Jilid 04
Tanpa sadar pemuda berbaju putih menyurut mundur dengan bergidik. Gadis berbaju merah maju selangkah, serunya: "Tuan kemari sebagai tamu, harap tahu diri. Di sini bukan tempat untuk membunuh orang." Kata-kata ini layaknya diucapkan oieh seorang tuan rumah.
Tergerak hati Ji Bun, mungkinkah dia salah seorang dari anggota Wi-to-hwe? Atau ada hubungan kental dengan ketuanya? Kalau begitu orang dalam tandu yang melukai dirinya di Jing-goan-si tempo juga salah seorang dari Wi-to-hwe ini, naga-naganya memang tidak kecil perbawa dan kekuatan Wi-to-hwe.
Tanpa hiraukan ucapan tajam orang, Ji Bun balas bertanya: "Jadi nona adalah tuan rumah di sini?"
"Ah, hanya boleh dikatakan setengah tuan rumah." “Setengah?"
"Adik Hwi," sela pemuda berbaju putih, "pemandangan di sana begitu permai, bagaimana kalau kita pindah tempat saja?"
Gadis baju merah sedikit mengangguk, dengan pandangan mesra ia mengerling kepada pemuda baju putih, lalu berkata kepada Ji Bun yang dirangsang kemarahan: "Tuan boleh silakan."
Lalu dia ajak pemuda baju putih pergi dengan bergandengan tangan.
Kalau menuruti watak Ji Bun dulu, pemuda baju putih terang sudah mampus, akan tetapi ia kini betul-betul sudah banyak berubah, ia tahu memang tidak leluasa main bunuh orang ditempat ini. Hal itu secara langsung akan mempengaruhi rencananya untuk membalas dendam. Dengan mendelong dia mengawasi bayangan merah putih semakin jauh, timbul rasa kecut dan getir dalam hatinya.
"Dik?" itulah suara panggilan Thian-thay-mo-ki, entah kapan tahu-tahu ia sudah berada di sampingnya.
Ji Bun berpaling sambil tertawa, tertawa ewa, tawa untuk menghilangkan rasa pedihnya, namun Thian-thay-mo-ki tidak hiraukan mimik tawanya, katanya dengan lembut dan prihatin: "Upacara pembukaan sudah hampir tiba." lnilah hubungan timbal balik yang serba bertentangan dan ruwet, Ji Bun naksir kepada Pui Ci-hwi, tapi bukan saja Pui Ci-hwi tidak simpatik terhadapnya, boleh dikatakan malah merasa sebal dan benci, namun dia rela menerima kenyataan ini.
Sebaliknya Thian-thay-mo-ki kesemsem kepadanya, namun sedikitpun dia tidak ambil perhatian, malah ada kalanya berlaku kasar dan menyinggung perasaannya. Tapi Thian-thay-mo-ki pun tidak patah semangat, ia tetap mengikutinya ke mana pergi. Apakah akibat yang bakal terjadi dari cinta segi tiga yang aneh ini?
Pelahan perasaan Ji Bun, tenang kembali, ia sadar akan kelancangan dirinya, beban dan tanggung jawab sakit hati belum terbalas, keselamatan ayah bunda belum lagi diketahui, yang dipikirkan malah soal cinta melulu, inilah tindakan yang tidak bijaksana.
Setelah sadar akan kesalahannya, pikirannya jernih, hatipun lapang, katanya tenang kepada Thian-thay-mo-ki: “Cici, kau kira perbuatanku teramat bodoh bukan?”
"Tidak," ujar Thian-thay-mo-ki tertawa, "laki perempuan jatuh cinta adalah karunia Tuhan dan menjadi sifat pembawaan manusia. Namun, soal cinta tidak boleh dipaksakan.”
Sudah tentu Ji Bun paham arti kata-kata orang, ia tidak mau membicarakan soal ini lagi. Supaya tidak menimbulkan hal-hal yang merikuhkan, segera ia alihkan pembicaraan: "Cici, kuingat waktu berada di Jing-goan-si kau pernah menunjukkan Sam-ci-ciat kepada orang dalam tandu, benda apakah sebetulnya Sam-ci-ciat itu. boleh aku mengetahui?"
"Itulah tanda pengenal perguruanku." "Tentunya gurumu seorang tokoh luar biasa.”
"Kau terlalu memuji beliau,” agaknya ia segan bicara soal ini. Ji Bun juga tidak bertanya lebih lanjut. Mereka melanjutkan ke depan menuju kederetan bangunan gedung tadi.
Di depan gedung yang megah itu adalah sebidang tanah lapang yang luas, di sebelah utara dibangun sebuah panggung seluas lima tombak persegi dan tinggi enam tombak lebih. Asap dupa mengepul tinggi, api lilin terpasang menyala di mana-mana, barang-barang sesajian bertumpuk tinggi beraneka macam. Dua laki-laki setengah umur berpakaian rapi berdiri di kedua samping meja sembahyang, mungkin dia itulah pengantar upacara.
Kedua samping meja sembahyang rada ke belakang sana berderet delapan kursi kebesaran, tujuh orang tua masing-masing menempati tujuh kursi. Kursi kedelapan yang paling kiri masih kosong. Enam belas orang lagi yang berseragam ketat sebagai pembantu upacara masing-masing berdiri tersebar di bawah panggung. Entah berapa manusia yang berjubel-jubel di bawah panggung, namun suasana hening dan tenang.
Ji Bun dan Thian-thay-mo-ki sementara berpisah mencari tempat duduk yang terpisah antara laki dan perempuan. Sorot mata Ji Bun langsung tertuju kepada tujuh orang tua yang duduk di atas panggung.
Bu-cing-so, Siang-thian-ong ternyata duduk diantara tujuh orang tua. Diam-diam jantungnya berdetak, pandangannya menjelajah keseluruh pelosok, ia ingin menemukan jejak Siangkoan Hong yang pernah ditolongnya itu namun orang tak dilihatnya. Mungkinkah tragedi Jit-sing-po ada sangkut pautnya dengan Wi-to-hwe? Tiba- tiba berkelebat dugaan ini di dalam benaknya, tanpa terasa ia bergidik. Kalau kenyataan ini betul, betapa tambah sulit tugas dirinya untuk menuntut balas.
Ketujuh orang tua yang duduk di kursi kebesaran di atas panggung mungkin sukar dicari tandingnya. Sebagai orang-orang yang duduk sejajar bersaing Siang-thian-ong dan Bu-cing-so, kelima orang tua yang lain pasti tokoh kosen yang luar biasa pula.
Memangnya untuk siapa pula kursi yang kosong di sebelah kiri itu?
Tiba-tiba dilihatnya sebuah tandu berhias mendatangi langsung menuju ke panggung. Ke tujuh orang tua di atas panggung serempak berdiri menyambut. Suara berisik mulai timbul di bawah panggung.
Mengencang perasaan Ji Bun, pikirnya, mungkin hari ini kudapat melihat wajah sebenarnya dari orang di dalam tandu itu. Tak tahunya harapannya tidak terkabul, tandu berhias itu ternyata berhenti di kursi pertama pada deretan sebelah kiri, orang di dalam tandu tetap tidak keluar. Agaknya hadirin juga tidak tahu akan asal usul orang di dalam tandu yang misterius ini, maka suara berisik semakin keras menjadi percakapan ramai di antara hadirin di bawah panggung. Suasana yang semula khidmat dan tenang kini menjadi agak kacau dan ramai karena munculnya orang bertandu itu.
"Tang-tang-tang" tiga kali gentang bertalu, suasana ramai kembali sirap menjadi hening. Irama musik segera mengalun dari belakang panggung, tampak seorang laki setengah baya dengan pakaian kebesaran di dahului empat anak laki-laki pembawa Hiolo beranjak pelan menuju ke atas panggung. Muka yang kereng tidak menunjuk perasaan apa-apa, namun sorot matanya berkilat tajam, dari tempat jauh dapat merasakan ketajaman sinar matanya. Dia inikah Hwecu?
Ji Bun ingin mencari tahu kepada orang yang duduk di sebelahnya, waktu dia berpaling, dilihatnya mimik orang yang duduk di sekitarnya juga menunjuk rasa bingung dan sangsi, agaknya merekapun tidak tahu siapa dan bagaimana asal usul Wi-to-hwe.
Ji Bun membatin, nanti pasti dia akan memperkenalkan diri, tak kira kenyataan meleset pula dari dugaannya, tertampak protokol mengumandangkan pengumuman dan upacara mulai berlangsung.
Di tengah suasana yang khidmat itu, entah mengapa perasaan Ji Bun menjadi risi dan kurang tentram, terasakan ada sepasang mata tajam yang tengah mengawasi dirinya. Waktu ia berpaling ke sana, dilihatnya seorang nyonya berpakaian hijau yang duduk di antara tamu-tamu perempuan di seberang sana kebetulan melengos ketika dia berpaling, dari dandanan dan rambutnya terang usia perempuan ini sudah setengah abad.
Siapakah perempuan ini? Seingat dia belum pernah kenal perempuan baju hijau berkedok kain sari tadi.
Tengah dia terlongong, dilihatnya sorot mata orang kembali tertuju ke arahnya, walau tertutup kain sari, namun sinar matanya masih kelihatan cemerlang, sungguh luar biasa Lweekang perempuan tua ini.
Tiba-tiba dilihatnya perempuan berkerudung itu berangkat meninggalkan tempat duduknya, pelahan berjalan keluar meninggalkan panggung, sebelum pergi tangannya sedikit terangkat dan menunjuk keluar.
Ji Bun semakin heran dan tidak mengerti, setelah berpikir bolak- balik, akhirnya ia ikut berdiri terus beranjak keluar pula. Suasana tetap sunyi dan khidmat, hadirin sedang tumplek perhatiannya ke arah panggung, di mana upacara sedang beriangsung, maka tiada orang yang memperhatikan gerak geriknya, dengan leluasa ia meninggalkan tempat itu. Sebetulnya tingkahnya ini kurang terhormat dan bisa dicela orang, untunglah dia tidak mendapatkan halangan.
