Jilid 12
Dulu sebagai tawanan dan kini sebagai tamu terhormat, ternyata Ho Leng-hong sama sekali tidak merasa senang, apa yang dipikirkan sekarang hanya bagaimana caranya memasuki istana es untuk menolong Pang Goan, cuma sayang ia tak punya kesempatan untuk buka suara.
Para pengawal berbenang putih belum berhak masuk ke dalam ruangan menemani tamu, jadi Kim Hong-giok pun tidak diketahui ke mana perginya. Setelah air teh dihidangkan, Tong Siau-sian kembali menitahkan orang untuk menyiapkan arak, sementara ia sendiri mohon diri untuk meninggalkan ruangan.
Begitu Tong Siau-sian pergi, Tong-popo lantas berkata dengan tertawa, “Ho-tayhiap, sejak kedatanganmu di lembah ini, aku sudah tahu bahwa kau bukan manusia sembarangan, buktinya memang demikian. Nah, aku ingin minta suguhan secawan arak darimu.”
“Popo terlalu sungkan, aku orang she Ho adalah manusia tak becus, keberhasilanku tak lebih lantaran nasib lagi mujur,” sahut pemuda itu.
Di luar ia berkata demikian, dalam hati pikirnya, “Mau minum arak boleh minum sepuasnya nanti, yang penting sekarang lekas buka istana es dan menjemput Pang- toako keluar dari situ ”
Di dengarnya Tong-popo berkata lagi sambil tertawa, “Ho-tayhiap adalah naga di antara manusia, semua Popo telah membuktikan sendiri, menurut pendapatku, persoalan inipun tak usah dirundingkan lagi, kita tentukan besok sebagai hari baik saja, entah bagaimana pendapat Cici sekalian?”
“Bagus sekali! Bagus sekali!” sahut para Tianglo serentak.
Lalu Tong-popo berkata kepada Ho Leng-hong, “Inilah rejeki Ho-tayhiap dan juga merupakan peraturan dari lembah kami, kukira Ho-tayhiap tak akan mengajukan pendapat lain bukan?”
Apa yang dipikirkan Ho Leng-hong sekarang bagaimana caranya masuk ke istana es, hakikatnya ia tidak menaruh perhatian terhadap apa yang mereka bicarakan, maka seenaknya saja ia mengangguk.
“Popo sekalian tak usah terlalu berlebihan, sudah kukatakan keberhasilanku adalah karena nasibku lagi mujur ”
Karena kurang memperhatikan, dia mengira orang sedang berunding untuk mengadakan pesta keesokan harinya untuk merayakan peristiwa besar ini.
“Baik!” ujar Tong-popo girang, “kita putuskan besok tengah hari sebagai saat bahagia, segera siarkan ke seluruh lembah agar bersiap mengadakan pesta.”
Ketika berita tersebut disiarkan, serentak semua anggota masyarakat lembah itu menyambutnya dengan sorak-sorai gembira, dentuman mercon segera berbunyi di mana-mana menambah semaraknya suasana.
Ho Leng-hong masih menyatakan terima kasih dengan senyum dikulum, setelah bunyi mercon mereda, ia baru memperoleh kesempatan untuk berkata, “Sesungguhnya kalian tak perlu merayakan kejadian ini secara besar-besaran, bila Popo sekalian ingin merayakannya, lebih baik kabulkan saja suatu permintaanku, untuk mana selamanya aku akan berterima kasih.” Tong-popo tertawa, “Kini kita adalah orang sendiri, apa permintaanmu, asal dapat kulakukan pasti akan kukabulkan, buat apa sungkan-sungkan?”
“Popo tentu tahu bukan, aku mempunyai seorang teman she Pang yang masuk ke istana es bersamaku?”
“Benar, kaumaksudkan Pang Goan, Pang-tayhiap pemilik Cian-sui-hu? kenapa dia?”
“Karena harus membantuku lolos, ia sendiri tak mampu meninggalkan tempat tersebut, hingga kini masih tertinggal di dalam istana es ”
“O, sayang sekali,” tukas Tong-popo, “padahal aku selalu menaruh hormat kepada Pang-tayhiap, ia rela membantu orang lain dengan mengorbankan diri sendiri, jiwa besarnya itu sungguh mengagumkan.”
“Popo telah salah mengartikan kata-kataku,” ucap Leng-hong sambil menggeleng kepala dan tertawa, “maksudku, hingga kini Pang-toako masih hidup dalam istana es, ia belum mati.”
Tong-popo melengak, tiba-tiba ia menengadah dan tertawa terbahak-bahak. “Jangan tertawa Popo, aku bicara sesungguhnya,” kata Leng-hong.
Sambil tertawa Tong-popo berpaling ke arah para Tianglo lainnya seraya berkata, “Percayakah kalian? Ia bilang Pang Goan masih hidup dalam istana es, dan katanya ia tidak bohong? Hahaha. ”
Beberapa nenek itupun ikut menggeleng kepala sambil tertawa, “Mungkin itulah harapan Ho-tayhiap, tentu saja kamipun berharap ia masih hidup, tapi harapan tinggal harapan, kenyataannya hal ini tak mungkin terjadi.”
“Ketika kumasuk ke istana es, bukankah kalian pun tidak percaya bahwa aku akan keluar dalam keadaan hidup?” kata Leng-hong serius, “tapi kenyataannya sekarang aku bisa keluar dengan selamat, ini kan juga suatu kenyataan!”
“Kami hanya mengakui kenyataan dan bukan khayalan, kecuali Pang Goan pun bisa keluar dengan selamat, siapapun tak akan percaya perkataanmu itu.”
“Kalau tidak percaya, boleh kita buka istana es dan memeriksanya?”
Tong-popo menggeleng kepala berulang kali, “Tidak mungkin! Menurut peraturan lembah hanya satu orang yang boleh masuk ke istana es, dan lagi diapun harus mempunyai alasan khusus, itupun harus memperoleh persetujuan dulu dari dewan para Tianglo.”
“Siapakah orang itu?” buru-buru Leng-hong bertanya. “Kokcu!”
“Baik! Sekarang juga akan kutemui dia, kuharap Popo sekalian mengizinkan ia masuk ke istana es ”
Sambil tertawa kembali Tong-popo menggeleng kepala, “Ho-tayhiap, tak usah ke sana, sebelum tengah hari besok, Kokcu takkan menjumpai dirimu.”
“Kenapa?” tanya Leng-hong.
“Sebab kalian belum melakukan upacara nikah secara resmi, masa calon pengantin boleh bertemu muka dulu?”
Leng-hong tertegun, ia termangu-mangu.
Sambil tertawa kembali Tong-popo berkata, “Jangan terburu napsu, untuk menghormati kau sebagai orang pertama yang bisa keluar dari istana es, kami putuskan akan mengizinkan Kokcu masuk ke istana es satu kali guna melakukan pemeriksaan, akan tetapi itupun harus dilakukan seusai upacara nikah kalian tengah hari esok, harap kau bersabar dulu.”
“Tidak!” teriak Leng-hong sambil melonjak, “aku tidak mau menjadi Huma dari Mi- kok, lebih-lebih tidak ingin menetap di lembah ini, kembaliku kemari hanya bermaksud menolong Pang-toako. ”
Air muka Tong-popo berubah masam, katanya dingin, “Ho-tayhiap, sebelum bicara hendaklah pikirkan dulu tiga kali. Inilah peraturan lembah dan kaupun telah menyetujuinya, kini berita perkawinan telah tersiar luas di seluruh lembah, kenapa kau malah mengucapkan kata-kata semacam itu?”
“Hei, sejak kapan aku menyetujui?”
“Bukankah tadi kau telah setuju, malahan kau minta agar jangan terlalu meriah, masa ucapanmu itu cuma omong kosong saja? Kami menjodohkan Kokcu kepadamu, meski hanya untuk memenuhi peraturan nenek moyang, itupun karena menghormati dirimu, masa kau bersikap plin-plan?”
“Bila kalian menghargai diriku, aku rela melepaskan kesempatan untuk kawin dengan Kokcu, aku hanya mohon agar Pang-toako diizinkan meninggalkan istana es.”
“Ah, perkataan apakah itu?” kata Tong-popo tak senang hati, “betapa terhormatnya seorang Kokcu, masa kauanggap perkawinan sebagai permainan kanak-kanak?
Lagipula antara soal perkawinan dengan mati-hidup Pang Goan hakikatnya merupakan dua masalah yang tidak ada hubungannya, jika kau tidak tahu adat lagi, jangan menyesal bila kamipun tak akan sungkan-sungkan.”
Diam-diam Ho Leng-hong mengeluh, kini ia baru sadar bahwa dirinya telah terjebak oleh perangkap lawan.
Persekongkolan antara Samkongcu Kim Hong-giok dengan Tong-popo untuk memaksanya kawin jelas suatu intrik yang busuk dengan tujuan tertentu, soal ini bisa tidak diurus, apakah dirinya mengawini Tong Siau-sian atau tidak juga bukan masalah penting, tapi Pang Goan yang menanti pertolongan dalam istana es jelas tak bisa ditunda-tunda lagi, betapapun tak dapat menunggu usainya upacara perkawinan tengah hari besok, persoalan ini justru masalah yang paling penting.
Dalam cemasnya hampir saja ia hendak menerjang masuk ke dalam istana es dengan kekerasan, tapi ia sadar kekuatannya terbatas, dua kepalan sukar menandingi empat tangan, apalagi jago-jago dalam lembah tak terhitung banyaknya.
Ia sadar umpama istana es berhasil diterobos, Pang Goan dapat diselamatkan, belum tentu ia bisa lolos keluar Mi-kok, sekalipun bisa keluar dari lembah ini, Hui Beng-cu yang ada di tangan Ci-moay-hwe pasti juga akan celaka.
Sungguh masalah pelik yang sukar diatasi.
Untung Ho Leng-hong bukan seorang yang keras kepala, setelah berpikir sebentar, tiba-tiba senyuman menghiasi wajahnya.
“Ya, karena cemas aku sampai keblingar,” demikian katanya, “entah berapa banyak orang yang mengimpikan untuk menjadi Huma dari Mi-kok, masa kesempatan baik yang kudapatkan kutolak begitu saja? Sungguh tindakan yang salah besar.”
“Jadi sekarang kau sudah memahaminya?” tanya Tong-popo ketus.
“Ya, sudah paham, sebagai manusia mau-tak-mau harus memikirkan diri sendiri, hanya orang bodoh yang tidak menggunakan kesempatan baik ini, mengenai mati- hidup Pang Goan, aku telah berusaha sepenuh tenaga, kesetiaan kawan paling-paling cuma begini saja, kupercaya dia tak akan menyalahkan diriku.”
Tampaknya Tong-popo rada curiga terhadap perubahan sikapnya yang tiba-tiba itu, namun ia tidak mengusut lebih jauh, hanya katanya dengan hambar, “Kalau bisa demikian akan lebih baik, sudah sepantasnya kita berusaha sepenuh tenaga demi sahabat, tapi tidak perlu urus soal waktu yang cuma setengah hari saja.”
“Betul,” kata Leng-hong sambil tertawa, “bila ia sudah mati, cemas juga tak berguna, sebaliknya kalau ia tidak ditakdirkan mati, Pang-toako pasti dapat menunggu diriku setengah hari lagi.”
Sejak itu masalah yang menyangkut Pang Goan tidak disinggung-singgung lagi, Leng-hong bersenda-gurau dan tertawa, ia membual tentang pengalamannya ketika lolos dari istana es.
Tak lama kemudian, perjamuan sudah siap, para Tianglo pun menemani Ho Leng- hong bersantap.
Kelakuan Leng-hong bagaikan orang yang delapan keturunan tak pernah minum arak, setiap cawan yang diangkat segera dihabiskan, tentu saja beberapa orang nenek itu bukan tandingannya minum arak.
Tak lama kemudian, para nenek itu menjadi mabuk dan pusing kepala, semua orang tak berani minum lagi, sedangkan Ho Leng-hong masih saja memaksanya minum, dalam keadaan demikian terpaksa nenek-nenek itu harus mengambil langkah seribu. Perjamuan itu hanya berlangsung dalam waktu singkat dan diakhiri begitu saja.
Bagaimanapun Tong-popo adalah nenek yang lanjut usia, setelah minum beberapa cawan arak akhirnya dia tak tahan, setelah menitahkan orang menyiapkan kamar tidur di bilik timur buat Ho Leng-hong, ia sendiri pun kembali ke Tiang-lo-wan untuk istirahat.
Leng-hong tahu bahwa di sekeliling bilik timur pasti tersebar para penjaga yang mengawasi gerak-geriknya, maka ia sengaja memanggil petugas penjaga untuk menghadap.
