna-warni itu.

Paman Lui tersenyum: "Apa yang telah terjadi hanya sempat kudengar dari cerita orang tua jaman dulu, bagaimana keadaan yang sejelasnya aku kurang tahu, tapi ada satu hal yang kuketahui, kedua murid dari perguruan Hoat-hoa-lam cong ini juga jago silat yang tergolong top di dunia Kangouw."

Bicara sampai di sini, ia berhenti sebentar dan menghela napas panjang, kemudian melanjutkan: " Sejak kawanan jago persilatan berkumpul di Lo-hu san, secara diam2 mereka sudah saling bertikai dan saling membunuh, entah berapa banyak jago yang mampus sebelum pekerjaan pencarian dimulai, dua orang jago dari perguruan Hoat hoa-lam cong ini bisa lolos dari hukum rimba. kecerdasan otaknya harus dipuji."

"Benar! Pcrkataan Cianpwe memang tepat sekali," sahut Tian Pek sambil mengangguk, diam2 ia merasa kagum atas ketelitian serta ketenangan paman Lui dalam memecahkan persoalan. Tiba2 pikirannya tergerak pula.

"Paman Lui adalah seorang yang sangat cerdas, kenapa tempo hari ia pura2 sinting? Ai, sudah pasti iapun pernah mengalami sesuatu yang luar biasa, maka wataknya berubah jadi begini. hal ini nanti perlu kutanyai dia"

Sementara itu paman Lui telab mengancungkan kitab pusaka itu sambil melanjutkan ceritanya: "Ketika buku ini ditemukan oleh dua orang itu. konon tersimpan dalam sebuah kotak kayu cendana yang sangat mungil dan indah, pada permukaan kotak kayu itu terukir delapan huruf So kut-siau-hun thian-hud pit-kip. dari sini pula lahirnya nama buku ini hingga sekarang. Ketika kitab pusaka ini ditemukan. kedua orang itu sama sekali tidak bersuara, diam2 kotak itu dibuka dan kitab pusakanya di ambil, mereka masukkan sejilid kitab ilmu pukulan 'Tay-kek-kun- hoat' ke dalam kotak, lalu mengembalikan kotak tadi ke tempat semula, setelah itu merekapun menggabungkan diri dengan rombongan lain dalam pencarian kitab ini, mereka berlagak tak pernah terjadi sesuatu, orang lain tentu saja tak tahu pula akan perbuatan mereka."

Tian Pek menghela napas panjang, selanya; "Kecerdasan otak kedua orang ini memang patut dipuji, tapi masa air muka merekapun tidak meng-unjukkan sesuatu perubahan?"

"Kawanan jago persilatan yang berkumpul d1 Lo hu-san waktu itu rata2 adalah jago kawakan yang berkepandaian tinggi," ujar paman Lui sambil menganguk, "tentu saja jago2 lihay semacam mereka tak bisa dikibuli, sedikit saja mereka ber-dua menunjukkan gerak gerik yayg mencurigakan orang lain segera mengetahuinya."

"Sampai sekarang aku masih mengira perguruan Hoat hoa-lam-cong adalab suatu perguruan besar dari aliran suci, sungguh tak kusangka murid merekapun begitu licik," gumam Tian Pek. Paman Lui tertawa: "Jangankan perguruan Hoat hoa lam cong, sekalipun daiam tubuh Bu-tong-pay atau Siau-lim pay juga terdapat anasir jahat dan sampah masyarakat!"

Tian Pek meaggeleng dan menghela napas, ia tak menyangka kalau kenyataan seringkali berbeda dengan apa yang diduganya semula.

"Di antara jago2 persilatan yang ikut naik gunung mencari pusaka itu ada sebagian yang mati terbunuh, ada yang pulang dengan kecewa, akhirnya hanya tinggal belasan orang saja tetap bertahan," tutur paman Lui, "di antaranya termasuk pula dua orang Hoat-hoa-lam-ciong tadi, mereka tetap membaurkan diri dengan jago2 lain  tanpa mengunjuk sesuatu sikap yang mencurigakgn, suatu malam ketika musim dingin menjelang tiba, suasana di Lo- hu-san amat dingin dan sepi, semua orang sedang duduk menghangatkan badan di sekitar api unggun. tiba2 terdengar gelak tertawa latah berkumandang dari kejauhan, semua orang terperanjat dan memburu kesana.

Di tengah malam yang amat dingin itu salah seorang di antara dua anggota Hoat hoa-lam cong itu sedang bergelindingan dalam keadaan bugil dengan memegang kitab pusaka aneh ini."

Hati Tian Pek bergetar keras sehingga tanpa terasa dia menjerit kaget.

Paman Lui menghela napas, katanya: "Rupanya orang itu tak dapat menahan rasa ingin tahunya, setelah membawa kitab pusaka itu selama beberapa hari, malam itu dia berpikir apa salahnya kucuri lihat dulu isi kitab ini? Ketika semua orang tidak menaruh perhatian, diam2 ia kabur ke sebuah gua dan meucuri baca kitab itu di bawah cahaya remang2. Tapi sial baginya mendingan kalau dia tidak membaca begitu kitab itu dilihat, kontan jantungnya berdebar keras, napsu berahinya berkobar, apalagi usianya waktu itu masih muda, sebelum masuk perguruan Hoat hoa lam-cong dulunya dia seorang bandit, maka bisa dibayangkan bagaimana jadinya waktu itu, Ai, apalagi sudah ngebet setahun lebih di Lu hu-san yang terpencil, begitu berahinya memuncak, ia tak mampu menguasai diri lagi, orang itu jadi kalap dan ber-guling2 sendiri dalam keadaan bugil."

"Benarkah beberapa lembar lukisan cabul di dalam kitab itu bisa mendatangkan daya kekuatan sedahsyat itu?" seru Tian Pek terperanjat.

Paman Lui menghela napas panjang, katanya: "Karena belum seluruhnya isi kitab itu kaubaca, dengan sendirinya kau tidak tahu keajaibannya, menurut berita yang tersiar, katanya dalam lukisan kitab itu dibuat sesuai dengan pengaruh ilmu Ni li-mi-hun-toa hoat si iblis perempuan itu, terutama syair dalam kitab . . . , Ai, bayangkan saja! Kalau kitab ini tiada kekuatan yang dapat menggetar sukma, kenapa bisa membuat orang Hoat-hoa-lam-cong bergulingan begitu?"

