Jilid 14
"Betul lalu saudara ada petunjuk apa?" "Aku ingin mencari tahu seseorang." "Siapa?"
"Jit-sing-po-cu Ji Ing-hong."
Berdebar hati Ji Bun. orang yang berdandan pelajar kampungan ini entah darimana asalnya. Untuk apa pula mencari tahu jejak ayahnya? Dari mana dia tahu asal usul Biau-jiu Siansing?
"Kenapa saudara mencari tahu jejak Ji Ing-hong kepadaku?" "Karena kalian sekomplotan."
Tersirap darah Ji Bun. Sungguh tak pernah terpikir olehnya bahwa Biau-jiu Siansing sekomplotan dengan ayahnya. Serta merta dia melirik Biau-jiu Siansing dengan tatapan curiga, sejauh memang dirinya belum berhasil melucuti wajah aslinya maling tua ini, yang diketahui hanya Biau-jiu Siansing adalah duplikat Thian-gan-sin-jiu.
"Apa?" teriak Biau-jiu Siansing keras. "Ji Ing-hong sekomplotan denganku?"
"Apa kau menyangkal?" tanya orang itu.
"Kau pasti punya dasar tuduhan ini? Coba jelaskan."
"Tuan bersama Ji Ing-hong menyaru jago Ngo-lui-kiong, ikut membuat huru-hara ke Wi-to-hwe, benar tidak?" "Darimana kau tahu?"
"Cukup asal kau mengaku saja, soal lain tak usah ditanya."
Semakin bergolak perasaan Ji Bun, sungguh tak nyana orang baju putih yang mengacungkan Ngo-lui-cu di Tong-pek-san dan dicegah Thong-sian Hwesio itu ternyata adalah ayahnya. Kenapa Biau-jiu Siansing tidak pernah menyinggung soal ini? Memang waktu Biau-jiu Siansing pernah memperingatkan dirinya supaya meninggalkan gelanggang, kiranya ada sebabnya. Sepak terjang Biau-jiu Siansing sungguh sukar diraba.
Biau-jiu Siansing terdiam sebentar, tanyanya: "Untuk apa saudara mencari tahu jejaknya?"
Berkilat sinar mata Siucay tua itu, katanya: "Untuk menagih utang lama."
"Kukira kau takkan bisa menagih utangmu itu. Jit-sing-pocu sudah meninggal di jalan raya yang menuju ke Kay-hong."
Siucay tua terkekeh-kekeh dingin, katanya: "Maling tua, berani kau mengatakan bahwa yang mati betul-betul Ji Ing-hong si keparat itu?"
Mendengar orang memaki dan menghina ayahnya, Ji Bun naik pitam, namun dia tekan amarahnya. Kata-kata orang juga mengejutkannya, jenazah ayah dan dia sendiri yang mengubur. Walau wajahnya sukar dikenali, namun dari barang-barang peninggalan yang ada di kantong bajunya, jelas adalah milik ayahnya. pakaiannyapun cocok dan tidak mungkin dipalsukan. Cukong atau majikan Kwe-loh-jin pernah suruh orang berpesan kepadanya bahwa ayahnya mati terbunuh oleh Thong-sian Hwesio.
Biau jiu Siansing juga melenggong sekian lama. Hati Ji Bun juga dirundung kecurigaan, bukan mustahil peristiwa pembunuhan itu juga merupakan muslihat belaka? Akhirnya Biau-jiu Siansing buka suara nadanya rendah dingin: "Aku tidak mengerti apa maksud saudara."
"Maling tua, dihadapan sang Buddha jangan kau bersembahyang dengan dupa palsu, bicaralah terus terang saja."
"Saudara terlalu menghina dan pandang rendah orang lain." "Sikapku ini terhitung memberi muka padamu."
Ji Bun tidak sabar lagi, segera ia menyeletuk dengan sinis: "Kenapa tuan ini tidak berterus terang akan pribadi sendiri?"
Mengerlingpun tidak mata Siucay tua, hakikatnya dia anggap tidak dengar ucapan Ji Bun, katanya melengking: "Buyung, tiada urusanmu disini."
"Kenapa tidak?"
"Hm, apakah kau tahu di mana Ji ing-hong berada?" "Mungkin aku tahu." Tiba-tiba Siucay tua berputar menghadap Ji Bun, sorot matanya bagai kilat tajam menatap anak muda itu. Ji Bun tidak gentar, ia balas tatap orang, katanya: "Sekarang mohon tanya nama gelaran tuan."
"Selamanya Lohu tidak suka mengagulkan diri."
"Kalau demikian, jangan harap tuan bisa mendapat jawaban." "Kau congkak sekali, anak muda. Aku tidak sabar lagi," "Akupun tidak sabar untuk menggebahmu pergi.”
Lekas Biau-jiu Siansing menyela: "Berdasar apa kau bilang yang mati di jalan raya Kay-hong itu bukan Ji Ing-hong?"
"Kenapa Ji Ing-hong dibunuh? Siapa yang menyaksikan? Dengan bekal kepandaiannya, kukira jarang ada orang yang mampu membunuhnya? Apalagi, dia pandai main racun?“
"Memang beralasan, tapi masih banyak orang pandai di kalangan Kang-ouw."
"Meski demikian, masakah Ji Ing hong tidak mampu melarikan diri, apalagi manusia berjiwa kerdil dan jahat seperti dia, tentu sebelumnya dia sudah mengatur jalan mundur."
"Jangan saudara lupa, dia terbunuh setelah berhantam mati- matian dengan lawan dan akhirnya gugur bersama." "Kau sendiri tidak menyaksikan bukan? Kabar angin tidak boleh dibuat bukti. Ketahuilah maling tua, korban itu mati lantaran keracunan, tiada luka apa-apa di badannya, wajahnya dihancurkan setelah jiwanya melayang, maka darah yang meleleh tidak banyak. Luka-lukanyapun tiada sesuatu yang luar biasa. Cara mengelabuhi orang begitu masakah bisa mengaburkan pandangan Lohu."
"Jadi tuan sendiri menyaksikan kejadian itu?" tanya Biau-jiu Siansing.
"Aku datang kemudian, namun mayat-mayat mereka pernah kuperiksa."
Goyah pendirian dan pendapat Ji Bun, jika betul begitu, maka dalam peristiwa pembunuhan ini pasti ada latar belakangnya. Sudah tentu ia harap ini jadi kenyataan, ia berharap ayahnya masih hidup. Keja¬dian ini betul-betul merupakan keanehan. Maka ia ber¬kata: "Agaknya tuan selalu menguntit jejak Ji-pocu."
"Ya, boleh dikatakan demikian."
"Soal mati hidupnya tak perlu diungkat lagi, perhitungan apa yang hendak tuan tagih dari dia?"
"Anak muda, tadi kau bilang tahu jejaknya?”
"Ya, Cayhe tahu kalau dia sudah meninggal, malah aku sendiri yang mengubur mereka, akupun mendapatkan tanda-tanda bukti dari kantong bajunya, menandakan asal usul si korban." “Apakah tidak terpikir olehmu bahwa itu muslihat Ji Ing-hong untuk mengalihkan perhatian musuh terhadap jiwanya?"
"Tiada alasan kenapa aku harus berpikir demikian.” "Bedebah, minggir kau, soal ini kau tidak usah campur."
Bangkit watak angkuh Ji Bun, dengusnya: “Cayhe justru ingin ikut campur."
"Anak muda," desis Siucay tua, "Apa maksudmu?"
"Agaknya kau sudah bosan hidup?" ancam Siucay. "Jangan kau paksa aku membunuhmu." Belum lenyap kumandang suaranya, tangannya tiba-tiba terulur ke dada Ji Bun, gerakan cengkeraman ini aneh dan cepat sekali. Ji Bun menggeram rendah, iapun bergerak dalam waktu yang sama, telapak tangannya memapas pergelangan tangan lawan.
Belum lagi gerakannya berhenti, tahu-tahu setengah tubuhnya terasa kejang dan linu, tahu-tahu Jian-kin-hiat di pundak telah terpegang oleh lawan, telapak tangannya juga berhasil menabas pergelangan lawan.
Seketika Siucay tua menjerit kaget: "Tangan beracun!" pegangan dilepas, kaki menyurut mundur, wajahnya berubah pucat. Dingin Pandangan Ji Bun, dia tunggu reaksi namun Siucay tua ini tidak terjungkal roboh, hanya mulutnya sedikit mengernyit seperti menahan sakit. Seorang yang tidak gentar terhadap tangan beracun.
Terdengar Siucay tua barkata tertahan: "Kau inikah Te-gak Suseng? Kenapa tidak mirip wajah yang pernah kudengar oh,
ya, keluyuran bersama si maling, tentunya bukan wajahmu yang asli
......" hanya bicara beberapa patah kata ini, keringat sudah berketes- ketes di jidat si Siucay. Kalau dia dapat melawan menjalarnya racun dengan tenaga dalam, dapatlah dibayangkan betapa tinggi Lwekangnya.
"Latihan Lwekang tuan memang amat mengejutkan, namun racun tetap tidak akan bisa ditawarkan, paling-paling hanya mengulur waktu saja."
"Ehm, bagus, anak muda, Lohu tak pernah pikir bakal kecundang olehmu, mungkin memang sudah nasibku."
"Apakah tuan tidak takluk dan menyerah saja?"
"Kalau tahu kau ini Te-gak Suseng, tiada kesempatan bagimu menggunakan racun."
"Mungkin, tapi sudah terlambat, menyerah saja."
Mendadak Biau-jiu Siansing berkata keras: "Berikan obat penawarnya!"
"Kenapa?" tanya Ji Bun melengak. "Nak, berikan kepadanya!" kata Biau-jiu Siansing tegas.