Di ujung lapangan sebelah timur adalah hutan lebat, tanpa berpaling perempuan berkerudung itu langsung masuk ke dalam hutan, seolah-olah dia yakin Ji Bun pasti mengikuti dirinya. Biasanya tempat-tempat ini ada pos penjagaan, namun belakangan ini untuk menghormati para tamu, semua pos-pos penjagaan ditarik seluruhnya, maka setelah meninggalkan gelanggang, tidak tampak lagi bayangan seorangpun.
Dengan penuh tanda tanya Ji Bun ikut masuk ke dalam hutan. puluhan tombak kemudian, dilihatnya perempuan berkerudung itu sudah menunggunya di sana.
"Kau bergelar Te-gak Suseng?” tanya perempuan itu dengan suara dingin tajam.
"Betul, mohon tanya ”
"Tidak usah kau tanya siapa aku, sebutkan siapa gurumu dan dari aliran mana?"
“Sikapmu ini terlalu kasar dan tidak pandang sebelah mata ”
"Pertanyaanku ini sudah terhitung cukup sopan.” "Bagaimana yang tidak sopan?"
"Kau harus berlutut menjawab pertanyaanku. Tahu!"
Bergolak perasaan Ji Bun, namun dia tekan sekuat mungkin, pikirnya, inilah ujian dan gemblengn bagi diriku, kalau gagal segalanya bakal berantakan. Demi berhasil menuntut balas, dia harus menempa diri, berlaku bajik dengan penuh kesabaran. Maka tenanglah pikirannya, katanya tawar: "Ada petunjuk apa?" Perempuan berkerudung diam sebentar, lalu berkata: "Kabarnya cara kau membunuh orang sangat aneh, si korban tidak menunjuk sesuatu luka, sekarang coba kau pertunjukkan kemampuanmu terhadapku.”
Sikap kasar dan takabur ini membuat Ji Bun geli dan dongkol pula, namun diam-diam ia waspada, orang mengajaknya kemari tentu bukan secara kebetulan, ia kuatir orang sudah kenal siapa dirinya, maka ia berkata. Sungguh-sungguh: "Apa alasanku harus menyerangmu?"
"Kehendakku sendiri." "Bolehkah aku tahu sebabnya?"
"Memangnya harus banyak omong?" tiba tangannya mencengkeram ke arah Ji Bun, gerakan tangan yang lucu namun lihay, jarang ada serangan seaneh ini. Ji Bun merasa tak sempat berkelit atau menyingkir, belum lagi pikirannya bekerja, tahu-tahu pergelangan tangannya sudah terpegang oleh orang. Waktu itu sebenarnya dia bisa, memperoleh kesempatan menyerang, namun dia tetap diam saja, tangannya dibiarkan terpegang, apa lagi serangannya belum tentu dapat merobohkan orang, dan itu berarti memenuhi keinginan orang pula.
Begitu kerahkan tenaga, jari-jari perempuan berkerudung itu tanggem menjepit, rasa sakit menusuk jantung, keringat bertetes membasahi jidat Ji Bun, namun ia mengertak gigi tanpa. mengeluh atau merintih sedikitpun. "Kau tak ingin mampus bukan?" tanya perempuan berkerudung dengan dingin.
"Mati atau hidup tidak menjadi soal lagi bagiku," sahut Ji Bun meringis.
"Hm, kau gila dan congkak sekali," jengek perempuan berkerudung sambil melepaskan pegangannya. Ji Bun terhuyung mundur dua langkah, dengan melongo dia pandang orang.
"Anak muda," ujar perempuan berkerudung, "kau kenal Thian- thay-mo-ki?"
Ji Bun melengak, entah mengapa persoalan sampai melibatkan Thian-thay-mo-ki, ia mengangguk dan mengiakan.
"Apa kau mencintainya? Jangan pakai macam-macam alasan, cekak saja, kau mencintainya tidak?"
Ji Bun jadi bingung cara bagaimana ia harus menjawab, hakikatnya ia tidak pernah timbul rasa cinta terhadap perempuan genit itu, kalau mengatakan tidak, entah apa pula maksud tujuan pertanyaan orang ini?
Baru pertama kali ini ia betul-betul menyadari untung ruginya bagi seorang menghadapi persoalan pelik. Sekian lama ia melongo, lalu balas bertanya: "Pernah apa kau dengan Thian-thay-mo-ki?
Tentunya kau punya alasan menanyakan hubungan kami ini?” "Aku hanya ingin satu jawaban yang tegas, tak perlu kau banyak omong lagi."
"Kami hanya bersahabat, belum menjurus ke soal cinta." "Tahukan kau, kalau tiada dia jiwamu sudah melayang?"
"Budi dan dendam selamanya kubedakan dengan jelas, kelak pasti kubalas kebaikannya."
"Dengan cara apa kau hendak membalas budi?” "Itu bergantung keadaan dan kebutuhan."
"Kau tahu kalau dia amat mencintaimu?" "Cinta tidak boleh dipaksakan."
“Jadi kau tidak naksir kepadanya?" "Cayhe tidak mengatakan demikian."
"Pungkir," bentak perempuan berkerudung tajam. "Anak muda, dalam hal apa dia tidak setimpal menjadi jodohmu? Bahwa dia tidak mencela kau bertangan buntung, itupun sudah untung bagi kau?"
Merinding Ji Bun dibuatnya, kini baru jelas duduk persoalannya, memangnya perempuan berkerudung ini adalah guru Thian-thay- mo-ki? Tapi jarang terjadi seorang guru memaksa orang lain untuk mencintai muridnya. "Maaf, Cayhe tidak dapat menjawab."
"Kau harus memberi putusan, cinta atau tidak, satu kata saja." "Kalau Cayhe berkata tidak?"
"Kubunuh kau! Dia menolongmu dan akulah yang membunuhmu, hutang piutang menjadi lunas."
Tiba-tiba timbul pikiran Ji Bun, mungkinkah semua ini adalah muslihat Thian-thay-mo-ki yang hendak mempermainkan dirinya demi mencapai tujuannya? Kalau betul, sungguh terlalu rendah dan hina.
Untunglah sebelum keadaan menjadi runyam, tiba-tiba berkumandang gelak tawa yang mengalun dari belakang sana.
"Siapa?" bentak perempuan berkerudung tanpa berpaling.
Sebuah suara serak tua berkata: "Pasti ada pohon ribuan tahun di atas gunung, namun sukar ditemukan manusia umur seabad di dunia ini. Aku sudah bosan hidup, tak kira ada juga manusia yang tamak hidup malah, ha ha ha ha "
Di tengah gelak tawa yang menusuk telinga itu tampak bayangan hitam putih menggelundung tiba, ternyata dialah Siang-thian-ong.
Bergetar hati Ji Bun, dari ucapan Siang-thian-ong tidak sulit diduga bahwa usia perempuan berkerudung ini sudah melampaui seabad, walau mukanya berkerudung kain sari, tapi tingkah lakunya tidak sedikitpun menunjukkan ketuaannya, sungguh aneh dan sulit dipercayai.
Perempuan berkerudung diam saja, sinar matanya yang tajam menembus kain sari menatap Siang-thian-ong.
Siang-thian-ong ngakak sekali lagi, katanya: "Sahabat lama dari Thian-thay, syukurlah watakmu tetap abadi dan mencampuri urusan gendut genit itu, kalau, tidak pasti aku tidak mengenali dirimu, sang waktu berlalu tanpa mengenal kasihan, puluhan tahun bagai hari kemarin, namun wajahnya tetap rupawan, sungguh karunia "
"Lokoay (bangkotan aneh), sudah habis belum obrolanmu?" tukas perempuan berkerudung.
Siang-thian-ong garuk-garuk kepala lalu mengelus jenggotnya yang panjang, katanya: "Nenek galak, ternyata watakmupun tidak berubah."
Kini yakinlah Ji Bun bahwa perempuan berkerudung adalah guru Thian-thay-mo-ki, atau pemilik dari Sam-ci-ciat itu. Masih segar dalam ingatannya, tempo hari waktu Siang-thian-ong dan Bu-cing-so berkelahi memperebutkan gadis berbaju merah, pernah mereka menjajal kepandaian silat Thian-thay-mo-ki dan sebelum pergi mengatakan: "Kiranya kau ini murid nenek galak itu ”
Selagi Ji Bun terlongong, pandangan Siang-thian-ong tertuju ke arahnya. Teringat dendam keluarganya, seketika darah bergolak, amarah berkobar namun dia tetap waspada dan tekan perasaan, tahan dan sabar, kalau tidak jangan harap bisa menuntut balas, demikian ia membatin.
Siang-thian-ong sehaluan dengan Siangkoan Hong yang pernah ditolongnya, bukan mustahil iapun ikut menjagal orang-orang Jit- sing-po, hal ini harus diselidiki secara seksama dan mendalam, tidak boleh terburu nafsu, dan lagi sepak terjang dan perilaku dirinya harus hati-hati dan ramah, sedikitnya tak boleh menunjukkan tanda- tanda yang mencurigakan, maka tersipu-sipu ia memberi hormat: "Locianpwe selamat bertemu.”
"Anak muda," ujar Siang-thian-ong sambil bertolak pinggang. "Syukurlah kaupun datang menghadiri upacara kebesaran ini.
Hayolah, mari kita minum sepuasnya,"
"Mohon tanya Locianpwe," tukas Ji Bun, "Orang kosen macam apakah Wi-to-hwe Hwecu"
"Hal ini sekarang belum boleh diumumkan.”
"Apakah saudara Siangkoan tempo hari itu juga akan kemari?"
Kemungkinan ada. Anak muda, marilah hari ini kau merupakan tamu teragung bagi Hwecu."
Kembali Ji Bun melongo, tanyanya heran: "Wanpwee ..... ...
menjadi tamu agung Hwecu? Apakah mungkin ”
"Banyak sekali kejadian yang tidak mungkin anak muda, marilah ikut aku." "Nanti dulu" sela perempuan berkerudung.
"Ada apa?“ tanya Siang-thian-ong dengan meninggikan suaranya. "Urusanku belum selesai"
"Urusan apa?”
"Tiada sangkut pautnya denganmu, kau enyah saja."
