Jilid 02
Kain itu tidak lebih hanya secarik kain biasa, meski pun dahulu warnanya indah tapi sekarang sudah lusuh dan berubah jadi kuning, tiada sesuatu keistimewaan. malahan jahitan sekeliling kain sudah terlepas mirip ditarik dengan paksa.
Lalu apa rahasia yang terkandung di balik secarik kain kecil itu?
Mendadak Mo-in sin-jiu menubruk ke depan bagaikan sambaran elang, telapak tangan yang kuat langsung mencengkeram dada pemuda itu.
Tian Pek sama sekali tidak bergerak, iapun tidak berusaha menghindar atau menangkis, sinar matanya memandang ke tempat jauh, se-olah2 tak tahu kalau dirinya sedang diserang.
Siang Cong-thian membentak, sikutnya bergetar keras, cengkeramannya memutar ke bawah dan memegang pergelangan tangan si anak tnuda, sementara kain kumal tadi ditunjukkan kehadapannya.
"Barang apa ini?" hardiknya. Perlahan Tian Pek menengadah, sorot matanya tampak sayu, ia cuma menggeleng tanpa menjawab-
Cengkeraman Mo in-sin jiu kian diperkeras dengan sorot mata tajam ia awasi pemuda itu tanpa berkedip, kembali ia membentak: Sahabat, siapa kau sebenarnya? Benda apakah kain lusuh ini?"
Rasa sakit yang merasuk tulang sumsum lengan kiri Tian Pek jadi kaku dan kesemutan, namun ia tetap bertahan, tiada rintihan kesakitan yang keluar dan mulutnya, kembali ia hanya menggeleng.
Walaupun kain lusuh itu berasal dari sakunya, tapi seperti pula orang lain, ia sendiripun terkejut oleh peristiwa yang sama sekali di luar dugaan itu, ia kaget oleh daya pengaruh kain lusuh itu, karena dia smdinpun tak tahu apa sebabnya?
Mo-in sin jiu berkerut dahi, ia puntir lengan lawan keras2 sehingga Tian Pek mendengus kesakitan. Pemuda itu sadar bila puntiran itu diperkeras niscaya pergelangan tangannya akan patah.
Dasar bandel dan keras kepala, pemuda itu tak sudi minta ampun apalagi me-rengek2 minta di-lepaskan, ia sendiripun tak tahu apa yang mesti dikatakannya, sebab kain lusuh itu memang berasal dari sakunya dan Hoa Cing- cwan bunuh diri juga lantaran melihat kain lusuh itu.
Diam2 ia menghela napas dan berpikir: "Ai, hakikatnya aku sendiripun tak tahu bakal terjadi peristiwa semacam ini, kalau kutahu Tui-hong-bu-ing bakal bunuh diri karena kain lusuh itu, tak nanti kuperlihatkan kain itu kepadanya "
Ia menengadah, dilihatnya An lok Kongcu sedang menghampirinya, ditepuknya tangan kiri Siang Cong-thian yang masih memuntir tangannya itu, terpaksa jago tua itu kendurkan puntirannya.
Air muka Siang Cong thian agak berubah, ia menegur dengan suara dalam: "Kongcu, apa yang kau lakukan?"
An lok Kongcu tidak menjawab, ia berpaling dan berkata kepada Tian Pek: "Saudara, engkau juga she Tian, apakah engkau adalah keturunan Pek-lek kiam Tian-locianpwe?"
"Aku tak becus dan tak berani memalukan nama ayahku, Tapi, ai, tak nyana Kongcu dapat menebaknya dengan tepat!" kata Tian Pek tegas. meskipun pergelangan tangannya masih terasa sakit, namun ia tak mengeluh sedikitpun.
An-lok Kongcu tersenyum, katanya: "Nah, betul kan' Kalau saudara bukan keturunan Tian-tayhiap, rasanya engkau takkan barlutut di hadapan Hoa-losu tadi."
Kembali Tian Pek menghela napas: "Sejak mendiang ayahku terbunuh, meskipun aku tak tahu siapakah pembunuhnya, tapi tak sedetikpun kulupakan dendam berdarah ini."
Ia mamandang sekejap jenazah Hoa Cing-cwan yang membujur di tanah, setelah menghela napas. ujarnya pula: "Hoa-locianpwe setia kawan. ia sangat menghormati mendiang ayahku, siapa tahu dia Ai!"
Helaan napas panjang mengakhiri perkataan itu, ia merasa amat berterima kasih sekali terhadap An lok Kongcu, karena sejak dilahirkan nasibnya selalu jelek, jarang ada orang yang menaruh perhatian kepadanya. Tapi sekarang bukan saja An-lok Kongcu telah melindunginya berulang kali, lebih dari itu iapua dapat memahami keadaannya walaupun perjumpaan itu baru terjadi untuk per-tama kalinya. 'Kalau begitu, benda apakah ini?" tanya Mo in-sin jiu pula sambil menyodorkan kain lusuh tadi.
Tian Pek menghela napas dan menggeleng. jawabnya: "Aku sendiri tak tahu, akupun tak tahu kenapa Hoa- locianpwe bunuh diri setelah melihat kain itu "
Tiba2 sesuatu pikiran terlintas dalam benaknya, seketika ia membungkam.
An-lok Kongcu tersenyum: "Aku percaya saudara adalah seorang lelaki sejati yang tak suka berdusta, kupercaya penuh keteranganmu, cuma. kejadian ini memang saneat aneh, rasanya tak mungkin bisa dipecahkan dengan begitu saja"
Ia berhenti sebentar, ia jemput pedang mestika yang bersinar ke-hijau2an itu dan menyerahkannya kembali ke tangan Tian Pek, lalu melanjutkan: "Pedang ini adalah senjata yang amat tajam, kurasa tidak sedikit orang persilatan yang mengetahui asal mulanya, selama pedang ini masih kau bawa, sulitlah bagimu untuk merahasiakan asal-usulmu."
Pikiran Tian Pek amat kalut, ia sambut pedang itu, ucapnya: "Sungguh beruntung aku dapat berkenalan dengan saudara, andaikata tiada bantuanmu entah bagaimana jadinya diriku ini? Ai, aku tak becus dan tak punya kepandaian apa2. entah bagaimana aku harus membalas budi kebaikanmu ini?"
Baru saja tanginnya menyentuh gagang pedang itu, mendadak dari tengah hutan berkumandang suara gelak tertawa orang, sesosok bayangan dengan kecepatan luar biasa tahu2 menyambar tiba, menyusul Tian Pek merasakan sikutnya jadi kesemutan, sekilas terlihat seorang pria yang berperawakan jangkung hanya dalam sekejap saja sudah lenyap di balik pepohonan sana. Sungguh cepat gerak tubuh orang itu, ilmu meringankan tubuhnya boleh dibilang sudah mcncapai puncak kesempurnaan, bukan saja Tian Pek tak sempat mengikuti jalannya peristiwa, bahkan Mo-in-sin-jiu serta An-lok Kongcu pun tercengang. Pedang mestika yang semula dipegang oleh An-lok Kongcu kini sudah lenyap tak berbekas.
An lok Kongcu membentak keras, segera ia mengejar ke arah bayangan tadi, Mo-in-sin-jiu mendengus, setelah menyapu pandang sekejap sekeliling tampat itu, iapun menyusul mengejar ke sana.
Tian Pek berdiri ter-mangu2 memandangi kepergian beberapa orang itu, sesaat kernudian baru sadar dari lamunannya, cepat2 iapun mengejar dari belakang.
Teriakan2 gelisah berkumandang dari belakang, suara itu tentunya berasal dari kawanan Piausu lain-nya, namun Tian Pek tak menggubris lagi, ia malah percepat larinya.
Meski ia berlari kencang dengan penuh tenaga, tapi hanya sebentar saja ia telah kehilangan jejak Mo-in-sin jiu, ia tak tahu kemanakah ketiga orang tadi.
Hutan itu cukup luas, tapi hanya sebentar saja ia telah menerabas ke balik hutan sana, rembulan sudah bersinar di angkasa, suasana sunyi senyap, tiada sesosok bayangan manusiapun kelihatan.
Tian Pek menarik napas panjang, ia lepaskan kancing bajunya agar angin malam mengembus di dadanya, ia merasa pikirannva kalut, pelbagai kejadian ini membuatnya bingung.
Yang paling aneh adalah kematian "Tui-hong-bu-ing" Hoa Cing-cwam, kalau dia adalah sahabat karib mendiang ayahnya, mengapa setelah melihat kain lusuh itu dia lantas bunuh diri? Kenapa sebelum bunuh diri, mimik wajahnya diliputi pergolakan emosi?
Ia menghela napas, gumamnya sendiri: "Rahasia apakah yang tersimpan dalam kain sutera itu?"
Suatu masalah belum beres, masalah lain lantas terjadi. Ia tahu Siang Cong thian adalah jago kenamaan di dunia persilatan, An lok Kongcu juga tokoh sakti yang disegani orang, lalu siapakah yang telah merampas pedang mestikanya itu tepat di hadapan mereka berdua?
Dadanya terasa sesak bagaikan ditindih batu seberat ribuan kati, berbagai kekesalan yang tertimbun selama ini kini menumpuk menjadi satu dan membuatnya terkenang pada masa lalu ....
Dahulu, ketika ia masih seorang bocah yang tak tahu urusan, ia dan ibunya merindukan ayahnya yang sudah lama tak pernah pulang. Malam itu udara amat cerah, rcmbulan bersinar dengan terangnya di angkasa apa yang mereka rindukan akhirnya terwujud juga, sebelum hari Tiong-ciu ayah-nya telah pulang. Tapi ayahnya tidak pulang dengan wajah penuh senyum seperti tahun2 sebelumnya beliau pulang dengan badan penuh luka serta merintih tiada hentinya.
Walaupun kejadian itu sudah lama berselang, Tian Pek mcrasa se akan2 baru terjadi kemarin, ia masib ingat jelas sekujur tubuh ayahnya berpe-lepotan darah, desir angin malam se-akan2 berubah jadi rintihan yang memilukan bati.