Kepada penjaga itu dikatakannya, “Aku tahu penghuni perkampungan ini kebanyakan adalah kaum perempuan, padahal aku mempunyai kebiasaan tidur telanjang, oleh karena itu untuk menjaga tata kesopanan terpaksa pintu dan jendela akan kututup rapat, tolong nona sampaikan kepada semua orang, harap malam ini jangan mendekati kamar bilik timur.”
Semakin ia bersikap misterius, para penjaga semakin tak berani gegabah. Baru saja ia masuk kamar, penjaga itu segera melaporkan kejadian tersebut kepada Hoa Jin.”
Mendengar laporan tersebut, Hoa Jin tertawa dingin, katanya, “Kalian masih gadis dan belum kawin, tentu saja harus menghindarinya, lain dengan diriku yang sudah kawin dan pernah punya anak, aku tidak takut hal begitu, tugas jaga malam ini serahkan saja kepadaku.”
Ketika semua orang sudah beristirahat, Hoa Jin dengan golok terhunus mendatangi bilik timur, betul juga, lampu kamar telah dipadamkan, pintu mau pun jendela juga tertutup rapat.
Pelahan Hoa Jin menghampiri jendela dan coba memperhatikannya, ternyata suasana dalam kamar amat hening, bahkan suara napas pun tidak terdengar.
Timbul curiga dalam hatinya, jangan-jangan Ho Leng-hong sudah tidak berada di dalam kamar lagi?
Untuk melaksanakan tugasnya, mau-tak-mau dia harus “nyerempet bahaya” untuk melakukan pengintipan.
Hoa Jin tarik napas panjang, setelah berhasil menenangkan hatinya, pelahan ia merobek sedikit kertas jendela dan mengintip ke dalam.
Hah, aneh benar! Hanya kegelapan dalam ruangan tersebut, apapun tidak dilihatnya.
Ia mengucak mata kemudian mengerahkan ketajaman matanya untuk memperhatikan lebih jauh tapi tetap kegelapan saja yang di lihat, jangankan bayangan orang pembaringan dan meja kursi pun tidak kelihatan.
Akhirnya, setelah diperhatikan lebih jauh, ia menjadi paham, ternyata dibalik jendela telah ditutup secarik kain hitam, sudah barang tentu sulit bagi orang luar untuk melihat keadaan dalam kamar.
Hoa Jin tertawa dingin, pelahan ia membuka daun jendela.
Kain hitam itu tergantung tiga kaki dari daun jendela, ia harus menyingkap kain tersebut untuk bisa melihat ke arah pembaringan, karena tiada jalan lain, terpaksa dengan sangat hati-hati ia memasukkan separoh badannya ke dalam jendela, kemudian dengan tangannya menyingkap kain hitam itu . . . .
Mimpipun tak disangkanya kalau Ho Leng-hong justru bersembunyi di balik kain hitam itu, baru saja ujung kain tersingkap, mendadak sekujur badannya menjadi kaku dan jalan darah pada pergelangan tangannya kena dicengkeram oleh Ho Leng-hong.
Belum sempat ia berteriak minta tolong, tahu-tahu jalan darah bisu sudah tertutuk, menyusul separuh badanya ikut tertarik masuk ke dalam ruangan.
Masih untung di halaman tiada orang lain, coba kalau perbuatan Hoa Jin “menerobos jendela” itu diketahui orang, biarpun keramas tujuh hari pun nodanya takkan tercuci bersih . . . . . . .
Sambil tertawa lirih Leng-hong berkata, “maaf, kukira budak-budak kecil itu tak pernah lihat, maka mereka ingin menambah pengalaman, tak tahunya Hoa-toaso sendiri yang berkunjung kemari, maaf kalau aku bersikap kurang sopan.”
Seraya berkata ia mulai mencopoti jubah luar Hoa Jin dan ambil goloknya, lalu dikenakan di tubuh sendiri, sekali lompat ia sudah keluar jendela, kemudian ia tutup kembali daun jendela dan berangkatlah ia menuju ke lembah belakang.
Hoa Jin tertutuk dan tak bisa berteriak, apalagi berkutik, terpaksa ia cuma bisa menyaksikan kepergian pemuda itu dengan mata melotot, entah harus gusar ataukah kecewa?
Sesaat menjelang fajar, biasanya merupakan suasana yang paling gelap.
Ketika Ho Leng-hong tiba di lembah belakang, itulah saat fajar hampir menyingsing, dari kejauhan ia sudah berhenti, melepaskan baju merah Hoa Jin dan membuang pula sarung goloknya, sambil menghunus golok ia beristirahat sebentar untuk menunggu kesempatan.
Tiga orang nenek buta yang menjaga pintu masuk istana es itu terdiri dari seorang Tianglo dan dua orang “berbenang biru”, tentu saja kungfu mereka tidak lemah.
Ho Leng-hong mengerti bahwa kehadirannya tak akan mampu mengelabuhi mereka, maka ia membuang lelah dulu agar bilamana perlu ia bisa menyerbu secara kekerasan.
Pemuda itu bertekad, bagaimanapun jua sebelum fajar menyingsing nanti dia sudah harus dapat menyelamatkan Pang Goan serta meninggalkan Mi-kok, kemudian baru berusaha menyelamatkan Hui Beng-cu. Seandainya di antara Pang Goan dan Hui Beng-cu dia hanya bisa menolong satu orang saja, dia pasti akan memilih Pang Goan karena ini adalah soal moral.
Bila pertolongan harus dibedakan mana lebih dulu, dia juga akan menolong Pang Goan duluan, sebab Hui Beng-cu yang berada di tangan Ci-moay-hwe tak akan segera mati, sebaliknya Pang Goan yang terkurung di istana es justru berada dalam keadaan kritis.
Pemilihan demikian adalah pemilihan terpaksa, sebab kecuali cara demikian ia tidak punya cara lain yang lebih sempurna.
Oleh sebab itu, ketika sambil membawa golok ia berjalan mendekati rumah batu, hatinya merasa berat sekali.
Setelah ambil keputusan yang terpaksa, tentu saja dia tak mau mengalami kegagalan di sini sana.
Betul juga, kedatangannya tak dapat mengelabui nenek Po yang berada dalam rumah batu, baru saja berada tiga kaki dari pintu rumah, dari dalam telah berkumandang suara bentakan, “Siapa di situ? Berhenti!”
Ho Leng-hong berjalan maju beberapa kaki lagi sebelum berhenti, goloknya segera disembunyikan di balik siku, sementara persiapan dilakukan secara diam-diam guna menghadapi segala kejadian yang tidak diinginkan.
Nenek Po diiringi dua orang perempuan buta lainnya menyongsong kedatangannya, dengan mata putih mendelik ia membentak.
“Besar amat nyalimu! Suruh kau berhenti, ternyata kau malah berani maju dua kaki lagi sebelum berhenti? Sebutkan namamu!”
“Aku she Ho, ada urusan penting hendak masuk ke istana es, harap Popo mengabulkan permintaanku.”
“She Ho? Ho apa? Aku seperti merasa pernah kenal suaramu,” kata nenek Po dengan tercengang.
Leng-hong segera menyebutkan namanya, kemudian ia menambahkan, “Aku adalah orang yang masuk ke dalam istana es bersama dua orang rekanku beberapa hari yang lalu, apakah Popo masih ingat?”
Mendengar jawaban tersebut, nenek Po menjadi sangat girang, buru-buru sahutnya, “Ah, ya, yaa . . . aku masih ingat, aku masih ingat, kenapa tidak ingat? Aku dengar Ho-tayhiap telah lolos dari istana es dan kawah api dengan selamat, besok akan menjadi Huma lembah kami, hampir saja aku si nenek lupa menyampaikan selamat kepadamu.”
Kepada kedua orang perempuan buta lainnya ia lantas menitahkan, “Tamu terhormat telah datang, cepat mempersilakan Ho-tayhiap duduk di dalam, kita harus menyampaikan selamat kepadanya.” Buru-buru kedua orang perempuan buta itu masuk ke dalam ruangan, memasang lampu dan mempersilakan Ho Leng-hong masuk ke dalam.
Tindakan tersebut sedikit di luar dugaan Ho Leng-hong, katanya sambil tersenyum, “Popo tak usah sungkan, aku masih ada seorang teman yang ketinggalan di dalam istana es, dia harus cepat ditolong keluar, sebab itulah mohon kepada Popo suka membukakan pintu istana, untuk mana kami akan sangat berterima kasih kepadamu.”
“Apa? Kau hendak masuk lagi ke istana es?”
“Betul, mohon Popo suka mengabulkan permintaanku ini.”
Nenek Po berpikir sebentar, kemudian katanya, “Baiklah, terpaksa kuucapkan selamat kepada Ho-tayhiap setelah upacara perkawinan besok.”
Ho Leng-hong tidak mengira orang akan mengabulkan permintaannya, dengan girang ia berseru, “Terima kasih banyak, nenek!!”
Selesai berkata ia langsung melangkah ke ruangan dalam.
Mendadak nenek Po mengulurkan tangan ke depan sambil berseru, “Coba perlihatkan dulu!”
“Apa yang kau maksudkan,” tanya Ho Leng-hong tertegun. “Lencana nomor, nomor kunci untuk membuka pintu istana!”
“Soal ini. ” Leng-hong menjadi bingung, selang sejenak ia baru berkata lagi sambil
tertawa, “Maaf, lantaran datang terburu-buru, kulupa minta Ho-pay (tanda nomor) dari Tong-popo, apakah bisa ditiadakan saja untuk kali ini?”
“Tidak, tidak bisa,” jawab nenek Po sambil geleng kepala, “untuk membuka pintu istana harus ada Ho-pay lebih dulu, terpaksa Ho-tayhiap harus kembali dulu ke Tiang- lo-wan untuk mengambil Ho-pay tersebut.”
“Tapi aku harus segera masuk, aku tak ada waktu untuk pergi datang lagi.”
“Maaf,” kata nenek Po sambil mengangkat bahu, “tanpa Ho-pay, siapapun jangan harap bisa memasuki istana es, aku hanya seorang penjaga pintu dan harus melaksanakan tugas, aku betul-betul tak bisa membantumu.”
“Keadaan sangat mendesak, tolonglah untuk sekali ini saja, sekembaliku dari sana nanti baru disusulkan tanda nomornya.”
“Tidak bisa!” jawab nenek Po tegas.
Diam-diam Ho Leng-hong berpikir, “Nenek ini berdisiplin tegas dan tidak kenal kompromi, agaknya banyak bicara juga tak berguna, lebih baik kubekuk dulu orang ini ” Begitu ingatan tersebut terlintas dalam benaknya, golok segera berputar dan siap melancarkan serangan.
Pada saat itulah tiba-tiba dari belakang berkumandang suara orang berdehem lirih, menyusul kemudian seseorang berkata, “Ho-pay berada di sini!”
Buru-buru Leng-hong berpaling, ia lihat sesosok bayangan manusia berdiri di sana sambil mengangkat tinggi-tinggi sebuah lencana nomor kunci.
Dia ternyata adalah Tong Siau-sian, sang Kokcu.
Tampaknya Tong Siau-sian sudah berdiri lama di situ, hingga Leng-hong melihat jelas dia baru dia maju mendekat.
Rupanya dia kuatir Leng-hong salah mengartikan maksud kedatangannya, sambil berjalan mendekat katanya, “Leng-hong, kau memang terlalu terburu nafsu, nenek Po adalah seorang berhati baja yang tidak kenal kompromi, tanpa Ho-pay tak nanti kau diizinkan masuk. Karena kutahu kau tak akan berhasil, maka kususulkan Ho-pay kemari.”
Nada pembicaraan lembut dan hangat, bagaikan ucapan seorang calon isteri, ditambah pula Ho-pay tersebut memang berada di tangannya, ini membuktikan kedatangannya memang tidak bermaksud jahat.
Ho Leng-hong menjadi bingung dan tak mampu bersuara.
“Hormat, Kokcu!” buru-buru nenek Po dan kedua orang buta itu memberi hormat.
“Tak usah banyak adat,” kata Tong Siau-sian sambil tertawa, “ambil Ho-pay ini dan tunggu di pintu istana, masih ada beberapa persoalan hendak kubicarakan dulu dengan Ho-tayhiap, sebentar aku menyusul ke sana.”
Nenek Po mengiakan, setelah menerima Ho-pay mereka mengundurkan diri dari situ.
Setelah ketiga orang itu masuk ke dalam ruangan batu, Tong Siau-sian baru berkata sambil menghela napas sedih, “Jangan menatap aku dengan sinar mata seperti itu, dengan tulus ikhlas ingin kubantumu, Ho-pay itu asli, bukan palsu seperti peta penyimpan golokmu.”
“Urusan yang sudah lewat harap jangan dipikirkan lagi, Kokcu,” kata Ho Leng-hong sambil menjura, “bila sobatku bisa diselamatkan, selama hidup orang she Ho akan sangat berterima kasih kepadamu.”