"Nenek galak, jangan menimbulkan huru hara lagi. Urusan anak- anak biar mereka bereskan sendiri, hematlah tenagamu."
"Omong kosong, dengan kedudukanku, masakah dia tidak mau menyebutkan asal usulnya "
"Nenek galak, jika kau sendiri tak mampu melihat asal usulnya, maka kau harus mawas diri "
"Bisa saja. Coba lihat!" tiba-tiba telapak tangan nenek itu ke arah Ji Bun.
Siang-thiang-ong mengadang sambil membentang kedua tangannya, katanya : "Nenek galak, kau tidak takut kehilangan pamor, apalagi bocah ini memang berwatak kepala batu dengan caramu ini jangan harap kau bisa mengorek keterangannya."
"Tua bangka," hardik perempuan berkeruduug. "Memangnya kau mau berkelahi?" Siang-thian-ong tergelak-gelak keras, katanya: "Enam puluh tahun yang lalu sudah pernah kujajal kau, sekarang terus terang aku tiada minat lagi."
"Kalau begitu lekas kau enyah saja!"
"Tapi Lohu(aku yang tua) menjalankan tugas, tak bisa kan berpeluk tangan."
"Menjalankan tugas apa?" "Tugas menyambut tamu." "Menyambut siapa?"
"Kau, dia, pokoknya kalian semua."
Semakin besar rasa curiga Ji Bun, betapapun dirinya tidak setimpal menjadi tamu agung segala apalagi tokoh macam Siang- thian-ong mendapat tugas untuk menyambut tamu, malah dirinya dijajarkan bersama perempuan berkerudung ini. Padahal siapa sebetulnya Hwecu atau ketua Wi-to-hwe yang baru berdiri ini, sedikitpun dirinya tidak tahu.
Mungkinkah disebabkan dirinya pernah memberi sedikit pertolongan kepada gadis berbaju merah yang mengaku bernama Pui Ci-hwi? Dari Pui Ci-hwi seketika dia teringat majikan muda atau pemuda Baju putih dari Cip-po-hwe itu rasa cemburu seketika membakar hatinya. Memangnya pemuda yang kotor dan bejat itu setimpal menjadi jodoh Pui Ci-hwi yang suci dan agung serta rupawan itu.
Sementara itu, perempuan berkerudung tengah berkata dengan angkuh, "Aku tidak ingin jadi tamu agung segala, tua bangka, jangan kau bercapek lelah."
Siang-thian-ong berbatuk-batuk kering, katanya : "Nenek tua, kau sudah patut masuk liang kubur, karena watakmu masih begini aseran ”
"Tutup mulutmu, selama hayat masih dikandung badan, tiada orang yang berani mencampuri sepak terjangku.”
"Jadi terang kan ingin cari gara-gara terhadap bocah ini?" "Memangnya dia setimpal membuat perkara terhadapku?
Sudahlah, tua bangka, jangan cerewet, jangan nanti kau katakan
aku tak ingat hubungan baik masa lalu?"
"Agaknya kau memang ingin memberi petunjuk kepadaku."
4.10. Tamu Agung Wi-to-Hwe
"Boleh saja bila kau suka. Sebaiknya kau tahu diri."
"Ha ha ha, nenek galak, selama hidup memang Lohu adalah orang yang tidak tahu diri,” lalu Siang-thian-ong berpaling kepada Ji Bun dan menambahkan: "Anak muda, tiada urusanmu lagi disini, silakan pergi!"
Ji Bun tidak peduli pertengkaran mereka, mumpung ada kesempatan segera ia meninggalkan tempat ini.
"Jangan pergi," seru perempuan berkerudung, namun bersamaan waktunya Siang-thian-ong juga bergerak, sebat sekali Ji Bun berkisar dan berbalik badan, badanpun melejit tinggi meluncur ke sana, terdengar suara menggelegar di belakangnya, agaknya kedua bangkotan tua itu sudah saling hantam.
Hadirin yang berjejal di bawah panggung sudah bubar, keadaan panggung kini sudah kosong melompong dan sunyi ditingkah sinar surya dan terang benderang. Segera Ji Bun beranjak menuju ke arah bangunan gedung besar dan megah itu.
Seorang laki-laki baju hitam segera menyambut kedatangannya, sapanya sambil merangkap tangan: "Apakah tuan ini Te-gak Suseng?"
Ji Bun mengangguk.
"Silakan ikut Cayhe,” kata orang itu.
Di bawah peturjuk laki-laki ini Ji Bun lantas memasuki gedung besar itu. Setelah melewati lorong pintu yang panjang, mereka tiba di sebuah pekarangan luas, tampak meja perjamuan sudah tersebar ratusan banyaknya, suara gelak-tawa bercampur percakapan yang ramai. Tidak kelihatan tamu perempuan hadir dalam perjamuan ini, agaknya mereka dijamu di tempat lain.
Dengan tajam Ji Bun sapukan pandangnya ke seluruh gelanggang, ia ingin menemukan bayangan Siangkoan Hong di antara hadirin. Namun ia kecewa, walau sudah menjelajah segala pelosok pekarangan luas tempat perjamuan, ia tetap tak menemukan jejak Siangkoan Hong.
Akhirnya Ji Bun menyusur ke serambi panjang dipinggir ruang pendopo, diam-diam Ji Bun merasa heran, ke mana dirinya hendak dibawa? Pada serambi luar ini berderet lima meja perjamuan, jelas sekali kelima meja perjamuan adalah diperuntukkan para tokoh- tokoh tingkat tinggi. Tengah ia kebingungan, dilihatnya laki-laki baju hitam yang menunjuk jalan tadi membungkuk badan ke arah meja tengah, serunya:
"Tamu sudah tiba!" lalu dia mundur dan berdiri di samping.
Bayangan seorang duduk, di tengah-tengah meja perjamuan itu kelihatan bangkit dan mengulur tangan, serunya: "Sahabat muda, silakan duduk!"
Orang yang berbangkit dari tempat duduk dan ymnyilakan dirinya duduk ini terang adalah Wi-to-hwe Hwecu. Ji Bun menjadi kaget dan kebingungan, mimpipun ia tidak habis mengerti bagaimana mungkin dirinya dipandang sebagai tamu kehormatan? Namun kenyataan tidak memberi kesempatan untuk ragu-ragu, cepat ia membungkuk dan menyahut: "Aku yang rendah tak berani menerima kehormatan setinggi ini." "Ah, rendah hati, silakan, silakan duduk!"
Seluruh hadirin yang sudah duduk mengelilingi meja perjamuan serempak berbangkit juga, sorot mata mereka tertuju ke arah Ji Bun. Sorot mata mereka sama-sama mengunjuk tanda tanya, kenapa Te-gak Suseng bisa mendapat kehormatan setinggi ini?
Apa sebetulnya hubungan kedua pihak? Sudah tentu Ji Bun sendiripun tidak mengerti. Setelah basa basi ala kadarnya, terpaksa dia menduduki kursi kosong di sebelah kiri.
Di antara orang yang duduk semeja dia hanya kenal Bu-cing-so seorang, yang lain masih asing dan tidak dikenalnya. Air muka Wi- to-hwecu kelihatan kereng berwibawa, namun kaku dan dingin, sepintas pandang membuat perasaan orang terasa risi.
Bubur sarang burung yang panas mengepul dan bau sedap segera disuguhkan. Cukup sekali tarik napas saja sudah terasakan sesuatu oleh Ji Bun. Seketika ia mengerut kening, hampir saja ia berteriak kaget, hidungnya yang sudah terlatih baik merasakan adanya sesuatu yang tidak beres pada hidangan bubur sarang burung ini. Hidangan ini tercampur racun, malah racun jahat yang tidak berbau tidak berwarna, namun bekerja lambat, siapapun sulit mengetahuinya.
Semua hadirin adalah tokoh-tokoh persilatan yang terpandang, kebanyakan adalah para pimpinan sesuatu golongan atau aliran, atau pemimpin yang berkuasa di suatu daerah. Mereka termasuk kaum pendekar yang meliputi enam puluh tiga wilayah di selatan dan utara. Jikalau mereka semua keracunan dan binasa, betapa hebat akibatnya.
Dia ingin membongkar muslihat ini, namun segera pikirannya bergerak. Karena ia tahu cara penggunaan racun ini adalah ajaran tunggal dari perguruannya, kecuali ayahnya, ia kira tiada orang kedua dalam Kangouw yang mampu meracik dan membuat racun ini. Apa tujuan ayah menggunakan racun di sini? Untuk menuntut balas? Padahal belum tentu semua hadirin adalah musuh.
Terbayang tragedi di Jing-goan-si, mereka pun mati keracunan dalam perjamuan, kenapa hal itu bisa terjadi? Perlukah dia sekarang menggagalkan tragedi itu terulang lagi?
Tengah bimbang, di antara orang-orang yang hadir dalam perjamuan itu seorang laki-laki kurus berwajah tirus tiba-tiba berteriak dengan gemetar: "Dalam bubur ada racun!”
Teriakannya seketika membuat seluruh hadirin menjadi ribut, semuanya berubah air mukanya, malah tidak sedikit yang berseru kaget: "Ha, racun?”
Hanya Wi-to-hwecu saja yang berlaku tenang-tenang tanpa menunjukkan perubahan apa-apa, ia berpaling dan berpesan kepada seorang pengawal pribadinya: "Perjamuan segera dihentikan, suruh Cengkoan kemari."
Perjamuan sebanyak ratusan meja itu tidak mungkin bisa dihentikan begitu saja, namun perintah yang dikeluarkan adalah menghentikan penyuguhan hidangan, agaknya pihak Wi-to-hwe memang sudah berhati-hati dan berjaga jaga akan segala kemungkinan.
Tanpa terasa Ji Bun melirik ke arah orang tua kurus itu, betapa kejut hatinya, karena racun yang digunakan dan tercampur di dalam bubur sarang burung ini boleh dikatakan tidak berwarna dan tidak berbau, kecuali orang yang tahu cara meracik dan membuatnya, dari penciuman khusus baru bisa membedakannya. Siapakah orang tua ini dan bagaimana asal usulnya, apa iapun kenal akan racun ini?