Ji Bun berpikir, mungkin Biau-jiu Siansing punya maksud tertentu, maka tanpa bersuara segera dia keluarkan sebutir pil terus diangsurkan. Lekas Siucay itu menerima dan ditelapnya, rasa derita seketika sirna dari wajahnya. Katanya sambil membanting kaki: "Selamat bertemu lagi"
Sekali berkelebat, bayangannya tahu-tahu sudah menghilang.
Begitu membalik badan, tahu-tahu Siucay tua itu sudah berkelebat menghilang, kecepatan dan ketangkasannya ternyata tidak di bawah Biau-jiu Siansing.
Dengan heran Ji Bun bertanya: "Kenapa harus memberi obat penawar kepadanya?"
"Lohu curiga akan seseorang.”
"Siapa?"
"Lan Sau-seng."
"Orang macam apakah Lan Sau-seng itu?" "Dia adalah adik ibumu."
"Pamanku? Apakah Cianpwe tidak yakin dia ini orangnya?" "Tidak, sebab Lohu belum pernah melihat mukanya." "Lalu kenapa Cianpwe curiga kalau dia ini paman ku?"
"Dulu, waktu ibumu Lan Sau-tin menikah dengan ayahmu, pamanmu ini menentangnya secara keras, karena itu hubungan kakak beradik menjadi putus. Dalam gusarnya pamanmu mengusir ibumu dan bersumpah suatu ketika hendak membuat perhitungan dengan ayahmu ”
Ji Bun ketarik, inilah sekelumit riwayat hidup keluarganya yang belum diketahuinya, maka dia bertanya gugup: "Kenapa dia menentang pernikahan ibuku?"
"Karena ayahmu sudah menikah dengan ibu tuamu Khong-kok- lan So Yan, jadi ibumu hanya seorang gundik."
“O, kiranya begitu, agaknya amat besar cinta ibu kepada ayah dulu. Lalu berdasar apa Cianpwe menaruh curiga."
"Pertama, dia bilang hendak membuat perhitungan namun tidak mau menyebut nama sendiri. Kedua, bahwa ayahmu sering menyamar jadi orang berkedok berjubah sutera, hal ini jarang diketahui orang di kalangan Kang-ouw, namun dia tahu. Ketiga, gerak geriknya aneh dan cepat, menurut apa yang pernah dikatakan ayahmu, pamanmu Lan Sau-seng memang ahli dalam Ginkang."
“O, kenapa tadi Cianpwe tidak tanya kepadanya?" "Kalau salah bagaimana? Jumlah musuh tidak sedikit, sekali lena dan gegabah, banyak buntutnya. Kelak kau masih punya banyak waktu untuk menyelidiki hal ini."
Ji Bun manggut-manggut, katanya sungguh-sungguh: "Betul¬kah ayah belum meninggal?"
Biau-jiu Siansing balas bertanya: "Apa kau sendiri berpendapat hal ini mungkin?"
"Sesuai apa yang dikatakan Siucay tadi mungkin saja. Pertama, ayah seorang ahli dalam permainan racun, tidak mungkin dia mati keracunan. Kedua, bahwa dia gugur bersama dengan Jit-sing-kojin, kenapa keduanya tidak nampak luka-luka? Ketiga, setelah jiwa melayang baru kepala mereka dihancurkan, jelas peristiwa ini memang, ada latar belakangnya."
"Jadi kau berpendapat ayahmu memang sengaja main muslihat?"
Ji Bun diam saja, sudah tentu dia berharap timbulnya suatu kegaiban, bahwa yang terbunuh itu memang bukan ayahnya. Namun dalam hati dia merasa malu diri, karena perbuatan seperti ini tidak pantas dilakukan oleh seorang pendekar yang berjiwa ksatria.
Agaknya Biau-jiu Siansing sudah segan membicarakan hal ini, peti segera dipanggul dan tangan menggoyang kelinting, katanya: "Lohu harus segera berangkat, selamat bertemu lagi." lalu ia melangkah pergi. Dalam jangka setengah hari ini, banyak yang diperoleh Ji Bun mengenai rahasia keluarganya. Dari rahasia keluarga yang diketahui ini secara beruntun membongkar kedok dan kemunafikan ayahnya. Hal ini sungguh sangat menusuk hatinya, diam-diam ia malu dan berduka.
Kalau ayah tidak mati, bagaimana bisa menuduh Thong-sian Hwesio sebagai pembunuh? Pula Thong-sian Hwesio tidak pernah pakai racun, juga tak mungkin dia menghancurkan kepala orang setelah membunuhnya? Sayang waktu dia mengubur kedua mayat itu tidak memikirkan hal ini. Semua persoalan yang diajukan oleh Siucay tua tadi sebetulnya bisa segera membuktikan kenyataan.
Semua perubahan yang bertambah rumit ini merupakan pukulan yang menggoyahkan tekad Ji Bun untuk menuntut balas, apalagi sepak terjang ayahnya dulu memang terlalu rendah dan hina.
Semakin dipikir semakin kalut.
Sekarang dia benar-benar merasa perlu untuk segera pergi ke Kay-hong, hanya Ciang Wi-bin seorang yang sekarang bisa diajak berunding. Bukan saja bisa meminjam tenaganya, iapun bisa diminta saran untuk merancang penuntutan balas, maka tanpa banyak pikir lagi Ji Bun segera mengayun langkah kembali ke kota Lam-cau.
13.39. Korban Ilmu Hian-giok-siu-hun
Masuk dari pintu barat tanpa sadar dia langsung menuju ke rumah ayahnya. Dia pikir kalau pak jenggot sudah mau dibeli oleh musuh dan menjadi kaki tangannya, pasti ada orang lain pula yang menghuni rumah besar itu, mungkin ada jejak lain yang bisa ditemukan di sana. Seumpama secara tidak terduga diperoleh sumber, tentu tidak usah banyak membuang tenaga dan memeras pikiran lagi. Hanya jejak dan keselamatan ibunya yang masih mengganjel hatinya.
Dia melompat ke wuwungan rumah dari arah samping, kembali dia menyelundup kedalam taman, setiba ruang depan, dilihatnya mayat pak jenggot masih menggeletak di tempat semula. Sesaat dia berdiri melongo, apa betul dalam rumah sebesar ini hanya dihuni pak jenggot seorang? Jadi pak jenggot memang sudah lama mendapat perintah untuk menjebak dirinya.
Pak jenggot adalah warga Jit-sing-po yang tertua, bahwa dia mau menjadi kaki tangan dan mencelakai jiwa tuan mudanya, sungguh suatu hal yang luar biasa?
Dengan seksama Ji Bun periksa seluruh isi rumah ini, namun tiada sesuatu yang didapatkan. Walau ia amat dendam dan benci kepada pak jenggot yang khianat ini, namun sebagai manusia berhati luhur, Ji Bun menggotongnya keluar dan dikebumikan di taman, di sinilah letak kebajikan Ji Bun.
Selesai mengubur mayat pak jenggot, haripun sudah mendekati magrib, ia pikir harus segera pergi. Tapi baru saja timbul niatnya, kesiur angin dari lambaian pakaian orang terdengar oleh kupingnya yang tajam. Tergerak hati Ji Bun, cepat dia menyelinap ke balik rumpun bunga. Beberapa orang tampak melompat turun dari atap rumah, yang terdepan adalah Bu-cing-so diiringi delapan laki-laki berseragam hitam, segera Bu-cing-so angkat tangan memberi perintah: "Dua orang satu kelompok, geledah dengan teliti, begitu menemukan apa- apa, segera memberi tanda peringatan."
Serempak kedelapan orang mengiakan terus memencarkan diri.
Pelan-pelan Bu-cing-so pandang ke seluruh penjuru, mulutnya mengguman sendiri: "Pernah ada orang bergebrak disini."
Ji Bun keheranan, apa tujuan Wi-to-hwe mengutus orang- orangnya kemari? Dendam kembali membakar dadanya. "Berantas satu persatu" itulah semboyan dalam rangka menuntut balas.
Sekarang dia yakin dengan bekal Lwekangnya, pasti cukup untuk menghadapi Bu-cing-so bersama delapan anak buahnya. Begitu nafsunya timbul segera dia berkelebat keluar.
Bu-cing-so kaget, tanpa sadar dia mundur selangkah, bentaknya: "Siapa kau?"
Tujuan Ji Bun merenggut jiwa orang, dia kira tidak perlu banyak mulut lagi. Secepat kilat tangan kanannya membelah ke depan sementara tangan kiri ikut memotong miring melintang.
Tak pernah diduga Bu-cing-so bahwa laki-laki muka hitam ini mendadak muncul lantas menyerang dirinya, malah serangannya bukan olah-olah hebatnya. Secara refleks dia melompat ke belakang, begitu kaki menginjak tanah, kedua tangan segera di dorong kedepan. "Blang", begitu pukulan saling bentur, Bu-cing-so tergetar selangkah, tak pernah terbayang olehnya bahwa lawannya memiliki Lwekang setinggi ini, maka tadi ia hanya mengerahkan enam bagian tenaganya.
Gerakan tangan kanan Ji Bun hanya tipuan belaka, sebaliknya tangan kiri mengerahkan seluruh kekuatannya, karena Bu-cing-so tergetar mundur jaraknya agak jauh, sukar untuk melancarkan ilmu beracun, namun demikian Bu-cing-so berhasil dipukul mundur ini menandakan bahwa Lwekangnya lebih tinggi dari lawan.
Mimpi juga Bu-cing-so tidak pernah menduga dalam segebrak meja dirinya sudah kecundang, bentaknya: "Sebutkan namamu."