Pemuda itu menghela napas panning, ia keluar-kan lagi kantong kecil itu dari sakunya. tanpa di-buka ia tahu apa isinya karena setiap hari benda itu selalu digenggam dan dibuat mainan. Isi kantung itu hanya secomot rambut, seutas benang sutera, sebiji gotri baja, sebiji kancing tembaga, sebuah mata uang tembaga serta cabikan kain yang lusuh itu.
Semua benda itu diterimanya waktu ayahnya raendekati ajalnva, waktu itu beliau masih sempat mcnyebutkan nama enam orang dan berpesan agar benda2 itu diberikan kepada mereka bila berjumpa dikemudian hari. Akhirnya ia masih ingat ayahnya berbisik sambil menuding pedang hijau itu dengan tangan gemetar: "Kau harus baik2..”
Tapi sebelum ucapan itu diselesaikan, ayahnya keburu meninggal. Meski usianya ketika itu masib kecil, tapi ia tahu ayahnya bukan orang sembarangan, ia heran mengapa ayahnya mati seperti orang biasa, bahkan mati dengan muka yang berkerut menahan penderitaan?
"Kau harus menggunakan pedang ini baik2 untuk menuntut balas bagi kematianku," demikian dengan penuh kesedihan ia merangkai kata2 sang ayah yang tak sempat diselesaikan.
Sudah sekian tahun ia tak lupa pada perkataan itu, ia merasa sedih dan menderita karena ucapan itu, sebab ia tak tahu siapakah pembunuh yang telah membiaasakan ayahnya.
Itulah masa menderita yang tak terhingga, begitu menderitanya sehingga hampir saja ia putus asa, ia dan ibunya tak pernah terjun ke dunia persilatan juga tak seorangpun yang tahu kalau Pek-Lek-kiam Tian In-thian masih mempunyai anak isteri, walaupun karena itu mereka tak sampai dibunuh oleh pihak lawan, tapi karena itu pula mereka tak pernah memperoleh bantuan.
Maka mereka lantas berkelana kian kemari, mereka berharap bisa mempelajari ilmu silat yang lihay, tapi kecewalah mereka, sampai ibunya meninggal karena penderitaan hidup yang hebat, Tian Pek hanya sempat mempelajari beberapa jurus-ilmu pedang yang sangat umum.
Kendatipun pemuda itu mempunyai bakat yang baik serta kemauan yang keras, namun semua itu tidak membuat ilmu silatnya lebih tangguh, kalau dibandingkan dengan ilmu silat tokoh2 persilatan sungguh masih selisih amat jauh.
Berdiri di tengah hembusan angin malam, Tian Pek merasa malu, sedih dan kecewa: "Walaupun aku tahu siapakah pembunuh ayahku, lalu apa yang dapat kulakukan? Jangankan menuntut balas, untuk menjaga pedang warisannya saja aku tak mampu, Ai, aku benar2 tak becus!"
Suasana tetap hening tak nampak sesosok bayangan manusiapun, yang terdengar hanya suara cengkerik serta desir angin malam yang berpadu dengan suara serangga itu dan menciptakan irama yang mengibakan hati.
Ia menghela napas panjang dan melanjutkan perjalanan dengan pelahan, ia merasa masa depan-nya sesuram alam sekelilingnya sekarang, hampir saja ia lupa akan segala- galanya. ia merasa kecewa dan putus asa sehingga persoalan apapun tak dihiraukan lagi olehnya.
Setelah jenasah ibunya dikebumikan. ia berkelana seorang diri di dunia Kangouw, untuk hidup saja amat sulit bagi pemuda tak berpengalaman seperti dia, apalagi harus menyelesaikan tugas-tugasnya? Berkat tekadnya yang kuat, akhirnya ia behasil bekerja pada sebuah perusahaan ekspedisi yang tersohor, walaupun kejadian yang kebetulan, namun juga melalui perjuangan yang tidak ringan. Tapi sekarang, ia melupakan segalanya, lupa kalau ia masih memikul tanggung-jawab atas pekerjaannya. ia terus berjalan tanpa tujuan.
Ia berharap An-lok Kongcu berhasil merebut kembali pedang pusaka itu baginya, tapi andaikan pedang itu dapat direbut kembali, kejadian inipun merupakan suatu pukulan batin bagi Tian Pek. Bagaimaoa tidak? ia adalah seorang pemuda yang tinggi hati, tentu saja ia kerharap rebut kembali pedang itu tanpa bantuan orang lain.
Cahaya rembulan menerangi malam yang gelap dan menciptakan bayangan tubuhnya yang panjang, mendadak ia terperanjat ketika diketahui ada suatu bayangan lain mengikut dibelakangnya, meskipun tidak kedengaran langkah orang, tapi selain bayangan sendiri ada pula sesosok bayangan lain, ini menunjukkan bahwa ada orang sedang menguntit perjalanannya.
Ia sangat terperanjat, sebelum ia putar badan, tiba2 orang yang ada di belakangnya membentak; "Kurangajar. kau telah bocorkan jejakku, kuhajar kau sampai mampus!"
Kembali Tian Pek terperanjat, pikirnya: "Kapan sih aku pernah bocorkan rahasianya? Apa ia tidak saiah kenal orang?"
Dengan cepat ia berpaling, entah sejak kapan seorang kakek gemuk pendek telah berdiri di hadapannya.
Dilihatnya kakek itu sedang melototi bayangan tubuh sendiri, kembali ia memaki: "Kau berani membocorkan rahasiaku, kuhajar kau sampai mampus!" Sebuah pukulan dahsyat segera dilontarkan pada bayangan tubuhnya yang tercetak di permukaan tanah. Blung, pasir batu beterbangan, betapa dahsyat pukulan itu terbukti dengan munculnya sebuah lubang besar di atas bayangan tubuhnya itu sehingga merusak bentuk bayangan itu. Kakek gemuk itu tidak berhenti sampai di situ, kembali ia lancarkan beberapa pukulan sehingga angin pukulannya men-deru2, pasir muncrat mengotori tubuh Tian Pek.
Tian Pek tertegun dan berdiri ter-mangu2 menyaksikan kehebatan orang, dalam waktu singkat bayangan kakek itu semakin tak berbentuk bayangan manusia lagi.
Dengan terkejut ia berpaling, dilihatnya kakek itu sedang memandangnya dengan sinar mata tajam, ia tunjuk liang di tanah sambil ter bahak2, ujarnya: "Hahaha, makhluk jelek begini harus di-mampuskan. Betul tidak bocah she Tian?"
"Darimana ia tahu aku she Tian?" pikir Tian Pek dengan heran.
Tapi setelah wajah orang itu diamatiaya dengan seksama, tahulah Tian Pek kakek itu bukan lain adalah kakek ketiga yang muncul bersama Hoa Cing-cwan serta Siang Cong-thian tadi, hanya saja ia tidak terlalu memperhatikan orang ini, maka setelah bertemu lagi jadi pangling.
Tapi apa maksudnya muncul di sini serta mengintil di belakangnya?
Sementara ia termenung, kakek itu telah ulur-kan tangannya yang kecil gemuk ke arahnya dan berkata: "Bocah she Tian, serahkan benda itu kepadaku."
Ia ter bahak2 lalu melanjutkan: "Aku ingin tahu apa isi kantong itu sehingga sekali dilihat saja lantas merenggut nyawa si tua she Hoa . . Hahaha, kalau aku juga punya kantong wasiat seperti itu, wah, betapa bahagianya aku!"
Tanpa terasa Tian Pek mundur selangkah, ia memberi hormat dan berkata: "Maaf Cianpwe, benda itu adalah barang peninggalan mendiang ayahku, tak dapat kuserahkan kepada Cianpwe " Kakek gemuk itu mendengus, senyum manis yang semula menghiasi wajahnya lenyap eketika, ia menghardik; "Mau serahkan tidak?" — Kembali terpancar sorot matanya yang bengis seperti ia melototi bayangan tubuh sendiri tadi.
Jeri juga Tian Pek teringat pada pukulanya yang dahsyat tadi, ia menghela napas dan diam2 mengeluh: "O, dasar sial, kenapa hari ini kujumpai kejadian2 yang sukar dimengerti serta manusia2 yang sukar diajak bicara?"
Karena hati kesal. sesaat ia tak mampu mengucapkan sepatah katapun.
Rupanya kakek itu menjadi tak sabar, perlahan ia menghampiri.
Selamanya tak pernah Tian Pek mengelak sesuatu persoalan, tapi lain sikapnya sekarang, ia merasa apa gunanya berurusan dengan orang begini.
Ia bergeser ke belakang lalu berseru: "Maaf Cianpwe, aku tak dapat menemani kau lagi, aku masih banyak urusan!" Tanpa menanti jawaban dia putar badan dan kabur ke tengah hutan.
Mendadak terasa angin mendesir, pandangan Tian Pek jadi kabur, tahu2 kakek gemuk itu sudah mengadang di depsnnya dan menjengek: "Bocah cilik, kau mau kabur? Hehehe, jangan mimpi! Kau kira kakimu bisa lebih cepat daripada aku Hui It-tong?"
Sekalipun Tian Pek belum lama terjun ke dunia persilatan. setelah medengar nama orang, tak urung tubuhnya menggigil juga, diam2 ia mengeluh "Ai, dasar lagi sial, kenapa aku bisa ketemu manusia ini dalam keadaan seperti begini?" batinnya.
Kakek yang bernama Hui It-tong ini bukan saja berilmu silat tinggi, tindak tanduknya sukar diduga, jago kenamaan manapun sedikit-banyak jeri jugi berbadapan dengan jago tua ini.
Tian Pek mengerling dan berusaha mencari akal, tiba2 ia melihat bayangan Hui It-tong, segera ia tuding bayangan itu, serunva keras2: "Hui-locianpwe, coba lihat! Makhluk yang tak tahu diri itu muncul kembali!"
Hui It tong melirik sekejap atas bayangan sendiri, telapak tangannya segera diayun dan akan melancarkan serangan.
Tian Pek amat girang. asal jago tua itu melepaskan serangan segera ia akan kabur pada kesempatan itu.