Setelah berhenti sebentar, ia menutur lagi: "Melihat keadaan itu, murid perguruan Hoat-hoa-lam-cong yang lain jadi terperanjat, dengan gugup ia memburu maju dan merampas kitab itu tanpa memperhatikan mati hidup rekan seperguannya, karena perbuatannya itu timbul kecurigaan kawanan jago persilatan lainnya, mereka segera turun tangan dan membekuk kedua saudara seperguan itu, bahkan sebelumnya semua orang bersepakat tidak akan membuka kitab itu, akhirnya kitab pusaka itu ditaruh di bawah sebuah batu padas, dengan pelbagai cara yang keji kawanan jago silat itu menyiksa kedua orang Hoat-hoa lam- cong agar mengaku, dalam keadaan tersiksa hebat akhirnya merekapun mengaku dengan sejujurnya!"

"Setelah mengetahui duduknya perkara, kedua orang itupun pasti tak akan lolos dari kematian!" ucap Tian Pek.

"Betul, bukan saja kedua orang itu menemui ajainya dalam keadaan mengerikan, bahkan korban yang berjatuhan sesudah peristiwa itu jauh lebih banyak lagi, suasana waktu itu jadi kacau-balau, menurut cerita, lima orang jago yang berdiri paling depan mampus seketika itu dihajar oleh orang2 yang berada di belakangnya, kemudian para jago yang lain tanpa membedakan kawan atau lawan lagi segera membacok dan membunuh secara ngawur, dalam waktu singkat mayat bergelimpangan di mana2, diantara sekian banyak jago lihay itu terdapat seorang yang bernama Ngo jiau-leng-bou (Rase licik bercakar lima), dia cerdik dan banyak akalnya, menyadari ilmu silatnya tidak memadai jika dibandingkan yang lain, diam2 ia kabur lebih dulu dari tempat kejadian, tapi ia tidak pergi terlalu jauh, hanya sembunyi di sekitar sana sambil mengikuti jalannya pertumpahan darah itu, ia saksikan betapa dahsyatnya pertarungan yang berlangsung, satu persatu tokoh silat yang hadir di situ menggeletak jadi mayat, akhirnya tinggal seorang murid dari Khong-tong pay yaug masih bertahan, sambil tertawa latah ia berhasil membereskan musuhnya yang terakhir, lalu ia menyingkirkan batu padas dan mengambil kitab pusaka itu, siapa tahu belum sampai kitab itu terpegang, sebuah bacokan golok bersarang lebih dulu dipunggungnya hingga nyawanya melayang, rupanya Ngo jiau leng hou tahu kalau jago Khong-tong pay itu sudah kehabisan tenaga, maka diam2 ia bacok orang itu sampai mampus dan kitab pusaka inipun terjatuh ke tangan Ngo jiau-leng-hou yang licik itu." Bercerita sampai di sini, paman Lui mengembuskan napas dan berhenti berkata.

Tian Pek merasakan sekujur badannya gemetar keras karena emosi, mimpipun ia tak menyangka begitu kejam dan kejinya dunia persilatan, iapun tak mengira begitu banyak nanusia berhati binatang yang berkeliaran di dunia ini, hawa marah yang berkobar dalam dadanya sukar dibendung lagi.

Tiba2 ia himpun hawa murninya dan menyambar kitab tersebut, kemudian dibetotnya dan hendak di-robek2nya kitab putaka itu.

"Tunggu sebentar!" cepat paman Lui berteriak dengan cemas.

Mendadak bayangan orang berkelebat, sesosok tubuh manusia telah muncul di mulut gua.

Tian Pek berpaling. ia melengak setelah mengetahui siapa yang datang ini.

Kiranya orang yang datang ini adalah si nona baju hitam yang pernah muncul di kamar Leng-hong Kongcu itu.

Sekilas rasa tak senang menghiasi wajah paman Lui, dengan dahi berkerut ia menegur: "Ada apa?"

Gadis baju hitam itu mengerling sekejap ke arah Tian Pek, kemudian menjawab ketus: "Tete (adik lelaki) dan Moay-moay (adik perempuan) telah saling bertempur!"

"Kenapa tidak kaulerai?" seru paman Lui dengan kuatir. "Aku tak mampu mengurus!" jawab si nona baju hitam

dengan nada yang tetap ketus.

Paman Lui mendengus, ia tidak percaya dengan ucapan dara itu. "Lalu di manakah ibumu?" "Apalagi ibu, masa dia mau menuruti perkataannya!"

"Di mana ayahmu? dan mana orang yang lain?" seru paman Lui tak senang hati. "Masa urusan yang terjadi di rumahmu harus aku yang menyelesaikannya""

"Habis orang lain tak sanggup mengurus!"

Menyaksikan itu Tian Pek merasa heran, dia lihat paman Lui agak cemas, tapi ucapan nona baju hitam itu tetap dingin dan ketus, se-akan2 urusan itu sama sekali tak ada sangkut-pautnya dengan dia, padahal mereka adalah saudara sekandung.

Tian Pek amat menguatirkan keselamatan Wan-ji, nona yang lincah dan polos itu, apakah anak dara itu bertempur dengan kakaknya yang jumawa itu lantaran membela dirinya?

"Baik, akan kutengok kesana," akhirnya paman Lui berseru setelah tertegun sejenak, rupanya ia menguatirkan keselamatan Wan-ji, lalu kepada Tian Pek ia berpesan: "Tunggu aku di sini!"

Diam2 ia memberi tanda agar kitab So kut siau hud pit- kip itu disimpan, kemudian sekali enjot tubuh ia berlalu dari gua itu.

Sepeninggalnya paman Lui, nona baju hitam itu tidak ikut pergi, ia malahan masuk ke gua dan bersandar di dinding, sepasang matanya yang bening menatap wajah Tian Pek tanpa berkedip.

Cahaya terang yang memancar masuk dari luar tepat menyoroti raut wajahnya, meski bibir dan hidungnya tertutup oleh kain cadar yang tipis, namun matanya yang jeli dan bening kelihatan sangat indah dan mempesona. "Nona, silakan masuk dan duduk" kata Tian Pek, ia merasa jengah ditatap orang selekat itu.

Tapi segera ia ingat bahwa dia adalah seorang jejaka, tidaklah pantas untuk mengundang seorang gadis muda masuk ke gua dan duduk berduaan, ia menjadi kikuk, ia hendak garuk kepala dan ingin meraba hidung, konyolnya tangannya tak sempat digunakan karena memegangi kitab tadi.

"Barang apa yang kau pegang? Boleh kulihat?" gadis ba)u hitam itu menegur sambil memandang kitab pusaka itu.

Tian Pek makin panik, apalagi teringat isi kitab itu hanya lukisan gadis2 dalam keadaan bugil, masa kitab cabul semacam itu boleh diperlihatkan kepada seorang gadis?

