Jilid 20
Semakin jauh ke sana kabut semakin tebal dan pekat, dengan ketajaman matanya, dia hanya bisa melihat sejauh tiga tombak, dia harus waspada dan siaga menghadapi sergapan yang tidak terduga. Tiba-tiba pandangannya menjadi terbeliak terang, tampak sebuah bangunan yang berbentuk dari sebongkah besar batu putih berdiri dihadapannya. Kabut di sini agak tipis, sinar matahari memancar terang benderang, sehingga segalanya kelihatan terang dan jelas, pintu besar terbentang lebar, tampak Ciang Wi-bin berlutut di depan pintu. Didengarnya akhir kata Ciang Wi-bin: " harap Cianpwe
suka menarik kembali keputusan semula."
Dari dalam rumah batu putih itu terdengar suara Kwi-ouw Hujin, nyaring dingin: "Tidak bisa!"
Di dengar dari suaranya, usianya agaknya belum lanjut, namun Ciang Wi-bin memanggilnya Cianpwe, ini agak janggal.
"Wanpwe kan tidak buka suara dan melanggar janji?"
"Tidak peduli, apa yang sudah kuputuskan tak bisa diubah lagi" "Harap ingatlah pada guru almarhum ”
"Tutup mulutmu, kalau tidak mengingat gurumu Yu-ing-long-kun, memangnya kau kuijinkan berdiam di atas puncak ini.”
Tergerak hati Ji Bun, kiranya Biau-jiu Siansing adalah murid Yu- ing-long-kun.
Terdengar Kwi-ouw Hujin berkata lebih lanjut: “Mengingat gurumu, sekarang bawa pergi bocah itu." Agaknya kehadiran Ji Bun tetap tidak dapat mengelabuinya.
Segera dia melangkah maju, serunya: “Paman Ciang, silakan bangun, mari pulang."
Ciang Wi-bin mendesis dongkol: "Hiantit, kau bikin runyam urusanku."
"Paman, kini aku tidak memerlukan Kim-sian-jau-koh lagi.” "Tidak memerlukannya lagi, kenapa?"
"Persoalannya nanti akan kujelaskan."
Dengan laku hormat segera Ciang Wi-bin memberi hormat ke arah pintu, serunya: "*Wanpwe mohon diri!"
Lalu berdiri.
Ji Bun pikir, Kwi-ouw Hujin yang ada hubungan akrab dengan Yu- ing-long-kun kini usianya tentu sudah mencapai seabad.
Terdengar suara Kwi-ouw Hujin berkumandang lagi: "Ji Bun, kau ini tidak tahu sopan santun, tidak kenal adat terhadap orang tua."
Lekas Ji Bun mengubah sikap, serunya: "Terima kasih atas teguran Cianpwe, Wanpwe mohon maaf!”
Segera iapun menyembah, ia bersikap demikian karena memandang muka Ciang Wi-bin. "Cukup sepatah kata dua kata begitu saja?"
Ji Bun melengak, katanya: "Habis bagaimana menurut maksud Cianpwe?"
"Kau harus diajar adat!" "Diajar adat bagaimana?"
"Berhantam tiga jurus, jika kau mampu bertahan kau boleh turun gunung, kalau tidak kau tetap kutahan di sini."
Keruan Ciang Wi-bin keripuhan, dia tarik Ji Bun dan berkata ke arah pintu: "Sukalah Cianpwe ampuni kesalahannya, usianya masih muda ”
"Bukan urusanmu!"
Ji Bun naik pitam, katanya dengan temberang: "Apa Cianpwe tidak keterlaluan?"
"Keterlaluan? Buyung, kau tidak setimpal bicara demikian "
merandek sebentar, lalu ia berkata pula. "Siau-bwe, keluarlah dan ajar adat bocah itu, jangan kau celakai jiwanya."
"Terima perintah!" sebuah sahutan berkumandang dari dalam.
Ji Bun kira Kwi-ouw Hujin sendiri yang hendak menjajal tiga jurus padanya, tak kira dia hanya menyuruh anak buahnya, bicaranyapun seperti menghina sekali. Berubah rona muka Ciang Wi-bin, katanya "Hiantit, kau terlalu sombong, dengan bekalmu sekarang memangnya setimpal kau bergebrak dengan kaum Cianpwe, lekas kau mohon ampun dan mengaku salah saja ”
"Paman boleh minggir saja," ujar Ji Bun tawar, "Siautit yakin akan diriku sendiri."
"Ah, anak yang tidak tahu tingginya langit dan tebalnya bumi,” kata Ciang Wi-bin
Waktu Ji Bun angkat kepala, tahu-tahu dihadapannya telah berdiri seorang nenek reyot beruban, matanya bercahaya terang laksana lampu senter. Inilah orang yang dipanggil Siau-bwe oleh Kwi-ouw Hujin tadi? Sedikitnya usianya sudah mencapai 70-80 tahun, tapi namanya Siau-bwe atau si Bwe kecil, kok seperti nama genduk cilik saja.
"Yang mulia ini adalah Siau-bwe?" Ji Bun bertanya.
"Ceriwis, namaku memangnya boleh sembarangan kau sebut." "Silakan mulai kalau begitu!"
"Jangan sombong, kau boleh turun tangan lebih dulu."
Keruan Ciang Wi-bin gugup, bentaknya gusar: "Ji Bun, kalau kau mampu sambut ....... "Ciang Wi-bin," bentak Kwi-ouw Hujin keras, "jangan kau langgar aturan di sini."
Dengan bersungut gusar terpaksa Ciang Wi-bin mundur ke samping. Ji Bun tahu maksud baiknya, orang kuatir dirinya tak kuasa menghadapi tiga gebrakan. tapi dia tenang saja tanpa menghiraukan sikap Ciang Wi-bin itu.
Nenek tua yang bernama Siau-bwe membentak: "Hayo mulai!"
Menurut aturan Kang-ouw, orang yang usianya lebih tua tidak akan turun tangan lebih dulu, maka Ji Bun juga tidak banyak bicara, secepat kilat kontan dia lontarkan Tok-jiu-it-sek. Si nenek berseru kaget, sebat sekali dia berkelit ke samping. Tergerak hati Ji Bun, orang mampu meluputkan diri dari Tok-jiu-it-sek, maka dia ingin mengukur sampai di mana taraf kepandaiannya, tanpa memberi kesempatan lawan balas menyerang, Tok-jiu-ji-sek segera dilancarkan pula.
Kedua jurus serangan ini merupakan tumpuan kekuatannya, maka terdengar si nenek mengerang sekali, tubuhnya terhuyung ke belakang, wajahnya yang penuh keriput tampak menahan derita luar biasa.
Ji Bun tahu diri, dia tidak melanjutkan serangannya. Di samping Ciang Wi-bin mengunjuk rasa kaget dan keheranan, Lwekang dan kepandaian Ji Bun betul-betul di luar dugaannya. Pengalaman Ji Bun selama setengah tahun belakangan ini, hakikatnya dia memang tidak tahu. "Locianpwe," seru Ji Bun ke arah pintu, "beruntung Wanpwe menang satu jurus."
Baru saja dia berkata, tahu-tahu suara dengungan berkumandang di depannya. Seorang perempuan setengah baya berwajah ayu berdiri kereng di depan pintu. Ji Bun kaget, apakah dia ini Kwi-ouw Hujin yang sudah berusia antara seabad itu.
"Hm, kau memang hebat, terlalu rendah penilaianku terhadapmu," kata perempuan itu.
"Apa petunjuk Cianpwe?" tanya Ji Bun.
"Aku sendiri akan menyambut tiga jurus seranganmu, gunakanlah seluruh kekuatanmu."
"Menggunakan seluruh kekuatanku ,” Ji Bun ragu-ragu.
"Ya, aku takkan balas menyerang, aku hanya menyambut pukulanmu saja. Hayolah mulai!"
Serta merta Ji Bun melirik ke arah Ciang Wi-bin, dia ingin tahu reaksinya, namun wajah orang kelihatan bersungut lesu malah, naga-naganya tidak mengharap Ji Bun turun tangan, tapi bak panah yang sudah terpasang di busurnya, tidak bisa tidak harus dibidikkan, terpaksa ia pusatkan semangat dan menghimpun tenaga, pelan- pelan tangannya bergerak melancarkan Tok-jiu-it-sek.
Kwi-ouw Hujin juga angkat sebelah tangannya, secara aneh tangannya bergerak melingkar. Dengan kaget Ji Bun menarik serangannya. Ternyata gerakan membundar tangan lawan membuat serangannya sukar dilancarkan, keruan bukan main kagetnya.
Betapa tinggi Lwekang orang, agaknya masih lebih unggul dari Ngo- hong Kaucu, Hun-tiong Siancu pun tak mampu berbuat demikian.
Dasar wataknya keras, timbul hasrat Ji Bun untuk menang, maka Tok-jiu-ji-sek segera dilancarkan pula. Tapi keadaan tetap sama, Ji Bun dipaksa menarik serangannya di tengah jalan.
Lekas Ciang Wi-bin angkat tangan, serunya: "Hiantit, Lwekang Locianpwe tiada taranya, jangan kau semberono mencobanya lagi.”
Kwi-ouw hujin berkata dingin: "Sudah kukatakan tiga jurus." Ciang Wi-bin diam saja, namun hatinya cukup lega, karena Kwi-
ouw Hujin berjanji tidak akan balas menyerang.
Sudah tentu lain bagi penerimaan Ji Bun, dua jurus serangannya yang dahsyat dapat dipatahkan lawan. Apakah jurus ketiga dapat berhasil, inilah merupakan tanda tanya pula. Padahal ketiga jurus pukulan ini merupakan inti sari dari segala puncak ilmu Ban-tok-bun, kalau hari ini dikalahkan oleh Kwi-ouw Hujin, sungguh merupakan tamparan dan penghinaan bagi perguruannya, sebab ini membuktikan bahwa meski Kwi-ouw hujin tidak pernah mendirikan perguruan atau aliran, namun kenyataan ilmunya !ebih tinggi dari perguruan sendiri.