Wi-to-hwecu berpaling ke arah orans tua kurus, katanya "Tidak meleset dari dugaanmu, kalau tidak sungguh sulit bagiku memberikan pertanggungan jawab pada seluruh hadirin."
Bergetar kulit muka orang tua kurus, katanya: "Permainan kotor dan rendah ini, sungguh amat memalukan sekali."
Wi-to-hwecu segera berseru lantang:" Tuan-tuan boleh silakan makan minum sepuasnya, tiada apa-apa!"
Suara ribut-ribut lambat laun mereda dan berubah gelak tawa dan percakapan pula.
Kembali Ji Bun mengarahkan pandangan pada orang tua kurus itu, kebetulan orang itu juga memandang Ji Bun, katanya pelahan: "Kabarnya sahabat muda ini juga paham dan ahli di bidang racun?"
Tersirap darah Ji Bun, pikirnya, aku hanya sekali menolong Siangkoan Hong dan sekali menawarkan racun permainan orang- orang Cip-po-hwe dan semua itu tidak diketahui orang lain, berdasarkan apa orang tua ini bertanya demikian? "Kabarnya", kata- kata ini mengandung arti yang luas, mungkinkah .........
Segera ia berbangkit dan menjawab: "Hanya tahu sedikit kulitnya saja, belum terhitung ahli, dari mana tuan mengetahui?"
"Ha ha, sahabat muda, tiada sesuatu yang ada di Kangouw ini yang serba rahasia."
Serasa menciut jantung Ji Bun.
"Sahabat muda," ujar Wi-to-hwecu sambil menunjuk si orang tua kurus, "marilah kuperkenalkan, di dalam kalangan racun dia berjuluk
.........”
Tiba-tiba Ji Bun ingat seseorang, tanpa terasa ia berteriak menukas: "Apakah Cui Bu-tok Cianpwee?”
"Betul," seru Wi-to-hwecu manggut-manggut, "sekali sahabat muda tebak lantas kena."
KembaJi Ji Bun berdiri memberi hormat, katanya: "Maaf, Wanpwee berlaku kurang hormat."
Cui Bu-tok tergelak-gelak, katanya: Ah, tidak apa!"
Dari ayahnya Ji Bun pernah meadengar cerita mengenai tokoh racun yang aneh ini. Di jaman ini hanya dia seorang yang terhitung betul-betul ahli dalam permainan racun. Nama aslinya adalah Cu Ngo tok. Sifatnya pendiam dan suka menyendiri, aneh lagi, jarang bergaul dengan siapapun, maka dia menggunakan nama Ngo-tok (hanya aku sendiri).
Soal racun memang dipelajarinya secara mendalam, tiada racun yang tidak mampu dipunahkan olehnya. Namun selama hidup belum pernah dia melukai orang dengan keahlian racunnya itu. Nama Ngo- tok dan Bu-tok (tak beracun) hampir sama, maka kaum persilatan memanggilnya Cui Bu-tok, nama aslinya malah dilupakan orang.
Sepuluh tahun yang lalu, kabarnya orang tua ini sudah mengasingkan diri, tidak mau mencampuri urusan duniawi lagi, bahwa Wi-to-hwe dapat mengundangnya, sungguh kejadian yang luar biasa.
Wi-to-hwecu angkat cangkir, katanya: "Kali ini Cui-loheng sudi turun gunung kembali, sudi menerima jabatan Cong-tam-ciang-ling dari perkumpulan kita, sungguh kita semua merasa beruntung.
Marilah saudara-saudara, kita habiskan secangkir ini demi kejayaan dan ketenteraman kaum persilatan."
Ji Bun ikut minum bersama orang banyak.
Cui Bu-tok menuding bubut sarang burung sambil berkata kepadanya: "Sahabat muda tentunya tahu racun apakah ini?"
Ji Bun pura-pura kikuk, sahutnya tertawa: "Racun ini tak bernama dan tidak berbau, akupun sulit membedakannya.” Pada saat itulah seorang laki-laki berpakaian biru mendatangi dengan langkah tergesa-gesa terus memberi hormat dan melapor: "Congkoan Ko Cin-jin menghadap Hwecu."
"Ko-congkoan, apakah diketahui ada orang mencampur racun dalam hidangan?”
"Ya, hamba sedang mengusut dan mohon ampun akan keteledoran ini," sahut orang she Ko itu.
"Siapakah menurut pendapat Congkoan yang mencampur racun ini?"
"Soal ini sebelum diperoleh bukti-bukti yang nyata, hamba
tidak berani memberi kepastian dan bertindak."
"Kalau demikian, Congkoan sudah menaruh curiga terhadap seseorang?"
"Ya, benar."
"Perintahkan pada Heng-tong Bun-tongcu untuk menghadap dan membawa anak buahnya, tangkaplah orang-orang yang mencurigakan."
Congkoan Ko Cin-jin segera memberi hormat dan mengundurkan diri.
Berdebar-debar jantung Ji Bun, bahkan pejabat Heng-tong (seksi hukum) dipanggil, jelas hendak membuka sidang dan memberi hukuman terbadap orang-orang yang bersalah di hadapan umum. Racun yang digunakan ini jelas adalah hasil racikan khas ayahnya, memangnya siapa lagi yang menggunakan racun di sini?
Segera seorang tua beralis tebal dan bermata besar, bercambang lebat datang diiringi empat laki-laki berbadan kekar berotot kencang. Begitu tiba orang yang terdepan segera mamberi hormat, serunya: “Heng-tong Bun Kiat-san menunggu perintah."
"Segera persiapkan," kata Wi-to-hwe-cu dengan merendahkan suara, "setelah perjamuan bubar segera membuka sidang."
"Terima perintah!" Bun Kiat-san lantas membawa anak buahnya mengundurkan diri.
Perjamuan besar ini bubar kira-kira menjelang tengah malam, tamu-tamu yang menginap segera dipersilakan memasuki kamar- kamar yang sudah disediakan. Namun tak sedikit pula yang malam itu juga turun gunung, dalam waktu sekejap keadaan menjadi sepi.
Ji Bun punya maksud tujuan sendiri, tengah ia bimbang apakah tetap tinggal atau pergi, Wi-to-hwecu sudah berpaling ke arahnya, katanya: "Sahabat muda, silakan menghadiri sidang kita yang pertama."
Ji Bun tertegun, umumnya persidangan untuk menghukum atau memutuskan sesuatu dalam setiap Pang atau Pay, perguruan silat atau perkumpulan selalu diadakan secara tertutup dan rahasia, tak pernah orang luar dipersilakan hadir. Karena si¬dang ini dilakukan untuk urusan dalam perkumpulan itu sendiri, maka Ji Bun menjadi rikuh dan bingung.
Sukar baginya meraba maksud orang menahan dirinya.
Mungkinkah asal usul dirinya sudah dike¬tahui mereka dan dirinya dicurigai sebagai orang yang menaruh racun dalam hidangan?
Namun tadi orang sudah memerintahkan untuk membekuk orang yang dicurigai menaruh racun.
"Saudara mungkin merasa kejadian ini di luar kebiasaan bukan? Perkumpulan kita baru berdiri dengan resmi, lantas terjadi peristiwa yang memalukan ini, kalau tidak konangan dan segera dicegah dan bertindak, betapa banyak orang yang akan menjadi korban, perkumpulan kita akan berdosa terhadap ribuan kaum persilatan sepanjang masa. Oleh karena itu, malam ini kita bersidang dengan mengundang para Ciang-bun-jin dari segala aliran dan golongan yang hadir."
"Oh," lega hati Ji Bun, namun dia berkata heran: "Aku yang rendah ini dari golongan keroco, mana bisa mendapat kehormatan ini ”
"Jangan merendah diri, silakan ikut kami saja.”
Walau hatinya tidak tenteram, namun Ji Bun ingin juga tahu siapakah orang yang menaruh racun, maka ia tidak banyak bicara lagi.
^^^^ Lilin sebesar kepalan sedang menyala terang di dalam ruangan besar yang cukup muat ratusan orang, tiga meja besar berjajar di ujung tengah kiri dalam bentuk segi tiga. Asap dupa mengepul tinggi di meja tengah yang di belakangnya tertaruh sebuah papan cendana yang diukir huruf indah berbunyi,
"Thian Te" (langit dan bumi).
Memang luar biasa dan berbeda dari meja pemujaan dari berbagai perguruan silat lain yang menaruh abu pemujaan cakal bakal perguruannya, yang dipuja Wi-to-hwe adalah Thian Te, maksudnya mereka berazas tujuan demi langit dan bumi untuk memberantas kelaliman, memang sesuai benar dengan nama perkumpulannya.
Dua meja yang lain, yang di sebelah kiri diduduki Wi-to-hwecu, yang kanan ternyata ditaruh tandu berhias yang misterius itu. Di belakang Wi-to-hwecu berderet berdiri tujuh orang tua, termasuk Bu-cing-so, Siang-thian-ong dan Cu Bu-tok. Ji Bun teringat pada perempuan berkerudung kain sari itu, entah bagaimana kesudahan perkelahian kedua orang tua itu setelah dirinya pergi?
Deretan meja kursi yang berjajar di sebelah kanan di mana Ji Bun berduduk bercampur dengan para ketua dan pimpinan berbagai cabang persilatan, berhadapan dengan meja perjamuan sana. Heng- tong Tongcu Bun Kiat-san berdiri dengan membusungkan dada bersama delapan anak buahnya. Kesunyian mencekam perasaan dalam ruang yang besar dengan hadirin yang begini banyak, hanya api lilin saja yang kadang-kadang meletik berbunyi.
Tiba-tiba sebuah suara lantang kumandang di depan pintu ruangan: "Oh-hiangcu, datang menghadap untuk, terima perintah!"
"Masuklah!" seru Wi-to-hwecu dengan suara berat.
Seorang tua bermuka pucat kehijauan melangkah masuk dengan menunduk, di belakangnya diiringi dua laki-laki kekar berpakaian serba merah, jelas laki-laki tua bermuka kehijauan ini digusur masuk sebagai terdakwa dalam perkara peracunan ini.