Ccpat2 kitab itu ia masukkan ke dalam

saku dan menjawab dengan tergagap: "Oo, tidak ..tidak ada apa2nya "

"Kenapa kau sembunyikan?" seru si nona sambil mengerling sekejap. "Aku kan cuma minta lihat sebentar saja lalu akan kukembalikan lagi padamu, masa tidak boleh?"

"Nona kitab ini tidak. .... tidak pantas nona lihat " seru Tian Pek dengan tergagap.

Pembawaan Tian Pek sebenarnya angkuh. selama belasan tahun pemuda ini bidup sengsara dan penuh penderitaan, ia paling takut dipandang hina orang, ucapan dara baju hitam itu sangat menusuk perasaan hatinya, andaikata yang dihadapi sekarang adalah orang lain, matipun barang itu pasti takkan diperlihatkan, tapi kitab pusaka itu berisi gambar porno, betapapun ia tak berani diperlihatkan kepada si nona baju hitam. Nona baju hitam itu mendengus, ujarnya ketus: "Hm, aku tak pernah memobon kepada orang lain, tak kusangka permohonanku yang pertama kali telah kau tolak mentah2. Tentu kau masih ingat, jiwamu telah kutolong? Dengan dasar itu, engkau harus per-lihatkan kitab itu kepadaku!"

Dengan langkah yang lemah gemulai nona baju hitam  itu menghampiri Tian Pek, kemudian sambil mengangsurkan tangan ia berseru: "Hayo, serahkan!"

Tian Pek mengendus bau harum yang memabukkan dari tubuh dara itu, tatapan matanya yang tajam membuat hatinya berdebar keras, sambil mundur ke belakang, serunya tergagap: "Nona..jangan kau lihat kiiab ini!

Dara baju hitam itu makin mendongkol karena Tian Pek tidak memberi muka kepadanya, mcndadak ia menubruk maju secepat kilat, dua jari tangan kirinya bergerak menusuk mata Tian Pek, tangan kanannya dengan jurus Yap-te-tau-tho (mencuri buah Tho dari bawah daun) terus hendak rampas kitab pusaka itu.

Serangan ini dilancarkan sangat mendadak serta memakai jurus yang ampuh, dalam keadaan tak siap Tian Pek hanya merasakan pandangan matanya jadi kabur dan tahu2 desiran angin sudah tiba di depan mata.

Dalam keadaan begitu, Tian Pek tak bisa berbuat lain kecuali menghadapi serangan itu sedapat mungkin, secara naluri kitab yang terpegang di tangan kanan ia ketuk jalan darah" kwan-goan" di pergelangan si gadis, sedang telapak tangan kirinya menabas ke bawah dan dengan tepat mematahkan serangan si nona.

Kepandaian dara baju hitam ini terhitung kelas satu di dunia pcrsilatan, jarang sekali ada orang yang mampu menandingi dia, bila Tian Pek sebelum masuk gua, niscaya ia tak mampu menghindari jurus serangannya. Tapi Tian Pek sekarang bukan lagi Tian Pek dahulu, sejak mempelajari ilmu sakti yang tercantum daiam kitab pusaka So-kut-liau-hun-thiau-hud pit-kip, kepandaiannya sudah memperoleh kemajuan yang amat pesat, serangan balasan yang dilancarkan seketika memaksa si dara baju hitam membatalkan serangannya dan terpaksa harus menyelamatkan diri lebih dulu.

Namun apapun juga ilmu silat si dara baju hitam itu memang jauh lebih tinggi dari pada Tian Pek, pula meski tenaga dalam yang dimiliki pemuda itu mengalami kemajuan yang pesat, namun ia sendiri tidak menyadari hal itu, dengan sendirinya kehebatannya belum scmpat digunakan semaksimal mungkin.

Setelah berhasil memaksa gadis itu batalkan serangannva, Tian Pek berdiri tertegun, saat itulah tangan kiri si nona kembali menyambar tiba pula, tahu2 kitab pusaka Thian-hud-pit-kip itu telah ber-pindah tangan.

Tian Pek terkejut, sebelum ia sempat berbuat sesuetu, sambil membawa kitab tadi si dara baju hitam itu sudah melayang keluar gua.

"Aku ingin tahu buku pusaka apakah ini? "omelnya "Masa begini berharga, dilihat saja tak boleh "

Dengan langkah yang lemah gemulai dara baju hitam itu berjalan keluar gua, menyusul ia lantas mcmbuka lembaran kitab tadi.

"Nona, jangan dilihat! "teriak Tian Pek gelisah sambil memburu keluar gua.

"Cis! "dara baju hitam itu menutup kembali kitab itu setelah melirik sekejap isi buku itu, dengan muka merah padam karena malu, serunya: "Buku busuk begini juga kau lihat! Ini, terimalah kembali." Gadis itu putar badan sambil lemparkan kitab tadi ke dalam gua.

Siapa tahu Tian Pek kebetulan sedang mengejar keluar, tak bisa dihindari lagi kedua orang itu saling menumbuk satu sama lain, keduanya sama menjent kaget.

Dada nona itu tertumpuk Tian Pek, ia merasa dadanya jadi kesemutan dan badan lemas separoh, selama hidup kejadian ini belum pernab dialaminya, apalagi dia memang seorang perawan yang masih suci.

Walaupun tumbukan itu tidak terasa sakit, tapi cukup membuat dara itu kaget bereampur malu, jantungnya ber debar2 dan mukanya merah, ia berdiri melenggong, setaat lamauya tak mampu bersuara.

Tian Pek sendiri merasakan dadanya bangat seperti menumbuk daging lunak, terguncang juga hatinya, cepat ia menyurut mundur tiga langkah-

Ketika ia menengadah, dilihatnya gadis itu sedang berdiri dengan muka merah, matanya yang bening menatap wajahnya tak berkedip, sepertinya mau marah tapi tak bisa. mau menegur juga kikuk.

"Oo, maaf nona, aku . ... aku tidak sengaja!" cepat Tian Pek memberi hormat, kemudian ia pungut kembali kitab pusaka yang tergeletak di atas tanah.

Belum lagi ia berdiri, tiba2 dari samping berkumandang suara orang mendengus,

Tian Pek terkesiap, cepat ia berpaling ke belakang.

Apa yang dilihatnya membuat pemuda itu terperanjat, entah sejak kapan belasan orang telah berdiri berjajar di tanah lapang di luar gua itu. Orang yang berdiri paling depan adalah seorang pemuda tampan berjubah biru, walaupun ganteng tapi wajabnya dingin menyeramkan.

Sekilas pandang Tian Pek kenal orang ini adalah Leng- hong Kongcu yang hendak melemparkannya keluar kamar itu.