Sebenarnya saja latihan Ji Bun yang belum matang, kematangan latihan akan sangat penting artinya bagi perbawa ilmu yang dia lancarkan, kalau Lwekang bertambah tangguh, sudah tentu kekuatan jurus serangannya juga akan bertambah kuat. Di samping itu, demi menjaga tata tertib perguruan, di waktu melancarkan serangan ini dia pantang menggunakan racun, sudah tentu keadaan menjadi jauh berbeda. Apalagi kalau Kwi-ouw Hujin balas menyerang, akibatnya tentu amat mengerikan. Sikapnya serius, sorot matanya berkilat laksana api yang mencorong panas.
"Sambutlah jurus ketiga!" di tengah hardikannya, Tok-jiu-sam-sek segera dilancarkan dilandasi seluruh kekuatannya.
"Ah," walau lirih suaranya, namun semua orang mendengar keluhan ini, Kwi-ouw Hujin agak limbung dan tergetar mundur, segera ia mengayun tangan dan berkata: "Kalian boleh pergi!"
Suaranya terasa pahit getir, sedih lagi. Bayangkan, seorang tokoh Bu-lim yang sudah seabad usianya dikalahkan seorang tunas muda, sudah tentu bukan kepalang rasa kecewanya.
Ji Bun sendiri tidak menyangka jurus ketiga serangannya bakal berhasil, keruan iapun melenggong. Setelah orang buka suara baru dia sadar dan lekas memberi hormat, katanya penuh rasa sesal: "Locianpwe suka mengalah, terima kasih."
Tanpa bicara lagi Kwi-ouw Hujin putar tubuh terus berkelebat masuk ke dalam pintu, nenek tua yang dipanggil Siau-bwe tadi juga ikut lenyap ke dalam.
Ciang Wi-bin tertawa kecut, katanya: "Marilah kita pergi!" Mereka berlari memasuki hutan dan menuju ke pinggir jurang. Ji Bun melongok ke bawah, katanya: "Paman, cara bagaimana kau akan turun?"
"Ikatlah aku!" kata Ciang Wi-bin, setiba di celah-celah antara lekukan batu gunung, dari dalam lubang di bawah batu Ciang Wi-bin merogoh keluar dua gulung tali, pada ujung tali terpasang gantolan besi yang berbentuk cakar. "Pakai ini!" katanya.
"Silakan paman turun lebih dulu, Siautit punya cara lain."
Ciang Wi-bin heran, seperti hendak bicara, tapi urung, sambil menggerakan kedua cakar besi di tangannya, segesit kera tubuhnya segera melorot turun ke bawah dan segera bayangannya ditelan gumpalan awan.
Ji Bun kerahkan tenaga, lalu dengan Ginkang angin lesus pelan- pelan iapun melayang turun ke bawah. Setiba di bawah, bayangan Ciang Wi bin tidak kelihatan, ia merasa heran. Secara beruntun mereka turun, jarak waktunya tidak terlalu lama, kenapa bayangannya tidak kelihatan? Tak mungkin dia tinggal pergi begitu saja.
Mendadak ia melihat sebuah cakar yang dipakai Ciang Wi-bin tadi jatuh di antara semak-semak sana, di depan semak-semak tampak noda darah pula berceceran menuju ke arah kanan.
Keruan ia kaget, Ciang Wi-bin terang mendapat sergapan di luar dugaan, memangnya siapa yang pasang perangkap menjebaknya di sini? Kenapa dirinya tidak mendengar keributan dari orang-orang yang berbaku hantam di sini? Kepandaian silat Ciang Wi-bin cukup tangguh?
Dengan gelisah dia ikuti ceceran darah itu terus memasuki semak belukar, beberapa tombak kemudian ceceran darah itu berhenti dan lenyap tiada kelanjutannya. Pandangannya di sini teraling dedaunan dan semak belukar, tidak bisa melihat ketempat yang jauh. Tapi Ji Bun yakin, menurut waktu dia perhitungkan, peduli apa yang telah terjadi, pihak lawan pasti tidak akan lari jauh. Maka dia melompat ke atas sebuah hatu yang tinggi letaknya, dari atas melihat kebawah, namun selepas matanya menjelajah tiada yang ditemukan sesuatu.
Kalau Ciang Wi-bin sampai mengalami nasib jelek, pasti bukan kepalang sesal hatinya, keringat membasahi jidatnya, hatinya gelisah seperti dibakar.
Disaat dia celingukan, tiba-tiba didengarnya sebuah suara herangan lemah seperti suara yang bergema dari bawah tanah, arahnya dari hutan yang tak jauh di sebelah depan sana, tanpa pikir Ji Bun lantas menubruk kearah datangnya suara. Betul juga dilihatnya Ciang Wi-bin tertelikung tangannya, terikat pada batang pohon, mulutnya disumbat kain tebal, hanya sepasang matanya saja yang kelihatan. Sekelilingnya sunyi senyap tidak terdengar suara apapun.
Berkobar amarah Ji Bun, bergegas dia menghampiri Ciang Wi-bin.
Sejak kelana berulang kali dia mengalami bencana, liku-liku kehidupan Kang-ouw yang serba berbahaya kenyang baginya, maka dia sudah meningkatkan kewaspadaan. Kalau menuruti adatnya yang dulu, sejak tadi dia sudah menubruk ke arah Ciang Wi-bin serta membebaskannya.
"Uk, uk!" Ciang Wi-bin bersuara dalam tenggorokan, Ji Bun berhenti, matanya menjelajah sekitarnya, lalu melangkah maju pula. Biji mata Ciang Wi-bin mendelik sebesar kelereng, sayang mulut tersumbat sehingga tak dapat memberi peringatan bahaya apa yang bakal mangancam Ji Bun. Tapi Ji Bun cukup mengerti akan sikapnya yang cemas dan kuatir itu.
Kalau tahu pasti ada perangkap, namun Ji Bun tetap melangkah mendekati Ciang Wi-bin. Mendadak kedua kaki Ciang Wi-bin menggedok tanah, tanah dan daun serta ranting pohon yang kering sama ditendangnya bertaburan.
Di situkah perangkapnya? Tiba-tiba Ji Bun tersadar, langkahnya diperlambat, sementara matanya meneliti dengan seksama sekelilingnya, daun-daun kering dan tetumbuhan rumputpun tidak lepas dari pengamatannya, ingin ditemukannya sesuatu yang mencurigakan.
Tiba-tiba sehuah suara yang amat lirih, sedemikian lirihnya kalau orang biasa pasti tak mendengarnya, tapi kuping Ji Bun yang tajam dapat menangkapnya dan tahu letaknya kira-kira lima tombak di semak pepohonan sana. Dasar cerdik dan waspada Ji Bun lantas tahu kalau di sebelah sana pasti ada orang yang sembunyi sudah tentu tujuannya hendak membokong atau menyerang dirinya dengan cara apapun. Kini barulah dirinya tahu apa maksud Ciang Wi-bin menggedok tanah dan melotot padanya, maksudnya jelas mencegah dirinya mendekat lebih lanjut. "Sret!" laksana kilat menyamber di tengah angkasa, cepat sekali Ji Bun menubruk ke semak pohon sebelah sana.
"Blang'", pada waktu yang sama, tanah di mana barusan Ji Bun berpijak, meledak keras dengan memercikan lelatu api, asap tebal membubung tinggi ke angkasa.
"Ngek!" di tengah herangan kesakitan, tahu-tahu seorang pemuda baju sutera telah dicengkeram oleh Ji Bun. "Ngo-hong-su- cia! He he, sungguh tak kira kalian cakar-cakar iblis ini juga menguntit diriku sampai di pegunungan ini ”
Belum selesai Ji Bun bicara, Ngo-hong-su-cia yang diringkusnya mendadak menjerit ketakutan, “Ngo-lui-cu!"
Reaksi Ji Bun amat cepat dan tangkas, begitu lepas tangan, sebat sekali tubuhnya melompat tiga empat tombak ke samping, maka terdengar ledakan keras pula, diiringi pekik tertahan Ngo-hong-su- cia yang mati dengan tubuh hancur lebur, asap tebal mengelilingi sekitarnya, daun dan dahan pohon sama rontok berjatuhan.
Beringas wajah Ji Bun, sekali lompat dan cengkeram, kembali dia berhasil membekuk seorang pemuda baju sutera. Pengalaman merupakan pelajaran yang berharga, begitu berhasil membekuk seorang musuh, segera dia melompat ke tempat lain. Maka bayangan orang segera bermunculan dari berbagai arah, semuanya berseragam baju sutera warna bijau ketat, kecuali yang sudah mati bersama yang ditawan di tangannya sekarang semuanya berjumlah delapan orang. "Te-gak Suseng, hari ini kau pasti mampus!" seru seorang.
Ji Bun menoleh, dilihatnya dari balik pohon sebelah kanan sana muncul seorang aneh berambut merah, matanya yang cuma satu bersinar terang buas dan liar, badannya kurus kering seperti genter, jubah yang dipakainya panjang dan lebar kedodoran sehingga keadaannya mirip sekali setan gentayangan. Laki-laki ini bukan lain adalah wakil Kaucu Ngo-hong-kau, jit-sat-sin Jiu Jing adanya, tempo hari dia pernah terluka oleh Tok-jiu-it-sek, untung dapat melarikan diri.
"Hu-Kaucu," jengek Ji Bun sinis, "selamat bertemu!"
19.57. Beberapa Misteri Mulai Terkuak
"Aaaah!" pekik panjang yang mengerikan berkumandang di angkasa pegunungan. Sebab cengkeram dan mengerahkan tenaga, secara hidup-hidup Ji Bun membetot protol tubuh pemuda baju sutera yang dibekuknya tadi, sekenanya terus dilemparnya mayat itu ke depan.
Berpijar mata tunggal Jit-sat-sin Jiu Jing saking murka, teriaknya seperti kebakaran jenggot "Te-gak Suseng, kalau hari tidak kuhancur leburkan tubuhmu, aku bersumpah tidak jadi manusia."