Langkah laki-laki muka hijau rada sempoyongan dan ragu, kepalanya tetap menunduk terus menuju ke tengah dan berdiri di belakang Bun Kiat-san.
"Buka sidang!" Heng-tong Tongcu Bun Kiat-san segera memberi aba-aba.
"Buka ...... sidang " sepuluh anak buahnya serempak meniru
berseru lantang dan panjang. Tegang seluruh hadirin, semua menaruh perhatian benar. Wajah Wi-to-hwecu tetap tenang hanya kulit mukanya bergerak-gerak, lalu berkata dengan suara berat: "Go- hiangcu, kau sudah tahu apa dosamu?”
Laki-laki itu angkat kepalanya, suaranya gemetar: "Hamba tidak tahu dosa apa yang telah kulakukan?" "Sewaktu masuk menjadi anggota perkumpulan kita kau telah bersumpah terhadap Bumi dan Langit, betapapun kau sudah menjadi anak murid perkumpulan kita, kau mau mengakui hal ini tidak?"
"Ya, itu kuakui," jawab laki-laki itu.
"Kalau begitu, berlututlah terhadap pemujaan Bumi dan Langit." Laki-laki baju hitam berlutut dan menyembah ke arah pemujaan,
entah sengaja atau tidak, dikala membungkuk badan, kepalanya
sedikit miring dan matanya melirik ke arah Ji Bun.
Lirikan sekejap itu cukup membuat Ji Bun merinding dan tersirap seperti kesetrom listrik. Dari lirikan orang sekaligus ia sudah dapat mengenali siapa sebetulnya Hiangcu she Go itu, lahirnya ia tetap berlaku tenang, namun detak jantungnya berdebur laksana ombak mengamuk, ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Setelah laki-laki baju hitam berlutut, berkata pula Wi-to-hwecu: "Menaruh racun di dalam makanan, dengan tujuan membunuh para undangan perkumpulan kita, siapa yang menyuruhmu melakukan ini?"
"Hamba betul-betul tidak tahu menahu akan hal ini."
"Go Gun, jangan lupa, kau pernah bersumpah dihadapan Bumi dan Langit, sebaiknya berterus terang saja."
"Harap kebijaksanaan Hwecu." “Hm, Go Gun, ratusan murid perkumpulan yang mengadakan perjamuan di Jing goan-si, semuanya mati keracunan, bukankah itupun hasil karyamu?"
"Bukan, hamba sungguh penasaran.”
Tiba-tiba kumandang dari dalam tandu hias: "Berikan bukti-bukti kepadanya."
Seperti dipukul godam jantung Ji Bun demi mendengar bukti yang hendak diajukan oleh pihak Wi-to-hwe. Seperti diketahui, tanpa juntrungan tempo hari ia main terjang ke dalam Jing-goan-si serta memergoki pembunuhan itu, orang dalam tandu itu menuduh dirinya pembunuhnya. Untung Thian-thay-mo-ki muncul dan menunjukkan tanda perguruannya dan menolong jiwanya, kiranya para korban, itu adalah murid-murid Wi-to-hwe .....
Wi-to-hwecu tertawa dingin, katanya: "Go Gun, nama aslimu bukan Go Gun, bukan?"
Bergetar badan laki-laki berbaju hitam, dia tidak bersuara, sorot matanya kembali melirik Ji Bun. Semakin tidak tenang perasaan Ji Bun, kalau laki-laki ini mengakui asal usulnya dan menuding siapa pula dirinya, betapa akibatnya sungguh sukar dibayangkan.
Kepandaian orang dalam tandu, Bu-cing-so, Siang-thian-ong, semua sudah pernah dia saksikan sendiri. Tentunya kepandaian Hwecu ini juga bukan main hebatnya, dirinya terang bukan tandingan mereka. "Bun-tongcu!" seru Hwecu tiba-tiba. "Hamba di sini."
"Copot kedok mukanya!"
"Terima perintah!” Bun Kiat-san segera melangkah maju.
Tiba-tiba laki-laki baju hitam melompat bangun, tangannya terus menjotos ke arah Wi-to-hwecu.
Terdengar gerungan rendah dari dalam tandu, segulung angin berkisar secara aneh menyambar dari dalam tandu, jotosan kencang laki-laki berbaju hitam seketika sirna tanpa bekas.
Sementara Bun Kiat-san sudah menubruk maju seperti harimau menerkam mangsanya. Sekali telikung dan tekan, dia terus tutuk Hiat-to laki-laki berbaju hitam, hanya sekali mendengus laki itu roboh terkulai tak bergerak lagi.
Bun Kiat-san lantas meraih ke mukanya, kedok yang tipis halus segera tercomot ditangannya. Tertampaklah seraut wajah yang merah seperti buah kurma berkulit kasar.
Wi-to-hwecu menyeringai dingin, katanya: "Inilah dia, aslinya Coangkoan Ji-sing-po, bernama Pui Ping-jio."
Seluruh hadirin berjingkat kaget, kepala Lo-han-tong dari Siau- lim-si, It-sim Taysu segera bersabda Buddha, suaranya lantang bagai lonceng bergema, katanya: "Ji-sing-pocu, Ji Ing-hong melakukan perbuatan kotor yang memalukan ini, apakah tujuannya?"
Bu-cing-so segera menanggapi: "Maksud tujuannya amat besar, kemungkinan ingin merajai dan berkuasa di seluruh Kangouw."
Pejabat ketua Bu-tong-Pay Cin-ji Totiang ikut menimbrung dengan suara kereng: ''Kabarnya markas Ji-sing-po diserbu dan seluruh anggotanya mati terbunuh, apakah hal ini memang sengaja dilakukan sendiri oleh Ji Ing-hong untuk mengelabui mata umum?"
Seperti ditusuk sembilu hati Ji Bun, terbayang olehnya pemandangan seram dan mengerikan di Ji-sing-po, namun ia harus tekan perasaan dan tak boleh membeberkan rahasia ini, namun tekadnya untuk menuntut balas semakin besar.
Orang dalam tandu bersuara pula: "Silakan Hwecu memberi keputusan hukum sesuai peraturan perkumpulan kita!"
Secara tidak langsung ucapannya ini hendak menyatakan bahwa sidang dan keputusan yang terjadi di dalam Wi-to-hwe orang luar tiada hak turut campur.
Ketua Bu-tong dan pimpinan Siau-lim-si tahu mereka telah kelepasan omong, maka selanjutnya mereka hanya tutup mulut saja.
"Pui Ping-jio," bentak Wi-to-hwecu bengis, "Aku tetap memanggilmu Go-hiangcu, sekarang tahukah apa dosamu?" "Mau bunuh atau mau sembelih silahkan," teriak Pui Ping-jio beringas, "utang jiwa ini kelak pasti ada orang yang menagih ”
"Tutup mulutmu, kau pernah bersumpah masuk anggota, peduli bagaimana asalmu dan apa tujuannya, kau tetap harus menerima putusan hukum perkumpulan kita, Bun-tongcu ”
"Hamba sudah siap!"
"Apa hukumannya bagi anak murid kita yang melanggar undang- undang dan memberontak?"
"Menurut undang-undang nomor satu, bagi yang khianat harus dihukum mati."
"Gusur dia keluar!”
"Baik!" sahut Bun Kiat-san sambil mengusap tangan, dua orang segera maju memapah Pui Ping-jio keluar.
Ji Bun tidak tahu apa tujuan ayahnya menyelundupkan Congkoan Pui Ping-jio ke dalam Wi-to-hwe dan dua kali menaruh racun dalam makanan, namun dari situasi dan keadaan ini, tujuannya untuk menuntut balas. Menuntut balas sakit hati soal apa belumlah jelas, kemungkinan Wi-to-hwecu ini adalah salah seorang yang menimbulkan banjir darah di Ji-sing-po. Tak kuasa mengendalikan perasaannya lagi, tiba-tiba ia berdiri ”
"Saudara muda, apakah kau punya usul dan ingin bicara?" tanya Wi-to-hwecu. Ji Bun tahan mentah-mentah air mata yang hendak menetes dan darah yang hendak menyembur keluar, dia kendalikan pula rasa benci dan dendamnya. Dengan sikap rikuh dan kikuk ia berkata: "Cayhe punya urusan penting yang harus segera diselesaikan, harap Hwecu suka memberi izin supaya Cayhe boleh mengundurkan diri lebih dulu."
Sudah tentu ini hanya alasan yang dibuat-buat, alasan yang sekenanya diucapkan karena terdesak oleh keadaan. Ia harus menolong Pui-congkoan, namun keadaan tidak mengidzinkan dan ia memang tidak mampu, maka dengan mendelong ia harus menyaksikan orang sendiri dihukum mati. Oleh karena itu hanya menyingkir saja jalan satu-satunya buat meringankan tekanan batinnya.
Wi-to-hwecu tertawa lebar, katanya: "Saudara muda boleh silakan, kusuruh orang untuk mengantarkan, kalau ada waktu harap suka mampir lagi."
Orang dalam tandu menimbrung: "Tempo hari aku salah paham dan turun tangan, apakah Siauhiap suka memaafkan kesalahan itu?"
Dalam hati amat dendam, namun mulut Ji Bun menjawab: "Terlalu berat kata-katamu ini, urusan sekecil itu kenapa dipikirkan?"
Sementara itu Pui Ping-jio sudah digusur keluar nasibnya tidak perlu ditanyakan lagi. Hati Ji Bun seperti dibakar, sedetikpun tak tahan lagi tinggal di sini. Setelah memberi hormat, bergegas dia berjalan keluar. Setiba dilapangan luas, seorang berbaju hitam lantas mendekatinya, sapanya sedikit membungkuk: "Harap Siauhiap tunggu sebentar, hamba akan siapkan seekor kuda."
Ji Bun angkat tangan, katanya: "Tidak perlulah."
Sekali kaki menutul badannya terus melesat ke arah luar gunung.
Dendam bertumpuk dalam hatinya, membuat napas serasa sesak, rasanya ingin dia membunuh sepuasnya untuk melampiaskan dendamnya. Namun kenyataan tidak memungkinkan, dia harus bekerja sesuai rencana.