Ji Bun tak pedulikan, tenaga dikerahkan, kedua tangan terus menggempur lagi, damparan angin seketika menerjang ke depan. Kali ini Bu-cing-so sudah kapok dan tak berani memandang rendah musuh, iapun kerahkan seluruh kekuatannya menangkis. "Plak", hawa bergolak bumi terasa bergoyang. Gerakan Ji Bun hanya teralang sekejap, sebaliknya Bu-cing-so terdorong mundur tiga empat langkah. Ji Bun tidak beri kesempatan lawan bernafas, kembali telapak tangannya tegak menabas dengan gerak mendorong lurus ke depan.
"Blang", di tengah gerungan tertahan, Bu-cing-so sempoyongan, air mukanya berubah sama sekali. Tahu-tahu dua larik sinar pedang meluncur datang, kiranya dua diantara anak buahnya memburu tiba karena mendengar keributan di sini. Ji Bun ayun tangan kanan, dia tangkis kedua pedang lawan, berbareng kakinya berkisar kesamping dan memiringkan badan, sebat sekali tangan kirinya mengebas.
"Waaah ...... waaaah kedua ahli pedang ini menjerit dan
terbanting mampus.
Ji Bun membalik badan, desisnya beringas: "Bu-cing-so, tibalah saat kematianmu."
Mendadak Bu-cing-so bergelak tertawa, tergetar hati Ji Bun, tiba- tiba diingatnya lawan tengah melancarkan ilmu saktinya Thian-cin-ci- sut. Lekas dia pergunakan ilmu yang diajarkan Thian-thay-mo-ki untuk melawan getaran ilmu lawan, dengan langkah enteng dia mendesak maju. Melihat ilmu saktinya tidak manjur, serasa terbang sukma Bu-cing-so, gelak tertawanya seketika berhenti.
Beberapa kaki di depan lawan, Ji Bun angkat tangannya menyerang pula. Tapi sebelum serangannya dilancarkan Bu-cing-so sudah mendahului bergerak. Secepat kilat ia menyerang dengan sengit, kekuatan dan latihannya yang sudah matang, sudah tentu membawa tenaga yang dahsyat. Ia yakin hanya beberapa tokoh yang mampu melawannya. Namun tujuan Ji Bun memang memancing lawan turun tangan menyerangnya. Kalau tidak sulit baginya untuk menggunakan tangan beracun, dengan tangan kanan menangkis, secepat kilat tangan kiri terus menjojoh.
"Berhenti!" pada detik yang menentukan itu mendadak sebuah bentakan menggelegar, berbareng segulung angin menyamber tiba. Kedua orang sama tersiak mundur. Tampak oleh Ji Bun seorang laki-laki setengah tua berdiri di samping sana, mukanya dihiasi codet sebesar telapak tangan. Dia bukan lain adalah Wi-to-hwecu Siangkoan Hong adanya. Berhadapan dengan musuh, seketika menyala biji mata Ji Bun.
Kereng dan berat suara Siangkoan Hong: "Harap Hou-hoat mundur dulu, biar aku tanya dia."
Tanpa bersuara Bu-cing-so lantas mengundurkan diri.
Kejap lain beberapa bayangan orangpun bermunculan, Siang- thian-ong, Jay-ih-lo-sat Cui Bu-tok, dua orang tua dan seorang pertengahan umur, hanya Thong-sian Hwesio yang tidak kelihatan. Bahwa ketuanya datang sendiri, jelas urusan tentu cukup penting.
Ji Bun menerawang keadaan, dia yakin dengan Bu-ing-cui-sim-jiu beberapa jiwa musuh pasti bisa diganyangnya, sudah tentu sasaran utama adalah Siangkoan Hong.
Wi-to-hwecu adu pandang dengan Ji Bun dengan sengit dan beringas, dalam hati sama-sama waspada dan saling menjajaki isi hati masing-masing, suasana menjadi tegang.
Mendadak Cui Bu-tok menjerit: "Lapor Hwecu, kedua orang kita ini mati karena racun penghancur jantung yang amat jahat."
Semua hadirin sama tersirap darahnya mendengar itu. Memancar terang sinar mata Wi-to-hwecu, katanya dengan nada berwibawa: "Sebutkan namamu."
Ji Bun mengertak gigi, dia balas bertanya: "Siangkoan Hong, apa maksud kedatanganmu?"
Wi-to-hwecu mendengus, bentaknya: "Pernah apa kau dengan Ji Ing-hong?"
Ji Bun melangkah setindak, katanya dingin tajam: "Akulah penuntut balasnya."
"Bagus sekali, dimana Ji Ing-hong menyembunyikan diri?"
Tergetar hati Ji Bun, jadi Wi-to-hwe meluruk kemari lantaran ayahnya, bukankah ayahnya mati terbunuh oleh Thong-sian Hwesio di jalan raya Kay-hong, kenapa mereka malah tanya ayahnya? Naga- naganya omongan laki-laki tak dikenal yang sehaluan dengan Kwe- loh-jin itu hanya bualan belaka. Sesaat lamanya dia melenggong entah apa yang harus dilakukannya.
"Saudara," bentak Wi-to-hwecu pula, "bicaralah terus terang."
Ji Bun menjengek: "Siangkoan Hong, Ji-pocu sudah mati di jalan raya ke Kayhong ”
"Ha ha ha, saudara, kau sendiri juga tahu bukan? Ji Ing-hong belum mampus." "Apa? Thong-sian Hwesio membunuh orang? Kau sedang membual ya?"
"Memangnya bukan?"
"Kalau Thong-sian Hwesio membunuh tidak perlu pakai racun?"
Ji Bun tertegun, jawaban ini persis dengan apa yang dia dengar dari Siucay tua itu. Seketika dia menjadi bingung dan hambar, urusan semakin simpang siur dan susah diraba juntrungannya, bahwa Thong-sian bukan pembunuh, si korban juga bukan ayahnya. Menurut tuduhan malah perbuatan ayahnya sendiri yang sengaja hendak mengalihkan perhatian lawan. Lalu kenapa selama ini ayahnya tidak pernah kontak dengan dirinya? Memangnya beliau tidak tahu bahwa dirinya mempertaruhkan jiwa raga demi menuntut balas sakit hati keluarga? Maka dia menegas: "Lalu apa kehendakmu?"
"Aku hanya mengejar Ji Ing-hong saja."
Berubah pikiran Ji Bun. pihak lawan belum tahu dirinya, maka dia harus segera, membongkar rahasia kematian ayahnya, habis itu baru bicara soal menuntut balas. Dia yakin kunci dari semua rahasia ini berada di tangan Biau-jiu Siansing. Katanya kemudian: "Cayhe sendiri juga sedang mencarinya."
"Apa, kau juga mencari? "Ya, jika dia sudah mati, akulah yang akan menuntut balas kematiannya, kalau belum meninggal, Cayhe akan selidiki duduk persoalannya."
"Memangnya apa hubunganmu dengan Ji Ing-hong?" "Erat sekali, tapi kau tidak perlu tahu."
"Kau kira kami mau percaya obrolanmu". Wi-to-hwecu mengejek, "jangan kau menyesal kalau tidak mau menerangkan."
"Omong kosong, Cayhe selamanya tidak pernah kenal menyesal."
Tiba-tiba Wi-to-hwecu berkelebat kesana, dari seorang anak buahnya dia rebut sebatang pedang. Sebat sekali sudah berdiri pula di tempatnya semula, gerak-geriknya cekatan, cepat menakjubkan.
Lahirnya saja Ji Bun bilang tidak menyesal seharusnya dia tidak memberi kesempatan kepada Siangkoan Hong untuk bersenjata. Bicara soal Lwekang, diantara musuh yang hadir tiada satupun yang menjadi tandingannya, namun terpautnya tidak jauh, yang menjadi andalannya hanya tangan kirinya yang beracun, namun kalau bertangan kosong, menghadapi senjata lawan, sulit sekali untuk melancarkan serangan mematikan. Celaka kalau dirinya, dikeroyok beramai-ramai. Urusan sudah selarut ini, dia tetap harus bertindak.
"Menurut apa yang kami ketahui," demikian kata pula Wi-to- hwecu, "putera Ji Ing-hong meyakinkan ilma beracun ini. Ji Ing-hong sendiri malah tidak, mungkin saudara tidak tahu, sekarang kau harus membela diri, aku akan turun tangan segera.” Tahu tak bisa menghindari bentrokan, Ji Bun segera melancarkan serangan lebih dulu, ternyata keampuhan ilmu pedang Wi-to-hwecu amat mengejutkan. Hanya sekali pedangnya bergerak miring dengan garis melintang, gerakan Ji Bun tahu sudah terkunci. Keruan tercekat hati Ji Bun, kembali dia lancarkan tipu serangan lain, kali ini kerahkan sepenuh tenaganya. Dua orang segera tubruk menubruk dan berhantam dengan sengit, betapa hebat pertempuran ini sungguh sangat menggiriskan.
Ji Bun pusatkan seluruh pikiran dan semangat, dia selalu waspada dan mencari lubang kesempatan untuk melancarkan serangan maut dengan tangan beracun. Namun Wi-to-hwecu juga tidak kalah tangkas dan selalu waspada juga dalam melancarkan jurus-jurus tipu silatnya, semuanya sudah diperhitungkan dengan tepat dan rapi. Pusaran angin pedang yang dimainkan begitu kencang dan tajam sampai anak buahnya menyingkir jauh dari gelanggang.
Dalam sekejap puluhan gebrak telah berlangsung, gerakan pedang Wi-to-hwecu semakin mantap dan ganas. Walau Lwekang Ji Bun amat tangguh, namun lawannya juga tidak lemah, malah bersenjata, keadaan menjadi bertahan sama kuat alias setanding.
Dalam pandangan Bu-cing-so dan jago Wi-tohwe lainnya, Lwekang dan kepandaian Ji Bun cukup mengejutkan, bahwa dia kuat berhadapan dengan ketua mereka yang bersenjata dengan bertangan kosong. Siapakah tokoh kosen dalam Bu-lim ini? Asal-usul Ji Bun yang menyamar ini betul-betul membuat hati mereka tidak tenteram dan tak habis terpikir oleh mereka. Siapakah diantara tunas-tunas muda masa ini yang mempunyai kepandaian setinggi ini.