“Aku tidak mengharapkan terima kasihmu,” kata Tong Siau-sian sambil tersenyum getir, “aku hanya ingin tanya satu soal, kuharap kau menjawab dengan jujur.”
“Katakan saja Kokcu, pasti akan kujawab dengan sejujurnya,” ucap Leng-hong cepat. Tong Siau-sian menunduk kepala rendah-rendah, lalu dengan suara lirih bertanya, “Aku hanya ingin tahu, apa rencanamu menghadapi peristiwa besok.”
“Tentang ini ” Leng-hong agak sangsi, kemudian katanya dengan serius, “terus
terang, aku merasa rendah diri, aku tak berani mengharapkan yang muluk-muluk dan mendapat jodoh Kokcu, kudatang kemari hanya ingin menolong temanku yang masih terkurung.”
Tong Siau-sian sama sekali tidak menunjukkan sikap di luar dugaan, ucapnya dengan tenang, “Setelah Pang-tayhiap berhasil diselamatkan, lalu bagaimana?”
“Setelah itu tentu saja aku harus berusaha untuk menolong nona Hui dari Hiang-
in-hu yang terjatuh di tangan Ci-moay-hwe.”
“Bila aku berhasil membantumu menyelamatkan nona Hui?” “Kami kami pasti akan sangat berterima kasih kepada Kokcu.”
“Hanya sepatah kata terima kasih saja dan habis perkara?”
“Tentu saja bila kaupun mengharapkan bantuanku, dengan sepenuh tenaga akan kulaksanakan demi membalas budi kebaikan Kokcu.”
“Seperti telah kukatakan tadi, aku tidak mengharapkan balasan apa-apa, aku hanya ingin tahu bagaimana rencanamu tentang persoalan besok?”
Lantaran di desak terus, Leng-hong merasa kewalahan, terpaksa katanya sambil tertawa, “Apa yang Kokcu ingin kulakukan, tentu akan kulakukannya.”
“Aku ingin mengetahui jalan pikiranmu sendiri!” desak Tong Siau-sian lebih jauh.
Leng-hong benar-benar kehabisan akal, terpaksa sambil angkat bahu katanya, “Apa lagi yang bisa kukatakan? Bila Kokcu tidak merasa derajatku terlampau rendah, tentu saja akupun akan menerimanya dengan senang hati, cuma bila burung gagak mendampingi burung hong, hal ini tentu akan menodai nama baik Kokcu ”
Tong Siau-sian mendongakkan kepalanya dan menatap pemuda itu tajam-tajam, kemudian tanyanya, “Tuluskah ucapanmu ini?”
“Setiap patah kataku keluar dari lubuk hatiku yang murni, tentu saja aku berbicara dengan tulus ikhlas.”
Tong Siau-sian mengembus napas pelahan, katanya, “Baik, aku percaya kepadamu, sekarang akupun ingin memberitahukan sepatah dua kata kepadamu, meskipun nenek Tong mengatur perkawinan ini atas dasar peraturan lembah, tapi iapun telah merundingkan suatu siasat keji dengan pihak Ci-moay-hwe untuk mencelakai jiwa kita berdua.”
“Hah?! Apa rencananya terhadap kita?”
“Persoalan ini panjang sekali untuk dibicarakan, lebih baik kita selamatkan dulu Pang-tayhiap.”
Mereka lantas menembus ruang batu dan masuk ke dalam gua, belum sampai beberapa langkah mendadak Tong Siau-sian berhenti seraya bertanya, “Yakinkah kau bahwa Pang-tayhiap masih hidup?”
“Dia pasti masih hidup, pil anti dingin yang dimilikinya masih sanggup mempertahankan hidupnya selama dua belas jam, padahal aku baru sepuluh jam meninggalkan istana es.”
“Kalau begitu, tunggu aku di pintu istana, akan kuwakilimu untuk menyelamatkan Pang-tayhiap.”
“Mengapa harus demikian?”
“Sebab nenek Po adalah seorang yang berdisiplin keras dan tidak kenal kompromi, menurut peraturan hanya aku seorang yang boleh masuk-keluar istana es, kendatipun kau memiliki Ho-pay juta tidak boleh masuk keluar seenaknya, setelah masuk ke dalam kau tak bisa keluar lagi, terutama bila nenek Po menutup pintu istana setelah kau masuk, bukankah hal ini akan menambah kesulitan pula?”
Ho Leng-hong tak pernah berpikir sampai di situ, ia menjadi tertegun, tiba-tiba ia dapat meresapi ucapan Tong Siau-sian itu, rupanya si nona mempunyai tujuan lain.
Dengan menggunakan nama nenek Po sebagai alasan rupanya ia ingin menunjukkan keikhlasannya yang benar-benar ingin membantu, bila Ho Leng-hong dibiarkan masuk sendiri ke istana es, mungkin dia akan sangsi bila pintu istana tiba-tiba ditutup, maka ia rela mewakilinya dengan meninggalkan Ho Leng-hong di luar sebagai tanda bahwa ia tidak berniat mencelakainya.
Padahal Ho Leng-hong tak pernah mencurigainya, meski demikian terharu juga hatinya, tentu saja dia tak tega untuk menolak maksud baik si nona.
Maka sambil menggenggam tangannya dengan senyum dikulum ia berkata, “Kalau begitu kutitipkan tugas ini padamu, aku dan Pang-toako selamanya akan ingat atas budi kebaikanmu ini.”
Genggamannya yang hangat itu membuat Tong Siau-sian girang bercampur malu, buru-buru ia menarik kembali tangannya dan lari masuk ke sana.
Dalam pada itu nenek Po dan kedua orang perempuan buta itu sudah lama sekali menunggu di pintu istana es.
Setibanya di hadapan mereka Tong Siau-sian segera berkata, “Ho-tayhiap telah memutuskan tidak masuk ke istana es, aku akan mewakilinya masuk ke dalam, tak lama aku berada di dalam. Kalian tunggu saja di sini dan pintu istana tak perlu dikunci.”
Sebetulnya nenek Po sudah siap mengeluarkan anak kuncinya untuk membuka pintu, ketika mendengar perkataan ini tiba-tiba ia berkata, “Bila Kokcu ingin masuk ke istana es, kau perlu minta persetujuan lebih dulu dari Tiang-lo-wan.”
“Tentu saja Tiang-lo-wan sudah setuju,” sahut Tong Siau-sian, “kalau tidak, darimana aku bisa mendapatkan Ho-pay?”
“Hanya Ho-pay saja masih tidak cukup, harap Kokcu tinggalkan pula Kim-to-leng, dengan demikian pintu istana baru takkan kukunci.”
“Apakah kau tidak tahu aku ini Kokcu?” tegur Tong Siau-sian dengan tidak senang.
Nenek Po segera membungkuk badan dan memberi hormat, “Hamba buta, sulit untuk menentukan diri seseorang hanya berdasarkan suara saja, lebih baik Kokcu bertindak menuruti peraturan agar hamba tidak serba sulit.”
Nenek ini betul-betul disiplin dan tidak kenal kompromi, dia hanya kenal benda dan tidak kenal orang, bahkan terhadap Kokcu sendiri pun tak mau memberi muka.
Tong Siau-sian berpaling ke arah Ho Leng-hong sambil tertawa getir, kemudian katanya lagi, “Nenek Po, jadi kau berkeras ingin minta Kim-to-leng daripada menurut perkataanku?”
“Hamba hanya melakukan tugas menurut peraturan, lencana nomor kunci hanya tanda masuk dan buka tanda keluar, bila ingin pintu istana tidak dikunci, Ho-pay dan Kim-to-leng harus lengkap tersedia.
Dengan perasaan apa boleh buat Tong Siau-sian geleng kepala berulang kali, “Ai, tak heran kalau selama hidup kau diberi bertugas menjaga pintu istana dan siapapun tak ada yang bisa menggeser kedudukanmu. Baiklah, Kim-to-leng berada di sini, ambillah!”
Nenek Po menjulurkan tangannya untuk menerima, siapa tahu tangan Tong Siau-sian mendadak menekan ke bawah, secepat kilat ia mencengkeram jalan darahnya.
Kedua perempuan buta lainnya terperanjat, cepat mereka melolos senjata.
Dengan suara tertahan Tong Siau-sian membentak, “Leng-hong, kuasai mereka, cepat!”
Sesungguhnya Ho Leng-hong sendiripun merasa terkejut dan heran, tapi lantaran kedua perempuan buta itu sudah melolos golok masing-masing, tak sempat baginya untuk menganalisa sebab musabab terjadinya peristiwa itu, cepat iapun mencabut goloknya dan turun tangan . . . .
Ilmu silat kedua orang perempuan buta itu sangat lihay, sayang Ho Leng-hong bukan saja memahami ilmu golok Ang-siu-to-hoat, iapun memiliki jurus sakti anti kelihaian ilmu golok tersebut, maka cuma lima gebrakan, kedua perempuan buta itu sudah terdesak hingga mundur ke sudut pintu istana dan tak mampu berkutik.
Ho Leng-hong segera melompat maju dan membekuk kedua perempuan buta itu. Cepat Tong Siau-sian menggeledah anak kunci dari saku nenek Po, setelah pintu istana terbuka, segera ia pesan, “Leng-hong, awasi mereka, aku pergi menolong Pang- tayhiap.”
Sebelum Leng-hong menjawab nona itu sudah menerobos masuk ke dalam istana es.
Meskipun diliputi rasa sangsi, Leng-hong tidak sempat tanya gadis itu, dia hanya menduga tentu Tong Siau-sian mempunyai alasan yang memaksanya berbuat demikian, mungkin waktu sudah mendesak, ia tak ingin berdebat lebih jauh dengan nenek Po, maka terpaksa diambilnya tindakan tersebut . . . . .
Untung tindakannya ini bertujuan membantunya untuk menolong orang, jadi apapun juga tindakannya dapat dimaklumi.
Hawa dingin yang berembus keluar dari balik pintu istana membuat orang tak tahan, terpaksa Leng-hong merapatkan pintu batu itu dan memindahkan tubuh nenek Po serta kedua perempuan buta itu ke kaki dinding sana agar jalan tidak teralang.
Tetapi, meski sudah ditunggu sekian lama, ternyata Tong Siau-sian belum muncul juga.
Leng-hong mulai berpikir, “Jangan-jangan dia menjadi kaku kedinginan karena tidak makan obat anti dingin? Atau mungkin dia tidak kenal Pang-toako dan tidak menemukan di mana ia berada?”
Berpikir sampai di situ, hatinya terasa gelisah, buru-buru ia membuka pintu batu dan siap masuk ke dalam . . . .
Mendadak dari lorong gua berkumandang suara langkah kaki orang yang riuh.
Buru-buru Ho Leng-hong menutup pintu batu, ia menatap ke sana, segera ia terperanjat.
Sesosok bayangan orang muncul, orang itu memakai baju merah dengan sulaman benang emas, ternyata orang inipun Tong Siau-sian.
Leng-hong kucek-kucek matanya, ia pandang pintu batu di belakangnya, ia menjadi bingung.
Gua itu gelap tak berlampu, dengan ketajaman matanya ia lihat Tong Siau-sian yang baru muncul ini tidak berbeda dengan Tong Siau-sian yang masuk ke istana es tadi, yang satu sudah berada dalam istana es dan yang lain baru datang, ini membuktikan bahwa salah seorang di antaranya adalah gadungan.
Ketika Tong Siau-sian yang baru datang ini menemukan Ho Leng-hong berada di sini, segera ia menegur, “Besar amat nyalimu, berani kau datangi istana es sendirian. Ketahuilah bahwa perbuatanmu ini merupakan pantangan besar lembah kami, kalau sampai ketahuan orang, kau bisa dijatuhi hukuman mati, mengerti?”
Leng-hong tidak menjawab, dia hanya mengawasi orang lekat-lekat, sebab ia benar- benar tak bisa membedakan manakah Tong Siau-sian yang asli.
Karena pemuda itu tidak menjawab, Tong Siau-sian maju beberapa langkah lagi ke depan, ucapannya dengan suara tertahan, “Orangnya sudah kautolong belum?
Sebentar fajar akan menyingsing, tidak cepat-cepat kau tinggalkan tempat ini, apalagi yang kautunggu?”
Leng-hong menarik napas panjang, pelahan dan sepatah demi sepatah ia menegur, “Siapa kau?”
“Hei, aneh benar kau ini? Masa tidak kenal siapakah aku?”
“Kenal sih kenal, Cuma aku tidak tahu kau ini asli ataukah yang gadungan?”
Tong Siau-sian melengak, “Dalam Mi-kok ini hanya ada aku seorang sebagai Kokcu, masa ada yang gadungan?”