Ji Bun menyeringai, jengeknya: "Kalau tidak jadi manusia, nah, pergilah jadi setan!" Belum lenyap dia bicara, tahu-tahu ia sudah menubruk ke arah Jit-sat-sin.
"Jangan bergerak!"
Ji Bun kaget, lekas dia hentikan aksinya, tampak Jit-sat-sin sudah melompat sembunyi ke belakang Ciang Wi-bin, telapak tangannya menekan batok kepala Ciang Wi-bin.
Dengan murka Ji Bun membentak: "Jit-sat-sin, berani kau mengganggu seujung rambutnya, ayam anjingpun takkan kubiarkan hidup dalam Ngo-hong-kau."
Semua orang mengkirik mendengar ancaman tegas ini. Wajah Ji- sat-sin sendiripun berubah, katanya bergelak tawa: "Anak muda, kau tiada punya kesempatan lagi.”
"Belum tentu ”
Tiba-tiba kedua kaki Ciang Wi-bin kembali menggedok-gedok tanah. Ji Bun seketika sadar dan waspada, sigap sekali tiba-tiba dia membalik tubuh, dilihatnya seorang Sucia tengah mengayun tangan menimpukkan Ngo-lui-cu, kekuatan Ngo-lui-cu dapat mencapai beberapa tombak, betapapun cepat gerakan Ji Bun takkan lebih cepat dari pada ledakan Ngo-lui-cu itu.
Kalau Thong-sian Hwesio mampu menghentikan luncuran Ngo- lui-cu di tengah udara dengan ilmu Sian-thian-cin-khi, namun Ji Bun tak mampu berbuat demikian, soalnya masing-masing mempunyai keahliannya sendiri. Waktu amat mendesak, tiada tempo buat Ji Bun mencari akal. Secara refleks terpaksa dia kerahkan sepenuh kekuatannya menggempur dengan kedua telapak tangannya. Setelah pukulan jarak jauh dilontarkan, cepat dia mendekam.
"Daaarl" karena kebentur oleh tenaga pukulan dari jauh sebelum jatuh menyentuh tanah sudah meledak di tengah udara, terdengar dua kali jeritan pula, ketiga Sucia sekaligus terjungkal mampus.
Ji Bun gunakan kesempatan baik ini, di saat Jit-sat-sin terpencar perhatiannya, selicin belut segesit kera tubuhnya tiba-tiba melenting ke belakang Jit-sat-sin, berbareng ia terus menutuk.
Jit-sat-sin tersadar dan kaget, namun sudah terlambat, kesempatan untuk menghantam batok kepala Ciang Wi-bin sudah tiada lagi, lebih perlu menyelamatkan jiwa sendiri, terpaksa dia berkelit. Bahwa dia berhasil meluputkan diri dari tutukan lihay ini membuktikan bahwa kepandaian silatnya memang bukan olah-olah tingginya.
Benci Ji Bun luar biasa terhadap musuh yang ini, di mana tubuh orang berkelebat, sigap sekali iapun membayanginya, berbareng Tok-jiu-sam-sek dilancarkan. Kontan Jit-sat-sin melolong ngeri, tubuhnya terjungkal roboh, namun dia masih kuat meronta bangun. Kembali Ji Bun ayun tangannya dengan telak dada orang ditamparnya, tubuh orang kurus kering laksana genter itu seketika terlempar, "Bluk", begitu terbanting di tanah lantas tak bergerak lagi. Empat Sucia lainnya yang ketinggalan pecah nyalinya, beramai- ramai mereka angkat langkah seribu alias melarikan diri. Ji Bun tak sempat mengejar dan membunuh mereka, menolong Ciang Wi-bin lebih penting.
Ciang Wi-bin menggosok tangannya yang terikat kencang tadi, katanya sambil tertawa getir: "Hiantit, sungguh berbahaya, hampir saja jiwa kita melayang."
"Paman tidak apa-apa?" tanya Ji Bun prihatin. "Tidak apa-apa."
"Agaknya mereka sudah pasang perangkap dan menunggu kita di bawah gunung?"
"Mereka kemari karena menguntit jejakmu, tujuannya hendak membunuhmu"
"Darimana mereka tahu paman berada bersamaku? Paman sudah beberapa bulan terkurung di atas, setan atau malaikatpun tiada yang tahu, Siautit juga datang seorang diri, apalagi jarang orang Kangouw yang pernah melihat wajah asli paman ini ”
"Kejadian ini tidak mungkin kebetulan, aku tiba di bawah sini, lantas disergap, malah Jit-sat-sin membuka kedok mukaku. Marilah duduk, ceritakan dulu pengalaman akhir-akhir ini padaku."
Ji Bun duduk di atas dahan pohon yang roboh, lalu menceritakan pengalamannya setengah tahun yang lalu, karena adanya larangan perguruan, maka dia hanya menjelaskan sekenanya tentang rejeki yang diperolehnya, seluk beluk Ban-tok-bun tidak dia ceritakan. Ciang Wi-bin manggut-manggut, hatinya lega dan terhibur, katanya menghela napas: "Hiantit, dengan kepandaianmu sekarang hanya beberapa gelintir orang saja yang mampu menandingimu."
Ji Bun geleng-geleng, katanya "Paman terlalu memuji, terhadap Kwi-ouw Hujin saja, kalau beliau mau melawan secara sungguh- sungguh, siapa unggul atau asor sulit ditentukan."
"Coba kau terka, siapa sebenarnya Kwi-ouw Hujin? Dia adalah Pek-pian-mo-li yang dulu pernah menggetarkan Bu-lim itu."
"O, tak heran wajahnya tidak cocok dengan usianya, ternyata iapun seorang gembong yang dalam bidang tata rias."
"Bukan begitu, apa yang kau lihat adalah wajahnya yang sebenarnya, Lwekangnya sudah sedemikian tinggi sehingga dapat mempertahankan kecantikan dirinya, secara serampangan akhirnya aku herhasil menemukan danau setan. Mengingat hubungannya dengan almarhum guruku Yu-ing-long-kun dulu, dia mau memberikan Kim-sian-jau-koh kepadaku, namun dia mengajukan syarat, bahwa aku harus berbakti kepadanya setengah tahun lamanya..."
"Berbakti? Jadi kacungnya maksud paman?"
"Ya, di samping itu dalam syarat yang ditentukan juga bahwa aku dilarang berbicara dengan siapapun yang datang dari luar."
"Kenapa demikian?” “Dia kuatir aku membocorkan rahasia 'danau setan' ini."
"Sungguh orang aneh bertingkah ganjil pula." "Memangnya. Eh, kau belum jelaskan kenapa kau tidak
memerlukan buah itu lagi?"
"Tanpa sengaja kupernah mengalami suatu ke jadian aneh dan memperoleh rejeki nomplok, tangan beracun sudah bisa kukendalikan menurut kemauan hati, tanpa diobati, racun sudah kutawarkan sendiri. Sebaliknya jerih payah paman ini membuat hatiku tidak tenteram."
"Jangan kau singgung soal ini lagi Kau masih ingat tentang
janji sebulan pada setengah tahun yang lalu? Sekarang kau boleh tanya langsung."
Ji Bun menyeka keringat jidatnya, setelah tenangkan hatinya yang bergejolak, lalu buka suara: "Bagaimana tentang mati hidup ayah?"
Sikap Ciang Wi-bin tampak berobah, katanya sambil menggigit bibir: "Mungkin dia masih hidup."
"Hanya mungkin? Itu berarti belum tentu."
"Kemungkinan boleh diartikan masih hidup. Kau tahu siapa sebetulnya Jit-sing-ko-jin? Dia adalah duplikat ayahmu sendiri." Laksana disamber petir kaget Ji Bun, matanya mendelik, suaranya gemetar: "Tidak, tidak mungkin "
"Kenapa tidak mungkin?"
"Di puncak Pek-ciok-hong Siautit dipukulnya sampai terjungkal ke dalam jurang."
Ciang Wi-bin berjingkrak berdiri, serunya: "Ada kejadian begitu?
Mungkinkah ”
"Kenyataan begitu, Siautit tidak membual."
Ciang Wi-bin mendelong sekian lamanya, mulutnya melongo tanpa bersuara.
Pikiran Ji Bun menjadi kalut, seorang ayah tanpa sebab hendak membunuh puteranya sendiri, siapa mau percaya? Tapi apa yang diucapkan Ciang Wi-bin pasti bukan bualan, cuma di dalam persoalan ini pasti ada latar belakangnya yang sukar diraba, segera ia tanya: "Paman, lalu bagaimana dengan kedua mayat di jalan raya ke Kay-hong itu?"
"Kalau Jit-sing-ko-jin adalah ayahmu, maka berani kupastikan ayahmu masih hidup."
"Dia ...... dia kenapa bisa begitu?" "Ya, untuk menghindari pengejaran Siangkoan Hong, karena dia sendiri atau Jit-sing-ko-jin merupakan sasaran utama pihak Wi-to- hwe, maka dia mengatur muslihat ini."
"Tapi kenapa dia turun tangan terhadapku? Mungkinkah ada latar belakang yang serba rahasia?"
"Hal ini memang sukar diraba."
"Jadi kalau demikian, jadi ayah betul-betul belum mati? Paman pernah sehaluan dengan ayah bukan?''
"Ya, laki-laki tak dikenal dan Kwe-loh-jin yang berhasil merebut Hud-sim itu kuduga adalah samaran ayahmu, sayang aku tak berhasil memecahkan seluk-beluk ini."
"Keponakan sudah tahu, Kwe-loh-jin adalah Ngo-hong Kaucu." "Apa?" tertak Ciang Wi-bin, "Kwe-loh-jin adalah Ngo-hong
Kaucu?"
"Ya, dia pula yang pernah menyamar jadi ayah, berjubah sutera dan berkedok, orang pertama yang pernah membunuh keponakan."
"Kau sudah mendapatkan bukti?" "Bukti dan nyata."