Ji Bun maklum, kalau bertempur berlarut-larut situasi akan menyulitkan dirinya. Sebenarnya tidak sukar untuk mengundurkan diri, namun hatinya tidak rela. Sekonyong-konyong dia kerahkan setaker tenaganya beruntun melancarkan delapan kali pukulan berantai. Angin membadai dengan suara gemuruh bagai samudera mengamuk, tampak Wi-to-hwecu terdesak kian kemari seperti daun yang dipermainkan badai, kakinya menyurut tiga langkah, Ji Bun tidak mengendorkan serangannya, dibarengi dengan hardikan keras, tangan beracun menyerang ”
Walau terdesak dan terombang-ambing namun Wi-to-hwecu tetap waspada, baru saja menyadari adanya lubang kelemahan dirinya, sigap sekali dia melompat mundur beberapa kaki. Tangan kiri Ji Bun jadi menyerang tempat kosong, sementara lengan kanan menabas tegak.
Pertempuran tokoh silat kelas tinggi sering mengutamakan sedetik kesempatan saja. Pada saat-saat gawat begini, sekali lena, untuk mengalihkan posisi dirinya sudah sukar bagi Wi-to-hwecu apalagi Lwekang Ji Bun masih lebih unggul.
"Bluk", dengan pukulan telapak Ji Bun mengenai sasarannya, Wi- to-hwecu terpental sempoyongan, pedang kirinyapun tergentak ke samping. Tangan beracun Ji Bun kembali dilancarkan.
Sejak permulaan Siang-thian-ong dan lain-lain sudah siaga di luar gelanggang, begitu melihat Ji Bun menggerakkan tangan kiri, dia tahu tangan orang ini tentu menyembunyikan sesuatu yang berbahaya, pada saat Wi-to-hwecu sempoyongan itulah, serentak jago-jago Wi-to-hwecu yang lain melancarkan pukulan Bik-khong- ciang dari jarak jauh.
Gempuran dahsyat dari berbagai penjuru terpusat ke arah Ji Bun seorang. Jika Ji Bun tidak urungkan serangan dan mundur menyelamatkan diri, walau musuh terluka atau mati oleh tangan beracunnya, dirinya sendiri juga pasti mampus hancur lebur tergencet oleh pukulan gabungan lawan.
Tapi Ji Bun sudah nekat, serangan tetap diteruskan. Pada detik- detik yang gawat itulah, sesosok bayangan orang laksana setan tahu-tahu menyelinap masuk gelanggang menghadang di depan Wi- to-hwecu, maka serangan tangan kiri Ji Bun dengan telak mengenai bayangan orang ini. Namun Ji Bun sendiri juga terlempar pergi oleh pukulan musuh yang beruntun mengenai dirinya, darah mendidih, pandangan menjadi berkunang-kunang.
Pikirannya masih sadar bahwa musuh kedatangan bala bantuan yang tangguh dan menakutkan, tak sempat dia pikir dan melihat jelas siapa musuh yang baru datang dan membantu ini, tangkas sekali badannya melejit berbalik menerjang ke arah Siang-thian-ong yang berjarak paling dekat. Dia sudah bertekad untuk memberantas lawan satu persatu sampai titik darah penghabisan.
Kepandaian silat Siang-thian-ong juga bukan olah-olah tingginya, badannya yang buntak pendek seperti bola tiba-tiba menggelinding pergi, berbareng tangannya yang pendek kecil menepuk balik.
Keruan Ji Bun menubruk tempat kosong, tepukan lawan malah menyongsong dirinya, terpaksa dia menangkis. "Blang", kontan Ji Bun melosot turun ke tanah, sedang Siang-thian-ong menggelinding lebih jauh lagi.
Kini setelah berdiri tegak baru dia melihat jelas penolong jiwa Wi- to-hwecu ternyata adalah perempuan rupawan yang berdandan perlente, Siangkoan Hwi juga berada disampingnya.
Berkicau suara perempuan rupawan ini: "Diapun meyakinkan Bu- ing-cui-sim-jiu."
Mencelos hati Ji Bun, kemampuan perempuan rupawan ini betul- betul mengejutkan, dalam segebrak saja sudah tahu akan tangan kirinya yang beracun, namun dalam hati dia memuji akan obat rias Biau-jiu Siansing yang tetap berhasil mengelabui lawan, sehingga wajah aslinya tidak konangan lawan.
Hadirin mengkirik mendengar ucapan perempuan rupawan, Bu- ing-cui-sim-tok merupakan racun terlihay dan terganas pada jaman ini. Sejak dua ratus tahun yang lalu, hanya seorang yang mampu meyakinkan dan menciptakan ilmu ini. Namun sekarang beruntun muncul dua orang yang mampu menggunakan ilmu beracun ini, dan keduanya memiliki kepandaian silat dan Lwekang tinggi, tiada diantara, mereka menduga bahwa lawan dihadapan mereka ini adalah Te-gak Suseng Ji Bun.
Munculnya perempuan rupawan mengubah situasi. Cukup dia seorang berkelebihan untuk menundukan Ji Bun dan kenyataan Ji Bun memang mati kutu terhadap lawan yang satu ini. Sorot mata Ji Bun menjelajah muka setiap hadirin, disaat tatapannya tertuju ke wajah Siangkoan Hwi, serta merta bergoncang perasaannya. Betapapun gadis ini pernah mengisi relung hatinya, namun pikiran asmara ini hanya selintas saja. Sorot matanya akhirnya berhenti pada muka perempuan rupawan. Dalam keadaan terkepung dan menghadapi keroyokan musuh, tidak gampang untuk mengundurkan diri, betapapun dia tidak rela menerima ajal begini saja.
Lari, belum pernah terpikir olehnya, selama menghadapi musuh, betapapun tangguhnya lawan, belum pernah dia mencawat ekor.
Namun sekarang situasi lain, sebelum mati hidup ayahnya terbongkar dan jejak ibunya ditemukan, betapapun dia tidak rela mati, sebab inilah dia merasa harus bertahan.
Agaknya kedudukan perempuan ini teramat agung dan tinggi di antara hadirin. Sejak dia muncul semua orang berdiri tegak hormat sambil menahan napas, tiada orang berani bergeming atau buka suara, demikian pula Wi-to-hwecu.
Suara perempuan rupawan yang merdu tapi dingin berkata pula: "Siapa kau? Mengakulah, jangan kau paksa aku gunakan siksaan untuk mengompesmu?"
Ji Bun merinding dibuatnya mendengar suara perempuan nan cantik jelita namun bersuara dingin kaku. Ji Bun yakin orang bukan mengertak. Tapi rasa dendam dan benci menjalari benaknya, sahutnya berani: "Aku tidak peduli cara apa yang hendak kau gunakan terhadap diriku." Dalam hati dia sudah merancang, tak jauh disamping sana berdiri pohon besar setinggi puluhan tombak, dengan Ginkang gaya pusaran mumbul ke atas yang berhasil diperajarinya dari orang tua di jurang Pek-ciok-hong itu, yakin dirinya bisa meluncur ke pucuk pohon dan melarikan diri. Hanya inilah satunya cara untuk menyelamatkan diri.
Perempuan rupawan buka suara pula, nadanya tajam mengancam: "Kuharap kau tidak berusaha melarikan diri."
Kata-kata ini amat menusuk hati Ji Bun, mungkinkah orang dapat membaca isi hatinya? Diam-diam dia bergidik, waktu amat mendesak, terpaksa dia harus bertindak cepat dan mencobanya.
Diam-diam ia kerahkan tenaganya. tanpa bersuara tiba-tiba badannya menjulang tinggi mumbul keatas dengan badan ber¬putar, gesit sekali dia sudah melenting ke pucuk pohon, di bawah terdengar seruan kaget banyak orang, gerakan seaneh ini, sungguh jarang terlihat dan amat mengejutkan.
Ditengah seruan kaget hadirin itulah, sesosok bayangan lain tiba- tiba juga meluncur ke atas secepat kilat, begitu cepat sehingga orang merasa pandangannya kabur, namun kecepatan luncuran orang ini memperlihatkan gaya yang indah pula, hampir dalam waktu yang sama iapun mumbul setinggi Ji Bun di pucuk pohon.
Baru saja kakinya menyentuh dahan pohon bagai burung elang yang kelaparan mengejar mangsanya. Ji Bun melompat pula ke pucuk pohon yang lain. "Bluk", terdengar erangan tertahan di udara setinggi puluhan tombak. Di bawah orang bersorak kagum dan kaget pula.
Dua bayangan orang beruntun anjlok ke bawah, Ji Bun terjatuh lebih dulu, disusul luncuran tubuh gemulai seindah bidadari melayang turun dari kahyangan, dia bukan lain adalah perempuan rupawan tadi.
Ji Bun terbanting jatuh hampir semaput, sejenak dia geleng- geleng kepala dan cepat melompat bangun, namun beruntun tiga kali dia meronta baru bisa berdiri tegak. Perempuan cantik itu seperti tidak terjadi apa-apa berdiri di depan sana, wajahnya dingin kereng.
"Lwekang Hujin sungguh membuka mata Lohu," demikian suara Siang-thian-ong yang keras berkumandang seperti bunyi genta.
Perempuan rupawan menoleh sambil tersenyum manis, diam saja tidak memberi tanggapan. Sebaliknya Ji Bun merasa gusar dan malu, untung dia tidak jatuh semaput.