“Betul,” Leng-hong mengangguk, “barusan ada seorang juga mengaku sebagai Kokcu dari Mi-kok, kini ia berada dalam istana es, aku tidak tahu siapakah di antara kalian yang gadungan, pokoknya salah satu pasti palsu.”
“Hah, masa ada kejadian begini?” seru Tong Siau-sian terperanjat, “Wah, kalau begitu dia pastilah Samkongcu Kim Hong-giok dari Ci-moay-hwe, konon dia cerdas dan berbakat, sesuatu yang dilihatnya tak pernah terlupa lagi, diapun pandai menirukan logat bicara orang lain, Ho-tayhiap, jangan kau tertipu olehnya ”
“Aku tak mau tertipu oleh siapapun, akupun enggan mengurusi siapakah di antara kalian ini Tong Siau-sian dan Kim Hong-giok, aku hanya ingin menolong orang, siapa bisa membantuku menolong orang, aku akan percaya kepadanya.”
“Bila kau berharap Kim Hong-giok akan membantumu menolong orang, keliru besarlah kau,” kata Tong Siau-sian dengan cemas, “tujuannya masuk ke istana es tidak lain adalah ingin mencuri belajar ilmu golok Ang-siu-to-hoat dari lembah kami.”
“Lantas, apa pula tujuanmu?”
“Aku ” rupanya Tong Siau-sian tidak tahu cara bagaimana harus memberi
penjelasan, kakinya menggentak tanah dan serunya, “Tentu kuharap bisa membantumu, kalau tidak, tak nanti aku menyusul kemari.”
“Mengapa kau membantuku?”
“Karena Tong-popo dan Ci-moay-hwe telah bersekongkol dan bermaksud jahat terhadap kita berdua, kini situasinya tidak menguntungkan kita, kau dan aku harus bekerja sama untuk menghadapi musuh yang sama.”
“Kaumaksudkan masalah perkawinan?”
“Benar, atas dasar peraturan leluhur ia paksa kita kawin, padahal tujuan sebenarnya adalah ingin membinasakan kita berdua, agar ia dapat mengangkangi Mi-kok sendirian.”
Nada ucapannya tak jauh berbeda dengan apa yang diucapkan Tong Siau-sian pertama tadi, siapa yang asli dan siapa yang gadungan? Makin lama semakin sulit untuk dibedakan.”
Leng-hong berpikir sebentar, katanya kemudian, “Dengan cara bagaimana kau bisa membuktikan bahwa dirimu adalah Tong Siau-sian sedang dia adalah Kim Hong- giok?”
“Gampang sekali, kau bisa tanya langsung kepada nenek Po, suruh dia saja yang membedakan.”
Leng-hong menggeleng kepala, “Dia seorang buta, jawabnya belum tentu tepat.” “Kokcu mempunyai sebuah lencana Kim-to-leng, aku bisa menunjukkan kepadamu.”
Ho Leng-hong masih juga menggeleng kepala, “Belum pernah kulihat lencana tersebut, orang saja bisa dipalsukan apalagi cuma sebuah benda, kan bisa dicuri atau dipalsukan.”
Tong Siau-sian termenung sebentar, kemudian katanya, “Ah, betul, kepadaku mungkin kau tidak percaya, tapi terhadap Pang Wan-kun tentu kau percaya bukan? Dia berada di luar, kita boleh memanggilnya ke sini untuk menjadi saksi.”
“Bila seorang berada dalam ancaman sering kali dia akan bicara bohong, aku pernah tertipu satu kali, aku tak ingin tertipu untuk kedua kalinya.”
“Ai, lalu dengan cara bagaimana baru kau mau percaya?” tanya Tong Siau-sian dengan gelisah.
“Aku pikir, satu-satunya cara yang terbaik adalah menunggu sampai Tong Siau-sian itu keluar dari istana es, asal kalian berdua berhadapan satu sama lain, siapa asli dan siapa gadungan pasti akan segera ketahuan.”
“Tapi kalau menunggu sampai ia berhasil mempelajari ilmu golok Ang-siu-to-hoat, bukan saja jiwa Pang-tayhiap akan lenyap, kaupun takkan lolos dari kematian, bahkan akupun akan ikut menjadi korban.”
“Kenapa kau akan ikut jadi korban?”
“Peraturan dalam Mi-kok amat ketat, apabila salah seorang di antara suami-isteri melanggar peraturan lembah dan dijatuhi hukuman mati, maka orang satunya harus ikut berkorban pula, inilah rencana keji Tong-popo untuk mencelakai kita berdua.”
“Tapi kita sekarang kan belum resmi menikah!”
“Aku adalah seorang Kokcu, setelah perjodohan ditentukan berarti kita sudah menjadi suami-isteri . . . apalagi yang perlu kukatakan ” Ia memang telah mengucapkan semuanya, lambat laun Ho Leng-hong juga mulai percaya, sebab sudah sekian lama Tong Siau-sian yang pertama masuk ke istana es dan hingga kini belum tampak keluar, jelaslah ia masuk ke dalam istana bukan untuk menolong Pang Goan.
Tapi, kendatipun ia mulai curiga bahwa gadis yang pertama adalah Kim Hong-giok, tapi karena urusan menyangkut keselamatan Pang Goan, dia tak berani bertindak secara gegabah.
Sementara dia merasa ragu, tiba-tiba dari lorong gua berkumandang seruan yang gelisah, “Kokcu, cepat dikit, Tiang-lo-wan sudah mulai bergerak, mungkin lenyapnya Ho-tayhiap telah mereka ketahui.
“Kaudengar tidak,” kata Tong Siau-sian dengan cemas, “sekarang keadaan sangat mendesak, apakah kau benar-benar rela terjatuh ke dalam perangkap Tong-popo?”
Sambil menggertak gigi Ho Leng-hong tetap membungkam.
Sejenak kemudian di luar gua kembali terdengar seruan nyaring, “Kokcu, lampu merah tanda bahaya telah dipasang dalam perkampungan, kita tak bisa menunggu lagi
. . . .”
Ho Leng-hong jadi nekat, katanya tiba-tiba, “Pergilah lebih dulu, segera kususul.” “Mau apa lagi kau tinggal di sini?”
“Aku harus menolong Pang-toako, kalau tidak aku lebih rela mati di dalam istana es.”
“Sekarang kita sudah sehidup-semati, kalau kau tidak mau pergi, akupun tidak pergi, kutemani kau masuk ke istana es untuk menolong Pang-tayhiap,” kata Tong Siau-sian tegas.
Leng-hong tak bisa menolak niat orang, dia mengangguk dan segera mendorong pintu batu itu.
Pintu baru terbuka, segera Tong Siau-sian menerobos masuk lebih dahulu . . . .
Di balik pintu itu masih terdapat sebuah lorong penghubung, tapi di bawah pantulan cahaya istana es dan kawah api, lamat-lamat dapat terlihat jelas keadaan lorong tersebut.
Pintu batu itu berat sekali, Ho Leng-hong harus mengerahkan tenaga untuk menggeser pintu itu, baru saja ia akan ikut menerobos masuk, tidak tersangka dari balik pintu tiba-tiba berkelebat keluar sesosok bayangan manusia, hampir saja kedua orang saling bertumbukan.
Orang itu tak lain adalah Tong Siau-sian pertama tadi, kalau sewaktu masuk ia tidak membawa apa-apa, maka sekarang tangannya telah bertambah dengan sebilah golok panjang.
Leng-hong tidak menyangka orang akan bersembunyi di balik pintu, sebaliknya nona itupun tidak menyangka orang yang menerjang masuk adalah Ho Leng-hong, maka pergokan ini membuat kedua pihak sama-sama kaget.
“Di mana Pang-toako?” bentak Leng-hong cepat.
“Ia sudah mati, aku telah berusaha, tapi gagal menyelamatkan jiwanya ”
“Omong kosong! Dia berada di mana?” bentak Leng-hong pula.
“Itu? Di kaki dinding sana, kalau tidak percaya periksalah sendiri,” kata orang itu sambil menunjuk ke sana.
“Baik, ayo ikut ke sana!” teriak Leng-hong lagi sambil melintangkan goloknya. “Aku . . . aku ” belum habis perkataannya, mendadak golok nona itu membacok.
Ho Leng-hong mundur setengah langkah sambil miring ke samping, ditangkisnya bacokan itu, lalu secepat kilat melancarkan serangan balasan.
Dalam waktu singkat kedua orang itu sudah bergebrak empat-lima jurus, semua gerakan yang dipergunakan adalah jurus-jurus ilmu golok Ang-siu-to-hoat, ternyata keduanya sama kuat.
“Kim Hong-giok, rupanya kau!” teriak Leng-hong terkesiap.
Orang itu tertawa dingin, “Benar, sayang sudah terlambat, aku telah menguasai sembilan jurus Ang-siu-to-hoat, kukira kau tak bisa lagi mengapa-apakan diriku.”
“Aku tidak peduli Ang-siu-to-hoat segala,” bentak Leng-hong dengan gusar, “pokoknya kalau sampai Pang-toako mengalami sesuatu, aku bersumpah akan mencincang tubuhmu.”
Baru selesai ia berkata, tiba-tiba terdengar jeritan kaget Tong Siau-sian, “Jangan lepaskan dia, Pang-tayhiap telah dibunuhnya. ”
Jeritan tersebut bagaikan bunyi guntur di siang bolong, hampir saja golok panjang di tangan Ho Leng-hong terlepas dari genggaman, cepat ia tanya, “Ia benar-benar sudah mati?”
“Lambungnya tertusuk golok perempuan hina itu, lukanya parah sekali, tapi nyawanya belum putus.”
Merah membara mata Ho Leng-hong saking gusarnya, sambil membentak golok segera membacok Kim Hong-giok.
Keadaan anak muda itu sekarang ibaratnya harimau terluka, dengan kalap dia lancarkan serangan secara bertubi-tubi, semua jurus serangan mematikan. Entah cuma pura-pura atau memang gentar pada keberingasan wajah lawan yang mengerikan, secara beruntun Kim Hong-giok terdesak mundur tiga-empat tindak.
Kedua orang itu bertarung di depan pintu batu, setelah yang satu maju dan yang lain mundur, akhirnya mereka tiba di luar pintu, hawa dingin yang berembus keluar dari istana es membuat anggota tubuh mereka terasa kaku, permainan golok otomatis tak bisa dikembangkan sebagaimana mestinya lagi.
Ho Leng-hong ingin melukai Kim Hong-giok, tapi dia lupa menyumbat jalan mundurnya.
Sebaliknya Kim Hong-giok hanya memikirkan bagaimana cara meloloskan diri, begitu melihat ada kesempatan ia lantas berpura-pura tidak tahan, sambil berseru ia terus mundur ke dinding sebelah kiri.
Leng-hong sangat girang, goloknya berputar dan menyerang pula.
Diam-diam Kim Hong-giok mengerahkan tenaga dalam dan menangkis bacokan itu dengan sepenuh tenaga, pada kesempatan tersebut ia berputar dan menerjang keluar dengan menyusuri kaki dinding, lalu sambil bergelinding beberapa kali menerobos lewat di bawah kaki Ho Leng-hong.
Serangan Ho Leng-hong yang lain belum sempat dilancarkan lagi, iapun tak menduga Kim Hong-giok akan mengeluarkan jurus bahaya seperti itu untuk meloloskan diri, padahal kaki dinding merupakan sudut mati, untuk membacok ke bawah jelas tak sempat lagi . . . .
Sementara ia tertegun, Kim Hong-giok telah melompat keluar, ini berarti pula mereka telah bertukar arah.
Tentu saja Kim Hong-giok gunakan kesempatan tersebut dengan baik, begitu melompat bangun di lantas kabur keluar.
Dengan sendirinya Ho Leng-hong tak mau melepaskannya dengan begitu saja, sambil membentak goloknya disambitkan ke depan.
Kim Hong-giok ketika itu mungkin terlalu girang, atau mungkin terpengaruh hawa dingin istana es sehingga anggota badannya tak bisa bergerak selincah dulu, ketika mendengar desing golok dari belakang, buru-buru ia berusaha berkelit ke samping, sayang terlambat setengah langkah, mata golok yang dingin dan tajam sekali telah menembus bahu kirinya.
Ia mengeluh tertahan dengan sempoyongan, tapi ia tak berani berhenti, sambil membawa golok yang masih menancap di tubuhnya ia kabur keluar . . .
Ho Leng-hong mengejar dari belakang, ia sambar golok nenek Po yang tergeletak di tanah dan siap mengejar lebih jauh, tapi saat itulah terdengar Tong Siau-sian berteriak, “Pang-tayhiap tidak tahan lagi, cepat . . . cepat kemari ” Terpaksa Ho Leng-hong melepaskan Kim Hong-giok kabur dengan membawa luka dan buru-buru kembali ke dalam sana.