"Kalau demikian aku bisa menyimpulkan bahwa Jit-sing-ko-jin yang memukulmu itu bukan samaran ayahmu, mungkin orang itu juga pandai rias diri, sebelumnya dia sudah mengintip dari tempat sembunyinya, maka dengan mudah ia turun tangan padamu?”
"Analisa paman tentu tidak meleset, lalu siapa orang ini?" "Mungkin Kwe-loh-jin itu ”
"Untuk ini keponakan yakin pasti bisa membereskannya, Hud-sim tercuri di rumah paman, sebetulnya dengan kemampuan paman
......”
Ciang Wi-bin geleng-geleng, katanya getir: "Waktu mendapatkan Hud-sim, kudapat patung itu sudah kehilangan hatinya, kukira sudah tiada nilainya lagi, untuk menghindari bencana maka sengaja kubuat pajangan supaya dicuri orang, untuk mengaburkan salah sangka orang."
"O, kiranya demikian. Ibu tua Khong-kok-lan So Yan menempati gedung setan milik paman di kota Cinyang, hubungannya dengan ayah sudah retak ”
"Liku-liku kejadiannya kau sudah tahu. Tentunya kau masih ingat kisah Hing-thian-kiam Gui Han-bun yang bermusuhan dengan ayahmu? Karena ibu tuamu minta perlindunganku, terpaksa aku menerimanya, aku menghargai dia dan simpatik padanya, soal ini ayahmu tidak tahu."
"Dan anak itu ” Terunjuk perasaan sedih pada wajah Ciang Wi-bin, katanya rawan: "Dia adalan putera paman, ibunya meninggal waktu melahirkan dia, maka kutitipkan ibu tuamu untuk mengasuhnya."
Ji Bun manggut-manggut, katanya pula: "Kalau ayah masih hidup, kenapa dia tidak menemuiku?"
"Mungkin dia punya perhitungan sendiri, mungkin Ai,
sebetulnya tak perlu kubicarakan soal ini, namun kau juga sudah tahu, betapa sepak terjang dan kelakuan ayahmu sebetulnya memang keterlaluan."
Anak pantang menista perbuatan ayah sendiri, apa pula yang bisa Ji Bun katakan? Maka dia alihkan pokok pembicaraan, katanya: "Ibu diculik pihak Ngo-hong-kau, demikian pula Thian-thay-mo-ki
......”
Terbeliak mata Ciang Wi bin, katanya: "Sejak Jit-sing-po hancur, selalu dia bersama ayahmu, bagaimana ”
"Mungkin ayah dibunuh pihak Ngo-hong-kau?" seru Ji Bun kaget. Ciang Wi-bin menepekur, rona mukanya berubah ganti berganti.
"Paman," kata Ji Bun pula, "maaf, sebetulnya ada hubungan rahasia apakah antara paman dengan ayah?"
"Hubungan rahasia tiada, tapi hal ini memang kau harus
tahu, dulu aku bersahabat dengan ayahmu, sayang aku tidak menyelami watak dan karakternya, belakangan baru kudengar banyak perbuatannya yang tidak baik sehingga hubungan kami semakin renggang, sampai pada waktu kau menolong puteriku dari markas Cip-po-hwe, sejak itu puteriku sudah menaksir padamu ......
Kemudian baru aku kontak pula sama dia, kami masing-masing bertukar ilmu ”
"Bertukar ilmu?"
"Ya, kuajarkan gerakan badan dan tata rias, sedang dia mengajarkan ilmu beracun, itulah sebabnya dia pandai menyamar dan akupun tidak gentar terhadap serangan tanganmu yang beracun."
"O," dengan kaget Ji Bun mengiakan, sungguh hal ini tidak pernah dia bayangkan, secara langsung teka teki selama ini telah tersingkap pula. Tanyanya: "Apakah paman tahu dari mana asal usul ayah mendapatkan ilmu beracun itu?"
"Katanya tanpa sengaja dia memperoleh sejilid Tok-keng ”
"Tok-keng? Pernahkah ayah menceritakan bagaimana dia memperoleh Tok-keng ini?"
"Tidak. Memangnya kau sendiri tidak tahu?'
"Keponakan diajarkan secara lisan, belum pernah melihat Tok- keng, entah bagaimana asal usulnya," lalu ia menunduk memeras otak, mendadak dia angkat kepala sambil berseru; "Ya, aku sudah mengerti sekarang." "Kau mengerti apa?" tanya Ciang Wi-bin.
"Ngo-hong Kaucu adalah pemilik Tok-keng, mungkin di dalam suatu kejadian, ayah mendapatkan Tok-keng ini dari dia, sedang ibu terkurung di Ngo-hong-kau, kalau benar apa yang paman katakan bahwa ayah selalu bersama ibu, tentu ayah sudah terbunuh oleh pihak Ngo-hong-kau, kalau Ngo-hong-kau berusaha membunuh keponakan dengan macam-macam cara, tujuannya tentu hendak mencari kembali ilmu beracun itu ”
"Kau yakin analisamu ini pasti tepat?" "Umpama meleset juga tidak terlalu jauh."
"Apakah muridku Ui Bing sudah melaksanakan pesan yang kutinggalkan? Ketahuilah, tugas yang sedang dia kerjakan bakal membantu membongkar teka-teki ini."
Tergerak hati Ji Bun, sebetulnya dia ingin tanya tugas apa yang dikerjakan Ui Bing, namun dia urung bertanya.
Ciang Wi-bin mengerut alis, katanya: "Tapi bukan mustahil kalau komplotan Wi-to-hwecu Siangkoan Hong yang melakukannya."
"Kukira tidak mungkin, bukti tidak ada."
"Memang, tapi ketika Jit-sing-po hancur, Siangkoan Hong juga meluruk datang hendak menuntut balas, dendam Siangkoan Hong terhadap ayahmu sedalam lautan, apapun yang terjadi, dia takkan melepas ayahmu." "Tapi dulu paman pernah berulang kali mencegah aku menuntut balas?"
"Bukan mencegah, soalnya aku merasa peristiwa ini rada janggal, kuharap setelah kau berunding dengan ayahmu baru bertindak, supaya tidak bekerja membabi buta dan menempuh bahaya yang tiada artinya. Tak kira sejauh ini jejak ayahmu tetap menghilang.”
Ji Bun manggut dengan berat, katanya: "Keponakan bersumpah untuk membongkar kejadian ini sejelas-jelasnya."
"Hiantit masih ada persoalan lain?" "Sementara ini tidak ada."
"Baik, kini jawablah sebuah pertanyaan paman, tapi perlu kukatakan, kau tidak perlu rikuh, akupun tidak memaksa. Katakanlah terus terang Kau menyukai Bing-cu tidak?"
Seketika Ji Bun menjublek tak mampu menjawab, kalau dikatakan tidak suka, ini bertentangan dengan sanubarinya, kalau menyatakan suka, jelas Ciang Wi-bin menuntut adanya ikatan nikah, lalu bagaimana dia harus memberi pertanggungan jawab kepada Thian-thay-mo-ki yang telah mengorbankan segala miliknya untuk dirinya? Sekian lama Ji Bun mematung tak mampu bicara.
"Banyak persoalan dalam dunia ini yang tak mungkin bisa dikerjakan secara paksa oleh siapapun" demikian ujar Ciang Wi-bin menghela napas. Kata-katanya laksana jarum menusuk hati Ji Bun, tapi apa yang dapat dia katakan? Suasana sesaat menjadi hening, kikuk dan serba salah. Setelah berpikir baru Ji Bun berkata: "Paman, bagaimana kalau soal ini kujawab setelah Siautit berhasil menuntut balas?"
"Masing-masing orang mempunyai cita-cita hidup sendiri, cuma perlu kutegaskan, puteriku itu berkeras hati ”
"Biarlah nanti Siautit sandiri yang bicara langsung dengan dia.” “Maksudmu soal jodoh ini sukar terlaksana?"
"Siautit punya kesulitan, tentunya adik Bing-cu dapat memaklumi."
Terbayang rasa masgul pada wajah Ciang Wi-bin. Ji Bun sendiri juga merasa rikuh, serba salah dan menyesal, terasakan betapa agung dan besar perhatian keluarga Ciang pada dirinya, selama hidup takkan dilupakannya, malah kali ini demi perjodohan dirinya dengan putrinya, orang tua ini rela menempuh perjalanan jauh dan bahaya mencarikan obat penawar racun tangannya, kini harapannya yang dinanti-nanti akan sirna, betapa hati sang hartawan besar nomor satu dan tokoh aneh dari Kangouw ini takkan sedih dan menyesal?
"Paman Siautit sangat menyesal." "Soal ini tak usah dibicarakan lagi. Bagaimana tindakanmu selanjutnya?"
"Siautit akan meluruk ke markas Ngo-hong-kau baru nanti pergi ke Wi-to-hwe."
"Perjalanan ke Ngo-hong-kau boleh ditunda, paman sudah mengatur suatu muslihat, biarlah kita lihat dulu hasil dari rencanaku itu baru nanti mengambil langkah selanjutnya."
"Langkah apakah yang telah paman atur?"
"Terlalu pagi untuk kujelaskan, akan kujelaskan setelah tiba saatnya."
"Kalau begitu Siautit akan pergi ke Tong-pek-san saja." "Kenapa tidak ke Cinyang, temuilah Bing-cu di sana." "O, ya, tentu tentu Siautit akan ke sana.”
"Baiklah, kita berpisah di sini, selamat bertemu di kota Cinyang."
Ji Bun tahu Ciang Wi-bin tidak mau muncul dengan wajah aslinya di muka umum, mungkin setelah berdandan baru akan menempuh perjalanan, maka Ji Bun juga tidak banyak bicara lagi. "Silakan paman." katanya.
"Hati-hati terhadap orang Ngo-hong-kau, mungkin mereka mengatur perangkap dan main sergap." Ji Bun mengiakan. Ciang Wi-bin segera melayang pergi. Ji Bun mendongak melihat cuaca, matahari telah jauh doyong ke barat, lekas dia berlari-lari menuju ke arah timur.