Hujin (nyonya)? Siapakah perempuan cantik rupawan ini? Serasa tenggelam perasaan Ji Bun, sungguh tak nyana malam ini dia terjungkal habis-habisan dihadapan sekian banyak musuh, cepat atau lambat kedok aslinya pasti terhongkar, sungguh dia tidak berani membayangkan akibat yang bakal menimpa dirinya.
Kaki tangannya lemas dan linu, dendam dan kebencian hampir membuatnya gila, kedua biji matanya membara, kembali dia sapu satu persatu setiap wajah para musuhnya. Keadaannya mirip betul seekor singa jantan yang marah dan terluka, juga kelaparan dan haus darah.
Perempuan rupawan berpaling ke arah Wi-to-hwecu, katanya: "Bagaimana membereskan dia?"
"Suruhlah menerangkan jejak Ji Ing-hong," ujar Wi-to-hwecu tajam.
"Bocah ini terlalu angkuh dan keras kepala, mungkin sulit mengompes keterangannya."
"Hu-jin bisa menggunakan Hian-giok-siu-hun ”
"Sejak berhasil meyakinkan ilmu ini, belum pernah kugunakan, biarlah malam ini aku mencobanya."
Apakah Hian-giok-siu-hun itu, Ji Bun belum pernah mendengar, namun dia menduga itulah suatu cara siksaan yang paling ganas untuk mengompes keterangannya. Perempuan rupawan ini terang adalah isteri kedua Siangkoan Hong. Siangkoan Hwi adalah puteri mereka, tapi mungkinkah hal ini terjadi? Perempuan rupawan ini kelihatan baru berusia dua puluhan, Siangkoan Hwi sendiripun sudah berusia delapan belas.
Siangkoan Hong pernah menyatakan bahwa ayah Ji Bun pernah membunuh isteri dan puteranya yang baru dilahirkan, kejadian sudah berselang dua puluh tahun. Itu berarti Siangkoan Hwi belum lahir waktu itu, tapi Siu-yan Loni bilang bahwa Siangkoan Hwi adalah anak kandung Siangkoan Hong. Jadi terang anak dari isteri kedua, mungkinkah kecuali perempuan rupawan ini Siangkoan Hong masih punya gundik lagi?
Diam-diam Ji Bun geli dan malu sendiri, dalam keadaan seperti ini, kenapa otaknya ngelantur memikirkan persoalan tetek-bengek yang tiada sangkut paut dengan dirinya.
Wajah perempuan cantik itu semakin membesi kaku, katanya kepada Ji Bun: "Sekarang saatnya kau membuka mulut?"
Benci dan dendam menjalari sanubari Ji Bun desisnya: "Sayang sekali aku tak bisa menghancur leburkan kalian anjing laki perempuan ini."
"Tutup mulutmu!" bentak perempuan rupawan, "memangnya kau ingin disiksa?"
"Punya cara apa boleh kau gunakan saja," jengek Ji Bun, "matipun orang she Ji takkan mengerut alis."
Maksud tujuannya memperkenalkan diri orang she Ji lantaran dia tidak ingin berkorban sia-sia, paling tidak biar musuh tahu Kalau dirinya gugur dalam menunaikan tugas menuntut balas, hal ini jauh lebih jantan dari pada rahasia dirinya nanti terbongkar oleh mereka.
"Apa?" seru Wi-to-hwecu, "kau she Ji?"
"Betul," teriak Ji Bun beringas, "Aku inilah Te-gak Suseng Ji Bun, sayang aku tak bisa membunuhmu ” Seluruh hadirin sama kaget setelah tahu siapa dia, kini Ji Bun bicara dengan nada suaranya yang asli.
Wi-to-hwecu terkekeh dingin, katanya: "Sejak tadi seharusnya aku sudah mengenalimu."
"Sekarang juga belum terlambat," Ji Bun menggertak gigi.
Lenyap suaranya, sigap sekali mendadak dia melesat ke arah Wi-to- hwecu.
"Blang"
"Ngek", sekali kebas tangan, Ji Bun dipukul terpental oleh perempuan rupawan, darah menyembur dari mulutnya, namun dia keraskan hati, pelan-pelan ia meronta bangun, wajahnya beringas dan buruk sekali.
"Ji Bun," kata Wi-to-hwecu serius, "sejak kini di antara kita sudah tiada utang-piutang lagi."
"Betul, boleh silahkan kau turun tangan," tantang Ji Bun murka. "Dimanakah sekarang ayahmu?"
"Mau bunuh boleh bunuh, aku orang she Ji tak becus meyakinkan ilmu. Hari ini kecundang di tangan kalian, namun jangan harap mendapatkan keterangan apapun dari mulutku." Perempuan rupawan menggeram gusar, tiba-tiba jari telunjuknya menyentik sekali, sejalur angin tajam mendenging membawa asap putih melesat ke arah Ji Bun.
Ji Bun menjerit sejadi-jadinya dan roboh terguling, rasa sakit yang teramat besar tiba-tiba merangsang ulu hati, tulang belulang seperti copot, saking tak tahan dia bergelindingan di tanah, rambut dijambak sendiri dan pakaian dicomoti sampai dedel dowel, darah terus meleleh dari mulutnya, tapi dengan sekuat tenaga dia masih berusaha meronta berdiri wajahnya seram seperti setan.
Gadis baju merah, Siangkoan Hwi, menjadi tidak tega, katanya: "Bu!"
"Ada apa?" sahut Si perempuan rupawan. "Bebaskan dia."
"Kenapa? Kau lupa ibu tuamu dirajang dan dimasak menjadi hidangan?"
"Bu, aku utang budi padanya."
Sorot mata perempuan rupawan menyelidik ke muka Wi-to- hwecu, agaknya mohon pendapatnya, sekilas Wi-to-hwecu melirik Siangkoan Hwi, akhirnya ia memanggut dan berkata berat: "Baiklah, turuti kehendak anak Hwi."
Sekali tangan menuding, beruntun perempuan rupawan itu menutuk tiga kali, jerit lolong Ji Bun seketika berhenti, namun napasnya sudan kempas-kempis, saking tersiksa badannya lemas lunglai dan masih kejang dan gemetar.
"Ji Bun, sekarang mau buka suara bukan?" tanya Wi-to-hwecu. Berkerutukan gigi Ji Bun, dia tetap tak mau buka suara.
14.40. Lelaki Penderita Tanpa Daksa
Merah muka Siangkoan Hong, matanya beringas, bentaknya kereng: "Ji Bun aku ada cara lain untuk paksa kau buka mulut."
Dia memberi tanda kepada pengawal pribadinya, lalu katanya: “Tabas dulu tangan kirinya, lalu gusur dia pulang ke markas."
Dua orang bersenjata pedang segera mengiakan dan melompat maju, satu di antaranya angkat pedang terus menabas ke lengan kiri Ji Bun. Mendadak Ji Bun meronta seraya menggembor keras, entah darimana datangnya tenaga, sekali menggelinding, dia luputkan diri dari tabasan pedang, pada saat badannya menggelinding itu, tangan kirinya berhasil menutuk lutut penyerangnya.
Kontan si penyerang itu melolong panjang, badan terbanting dan mampus seketika.
"Berani kau," bentakan ini sedetik terlambat dari jerit lolong tadi, namun Ji Bun juga menguak sekali, badannya terlempar dua tombak oleh pukulan Wi-to-hwecu, ia jatuh di antara semak-semak berduri, darah terus menyembur dari mulut, pikirannya butek. Sudah beberapa kali dia pernah merasakan kematian seperti ini.
"Yah, lepaskan dia saja," seru Siangkoan Hwi tidak tega. "Apa katamu?" bentak Siangkoan Hong.
"Anak mohon supaya ayah suka membebaskan dia."
"Budak binal, jangan kau terlalu membawa keinginanmu sendiri." "Selanjutnya anak tidak akan minta apa-apa lagi," demikian ujar
Siangkoan Hwi tegas. Daya pendengaran Ji Bun belum lenyap, segera timbul suatu perasaan yang sukar dilukiskan dalam benaknya.
"Tidak mungkin!" Wi-to-hwecu berkata kereng.
Pucat wajah Siangkoan Hwi, air mata bercucuran, kepala tertunduk dan sesenggukan.
Perempuan rupawan tadi melirik penuh kasih sayang, katanya kepada Wi-to-hwecu: "Turutilah keinginannya."
"Segala menuruti keinginannya," bentak Wi-to-hwecu, "kalau dia tidak begini binal, mungkinkah terjadi peristiwa keparat she-Liok itu
........” sampai di sini dia berhenti.
Siangkoan Hwi menjerit sedih sambil putar tubuh dan berlari pergi. Tapi perempuan rupawan lantas menghadang dan memeluknya, serunya kereng: "Markas Cip-po-hwe sudah kuhancur- leburkan, itu kan sudah cukup."
Agaknya Wi-to-hwecu juga merasakan kekasaran sikapnya tadi, air mukanya tenang kembali, sorot mata yang mengandung permintaan maaf tertuju kepada perempuan rupawan, ujarnya: "Ji Ing-hong selicin belut dan selicik srigala, untuk menemukan jejaknya, betapapun anaknya ini tidak boleh dilepaskan dia."
"Tujuanmu hanya menemukan Ji Ing-hong, ku kira tiada halangan kau lepaskan."
"Aku tidak mengerti maksudmu."
"Akan kupunahkan ilmunya, lepaskan dia pergi, akhirnya toh dia akan pergi mencari ayahnya ”
"O," seru Wi-to-hwecu paham, katanya: "Memang Hujin lebih cerdik pandai."