Pang Goan tampak berbaring di sisi dinding, perutnya terbacok hingga keadaannya sangat gawat, tapi nyawanya belum putus, ia masih berusaha meronta untuk duduk.
Leng-hong segera membuang goloknya dan berjongkok, katanya, “Pang-toako, maafkan aku datang terlambat.”
Napas Pang Goan tersengal, tapi sekulum senyum masih juga menghiasi bibirnya, sahutnya lirih, “Tidak, kedatanganmu belum terlambat, adalah perempuan hina itu yang datang selangkah lebih dulu, waktu itu aku sangat lemas karena lapar, maka perutku kena dibacok satu kali ”
“Mari kita tinggalkan tempat ini, lukamu perlu cepat diobati ”
“Jangan, jangan kau angkat diriku meninggalkan tempat ini.” Cegah Pang Goan sambil menggeleng kepala, “tempat ini sangat dingin maka darah yang mengalir keluar dari lukaku menjadi beku, sebab itu pula aku sanggup bertahan untuk mengucapkan beberapa patah kata padamu, sekali kau membawaku meninggalkan tempat ini, aku akan mati lebih cepat.”
“Benar juga perkataanmu,” bisik Tong Siau-sian, “ikuti saja keinginannya, dengarkan dulu pesan apa yang hendak ia sampaikan kepadamu.”
Leng-hong mengangguk, bagaimanapun dinginnya udara dalam istana es, menetes juga air matanya yang panas.
“Apakah Siau-cu juga selamat?” tanya Pang Goan dengan napas tersengal, “kenapa ia tidak ikut kemari?”
“Ia baik-baik saja,” jawab Leng-hong dengan tersendat, “dia lantaran ada urusan
lain, ia tak dapat kemari ”
Dalam keadaan seperti ini, ia benar-benar tak tega untuk memberitahukan keadaan Hui Beng-cu yang sesungguhnya.
“Syukurlah kalau selamat, dulu kita salah menuduhnya yang bukan-bukan, mulai sekarang kita tak boleh membuatnya menderita lagi.”
“Aku tahu!” Leng-hong mengangguk, air matanya jatuh bercucuran.
Tiba-tiba Pang Goan tertawa, katanya, “Terus terang, aku kuatir sekali kalian akan terpanggang mati dalam kawah api itu, beri tahulah kepadaku, bagaimana rasanya di sana? Tentunya panas sekali bukan?”
Ho Leng-hong mengangguk, “Benar . . . . di sana memang panas sekali tapi kami
semua tidak terluka, kami . . . entah bagaimana harus berterima kasih kepada Toako . .
. .” “Berterima kasih apa!” kata Pang Goan, “apa yang kulakukan tidak lebih cuma mendorong kalian belaka... Bicara terus terang, sungguh akupun ingin sekali tidur dalam balok es, sayang aku tak mungkin bisa merasakannya.”
Setelah berhenti sebentar, katanya pula, “Kalian sudah bertemu dengan Wan-kun?” “Sudah, iapun sangat baik. ”
“Sekarang ia berada di luar gua,” sambung Tong Siau-sian dengan cepat, “bagaimana kalau kupanggil dia masuk kemari?”
Pang Goan menggeleng kepala, lalu pegang tangan Ho Leng-hong, katanya, “Kabulkanlah permintaanku, jangan salahkan dia yang telah membohongi kita tempo hari, kutahu iapun bermaksud baik.”
“Jangan kuatir Toako, tak ada orang yang menyalahkan dia, aku akan melindunginya serta mengantar dia bersama anaknya pulang ke Thian-po-hu.”
“Bagus! Bagus sekali!” lambat laun tangan Pang Goan berubah menjadi amat dingin, sinar mata pun menjadi pudar, ia celingukan sekejap ke sekeliling situ, lalu gumamnya, “Sesungguhnya tempat ini adalah suatu tempat istirahat yang sukar dicari, sayang udaranya terlampau dingin ”
“Pang-toako . . .! Pang-toako ” Leng-hong tak dapat mengendalikan rasa
sedihnya, ia menangis tersedu-sedu.
Di tengah panggilan yang memilukan hati itulah Pang Goan menghembuskan napasnya yang penghabisan . . . . .
Pintu batu istana es kembali ditutup, jalan darah nenek Po dan kedua orang perempuan buta yang tertutuk kini telah dibebaskan, mereka menerobos lorong gua dan menuju ke rumah batu.
Sepanjang jalan tidak ada yang berbicara, jelas hati setiap orang dicekam oleh perasaan yang berat.
Dengan membawa luka Kim Hong-giok berhasil melarikan diri, Pang Goan mengakhiri hidupnya dalam istana es, sedang keselamatan Hui Beng-cu masih merupakan sebuah tanda tanya yang besar . . . .
Yang sudah lewat kini telah lewat, kejadian pada masa mendatang sukar diduga, hanya satu hal yang harus segera dihadapi, yakni, Tong-popo tidak akan melepaskan mereka dari tuduhan “masuk ke dalam istana es yang terlarang”, bahkan mungkin orang di luar sedang menantikan kemunculan mereka.
Barang siapa berani masuk ke daerah terlarang itu, hukumannya adalah mati. Kendatipun Tong Siau-sian adalah pejabat Kokcu, sulit baginya untuk mengelakkan peraturan “hukuman mati” atas suaminya, asal ia mati, maka kekuasaan memerintah Mi-kok akan terjatuh ke tangan Tiang-lo-wan, dan hal inilah yang diidam-idamkan oleh Tong-popo.
Tidak sulit bagi Tong Siau-sian untuk membayangkan girang Tong-popo saat ini, tapi kesalahan ini sudah terbukti dan jelas tidak bisa dibantah lagi, atau dengan perkataan lain dalam perebutan kekuasaan kali ini, ia sudah jelas berada di pihak yang kalah.
Bukan saja kalah dalam berebut kekuasaan, bahkan jiwanya ikut pula menjadi korban.
Ia tidak menyesal, iapun tidak takut, karena sekalipun ia kehilangan segala-galanya, namun berhasil mendapatkan cinta yang paling berharga, bagi seorang gadis hal ini sudah lebih dari cukup.
Mungkin saja Ho Leng-hong bukan laki-laki paling sempurna di dunia ini, tapi kerelaannya untuk memperjuangkan keadilan dan kebenaran bagi Thian-po-hu membuktikan bahwa ia seorang lelaki yang jujur, keberhasilannya lolos dari kawah api membuktikan akan kecerdasannya, daya ingatnya yang kuat serta keberhasilannya mempelajari ilmu golok Ang-siu-to-hoat membuktikan kepintaran serta bakatnya yang bagus, sikap pegang janji serta tidak lupa kepada budi yang diperlihatkan selama ini membuktikan pula bahwa dia adalah seorang lelaki berhati mulia . . . .
Laki-laki semacam inilah merupakan teman hidup yang paling diidam-idamkan oleh setiap gadis.
Tong Siau-sian telah mengambil keputusan dalam hati, sekalipun harus mati, ia rela mendampinginya sampai akhir hayat.
Selama masih hidup, iapun tak segan-segan mendampingi kekasihnya untuk mendobrak kepungan serta berusaha meninggalkan Mi-kok.
Oleh sebab itu, sepanjang perjalanan mendampingi Ho Leng-hong, ia tidak merasa takut menghadapi apapun.
Apa yang diduga ternyata benar, dalam rumah batu telah dipenuhi bayangan manusia.
Sebagai pemimpin adalah Tong-popo, hampir seluruh anggota Tiang-lo-wan hadir di situ, kecuali itu, di bawah pimpinan Hoa Jin, dua belas orang jago berbenang biru dengan golok terhunus siap sedia di sekitar sana.
Di luar rumah batu masih ada pula dua puluh empat pengawal perempuan pelaksana hukum serta hampir ratusan pasukan yang tergabung dalam Bok-lan-pek-tui dan Bok- lan-hek-tui.
Waktu itu fajar telah menyingsing, di luar sana lautan manusia sudah berkumpul, sebagian besar masyarakat lembah telah tiba di luar ruangan batu itu.
Pang Wan-kun tampak dibelenggu dan berada di barisan depan pasukan pelaksana hukum Baru saja Ho Leng-hong melangkah masuk ke dalam ruangan batu, Tong-popo segera membentak, “Tangkap dia!”
Ke-12 orang berbenang biru serentak mengiakan dan menyerbu maju. “Berhenti!” bentak Tong Siau-sian, “kalian mau berontak?”
Bagaimanapun dia adalah Kokcu, begitu dia membentak, Hoa Jin sekalian lantas tak berani bergerak lagi.
Tong-popo tertawa dingin, ejeknya, “Tong Siau-sian, tak perlu kaupamer kuasa sebagai seorang Kokcu, ketahuilah jabatan itu bukan hak Tong Siau-sian lagi!”
“Kedudukan Kokcu adalah kedudukan yang turun-temurun,” bentak Tong Siau-sian lantang, “sejak dulu sampai sekarang hanya keluarga Tong yang berhak menjadi Kokcu, siapa yang berani tidak menghormati diriku?”
“Memang, selama ini kedudukan Kokcu secara turun-temurun dipegang oleh keluarga Tong, tapi itu cuma berlangsung sampai kau Tong Siau-sian, menurut peraturan lembah, Tiang-lo-wan berhak memilih Kokcu baru setelah kau meninggal dunia.”
“Tapi sampai sekarang aku belum mati!”
“Ya, belum, tapi hampir. Kau telah setuju kawin dengan Ho Leng-hong, dan sekarang ia sudah melanggar peraturan dan harus dijatuhi hukuman mati, menurut peraturan kau harus mengiringi pula kematiannya.”
“Ho Leng-hong adalah pahlawan lembah kita, kesalahan besar apa yang dilakukan dia?”
“Malam-malam ia memasuki lembah belakang dan menerobos ke dalam istana es secara paksa, kesalahan tersebut pantas dijatuhi hukuman mati.”
“Memutuskan hukuman mati terhadap seseorang merupakan hak dan keputusan Kokcu, bukan Tiang-lo-wan yang berhak memutuskannya dengan begitu saja.”
“Jika orang yang melanggar peraturan adalah calon suami Kokcu, apa lagi Kokcu sendiripun tersangkut dalam peristiwa ini, tentu saja Tiang-lo-wan berhak memutuskan hukuman tersebut.”
“Hehe, omong kosong, sehari aku belum mati, sehari pula aku menjadi Kokcu Mi- kok, Tiang-lo-wan tidak lebih hanya merupakan pemangku sementara bila aku mati, kalian tidak berhak merebut kedudukanku sebagai Kokcu dengan begitu saja. Tong- popo, kau begitu takabur, berani menghina diriku, tidak menuruti peraturan leluhur, rupanya kau hendak mengkhianati lembah dan merombak peraturan?”
“Aku bertindak demikian justru untuk melaksanakan peraturan leluhur, Ho Leng- hong telah melanggar peraturan dan harus dijatuhi hukuman mati, menurut peraturan kaupun harus mengiringinya mati, apakah kau hendak melanggar peraturan leluhur kita ini?”
“Bersalah atau tidaknya Ho Leng-hong adalah hakku untuk memutuskan, sebelum ia diputuskan bersalah, siapa yang berani tidak mengakui diriku sebagai Kokcu Mi- kok?”
Saking mendongkol Tong-popo mendengus, tanyanya, “Baik, anggaplah kau masih seorang Kokcu, sekarang aku ingin tanya padamu, Ho Leng-hong yang telah masuk ke daerah terlarang dengan paksa harus dikatakan berdosa atau tidak?”
“Berdosa atau tidak harus disertai dengan bukti, kau tak boleh menuduh seenaknya saja, siapa yang bisa membuktikan ia telah masuk daerah terlarang?”
“Baru saja ia keluar dari lambung bukit, apakah hal ini belum cukup sebagai bukti?” teriak Tong-popo.
Tong Siau-sian mengangkat bahu, “Itupun hanya membuktikan ia memasuki lorong dalam lambung bukit, bukan bukti ia memasuki istana es, lorong dalam lambung bukit bukan daerah terlarang, selama ia tidak masuk ke istana es secara paksa, menurut peraturan ia tak dapat dijatuhi hukuman mati, apakah kau menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa ia masuk ke istana es?”
“Sekalipun aku tidak menyaksikan sendiri, nenek Po dan kedua orang petugas penjaga pintu istana telah menyaksikannya.”
Tong Siau-sian tertawa, “Wahai Tong-popo, hendaknya kaubicarakan yang jelas, nenek Po dan kedua orang petugas itu semuanya buta, hakikatnya tak mungkin mereka menyaksikan apa pun.”
Ucapan ini seketika membuat Tong-popo menjadi bungkam.
Sekalipun semua orang yang hadir tahu alasan Tong Siau-sian terlalu dipaksakan, tak urung mereka alihkan juga sorot matanya ke wajah nenek Po.