Dari kejadian hari ini, ia percaya bahwa secara diam-diam ayahnya sudah mulai bergerak. Lebih tersiksa perasaannya karena sedemikian jauh ia belum mengetahui siapakah sebetulnya musuh besarnya.
Setelah tiba di luar gunung, ia berdiri sejenak menghirup napas panjang untuk melapangkan perasaannya. Tiba-tiba tak jauh dari tempatnya berdiri dari arah kiri sana berkelebat sesosok bayangan orang menyelinap lenyap ke dalam hutan. Memangnya Ji Bun sedang merasa dongkol tak terlampiaskan, segera ia menubruk ke hutan sana.
4.11. Kehilangan Anting Kenangan
Bayangan seorang bertubuh tinggi kekar tampak berdiri di dalam hutan. Dari sinar matahari yang menembus dari celah-cela dedaunan pohon, dilihatnya jelas orang ini berjubah sutera mengenakan kerudung kepala.
Tanpa pikir ia menubruk maju terus menyerang dengan pukulan ganas.
"Bun-ji, gila kau!" bentak bayangan kekar itu.
Mendengar suara bentakan ini, segera Ji Bun menahan terjangan dan menghentikan pukulannya, teriaknya: "Apakah ayah?”
"Ya, inilah aku, kenapa kau?"
"Ayah!" seperti seorang anak yang tersiksa tahu-tahu berjumpa ayah bundanya, tak tertahan lagi air matanya lantas bercucuran.
"Nak, kau ”
"Yah, benteng kita ”
"Kau sudah tahu?"
"Ya, siapakah pembunuhnya "Orang-orang Wi-to-hwe itulah."
"Oh , mereka?" terpancar cahaya penuh nafsu membunuh
dari mata Ji Bun, darah terasa mendidih dalam rongga dadanya. “Nak, kenapa begitu melihat aku lantas kau menyerang seganas itu?"
"Tahukah ayah ada seorang menyaru dirimu, dua kali dia menyerangku "
"Apa, ada orang menyamar diriku?"
"Ya, persis sekali, tulen atau palsu sukar kubedakan." "Mungkin perbuatan orang-orang Wi-to-hwe "
"Tidak mungkin." "Kenapa?"
"Baru saja aku menjadi tamu kehormatan mereka, dan mereka belum tahu asal usulku."
"Kau keliru nak, betapa keji culas muslihat orang-orang Kangouw, kemungkinan mereka memang sudah mengatur secara rapi."
Memang tidak salah, demikian pikir Ji Bun, tanpa sebab kenapa dirinya diundang sebagai tamu kehormatan, malah diminta hadir dalam sidang mereka, dalam hal ini pasti ada latar belakang dan tujuan tertentu. Seketika ia bergidik sendiri, namun bara dendamnya semakin menyala.
"Yah, siapakah Wi-to-hwecu sebenarnya?” tanyanya kemudian. "Sekarang belum diketahui secara pasti, kemungkinan salah seorang musuhku dulu."
"Dari mana ayah mendapat tahu."
“Nak, muka yang kau lihat itu bukan wajah aslinya, dia mengenakan kedok."
"Oh, pantas tak enak dipandang, tentunya ayah bisa menebak siapa dia, berapa gelintir saja orang-orang yang berkepandaian setinggi itu.”
“Dunia terlalu luas, serba serbi dunia sukar diraba pula, musuh tangguh yang sekarang kemungkinan adalah kaum keroco masa lalu, darimana kita bisa merabanya dengan tepat?"
"Apakah Siang-thian-ong dan lain-lain itupun ikut dalam peristiwa ini? Ada orang bernama Siangkoan Hong, apakah dia pembunuh utamanya?"
Tiba-tiba orang berkedok menyurut mundur, suaranya gemetar: "Kau kenal Siangkoan Hong?"
"Ya, beberapa waktu yang lalu, ia tergeletak luka-luka di pinggir jalan, napas sudah kempas-kempis karena keracunan, anak memang terlalu banyak ulah dan telah menolongnya."
"Dia tahu asal usulmu?" "Tidak tahu" "Betul, memang dia pembunuh utamanya." “Siapakah Siangkoan Hong itu?"
"Terakhir dari Jit-sing-pat-siang (delapan panglima dari Jit-sing), belakangan dia lari menjadi pengkhianat."
Mendelik biji mata Ji Bun, hal ini benar-benar di luar dugaannya, bahwa Siangkoan Hong adalah nomor kedelapan dari Jit-sing-pat- ciang, sejak meningkat besar dan tahu urusan, seingatnya anak buah ayahnya yang diandalkan hanya Jit-sing-lak-ciang (enam panglima) saja.
"Yah, lalu di mana salah seorang yang lain"
“Dialah tertua dari Jit-sing-pat-siang, sepuluh tahun yang lalu lari bersama Siangkoan Hong."
"Siangkoan Hong menyapu bersih benteng kita, Lak-ciang dibantainya pula, apakah tujuannya?”
"Ayah sendiri sampai sekarang belum jelas kemana maksud tujuan mereka itu, untuk ini kita harus langsung tanya kepadanya."
"Bukankah ayah pernah bentrok dengan dia?”
"Ya, namun dia tidak pernah mengatakan alasannya. Lwekang dan Kepandaian silatnya sekarang teramat tangguh di luar dugaanku, lika-liku persoalan itu kukira tidak mudah untuk diselami
.....”
"Kalau demikian Siangkoan Hong pasti salah seorang dari Wi-to- hwe?"
"Kemungkinan besar."
"Oh, ya, ayah, tentang Pui-congkoan, dia. "
"Kenapa?"
"Muslihatnya konangan musuh waktu menaruh racun dalam hidangan, kini dia sudah berkorban."
Bergetar tubuh orang berkedok, teriaknya dengan beringas: "Apa yang pernah dia katakan?"
"Sepatah katapun dia tidak mengaku."
"Bagus, bagus! Aku bersumpah akan menuntutkan balas baginya
...... sebetulnya ah, hanya menambah jumlah tagihan saja."
"Ayah, maafkan anak bicara terus terang, seluruh ketua cabang persilatan pada jaman ini boleh dikatakan hadir semua dalam perjamuan mereka, jikalau melihat Pui-congkoan berhasil ”
"Nak, ayahmu ini tidak suka bila banyak orang dalam dunia ini tak tunduk kepadaku." Ucapan seorang durjana, Ji Bun merasa tertusuk kupingnya mendengar kata-kata ini, namun ia berhadapan dengan ayah sendiri, apa yang bisa ia katakan?
Setelah dengan rasa serba salah, akhirnya Ji Bun bertanya dengan haru: "Yah, dimanakah ibu sekarang?"
"Akupun sedang mencarinya."
"Ibu tidak sampai tertimpa bencana, bukan?" "Sudah tentu tidak. Entah kelak."
Berkerutuk gigi Ji Bun saking gemas, katanya dengan murka: "Bagaimana rencana ayah selanjutnya? "
"Membalas dendam tentunya. Ayah sudah mengatur rencana, lebih baik kau tetap bekerja seorang diri mencari kesempatan untuk memberantas musuh satu persatu untuk mengurangi kekuatan mereka, namun harus hati-hati dan jangan sampai meninggalkan bekas-bekas yang mencurigakan."
"Anak mengerti dan akan bekerja, seperti petunjuk ayah." "Baiklah, kita ayah beranak tidak, bisa kumpul bersama, sekaligus
juga untuk tetap merahasiakan asal usulmu, kalau ada urusan akan kusuruh orang mengadakan kontak ”
"Yah, masih ada suatu hal, soal lamaran puteri keluarga Ciang di Kayhong ” "Keluarga hancur jiwa terancam, hal itu tidak usah disinggung lagi. Nak, jaga dirimu baik-baik, ayah berangkat dulu!"
Habis kata-katanya, sekali berkelebat lenyaplah bayangannya, meluncur ke dalam kegelapan sana.
Baru sekarang Ji Bun ingat perkataan Thian-thay-mo-ki, bahwa dia pernah meninggalkan tanda mata di atas kepala orang berkedok, kenapa tadi dia lupa memeriksa dan membuktikan, sudah tentu curiga terhadap ayah sendiri adalah sesuatu yang janggal dan menggelikan. Namun hal ini harus diberitahu kepada beliau, dengan tanda-tanda ini beliau bisa ikut mencari orang yang menyarunya itu.
Keluarga berantakan, rumahpun sudah hancur, inilah tragedi yang paling mengenaskan dalam dunia. Dengan terlongong ia berdiri mematung di bayang-bayang kegelapan hutan, sedapat mungkin ia memusatkan pikirannya yang kalut.
Apa rencana ayahnya? Bagaimana dirinya harus bergerak? Ke mana pula ia harus menemukan ibunya? Di mana Siangkoan Hong bersembunyi? Bahwa keparat itu adalah musuh ayahnya, namun telah ditolongnya malah, sungguh perbuatan brutal yang lucu.
Jikalau sejak mula dirinya sudah punya pendirian seperti sekarang, kesalahan tentu tidak perlu terjadi?
Mengingat musuh-musuhnya, perasan Ji Bun menjadi berat, mereka sudah diketahui adalah bangkotan-bangkotan silat yang sukar ditandingi. Bicara soal menuntut balas, sungguh sukarnya buka main, dan ayahnya seperti menyembunyikan sesuatu, tidak mau menjelas asal mula dari permusuhan ini.
Pikirannya teringat kepada Gadis baju merah Pui Ci-hwi pula, semula ia merasa cemburu akan pergaulan pujaan hatinya ini dengan pemuda baju putih dari Cip-po-hwe yang bejat itu. Kini rasa cemburu ini sudah lenyap, karena Pui Ci-hwi mengakui sebagai salah seorang Wi-to-hwe. Mereka adalah pembunuh-pembunuh yang membantai seluruh penghuni Jit-sing-po, maka Pui Ci-hwi menjadi salah seorang musuhnya pula, dendam dan cinta selamanya takkan berdiri berdampingan.