Walau dalam keadaan sekarat, namun percakapan orang masih terdengar oleh Ji Bun, diam-diam ia membatin "Aku hendak dijadikan umpan untuk memancing dan mencari jejak ayah, bukankah maksud mereka hanya impian belaka, apalagi mati hidup ayah masih teka-teki ”
"Baiklah, kita putuskan begitu saja, Hujin," kata Wi-to-hwecu kemudian. Dari kejauhan perempuan rupawan angkat jarinya terus menjentik beberapa kali, terasa oleh Ji Bun angin tajam sekuat pukulan godam mengenai badannya merembes seluruh badan. Hawa murni dalam badannya seketika buyar, badan lunglai tidak bertenaga lagi. Tapi pikiran Ji Bun menjadi jernih malah.
"Mundur semua!" sekali aba-aba, beruntun terdengar kesiur angin orang banyak berlompatan pergi, dalam sekejap suasana kembali sunyi.
Ji Bun meriggerakkan badannya, terasa sekujur badan linu dan sakit bukan main, tulang-tulang seperti copot dari ruasnya, sungguh bukan kepalang siksa yang dialami kali ini. Dia mendongak mengawasi bintang-bintang di langit, dalam sekejap ini dia merasakan lebih sedih daripada mati, Lwekang lenyap kepandaian punah. Hidup lebih sengsara daripada mati, segala cita-cita yang diharapkan selama ini bakal menjadi impian kosong belaka, hanya kebencian saja yang tetap menjalari sanubarinya.
Malam rasanya tak berpangkal dan tak berujung, derita batin ditambah rasa sakit luka-luka dadanya yang terkena pedang tak pernah reda sedetikpun, seolah-olah dirinya berada di neraka.
Tanpa terasa hari mendekati terang namun sinar terang seakan- akan sudah lenyap bagi dirinya. Sejak kini dirinya akan terus hidup dalam kegelapan, tanpa cita rasa, sampaipun sesuatu yang ingin dipikirkanpun tiada sanggup lagi.
Punahnya ilmu silat menjadikan dirinya tak ubahnya manusia awam umumnya, tinggal tangan kirinya yang tetap beracun, lalu apa pula gunanya? Habis segalanya, tamat semuanya. Pentingkah dirinya bertahan hidup?
Sekonyong-konyong sebuah suara timbul dalam relung hatinya yang dalam: "Ji Bun, jangan kau pikirkan mati, belum saatnya, kalau ayah benar-benar belum mati, kau akan melihat musuh terpenggal kepalanya. Pula kau harus menemui ibumu sekali lagi."
Fajar menyingsing, hari sudah terang tanah, lekas sekali sinar sang surya sudah menerangi jagat raya. Bagai sebuah impian belaka, namun impian ini akan terus berlangsung.
Susah payah akhirnya ia berhasil meronta bangun, karena Lwekang lenyap, untuk penyembuhan diri dengan kekuatan hawa murni sudah tidak mungkin lagi, namun obat-obatan yang dibawanya masih ada, jauh mencukupi untuk mempertahankan hidup. Sebutir pil saja rasanya berat dan sukar untuk menelannya.
Sejam kemudian baru dia bisa bergerak leluasa, bagai semut merambat dia mulai melangkah pergi ke empang yang ada dipojok gardu sana mencuci muka dan membersihkan obat penyamarannya, noda-noda darahpun dibersihkan, namun pakaiannya sudah tidak keruan waktu dirinya tersiksa oleh tutukan Hian-giok-siu-hun tadi.
Dia menuju ke belakang, akhirnya ditemukan seperangkat pakaian kaum bujang yang sudah butut, sekenanya dia ganti pakaian, untung menemukan pecahan uang pula, semua itu milik pak jenggot yang sudah tiada. Kejap lain dia sudah beranjak di jalan raya, dia tahu Wi-to-hwe pasti mengutus seseorang untuk membuntuti dirinya, karena mereka kira ia akan mencari ayahnya, hanya Thian yang tahu apakah ayahnya masih hidup atau sudah mati.
Seperti mayat hidup saja, dia meninggalkan kota Lam-cau dengan langkah lemas bergontai. Ji Bun tidak tahu ke mana harus pergi, segala persoalan sudah tak terpikir lagi olehnya.
"Adik!" teriakan mesra nan girang dan kaget tiba-tiba berkumandang dari belakang.
Bergetar badan Ji Bun, dia tahu siapa yang memanggilnya, ingin rasanya dia lari dan sembunyi masuk ke liang. Sejenak dia melenggong, waktu dia angkat kepala, dilihatnya bayangan semampai nan menggiurkan sudah berdiri dihadapannya, dia bukan lain adalah Thian-thay-mo-ki.
Dengan tertegun penuh kejut dan tanda tanya Thian-thay-mo-ki mengawasi Ji Bun, katanya kemudian penuh haru: "Adik, kenapa kau?"
Ji Bun menjadi bimbang, ia lihat Thian-thay-mo-ki masih seperti dulu, kecuali agak kurus, masih tetap cantik menggiurkan, sebaliknya dalam semalam dirinya telah berubah menjadi seorang lain yang tak berguna lagi.
Seperti ketemu anggauta keluarga, terharu hatinya dan tak sanggup berucap, keadaan seperti ini, dia perlu hiburan dan bujukan, perlu bantuan, dia tahu betapa besar dan murni cinta Thian-thay-mo-ki kepadanya. Dalam keadaan apapun dia tetap seorang pembantu yang dapat dipercaya, ingin rasanya memeluk dan menciumnya. Ia ingin menangis, namun mendadak ia tersentak sadar, kini dirinya bukan Te-gak Suseng yang dulu, sekarang dia seorang awam, manusia, rasa rendah diri yang tebal merangsang sanubarinya. Dasar wataknya memang angkuh dan tinggi hati, tanpa terasa ia menjerit: "Minggir kau, jangan hiraukan aku!"
Dia menderita, namun dia rela menelan segala kegetiran hidup ini. Dia tidak punya hak mengecap cinta kasih orang lain, bukan kewajibannya pula untuk menerima cintanya, kenyataan ini cukup kejam.
Agaknya Thian-thay-mo-ki amat terperanjat, sejenak dia melenggong, katanya dengan gemetar: "Dik, kenapakah kau?"
Ji Bun tekan perasaannya yang menggelora, menahan kepedihan yang tak terhingga, sekuatnya dia tahan emosi dan pura-pura bersikap dingin: “Tidak apa-apa!"
"Tapi sikap dan air mukamu amat ganjil sekali?" "Jangan kau hiraukan aku."
"Dik, kau " merah mata Thian-thay-mo ki dan mukanya
membesi hijau.
Remuk rendam hati Ji Bun melihat sikap dan wajah Thian-thay- moki itu, namun dia harus tetap bersikap demikian. Hubungan asrama mereka tidak mungkin dilanjutkan, ilmu silat sudah punah, masa depan suram. Mungkinkah dirinya mengawini seorang gadis untuk menyia-nyiakan masa remajanya? Dengan mengertak gigi, dia tetap bersikap dingin: "Kupikir, hubungan diantara kita sudah harus diakhiri sampai di sini saja."
Air mata Thian-thay-mo-ki bercucuran katanya dengan pilu: "Aku mengerti, selama ini kau pandang, aku seumpama kembang dipinggir jalan atau dikaki tembok yang tidak patut dipandang dan dinikmati. Namun ..... aku tak pernah, aku berbuat atau
melakukakan sesuatu yang membuatmu malu atau, merugikan kau
......”
Bak sekuntum kembang yang ditaburi air embun, Ji Bun hampir saja menubruk dan memeluknya. Namun wataknya yang mempertahankan sikapnya, sorot matanya memandang ketempat jauh, katanya tawar. "Biarlah segalanya berakhir begini saja."
"Ji Bun, betulkah kau begini kaku, ketus dan kejam?” Seperti ditusuk sembilu hati Ji Bun, dia banyak hutang budi,
namun tak pernah dirinya memberi apa-apa terhadapnya, menyampaikan sepatah kata hiburanpun tiada, umpama betul Thian- thay-mo ki terlalu jalang, namun cintanya yang luhur dan murni, segala sepak terjangnya masa lalu patut dimaafkan. Sayang kenyataan sekarang tak mungkin untuk menerima semua ini, tak boleh ia bikin kapiran masa depan orang lain. Sesungguhnya inipun merupakan suatu cara untuk menyatakan cinta, cuma secara diam- diam dan diluar tahu orang yang bersangkutan. Derita semakin bertambah, Ji Bun merasa tiada tempat bagi dirinya untuk berpijak lagi di bumi ini, kata-kata yang terlalu menyakiti tak sampai hati diucapkan.
Dengan segala kekuatannya, Ji Bun tekan emosinya yang berkobar. Katanya mengeraskaa hati: "Tiada yang bisa dikatakan lagi."
Sekian lamanya keheningan mencekam sanubari kedua insan yang dirundung malang ini. Walau tiada yang bersuara, namun hati keduanya sama-sama remuk seperti digerogoti oleh sesuatu sebab yang timbul secara berlainan.
Akhirnya dengan suara yang menggetar sukma Thian-thay-mo-ki bersuara. "Dik agaknya aku telah menjilat kata-kataku dulu ......
tidak pantas sikapku ini, pernah aku bilang, cukup asal di dalam sanubarimu ada tempat bagi diriku, tiada sesuatu lebih besar yang kuharapkan dari kau. Dulu kau kasmaran terhadap gadis baju merah, sekarang kau berkiblat kepada Ciang Bing-cu, kenapa aku tidak bisa mengendalikan rasa cemburuku. Dik, kawinlah dengan wanita yang kau cintai, namun kuharap .... kau ti tidak
melupakan ..... diriku dan bersikap begini kepadaku. Pernah aku
ingin membencimu, namun aku selalu gagal, aku sungguh tidak
sampai hati " air mata segera berderai membasahi pipinya.
Setiap kalimat setiap kata mengandung cinta murni nan luhur, namun terasa setajam duri pula yang menusuk ulu hati Ji Bun. Hati Ji Bun serasa mengkerut, mengejang, ingin dia memeluknya, menciumnya dengan kasih mesra, membeberkan hatinya secara gamblang, namun tiada keberanian, karena dia harus memikirkan buntut yang bakal timbul dengan akibat yang sukar dibayangkan.