“Mataku memang buta, tapi hatiku tidak buta,” kata nenek Po dengan tenang, “aku merasa yakin masih sanggup untuk menjadi saksi apakah Ho Leng-hong telah masuk ke istana es atau tidak, cuma tak tahu apakah kalian mau percaya pada pengakuan si nenek buta atau tidak.”
“Betul,” seru Tong-popo dengan girang, “meskipun mata enci Po buta, kutahu tindakanmu selalu jujur dan tidak mengenal kompromi, selaku pemegang kunci istana es, memang dia pantas dijadikan saksi.”
“Apakah kesaksianku bisa kalian percayai?” tanya nenek Po dengan wajah tanpa emosi.
“Pati percaya,” jawab Tong-popo cepat, “enci Po, katakanlah kesaksianmu itu, kami percaya padamu.”
Diam-diam Tong Siau-sian amat gelisah, buru-buru ia menyela, “Nenek Po, aku selalu bersikap baik padamu, kuminta jangan sampai kaujerumuskan orang baik ke dalam lembah kehancuran.”
“Aku si nenek buta tak pernah bermusuhan dengan siapapun,” kata nenek Po hambar, “aku hanya tahu menjaga pintu istana es adalah tugas kewajibanku, apa yang terjadi hari ini akan kukatakan apa adanya dan bagaimana kejadiannya, aku tidak peduli kesaksianku ini akan menyinggung perasaan ataupun akan menguntungkan orang lain.”
“Nenek Po ” rengek Tong Siau-sian dengan suara lirih.
“Rekan-rekan seperguruan,” kata Tong-popo segera dengan suara lantang, “masuk ke daerah terlarang secara paksa adalah suatu kejadian serius, kalau Kokcu berkeras menghendaki bukti, marilah kita dengarkan bersama kesaksian enci Po, apakah Ho Leng-hong bersalah atau tidak akan kita putuskan setelah mendengarkan kesaksiannya.”
Seketika itu suasana di luar maupun dalam ruangan batu menjadi hening, semua orang menahan napas dan siap mendengarkan pengakuan nenek Po.
“Nah, enci Po,” kata Tong-popo kemudian dengan bangga, “harap berikan kesaksianmu dengan suara keras agar setiap orang dapat mendengarkan.”
Berputar biji mata nenek Po yang putih, lalu dengan suara lantang katanya, “Po Sui- lan bertugas menjaga istana es sebagai daerah terlarang, untuk mempertanggung jawabkan kewajibanku, dengan ini kuberikan kesaksian yang sebenar-benarnya. Hari ini Kokcu dan Ho Leng-hong benar-benar telah datang ke istana es ”
Kontan saja Tong-popo dan Hoa Jin sekalian menyambut dengan sorakan senang.
“Jangan berisik dulu,” bentak nenek Po lantang, “keteranganku belum selesai kuucapkan . . . .
Sambil tertawa Tong-popo berkata, “Baik, silakan enci Po menyelesaikan kata- katanya, kami semua pasti mendukung kesaksian enci Po ini.”
Nenek Po berdehem, lalu serunya lagi dengan suara lantang, “Aku dapat membuktikan bahwa Kokcu dan Ho Leng-hong hanya sampai di depan pintu istana es, mereka sama sekali tidak melangkah masuk ke dalam istana tersebut!”
Begitu kesaksian ini diutarakan, kontan suasana di sekeliling tempat itu menjadi sunyi, tak kedengaran sedikit suarapun, semua orang sama tertegun.
Selang sesaat kemudian, dari luar ruangan baru meledak suara sorak sorai yang nyaring, “Hidup Kokcu! Hidup Huma!”
Hampir saja Tong Siau-sian tidak percaya hal itu bisa terjadi, ditatapnya nenek Po sekejap dengan sorot mata penuh rasa terima kasih, lama dan lama sekali ia baru berbisik dengan gemetar, “Terima kasih banyak, nenek Po!” Tapi luapan terima kasih yang lirih itu telah tertutup oleh gemuruh sorak sorai di luar ruangan, serta merta pasukan pelaksana hukum melepaskan tali yang membelenggu tubuh Pang Wan-kun.
Air muka Tong-popo berubah menjadi merah padam, lalu berubah pucat pias, dengan gemas serunya, “Bagus sekali tua bangka she Po, kita lihat saja nanti!”
“Tidak usah menunggu sampai nanti,” jawab nenek Po tenang, “kauberani memfitnah Kokcu dengan tuduhan yang bukan-bukan, menghasut khalayak ramai untuk memberontak, kau pantas dijatuhi hukuman mati. Hmm, kaukira hari ini bisa keluar ruangan ini dengan selamat?”
Tong-popo mendengus, “Hmm, aku tidak percaya ada orang mampu menahan diriku di sini. Ayo pergi!”
Sambil mengulap tangannya, ia berjalan keluar ruangan itu. “Berhenti!” terdengar bentakan nyaring.
Sambil melolos golok panjang milik seorang perempuan buta, Tong Siau-sian maju ke depan sambil membentak, “Tong Siok-tin, besar amat nyalimu, setelah melakukan kesalahan besar, berani pula kau melawan perintah. Hmm, kau masih menghargai peraturan lembah atau tidak?”
“Selaku seorang Tianglo yang memimpin Tiang-lo-wan, kedudukanku tidak berada di bawah kedudukanmu sebagai Kokcu, kau tak perlu pamer kekuasaanmu di depan si nenek.”
“Tong Siok-tin berani melawan dan mengkhianati lembah, dosanya tak terampunkan, atas nama Kim-to-leng yang diwariskan leluhur, mulai detik ini kupecat Tong Siok-tin dari kedudukannya sebagai Tianglo,” seru Tong Siau-sian dengan suara lantang, “dengan ini pula diperintahkan kepada seluruh anggota perguruan agar bersama-sama menangkap pengkhianat itu, barang siapa berhasil menangkap Tong Siok-tin, dia akan kuangkat sebagai pemimpin para Tianglo, barang siapa berkomplot dengan Tong
Siok-tin akan dianggap sebagai pengkhianat dan dijatuhi hukuman mati.”
Semua anggota lembah Mi-kok saling pandang dengan sangsi, untuk sesaat mereka tak tahu apa yang harus dilakukan?”
Tong-popo segera menengadah sambil tertawa terbahak-bahak, ejeknya, “Tong Siau- sian, Kim-to-lengmu itu tak lebih Cuma kekuasaan sebesar ini. Hm, Tiang-lo-wan adalah lembaga paling tinggi dalam lembah ini, kau tidak berhak menghapus atau memecat seseorang dari kedudukannya sebagai Tianglo, sebaliknya kami justru mempunyai hak untuk memecat kau sebagai Kokcu yang tak becus ”
Bicara sampai di sini ia lantas berpaling ke arah beberapa orang Tianglo lain seraya berkata, “Saudara sekalian, urusan telah berkembang menjadi begini, lebih baik kita turun tangan saja membekuk budak ini, entah bagaimana pendapat kalian?”
Beberapa orang Tianglo itu hanya saling pandang saja dengan terbelalak, sikap mereka kelihatan sangsi.
Melihat gelagat tidak menguntungkan, Tong-popo segera memberi tanda sambil membentak, “Tong Siau-sian tidak becus dan tak pantas memimpin Mi-kok, Tiang-lo- wan memutuskan bahwa mulai saat ini dia dipecat dari jabatannya untuk kemudian memilih Kokcu baru lagi. Pengawal tangkap dia!”
Seseorang mengiakan sambil melolos senjatanya, ternyata dia adalah Hoa Jin, tapi ketika ia celingukan ke sana kemari dan diketahui cuma di sendiri yang menyahut, ia menjadi gugup dan ragu untuk bertindak lebih lanjut.
Tong Siau-sian segera mengeluarkan sebilah pisau kecil berwarna emas, sambil mengangkatnya tinggi-tinggi ia berseru, “Hoa Jin berani berkomplot untuk melakukan pengkhianatan, barang siapa menangkap Hoa Jin, dia akan kuberi jabatan sebagai Tianglo berbenang perak!”
Baru saja ucapan itu diutarakan, seseorang segera tampil ke depan seraya berseru, “Terima perintah!”
Orang itupun seorang petugas “Benang biru”, dia tak lain adalah Yu Ji-nio.
“Kau manusia plin-plan dan pengecut,” maki Hoa Jin dengan gusar, “setelah keadaan berubah menjadi begini, kenapa kau malah membantu orang lain?”
“Kentut busuk,” bentak Yu Ji-nio, “turun temurun kita menetap dalam lembah ini, belum pernah ada orang berani menggeser kedudukan Kokcu, kauingin memfitnah diriku sebagai pengkhianat? Hmm, justru aku sekarang hendak membekukmu untuk menebus dosa. Lihat serangan!”
Golok panjangnya segera bergetar dan langsung menyerang Hoa Jin.
Bagaimanapun lebih banyak anak murid Mi-kok yang berjiwa jujur daripada yang bermaksud khianat, sekalipun mereka tak berani bertindak ketika terjadi percecokan antara Kokcu dan pemimpin Tianglo, tapi terhadap Hoa Jin tak seorang pun yang merasa takut, begitu Yu Ji-nio turun tangan, serentak merekapun ikut berkobar jiwa ksatrianya, sambil berteriak nyaring masing-masing melolos golok dan ikut mengerubuti Hoa Jin.
Begitulah suasana dalam ruangan telah berubah, dari luar ruangan pun terjadi pergolakan, semua anak murid Mi-kok serentak melolos senjata masing-masing dan ikut terjun dalam gerakan menentang pengkhianatan.
Melihat masa jaya baginya sudah lewat, dengan penuh kebencian Tong-popo menggentakan kakinya ke tanah, lalu sambil putar senjata ia terjang keluar ruangan.
Bagaimanapun dia seorang Tianglo, tentu saja tenaga dalamnya jauh lebih sempurna dibandingkan para jago Benang Biru serta para anggota pasukan Bok-lan-tui, di mana cahaya golok berkelebat segera timbul gelombang hawa dingin, kontan semua orang menyingkir ke belakang, dengan demikian dalam waktu singkat ia berhasil menerobos pergi. Menyaksikan hal tersebut, Tong Siau-sian mau turun tangan sendiri, tapi pada saat itulah tanpa menimbulkan suara Ho Leng-hong telah melompat ke depan dan mengadang jalan lari Tong-popo.
Selama ini beberapa orang nenek lainnya yang tergabung dalam Tiang-lo-wan tidak melakukan gerakan apa-apa, jelas mereka tidak setuju dengan tindakan Tong-popo yang berkhianat secara terang-terangan itu.
Saat itulah Tong Siau-sian baru bisa mengembuskan napas lega, bisiknya kepada nenek Po, “Bila semua pengkhianat telah berhasil dibekuk, aku pasti akan berterima kasih atas perlindungan kau orang tua ”
“Tak usah berterima kasih kepadaku,” kata nenek Po sambil menggeleng, “kalau ingin berterima kasih, seharusnya kau berterima kasih kepada Ho Leng-hong.”
“Kenapa?” tanya Tong Siau-sian tercengang.
Nenek Po menghela napas, “Ai, selama berpuluh tahun ini tidak sedikit sudah orang yang kuantar masuk ke dalam istana es, meskipun mereka tewas dalam istana es, tapi tiada bedanya seperti mati di tanganku, dengan susah payah akhirnya ada juga seorang yang berhasil keluar dengan selamat, mana aku sampai hati mencelakai lagi jiwanya dengan sepatah kataku?”
Tong Siau-sian tertawa, tanyanya pula, “Tapi kau orang tua selamanya tak pernah bohong, kenapa sekali ini ”
Biji mata nenek Po yang putih berputar, “Siapa bilang aku tak pernah bohong? Aku hanya tidak mendapatkan kesempatan saja. Kalau ada orang mengaku selama hidupnya tak pernah bohong, maka pengakuan itu sendiri adalah bohong besar.”
Di dunia ini memang tak ada orang yang tak pernah bohong, seperti juga di dunia ini tak pernah ada orang yang tak mengampuni kesalahannya sendiri. Justru karena semua orang suka memaafkan kesalahan sendiri, maka mereka suka berbohong.
Sesungguhnya tenaga dalam Leng-hong bukan tandingan Tong-popo, tapi lantaran ia memahami jurus kesembilan yang merupakan jurus anti ilmu golok Ang-siu-to-hoat, maka setiap gebrakan ia selalu mengawasi keadaan dan membuat permainan golok Tong-popo sukar dikembangkan.
Tak sampai lima enam gebrakan, secara beruntun Tong-popo telah menerima dua kali bacokan sekalipun tidak parah, namun cukup menggetarkan sukma Tong-popo.