Beruntung perjalanan ke "Danau Setan" ini tidak sia-sia. Ciang Wi-bin selamat, malah dia berhasil melihat muka orang yang asli, banyak persoalan rumit tersingkap pula, sayang mati hidup ayahnya masih merupakan tanda tanya. Keselamatan ibunda dan Thian-thay- mo-ki juga masih mengganjel hatinya.
Bagaimana dia harus bicara langsung terhadap Ciang Bing-cu setelah tiba di kota Cinyang? Inilah soal pelik yang menjadi pemikirannya sepanjang jalan.
Sehari semalam baru dia keluar dari pegunungan Cong-lam-san, semalam dia menginap di hotel, setetah, cukup istirahat dan memulihkan kesegaran badannya, esok pagi dia melanjutkan perjalanan menuju ke tenggara.
Hari itu dia tiba di Sip-san, di gunung inilah San-lim-li-sim bersemayam, mau tidak mau dia teringat pada Hun-tiong Siancu, jiwanya hampir mampus ditangannya, kalau dalam tubuhnya tiada darah Thian-thay-mo-ki yang pernah minum darah "naga batu", tentu sejak lama dirinya sudah mati. Dendam lama ditambah sakit hati yang baru lalu, betapapun harus segera dibereskan. Maka Ji Bun membelok meninggalkan jalan raya menuju ke arah bukit payung dimana tempat Hun-tiong Siancu bercokol. Setelah tahu letaknya dan apal jalannya, dengan mudah dan cepat Ji Bun menuju ke puncak berbahaya dengan undakan batu tunggal menuju ke atas itu. Di atas sanalah Hun-tiong Siancu berada.
Setelah diserbu pihak Ngo-hong-kau, adalah jamak kalau penjagaan lebih ketat dan kuat, lalu dirinya harus menerjang secara terang-terangan lewat undakan batu ini atau mumbul ke atas menggunakan Ginkang "pusaran angin lesus" saja.
Sebelum Ji Bun berkeputusan, "trang, trang", tiba-tiba didengarnya suara benturan senjata tajam dari pinggir hutan sana, bangkit rasa ingin tahu Ji Bun, lekas dia melenting ke arah datangnya suara.
Keadaan di dalam hutan ternyata amat tegang dan mengejutkan.
Seorang Siucay kampungan sedang berhadapan dengan seorang laki-laki baju sutera, keduanya bersenjata pedang, pedang laki-laki baju sutera menuding ke bawah, sedang pedang si Siucay melintang
lurus ke depan, sementara tangan kiri melindungi dada. Kedua orang menunjuk gaya yang berlainan dari permainan ilmu pedang umumnya, keringat sudah membasahi jidat dan badan kedua orang, dada turun naik, agaknya mereka berhenti untuk mengatur napas dan menghimpun kekuatan. Pertempuran ini tampaknya menjelang babak terakhir, yang terang keduanya sama kuat alias setanding.
Masih ada lima orang berbaju sutera ketat bersenjata pedang berjajar setengah lingkaran di luar gelanggang, masing-masing menduduki posisi yang mengurung, setiap pedang kelima orang ini memancarkan sinar kemilau yang berceceran darah. Di atas tanah dua belas mayat bergelimpangan.
Ji Bun menyelinap maju lebih dekat, kedatangannya tidak diketahui, waktu dia menyapu pandang, segera iapun maklum. Orang-orang baju sutera itu adalah jago-jago kosen Ngo-hong-kau. Siucay tua ini pernah menawan dirinya dan belakangan menjadi anggota Wi-to-hwe pula. Asal-usulnya belum diketahui. Para korban itu ternyata adalah anak buah Wi-to-hwe.
"Trang, trang!" sinar pedang berkelebat kemilau laksana kilat menyambar, hawa pedang terasa dingin dan mengiris kulit, bayangan kedua orang berkutet sebentar lalu berpencar mundur, kembali keduanya bergaya dengan posisi semula. Kepandaian ilmu pedang kedua orang ini jarang terlihat di kalangan Bu-lim.
Ji Bun pikir belum lama Ngo-hong-kau berdiri, namun berhasil menjaring jago-jago silat tinggi sebanyak ini, taraf kepandaian keenam orang jago pedang ini sudah terhitung kelas satu di kalangan Kangouw. Tapi mata Ji Bun lebih banyak menatap pada si Siucay tua, beruntung hari ini bertemu di sini, perhitungan lama dibereskan nanti.
Terdengar laki-laki setengah umur baju sutera itu buka suara: "Saudara betul-betul tidak mau memperkenalkan diri?"
"Tiada perlunya," suara si Siucay tua rada gemetar.
"Tapi permainan pedangmu sudah membongkar asal usul dirimu
..........” "Kau sudah tahu?"
"Gui Han-bun, Hing-thian-it-kiam yang kau unjukkan barusan tentu dapat kukenali."
"Bagus, agaknya memang luas pengalamanmu?” jengek Siucay tua.
Mencelos hati Ji Bun, Hing-thian-it-kiam Gui Han-bun, bukankah dia ini suami atau kekasih ibu tua Khong-kok-lan So Yan? Terbayang cerita yang dikisahkan Biau-jiu Siansing, agaknya Gui Han-bun tidak mati ketika terjungkal ke dalam jurang. Ya, kini Ji Bun mengerti, kenapa tempo hari orang menculik dirinya dan mengompes keterangan di mana ayahnya berada, kiranya menyangkut urusan permusuhan lama ini.
Pertempuran berlangsung pula dengan sengit. Pikiran Ji Bun sedang kusut. Bicara kejadian nyata, perbuatan ayahnya dulu memang kotor dan memalukan. Petaka yang menimpa sepasang kekasih ini memang sangat menyedihkan, siapapun pasti akan menaruh simpatik kepada mereka.
Tiba-tiba kelima pemuda baju sutera menghardik bersama terus terjun ke tengah gelanggang, jadi enam lawan satu kini, sudah tentu lekas sekali keadaan berubah. Betapapun tinggi kepandaian Hing- thian-it-kiam Gui Han-bun, dalam beberapa gebrak saja sudah terancam maut, terang sekali Gui Han-bun bukan tandingan keenam musuhnya. Entah berdasarkan perasaan apa, tiba-tiba Ji Bun menghardik diluar sadarnya: “Berhenti!"
Sebat sekali dia melompat maju.
Orang-orang yang tengah berhantam berbareng menghentikan gerakannya dan mundur, serempak mereka memandang ke arah datangnya suara. "Te-gak Suseng!" mereka berteriakan kaget.
Melihat Ji Bun, Siucay tua memandangnya dengan sorot penuh kebencian. Dengan langkah berat Ji Bun menghampiri, lalu menghadapi laki-laki setengah umur yang menjadi pemimpin anak buah Ngo-hong-kau, suaranya dingin: "Apa kedudukanmu di dalam Ngo-hong-kau?"
Laki-laki itu menyurut selangkah, katanya: "Te-gak Suseng, kuharap kau tidak bersikap bermusuhan dengan pihak kami."
"Akan kuberantas kalian setan iblis ini!" Berubah roman keenam orang.
"Te-gak Suseng," kata laki-laki setengah umur geram, "jangan lupa akan keselamatan jiwa tawanan kami?"
Menyinggung ibunda dan Thian-thay-mo-ki, hal ini malah mengobarkan amarah dan kebencian Ji Bun, yang tak terkendali lagi, sorot matanya mencorong benderang, hardiknya kalap: "Serahkan jiwa kalian!" Kaki menjejak maju, kedua tangan bergerak dengan sepenuh kekuatan, telapak tangan tegak menabas lalu menggaris melintang, gelombang angin dahsyat bagai amukan ombak samudra menggulung maju. Kepandaian laki-laki setengah umur memang lihay, tahu-tahu tubuhnya berkelebat miring menghindar ke pinggir, berbareng pedangnya terayun. Sinar pedangnya memanjang delapan kaki, membabat dari samping ke arah Ji Bun. Betapa lihay serangan ini sungguh amat mengejutkan. Dalam waktu yang sama, kelima pedang lainnya juga menyerang dari berbagai arah.
Kedua tangan Ji Bun sudah terlanjur menyerang dengan kekuatan penuh maka kakinya mendesak maju pula sambil menekuk badan. Laksana kilat tangannya bergerak, dua orang kontan menjerit ngeri pedang terlempar dan badannya tersungkur tak bergerak.
"Mundur," laki-laki setengah umur memberi aba-aba. Dia mendahului lompat jauh, ketiga temannya keruan ketakutan setengah mati berlomba mereka putar badan terus angkat langkah seribu.
"Kalian takkan lolos!" bentak Ji Bun. Secepat anak panah meluncur tiba-tiba Ji Bun menyusul ke arah laki-laki setengah umur, telapak tangan diselingi tutukan jari yang mengandung racun bekerja, menutuk sambil mencengkeram. Kontan laki-laki setengah umur mengerang panjang, badannya yang tengah lari terbanting keras, kepalanya melesak ke dalam tanah, jiwapun melayang seketika.
Sebat sekali Ji Bun menjemput sebatang pedang dari tanah. Sekali ayun dia menimpuk ke arah pemuda yang tengah lari sipat kuping ke arah kanan, begitu pedang meluncur, cepat sekali dia melejit mengejar ke arah pemuda yang lari ke arah yang berlawanan itu. Lolong panjang berkumandang dari arah sana, pedang menembus punggung ke dada dan memanteknya di atas tanah, pemuda itupun melayang jiwanya, sementara kedua orang lagi tersusul Ji Bun. Seperti menjinjing anak ayam, batok kepala kedua orang dia adu hingga pecah berantakan, hanya sekejap enam orang sudah tamat riwayatnya.
Ji Bun putar balik menghampiri Hing-thian-it-kiam, katanya: "Orang she Gui, selamat bertemu!”
Gui Han-bun menyurut mundur, suaranya dingin: "Te-gak Suseng, apa kehendakmu?"