Siapa tahu tiba2 Lak-jiu tong-sim (Tangan keji berhati bocah) menarik kembali serangannya lalu ter-bahak2: ''Hahaha, biarlah dia datang kalau memang sudah datang, kau angggap aku ini goblok dan gumpang kau tipu? Hehehe, jangan mimpi! Hayo serahkan benda itu kepadaku."
Bersamaan dengan selesainya ucapan tersebut, secepat kilat ia menyambar kantong kecil di tangan Tian Pek.
Anak muda itu menbentak cepat2 ia melompat mundur ke belakang. Tapi Hui It tong lantas ber-gelak tertawa, sekali meraih, Tian Pek merasakan pergelangan tangan kirinya kesemutan, tahu2 kantong kecil itu sudah dirampas orang.
Pemuda itu kaget dan alihkan pandang kesana, dilihatnya Hui It tong sudah berada dua tombak jauhnya dari tempat semula dan sedang berjalan ke dalam hutan dengan berlenggang.
Betapa malu dan gusar Tian Pek ia menjadi kalap dan tak pedulikan segala apa pun, segera ia mengejar ke dalam hutan. Hotan itu cukup lebat, meskipun tampaknya Lak-jiu- tong-sim Hui It-tong berjalan dengan santai, tapi dalam kenyataan kecepatannya sukar dilukiskan, ketika Tian Pek mengitari beberapa batang pohon dan menerjang tiba, tahu2 Hui It-tong sudah kabur jauh dari tempat semula.
Waktu itu si kakek sedang ambil keluar secomot rambut dari dalam kantong terus dibuang ke tanah, lalu makinya: "Wah, rupanya bocah ini agak sinting, tak kusangka bocah ini seorang goblok! Tadinya aku mengira isi kantong ini adalah barang-barang bagus, eh, tak tahunya cuma barang rongsongan begini, Huuh, sialan!"
Sambil mengomel dia ambil keluar mata uang, gotri. biji kancing tembaga dan serat Sutera itu lalu dicecer di tanah, setelah itu ia loncat ke atas tangan kirinya menarik setangkai ranting lemas, sementara tangan kanan bergerak ke atas menggantung kantong kain tersebut di ujung ranting pohon itu.
Tian Pek coba menengadah ke atas, ia lihat ranting itu tiga tombak tmgginya, walau begitu Hui It-tong yang bergelantungan di atas ranting tersebut sama sekali tidak sampci terperosot, tubuhnya bagaikan kapas yang enteng bergelantung, Walaupun ranting itu lemas namun masih cukup kuat untuk menahan badannya yang gemuk.
Tian Pek naik pitam. ia membentak dan segera meloncat keatas, tapi hanya mencapai setinggi dua tombak. lalu merosot kembali ke bawah.
Hui It-tong terbahak-bahak geli, ia berjumpalitan dan berdiri di atas ranting itu sementara sinar matanya yang penuh ejekan dilontarkan pada pemuda itu. Tian Pek tampak murka, ilmu silat yang dimiliki makhluk tua itu jauh di atasnya, tapi ia tak peduli, dengan nekat ia menerjang pula ke atas. Kali ini ia herhasil mencapai ketinggian dua tombak lebih, ranting lemas itu tak jauh lagi di atas kepalanya, cepat tangannya meraih ke atas, tapi sayang ujung jarinya hanya sempat menyentuh ujung ranting dan tak mampu melayang satu inci lebih tinggi ke atas, terpaksa dengan hati men- dongkol ia merosot kembali ke bawah.
Lak-jiu-tong-sim Hui It-tong ter-bahak2 sambil bertepuk tangan kegirangan seperti menyaksikan suatu pertunjukan yang lucu. mendadak badannya miring ke belakang dan seperti terjungkal ke bawah.
Tian Pek mendengus, ia sudah siap asalkan tubuh orang tua itu terjatuh ke tanah, secepat kilat dia akan sarangkan bogem mentahnya ke tubuh orang.
Tapi Tian Pek jadi kecelik, tampaknya saja Hui It tong terjungkal ke bawah, tapi sekali berputar, tahu2 tubuhnya menegak lagi ke atas ia main akrobat seperti kera dan sudah duduk kembali di atas ranting tadi.
Bahkan sambil tertawa ia mengejek: "Hahaha, bocah cilik, kecelik ya? Nah, asal kau mampu melompat kesini, kantong rombengan ini segera ku-kembalikan padamu."
Walaupun sepasang kakinya yang bergelantunpan di udara bergoyang ke sana ke sini, ternyata ranting kecil yang lemas itu hanya tertekan sedikit ke bawah, dari sini dapatlah dibuktikan bahwa orang itu meskipun suka gila2an, tapi kenyataannya ilmu silatnya memang amat tinggi.
Tian Pek menghela napas, ia merasa putus asa dan tak punya semangat lagi, tapi sebelnm ia berlalu dari situ, tiba2 satu pikiran berkelebat dalam benaknya, diam2 ia memaki dirinya sendiri: "Tian Pek wahai Tian Pek, beginikah perbuatan seorang lelaki sejati? Baru msngalami sedikit kesulitan sudah putus asa dan patah semangat, dengan jiwa kerdil seperti ini mana kau mampu melakukan perbuatan besar? Daripada hidup sebagai pengecut lebih baik kau mampus saja!"
Darah panas seketika bergolak dalam dadanya ia terus menyerbu ke bawah pohon, kali ini ia merambat naik lewat dahan pohon, tapi sebelum ia mencapai sasarannya, terdengarlah manusia aneh itu tertawa terbahak-bahak, suara tertawa itu kian lama kian bertambah jauh, tatkala Tian Pek menengadah, ternyata kakek gemuk itu sudah lenyap tak berbekas.
Angin malam berhembus mengguncangkan ranting dan daun, gelak tertawa yang mengandung nada mengejek serta perasaan bangga itu telah lenyap, suasana kembali tenggelam dalam kesunyian.
Dengan termangu-mangu Tian Pek memandang sekeliling tempat itu, ia lihat kantong kecil itu masih berkibar di ujung ranting, diam2 ia memanjat ke atas untuk mengambilnya.
Apa lacur ranting itu panjangnya lebih lima kaki, sedang panjang tangannya tak sampai tiga kaki, bagaimanapun kantong itu gagal ditangkapnya. Kantong itu ber-goyang2 terembus angin, se-akan2 meng-gapai2 padanya.
Tian Pek menggertak gigi, ia tambah nekat, ia terus menubruk ke depan tanpa perhitungan, ketika kantong itu berhasil disambar olehnya, ia sendiripun terjatuh kebawah, untung kuda2nya cukup kuat hingga cuma ter-huyung2 dan tak sampai jatuh terguling.
Untuk sesaat rasa malu, gusar, kecewa dan mendongkol bercampur-aduk, ia tambah gemas ketika diketahui kantong tersebut kini sudah kosong, yang masih tertinggal hanya cabikan kain yang lusuh itu. Walaupun sinar bulan menembus daun pepohonan, namun pikiran pemuda itu tetap diliputi kegelapan. Ia melanjutkan perjalanan tanpa tujuan, se- akan2 telah lupa darimana ia datang dan ke mana dia akan pergi. yang berkecambuk dalam benaknya hanyalah rasa kesal serta kecewa yang menyayat hati, diam2 ia memaki ketidak becusan sendiri. Bukan saja titipan sahabatnya tak dapat dilaksanakan, pesan mendiang ayahnya pun tak mampu dilakukannya, semua benda itu pemberian ayahnya sebelum meninggal sekarang telah lenyap, betapa malu pemuda itu terhadap arwah ayahnya di alam baka.
Ia mulai melakukan pencarian di sekitar tempat itu, ia berharap dapat menemukan kembali benda2 yang dicecerkan manusia aneh yang gila itu, tapi mungkinkah usahanya itu berhasil? Dalam ke-adaan remang2, bayangan manusia saja tak terlihat jelas, apalagi mencari benda sekecil itu?
Sekian lama sudah lewat tanpa terasa, akhir-nya ia berhenti mencari dan berusaha menekan perasaannya yang kalut, kemudian ia lihat dirinya telah berada kembili di tempat semula di mana ia bertemu dengan Yan-in-ngo-pah- thian serta An-lok Kongcu tadi, suasana tetap amat sunyi, tak kelihatan sesosok bayangan mauusiapun, bahkan jenazah Hoa Cing-cwan entah oleh siapa dan sejak kapan juga sudah diangkut pergi.
Tian Pek menghela napas panjang, siapa yang menduga di tempat sunyi ini belum lama berselang telah banyak terjadi peristiwa yang akan mempengaruhi pula hidupnya di masa mendatang, banyak masalah yang tak dipahaminya di waktu lampau sekarang telah dipahaminya, sebaliknya banyak masalah yang telah dipahami dimasa lalu sekarang malah membuatnya bingung. Ia menengadah, memandang rembulan yang bersinar di angkasa, pikirnyar "Entah sekarang sudah jam berapa? Baiklah aku benstirahat sebentar di sini. bila fajar menyingsing aku harus mencari kembali barang2 peninggalan ayah, Ai, toh aku sudah tiada tempat tujuan, lebih lama berada disini juga bukan soal lagi."
Dengan limbung ia menemukan sepotong batu dan berduduk bersandar di dahan pohon, pikiran-nya kian bertambah kusut dan tanpa terasa akhirnya ia tertidur.
Fajar telab menyingsing, tapi Tian Pek masih pulas dalam impiannya, ia merasa ibunda sedang membelai rambutnya dan menina bobokannya.
Lapat2 ia merasa bahunya di tepuk2 orang ketika ia membuka matanya, suara teguran yang lembut segera berkumandang di sisi telinganya: "Angin dingin berembus kencang, kenapa kau tidur di sini? Tidak takut masuk angin?"
Tian Pek membuka matanya, ia lihat seorang nyonya cantik setengah baya berdiri di hadapannya dan sedang memandangnya dengan sinar mata yang penuh kasih sayang.
Tian Pek gelagapan, ia tak tahu apa yang mesti dilakukan.
Perempuan cantik itu tersenyum ramah, katanya "Anak muda jika selagi muda tidak sayang pada kesehatan sendiri, setelah tua nanti kau baru menyesal!"