Setelah sadar bahwa ia bukan tandingan Ho Leng-hong, tiba-tiba nenek itu berkata lirih, “Hei, orang she Ho, jangan terlalu mendesak diriku, kau masih ingin menolong Hui Beng-cu tidak?”
Tergerak juga hati Ho Leng-hong, serangan goloknya dikendurkan, lalu balik bertanya, “Kau sanggup menolongnya?”
“Jika kau mau melepaskan diriku, tentu saja aku mempunyai cara untuk menolongnya lolos dari cengkeraman orang.”
“Coba jelaskan dulu!”
“Setelah terluka, sampai sekarang, Samkongcu dari Ci-moay-hwe belum meninggalkan lembah ini, hanya aku yang mengetahui di mana dia bersembunyi, kalau kausetujui untuk melepaskan diriku dari sini, dia akan kuserahkan padamu, dengan ia sebagai sandera, apa susahnya untuk memaksa pihak Ci-moay-hwe membebaskan Hui Beng-cu.”
Mencorong sinar mata Ho Leng-hong, ia menarik kembali goloknya seraya bertanya, “Sekarang dia berada di mana?”
“Sedang merawat lukanya dalam lembah ini, asal Ho-tayhiap bersedia memberi jalan lewat, sekarang juga kuajak kau ke sana ”
“Baik. Ayo bawa aku ke sana!” golok Leng-hong segera ditarik kembali dan memberi jalan lewat, secepat kilat Tong-popo kabur dari situ.
“Leng-hong, cepat cegat dia!” teriak Tong Siau-sian kaget.
Ho Leng-hong mengulapkan tangannya seraya berkata dengan suara tertahan, “Baik- baiklah mengatur urusan lembah sini, serahkan orang itu kepadaku, jangan mengirim orang untuk menyusulnya, aku akan kembali dengan cepat.”
Tong Siau-sian masih ingin tanya lagi, tapi Ho Leng-hong telah melayang ke sana menyusul Tong-popo.
Sebagian besar anak murid Mi-kok telah berkumpul di belakang lembah ini hingga bangunan induk terasa lenggang dan sepi.
Tong-popo langsung kembali ke Tiang-lo-wan, ibaratnya anjing yang kena gebuk, ia pulang dengan lemas dan murung.
Kendatipun dalam gedung saat itu tinggal beberapa orang pelayan saja, orang-orang itupun diusir keluar semua.
Dalam keadaan demikian, kecuali kepada diri sendiri boleh di bilang ia tidak percaya pada orang lain lagi, selain itu iapun tak berani berdiam lama dalam lembah, maka sebelum meninggalkan tempat itu untuk selamanya, beberapa macam barang berharga perlu dibawa serta.
Di antara barang mestika termasuk juga dua bilah golok pusaka, yang pertama adalah Yan-ci-po-to dari Thian-po-hu, sedang yang kedua adalah golok sabit dari Hui Beng- cu. Terhadap asli tidaknya golok mestika Yan-ci-po-to untuk sementara waktu belum dapat ditentukan, maka dia hanya menyandangnya di punggung, sementara golok sabit milik Hui Beng-cu dipegangnya dan siap dipergunakan untuk menghadapi segala kemungkinan.
Ho Leng-hong mengadang jalan perginya di tengah halaman, begitu ia muncul, pemuda itu segera menegur dengan ketus, “Kim Hong-giok bersembunyi di mana? Kalau tidak kauserahkan padaku, jangan harap meninggalkan lembah Mi-kok dengan selamat.”
Sesudah lolos dari kepungan, apalagi golok mestika sudah berada dalam genggaman, Tong-popo kelihatan tidak takut lagi, katanya sambil tertawa, “Ho-tayhiap, antara kau dan aku ibaratnya air sumur tak melanggar air sungai, aku harap kau jangan mendesak orang keterlaluan, selewatnya hari ini, rasanya kita masih akan berjumpa lagi.”
“Boleh saja aku tidak mencampuri urusan dalam lembah kalian, tapi harus kauserahkan Kim Hong-giok kepadaku, sebab itulah syarat bagimu untuk meloloskan diri dari sini.”
“Bila orang itu kuserahkan padamu, dapatkah kau menjamin bahwa Tong Siau-sian akan mengundurkan diri dari jabatannya dan menyerahkan semua kekuasaan Mi-kok kepadaku?”
“Itu urusan lembah kalian, aku tidak dapat memberi jaminan seperti itu.”
“Makanya akupun tak dapat menyerahkan Kim Hong-giok kepadamu,” jawab Tong- popo sambil tertawa dingin, “sebab mereka akan mendukungku kembali ke sini, sudah lama Ci-moay-hwe menyiapkan orang-orangnya di sekitar sini, kalau aku sampai bentrok dengan mereka, siapa yang akan mendukungku kembali ke lembah ini?”
“Jadi kau hendak mengingkar janji?” bentak Leng-hong.
“Bukanya aku ingkar janji, terus terang kuberitahu, tadi Kim Hong-giok telah kabur pergi dari Mi-kok, apa yang kuucapkan tadi tidak lebih hanya siasat belaka.”
Betapa geram Ho Leng-hong, bentaknya, “Kalau begitu, jangan harap kau bisa lolos dari sini!”
“Ho-tayhiap, sekalipun kau menahan diriku atau menyerahkan diriku kepada Tong Siau-sian untuk dijatuhi hukuman, hal inipun tidak bermanfaat bagimu, sebaliknya bila kau ikut diriku meninggalkan lembah ini, bisa saja kubawa kau ke markas rahasia Ci-moay-hwe, tentu saja berhasil atau tidaknya kau menolong Hui Beng-cu bergantung kepada kepandaianmu sendiri, aku hanya bertugas membawa jalan, aku tak ingin menyalahi teman-temanku sendiri.”
Nenek itu sungguh licik dan banyak tipu muslihatnya, jelas tujuannya hanya ingin mempergunakan Ho Leng-hong untuk melindunginya meninggalkan Mi-kok, andaikata tiba di sarang rahasia Ci-moay-hwe, diapun pasti akan berpihak kepada Ci- moay-hwe dan membekuk Ho Leng-hong guna mencari pahala, jadi kalau dia bilang berniat membantu pemuda itu menolong Hui Beng-cu, hal ini jelas hanya tipuan belaka.
Tapi Ho Leng-hong seolah-olah tidak berpikir sampai ke situ, setelah termenung sebentar, dia mengangguk, “Baik, aku percaya padamu sekali lagi, kalau kau berani membohongi pula, jangan menyesal bila aku tidak sungkan lagi padamu.”
“Jangan kuatir,” kata Tong-popo dengan tertawa, “sekali ini aku bicara sejujurnya. Bayangkan sendiri, setelah kabur dari Mi-kok, kecuali menuju ke Ci-moay-hwe, aku dapat kabur ke mana lagi?”
“Ayo berangkat!” seru Leng-hong kemudian, segera ia berangkat lebih dulu meninggalkan gedung tersebut.
Tiba di mulut lembah, belasan orang pengawal dari Bok-lan-pek-tui telah mengadang mereka, seorang petugas dari benang biru segera berkata, “Tong-popo telah berkhianat dan melarikan diri, Kokcu memberi perintah agar membekuknya, siapapun dilarang meninggalkan lembah ini.”
“Berilah jalan lewat padaku, bila Kokcu menegur nanti, akulah yang bertanggung jawab,” sahut Ho Leng-hong.
“Ho-huma adalah tamu agung kami, untuk melepaskanmu pergi kami masih berani melakukannya, tapi Tong-popo ”
“Aku yang membawanya pergi, bila terjadi sesuatu tentu saja aku pula yang bertanggung jawab.”
Petugas penjaga lembah itu menjadi serba susah, katanya dengan ragu, “Tentang ini .
. . bagaimana kalau hamba minta persetujuan Kokcu lebih dulu?”
“Aku ada urusan yang mendesak, tiada waktu lagi untuk menunggu jawaban kalian,” kata Leng-hong dengan tidak sabar, “pokoknya sampaikan saja apa yang kukatakan ini kepada Kokcu.”
Sampai di sini, tanpa menunggu jawaban lagi, ia lantas menerobos lewat lebih dulu. Dengan golok sabit terhunus Tong-popo ikut menerjang keluar pula.
Para penjaga tak ada yang berani turun tangan mengalangi mereka, dengan mata terbelalak terpaksa mereka membiarkan kedua orang itu meninggalkan lembah.
Pada waktu pergi Tong-popo masih sempat mendamprat dengan penuh kebencian tapi para penjaga pura-pura tidak mendengar, setelah kedua orang itu pergi jauh, satu di antara penjaga itu secara hati-hati sekali membuntuti kedua orang itu dari kejauhan.
Sekalipun orang itu mengenakan baju barisan “benang putih”, kenyataannya dia adalah Pang Wan-kun.
Yang dimaksudkan sebagai markas rahasia Ci-moay-hwe oleh Tong-popo, pada hakikatnya adalah rumah gubuk yang terletak di bukit gerbang di belakang Mi-kok.
Sepanjang jalan ia lari berdampingan dengan Ho Leng-hong, ketika mendekati rumah gubuk itu tiba-tiba ia mengerahkan tenaga dalam dan mempercepat langkahnya.
Leng-hong kuatir nenek itu akan kabur, buru-buru mengerahkan tenaga dalam untuk menyusul.
Satu di depan yang lain di belakang, dalam waktu singkat kedua orang telah tiba di tanah lapang di depan rumah gubuk itu.
Tiba-tiba Tong-popo mencabut golok lengkungnya sambil membentak, “Ho Leng- hong, jangan kau mendesak orang keterlaluan, aku sudah terperosot seperti ini, tapi kau masih mengejar tiada hentinya. Hm, biarlah aku beradu jiwa denganmu.”
Seraya berkata goloknya terus berputar dan menerjang Ho Leng-hong.
Tapi baru bergebrak beberapa jurus, mendadak ia berlagak tidak tahan, permainan goloknya menjadi kalut, bersamaan itu ia berteriak dengan gugup, “Nona Lik-giok, cepat bantu aku. Samkongcu telah terjebak dalam Mi-kok, kalian tak dapat berpeluk tangan belaka. ”
Di tengah teriakannya itu, bayangan manusia segera bermunculan, dalam waktu singkat dua puluhan orang perempuan berbaju hitam telah muncul di situ.
Perempuan-perempuan berbaju hitam itu semuanya memakai baju pendek dengan ujung lengan lebar, rambutnya disanggul tinggi, setiap orang menggenggam sebilah golok panjang sempit dan sebilah pisau pendek terselip di pinggang.
Bersamaan itu pula, dari balik rumah gubuk berjalan keluar dua orang, seorang mengenakan baju warna hijau dan yang lain berjubah biru.
Yang memakai baju hijau itu adalah Kim Lik-giok, sedangkan yang memakai jubah biru belum pernah dijumpainya.
Akan tetapi usia maupun kedudukan perempuan berjubah biru ini agaknya di atas Kim Lik-giok, ditinjau dari dandanannya jelas dia adalah seorang perempuan asing suku Ainu.
Begitu muncul ia lantas membentak, “Tahan!”
Bahasa yang dipergunakan adalah Bahasa Han, akan tetapi logatnya kaku sehingga kedengarannya sangat lucu.
Tong-popo dan Ho Leng-hong segera menarik kembali serangannya sambil mundur ke belakang, serentak para perempuan Ainu yang berada di sekeliling tempat itu bergerak maju dan mengurung kedua orang itu rapat-rapat. Tong-popo kelihatan tercengang, serunya, “Nona ini adalah ”
“Dia adalah Toasuci,” jawab Kim Lik-giok, “bernama Kim Lam-giok, ketua perkumpulan kami.”
Kim Lam-giok! Ketua Ci-moay-hwe!
Tanpa terasa Ho Leng-hong berpaling ke arah perempuan itu, usia Kim Lam-giok baru 26 – 27 tahun, amat cantik dan sedikit agak genit, diam-diam hatinya tergiur juga.
Sementara itu Tong-popo tersenyum ketika mengetahui bahwa perempuan itu adalah ketua Ci-moay-hwe, katanya cepat, “O, rupanya Toakongcu, terimalah hormatku.”
“Tak usah banyak adat,” sahut Kim Lam-giok ketus, “Benarkah apa yang kau ucapkan tadi?”
“Aku dengan perkumpulan kalian telah mengikat tali persahabatan, untuk apa aku berbohong?”
“Tapi, mengapa kau menderita kekalahan sedemikian mengenaskan? Kenapa Sammoay bisa terjebak dalam Mi-kok?”
“Semuanya itu adalah gara-gara orang she Ho ini ” sahut Tong-popo sambil
menuding Ho Leng-hong dengan ujung goloknya.
Secara ringkas diceritakannya bagaimana Ho Leng-hong dan Tong Siau-sian memasuki istana es, bagaimana Kim Hong-giok terluka dan bagaimana nenek Po memberikan kesaksiannya . . . .