20.58. Pembasmi Jit-sing-po
Serba salah, bagi Ji Bun tidak sukar untuk merenggut jiwa orang, namun mengingat perbuatan kejam dan kotor ayahnya dulu terhadap orang ini, kalau sekarang dirinya membunuhnya pula, sungguh hatinya tidak tega dan lagi melanggar azas kemanusiaan. Sebaliknya kalau dibebaskan, permusuhan ini entah berlarut sampai kapan.
"Dulu aku lolos dari kematian, maka aku bersumpah menuntut balas kepada Ji Ing-hong," demikian desis Gui Han-bun.
"Memangnya kau mampu?"
"Anak muda, kalau hari ini aku mati ditanganmu, mungkin itu sudah suratan takdir." Berputar pikiran Ji Bun, katanya kemudian:
"Orang she Gui, permusuhanmu dengan ayah, bolehkah ditunda sementara?"
"Tidak mungkin"
"Kalau sekarang aku membebaskan dirimu ”
"Anak muda, kalau aku mati memang itulah nasibku, orang she Gui pantang mengemis hidup kepada orang lain."
"Orang she Gui, kalau kuinginkan kau mati, memangnya kau bisa hidup?"
"Silakan turun tangan," pedang ditangannya segera melintang, sikapnya tak acuh dan siap menghadapi detik-detik kematiannya.
Perang batin bergejolak dalam sanubari Ji Bun, kalau musuh dibunuh, urusan akan beres, namun sekarang dirinya sebagai seorang pejabat Ciangbun dari sebuah aliran, segala tindakan pantang menuruti keinginan hati sendiri.
Pada saat itulah, bayangan seorang mendadak berkelebat ditengah udara dan meluncur tiba. Kiranya seorang laki-laki tua baju hitam, wajahnya seram menakutkan. Seketika mendidih darah Ji Bun melihat orang ini. Orang yang baru datang langsung menghampiri si Siucay, katanya dengan menyeringai: "Gui Han-bun, tak kira kau belum mampus."
"Siapa kau?" desis Gui Han-bun kereng. "Inilah Kwe-loh-jin."
"Kwe-loh-jin apa?" tukas Ji Bun, "dia inilah Ngo-hong Kaucu."
Gui Han-bun mundur beberapa langkah, teriaknya: "Ngo-hong Kaucu?"
Ngo-hong Kaucu berpaling ke arah Ji Bun, katanya: "Urusan kita boleh ditunda sementara."
Belum mulutnya selesai bicara, tahu-tahu bayangannya sudah merangsak ke arah Gui Han-bun, betapa hebat dan keji cara orang turun tangan sungguh mengejutkan. Entah menggunakan jurus apa, di tengah suara bentaknya tahu-tahu pedang Gui Han-bun terjatuh, dadanya terluka panjang, pucat pias wajah Gui Han-bun.
"Gui Han-bun," Ngo-hong Kaucu terkial-kial dan maju selangkah seraya mengancam, “kini tibalah saat kematianmu!”
Bayangan tangan berlapis-lapis membentuk sebuah gulungan yang meninggi, tahu-tahu bayangan gulungan ini melintir terus menggaris maju. Hing-thian-it-kiam Gui Han-bun pejamkan mata, hakikatnya dia tidak mampu menangkis atau menghindar dari serangan telapak tangan yang hebat dari Ngo-hong Kaucu ini. "Tahan!" di tengah bentakan keras, "Blang" suara keras berkumandang pula, tampak Ngo-hong Kaucu tersurut mundur, tahu-tahu Ji Bun sudah menghadang di antara kedua orang.
"Te-gak Suseng," teriak Ngo-hong Kaucu murka, apa maksudmu ini?"
"Tidak apa-apa, kularang kau membunuhnya."
"Anak keparat, kau tidak tahu kalau dia ini adalah satu Houhoat Wi-to-hwe?"
"Ya, aku tahu!"
"Kenapa kau membantu musuh malah?”
"Bukan urusanmu," Ji Bun berpaling lalu menambahkan, "Orang she Gui, kau boleh pergi."
Gui Han-bun melenggong bingung, Ji Bun tidak membunuhnya malah menolong jiwanya, sungguh hal ini sukar diselami, namun sikapnya tetap angkuh, “Tek-gak Suseng, aku tak mau terima kebaikanmu.”
"Terserah!" jengek Ji Bun.
Tanpa bersuara tiba-tiba Ngo-hong Kaucu menyerang Ji Bun. Sergapan mendadak ini membuat Ji Bun keripuhan, kontan dia terdesak beberapa langkah. Tujuan Ngo-hong Kaucu bukan menyerang Ji Bun, setelah bikin Ji Bun mundur, secepat kilat dia berbalik menubruk ke arah Hing-thian-it-kiam Gui Han-bun, agaknya besar tekadnya hendak menamatkan riwayat orang ini.
Serasa pecah dada Ji Bun, Ngo-hong Kaucu terlalu licik, Lwekang orang terpaut tidak jauh dengan dirinya, untuk menolong Gui Han- bun terang tidak sempat lagi. Untunglah pada detik-detik yang gawat itu, sejalur angin lunak tajam meluncur dari arah samping mengancam pelipis Ngo-hong Kaucu.
Ngo-hong-kaucu cukup cekatan, ia tahu betapa hebat serangan angin lunak ini. Kaki seperti terpaku di tanah, tahu-tahu pinggangnva meliuk, terus mendoyong badan ke belakang, serangannya terpaksa urung dilancarkan.
Sedikit peluang ini sudah cukup memberi kesempatan kepada Ji Bun, mendadak telapak tangannya menabas, bencinya sudah kelewat takaran, maka serangannya ini menggunakan tenaga penuh, di tengah jerit kesakitan, Ngo-hong Kaucu tersurut lima langkah jauhnya.
Cepat sekali dua sosok bayangan orang berdiri di tepi gelanggang, seorang laki-laki setengah umur dengan muka codet, seorang yang lain adalah nyonya muda yang berwajah ayu laksana bidadari. Yang muncul bersama ternyata suami-isteri Wi-to-hwecu Siangkoan Hong dan Hun-tiong Siancu. Pandangan mereka tertuju ke arah Ji Bun sekejap lalu berpaling ke arah Ngo-hong Kaucu.
Munculnya kedua orang ini sunqguh di luar dugaan Ji Bun, dua pihak musuh yang yang saling bertentangan hari ini sama kesaplok di sini, hati Ji Bun tidak keruan rasa, siapa biang keladi pembantaian di Jit-sing-po kini bisa diadu maka untuk membeberkan secara jelas. Bagi Ngo-hong Kaucu kini bertambah satu dosa, yaitu murid murtad dari Ban-tok-bun.
Dengan suara mantap Siangkoan Hong berkata: "Ngo-hong Kaucu, sungguh pertemuan yang tak terduga."
Ngo-hong Kaucu terkekeh-kekeh, ujarnya dingin, “Ya, pertemuan yang tak terduga."
Hun-tiong Siancu menyela bicara: "Tapi semua permusuhan lama dan baru kebetulan bisa dibereskan sekaligus sekarang."
"Sudah tentu," Ngo-hong Kaucu tertawa-tawa dingin, lalu dia berputar menghadapi Ji Bun, katanya: "Anak muda, kalau kau ingin melaksanakan syarat itu, kini adalah saatnya yang terbaik, aku malah akan membantumu, bagaimana?"
Inilah pancingan dan tekanan yang berat bagi Ji Bun. Dengan kekuatan Ji Bun dan Ngo-hong Kaucu berdua mungkin tidak terlalu sukar untuk memenggal kepala Siangkoan Hong suami istri, itu berarti ibu dan Thian-thay-mo-ki akan segera bebas dari cengkeraman iblis. Tapi apakah Ngo-hong Kaucu dapat dipercaya dan mau menepati janji? Dengan jiwanya yang culas, licik dan kejam, bukan mustahil dia akan janji dan melakukan perbuatan kotor pula. Apalagi dirinya sebagai pejabat Ciangbun suatu aliran yang disegani. Pantaskah tunduk dan terima diperintah oleh seorang murid murtad? Siangkoan Hong mengejek: "Kaucu ingin meminjam tangan Te- gak Suseng untuk menghadapi kami suami isteri, setelah keinginanmu terlaksana lalu hendak merajai Bu-lim dan menguasai dunia, apakah caramu ini tidak terlalu kotor dan hina?"
Jawab Ngo-hong Kaucu tanpa mengunjuk perobahan air muka: "Untuk mencapai cita-cita besar harus menggunakan cara yang luar biasa pula."
"Dengan cara luar biasa, pasti akan mendapat ganjaran yang luar biasa pula," tiba-tiba Hun-tiong Siancu melengking tinggi.
Ji Bun tidak sabar mendengar perang mulut ini, sekilas matanya menyapu para hadirin, lalu katanya dingin: "Siapa sebetulnya yang melakukan pembantaian di Jit- sing-po?"
“Siangkoan Hong," Ngo-hong Kaucu segera bersuara, “Kau tidak berani mengaku?"
Siangkoan Hong tertawa dingin, baru saja dia mau bicara, tiba- tiba Hing-thian-it-kiam Gui Han-bun tampil ke depan, katanya tegas: "Ji Bun, akulah yang melakukan."
Tersirap darah Ji Bun, kepalanya terasa berat seketika, teriaknya: "Kau?"
Sikap Hing-thian-it-kiam Gui Han-bun tampak amat menderita, katanya: "Betul, akulah yang melakukan, sayang Ji Ing-hong sendiri dapat lolos." Memuncak nafsu Ji Bun, sekian lamanya dia mengira biangkeladi pembunuhan orang-orang Jit-sing-po adalah Wi-to-hwe dan Ngo- hong-kau. Kini teryata dugaannya meleset, yang melakukan adalah Hing-thian-it-kiam Gui Han-bun. Walau diluar dugaan, sebetulnya kejadian inipun bisa diterima bila dipikir dengan sehat, karena Hing- thian-it-kiam ada alasan sendiri pula untuk melakukan pembantaian besar-besaran ini.
"Tuan sendiri yang melakukan? Kau mampu?”