Tian Pek terkesiap, cepat ia merangkak bangun, ia jadi terharu mendengar kelembutan suara serta perhatian perempuun itu terhadapnya, ingin sekali dia ucapkan bebarapa patah kata, tapi tak tahu apa yang harus dikatakannya, ia hanya bisa berdiri ter-mangu2 saja. Nyonya cantik itu tersenyum, setelah menghela napas panjang, lalu berkata pula: "Seorang pemuda harus mempunyai cita2 tinggi dan perlu banyak ke luar rumah, tapi. ai, apakah di dunia ini masih ada tempat lain yang lebih hangat daripada di rumah sendiri? Coba lihat mukamu yang lesu dan kusut, tampaknya engkau sudah terlalu lama berkeliaran di luar. Anak muda, jangan kau anggap aku terlalu cerewet, lebih baik, lebih baik pulanglah kau!"
Habis bicara dia putar badan terus berlalu dan situ.
Memandangi bayangan punggungnya yang makin menjauh, Tian Pek merasa darah panas dalam dadanya bergolak keras, ia tak dapat menguasai diri lagi, tiba2 ia berseru sambil menghela napas;
"Aku aku tak punya rumah!"
Dua titik air mata tanpa terasa meleleh membasahi pipinya.
Perempuan cantik itu sudah berlalu jauh, tapi ketika mendengar perkataan itu, mendadak berhenti dan berjalan balik.
Tian Pek menyeka air mata yang membasahi pipinya, katanya sambil menghela napas: "Selama hidup, belum pernah kujumpai orang baik seperti
nyonya, aku ..aku jadi tak tahan "
Sorot matanya beralih ke arah kejauhan, ia lihat di ujung hutan sana sebuah kereta yang indah mentereng diparkir di sana, empat orang kekar bersenjata lengkap duduk di atas kuda mengiring di samping kereta, dengan alis terkernyit dan sikap tak senang mereka sedang berpaling ke sini. Tergerak hati pemuda itn, buru2 ia berseru: "Nyonya, bila ada urusan silakan berangkat, selanjutnya aku pasti akan menyayangi jiwaku."
Di mulut ia berkata begitu, dalam hati ia berpikir lain: "Huuh! Apa sih harganya selembar jiwa? Kenapa mesti disayang? Coba kalau tidak mengingat dendam kematian ayah, mati sekarangpun tak perlu kusesalkan Sayang aku belum tahu siapa musuh besar ayahku, lagi barang peninggalan ayah telah kucecerkan."
"Anak muda," nyonya cantik itu bertanya dengan lembut, "kulihat kau masih muda, tapi mengapa ucapanmu begitu rawan se-olah2 ada kesulitan yang tak dapat kaupecahkan? Ai, kebanyakan orang muda memang suka murung. Coba kalau sudah tua seperti aku, meski menanggung kesusahan juga sungkan untuk diucapkan. Anak muda, mengapa kau tidak tersenyum saja? Masa depanmu masih cemerlang, bersemangatlah untuk menyambut kedatangan masa depanmu dan menikmati dengan baik."
Ucapan perempuan itu sangat lembut, Tian Pek ingin selalu mendengarkan perkataannya itu. Ia menengadah, dilihatnya kemurungan yang melekat di wajah perempuan itu se-akan2 jauh lebih mendalam daripadanya. ia jadi heran.
"Pakaian yang dikenakan perempuan ini sangat indah, wajahnya agung, kalau bukan isteri orang berpangkat tentu isteri saudagar besar, masa orang kaya seperti diapun terdapat banyak kesulitan? Sungguh aneh!" demikian pikir Tian Pek.
Setelah termenung sebentar, ia berpikir lebih jauh: "Aku tidak kenal dengan dia, tapi sikapnya terhadap diriku begini baik dan simpatik, jelas dia adalah seorang baik hati dan berbudi, jika ia sendiri sedang mengalami kesulitan. kenapa aku tidak membantu untuk memecahkan kesulitannya?"
Anak muda ini hanya tahu bila ada orang baik kepadanya, maka sepuluh kali lipat ia akan lebih baik kepada orang itu, untuk sementara kesulitan yang mencekam benaknya dikesampingkannva, ia tak mau tahu apakah kesulitan orang bisa di atasi atau tidak, sambil busungkan dada ia berkata pula: "Nyonya, kulihat kau sendiripun menanggung sesuatu masalah yang merisaukan hatimu, bagaimana kalau kau katakan padaku? Meskipun aku tak becus. tapi aku masih mempunyai sedikit kekuatan, asal urusan itu dapat kukerjakan, pasti kubantu nyonya dengan sepenuh tenaga."
Perempuan cantik setengah baya itu tertawa, katanya: "Aku tidak kenal dengan kau, sebab apa kau ingin mmbantuku?"
Tian Pek tertegun, ia jadi gelagapan: "Nyonya, aku tak dapat menjawab pertanyaanmu, sejak aku berkelana tak pernah ada orang yang memperhatikan diriku, tapi sekarang nyonya sangat menaruh perhatian kepadaku, bila aku dapat menyumbangkan tenaga untuk nyonya, o, betapa gembiranya aku!"
Nyonya cantik berusia setengah baya itu merasa terharu oleh perkataan Tian Pek itu, ia menghela napas, katanya: "Ai, anak bodoh, kebetulan saja aku lewat di sini dan melihat kau berbaring di udara terbuka, kukuatir kau kedinginan, maka kubangunkan kau, apakah perbuatanku ini kau anggap luar biasa? Bila aku ada kesulitan dan minta kau melakukannya bagiku, bukankah kau yang terlalu bodoh?"
Tian Pek menghela napas. "Aku tak pintar bicara, apa yang kupikirkan seringkali tak dapat kukatakan keluar!" "Kalau tak dapat diucapkan lebih baik jangan kau katakan," sela nyonya cantik itu sambil goyangkan tangannya. "Pokoknya aku tahu bahwa kau adalah seorang anak baik. maksud baikmu akan selalu kuingat di dalam hati. Ai! Apabila hati anak Jing bisa sebaik hatimu, sungguh aku akan bersyukur. Kenapa Thian selalu membiarkan orang yang baik hati hidup menderita?"
Dengan sinar mata yang lembut dia awasi Tian Pek beberapa saat, kemudian ia berkata lagi: "Jangan lupa pada perkataanku, buanglah jauh2 segala kerisauan, di dunia masih banyak orang yang tak punya rumah, sebagai orang muda janganlah cepat putus asa. ketahuilah segala keindahan yang ada dalam hidupmu harus diciptakan dan dibangun dengan kekuatan sendiri, bila kau tak ber-cita2 dan segan berjuang, maka sepanjang masa hidupmu akan selalu sengsara."
Sambil tersenyum pelahan ia putar badan dan berlalu.
Memandangi bayangan punggung orang yang kian menjauh, Tian Pek merasa se-akan2 baru saja ditinggalkan seorang yang dikasihinya, dia ingin memburu ke sana dan bertanya mengapa ia sendiri tidak membuang jauh2 segala keresahannya?
Tapi nyonya cantik itu telah masuk ke dalam keretanya, empat orang pria kekar yang mengiring di sisi kereta berpaling dan melotot sekejap ke-arahnya penuh kebencian, diiringi suara cambuk berangkatlah kereta itu meninggalkan hutan.
Dengan ter-mangu2 Tian Pek berdiri di bawah pohon, ucapan nyonya cantik itu se-akan2 masih mendengung di sisi telinganya: " . . . . masa depanmu yang cemerlang sedang menanti .... segala keindahan yang ada di dalam kebidupan harus dicipta dan dibangun dengan perjuangan sendiri. " ia meresapi makna dari ucapan tersebut, tanpa
terasa ia jadi melamun.
)****(
Derap kaki kuda yang ramai menyadarkan kembili pemuda itu dari lamunannya, ia menengadah, terlihatlah tiga ekor kuda dengan kecepatan tinggi sedang lari masuk ke hutan dan menghampirinya, ia kenal ketiga orang ini bukan lain adalah laki2 kekar yang mengiringi nyonya setengah baya tadi.
Tian Pek merasa terkejut bercampur keheranan, ia tak tahu apa sebabnya ketiga orang ini muncul kambali setelah berlalu.
Dengan gerak tubuh yang enteng ketiga orang itu melompat turun dari kudanya, dengan langkah yang tegap sambil menyeringai mereka mendekati Tian Pek.
Pelipis mereka tampak menonjol tinggi, badannya kekar dan menyandang senjata dipunggung, sekilas pandang dapat diketahui ilmu silat mereka pasti tidak lemah.
Sementara itu dengan air muka penuh rasa gusar mereka menghampiri Tian Pek, tapi mulut membungkam tanpa bicara apa2.
Tian Pek keheranan: "Aneh, aku tak kenal mereka, mengapa tampaknya mereka marah padaku? Aneh benar kejadian ini? Ai, mengapa aku selalu harus bertemu dengan pelbagai kejadian yang memusingkan?"
Belum lenyap pikiran itu berkelebat dalam benaknya, ketiga orang kekar itu membentak keras, dari tiga jurusan mereka terus menerjang.
Tian Pek terkejut, cepat mundur dua langkah, tubuhnya telah menempel di dahan pohon, dengan sepenuh tenaga ia lancarkan dua pukulan dengan jurus Pak ong-toat-ka ( raja bengis lepas jubah perang ) dan Ji hong-si-pit (seperti tertutup seperti terkunci), untuk menangkis sekaligus balas menyerang.
Tiga orang itu tertawa dingin, bentaknya: "Bocah keparat, serahkan jiwa anjingmu? Huh, mau adu jiwa dengan tuanmu hanya dengan ilmu silat cakar ayam seperti ini? Jangan mimpi di siang bolong" Serentak mereka melancarkan kembali tiga serangan berantai.
Pada dasarnya ilmu silat yang dimiliki Tian Pek tidak tinggi, apalagi pedangnya telah hilang dan badannya penat tentu saja ia bukan tandingan ketiga orang itu yang menyerang dengan sengit, setelah mematahkan beberapa jurus serangan dengan susah payah. Tian Pek berpikir: "Aku toh tiada dendam atau sakit hati apa2 dengan kalian, kenapa tanpa bicara kalian hendak merenggut nyawaku?"