Tanpa terasa ia terbayang pula pada Ciang Bing-cu serta merta ia merogoh saku, mengeluarkan anting-anting batu pualam pemberian nona itu. Anting-anting yang punya arti terlalu besar di mana saja ia berada dengan sesuka hati boleh ambil dan menggunakan uang.
Anting-anting ini terhitung pusaka yang tak ternilai harganya.
Baru sekarang ia sempat memperhatikan anting-anting ini, sebetulnya tiada sesuatu yang istimewa, tak ubahnya dengan anting umumnya. Dengan teliti ia bolak-balik memeriksanya, namun tidak diperoleh sesuatu yang mencurigakan, apakah keluarga Ciang tidak takut orang memalsu anting-anting ini untuk menggerogoti harta kekayaannya?
Sekonyong-konyong sebuah bayangan berkelebat laksana kilat menyambar, begitu cepat dan luar biasa sekali, bagai setan dan seperti iblis. Ji Bun bukan kaum kroco, secara refleks ia melancarkan serangan mematikan, namun bayangan itu tidak berhenti, sekali berkelebat tahu-tahu sudah lenyap pula. Keruan bukan kepalang kaget Ji Bun. Tiba-tiba merasakan anting- anting yang dipegangnya telah lenyap, bertambah besar kejutnya.
Jika anting-anting itu terjatuh orang-orang yang tidak bertanggung jawab di Kangouw, betapa besar akibat yang bakal timbul karenanya? Mungkinkah orang sudah tahu manfaat atau kegunaan dari anting-anting itu serta mengintai dan mengincarnya selama ini.
"Kurcaci kurang ajar!" hardik Ji Bun, badan¬nya melenting secepat kilat mengejar ke arah lenyapnya bayangan. Waktu itu malam gelap gulita, hutan lebat sehingga pandangan remang- remang, untuk mengejar seorang yang punya gerak gerik begitu cepat dan gesit, jelas tiada harapan sama sekali. Setiba di luar hutan, mana ada bayangan manusia.
Gemetar badan Ji Bun saking murka, dengan lesu ia menghentikan pengejarannya, hatinya lebih merasa jeri dan ngeri daripada penasaran. Untuk pertama kali ini serangan dirinya yang ampuh kehilangan gunanya. Hal ini tidak pernah terjadi, betapapun tinggi kepandaian silat seorang, kecuali tidak kena dengan telak, kalau terpukul pasti jiwanya melayang. Namun bayangan yang satu ini tetap dapat kabur dan menghilang setelah terkena serangannya.
Kecuali ayahnya, tak terpikir olehnya jago silat mana yang mampu bertahan hidup setelah kena serangannya, sungguh hebat dan mengerikan. Siapakah orang yang kuat bertahan dari pukulan yang mematikan ini? Mungkinkah perbuatan orang-orang Wi-to- hwe? Sayang gerakan bayangan itu teramat cepat, hakikatnya ia tidak jelas membedakan bentuk bayangan itu. Bagaimana ia harus memberi pertanggungan jawab kepada Ciang Bing-cu? Inilah persoalan penting dan terbesar.
Orang yang tahu bahwa dirinya membawa anting-anting itu hanya Thian-thay-mo-ki seorang, namun Thian-thay-mo-ki takkan kuat menghadapi pukulan yang mematikan. Pula gerak-geriknya tidak segesit itu. Ji Bun jadi menyesal kenapa semula ia tidak menolak saja pemberian anting-anting ini, namun menyesalpun sudah kasip.
Sedang terlongong dan kehabisan akal, kupingnya mendengar desiran seperti lambaian pakaian yang tertiup angin. Tampak sesosok bayangan berlari mendatangi dari arah hutan sana. Kontan Ji Bun menyambutnya dengan bentakan: "Berhenti!"
Bayangan segera berhenti, Ji Bun segera menubruk maju, setelah dekat dan melihat jelas, diam-diam ia merasa sebal, ternyata pendatang ini adalah Thian-thay-mo-ki."
"Dik," kata Thian-thay-mo-ki, untunglah kau bersuara, kalau tidak kita takkan bertemu di sini."
Memangnya hati sedang gundah, maka Ji Bun menyambut dengan tak acuh: "Kau mengejar aku? Ada keperluan apa?"
"Agaknya kau kurang senang?" Tiba-tiba tergetar hati Ji Bun, mungkinkah perempuan berkerudung kain sari itulah yang merebut anting-antingnya, kepandaian orang begitu tinggi, kemungkinan sekali dialah orang yang melakukannya, dan lagi yang tahu akan hal ini hanya Thian- thay-mo-ki, bukan mustahil ia memberitahu rahasia ini kepada gurunya, betapapun arti dari anting-anting itu teramat besar, maka dengan sikap dingin ia bertanya: "Mana gurumu?"
"Guruku?"
"Ya, perempuan berkerudung kain sari hijau itu.”
"Dik, watak guruku terlalu nyentrik, kejadian yang kau alami anggaplah tidak ada."
"Memangnya aku tidak ambil peduli." "Syukurlah kalau begitu."
"Siapakah nama julukan gurumu yang mulia?"
"Maafkan untuk hal ini, guruku tak senang namanya diketahui orang luar, sudah puluhan tahun beliau tidak muncul di Kangouw."
"Kali ini gurumu turun gunung, tentunya mempunyai maksud- maksud tertentu?"
"Memang benar, namun itu urusan pribadi beliau." "Gurumu masih ada di atas gunung ini?" "Tidak, setelah berkelahi dengan Siang-thian-ong, ia lantas meninggalkan tempat ini. Dik agaknya ada sesuatu yang mengganjal hatimu?"
"Ya, ada sedikit."
"Boleh beritahukan padaku?"
"Anting-anting pemberian Ciang Bing-cu tempo hari itu baru saja direbut seseorang."
"Apa, direbut orang? Ada orang berani merebut barang dari tangan Te-gak Suseng memangnya dia sudah bosan hidup. Dik siapakah dia?"
Berkilat laksana bintang kejora biji mata Ji Bun di dalam kegelapan, dengan tajam ia tatap muka Thian-thay-mo-ki, seolah- olah hendak menyelami hatinya, apakah sikapnya ini pura-pura belaka atau bicara setulus hati, dengan dingin ia menjawab: "Gerak gerik orang itu sangat mengejutkan, tidak sempat kulihat jelas bagaimana bentuk bayangannya,"
Diliputi rasa kaget dan heran suara Thian-thay-mo-ki: "Memangnya tokoh macam apakah dia? Mungkin ia sudah tahu manfaat anting-anting itu, kalau tidak buat apa dia merebutnya."
"Tapi soal anting-anting itu tiada orang lain yang tahu." "Jadi kau curiga akan perbuatan guruku?" "Aku tidak mengatakan demikian."
"Untuk ini aku berani tanggung, guruku takkan sudi melakukan perbuatan serendah ini."
Sikapnya yang sungguh-sungguh membuat Ji Bun percaya, keduanya berdiam sesaat lamanya, akhirnya Thian-thay-mo-ki bersuara pula: "Dik, apakah gerak-gerik bayangan itu teramat cepat dan aneh?"
"Ya, seperti setan iblis layaknya." "Mungkinkah si dia?"
"Dia siapa?"
Sejenak berpikir baru Thian-thay-mo-ki berkata: "Pernahkah kaudengar nama Biau-jiu Siansing (si Tuan bertangan gaib)?"
"Pernah kudengar, kabarnya jejak orang ini pergi datang tidak menentu, pandai menyamar, jarang orang melihat wajah aslinya
....."
"Dinilai kepandaiannya, mungkin hanya beberapa gelintir saja yang sejajar dengan Biau-jiu Siansing di jaman ini, pula kepandaiannya mencuri begitu hebat, seumpama memetik bintang mengambil rembulan, Lweekangnya kabarnya juga teramat tinggi."
"Cici menyangka akan perbuatannya?" "Ini hanya dugaan saja."
"Cara bagaimana kita bisa menemukan dia?"
"Sulit, tapi " Thian-thay-mo-ki mengerut kening dan berpikir
sekian lama, lalu menyambung pula: "Untuk mencari dia memang sesukar memanjat langit, terpaksa kita harus paksa dia sendiri yang muncul.”
"Memaksa muncul bagaimana?"
"Kita tawan seseorang sebagai sandera untuk memancingnya." "Apa, menawan orang sebagai sandera?"
"Selain itu tiada cara lain."
"Lalu siapa yang harus kita tawan?"
"Kau kira cara ini boleh dilakukan? Baiklah, biarlah kuberitahu sebuah kisah rahasia dunia, persilatan kecuali aku mungkin tiada orang kedua yang tahu. Biau-jiu Siansing punya seorang gundik, tinggal di ”
"Gundik! Jadi dia punya keluarga?"
"Dengarkan ceritaku, gundiknya itu tinggal di sebuah gedung di dalam kota Cinyang, dari gundik ini dia mendapatkan seorang putera, kira-kira berusia sepuluh, begitu besar kasih sayangnya terhadap puteranya ini ”
"Dari mana Cici mengetahui hal ini?"
"Dua tahun yang lalu, aku ada urusan ke Cinyang, karena mengejar seorang musuh aku kesasar memasuki sebuah gedung kuno. Kutemukan penghuni gedung kuno ini adalah seorang ibu dan puteranya yang masih kecil, pembantunya semua adalah perempuan. Namun gedung kuno itu dipajang dan dihias serba mewah dan antik. Kebetulan seorang tua bungkuk melompat masuk tidak melalui pintu tapi dari atas tembok belakang, gerakannya gesit dan cepat sekali. Semula aku kira orang ini adalah maling atau sebangsa panca longok, namun dugaanku ternyata meleset. Dari pembicaraan mereka yang kucuri dengar, baru aku tahu bahwa orang tua bungkuk kurus itu ternyata adalah Biau-jiu Siansing yang tersohor di Kangouw ”
"Orang tua renta bungkuk?"
"Itu bukan wajah aslinya, waktu itu kupikir seorang gadis tak enak mencuri dengar pembicaraan pribadi orang lain, maka secara diam-diam aku mengundurkan diri. Namun pengalamanku yang tak terduga itu, menimbulkan suatu ilham dalam benakku malah."