"Kenapa tidak mampu?"
"Dengan kekuatanmu seorang sanggup membunuh Jit-sing-lak- ciang dan lain-lain?“
"Ji Bun, bicara terus terang, dikala aku turun tangan, kebetulan Siangkoan Hwecu juga meluruk datang hendak menuntut balas kepada ayahmu, tapi kenyataan ayahmu sendiri menyembunyikan diri."
"Bagus, sekarang tibalah saat kematianmu sendiri, tentunya kau tidak akan menyesal."
"Nanti dulu ” seru Siangkoan Hong sambil angkat tangan.
"Hwecu ada pendapat apa lagi?" tanya Ji Bun garang.
"Gui-Houhoat adalah anggota kami, sama-sama menghadapi musuh, pengalaman kamipun sama ” "Memang permusuhanku dengan kalian suami isteri juga belum beres?"
"Boleh diperhitungkan sekarang juga." "Bagus sekali!" kata Ji Bun.
Ngo-hong Kaucu menyeringai dingin, katanya: Ji Bun, seorang diri jangan harap kau bisa menuntut balas. Bagaimana kalau aku membantumu?"
"Tutup mulutmu, urusanku tak usah kau turut campur." Ngo-hong Kaucu membuka tangan sambil angkat pundak,
katanya mundur selangkah: "Kalau begitu biarlah aku nonton saja."
Kalau Siangkoan Hong suami isteri bergabung dengan Gui Han- bun, pihak mana yang bakal gugur memang sukar diramalkan. Tapi Ji Bun berwatak keras dan angkuh, betapapun dia tidak sudi dibantu orang luar, apalagi Ngo-hong Kaucu sendiri arus menyelesaikan dua persoalan dengan dirinya, ini lain dari kenyataan, sebetulnya dia harus menumpasnya lebih dulu.
Hing-thian-it-kiam Gui Han-bun memberi hormat kepada Siangkoan Hong, katanya: "Hwecu, pertikaian ini biarlah kuselesaikan sendiri."
"Gui-Houhoat, bukan lantaran kau adalah Houhoat kami maka aku mencampuri urusan ini, tapi demi keadilan dan kepentingan umum." Gui Han-bun bungkam. Sebaliknya Ngo-hong Kaucu mendongak dengan gelak tertawa dingin yang panjang. Ji Bun tambah waspada, kalau Gui Han-bun sudah mengaku sebagai biangkeladi dari pembataian besar di Jit-sing-po, tentu orang tidak akan melarikan diri, hal ini bisa diselesaikan menurut aturan Kangouw secara adil.
Lain halnya tengan Ngo-hong Kaucu yang kejam dan licik serta banyak muslihatnya ini. Siapa dia sebenarnya masih merupakan tanda tanya. Kalau hari ini dirinya tak sempat membekuk atau mengalahkan dia, perubahan apa yang akan terjadi kelak sulit diramalkan. Mendadak dia melangkah ke arah Ngo-hong Kaucu, katanya: "Marilah urusan kita selesaikan lebih dulu."
Ngo-hong Kaucu bersuara heran, tanyanya: Ji Bun, apa maksudmu?"
"Urusanku dengan kau lebih penting untuk segera dibereskan." "Kau tidak ingin menolong tawananku dulu?"
"Jangan kau kira dapat memeras aku dengan para tawanan itu."
"Te-gak Suseng, kau tidak ingat sakit hatimu lagi, kau akan menyesal ”
"Siangkoan Hwecu dan lain-lain adalah insan persilatan yang sejati, aku percaya kepada mereka, takkan melakukan perbuatan licik dan kotor," jawab Ji Bun. "Jadi kau tak percaya padaku?" dengus Ngo-hong Kaucu. "Kalian hendak mengeroyokku?"
"Tua bangka, mereka tidak akan membantuku, namun betapa besar hasrat mereka untuk membunuhmu, umpama mereka turun tangan, aku juga tidak perduli."
Ngo-hong Kaucu menyurut mundur, suaranya gemetar jeri: "Dengan cara apa kau selesaikan perhitungan ini?"
Ji Bun mengertak gigi, katanya: "Sebelum turun tangan, aku ingin tanya, pernah apa ayahku dengan kau?"
Ngo-hong Kaucu terloroh-loroh, serunya: "Darimana kau bisa bilang demikian?"
"Jangan mungkir, hatimu sendiri sudah tahu." "Tahu apa?”
"Dari asal usul Tok-keng, kau pasti punya satu hubungan dengan ayahku."
Memancar terang biji mata Ngo-hong Kaucu, katanya menyeringai: "Ji Bun, jadi kau sedang mengejar jejak Tok-keng itu? Baiklah biar kuberi tahu, Ji Ing-hong memang punya hubungan yang intim sekali dengan aku."
Bergetar tubuh Ji Bun, tanyanya mendesak: “Kau pasti tahu di mana ayahku." "Sudah tentu, kau ingin menemuinya? Kalau kau sudah melaksanakan syaratku, aku pasti beri sempatan untuk berkumpul dengan ayah bundamu."
"Jadi .... dia juga kau kurung?"
"Ah, cuma jadi tamuku saja."
Siangkoan Hong, Hun-tiong Siancu dan Hing-thian-it-kiam Gui Han-bun sama bersuara kaget, mereka belum merasa lega sebelum membunuh Ji Ing-hong si durjana, kini setelah tahu dimana dia berada, keruan dalam hati mereka bersorak girang.
Terutama Ji Bun, hatinya dirangsang emosi yang meluap-luap sampai badannya gemetar, ternyata ayahnya masih hidup, dugaan Ciang Wi-bin ternyata tidak meleset.
"Tapi kau pernah bilang ayahku sudah gugur di tangan Thong- sian Hwesio."
"Ada kalanya membual akan ada faedahnya juga bagiku?" "Hina, tidak tahu malu!"
"Kini bukan saatnya ngobrol, kau harus segera memberi keputusan."
Gemertak gigi Ji Bun, desisnya: "Biar kubunuh kau lebih dulu," tubuhnya segera menubruk ke arah, Ngo-hong Kaucu. Ngo-hong Kaucu menggeram sekali, dengan mengerahkan seluruh kekuatannya kedua tangan terangkat, menyongsong maju. Lwekangnya hasil ajaran dari Hud-sim, betapa hebat, kuat dan lihaynya tiada lawan lagi di seluruh jagat ini, kecuali Tok-jiu-sam- sek, tiada jurus ilmu manapun yang mampu mengatasinya.
"Plak," keduanya tertolak mundur beberapa langkah. Serempak Siangkoan Hong suami-isteri dan Gui Han-bun berlompatan terpencar menduduki posisi masing-masing, agaknya mereka ingin turun tangan dalam setiap kesempatan.
Ji Bun menyapu pandang mereka bertiga, katanya: "Kalian jangan ikut campur "
Hanya karena lena sejenak untuk bicara ini, tahu-tahu bayangan Ngo-hong Kaucu berkelebat pergi dan lenyap ke dalam hutan.
"Lari kemana!" serentak berempat orang membentak, secepat kilat mereka berlomba mengejar.
Tak pernah terpikir oleh Ji Bun, bahwa sebagai seorang Kaucu, orang ternyata serendah dan sehina itu perbuatannya, keruan benci dan dongkolnya bukan kepalang, reaksinya amat cepat dan cekatan, namun hanya terpaut sedetik saja, ternyata Ngo-hong Kaucu sudah lenyap tanpa ketahuan parannya.
Di antara mereka berempat termasuk Hun-tiong Siancu yang memiliki gerakan tubuh paling aneh dan cepat, sayang peringatan Ji Bun tadi sedikit banyak memancarkan perhatian mereka. Kalau tidak tak mungkin Ngo-hong Kaucu bisa lolos sedemikian mudah. Hampir meledak dada Ji Bun, seperti orang kesurupan dia mengobrak-abrik hutan, lari kesana terjang kemari, seluruh pelosok hutan dijajaki, namun hasilnya tetap nihil.
Akhirnya dia kembali ketempat semula, baru memutar badan, tiga bayangan berturut-turut juga melayang datang, mereka Siangkoan Hong suami-isteri dan Gui Han bun. Mereka tidak kabur, dalam hati Ji Bun diam-diam memuji akan sepak terjang mereka yang jujur dan dapat dipercaya. Karena itu sikap Ji Bun tampak sedikit lunak, namun ini tidak menurunkan rasa dendamnya, ini hanya soal sikap dan tindakan saja.
Karena pengalaman yang berbeda-beda, watak Ji Bun beruntun ikut berubah pula, dan perubahan ini merupakan gemblengan sehingga Ji Bun sekarang menjadi insan persilatan yang sejati pula.
Siangkoan Hong berkata dengan nada serius: "Ji Bun, berkat bantuanmu atas pertolongan terhadap isteri dan puteriku, kusampaikan ucapan terima kasih."
"Kukira tidak perlulah."
"Insan persilatan mengutamakan perbedaan antara dendam dan budi secara jelas."
"Hwecu ingin mencampuri urusanku dengan Gui Han-bun?" "Pendirianku tadi sudah kuterangkan, mau tak mau aku harus
ikut campur.” "Baik, perlu juga kutandaskan, siapa yang ikut campur, tetap kupandang sebagai musuhku?"
"Menurut kenyataan, memang antara kita ada ikatan permusuhan, walau ini buah hasil perbuatan jahat ayahmu."
"Bagus sekali, kini saatnya aku turun tangan!”
Habis berkata Ji Bun melangkah ke sana menghadapi Hing-thian- it-kiam Gui Han-bun.
Muka Gui Han-bun merah padam, benci dendam menjalari sanubarinya, meski hatinya tegang dan dilandasi emosi, namun dia tidak gentar menghadapi saat-saat akhir dari adu jiwa ini. walau dia sendiri menyadari kepandaian sendiri adalah paling lemah di antara empat orang yang hadir.
"Ji Bun," tiba-tiba Siangkoan Hong bersuara dengan angkat sebelah tangan, "aku masih ingin bicara. Kenyataan tidak boleh disangkal, Gui-Houhoat bukan tandinganmu ”
"Lalu kenapa?"