Dasar pemuda yang keras kepala, sudah tentu pertanyaan semacam itu tak sudi diutarakan, jika ia bertanya berarti akan menunjukkan kelemahan din sendiri, matipun dia tidak sudi.
Di pihak lain, ketiga orang itu ber-ulang2 tertawa dingin, serangan yang mereka lancarkan kian lama kian bertambah keji, arah yang mereka tuju pun bagian2 berbahaya di tubuh munusia.
Suatu ketika Tian Pek kurang cermat. dadanya kena dihantam, "Duuk", hampir saja tulang iganya patah. Namun pemuda itu tidak mengeluh atau merintih kesakitan, dengan jurus Lek-pih hoa-san (Membelah bukit Hoa-san) serta Hek hou-tau-sim (harimau hitam mencuri hati) tiba2 ia lepaskan dua pukulan berantai diikuti gerakan Cin poh liau-in (maju ke depan membelah mega), kakinya menendang pinggang orang yang ada di sebelah kanan. Pukulun dan tendangan itu dilancarkan dengan seluruh kekuatan yang dimilikinya, tiga orang kekar itu terdesak mundur selangkah, terutama sekali orang yang ada disebelah kanan, nyaris perutnya termakan tendangan kilat tadi.
Dengan gusar segera ia cabut sebilah golok besar yang terselip dipunggungnya, teriaknya sambil membacok: "Sasaran keras, gunakan senjata dan bereskan dia!"
Berkelebat sinar golok diiringi desiran angin tajam langsung membacok tubuh Tian Pek, sementara dua orang rekannya juga lolos senjata sambil menubruk maju dengan ganas.
"Hei, keparat sialan!" seru mereka sambil ter-bahak2, "kau tahu, sebab apa tuan2 akan menjagal dirimu? Hehehe, rupanya hidupmu yang lalu terlalu banyak berbuat dosa, maka dalam penitisan ini kau harus mati sebagai setan penasaran!"
Tian Pek terkejut bercampur gusur, ia berusaha berkelit ke kiri dan menghindar ke kanan, dengan susah payah akhirnya ketiga serangan lawan berhasil dihindari.
Siapa tahu baru saja ia menarik napas lega, cahaya golok kembali menyambar. dalam keadaan begini tak mungkin lagi baginya untuk menghindar, tanpa ampun kakinya termakan bacokan dengan telak.
Diam2 Tian Pek mengeluh, ia tahu gelagat jelek, walaupun mati-hidup tak terpikir lagi, tapi teringat akan dendam kesumat ayahnya, pemuda itu merasa mati tak tenteram bila tugas itu belum berhasil diselesaikan.
Semangatnya kembali berkobar, dengan sepenuh tenaga ia layani serangan lawan, rasa sakit di kakinya tak dihiraukan lagi. Mendadak, "ciass", lengan kirinya kembali tersambar golok musuh hingga muncul sebuah luka panjang.
Dalam keadaan demikian. meskipun semangat tempurnya ber-kobar2 tapi rasa sakit di tubuhnya membuat pemuda itu tak sanggup mempertahankan diri, ia jadi nekat. sambil membentak ia menubruk ke depan dan memeluk pria sebelah kanan erat2, ia hendak adu jiwa dengan musuhnya itu.
Keadaan amat kritis tampaknya jiwa pemuda itu bakal melayang di ujung senjata lawan ....
Syukur pada saat itu mendadak dari luar hutan berlari masuk seekor kuda, sebelum tiba orang yang ada di atas kuda lantas membentak: "Tan Cing. Tan Heng, hentikan perbuatan kalian!"
Suara bentakan itu nyaring dan merdu. orang itu ternysta bukan lain daripada nyonya cantik setengah baya tadi.
Ketiga orang itu saling pandang sekejap, lalu mundur ke belakang, orang yang ada di kanan masih memaki: "Bocah keparat, kalau kau berani bicara lagi dengan nyonya kami .
.. "
"Plok", sebuah tamparan mendadak mampir di pipinya. Dengan terkejut orang itu menengadah, wajahnya berubah hebat, tahu2 si nyonya cantik sudah berada di depannya.
"Hei, apa katamu? tegur nyonya itu dengan gusar.
Pria kekar itu meringis kesakitan, namun tak berani menjawab sepatah katapun.
Kembali nyonya cantik itu menjengek: "Hm, tingkah- laku kalian kian lama kian tak genah. sedikit2 lantas main serang, coba pentang matamu, lihatlah, usianya kan sebaya dengan Jing-siauya? Sekalipun Loya tahu aku berbicara dengan dia juga tak nanti dia akan menegur, tapi kalian tidak lebih hanya budak2 hina yang pandai menjilat, berani kalian campur urusanku? Untung aku segera memburu kemari, kalau tidak bukankah anak muda ini sudah kalian bunuh?"
Paras ketiga orang itu berubah hebat, namun mereka tak berani bicara, kepala mereka tertunduk rendah2.
"Cepat enyah dari sini!" kembali nyonya cantik itu membentak.
Dengan munduk2 ketiga orang itu mundur ke belakang. kemudian putar badan dan kabur dari situ, bukan saja mereka tak berani berpaling, kuda merekapun ditinggalkan begitu saja.
Tian Pek sama sekali tidak hiraukan rasa sakit pada lukanya walaupun sebetulnya rasa sakit yang dideritanya terasa merasuk tulang, ketika berjumpa untuk pertama kalinya tadi, ia mengira nyonya cantik ini adalah seorang perempuan lemah malahan ia menyatakan akan membantu segala, tapi setelah menyaksikan cara nyonya itu menampar pengiringnya, barulah diketahui bahwa ilmu silat orang sebenarnya jauh lebih hebat daripada kepandaiannya.
Pemuda itu lebih kagum lagi setelah dilihatnya nyonya itu memaki anak buahnya habis2an. sebalik-nya ketiga orang itu bukan saja tak berani membantah, bahkan kelihatan sangat ketakutan.
"Siapa gerangan perempuan ini? Besar amat pengaruhnya!" demikian pikir Tian Pek.
Serelah ketiga orang tadi keluar hutan barulah nyonya cantik itu berpaling dan menghampiri Tian Pek. "Terima kasih nyonya atas bantuanmu!" seru Tian Pek sambil menyengir. "Kalau engkau tidak datang tepat pada waktunya .."
Belum habis ucapannya, tiba2 nyonya itu menudingnya sambil berseru tertahan.
Tian Pek tertegun dan menengadah, ia lihat nyonya cantik itu sedang menatap wajahnya dengan penuh perhatian.
"Amk muda, tahukah kau bahwa kau menderita sakit?" tegurnya lembut.
Tian Pek tersenyum getir dan menggeleng.
"Tadi aku tidak terlalu memperhatikan" ujar nyonya itu lagi, "aku hanya merasa tidak sepantasnya kau tidur di udara terbuka, tapi sekarang
Ai, coba, kalau sampai hawa dingin merasuk ke dalam tulang bagaimana jadinya.."
Tian Pek ter-mangu2, ia merasa betapa lembut dan kasih sayangnya nyonya cantik ini, selama hidup belum pernah ia alami kejadian seperti ini-Seketika ia menjadi kesima.
Akhirnya pemuda itu sadar dari lamunannya, buru2 ia menjura seraya berkata: "Sejak muda aku mengembara seorang diri, kebaikan nyonya sungguh sangat mengharukan hatiku, budi kebaikan ini akan selalu terukir di dalam hatiku."
Setelah berhenti sejenak, lanjutnya kemudian: "Aku merasa tubuhku cukup kuat, walaupun sudah terluka, kuyakin masih sangeup mempertahankan diri, nyonya tak usah merisaukan keadaanku!"
Nyonya cantik itu menggeleng kepala berulang kali, ucapnya; "Ai, anak muda, tahukah kau, meskipun di luar tak kau rasakan, tapi sinar matamu telah pudar, menurut pandanganku, bukan saja kau telah terluka, bahkan sakit bagian dalam juga parah sekali. Ketahuilah, bagi orang yang belajar silat, kalau tidak sakit mendingan, begitu sakit maka keadaannya akan jauh lebih parah daripada orang biasa. Ai, kau masih muda, banyak masalah yang belum kau ketahui, percayalah padaku, tak nanti kubohongi kau!"
"Benarkah aku terluka parah dan sakit?” batin Tian Pek.
Ia coba atur pernapasan, betul juga, bagian dada terasa sakit seperti sesak, ini menandakan bagian dalam sudah terluka.
Nvonya cantik itu menghela napas, katanya lagi: "Turutilah perkataanku, pulanglah ke rumah atau carilah seorang sahabat karibmu, baik2 beristirahat dan rawatlah lukamu "
Ia keluarkan sebuah kotak kecil yang mungil dan tertatahkan mutu manikam, dari dalam kotak itu dia ambil keluar sebuah bungkusan kecil, ketika kain pembungkus itu dibuka, ternyata isinya adalah sebutir pil warna merah darah.
Diambilnya pil merah itu dengan jepitan jari, lalu diangsurkan ke depan mulut Tian Pek.
"Karena kelalaianku, hampir saja nyawamu melayang di tangan manusia2 dungu itu dan sekarang kau terluka parah, ai ! Meskipun kau takkan
salahkan aku, tapi dalam hati aku merasa tidak enak, pil merah ini sudah banyak tahun kusimpan, ambil dan makanlah, mungkin akan memberikan banyak manfaat bagimu!"
Tian Pek terima obat itu, ia lihat pil yang berwarna merah itu bergelindingan di tangannya, mendadak pemuda itu teringat pada nasibnya sendiri, dengan sedih ia bergumam lirih: "Aku. . . aku tak punya rumah, juga tak punya sahabat, aku tak punya rumah..tak punya sahabat!"
Rasa sedih yang melampaui batas membuat darah bergolak dalam dadanya, ia merasa pil merah yang bergelindingan ditelapak tangannya makin lama semakin cepat dan berubah menjadi bara yang membakarnya akhirnya darah segar tertumpah keluar dari mulutnya, ia mundur dengan sempoyongan dan akhirnya roboh.
Sesaat sehelum ia jatuh pingsan, ia masih sempat mendengar jeritan kaget si nyonya cantik.