Di belakang Leng hong Kongcu berdiri delapan orang pria kekar bersenjata, dengan sorot mata bengis mereka sedang melototi Tian Pek.

Ditatapnya kedelapan orang itu dengan tenang. Tian Pek kenal dua di antaranya adalah Tan Cing dan Tan Peng yang pernah membacoknya di hutan tempo hari, yang lain rasanya pernah dijumpai di kamar tidur Leng hong Kongcu.

Di sebelah kanan pemuda jumawa itu berdiri pula seorang Tosu buta, jubah berwarna abu2, pipi kempot mulutnya runcing seperti paruh burung, biji matanya yang hanya kelihatan tinggal putihnya mengerling ke sana kemari hingga mendatangkan rasa ngeri bagi yang memandangnya.

Di samping imam buta itu berdiri lagi seorang pelajar berusia setengah baya, sikapnya latah dan jumawa sekali.

Sebelah kiri Leng-hong Kongcu berdiri pula dua orang, yang satu adalah kakek gundul berlengan satu, mukanya pucat ke-hijau2an, sedang yang lain adalah seorang pria berdandan perlente, gayanya persis seperti saudagar kaya raya.

Meskipun dandanan keempat orang itu ber-aneka ragam, namun pelipis mereka menonjol tinggi kecuali imam buta, rata2 sinar matanya amat tajam, dari sini dapat diketahui mereka adalah jago2 persilatan kelas wahid. "Apa yang dikehendaki Leng hong Kongcu?" pikiran ini terlintas dalam benak Tian Pek, "mau apa dia bawa jago sebanyak ini meluruk kemari?"

Namun si anak muda itu tetap membungkam, dia cuma memandang lawannya salu persatu.

Sementara itu si gadis berbaju hitam itu telah mendengus: "Hm, setelah menganiaya adik. sekarang mau cari gara2 dengan Taci?"

Leng hong Kongcu mengerut kening, ia tidak gubris sindiran orang, dengan sikap yang angkuh dia berpaling pada Tian Pak dan menegur: "Kukira penyakitmu telah sembuh bukan?"

"Terima kasih atas perbatianmu, penyakitku memang sudah sembuh!" jawab Tian Pek.

"Ada pesan terakhir yang hendak kau tinggalkan?" ejek Leng-hong Kongcu sambil mencibir sinis.

Tian Pek tertegun, untuk sesaat ia tak mampu menjawab.

"Hm! Kenapa mesti pura2 bodoh? Atau kau takut?" ejek Leng-hong Kongcu lebih jauh. "Masih ingat bukan apa yang kaukatakan waktu berada di kamarku?"

Setelah di desak berulang kali, habislah kesabaran Tian Pek, iapun naik pitam dan nekat, serunya dengan sama angkuhnya: "Aku tak pernah mengenal arti kata takut, akupun tak tahu apa yang Kongcu maksudkan!"

Belum lagi Leng-hong Kongcu menjawab, sastrawan latah yang berdiri di sisinya telah bergelak tertawa, suaranya keras memekik telinga, dari sini dapat diketahui betapa sempurnanya tenaga dalam yang dimiliki orang ini.

"Bocah ingusan yang masih berbau pupuk, sikapmu terlalu angkuh dan kurang ajar, siapa suruh kau bersikap tak sopan terhadap Kongcu? Hm! rupanya kau sudah bosan hidup."

Diam2 Tian Pek merasa ngeri. tapi pembawaannya memang tidak mudah tunduk begitu saja, walaupun sadar bukan tandingan orang, ia tidak menjadi gentar, sambil mengerahkan hawa murninya ia tetap berdiri tegak.

Sebelum pria latah itu bertindak. dua orang kekar yang berdiri di belakang Leng-hong Kongcu mendadak tampil ke depan, setelah menjura kata mereka: "Kongcuya, untuk membunuh ayam kenapa mesti pakai pisau pemotong kerbau? biarkan hamba berdua yang membekuk batang leher keparat ini!"

Kedua orang ini tak lain tak bukan adalah Tan Cing serta Tan Peng yang pernah membacok si anak muda di hutan itu.

Tentu saja Tian Pek gusar, pikirnya: "Budak anjing yang tak tahu diri, dianggapnya aku mudah dianiaya? Berani kau pandang hina diriku ..."

Dengan angkuh Leng-hong Kongcu memandang kedua orang itu sekejap, lalu berkata: "Tangkap hidup2, jangan dibunuh!"

Tian Pek semakin gusar mendengar ucapan ini, darah dalam dadanya bergolak dengan hebatnya.

Dalam pada itu Tan Cing dan Tan Peng telah mengiakan, mereka menjura pula pada pria latah tadi sambil berkata: "Jiya, untuk membekuk seorang keroco begini, tak perlu engkau turun tangan sendiri, biarkan hamba bekuk batang lehernya!"

"Hahaha! Bagus, bagus!" seru pria latah itu sambil tergelak. "Kalau begitu seorang saja yang maju, buat apa kalian maju berdua?" Hawa amarah berkobar dalam dada Tian Pek, pikirnya: ''Mereka sama memandang hina padaku, aku harus bunuh satu-dua orang di antaranya untuk melampiaskan rasa dongkolku dan supaya mereka tahu rasa."

Tian Pek sudah kenyang dihina dan hidup menderita, betapapun ia pantang menyerah, apalagi setelah dihina di depan orang banyak, timbul niatnya untuk beradu jiwa.

Diam2 hawa murninya dikerahkan sepenuhnya, tapi mulut tetap membungkam, ia telah memutus-kan, siapa saja yang maju segera akan dihantamnya dengan sebuah pukulan yang mematikan.

Sementara itu Tan Cing dan Tan Peng jadi malu maju bersama setelah mendengar perkataan pria latah tadi.

"Kalau begitu, biar aku saja yang bekuk cecunguk ini!" seru Tan Cing kemudian sambil lolos goloknya.

Sekali lompat, Tan Cing sudah berdiri di depan Tian Pek, ia tuding pemuda itu dengan ujung goloknya, lalu menghardik: "Bocah edan, “ cabut senjatamu!"

Rasa gusar Tian Pek sukar dikendalikan lagi terutama melihat sikap kurangajar orang, ia menjengek: "Untuk melayani budak anjing macam kau. lebih baik Siauya layani dengan bertangan kosong saja daripada mengotori senjataku!"

Padahal pedang hijau mestikanya telah hilang di tangan An-lok Kongcu. sekalipun dia ingin pakai senjata juga tak ada, tentu saja untuk menghadapapi Tan Cing  yang jumawa itu ia tak sudi pakai senjata, ia sengaja bersikap terlebih angkuh untuk meremehkan budak itu.