"Kau boleh robohkan kami berdua dulu baru jiwa Gui-Houhoat akan kuserahkan kepadamu."
"Jadi kecuali mati, urusan ini takkan selesai demikian saja?” kusut hati Ji Bun, ia bertekad membunuh Gui Han-bun untuk membalas kematian para korban di Jit-sing-po. Terhadap Siangkoan Hong suami isteri, ia tidak berniat membunuh mereka, kini keadaan memaksa dirinya melawan tiga orang, tiada pilihan lain dia harus menggunakan ilmu beracun. "Kalian maju bersama?" tanyanya.
"Menilai perbuatan ayahmu Ji Ing-hong, untuk menghadapi kau boleh menggunakan cara apapun, tapi kami tidak ingin menjadi buah tutur orang lain, marilah kita selesaikan pertentangan ini dengan aturan Kangouw, satu lawan satu."
Menyinggung perbuatan ayahnya, bicara soal permusuhan kedua pihak, ini merupakan derita yang tak terlukiskan dalam batin Ji Bun. Setiap insan persilatan yang sejati lebih cenderung untuk menyelesaikan segala pertikaian dengan keadilan, kesetiaan dan kebijaksanaan. Kini dirinya berada di pihak yang keliru, membela pihak yang salah, adalah jamak kalau merekapun berhak menggunakan cara apapun untuk menghadapi dirinya.
Kenyataan telah mendesak dirinya ke sudut, terpaksa dia harus menghadapi segala persoalan ini tanpa mengingat risikonya. Sejenak dia terdiam, lalu berkata dingin: "Siangkoan Hwecu, kalau bertanding satu lawan satu, kau tidak akan unggul dalam tiga gebrak."
Dalam dunia persilatan masa kini siapa yang berani bicara seangkuh dan sesombong begini terhadap Wi-to-hwecu, namun yang bicara adalah Te-gak Suseng, meski terlalu temberang, tapi siapapun tak berani menyangkal akan kebenaran ini.
Berubah rona muka Siangkoan Hong, katanya dingin, "Te-gak Suseng, agaknya tiada orang lain yang terpandang olehmu?" "Aku berani membuktikan ucapanku."
"Kau berani bertaruh dengan aku?" tiba-tiba Hun-tong Siancu menyela.
”Bertaruh apa?"
Sebelum bicara Hun-tiong Siancu melirik kearah Siangkoan Hong, maksudnya supaya tidak campur bicara, lalu katanya dengan nada berat: "Apakah akupun tak kuasa menghadapi tiga jurus serangan?"
Terhadap Hun-tiong Siancu, Ji Bun tidak berani membual, namun dasar berwatak angkuh, sikapnya tetap keras. “Mungkin saja," jengeknya.
"Baiklah kita bertaruh dalam tiga gebrak," "Bertaruh bagaimana?"
"Akan kuterima tiga jurus seranganmu, kalau kalah, batok kepala kami bertiga boleh kau penggal sesuka hatimu " pertaruhan ini
amat megejutkan, diam-diam Ji Bun sendiri merasa mengkirik.
"Tapi kalau beruntung aku sanggup menerima seranganmu ......
kau harus batalkan tuntutanmu terhadap Gui-Houhoat, biarlah dia sendiri membereskan perrmusuhannya dengan ayahmu."
"Dan kalian suami isteri?" tanya Ji Bun. "Kami akan mencari ayahmu juga, tapi setiap saat kami tetap menerima tantanganmu."
Ji Bun berpikir sejenak, katanya tegas: "Baik, kuterima tantangan ini."
"Jangan Siancu," tiba-tiba Hing-thian-it-kiam Gui Han-bun tampil ke depan.
Hun-tiong Siancu menoleh, katanya melengak "Ada pendapat apa Gui-Houhoat?”
"Aku keberatan akan pertaruhan ini," kata Gui Han- bun.
"Apa yang telah kuucapkan tak boleh berubah lagi." sahut Hun- tiong Siancu.
"Tapi hatiku takkan tenteram selama hidup ini."
"Silakan mundur Gui-Houhoat, tak usah banyak bicara lagi," suaranya lembut, namun siapa yang mendengar takkan berani melawannya.
Gui Han-bun mengertak gigi, apa boleh buat, terpaksa dia melangkah mundur, baru dia hendak bicara lagi, tiba-tiba Siangkoan Hong menggoyang tangan mencegahnya.
20.59. Dendam Dibalas, Budi Pun Harus ..... Tadi sudah timbul hasrat Ji Bun hendak memberitahu Gui Han- bun tentang Khong-kok-lan So Yan, namun saat lain dia batalkan niatnya. Soalnya dia tidak boleh membongkar rahasia Ciang Wi-bin, lagi peduli bagaimana asal usul dan sepak terjang Khong-kok-lan, betapapun dia semula adalah isteri resmi ayahnya, pertikaian ini memang sulit diselesaikan. Tujuan hari ini membunuh Gui Han-bun adalah menuntut balas bagi seluruh penghuni Jit-sing-po yang menjadi korban.
"Te-gak Suseng," ujar Hun-tiong Siancu, "sekarang kau boleh siap turun tangan."
Tiba-tiba tergerak hati Ji Bun, katanya "Siancu mengandalkan ilmu Yan-hun-hu-deh ”
"Ji Bun," potong Hun-tiong Siancu sambil angkat sebelah tangannya, "tiga jurus kuterima seranganmu tanpa menggunakan gerakan apapun."
Hati Ji Bun sudah mantap, katanya: "Siancu boleh saja menggunakan gerakan tubuh itu, tapi cayhe perlu memperingatkan, seranganku mengandung racun yang amat jahat."
"Tanpa kau katakan juga aku sudah tahu," sahut Hun-tiong Siancu tanpa pikir.
"Baiklah! Nah sambutlah pukulan pertama!" Tok-jiu-it-sek segera dilancarkan dengan mengerahkan seluruh kekuatannya. Lwekang Hun-tiong Siancu memang paling tinggi di antara mereka bertiga, jika dia tidak kuasa menerima tiga jurus serangan ini, sudah tentu Siangkoan Hong dan Gui Han-bun juga bukan tandingan Ji Bun pula, bahwa Hun-tiong Siancu mengadakan pertaruhan dengan tiga jurus serangan ini, maksudnya adalah untuk menghindari bentrokan habis-habisan, biarlah seorang berkorban daripada bertiga gugur bersama, apalagi bukan mustahil dirinya mampu menerima tiga jurus serangan Ji Bun.
Tanpa sengaja beruntun Ji Bun pernah menanam budi terhadap musuh-musuhnya. Pertama dia menolong Siangkoan Hong yang keracunan, kemudian secara beruntun tiga kali menyelamatkan Siangkoan Hwi lagi. Di tempat semayam Sam-lim-li-sin iapun bantu memberantas orang-orang Ngo-hong-kau yang menyerbu datang. Setengah jam yang lalu iapun menolong jiwa Gui Han-bun dari renggutan elmaut Ngo-hong Kaucu. Dengan berbagai alasan ini, maka Hun-tiong Siancu bertiga merasa rikuh dan tidak enak hati untuk mengeroyoknya. Akan tetapi perbuatan jahat ayahnya memang kelewat takaran, bagaimanapun juga tidak terlampias sebelum mencacah tubuhnya. Oleh karena itu, persoalan di antara mereka menjadi berkepanjangan. Hal inipun dimaklumi oleh Ji Bun, maka begitu turun tangan segera dia kerahkan seluruh kekuatannya.
Penderitaan hidup Hing-thian-it-kiam Gui Han-bun memang harus dikasihani, namun dosa dan perbuatannya yang telah membantai seluruh penghuni Jit-sing-po betapapun takkan terampunkan, untuk membunuhnya, terpaksa Ji Bun harus mengalahkan Hun-tiong Siancu pula. Maka pertempuran kali ini merupakan pertempuran mati hidup, jika Hun-tiong Siancu kalah berarti tiga batok kepala harus diserahkan mentah-mentah. Oleh karena itu, Hun-tiong Siancu pun tidak berani lena, dia gerakkan kedua tangan, membundar terus menggaris ke depan. "Blang, blung", benturan keras terjadi beberapa kali, dengan mudah ternyata Hun-tiong Siancu berhasil menyambut serangan pertama.
Serasa membeku hati Ji Bun. Kepandaian perempuan ini memang amat mengejutkan, inilah lawan satu-satunya yang paling tangguh selama ini. Bukan saja tidak gentar terhadap serangan racun, dia pula orang pertama yang kuasa memunahkan serangan tangan beracun yang ampuh ini.
Keringat mulai membasahi jidat Hun-tiong Siancu, hal ini menandakan betapa tegang hatinya. Begitu mundur, Ji Bun segera membentak, "Sambutlah jurus kedua."
Tok-jiu-ji-sek segera dilontarkan pula.
Kali ini Hun-tiong Siancu rada menungging, mulutnya mengerang tertahan, kakinya tersurut tiga-empat langkah, wajahnya kelihatan pucat, namun jurus kedua ini dapat dia terima tanpa kurang suatu apa-apa.
Kini tinggal jurus terakhir, jurus yang menentukan mati hidup. Saking tegang badan Gui Han-bun sampai gemetar, telapak tangan berkeringat dingin. Demikian pula keringat Siangkoan Hwecu juga gemerobyos.
Tambah cemerlang sinar mata Ji Bun, pelan-pelan matanya menyipit, mulut terkancing rapat, sikap dan perbawanya amat menggetarkan nyali setiap orang yang menghadapinya. Terdengarlah kata-kata berat, yang mengandung nafsu membunuh dari mulutnya laksana godam yang mendentam di sanubari orang: "Jurus terakhir!"
Agak bergetar tubuh Hun-tiong Siancu, mukanya yang pucat membesi hijau, wajahnya nan molek jelita, menjadi guram dan sayu, butir-butir keringat bak mutiara nan berkilau menghiasi jidatnya.