Tampaknya Lam-giok tidak tertarik pada urusan Tong-popo berebut kekuasaan dengan Tong Siau-sian, semua perhatiannya hanya tertuju pada soal Kim Hong-giok, kembali ia tanya, “Kalau Sammoay terluka, mengapa kau tidak membawanya kemari? Kenapa kau meninggalkannya dalam lembah?”
“Setelah terluka parah, Samkongcu tidak leluasa untuk bergerak, terpaksa kusembunyikan di dalam gua di balik gunung-gunungan dalam taman Tiang-lo-wan, tempat itu sangat rahasia dan tak mungkin bisa ditemukan orang, setelah urusanku gagal, sebetulnya aku hendak menolongnya kabur, tapi orang she Ho ini mengikuti diriku terus menerus, dalam keadaan demikian terpaksa kupancing ia kemari. Bila Hwecu ingin menolong Samkongcu, silakan membekuk Ho Leng-hong lebih dulu, kemudian kita bersama-sama kembali ke Mi-kok dan melenyapkan Tong Siau-sian, tentu Samkongcu bisa kita selamatkan.”
Kim Lam-giok mendengus, “Hmm, maksudmu kami harus membantumu untuk melenyapkan musuh tangguhmu lebih dulu, kemudian mengantarmu pulang untuk menjadi penguasa Mi-kok?”
“Tidak, aku tidak bermaksud begitu,” sahut Tong-popo cemas, “setelah terjebak dalam lembah, keadaan Samkongcu berbahaya sekali, kita tak bisa mengulur waktu lagi, kendatipun kalian membantuku, sama artinya menolong Samkongcu, tindakan ini akan menguntungkan kedua pihak.”
“Ya, tapi urusan beradu jiwa dengan musuh, kauminta Ci-moay-hwe melakukannya bagimu?”
“Sebetulnya kita tak perlu beradu jiwa dengan musuh,” kata Tong-popo lagi, “Ho Leng-hong adalah calon suami Tong Siau-sian, asal kita berhasil membekuknya, tidak sulit untuk memaksa Tong Siau-sian menuruti kehendak kita!”
“Kalau begitu, silakan kau sendiri membekuk orang itu!”
“Tapi . . .” Tong-popo menjadi sangsi, “orang ini telah berhasil menguasai golok lembah kami, dengan kekuatanku seorang sulit merobohkan dia ”
“Lantas apa gunamu kecuali berpeluk tangan menunggu hasil yang menguntungkan, apa yang bisa kau lakukan?” bentak Kim Lam-giok.
Sambil mengulap tangannya ia lantas berseru, “bunuh orang itu ”
Belum habis ucapannya, Kim Lik-giok yang berada di sampingnya tiba-tiba menyela, “Tunggu sebentar, masih ada persoalan hendak kutanyakan padanya.”
Perempuan Ainu yang berada di sekeliling telah mengangkat golok tinggi-tinggi sambil maju memperkecil lingkaran kepungan, mereka telah siap melancarkan serangan.
“Tong-popo,” kata Lik-giok kemudian, “kita telah bekerja sama, adalah pantas kalau masing-masing berusaha dengan sepenuh tenaga dan saling tolong-menolong, kini Sammoay terluka, kau tidak melindunginya, sebaliknya malah kabur sendiri, tak heran kalau Toaci menjadi marah.”
“Kalian hanya menyalahkan diriku, kenapa tidak menyalahkan diri sendiri?” kata Tong-popo dengan marah, “ketika Kim Hong-giok menyeludup ke dalam istana es untuk mencuri belajar Ang-siu-to-hoat, sebelumnya ia tak pernah memberitahukan apa-apa kepadaku, tapi setelah kejadian itu aku telah menyembunyikan dia, apakah akupun salah?”
“Tentu saja bukan seluruhnya kesalahanmu, aku ingin tanya padamu, benar amankah tempat sembunyi Sammoay?”
“Tanggung ”
“Tanggung tidak aman!” tiba-tiba seorang menyela ucapan Tong-popo.
Menyusul ucapan tersebut, serombongan besar bayangan orang melayang ke atas tanah lapang mereka adalah kedua belas jago “kelompok benang biru” yang
memimpin empat puluhan orang pasukan berbenang hitam yang tergabung dalam Bok-lan-pek-tui. Di tengah berkelebatannya bayangan merah, dalam waktu singkat puluhan perempuan pendek berbaju hitam suku Ainu itu sudah terkepung.
Sebagai pemimpinya bukan lain adalah Tong Siau-sian. Kokcu lembah Mi-kok, sedang yang berbicara adalah Pang Wan-kun.
Dua anggota Bok-lan-pek-tui menggotong sebuah pembaringan kayu, di atas pembaringan membujur tubuh Samkongcu Kim Hong-giok yang tertutuk jalan darahnya.
Air muka Kim Lam-giok dan Kim Lik-giok berubah menjadi pucat seperti mayat, mereka menatap Kim Hong-giok yang berada di pembaringan dengan rasa cemas dan gelisah.
Keadaan Tong-popo lebih mengenaskan lagi, ibaratnya seekor anjing liar yang menghadapi jalan buntu, dengan sinar mata yang penuh rasa cemas ia celingukan ke sana kemari sambil berusaha keras mencari kesempatan untuk kabur.
Tapi hampir ratusan orang telah mengepung sekeliling tempat itu, cahaya golok berkilauan, apa lagi di sampingnya masih berdiri seorang Ho Leng-hong yang mengawasinya tanpa berkedip, ingin kabur? Jelas bukan pekerjaan gampang.
Walaupun Pang Wan-kun tidak mengenakan seragam Mi-kok, kini ia merupakan seorang yang mempunyai kedudukan tinggi dalam Mi-kok, terdengar ia berseru dengan suara lantang, “Ci-moay-hwe bukan saja berani memasuki tempat terlarang lembah kami dan mencuri belajar ilmu silat kami, kalian pun berani pula melindungi buronan lembah kami, bicara soal kesalahan kalian pantas dihukum mati, bila ada di antara kalian yang mau melepaskan senjata dan menyerahkan buronan, Kokcu kami bersedia mengampuni dosa kalian dengan memberi jalan hidup. Nah, sekarang siapa yang ingin hidup dan siapa ingin mati terserah pada pilihan kalian sendiri.”
Kim Lam-giok dan Kim Lik-giok tidak bicara apa-apa, kedua puluh orang perempuan Ainu pun tak ada yang melepaskan senjata, jelas kendatipun mereka merasa tak bisa menang menghadapi lawan lihai, namun mereka pantang menyerah dengan begitu saja.
Menyaksikan keadaan ini, Pang Wan-kun berpaling ke arah Tong Siau-sian, gadis itupun mengangguk.
Hal ini berarti segala sesuatunya telah diserahkan kepada Pang Wan-kun untuk memutuskan.
Dengan wajah serius pelahan Pang Wan-kun mengangkat tangan kanannya, lalu berkata, “Kalian sendiri yang mencari mampus, jangan menyesal jika pihak kami tidak memberi kesempatan lagi kepada kalian!”
Baru saja ia hendak menitahkan anak buahnya untuk melancarkan serangan, tiba-tiba Kim Lam-giok menengadah sambil tertawa terbahak-bahak.... “Hei, kematian sudah berada di ambang pintu apa yang kau tertawakan?” bentak Wan-kun.
“Benar, ilmu golok Ang-siu-to-hoat dari Mi-kok memang tiada tandingan di dunia ini, apalagi dengan jumlah orang yang banyak, bila terjadi pertarungan mungkin saja Ci-moay-hwe kalah, tetapi sebelum menderita kekalahan total, kami pun tak akan melepaskan orang yang berada di tangan kami.
Sambil berpaling ke arah rumah gubuk, bentaknya, “Suheng, gusur ke keluar orang- orang itu!”
Dari dalam rumah gubuk terdengar suara orang menyahut, menyusul muncul serombongan orang, orang pertama adalah laki-laki setengah umur bertubuh pendek tapi kekar, di belakangnya mengikuti dua orang laki-laki berbaju pendek dan menggusur seorang lelaki dan seorang perempuan.
Lelaki itu berusia lima puluhan, berwajah keren, bermuka merah, beralis tebal dan dibelenggu oleh tali sekujur badannya sehingga mirip seorang tawanan.
Yang perempuan adalah Hui Beng-cu, iapun dibelenggu kencang dengan golok dipalangkan pada tengkuknya.
“Ho Leng-hong!” kata Kim Lam-giok kemudian, “tahukah kau siapa tawanan laki- laki ini? Jika kau ingin tahu, silakan tanya sendiri kepada Pang Wan-kun!”
“Tak perlu tanya, aku tahu dia pastilah pemilik gedung Hiang-in-hu dari Hu-yong, Tay-yang-to (golok matahari) Hui Pek-ling!”
“Hahaha, kau memang pintar sekali!” kata Kim Lam-giok sambil tertawa, “Kalau begitu, kau tentu mengetahui bukan, seandainya orang-orang Mi-kok sampai turun tangan, apa yang akan kuperbuat terhadap kedua orang ayah dan anak ini?”
Hawa amarah terpancar dari wajah Ho Leng-hong, bentaknya dengan menahan geram, “Perselisihan kalian dengan Mi-kok apa sangkut pautnya dengan mereka ayah dan anak? Tidakkah kau merasakan perbuatanmu itu terlalu rendah dan kotor?”
“Mereka ayah dan anak mempunyai hubungan dengan kau, dan kau adalah tamu agung Mi-kok, asal kaumau tampil ke depan, perselisihan di antara kedua pihak baru bisa terselesaikan,” jawab Kim Lam-giok dengan tertawa.
Leng-hong hanya mendengus dan tidak berkata apa-apa.
Kembali Kim Lam-giok berkata, “Kami tidak mempunyai permintaan lain, aku hanya ingin menggunakan kedua orang ini untuk ditukar dengan Sammoayku Hong-giok, kemudian Ci-moay-hwe akan segera angkat kaki dari Tay-pa-san ini, mengenai Tong- popo, kuserahkan penyelesaiannya kepada kalian, entah bagaimana pendapat Ho- tayhiap dengan syarat ini?”
Belum sempat Ho Leng-hong menjawab, dengan gusar Tong-popo telah berteriak, “Perempuan busuk, lantaran posisiku sudah tersudut, maka kau ‘setelah menyeberang sungai lantas menghancurkan jembatan’? Hm, terus terang kuberitahukan padamu, tidak segampang itu rencanamu bisa terpenuhi, bila aku si nenek tak mampu meloloskan diri, kalian perempuan asing busuk juga jangan harap bisa meninggalkan tempat ini dengan selamat.”
“Hei, apa gunanya kau marah kepada kami?” ejek Kim Lam-giok, “bukannya aku tak sudi membantumu, adalah kau yang mencelakai Sammoay lebih dahulu!”
Kemarahan nenek Tong tak terkendalikan lagi, tiba-tiba ia putar goloknya dan menerjang ke arah rumah gubuk itu.
Begitu dia turun tangan, serentak perempuan-perempuan Ainu yang berada di sekeliling sanapun turun tangan mengalanginya, serentak cahaya golok dan bentakan nyaring lantas berjangkit di sana sini.
Sekalipun jumlah perempuan Ainu itu sangat banyak, ilmu golok mereka jauh ketinggalan bila dibandingkan Ang-siu-to-hoat dari Mi-kok, begitu pertarungan berkobar, beruntun empat lima orang telah terluka, Tong-popo berhasil menerobos lingkaran tersebut.
Tapi di luar lingkaran kepungan perempuan Ainu itu masih ada sekelompok besar anak murid Mi-kok.
Dengan tenaga dalamnya yang sempurna, secara nekat Tong-popo menerjang. “Cegat jalan perginya, mati atau hidup, bekuk dia!” bentak Pang Wan-kun.
Empat jago “benang biru” serentak maju bersama mengadang jalan pergi Tong-popo.
Waktu itu Tong-popo mulai menyadari lemahnya kekuatan sendiri, bukan pekerjaan gampang untuk menembus kepungan rapat itu, tapi iapun sadar bila menyerah berati mati, sebaliknya kalau nekat mungkin masih ada harapan untuk hidup, maka seperti harimau terluka, goloknya diputar sedemikian rupa untuk menghadapi kepungan musuh.
Baru tiga-empat gebrakan, salah seorang lawan kena dibacok bahunya sehingga melompat mundur.
Seorang jago kelompok benang biru dengan cepat melompat maju untuk menutup kekosongan tersebut, dengan demikian posisinya masih tetap empat lawan satu.
Makin lama Tong-popo makin nekat, di tengah bentakan-bentakan gusar yang nyaring, kembali ia berhasil membacok roboh seorang lawan.