Semua orang sama2 mendongkol juga mendengar perkataan Tian Pek itu, terutama Tan Cing, dengan menyeringai segera ia membentak: "Bocah takabur, lihat serangan!"

Sewaktu berada di hutan tempo hari Tan Cing pernah merasakan kelihayan pukulan Tian Pek, waktu itu dengan tiga lawan satupun mereka tak mampu menang, apalagi sekarang satu lawan satu, tentu saja ia menyadari tak mampu menandingi pemuda itu.

Karenanya walaupun Tian Pek mengejek dengan kata2 sinis. ia tak berani melayaninya dengan bertangan kosong. Setelah membentak tadi dia putar goloknya terus hendak menyerang.

"Tahan!" tiba2 si nona baju hitam tadi membentak nyaring. "Tan Cing, kau tahu malu tidak? Orang lain bertangan kosong? Masa kau hendak layani dia dengan bersenjata?"

Tan Cing tertegun, mukanya merah dan sesaat lamanya dia berdiri kesima dengan serba salah.

"Kau tak perlu ikut campur urusan ini!" seru Leng hong Kongcu cepat. "Sudah untung bagimu bila aku tidak mengatakan apa2 tentang perbuatanmu mengadakan pertemuan gelap dengan pemuda asing di sini, masa sekarang kau malah berani ikut campur urusanku?"

Dara baju hitam itu sangat mendongkol, sekujur badannya gemetar karena keki, sambil menuding adiknya dengan gemetar teriaknya keras2: "Kau .... kau . . . . " — Sampai lama ia tak mampu mengucapkan sepatah katapun.

Leng-hong Kongcu mendengus, ia tidak menggubris encinya lagi, bentaknya. "Tan Cing. hajar bocah itu!"

Waktu itu Tan Cing sedang merasa serba salah, mendengar perintah dari majikannya, segera ia putar golok dan membacok batok kepala Tian Pek. Sedari tadi Tian Pek sudah siap sedia, melihat datangnya serangan, ia mengegos ke samping, berbareng dengan jurus "lek-pi-hoa san (menggugurkan bukit Hoa san) dia balas hajar dada Tan Cing.

"Duuk!" pukulan keras itu bersarang telak di dada lawan tersebut.

Tan Cing menjerit kesakitan, bagaikan terhantam martil, tubuhnya mencelat dan terbanting. Darah segar berhamburan dari mulutnya dan terbanglah nyawanya.

Selagi semua orang kaget tercampur heran, kembali terdengar suara benturan keras.

Kiranya Tan Peng menjadi nekat demi menyaksikan kakaknya mati dalam keadaan mengerikan, ia langsung menubruk maju dan membacok punggung anak muda itu.

Merasa desiran angin tajam menyerang dari belakang, Tian Pek tahu ada orang sedang menyergap, ia jadi gusar, tanpa berkelit ia putar badan sambil menampar ke belakang dengan jurus To ta-kim-ciong (memukul balik genta emas), dia gampar pelipis Tan Peng dengan keras. Tidak sempat menjerit lagi. Tan Peng mencelat dan menyusul kakaknya ke alam baka.

Kalau diceritakan sangat lambat, tapi kejadian itu berlangsung dalam waktu singkat, secara beruntun Tian Pek telah membereskan dua pengawal istana keluarga Buyung yang disegani orang.

Berbicara sesungguhnya, meskipun Tan Cing dan Tan Peng hanya dua orang pengawal keluarga Buyung, ilmu silat mereka tidak lemah, jangankan cuma satu gebrakan, untuk merobohkan mereka dalam dua-tiga gebrakan juga sulit. Tapi kini hanya satu gebrakan saja Tian Pek telah membinasakan mereka, bukan saja Leng-hong Kongcu jadi melengak, kawanan jago lainpun sama tertegun dan mengunjuk rasa kaget.

Sambil menatap Tian Pek dengan mata melotot, pikir mereka di dalam hati: "Sungguh tak nyana pemuda ini mempunyai kepandaian yang begini tangguh dan luar biasa!"

Padahal Tian Pek sendiripun diam2 merasa kaget dan heran, batinnya: "Tempo hari ketika mereka hendak membunuh aku di hutan sana, kepandaianku hanya berada dalam keadaan seimbang dengan mereka, tapi sekarang, kenapa ilmu silat mereka jadi tak becus? Sekali tonjok saja mereka sudah keok semua? Aneh, sungguh aneh!"

Kalau ilmu silatnya tidak maju pesat dan lihay, kitab pusaka So-kut-siau-hun-thian-hud-pit-kip itu tentu tukkan dinamakan kitab paling aneh dikolong langit ini, walaupun Tian Pek baru belajar belasan hari lamanya, namun tenaga dalam yang diimilikinya telah mendapat kemajuan dan mencapai tingkatan tinggi. Apalagi serangannya tadi mengerahkan segenap kemampuan yang dimilikinya. tentu saja Tan Cing dan Tan Peng tak tahan.

Air muka Leng hong Kongcu berubah hebat setelah melihat Tian Pek membunuh dua orang anak buahnya, ia melotot penuh kegusaran.

Tapi sebelum pemuda itu tampil ke depan, pria setengah baya tadi sudah bergelak tertawa dengan latahnya, gelak tertawa itu keras menusuk pendengaran dan mendengung tiada hentinya di angkasa, membuat jantung orang yang mendengar berdebar keras "Anak muda!" seru pria latah itu dengan mendelik. "Kau cukup angkuh dan takabur, berani membunuh dua orang centeng keluarga Buyung dihadapan

Kongcu, hm, nyalimu harus dipuji "

Setelah membinasaksn kedua orang tadi, sebeharnya Tian Pek merasa agak menyesal, tapi begitu ditegur hawa amarahnya kembali berkobar, dengan gagah sahutnya: 'Aku tak peduli siapa mereka, barang siapa berani menghina aku, terpaksa kubela diri dengan mempertaruhkan nyawa!"

"Bocah takabur, kau tahu siapakah aku?" hardik pria latah itu dengan sorot mata berkilat.

"Maaf, aku tak tahu siapa kau!" sahut Tian Pek.

"Thian ya ong seng (manusia latah dari ujung langit)! Pernah kau dengar nama ini? Thian-ya-ong-seng Tio Kiu- ciu ialah diriku ini, akulah manusia latah dari ujung langit, Tio Kiu-ciu. Dalam tiga jurus, Cukup tiga jurus saja, akan kucabut nyawa anjingmu!"

"Kalau aku tidak mati dalam tiga jurus? Apa yang akan kau lakukan lagi?" ejek Tian Pek, meski dia tahu ilmu silatnya bukan tandingan lawan, namun ia tak sudi menyerah begitu saja.