Derita dan siksaan badaniah tidak menjadikan dia patah semangat. Matipun terasa bukan soal baginya, namun tanggung jawab dan beban batin membuatnya betul-betul sukar ditahan, menimbulkan derita yang tak pernah dirasakan selama hidup.
"Cici," kata Ji Bun kemudian, "kau tahu kita tak mungkin ”
"Aku tahu, aku tidak mengharapkan itu, aku hanya minta hubungan kita selama ini jangan menjadi putus begini saja."
"Cici, kau harus mencari jodoh demi ”
"Kecuali kau, tiada bahagia lagi bagiku.”
Tidak tega hati Ji Bun, air mata berlinang-linang di kelopak matanya, tanpa sadar dia maju selangkah sembari ulur tangan kanan. Semula Thian-thay-moki tertegun, namun lekas sekali dia memahami maksud Ji Bun. Wajahnya nan sayu sedih seketika mengulum senyum syahdu, bak sekuntum bunga yang mekar ditimpa air hujan, tanpa pikir iapun beranjak mendekat.
Pada saat kedua insan ini hampir berpelukan, kesadaran Ji Bun tiba-tiba menyentak sanubarinya, apa yang akan kulakukan?
Demikian dia bertanya kepada diri sendiri, pertanyaan ini membuat pikirannya jernih, sekaligus mempertebal keyakinannya untuk lebih baik kehilangan daripada membikin susah orang lain. Mendadak tangan kanan yang sudah diulur diturunkan lagi, berbareng menyurut mundur beberapa langkah.
Thian-thay-mo-ki melengak, senyum mekar di wajahnya seketika membeku kelam, hati dan badan seketika terasa dingin dan kejang. Bak secercah cahaya matahari yang baru muncul di balik gumpalan awan, tiba-tiba terbenam pula dibalik mega mendung, serentak timbul perasaan terhina dalam hatinya.
Tapi siapa yang tahu betapa derita hati Ji Bun? Dia perlu hiburan, namun dia menolak, dia perlu perhatian dan simpatik orang lain, namun dia menyingkir dari perhatian, kenapa? Dia sendiri tidak tahu? Kalau tahu, lalu kenapa pula? Karena dia betul-betul sudah jatuh cinta terhadap Thian-thay-mo-ki, karena cinta maka dia wajib melindunginya, jangan karena demi ketenteraman dan mencapai keinginan pribadi dia sampai mengorbankan kekasihnya. Itulah cinta sejati, cinta murni, karena cinta itu sendiri perlu pengobanan, bukan monopoli.
"Ji Bun, kau sengaja hendak menghinaku?” desis Thian-thay-mo- ki geram.
Ji Bun diam saja, dia tidak menjelaskan, dia harus mengeraskan hati menelan segala derita dan kegetiran hati, karena maklum, sekali dia mengobarkan api asmara, dia akan mengalami keruntuhan total.
Laksana induk kijang yang sedang marah, sifat Thian-thay-mo-ki yang lembut lenyap seketika, amarah dan dendam membara dalam benaknya, teriaknya berjingkrak: "Ji Bun kau manusia berdarah dingin." Bergetar tubuh Ji Bun, namun dia tetap diam saja, sedapat mungkin dia menekan emosinya yang bergolak.
Terangkat tangan Thian-thay-mo-ki, teriaknya beringas: "Ji Bun, bunuhlah aku, atau aku yang membunuhmu."
Tanpa sadar, Ji Bun menyurut mundur. Dia tahu kalau Thian- thay-mo-ki memukul sekuat tenaga dirinya yang lunglai kehilangan ilmu silat pasti akan binasa seketika. Mulutnya sudah terpentang hendak bicara, namun tiada kata-kata yang keluar.
Berkerutuk gigi Thian-thay-mo-ki, katanya: "Te-gak Suseng, gunakan tanganmu yang beracun, membunuh orang tanpa banyak membuang tenaga bukan?"
Ji Bun pejamkan mata, katanya: "Kau boleh turun tangan, aku tidak akan membalas."
"Kau kira aku takut?" "Tidak, aku ..... aku ”
"Ji Bun, kau pandang diriku mirip kembang jalanan, kau anggap cinta murniku bagai kotoran. Memang, aku sendiri tidak tahu diri, aku tidak tahu malu, kenapa sebelum menyelami keaslian jiwamu, tanpa tedeng aling-aling kucurahkan segala perasaanku."
Air matapun bercucuran semakin deras. Dalam hati Ji Bun berteriak: "Cici, aku amat menyintaimu, memang dulu aku pernah menghina dan memandang rendah dirimu, namun sekarang aku memang betul-betul mencintaimu setulus hatiku." Tapi lahirnya dia tetap bersikap kaku dingin seperti patung.
"Plak", disertai suara mengaduh, Ji Bun terpukul mencelat dan jatuh terkulai di atas rumput di pinggir jalan, darah seperti sumber air menyembur dari mulutnya.
Sudah tentu hal ini membuat Thian-thay-mo-ki tertegun, agaknya tak pernah diduganya bahwa ia terima dihajar tanpa membalas atau menghindar.
Tenaga untuk merontapun tiada lagi, terpaksa Ji Bun rebah diam saja diatas rumput, perasaannya hambar, tidak merasa benci, marah atau dendam. Ia pikir, mungkin inilah suatu cara untuk membayar utang atas permainan asmara yang tiada berkeputusan ini.
Keadaannya sekarang lebih sengsara dari pada mati, kalau dirinya mati ditangannya kan lebih baik?
Entah dendam atau benci Thian-thay-mo-ki, lama sekali baru ia bersuara: "Kenapa kau tidak melawan?”
Ji Bun nekat, dia menyeringai, dengan seluruh kekuatannya yang ada ia berteriak: "Thian-thay-mo-ki, bukankah kau hendak membunuhku. kenapa tidak kau lanjutkan? Kau tidak berani?"
Berkobar pula amarah Thian-thay-mo-ki, wajahnya nan putih molek kini menjadi hijau membesi, sorot matanya menyala, bagai binatang buas yang kelaparan. "Ji Bun," desisnya tajam. "jangan pura-pura lagi, atau kau akan menyesal setelah kasep."
"Aku tidak akan menyesal," sahut Ji Bun tegas.
"Baiklah, biar kau membenciku sepanjang masa!" ancam Thian- thay-mo-ki sambil angkat tangannya terus membelah kedadanya.
Ji Bun diam saja tidak bergeming, ujung mulutnya malah menyungging senyuman, dia siap untuk menyambut ajalnya. Tak terduga di tengah jalan Thian-thay-mo-ki menghentikan gerakannya, agaknya dia marah dan penasaran, tiada maksud sungguh untuk membunuh Ji Bun.
"Ji Bun, kenapa kau tidak melawan?”
Cukup menjawab sepatah kata saja, mungkin situasi akan berubah, namun Ji Bun sudah nekat dan mengeraskan hati, dia malah menjengek dingin: "Kau tidak tega?"
Serba sulit bagi Thian-thay-mo-ki, tiada peluang untuk memilih, umpama betul tidak tega, dalam keadaan kepepet seperti ini terpaksa dia harus turun tangan, namun dia tahu watak Ji Bun. Dia pasti tidak menggunakan akal muslihat, sikapnya yang tenang menunggu kematiannya sungguh menimbulkan curiga, akhirnya dia turunkan pula tangannya katanya dengan suara kalem: “Kenapa kau berbuat demikian?"
"Tidak kenapa-kenapa, kalau mau boleh kau bunuh aku, atau pergilah yang jauh, selamanya ..... tak usah ” "Ji Bun, jangan kau kira dirimu ini terlalu ”
"Tidak pernah aku bilang aku ini gagah."
"Kenapa kau pura-pura lemas tak mau berdiri, memangnya pukulanku tadi mampu melukai Te-gak Suseng yang terkenal itu?"
Kini terasa oleh Ji Bun luka-lukanya ternyata sudah sembuh diluar tahunya tanpa minum obat, rasa sakit yang menyiksa tadipun sudah lenyap, pelan-pelan dia berdiri, betapa heran hatinya sungguh sukar dilukiskan, kini betul-betul dirasakan dan terbukti dalam keadaan dirinya sudah sadar benar-benar, bahwa didalam tubuhnya tersembunyi suatu kekuatan luar biasa yang terpendam, kekuatan ini mampu menyembuhkan segala luka-luka dan penyakit, kekuatan itu pula yang menyebabkan dirinva hidup kembali setelah mati beberapa kali, kenapa demikian? Seingatnya dia belum pernah makan atau minum sesuatu obat mujijat, sungguh aneh bin ajaib.
"Ji Bun, betulkah kau begini tidak kenal budi?"
"Tidak, aku terpaksa. Akan datang suatu ketika kaupun akan mengerti."
"Bohong, alasan yang dibuat-buat belaka, Ji Bun, baru sekarang aku mengenalmu " Dengan mendekap mukanya Thian-thay-mo-
ki terus berlari pergi.
Mengawasi bayangan orang yang semakin jauh dan akhirnya lenyap di balik pohon, remuk rendam hati Ji Bun. Sekian lama dia terlongong dan menggumam seorang diri: "Dia sudah pergi, aku .....
akupun harus pergi. Kemana aku harus menuju?”
Sekonyong-konyong dalam hutan tak jauh di sana beruntun terdengar dua kali jeritan yang mengerikan. Mencelos hati Ji Bun, secara refleks dia bersiaga hendak melompat ke sana, mendadak ia sadar bahwa Lwekang dan kepandaian silatnya sekarang sudah punah. seketika dia menjadi lesu dengan geleng-geleng kepala.