Dalam keadaan tak sadar, Tian Pek cuma merasakan guncangan dan suara roda kereta, terdengar pula suara gemercik air, namun sebegitu jauh benaknya tetap keruh, terkadang ia merasa dirinya telah kembali kepada masa kanak2 dulu dan berada dalam pangkuan ibunda yang tercinta, lain saat merasa dirinya sedang bertempur dengan beberapa pengerubut yang bersenjata tajam, sebentar menang. sebentar lagi dirinya malah dirobohkan musuh dan tubuh sendiri seperti di-sayat2 oleh senjata musuh yang tajam itu.
Akhirnya semua khayalan itu lenyap, suasana menjadi hening kembali.
Dengan bimbang ia membuka matanya, benak-nya terasa kosong, pandangannya juga buram. Selama beberapa hari ini memang dilewatkannya dalam keadaan tak sadar. dengan sendirinya akan timbul keadaan demikian sekarang.
Agak lama juga sorot matanya yang buram dan kaku itu bergerak sedikit, lambat laun benda yang dipandangnya mulai kelihatan jeias. Ternyata dirinya berada dalam sebuah kamar yang mewah, di tepi pembaringan ada sebuah meja kecil yang terbuat dari batu kemala hijau, di atas meja terletak sebuah hiolo kecil, asap dupa yang berbau harum mengepul memenuhi seluruh ruangan.
"Rumah siapakah ini?" inilah ingatan pertama yang berkelebat dalam benaknya. "Kenapa aku ini? Apa yang terjadi? Bukarkah aku sedang mengawal
Barang? Ah, tidak, aku sudah tinggalkan rombongan mereka."
Semua kejadian yang dialaminya malam itu, satu persatu terbayang kembali dalam benaknya.
Tian Pek yakin pastilah nyonya cantik itu yang telah menolongnya ketika ia jatuh pingsan waktu itu. "Tapi siapakah dia? Kenapa dia menolong aku?" Barang siapa berjumpa dengan nyonya itu pasti akan menduga kalau dia adalah nyonya seorang pembesar atau nyonya hartawan, tapi bila teringat kembali tindakannya yang menghukum ketiga orang anak buahnya, jelas nyonya itu berkepandaian tinggi, lalu siapa gerangan nyonya cantik itu?
Entah lewat berapa lama pula, Tian Pek merasa pikirannya bertambah ruwet, ia coba meronta bangun tapi seluruh badan terasa lemas dan sama sekali tak bertenaga, akhirnya ia menghela napas dan memandang keluar jendela.
"Andaikata ayahku tidak mati, o betapa bahagianya
hidupku ini! O, ayah, sebelum mengembuskan napas terakhir mengapa tak kaukatakan siapa pembunuh yang telah membinasakan dirimu itu.
Tapi sekaiipun aku tahu, lalu apa gunanya? Aku tidak lebih cuma seorang pemuda yang tak berguna, untuk menjaga barang peninggalan ayah-pun tak mampu, apalagi membalaskan sakit hatinya."
Rasa sedih dan pilu kembali menyelimuti benaknya, tanpa terasa ia menghela napas panjang.
Tiba2 ia merasakan sesuatu yang aneh, hatinya berdebar keras sepasang sorot mata yang dingin menyeramkan sedang mengawasi wajahnya tanpa berkedip.
Ruangan itu tak bercahaya, tapi sinar rembulan memancar masuk lewat jendela, ia lihat orang itu berjubah biru wajahnya tampan dan berkulit halus, tapi juga keiihatan angkuh dan dingin.
Tian Pek merasakan jantungnya berdebar keras meskipun sedang sakit, ia percaya pendengarannya masih cukup tajam, suara cengkerik dan embusan
angin di luar jendelapun masih dapat didengar dengan jelas, apalagi suara langkah manusia.
Tapi sejak kapan orang itu muncul di sini? Bukan saja ia tak tahu, bahkan sedikit suarapun tak terdengar olehnya. Pemuda yang tampan tapi bersikap angkuh itu se-akan2 muncul dengan sendirinya seperti badan halus saja.
Dengan sinar mata yang dingin menyeramkan, pemuda itu menghampiri pembaringan, lalu menegur ketus: "Siapa kau?"
"Aku aku..” Tian Pek gelagapan.
"Aku tak peduli siapa kau, hayo cepat enyah dari sini!" hardik pemuda itu lagi dengan mata melotot.
Mendapat perlakuan yang kasar, Tian Pek menjadi gusar. ia tertawa dingin: "Saudara, siapakah kau? Aku tak pernah kenal kau, bila bicara hendaknya tahu aturan sedikit!"
Air muka pemuda itu kaku dingin, sinar matanya yang tajam menatap wajah lawan bagaikan tusukan pedang ia mendengus, lalu berkata pula sepatah demi sepatah: "Kau tahu siapakah diriku? Kau tahu tempat apakah ini?"
Kembali Tian Pek tertegun, dalam hati ia membatin: "Siapakah orang ini? Tempat apakah ini? Mungkinkah dia tuan rumah tempat ini? Tapi... . mengapa nyonya cantik yang berwajah agung itu membaringkan aku di sini tanpa sepengetahuan-nya?"
Pelbagai kecurigaan timbul dalam benaknya, hawa amarahpun berangsur mereda, ia berusaha meronta bangun, tapi sayang tubuhuya masih lemas tak bertenaga, baru saja badannya terangkat sedikit, ia roboh kembali ke atas pembaringan.
Agaknya pemuda itupun terkejut, tapi dengan cepat ia mendengus: "Hm, rupanya kau terluka, lalu siapa yang membawa kau kemari?"
Ia maju mendekat dan membenarkan letak Hiolo di atas meja kecil itu, kemudian dengan ketus katanya lagi: "Kurangajar, dupa liur-nagaku juga berani dipasang!"
"Jadi engkau adalah tuan rumah tempat ini?" seru Tian Pek terperanjat.
"Hm, kalau aku bukan tuan rumah, memangnya kau tuan rumahnya?"
Tian Pek menjadi rikuh sendiri setelah mengetahui pemuda itu adalah tuan rumahnya, cepat dengan nada minta maaf ia berkata: "O, ma .... maaf! Aku benar2 tak tahu tempat manakah ini, dan tak tahu pula bagaimana caranya aku bisa tiba di sini? Kalau engkau adalah tuan rumah di sini, tolong gotonglah aku keluar dari sini. Ai, aku…"
"Apa? Jadi kau tidak tahu tempat apakah ini? Dan tak tahu cara bagaimana tiba di sini? Huh, omong kosong!" damperat pemuda itu dengan mata melotot.
Tiba2 is putar badan lalu bentaknya lagi; "Aku tak peduii kau terluka atau tidak, pokoknya segera enyah dari sini. Bila sampai aku sendiri yang turun tangan . . . Hm, nasibmu bisa lebih mengenaskan!"
Dalam hati Tian Pek merasa menyesal, meski mendongkol, tapi iapun dapat memaklumi sikap pemuda itu, sebab kalau dia sendiripun mengalami kejadian ini, umpama ada orang tidur di atas pembaringannya tanpa sepengetahuannya, tentu iapua akan marah.
Sedapatnya ia tahan peraenannya, ujarnya "Memang sepantasnya aku berlalu dari sini bila engkau memang tuan rumah di sini, aku hanya mohon kepadamu janganlah memaksa orang dengan kata2 yang kasar, ketahuilah kedatanganku kemari bukan atas keinginanku sendiri!"
"Tak perlu banyak omong," sela pemuda itu, "pokoknya kalau dalam seminuman teh kau belum enyah dari sini, terpaksa akan kuusir dengan kekerasan "
Betapapun sabarnya Tian Pek juga ada batas-nya, setelah mendapat perlakuan sekasar itu jadi tak tahan juga, jawabnya segera: "Huh, terhituns Enghiong (ksatria) apa kau ini? Kukira kau cuma berani terhadap orang yang sedang sakit."
"Hm, jadi kaukira bila kau tidak sakit lantas aku tak berani padamu?"
"Siapa tahu memang begitu?!" jengek Tian Pek. Sebenarnya Tian Pek tidak ingin ribut, semula ia bermaksud memheritahu kedatangannya ini mungkin dibawa oleh nyonya cantik itu, tapi sejauh itu ia tidak tahu siapa nama orang, pula bila ingat pada sikap serta percakapan si nyonya dengan pengiring2-nya, ia menjadi kuatir keterangannya mungkin akan membikin susah orang.
"Tian Pek wahai Tian Pek, lebih baik kau dilempar keluar oleh pemuda ini daripada menyusahkan oraag lain ..
. . " deimkian ia membatin
Tak terpikir olehnya bila kedatangannya adalah kerena dibawa nyonya cantik itu, besar kemungkinan nyonya itu mempunyai alasan yang kuat dan mungkin pula nyonya itu mempunyai hubungan yang erat dengan pemuda ini, kalau tidak bagaimana bisa terjadi seperti sekarang ini?.
Pemuda tadi memandang sekeliling tempat itu tiba2 ia menghampiri pembaringan dan duduk di samping Tian Pek, dengan cepat ia cengkeram urat nadinya.
Tian Pek terkejut bercampur heran, tapi badannnya memang lemas tak bertenaga, mau melawanpun tak sanggup, dalam keadaan begini ia mandah pergelangannya dipegang orang.
Waktu ia pandang lawannya, ia lihat pemuda itu berkerut kening rapat2, sejenak kemudian ia cekal pula pergelangan tangan Tian Pek yang lain, sesudah termenung sejenak, dengan rasa heran dan terperanjat ia berjalan mondar-mandir dalam ruangan, akhirnya tanpa mengucapkan sepatah katapuin ia berlalu dari situ.
Memandang bayangan punggungnya yang lenyap dibalik pintu, Tian Pek keheranan, pikirnya: "Bukankah pemuda itu mengusir aku? Kenapa ia malah pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun sesudah memeriksa denyut nadiku? Mungkinkah ada sesuatu yang aneh?" Ia berpikir lebih jauh: "Walaupun tidak terasa sakit, tapi sekujur badanku amat lemas dan tak bertenaga, kesadaranku punah selama beberapa hari, rupanya sakit yang kuderita cukup parah, meski begitu, kenapa aku tidak merasakan penderitaan sehabis sakit? Kenapa bisa begini?"