Pemuda ini pernah mendengar cerita tentang tokoh aneh ini, menurut cerita, manusia latah dari ujung langit ini berasal dari perguruan Tiang pek-pay, baru tiga tahun ia belajar silat, semua jago lihay seperguruannya telah dikalahkan, bahkan guru-nya sendiripun harus menelan kekalahan di tangannya.

Karena merasa tiada yang bisa diperoleh lagi, dia lantas tinggalkan perguruannya dan berkelana di dunia persilatan, kepada khalayak ramai dia berkata, barang siapa bisa mengalahkan dia, maka dia akan mengangkat orang itu sebagai gurunya.

Ia memang berbakat bugus, semua aliran ilmu silat yang pernah dilihatnya takkan terlupa lagi dalam ingatannya, malahan dalam waktu singkat ia mampu menciptakan jurus balasan untuk mematahkan serangan lawan.

Dengan kemampuan yang luar biasa itulah, moski dalam lima tahun terakhir ini sudab banyak jago lihay yang menantang dia berduel, namun tak seorangpun di antara mereka yang mampu menandingi kelihayannya.

Karena sudah kehabisan musuh, berangkatlah tokoh latah ini ke Siong-san untuk melabrak barisan Lo-han-tin yang termashur di Siau-lim-si, kemudian melabrak pula Bu- tong-sam-cu, tiga tokoh terlihay dan Bu-tong-pay, semua itu dapat dilakukan dengan lancar dan mundur dengan selamat,

Karena perbuatannya ini, nama besar Manusia latah dari ujung langit semakin terkenal dan menggetarkan dunia Kangouw.

Akhirnya entah karena apa, mendadak jejak jago latah ini lenyap tak berbekas. Dan sungguh tak nyana puluhan tahun kemudian, Thian-ya-ongseng kembali muncul didepan umum, bahkan telah mengabdi pula pada keluarga Buyung yang tersohor, bagi orang yang kenal watak kelatahanoya, hal ini sungguh sangat mencengangkan sekali.

Begitulah Manusia latah dari ujung langit Tio Kiu-ciu telah mengebaskan ujung bajunya sambil berkata: "Kalau dalam tiga jurus aku tak mampu merobohkan kau, julukanku segera kuhadiahkan kepadamu. Nah. bocah temberang, ber-siap2lah untuk menerima kematian?"  Tian Pek sendiri sudah dibikin gusar oleh kelatahan orang, dengan dahi berkerut ia menjawab: "Sejak tadi aku sudah siap, hayo seranglah?"

"Bagus, sambutlah serangan yang pertama!"

Bagai sambaran kilat cepatnya, Tio Kiu-ciu berputar setengah lingkaran, lengan kirinya tertekuk, dengan menggunakan sikutnya dia tutuk Sam-yang-

hiat dan Hun-swi-hiat di dada Tian Pek, sementara telapak tangan kanannya berputar di udara dan melepaskan satu pukulan dahsyat ke batok kepala musuh.

Tian Pek terkejut, selama hidup belum pernah ia hadapi jurus serangan seaneh dan sehebat ini.

Karena tak kenal jurus serangan lawan, pemuda itu tak berani menyerang secara gegabah, terpaksa dengan langkah Gua-be-kim-sau (naik

melintas bukit emas) ia mengegos ke samping.

Ketika Tian Pek menghindar ke samping, kebetulan sebelah kakinya tersangkut oleh sepotong batu bulat hingga tergelincir, tubuhnya segara roboh terjengkang.

"Jurus kedua!" bentak si Manusia latah dari ujung langit. Serangan   kedua   ini   jauh   lebih   aneh   dan   dahsyat,

tubuhnya   meluncur   ke   depan   dengan   gerak mendatar,

ibaratnya seekor capung sedang menutul permukaan air, tanpa memandang lawan tangannya menabas dengan dahsyat.

Angin pukulan mendesing tajam di udara-

"Krak!" sebatang pohon cemara kecil tertabas kutung bagaikan terbacok golok tajam dan seketika tumbang. Walaupun serangan itu dahsyat, namun Tian Pek sana sekali tak terluka, karena saat itu kebetulan dia jatuh tergelincir, hal ini justeru menyelamatkan dia dan serangan maut manusia latah itu.

Ucapan manusia latah dari ujung langit memang bukan bualan belaka, jurus serangan yang diancarkannya bukan saja cepat bahkan lihay luar biasa, jangankan Tian Pek yang masih hijau, sekalipun tokoh kelas satu dari dunia  persilatan pun belum tentu sanggup menghindarinya.

Bayangkan saja, batang pohon Siong saja tertabas kutung, apalagi tubuh manusia yang terdiri dari darah- daging.

Tapi nasib Tian Pek memang lagi mujur, di-saat yang kritis tadi ia tersangkut batu dan tergelincir, sehingga serangan maut musuhnya bisa di-elakkan dengan aneh dan lucu.

Rupanya dalam serangan yang pertama tadi, Manusia latah dari ujung langit To Kiu-ciu telah memperhitungkan kemana Tian Pek akan berkelit, maka tanpa memandang lebih jauh jurus kedua dilepaskan secepat kilat, andai kata Tian Pek tidak tergelincir jatuh, sulitlah baginya untuk mnghindarkan diri.

Terkesiap juga minusia latah itu setelah menyaksikan dua serangannya mengenai sasaran yang kosong, ia terperanjat dan berdiri tertegun, jago lihay ini tak menduga kalau jatuhnya Tian Pek karena terpeleset, dia megira anak muda itu telah menggunakan gerak tubuh yang sakti untuk menghindarkan dua jurus serangan mautnya.

Akan tetapi setelah diamatinya posisi jatuh pemuda itu, mendadak manusia latah itu tertawa ter-bahak2 karena geli, bentaknya: "Eh anak muda, hayo, cepat merangkak bangun!" — Telapak tangannya kembali diayun ke depan. Tian Pek terperanjat, ia merasakan desiran angin keras. ia mengira serangan ketiga dari musuh telah dilancarkan, dalam gugupnya buru2 ia gunakan gerakan "keledai malas bergulingan", ia menggelinding jauh ke sana, baru kemudian meloncat bangun.

"Hahaha! Anak muda, tak usah gugup, seranganku yang ketika belum lagi kulancarkan!" ejek manusia latah dari ujung langit sambil ter-bahak2 lalu selangkah demi selangkah ia menghampiri anak muda itu.

"Paman Tio, kau curang!" tiba2 si nona baju hitam berseru. "Sebagai tokoh kenamaan dunia per-silatan, ucapanmu bisa dipercaya atau tidak?"