Kejadian bunuh membunuh sekarang sudah tidak menarik perhatian lagi.
Mendadak diiihatnya sesosok bayangan orang yang melayang ke depannya, waktu dia angkat kepala serta merta kakinya menyurut mundur, tahu-tahu di situ berdiri seorang Siucay tua berusia setengah umur, dandanan guru kampung dengan kain kasar ini tidak asing lagi baginya. Dia bukan lain adalah Siucay yang pernah terserang tangan beracunnya di luar kota Lam-cau tempo hari.
Dengan dingin Ji Bun pandang orang sejenak, katanya: “Tuan ada petunjuk apa?"
Tajam pandangan Siucay tua ini, desisnya: "Tak nyana kau ini anak Ji Ing-hong, kalau kedua penguntit Wi-to-hwe tadi tidak mengaku, hampir saja aku menyia-nyiakan kesempatan baik ini. Agaknya Thian memang maha pengasih " Jadi kedua jeritan tadi
adalah dua orang Wi-to-hwe yang ditugaskan menguntit dirinya, keduanya sudah terbunuh oleh Siucay ini.
"Siapakah sebetulnya tuan?" tanya Ji Bun. 14.41. Moyang Perguruan Racun
"Kau akan tahu, kabarnya kau keras kepala dan angkuh, tahan disiksa lagi, walau sekarang kau kehilangan kepandaian silat, namun kita harus cari tempat lain untuk berbicara " sembari bicara dia
menyopot jubah luarnya, sekali gerak dia ikat tangan dan tubuh Ji Bun terus dijinjingnya lari masuk ke dalam hutan. Hakikatnya Ji Bun tidak kuasa melawan, maka dia diam saja menerima nasib, tujuan orang menelikung kedua tangan dan mengikat badannya karena takut tersentuh tangan kirinya, hal ini cukup dimengerti Ji Bun.
Setelah keluar dari hutan, Siucay tua ini tidak berhenti, dia terus berlari-lari dengan kencang, begitu cepat, Ji Bun merasa seperti meluncur secepat angin, lekas sekali mereka tiba ditepi sebuah sungai besar, ombak bergulung-gulung, arus sungai cukup deras.
Setiba dipinggir sungai baru Siucay tua berhenti lari, tampak sebuah perahu layar yang cukup besar sudah menunggu di sana. Sekali lompat Siucay tua itu naik ke atas kapal, Ji Bun dilempar ke dalam bilik, lalu ia membuka tali tambatan sehingga kapal ini hanyut terbawa arus.
Entah berselang berapa lama, entah berapa jauh kapal ini sudah berlaju, tahu-tahu kapal ini tak terasa terombang-ambing lagi.
Siucay tua masuk ke dalam bilik di mana Ji Bun menggeletak, katanya setelah duduk: "Bangun, mari kita bicara."
Tanpa bersuara Ji Bun berdiri, dia duduk di kursi yang ada disebelahnya. "Kau putera Ji Ing-hong? Dimana sekarang dia berada?" "Entah.”
"Betul kau tidak tahu?” “Terserah kalau tidak percaya."
"Anak muda, cara yang kugunakan jauh lebih hebat daripada Hian-giok-siu-hun, kuharap kau tahu diri."
Terbayang akan siksaan Hian-giok-siu-hun, Ji Bun bergidik, namun sikapnya semakin tawar lagi, setelah Lwekang dan kepandaiannya punah, hakikatnya hidup lebih sengsara daripada mati, maka katanya dingin: "Cayhe maklum, paling-paling mati sekali lagi."
"Jangan kau salah sangka, jangan kau kira gampang untuk mati, kau akan sekarat, setengah mati setengah hidup. Lohu akan tutuk beberapa Hiat-to sehingga kaki tanganmu lumpuh, mata bisa memandang, kuping dapat mendengar, mulut tak bisa bicara, lalu dengan semacam obat kubuat hilang ingatanmu. Kau akan lupa pada dirimu sendiri, segala pengalaman dan semua milikmu akan terlupakan. Lalu kulepas kau dikota yang ramai, sebagai manusia umumnya kau akan berjuang untuk hidup, dan kau akan terlunta- lunta sebagai pengemis yang cacat dan harus dikasihani ”
"Tutup mulutmu!” bentak Ji Bun keras, serasa meledak dadanya. Siucay tua tidak hiraukan reaksi Ji Bun, Dia tetap bicara dengan acuh tak acuh: "Setiap tengah hari, kau akan terserang suatu penyakit aneh, deritanya tentu lebih hebat daripada Hian-giok-siu- hun ”
Mendadak Ji Bun melompat berdiri terus menubruk maju, tangan kiri bergerak. "Bluk", tahu-tahu sejalur angin kencang menekan dan menyurungnya mundur terduduk pula dikursinya.
Siucay tua melanjutkan: "Sudah tentu, supaya tidak menimbulkan bencana bagi masyarakat ramai, tangan kirimu yang beracun ini harus dikutungi.”
Bukan kepalang benci Ji Bun, teriaknya: “Tuan mudamu menyesal tempo hari memberikan obat pemunah padamu. "
"Umpama sepuluh kali kau berikan obat pemunah padaku juga belum setimpal untuk menebus kejahatan ayahmu, dalam hal ini Lohu tidak perlu menaruh belas kasihan, tidak perlu bicara soal aturan Bu-lim segala."
Ji Bun terempas-empis menahan marah, teriaknya dengan serak: "Ada permusuhan apa sebenarnya kau dengan ayahku?"
Terpancar sinar dendam dan kebencian pada mata Siucay tua, giginya berkerutuk, sahutnya. "Dendam setinggi gunung dan sedalam lautan, anak muda, sekarang katakan, dimana anjing tua itu menyembunyikan diri?" "Jangan harap kau bisa mendapatkan apa-apa dari tuan-mudamu ini," bentak Ji Bun beringas.
"Anak muda, orang yang berbuat kejahatan, anak isterinya tidak ikut berdosa, bicaralah terus terang, Lohu akan memberi kesempatan hidup padamu."
"Jangan harap!"
"Kau akan mengaku, Lohu punya cara sehingga kau akan buka mulut ”
Ji Bun maklum siksaan yang di luar perikemanusiaan bakal menimpa dirinya, kini dirinya lemas lunglai, tenaga untuk bunuh diripun tak mampu, dia tidak takut mati, malah ingin cari mati. Namun dia kuatir kalau kepalang tanggung, jika terjadi seperti apa yang dikatakan Siucay tua ini, dirinya akan hidup merana terlunta dengan badan cacat ”
Mendadak sekilas ia melihat ujung sebatang paku yang menongol keluar dari dinding papan kapal, panjangnya ada dua senti, letaknya tepat mengarah Thay-yang-hiat dipelipisnya, jaraknya hanya beberapa senti lagi, cukup asal dirinya miringkan kepala dengan mengerahkan sedikit tenaga, tentu dengan mudah dapat menghabisi jiwa sendiri. Penemuan ini seketika menentramkan hatinya, sekarang dia harus cari akal untuk mengalihkan perhatian orang. Maka dia berkata: "Apakah tuan she Lan?"
Sincay tua melengak, sahutnya ragu-ragu: "Aku ” "Tuan bernama Lan Sau-seng?" Ji Bun menegas.
"Aku bukan Lan Sau-seng, kalau masih hidup dia juga akan bertindak seperti aku."
Agaknya paman atau adik ibunya, Lan Sau-seng, sudah meninggal dunia, tahu siapakah Siucay tua ini? Soal ini tidak penting, karena tujuan Ji Bun ingin mengalihkan perhatian orang dan mencari kesempatan untuk bunuh diri.
Mendadak Siucay tua bersuara keras: "Anak muda, pernahkah kau mendengar seorang yang bernama So Yan?”
Tanpa pikir Ji Bun berkata: "Bukan hanya mendengar, belum lama ini " sampai di sini baru dia menyadari telah kelepasan
omong. Darimana Siucay tua ini dapat tahu nama ibu tuanya? Kenapa tanya tentang dia? Siapakah Siucay tua ini?
Mendadak Siucay tua berjingkrak berdiri, suaranya menggerang penuh emosi: "Kau pernah melihatnya?"
Sudah kadung omong terpaksa Ji Bun keraskan kepala: "Betul!" sahutnya.
"Dia dia belum mati?"
"Pernah apa tuan dengan So Yan?" Tidak menjawab mendadak Siucay tua malah menangkap kedua pundak Ji Bun serta digoyang-goyangkan, teriaknya: "Katakan, dimana dia?"
Inilah kesempatan baik yang tak terduga, walau Lwekang sudah punah, namun tangan kirinya yang berbisa masih mampu bekerja dengan baik, cukup sedikit menyentuh badan orang dan lawan akan keracunan. Tapi Lwekang Siucay tua ini sangat tinggi, meski keracunan ia pasti sanggup bertahan untuk sekian lama lagi. Sedang dirinya sendiri dalam keadaan lemas, obat penawar di dalam kantong pasti dengan mudah dapat digeladah orang dan akibatnya celaka lagi nasibnya nanti.
Hanya sekejap saja, agaknya Siucay tua juga tersentak sadar lekas dia lepas tangan dan menyurut mundur. Kesempatan menjadi sia-sia begitu saja. Terpaksa Ji Bun kembali pada rencananya semula, membunuh diri dengan membenturkan kepala pada paku yang menongol di dinding kapal.
Siucay tua itu masih dirangsang emosi yang meluap, mata melotot badan gemetar, napas memburu, kulit mukanya berkerut, bahwa seorang yang berkepandaian silat tinggi juga dirangsang emosi begini meluap sehingga napas memburu, dapatlah dibayangkan betapa besar pukulan yang menimpa sanubarinya. "Anak muda, katakan, dimana kau bertemu dengan Khong-kok-lan So Yan?”