Ia merasa apa yang dialaminya selama beberapa hari benar2 luar biasa, tidak sebuah persoalan-pun yang berlangsung secara wajar, ia berusaha mem-buang jauh2 ingatan tersebut dan tidak ingin memikirkan kembali, sorot matanya dialihkan keluar jendela.
Angin mengembus sepoi2 menggoyangkan pohon liu, bau harum menyebar di seluruh ruangan membuat suasana bertambah nyaman, sebagai orang miskin belum pernah menjumpai kemewahan seperti ini, Tian Pek berpendapat asal-usul nyonya cantik dan pemuda sombong itu tentu luar biasa, walaupun dihati ia tak ingin memikirkan persoalan yang sama sekali tiada sangkut paut dengan dirinya itu, tapi pikiran yang kalut membuatnya mau-tak-mau harus memikirkannya juga.
Sementara dia masih melamun, tiba2 terdengar suara ketus si pemuda sombong tadi berkumandang kembali dari luar pintu: "Beberapa hari ini udara sangat panas, kukira kalian pasti malas untuk bekerja, lebih baik ambil cuti musim panas saja!"
Bayangan orang berkelebat, sambil bergendong tangan, dengan memandang langit2 ruangan pemuda sombong itu muncul kembali walaupun mukanya kaku tanpa emosi namun cukup membuat jeri siapapun yang memandangnya.
Tian Pek pandang keluar sana, dilihatnya empat lelaki kekar yang berpakaian ringkas mengikut jauh di belakangnya dengan tangan lurus ke bawah, walaupun gerak-geriknya masih cekatan dan gagah, namun muka mereka pucat, rasa takut jelas keiihatan pada wajah mereka, agaknya cuma beberapa patah kata si pemuda sombong tadi telah cukup membuat mereka ngeri.
Sementara itu si pemuda congkak sedang mendengus. sambil menuding Tian Pek yang berbaring di pembaringan ia bertanya dengan suara ketus: "Siapa orang ini' Enak saja tidur di atas pembaringanku. Hm, kutahu kalian sudah biasa hidup leha2, tapi mata kalian kan belum buta? Apakah kalian tak melihat semua ini?"
Keempat orang kekar itu semakin ketakutan meski ucapan pemuda itu tidak keras.
Dengan tak tenang Tian Pek ikuti jalannya peristiwa itu, timbul rasa kasihan dalam hatinya dem1 melihat rasa takut keempat orang itu, pikirnya: "Ai, sama2 manusia, mengapa ada orang yang harus di-kasihani seperti mereka?"
Melihat kecongkakan pemuda itu, timbul juga rata dongkol dalam hati kecilnya, pikirnya pula: "Orang ini masih muda belia, tapi lagaknya sok menang sendiri, se- olah2 tiada seorangpun yang ter-pandang olehnya."
Tapi pikiran lain segera berkelebat dalam benaknya: "Hal inipun tak dapat menyalahkan dia. Andaikata ada orang berbaring di atas pembaringanku dan orang itu sama sekali tak kukenal, mungkin aku pun demikian."
Ia ingin segera bangkit dan meninggalkan tempat ini, ingin mengucapkan beberapa patah kata untuk memberi penjelasan kepada pemuda sombong itu,
Tapi sayang, hasrat ada tenaga tak sampai, baik berdiri maupun bicara tak sanggup dilakukan olehnya, untuk beberapa saat ia merasa malu, sedih. gusar dan mendongkol, dia hanya bisa termangu sambil mengawasi orang. Dengan sorot mata yang tajam pemuda itu kembali melotot ke arah keempat pria kekar tadi, serunya: "Jika kalian sudah merasa cukup berisirahat silakan segera turun tangan dan angkut orang ini keluar ruangan!"
Nadanya sungkan tapi suaranya ketus, matanya memandang langit2, sama sekali tak di pandang lagi orang lain.
Dengan munduk2 keempat orang kekar itu mengiakan, mereka segera menghampiri Tian Pek.
Tian Pek tahu sebentar lagi dirinya pasti akan digotong keluar oleh keempat orang itu. seketika darahnya bergolak pula. dengan sepenuh tenaga ia membentak: "Berhenti!"
Keempat orang itu berhenti serentak, sementara orang yang berjalan paling akhir berpaling sekejap ke belakang dengan rasa jeri.
Namun pemuda jumawa itu masih tetap memandang langit2 ruangan tanpa peduli, se-olah2 sama sekali tidak mendengar bentakan Tian Pek.
Rasa malu, gusar, mendongkol berkecamuk dalam dada Tian Pek, ia rela mati di tempat daripada digotong keluar, sebab hal itu merupakan suatu penghinaan yang besar baginya.
Sementara keempat orang kekar itu tadi telah melangkah maju pula menghampiri pembaringan.
Sekali lagi Tian Pek membentak gusar, dengan sikutnya ia coba menopang tubuhnya untuk bangkit, ia lebih rela merangkak keluar kamar itu daripada harus digotong orang.
Tapi sayang, sepasang lengannya yang biasanya sangat kuat kini terasa lemas tak bertenaga, Baru saja badannya meronta bangun, dengan lemas terkulai kembali di atas pembaringan.
Dengan putus asa akhirnya ia pejamkan matanya rapat2, ia harus menerima penghinaan dengan pasrah, sekalipun hatinya terasa amat sakit bagaikan di—iris2.
Langkah yang berat dari keempat orang itu kian mendekat pembaringan.
"Tahan!" tiba2 dari luar jendela berkumandang suara bentakan nyaring.
Dengan hati berdebar Tian Pek membuka matanya, ia lihat sesosok bayangan hitam melayang masuk.
Gerak tubuh orang sangat enteng dan cepat-nya sukar dilukiskan, baru saja ia berkedip tahu2 orang sudah berdiri di depan pembaringan.
Empat orang kekar tadi menjerit kaget tertahan lalu sama berhenti dan memberi hormat, sikap mereka sangat hormat dan tubuh yang dibungkukkan hingga lama belum juga ditegakkan kembali.
Pemuda sombong itupun alihkan pandangannya dari langit2 rumah ke atas tubuh si pendatang ini alis matanya berkernyit, ia melangkah maju dan tegurnya: "Mau apa kau datang kemari?
Sekalipun nadanya tak senang hati, tapi tak sedingin dan seketus tadi.
Diam2 Tian Pek heran: "Siapakah orang ini? Kenapa sikap keempat orang kekar itu begitu tunduk dan hormat padanya?"
Pendatang yang berbaju hitam itu berdiri membelakangi pembaringan. walaupun Tian Pek tak dapat melihat raut wajahnya, tapi dari potongan tubuhnya yang ramping ia tahu bahwa orang itu pasti perempuan.
"Mungkinkah dia ini nyonya cantik setengah baya yang agung dan berwibawa itu?" pikir Tian Pek.
Ramping amat pinggang gadis itu, potongannya indah dan padat berisi, rambutnva digelung dengan tusuk kundai yang indah, tangannya putih mulus dengan jari yang panjang, bentuk badan seperti ini sama sekali berbeda dengan potongan si nyonya cantik itu.
Tian Pek tambah sangsi, ia merasa bukan saja asal-usul si nyonya cantik, pemuda sombong serta gadis baju hitam ini penuh teka-teki, bahkan bangunan rumah yang megah ini se olah2 menyimpan sesuatu rahasia yang maha besar.
"Siapakah mereka sebenarnya? Tempat apakah ini?" pertanyaan ini bcrkecamuk dalam benaknya. "Mungkinkah rumah seorang jago persiiatan? Atau rumah orang kaya? Atau mungkin istana pembesar atau bangsawan?"
Ia lihat kecuali tangannya lurus ke bawah, perempuan baju hitam itu sama sekali tak bergerak, dari tempat semula, tubuhnya berdiri kaku di depan pembaringan, meskipun raut wajahnya tak nampak, tapi Tian Pek dapat merasakan betapa dingin, angkuh tapi cantik dan agungnya.
Suasana jadi dingin memheku, keempat pria kekar tadi saling berpandangan sekejap, diam2 mereka geser kaki dan rupanya bendak berlalu dari ruangan itu
Belum jauh mereka bergeser, tiba2 perempuan baju hitam itu membentak lagi: "Berhenti!"
Dengan hati kebat-kebit empat orang itu berhenti, berdiri kaku di tempat dan sama sekali tak berani berkutik lagi. "Apa yang telah kalian lakukan tadi?" tegur perampuan baju hitam.
Walaupun suaranya lembut, tapi nadanya dingin dan kaku, jauh berbeda dengan potongan tubuhnya yang menggiurkan.
"Ai, kenapa juga begini dingin dan ketus suara nona ini? Aneh, benar2 aneh!" pikir Tian Pek. Ia hanya bisa berbaring saja tanpa berkutik kendati-pun apa yang terjadi dalam kamar ini erat hubungannya dengan dia, akan tetapi kecuali menonton saja boleh dikatakan apapun tak dapat dilakukan olehnya, bahkan bicarapun tidak.
Sebaliknya orang2 yang berada dalam kamar tupun tak ada yang menaruh perhatian lagi padanya, se-akan2 dalam ruangin itu tiada terdapat seorang seperti dia.
Dengan sorot mata ketakutan keempat orang tadi memandang sekejap ke arah nona baju hitam kemudian cepat2 mei unduk kembali, lalu dengan
suara gemetar menjawab: "Kongcuya memerintahkan kami untuk menggotong keluar Siangkong (tuan muda) ini, maka maka "
"Hm, penurut amat kalian!" sindir nona baju hitam sambil mendengus. Ia lantas berpaling ke arah pemuda jumawa itu, kemudian, tegurnya dengan dingin: "Jadi kau yang suruh mereka menggotong keluar orang itu?"
"Mau apa kau ikut campur urusan ini7" kata pemuda jumawa itu dengan dahi berkerut. "Apa aku tak boleh suruh orang menggotong keluar seorang yang sama sekali tak kukenal dari atas pembaringanku? Apa sangkut-pautnya dengan kau?"