"Setiap patah kata yaug kuucapkan tak pernah kuingkari, kalau aku suka main curang dan ingkar janji, tak nanti aku dapat hidup tenteram dan terhormat selama sepuluh tahun di tengah keluarga Buyung kalian. Nona Hong, betul tidak ucapanku ini?"

Sekalipun sedang berbicara, manusia latah itu tidak menghentikan langkahnya, setindek demi setindak ia menghampiri Tian Pek.

Dara berbaju hitam itu kembali mendengus: "Hm. bukankah paman Tio akan membunuh dia dalam tiga jurus? Kini tiga jurus sudah lewat, kenapa kau masih hendak menyerang lagi?"

Manusia latah dan ujung langit ini segera ber-henti, ia berpaling dan menatap dara itu dengan tercengang. “Siapa bilang aku sudah melancarkan tiga jurus serangan?" serunya penasaran. "Semua orang menyaksikan kalau aku baru melepaskan dua kali pukulan saja!" "Paman Tio, bukankah jurus pertama kau menyerang dengan gerakan 'menyumbat sungai membuat bendungan'?

Lalu dalam serangan yang kedua

memakai jurus 'membendung Sungai memutuskan aliran'?"

"Benar, lalu apa jurus seranganku yang ketiga?"

Di luar ia berkata begitu, dalam hati diam2 manusia latah ini memuji kecerdasan nona baju hitam ini, ia tak menyangka jurus serangan Tui-

hong-ki-beng-ciang (ilmu pukulan gerak aneh pengejar angin) yang diciptakannya dapat dikenali oleh-nya.

Tapi tokoh ini yakin kalau dia baru menyerang sebanyak dua jurus, pikirnya: "Hm! Sekalipun kau budak setan ini amat ccrdik, aku yakin kau takkan mampu membuktikan bahwa aku sudah menyerang tiga kali!"

Dara baju hitam itu mengerling, lalu berkata: "Sewaktu dia berkelit ke samping tadi, paman Tio telah melancarkan serangan yang ketiga!"

Manusaia latah dari ujung langit itu mendengus: "Hra! Aku tak pernah menghajar orang yang sudah roboh di tanah, gerak tanganku tadi hanya memerintahkan kepadanya untuk bangkit, masa gerak itupun kau anggap scbagai jurus serangan?"

"Hah, bukankah itu jurus Long-ki-lm-sah (damparan ombak menghanyutkan pasir), suatu jurus serangan mematikan, kalau pemuda itu tidak menghindar dengan cekatan, niscaya ia sudah menemui ajalnya!" kata si nona.

Mendengar keterangan itu, Manusia latah dan ujung langit jadi teitegun. Kiranya di antara ilmu pukulan Tui-hong ki~ heng ciang yang diciptakannya itu memang benar terdapat jurus yang bernama "Long-ki liu sah", gerak tangannya yang dilakukan tadi memang sangat mirip dengan gerak serangan tersebut, tapi ia tidak menggunakan dengan maksud menyerang, sebab kalau jago sakti ini mau menyerang sungguhan, niscaya Tian Pek sudah mati sejak tadi.

Walau begitu, Manusia latah dari ujung langit ini tak bisa membantah tuduhan si nona, sekalipun ia hendak membantah namun pada kenyataannya memang begitulah, terpaksa sambil menggeleng kepala ia berkata dengan sedih: "Ah, baik! Anggaplah paman Tio kali ini telah kecundang, tapi kau harus tahu, nona Hong, aku tidak kecundang di tangan bocah itu melainkan kecundang oleh mulutmu yang tajam!"

Kepada Leng hong Kongcu ia lantas menjura dan menambahkan: "Orang she Tio sudah sepuluh tahun berdiam di rumah Kongcu, bukan pahala yang kubuat sebaliknya kekecewaan yang kuberikan kepada Kongcu, karenanya aku mohon diri saja dan sampai berjumpa lain waktu!"

Selesai berkata dia terus melangkah pergi, dalam waktu singkat bayangannya sudah lenyap.

Siapapun tak menyangka bahwa manusia latah dan ujung langit itu, bakal berlalu dengan begitu saja, apalagi gerak tubuhnya teramat cepat, sebelum Leng hong Kongcu sempat buka suara, jago sakti itu sudah lenyap dari pandangan.

Betapa gusar dan mendongkolnya Leng-hong Kongcu menghadapi kejadian itu, semua rasa keki-nya segera dilampiaskan pada diri encinya. Ia mendengus kepada dara baju hitam itu dan berkata: "Coba lihat, akibat ulahmu yang tak genah paman Tio telah pergi karena marah, akan kulihat cara bagaimana pertanggungan-jawabmu dihadapan ayah nanti!"

Dara baju hitam itu mengernyitkan alis, ia balas mendengus.

"Hm! Dia pergi sendiri, memangnya aku yang mengusir?

Kalau dia ingin pergi, masa aku bisa menahan dia?"

"Huh! Ulahmu hanya akan sia2 belaka," ejek Leng hong Kongcu. "Sekalipun paman Tio kaubikin marah dan pergi, aku tetap takkan ampuni jiwanya?"

Dengan garang dan bengis Leng hong Kongcu lantas menghampiri Tian Pek.

"Kongcu, jangan ter-buru2!" tiba2 si lelaki yang berdandan perlente maju mencegah. "Biar aku yang bereskan bocah itu!" Lalu kepada Tian Pek dia menambahkan: "Aku hendak mainkan sebait lagu yang merdu, apakah engkoh cilik berminat menikmatinya?"

Tian Pek tidak langsung menjawab, diamatinya pria berdandan perlente ini dengan tajam, orang itu berusia empat puluhan, walaupun dandanannya perlente tapi ucapannya merendah hati sehingga amat tidak serasi. Tapi Tian Pek sadar, semakin sungkan sikap musuh yang dihadapinya berarti makin sukar orang itu dilayani.

Ia tak kenal siapakah lelaki perlente ini, tapi dari sinar matanya yang tajam bagaikan pisau itu ia tahu lawan pasti seorang jago persilatan yang ber-ilmu tinggi.

Namun Tian Pek tidak jeri, iapun tak sudi tunduk kepada siapapun, ia menyadari biarpun merengek minta ampun kepada mereka, bukan saja orang2 itu tak kenal belas kasihan, malahan akan lebih di hina dan dicemoohkan.

Karenanya dengan tegas dia menyahut: "Jangankan hanya menikmati lagu, sekalipun hendak adu tenaga, aku pasti akan mengiringi kehendakmu!"