Ji Bun berkata: "Maksud Cici hendak menculik puteranya itu dan dijadikan sandera? Kenapa tidak kita luruk saja ke gedung itu, kalau kepergok kebetulan malah, kalau tidak ketemu boleh kita tunggu sampai dia muncul ” "Terlalu rendah kau menilai Biau-jiu Siansing, duplikatnya teramat banyak, pandai dan cerdik lagi. Jika tidak kau pegang kelemahannya, jangan harap kau bisa berurusan sama dia."
"Baiklah, mari sekarang berangkat ke Cinyang." "Nanti dulu."
"Cici masih ada urusan apa lagi?" "Masin ingat tentang Sek-hud itu?" "Sek-hud? Memangnya kenapa?”
"Pui Ci-hwi atau gadis baju merah itu sudah membeberkan rahasia tempat penyimpanan Sek-hud itu kepada putera ketua Cip- po-hwe yang bernama Liok Kin itu."
"Pemuda baju putih itu bernama Liok Kin? Memangnya kenapa lagi?"
"Konon kabarnya Sek-hud merupakan benda pusaka yang tak ternilai, kini bakal terjatuh tangan Cip-po-hwe ”
"Kukira tidak mungkin!" "Kenapa tidak mungkin?"
"Jago-jago kosen Wi-to-hwe masakah berpeluk tangan saja?" "Bukan begitu soalnya, Lok Kin mengaku sebagai putera seorang keluarga In di Jiciu, hakikatnya Pui Ci-hwi tidak tahu akan asal usulnya, dengan segala daya dan akal licik Liok Kin berhasil menggait dengan tujuan memperoleh Sek-hud itu. Kini mereka sudah turun dari Tong-pek-san, bagaimana nasib Pui Ci-hwi selanjutnya sulit diramalkan. Betapapun terlalu banyak jumlah jago- jago kosen Wi-to-hwe, dalam waktu dekat ini kita mungkin sukar bertindak."
Terbayang wajah molek dari gadis baju merah bak mutiara nan cemerlang dalam benak Ji Bun. Dalam hati diam-diam ia memperingatkan diri sendiri bahwa nona itu adalah musuh, mati hidupnya tiada sangkut paut dengan dirinya.
Akan tetapi iapun menyadari bahwa sesuatu sedang menggelitik di dalam lubuk hatinya, sehingga dia sukar mengendalikan perasaannya lagi. Kekotoran jiwa dan kebejatan pemuda baju putih Liok Kin membuatnya tak tahan untuk berpeluk tangan.
Akan tetapi dari jauh Thian-thay-mo-ki ke sini mencari dirinya untuk memberi tahu hal ini, apa pula maksudnya? Semestinya dia benci pada Pui Ci-hwi karena orang ini menjadi saingan beratnya. Maka ia lantas bertanya: "Cici, maksudmu menghendaki aku menolongnya dari cengkeraman Liok Kin yang kotor itu?”
"Betul, bukankah kau mencintainya?"
Ji Bun melengak, tanyanya: "Cici, kau tidak membencinya?" "Kenapa aku harus membencinya? Aku kasihan padanya malah." "Kasihan? Kenapa Cici malah kasihan padanya?"
"Karena gadis yang masih suci bersih tidak menyadari bahwa dirinya dipermainkan orang."
Kata-kata ini seketika membakar rasa cemburu Ji Bun, memang aneh perasaan manusia, dia kasmaran terhadap Pui Ci-hwi sampai perintah orang tua yang menyuruhnya melamar puteri keluarga Ciang di Kayhong dia batalkan begitu saja, namun kenyataan gadis yang di kejar-kejar ini tidak membalas cintanya, kini malah diketahuinya bahwa nona, itu adalah komplotan para musuhnya.
Kenyataan ini tidak kuasa menahan rasa cemburunya, hal ini membuat Ji Bun sendiri tidak mengerti kenapa teraknir ini ia kehilangan pegangan akan sifatnya dulu yang keras kepala.
Mungkinkah Thian-thay-mo-ki sengaja mengatur muslihat dengan pura-pura "mundur untuk siap melangkah maju setindak," sekaligus memperlihatkan kebesaran cintanya? Kalau dugaan benar, akal muslihatnya ini sungguh lihay dan jitu. Karena ia tidak menaruh perhatian terhadap Sek-hud, akhirnya ia bertanya: "Apa Cici ada maksud mereebut Sek-hud itu?"
"Tidak. Bagaimana tindakanmu selanjutnya?"
"Kenapa Cici tidak beritahu kepada Wi-to-hwe supaya mereka bereskan sendiri?”
"Aku tidak sudi berhubungan dengan mereka " "Lalu kenapa kau beritahu kepadaku ”
"Dik, jangan berbelit-belit, aku tahu cintamu hanya tertuju kepada Pui Ci-hwi," sampai di sini tiba-tiba suaranya berubah rawan. "Terhadapku, hakikatnya melirikpun kau tidak sudi, mungkin kau pandang aku ini perempuan jalang, atau mungkin kau pandang aku perempuan liar yang sudah kehilangan bentuk aslinya, bahwa belakangan ini kau mau bergaul dengan aku hanyalah bermuka- muka saja ”
Diam-diam Bun mengakui akan kelihayan Thian-thay-mo-ki, tukasnya: "Cici jangan salah paham."
"Dik, jangan kau menyangkal, tidak perlu memberi penjelasan. Dengarkan, walau aku tahu akan hal ini, namun aku tetap senang bersamamu, dulu aku pernah lancang mulut mengatakan kita adalah sejenis, dari golongan sesat, anggaplah ucapanku itu hanya isapan jempol belaka, yang betul kau bukan akupun bukan. Kau sudah kupahami, bahwa cinta hakikatnya tidak boleh dipaksakan, tiada yang kupinta dan tiada yang kuharapkan. Aku hanya mohon sukalah kau tetap pandang aku sebagai teman biasa. Mungkin kau mengira aku punya tujuan tertentu, namun aku ingin berterus terang kepadamu, tidak sama sekali. Aku rela mengabulkan cita-citamu, itulah sebabnya kenapa aku mau membeberkan semua rahasia ini kepadamu, kuharap Pui Ci-hwi selanjutnya mau mengubah sikapnya terhadap kau.”
Ji Bun betul-betul terharu, ia terpukul dan malu diri akan sikap dan perlakuannya selama ini terhadap Thian-thay-mo-ki. Terang sekali bahwa penilaiannya selama ini terhadap perempuan genit ini memang salah sama sekali, yang betul dia ini seorang perempuan yang patut dipuji dan perempuan teladan.
Namun pikiran lain segera menyangkal akan pikiran bajiknya ini, sembilan diantara sepuluh orang perempuan dalam dunia ini umumnya berjiwa cemburu, kecuali cinta jarang terjadi persahabatan yang kental di antara laki dan perempuan, karena biasanya persahabatan itu tidak akan bertahan lama, dinilai dari nama julukan Thian-thay-mo-ki, siapapun sukar mau percaya bahwa jiwanya begitu luhur.
Namun kenyataan, ia tidak kuasa mendebatnya. Dirinya tetap tidak menaruh cinta terhadapnya, yang terang rasa kurang senangnya jauh lebih menjalari sanubarinya, sehingga sedemikian jauh ia tetap tidak mau percaya bahwa perempuan ini berjiwa bersih. Namun ia toh harus menghadapi kenyataan ini, katanya: "Cici, aku amat berterima kasih."
"Apa kau bicara setulus hatimu?"
Rada panas kulit muka Ji Bun, dengan suara lirih dia mengiakan. "Baiklah, marilah kita berangkat!"
"Berangkat ke mana?"
"Kita harus mencegah Liok Kin membawa Pui Ci-hwi pulang ke markas besar Cip-po-hwe." Kalau Pui Ci-hwi betul-betul kejeblos ke dalam markas Cip-po- hwe, maka hancurlah jiwa-raga Pui Ci-hwi, peduli bagaimana sikap dan perasaannya sekarang terhadapnya, betapapun Ji Bun tak dapat berpeluk tangan membiarkannya terjatuh ke tangan Liok Kin, "Apakah masih ada waktu," tanyanya.
"Ada, kita langsung kejar ke markas besar Cip-po-hwe, pasti bisa menyandaknya."
4.12. Kuil Mesum Siong-cu-am
Semula Ji Bun masih bimbang, apa manfaatnya? Kalau setengah hari yang lalu ia mendengar berita ini, tanpa pikir tentu ia akan mengejarnya, namun setelah bertemu dengan ayahnya dan tahu siapa-apa musuhnya, maka pikirannya banyak berubah. Bahwa ia pernah berbuat salah menolong jiwa Siangkoan Hong yang menjadi musuh utama keluarganya, apakah kesalahan itu harus terulang dengan menolong Pui Ci-hwi lagi. Namun sesuatu kekuatan yang mengeram dalam sanubarinya seolah-olah menyetir pikirannya, sehingga dia tak kuasa lagi mengendalikan diri. Akhirnya dia manggut-manggut dan berkata: "Baiklah, mari berangkat."
Keduanya segera meluncur ditengah malam gulita, sekuat tenaga mereka berlari. Sejam kemudian, sinar cemerlang sudah menongol di ufuk timur sana, kokok ayampun sudah bersahutan. Setelah terang tanah baru mereka mendapatkan sebuah kedai di pinggir jalan, kedai udik ini umumnya menyediakan kue-kue kasar dan terbuat dari bahan-bahan kasar pula. Walau masih terlalu pagi, namun orang-orang desa yang membawa dagangannya ke kota banyak yang mampir untuk tangsal perut dan melepaskan lelah sekadarnya.
Mereka memilih tempat duduk menunggu sekian lamanya baru dilayani oleh seorang laki-laki gemuk yang berlepotan minyak, setelah manggut-manggut pelayan ini bertanya: "Tuan dan nyonya hendak makan atau minum arak?"
Sekilas Ji Bun melirik kepada Thian-thay-mo-ki, katanya: "Ada bubur?"
"Ada bubur beras menir, ada pula bakpau yang masih panas
......”