Sambil mendengus ia berpaling dan melotot gusar ke arah keempat orang tadi. Empat orang itu semakin ketakutan, dengan sinar mata ngeri mereka melirik sekejap pemuda jumawa itu, sebentar melirik pula ke arah si nona baju hitam, bibir mereka bergetar seperti mau mengucapkan sesuatu, tapi tak sepatah-katapun yang keluar.
"Begitu macamnya seorang tokoh persilatan yang termashur karena kecerdasan dan akalnya?" omel si nona baju hitam dengan ketus. "Hm, kulihat otakmu sebetulnya goblok dan akalmu terbatas sekali, apa kau tak dapat berpikir jika pemuda ini tiada asal-usul tertentu bagaimana mungkin dia lari kemari untuk merawat lukanya? Kau kira orang seisi rumah ini sudah mampus semua?"
Sorot mata sang pemuda yang angkuh tetap menatap keempai pria kekar itu, katanya tanpa menoleh: "Kukira lebih baik kalian mampus semua saja daripada cuma setengah hidup setengah mati, hm "
"Siapa yang kau maksudkan?" tiba2 nona baju hitam itu melompat ke depan pemuda jumawa tadi, "Jelaskan perkataanmu itu!"
Pemuda jumawa itu melirik sinis jawabnya kemudian: "Hm, kenapa mesti bersitegang? Aku kan tidak maksudkan dirimu!'
"Hm, kutahu sekarang kau adalah seorang pahlawan besar, seoraang pendekar tersohor dalam dunia persilatan, tentu saja tak kau pandang sebelah mata pada encimu yang tolol seperti diriku ini! Tapi .... hm, masa kau juga tak pandang sebelah mata terhadap ibu?"
Air muka pemuda jumawa itu berubah hebat, tiba2 ia berpaling: "Apa katamu? Kau maksudkan beliau yang membawa pemuda asing ini untuk merawat lukanya di sini?" Setelah mendengar tanya-jawab itu baru Tian Pek tahu duduk perkara yang sebenarnya pikirnya. "O, kiranya pemuda ini adalah putera nyonya cantik itu."
Teringat pada kemurungan si nyonya waktu bioara padanya, kembali ia berpikir: "Kenapa ia murung dan kesal? Tidak seharusnya ia bersikap sedih
Begitu. Dari ucapannya, agaknya dia kecewa terhadap puteranya, mengapa begitu? Bukankah puteranya ganteng dan muda, juga punya nama tersohor di dunia persilatan, sedang aku "
Teringat keadaan sendiri, Tian Pek menghela napas dan tak berani berpikir lebih jauh.
Pembaringan yang empuk, selimut yang halus membuat tubuhnya terasa nyaman tapi sorot mata sang pemuda yang begitu dingin dan memandang hina. membuat tubuhnya se- olah2 berada dalam gudang es.
Sementara itu si nona baju hitam sedang berkata lagi: "Jika bukan suruhan ibu, siapa yang berani membawa orang ini masuk ke kamarmu "
Tiba2 bicaranya berhenti, Tian Pek merasa pandangannya jadi kabur dan tahu2 ' plak-plok, plak-plok", suara tamparan nyaring berkumandang susul-menyusul
Dengan keheranan ia berpaling, dilihatnya keempat orang pria kekar itu tadi berdiri di depan pintu sambil memegangi pipi sendiri, rasa kaget dan takut tampak menyelimuti wajah mereka. Sedang si pemuda jumawa tampak melototi si nona baju hitam dengan sorot mata gusar.
Tian Pek jadi terkejut, ia berpikir: "Mungkinkah dalam waktu sesingkat tadi ia telah menempeleng keempat orang itu? Cepat benar gerak tubuhnya!" Jelek2 Tian Pek pernah giat berlatih silat, tapi setelah menyaksikan kelihayan nona baju hitam itu, hatinya jadi terperanjat, ia sadar jika kepandaian yang telah dilatihnya selama ber-tahun2 itu dibandingkan dengan kepandaian si nona maka ibaratnya cahaya rcmbulan berbanding cahaya kunang2.
Dengan tatapan tajam, pemuda jumawa itu awasi wajah si nona, lama sekali baru ia berseru: "Cici, engkau tahu anak buah siapakah mereka itu?"
"Hm, kecuali Leng-hong Kongcu (Tuan muda angin dingin) Buyung Seng-yap. siapa lagi yang sesuai menjadi majikan mereka?" jengek si nona.
Tian Pek terperanjat demi mendengar nama itu: "O, rupanya pemuda ini adalah satu di antara empat Kongcu terkenal, yaitu Leng-hong Kongcu yang paling tak berbudi."
Meskipun belum lama ia terjun ke dunia persilatan, tapi nama besar Bn-lim-su-kongcu (empat tuan muda dari dunL persilatan) sudah amat tersohor hingga diketahui oleh setiap orang, maka iapun tahu bahwa di antara ke empat orang Kongcu itu maka An-lok Kongcu paling romantis, Toan- hong Kongcu piling susah dicari jajaknya, Leng-hong Kongcu paling tak berperasaan dan tak berbudi, Siang-lin Kongcu paling simpatik.
Berpikir sampai di sini, Tian Pek alihkan pandangannya pada wajah Leng-hong Kongcu, ia lihat meskipun pemuda itu sedang gusar, namun wajahnya tetap kaku tanpa emosi, dalam hati ia ia lantas berpikir "Ai orang bilang Leng-hong Kongcu adalah seorang manusia tak berperasaan, ternyata berita ini bukan berita kosong belaka, dalam kenyataan ia benar2 tak kenal arti perasaan."
Leng-hong Kongcu mencibir bibirnya yang tipis sambil mengawasi dara baju hitam tanpa berkedip, lalu mendengus. katanya: "Hehe, bagus, bagus sekali, suugguh tak nyana, bukan saja aku tak dapat mengatur kamarku sendiri, untuk menghukum anak-buahku pun terpaksa harus merepotkan diri-mu, baik, baik .... baik sekali " Diiringi
suara teitawa dingin ia terus putar badan dan berlalu.
Melihat kepergian majikannya, keempat orang kekar tadi tampak agak tertegun, mereka melirik sekejap ke arah si nona baju hitam dengan ketakutan, keadaan mereka mengenaskan sekali, mau mundur takut tetap di situ salah, terpaksa dengan air muka serba susah mereka berdiri melongo.
Dara baju hitam itu sendiri masih tetap berdiri tak bergerak di tempat semula, tubuhnya tampak agak gemetar, lama sekali ia tertegun, akhirnya sambil menghela napas sedih ia berkata kepada keempat orang itu: "Kongcu sudah pergi, untuk apa kalian masih berdiri di situ?"
Seperti mendapat pengampunan besar, buru2 keempat orang itu mengiakan dan segera berlari pergi.
Ruang yang indah dan mewah pulih kembali dalam kesunyian, Tian Pek berbaring di atas pembaringan diam2 menarik napas lega, walaupun rasa tak tenang masih menyelimuti hatinya.
Ia sadar kendatipun ancaman pengusiran untuk sementara waktu dapat dihindari, namun itu tidak langgeng sifatnya, karena setiap saat ancaman serupa dapat terjadi pula, padahal lukanya belum sembuh, maka diam2 ia cemas dan kuatir.
Iapun sangat berterima kasih terhadap si nona biju hitam itu, tapi seketika ia jadi gelagapan dan tak tahu cara bagaimana mengutarakan perasaannya. Tiba2 nona baju hitam itu menghela napas panjang, dengan suara rawan ia berkata: "Adikku tak tahu adat kemanusiaan, harap Siangkong suka memaafkan kelatahan serta kejumawaannya itu!"
Tian Pek gelagapan dan tak tahu cara bagaimana mesti menjawab, sebab bagaimanapun juga dialah yang bersalah dan dia yang harus minta maaf, karena dia sendiri yang berbaring di pembaringan orang.
Dalam hati ia menyesal, dipandangnya bayangan punggung dara baju hitam itu dengan ter-mangu2, lalu menjawab: "Aku hidup sebatang kara dan ter-
lunta2. O, betapa terima kasihku atas kebaikan nona, jika engkau ucapkan kata2 seperti itu pula, aku jadi malu sendiri."
Beberapa patah kata yang pertama diucapkan karena luapan rasa kecewa dan menyesal, tapi segera ia merasa tak pantas mengucapkan kata2 semacam itu dibadapan seorang gadis yang tak dikenal, maka nada ucapannya segera berubah, sementara dalam hati ia menegur din sendiri: "Bagaimana sih aku ini? Masa bicarapun tak becus?"
Tak tersangka si nona baju hitam juga lantas menghela napas setelah mendengar perkataannya ia bergumam: "Hidup sebatang kara dan mengembara ter-lunta2 juga tiada jeleknya? Hidup bebas begtu jauh lebih baik daripada hidup dalam sangkar sekalipun sangkar itu terbuat dari emas " nada penyesalannya ternyata jauh melebihi ucapan Tian Pek tadi.
Tian Pek jadi melongo, pikirnya: "Aneh benar gadis ini, dia toh hidup di tengah keluarga orang kaya dan serba berkecukupan, minta apa saja pasti ada orang yang berebut uutuk memenuhinva, tapi kenapa perkataannya begitu kesal dan begitu sedih?" Tanpa terasa ia teringat kembali pada kemurungan yang menyeiimuti wajah si nyonya cantik itu, merasa se-akan2 setiap orang yang berdiam di dalam gedung megah ini sama dirundung persoalan yang memusingkan kepala, membuat mereka hidup tak bahagia. Tapi apa yang menjadi beban pikiran mereka?
Sementara ia masih termenung, dara baju hitam itu telah putar badan, jantung Tian Pek berdebar keras, tanpa terasa ia pandang wajahnya.
Seketika ia tertegun dan sorot matanya tak tergeser lagi. Sukar baginya untuk melukiskau betapa cantiknya si nona.
Gadis itu berpakaian serba hitam, raut wajahnya yang ingin dilihat Tian Pek tertutup oleh selembar sutera tipis warna hitam. yang terlihat hanyalah alisnya yang lentik serta biji matanya yang bening, begitu indah dan mempersonakan membuat anak muda itu benar2 tergiur, membuatnya merasa dunia ini hangat kembali.