Diam2 si gadis baju hitam mengerut dahi, ia berpikir: "Bocah bodoh, kenapa mencari susah sendiri? Masa kau tidak kenal orang ini adalah Gin-siau toh-hun (seruling perak pembetot sukma) Ciang Su-peng? Dia lebih sulit dilayani daripada manusia latah dari ujung langit tadi, kenapa kau malah tantang dia? Benar2 bodoh."

"Bagus!" puji Gin-siau-toh hun Ciang Su-peng dengan muka berseri. "Sungguh tak nyana engkoh cilik punya semangat jantan. Baik, akan kumainkan sebuah lagu yang merdu untuk menghibur hatimu!"

Dari sakunya ia lantas keluarkan sebuah seruling perak yang memancarkan sinar berkilat, setelah tersenyum, ia tempelkan seruling itu di ujung bibirnya lalu mulai ditiup lembut: "Tit...tut...tiit..tutt " suaranya merdu, nadanya tinggi melengking.

Tian Pek melongo, ia tak mengerti apa yang hendak dilakukan lawan itu. Sementara para jago yang berada disekeliling gelanggang telah mengundurkan diri ke belakang, masing2 mengeluarkan kain atau saputangan untuk menyumbat lubang telinga sendiri.

Dara baju hitm itupun gelisah dan meng-gentak2 kaki. "Ai, celaka, dia pasti celaka " keluhnya di dalam hati.

Dara baju hitam itu ingin mencegah, tapi Ciang Su peng sudah keburu mainkan irama serulingnya dengan merdu.

Walaupun suaranya tidak begitu keras, tapi nyaring dan jelas, iramanya menggetar kalbu. Lagu yang dimainkan itu melukiskan seorang wanita sedang menangis dengan sedihnya di tengah malam buta membuat pendengarnya ikut bersedih hingga tak tahan dan melelehkan air mata.

Suasana yang sedih penuh duka nestapa ini sangat sesuai dengan perasaan Tian Pek sekarang, tanpa sadar terbayang kembali kematian ayahnya yang mengenaskan, kematian ibunya yang sengsara serta peristiwa2 sedih yang pernah menimpa kehidupannya di masa lampau, ia jadi terbuai ke alam kepedihan, pemuda itu jadi lupa kalau musuh tangguh ada di depan mata.

"Tiitt .... tuuut .... tiitt .... tutt . . . . " irama seruling itu kian lama kian mengharukan, air muka Tian Pek jadi murung dan diliputi kepedihan, dengan ter-mangu2 ia memandang kejauhan, entah ke mana kesadaran pemuda itu dibawa? Air mata bercucuran membasahi wnjahnya.

Dara baju hitam itu sama sekali tidak terpengaruh oleh irama seruling maut itu sebab ia tahu betapa lihaynya "irama seruling pembetot sukma" dari Ciang Su-peng, maka sebelumnya ia telah pusatkan seluruh perhatiannya sehingga sebegitu lama ia tetap tenang saja. Tapi ia menjadi cemas melihat kesedihan Tian Pek yang terpengaruh oleh irama seruling sehingga akhirnya menangis tersedu-sedan.

Dara baju hitam itu terperanjat dan kuatir, cepat ia berteriak: "Paman Ciang, perbuatanmu tidak adil!"

Perlu diketahui bahwa Cengeu atau kepala perkampungan Pah-to-san-cung, Ti-seng-jiu (tangan sakti pemetik bintang) Buyung Ham amat menghargai jago2 kenamaan dari dunia persilatan, setiap kali bertemu jago tangguh, maka diundanglah jago itu untuk berdiam dalam perkampungannya, ia selalu menghormati mereka ibarat saudara sendiri, karena itu putera-puterinya juga memanggil paman kepada mereka.

Begitulah si seruling perak pembetot sukma Ciang Su- peng lantas menghentikan permainan serulingnya dan tersenyum. "Nona Hong, apa lagi yang hendak kau katakan?"

Merah jengah wajah si nona, untung mukanya tertutup oleh kain cadar hitam, walau begitu ia jadi rikuh sebab rahasia hatinya se olah2 kena di-tebak oleh senyum Ciang Su peng yang penuh arti.

Tapi dengan cepat ia lantas pusatkan perhatian-nya kembali, dengan nada serius katanya: "Paman Ciang, engkau kan seorang jago kenamaan di dunia persilatan, mengapa engkau tega mengerjai seorang muda yang masih hijau begini?"

Si seruling perak pembetot sukma melengak, dari mukanya yang gemuk terpancar rasa tak senang hati.  "Nona Hong, apa maksudmu?" serunya.

"Irama toh hun-toa-hoat {Irama iblis pembetot sukma) milik paman Ciang adalah suatu kepandaian yang ampuh dan dikenal setiap umat persilatan, tanpa memberi keterangan engkau langsung menyerangnya dengan ilmu sakti tersebut, kalau tidak dinamakan mengerjai lantas perbuatan paman ini harus dinamakan apa?"

Seruling perak pembetot sukma Ciang Su-peng penasaran sekali karena dituduh "mengerjai anak muda", dengan nada marah dan muka masam ia menjawab: "Siapa bilang sebelumnya tidak kujelas-kan? Aku kan sudah mempersilakan dia untuk menikmati irama serulingku, dan permintaanku ini disanggupi olehnya, semua orang menyaksikan kejadian ini, semua orang mendengar perkataanku ini, siapa bilang tidak kujelaskan? Hm! Masa kau menyalahkan diriku malah?"

Si nona tahu apa yang diucapkan Ciang Su-peng memang betul tapi demi menyelamatkan jiwa Tian Pek dan bahaya, dara yang cerdik ini segera berseru pula: 'Walau begitu, paman Ciang kan tak pernah menerangkan bahwa engkau hendak beradu kepandaian dengan menggunakan irama seruling? Kalau tidak kau terangkan, mana orang lain bisa bersiap sedia sebelumnya?"

Bicara sampai di sini, ia berpaling ke arah Tian Pek dan melanjutkan: "Begitu bukan? Tahukah kau bahwa irama seruling yang dimainkan

Ciang-locianpwe merupakan Kungfu yang maha lihay?"

Maksud si nona, dengan kata2nya itu dia hendak memperingatkan Tian Pek agar meningkatkan kewaspadaannya agar tidak mengorbankan jiwanya secara sia2.

Siapa tahu Tian Pek tetap membungkam bagaikan orang linglung dan memandang jauh ke depan tanpa menghiraukan kata2 si nona, sementara air matanya jatuh bercucuran membasahi sebagian dada bajunya.

Buyung Hong, si nona baju hitam terkejut, ia kuatir anak muda itu telah terluka oleh pengaruh irama seruling lawan tadi, didorongnya pemuda itu sambil menegurnya dengan suara lantang: "Hei, kau dengar tidak ucapanku?"

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar