Jilid 14
"Kalau begitu, terpaksalah aku mengiringi kehendak paman. Tetapi kepandaianku hanya terbatas, aku mohon paman berbelas kasihan kepadaku."
"Jangan ngoceh tak keruan!" bentak Ceng Jie. "Siapa sudi mengobrol denganmu? Hayo, seranglah!"
Sekali lagi Thio Sin Houw membungkuk hormat, dan tiba- tiba tangannya menyambar. serangan pendek itu membawa kesiur angin keras. Keruan saja Ceng Jie terperanjat sama sekali tak diduganya, bahwa pemuda itu memiliki tenaga dalam begitu kuat, Buru-buru ia melintangkan tangannya dan hendak menyambar lengan baju.
Thio Sin Houw tadi menyerang dengan tangan kiri, Begitu melihat Ceng Jie membalas menyerang, gesit ia menarik tangannya kembali. Kemudian dengan tiba-tiba pula, ia menyerang raut muka !
"Hey!" Ceng Jie terperanjat lagi, itulah suatu serangan yang terjadi sangat cepat, Tak sempat lagi ia menangkis. Padahal ia seorang pendekar yang sudah terlalu banyak makan garam. Ribuan kali ia menghadapi lawan-lawan berat yang memiliki ilmu berkelahi yang berbeda-beda. Namun serangan Sin Houw kali ini adalah yang terhebat. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri, hanyalah melenggakkan tubuhnya kebelakang.
Thio Sin Houw tak sudi memberi kesempatan lawan untuk dapat mengadakan serangan balasan, ia bergerak mundur dan kemudian melingkarkan tubuhnya, gerakan itu seperti memberi kesempatan kepada lawan untuk memperbaiki kedudukan dan mengira bahwa Thio Sin Houw hendak melarikan diri.
Cepat cepat Ceng Jie mengulurkan tangannya untuk memberi hajaran, tetapi sebelum tangannya sampai pada sasaran, sekonyong konyong ia merasakan suatu kesiur dari angin serangan. Dilihatnya kedua tangan Sin Houw bergerak dengan berbareng mirip sambaran seekor ular hendak mematuk sasaran, sasaran itu mengarah kepada kedua tulang iganya.
"Ha-ha " ia tertawa di dalam hati, "Meskipun kau berhasil
menyentuh igaku, apa artinya dibandingkan dengan gempuranku?"
Cepat luar biasa ujung tangan Sin Houw tiba pada sasarannya, dan mengenai pinggang Ceng Jie dengan jitu, Dan terdengarlah suara gemeretak dua kali hampir berbareng, Dan tepat pada detik itu, Sin Houw telah melesat mundur sambil berputaran sebentar. Kemudian berdiri tegak mengawasi lawannya.
Ceng Jie terperanjat dan mendongkol, ia kena tipu kesombongannya sendiri. Temyata kekebalannya tak kuasa membendung pangutan ujung tangan Sin Houw yang nampaknya tak bertenaga. Tetapi nyatanya seluruh tubuhnya merasa kesemutan. sebaliknya, walaupun merasa diri seorang yang kenyang makan garam, namun masih tak dapat mengenal corak tata berkelahi yang terlalu percaya ke pada pagutan tenaga tangan.
Tapi dalam pada itu, Giok Cu kagum menyaksikan kegesitan Sin Houw, hampir saja ia berteriak memujinya.
sebenarnya dalam jurus tadi, Sin Houw menggunakan jurus gabungan. Mula-mula ia bergerak dengan ilmu ajaran Bok Jin Ceng, lalu ia menggunakan ilmu kegesitan tubuh ajaran Bok-siang to-jin. Dan yang terakhir ia memagutkan tangannya dengan ilmu sakti warisan Gin-coa Long-kun. Maka tak mengherankan, apa sebab Ceng Jie menjadi bingung.
Tetapi yang heran dan bingung ternyata tidak hanya Ceng Jie seorang, juga Ceng It dan Ceng Sie tak kurang-kurang pula. Mereka saling memandang dengan pandang penuh pertanyaan.
Selamanya, Ceng Jie menganggap dirinya seorang pendekar besar. Kali ini, ia kena tertipu dalam satu gebrakan saja, Tak mengherankan kehormatan dirinya tersinggung sekaligus. Dengan serentak ia melompat maju dan menyerang dengan mendadak. wajahnya merah padam, alis dan kumisnya bagun seluruhnya. Gerakan kedua tangannya lantas saja membawa kesiur angin dahsyat.
Hebat perbawa Ceng Jie. Dibawah sinar bulan yang cemerlang, kepalanya nampak mengepulkan asap, siapapun mengerti, itulah akibat rasa amarahnya yang tak terkendalikan lagi. Gerakan kakinya lambat, akan tetapi mantap. Itulah suatu tanda, bahwa Ceng Jie memiliki himpunan tenaga dalam yang sudah mencapai puncak kesempurnaan.
Thio Sin Houw tak berani bermain-main lagi, Menghadapi serangan Ceng Jie, ia mengendapkan diri sambil mendekat, Dua kali berturut-turut, ia dadat membebaskan diri dengan cara demikian, Pada jurus ketiga, diam-diam ia bersiaga mengadakan perlawanan dengan ilmu sakti Hok-houw ciang. Dan pada jurus keempat, pertempuran sengit terjadilah.
Tetapi justru menghadapi perlawanan Sin Houw, serangan Ceng Jie tidaklah secepat tadi, Gerakannya kini agak kendor, namun setiap pukulannya mengandung tekanan dahsyat. setiap kali, apabila tangannya bergerak, angin dahsyat mendahului atau mengiringi.
Menghadapi tekanan himpunan tenaga dalam demikian dahsyat, Sin Houw tercekat hatinya. Namun sama sekali ia tak gugup. sekonyong-konyong ia melihat cahaya merah kuning berada dalam telapak tangan Ceng Jie, ia terkejut dan sempat berpikir didalam hati:
"Apakah ia memiliki ilmu Ang-see ciang?"
Teringatlah ia kepada tutur kata gurunya tentang berbagai ilmu sakti dengan tanda-tandanya, seperti ilmu Tiat-see ciang (Tangan Pasir Besi), Cu-see ciang (Tangan Cu-se) dan Ang- see ciang (Tangan Pasir Merah). semua ilmu sakti itu adakalanya mengandung bisa racun, dan juga merupakan ilmu pukulan yang tak boleh mengenai sasaran. Barang siapa kena gempurannya akan rontok tulang-tulangnya. Memperoleh ingatan demikian, segera ia mengubah tata berkelahinya, Untuk mencegah pendekatan, kedua tangannya di pukulkan saling susul dengan cepat sekali.
Ceng Jie bersenyum mengejak, Tahulah dia, bahwa Sin Houw segan terhadap ilmu saktinya. ia jadi berbesar hati, lantas saja ia mendesak selangkah demi selangkah, Mendadak saja, lengan kanannya terasa nyeri. Kaget ia melesat mundur sambil memeriksa tangannya, ternyata lengan yang tadi terasa nyeri kelihatan merah dan bengkak. Tahulah dia, lengannya tadi kena sentuh tanpa diketahui karena cepatnya, dan iapun segera mengerti bahwa Sin Houw bermurah hati terhadapnya, Sekiranya menghantam dengan benar-benar, tangan atau lengannya pasti sudah rusak. Meskipun demikian, hatinya penasaran juga. Sayang, tak dapat lagi ia melanjutkan pertempuran itu, Dalam peraturan adu kepandaian, ia sudah jatuh !
Selagi pertempuran terhenti, Ceng Sam maju mendekati Sin Houw, Katanya dengan suara tenang:
"Anak muda! Masih begini muda sekali umurmu, akan tetapi ilmu kepandaianmu hebat sekali. Marilah, ingin aku mencobamu dengan berbekal senjata."
Thio Sin Houw cepat-cepat membungkuk memberi hormat, sahutnya dengan suara merendahkan hati:
"Waktu datang kesini, tak berani aku membekal senjata. Aku datang dengan tangan kosong "
Ceng Sam tertawa dan memutus perkataan Sin Houw: "Kau mengenal adat istiadat. Bagus! Memang, kulihat kau
tak membawa senjata, Hal itu terjadi, karena kau terlalu yakin
kepada kemampuanmu sendiri, Hatimu terlalu besar, sehingga keberanianmu sangat mengagumkan. Tidak apalah, hanya saja malam ini kau harus memperlihatkan kepandaianku kepadaku. Marilah, kita melihat-lihat gedung Lian-bu thia.
(Lian-bu thia = semacam ruangan untuk berolah raga). Apa yang disebut Lian-bu thia, sebenarnya tempat
anggauta Cio-liang pay berlatih, setelah berkata demikian,
Ceng sam mendahului melompat turun dari atas genting, Dan rombongannya ikut turun pula. Maka tak dapat lagi, Sin Houw menolak undangan itu. Terpaksalah ia melompat turun dari atas genting, dan mengikuti mereka memasuki ruangan Lian- bu thia.
Tatkala hendak memasuki ambang pintu, tiba-tiba Giok Cu mendekati dan membisik dekat telinga Sin Houw:
"Didalam tongkatnya tersembunyi senjata rahasia." Tercekat hati Sin Houw mendengar peringatan itu,
seumpama tidak memperoleh pemberitahuan itu, sama sekali
ia tidak menyangka. Maka dengan hati waspada, ia menebarkan penglihatannya.
Ruangan berlatih itu berukuran lebar dan luas sekali. Didalamnya terdapat tiga panggung persegi panjang, para anggau Cio-liang pay nampak berkumpul berkelompok- kelompok. Rupanya, mereka semua gemar akan ilmu silat.
Baik laki-laki maupun perempuan, Mereka hendak menyaksikan adu kepandaian antara Ceng Sam melawan Sin Houw, Malahan, diantara mereka terdapat beberapa kanak- kanak berusia tujuh atau delapan tahun.
Setelah mereka mencari tempat duduknya masing-masing, muncullah seorang wanita setengah baya, usianya kurang lebih empatpuluhan tahun. ia didampingi pelayan perempuan yang semalam mengantarkan makanan untuk Thio Sin Houw.
"lbu!" seru Giok Cu yang mendekati wanita setengah baya itu, wanita itu masih cantik wajahnya, namun mengandung rasa duka, Mendengar seruan anaknya, ia hanya mengerlingkan mata. Sama sekali tak menyahut memperlihat wajah jernih. pandang matanya guram tak bersinar.
"Anak muda," kata Ceng Sam kepada Sin Houw, "Disini banyak terdapat bermacam-macam senjata, Kau hendak menggunakan senjata apa, boleh pilih sendiri !" setelah berkata demikian, ia menunjuk sekitar ruangan, Pada dinding gedung itu terdapat deretan berbagai macam senjata tajam.
Thio Sin Houw menyadari, bahwa ia sedang menghadapi persoalan yang rumit sekali. Tak mudah baginya untuk memperoleh penyelesaian tanpa kekerasan.
Namun, ia tak menghendaki akan terjadinya ketegangan yang bertambah hebat,
Karena itu, tak boleh ia sampai melukai siapapun meskipun dirinya seumpama terdesak kepojok. inilah pengalamannya untuk yang pertama kalinya setelah memasuki kancah penghidupan babak kedua, Dan masalah yang sedang dihadapi itu, ternyata sulit luar biasa, ia berbimbang-bimbang sejenak untuk menentukan sikapnya.
Giok Cu yang sejak tadi memperhatikan Sin Houw, melihat pemuda itu berbimbang-bimbang. ia berserus "Pamanku yang ketiga ini paling senang terhadap seorang muda yang berkepandaian tinggi. pastilah dia tidak akan melukaimu "
"Tutup mulutmu!" tukas ibunya dengan suara sengit, Tak usah dikatakan lagi, bahwa wanita itu tiba-tiba saja berpanas hati.
Ceng sam menoleh kepada Giok Cu. Berkata:
"Kau lihat saja, bagaimana kesudahannya nanti." setelah berkata demikian, ia melemparkan pandang kepada Sin Houw dan berkata lagi: "Anak muda, kau menggunakan pedang atau golok panjang?"
Thio Sin Houw terdesak. Mau tak mau ia harus memberikan jawaban. segera ia menebarkan penglihatannya. Tiba-tiba ia melihat seorang kanak-kanak berusia ampat tahun berada di dekat seorang pelayan wanita, pastilah anak itu salah seorang anggauta keluarga tuan rumah. ia hadir dengan membawa alat-alat permainannya, diantaranya terdapat sebatang pedang kayu yang di cat hitam, Melihat pedang kayu itu, Sin Houw segera mendekati anak itu dan berkata lembut:
"Adik kecil, bolehkah aku meminjam pedangmu? sebentar saja."
Anak itu ternyata pemberani. Sama sekali ia tak takut terhadap orang asing, Dengan tertawa ia mengangsurkan pedang kayunya, Dan setelah Sin Houw menerima pedangnya, ia lari ke dekapan pengasuhnya.
"Sam susiok, tak berani aku menggunakan senjata benar- benar." kata Sin Houw mendekati Ceng Sam, "Bukankah kita hanya berlatih saja?"
Sebenarnya Sin Houw bermaksud merendahkan dirinya, akan tetapi bagi Ceng Sam justru dianggap menghinanya.
Hampir saja orang tua itu tak sanggup mengendalikan rasa marahnya. Untuk menghibur dirinya sendiri, ia tertawa terbahak-bahak. Katanya diantara suara tawanya:
"Memang akulah yang lagi sial, puluhan tahun lamanya, aku berkelana mencari lawan dan kawan. selama itu belum pernah aku bertemu dengan seorang yang berani merendahkan diriku.
Hem, pernahkah kau mendengar nama tongkatku: Liong- tou Koay-tung?" katanya.
"Baiklah! Jika benar-benar kau mempunyai kepandaian dewa, hayo kau tabaslah tongkatku kutung!"
Yang disebut tongkat Liong-tou
Koay-tung terbuat dari campuran besi dan baja, siapapun percaya bahwa tongkat itu tak akan mungkin tertatas kutung oleh pedang kayu, kecuali apabila pedang kayu itu buah tangan dewa sakti dan setelah berkata demikian, dengan hati mendongkol Ceng sam menyambar tongkatnya dan dibabatkan kearah pinggangnya Sin Houw. Hebat sambarannya, didalam ruangan itu lantas saja terdengar suatu suara berdengung.
Gidk Cu memekik cemas, menyaksikan sambaran tongkat pamannya yang hebat tak terkatakan, pada saat itu, ia melihat tubuh Sin Houw berputar seperti terseret putaran anginnya.
Akan tetapi belum sampai tubuh Sin Houw terlempar, tiba- tiba pedang kayu ditangannya bergerak kencang dan menikam pergelangan.
Ceng Sam mundur sambil menarik tongkatnya, sebagai gantinya, ia maju selangkah dan menusuk ke arah dada.
"Akh!" seru Sin Houw didalam hati. "Kiranya tongkatnya bisa dipergunakan untuk menikam pula, aku harus berhati- hati."
Cepat-cepat ia mengelak dan pedang kayunya menotok lengan. Ceng Sam terkejut, ia tahu, meskipun hanya pedang kayu akan tetapi bila menabas lengan bisa mengutungkan. Sebat ia melepaskan pegangannya, sehingga ujung tongkat jatuh menusuk lantai. Tetapi tepat pada saat itu, serangannya yang tak kalah dahsyatnya telah menyusul.
Hebat gerak-geriknya. selain cepat, mengandung ancaman mengerikan, sedikit saja Sin Houw kena tersentuh, pasti akan celaka.
Thio Sin Houw kagum melihat kegesitan dan kesehatan Ceng Sam oleh rasa kagumnya, ia berkelahi dengan hati-hati dan cermat. ia selalu mengelak atau menghindari. Dan kemplangan tongkat yang tidak mengenai sasaran, menghantam batu lantai hingga hancur berantakan.
Keping-kepingannya terpeleset kesana kemari bagaikan titik hujan. Maka bisa dibayangkan betapa akibatnya, apabila sampai mengenai tubuh manusia yang terdiri dari darah dan daging.
Sin Houw tak sudi terpengaruh kedahsyatan tongkat Liong- tou Koay-tung, segera ia melayani kegesitan lawan dengan ilmu kelincahan tubuh ajaran Bok-siang tojin, Tubuhnya bergerak sangat lincah, gesit dan sebat luar biasa.
Tak ubah bayangan, ia melesat ke sana kemari. Dan setiap kali memperoleh kesempatan, pedangnya menabas dan menikam,
Tak terasa, pertempuran cepat itu telah memasuki jurus duapuluh, setelah itu, Ceng Sam kelabakan sendiri. ia sudah terlanjur membuka mulut besar.
Akan tetapi sampai sekian jurus, belum berhasil merobohkan lawannya yang masih berusia muda sekali. sekian puluh tahun lamanya, ia malang melintang tanpa tandingan karena tongkatnya itu.
Akan tetapi pada malam itu, ia malah kena dipermainkan seorang bocah cilik.
Masakan melawan pedang kayu saja, membutuhkan waktu begitu lama? Dan oleh pikiran itu, ia menjadi gugup, Tak dikehendaki sendiri, keringatnya membasahi seluruh tubuhnya.
Oleh rasa gugup dan mendongkol, ia menjadi penasaran. segera ia merubah tata-berkelahinya, Dengan gesit ia mencoba melihat Sin Houw dengan tongkat andalannya. Gerakannya membuat semua penonton mundur beberapa langkah, karena tersapu angin yang datang bergulungan. Ada diantaranya yang bersandar pada tembok untuk mempertahankan diri.
Setelah merubah tata berkelahinya, Sin Houw mengakui didalam hati bahwa orang tua itu merupakan lawannya yang tertangguh selama hidupnya, Tak dapat ia mendekatinya. sedang pedang kayunya tak dapat diharapkan bisa menabas kutung tongkat Liong-tou Koay-thung bahkan apabila kurang hati-hati, pedang kayunya sendiri yang bakal patah menjadi dua tiga bagian.
"Akh, kalau begini terpaksa aku harus melawannya dengan ilmu gabungan kedua guruku " pikir Sin Houw di dalam hati,
Berpikir demikian, iapun segera merubah tata berkelahinya, Gerakannya jadi lambat dan nampak perlahan.
Ceng Sam bergirang hati menyaksikan gerakan Sin Houw yang makin lama jadi makin lambat. Itulah suatu tanda bahwa dia kehilangan tenaga. oleh pikiran itu, tak sudi ia sia-siakan kesempatan yang bagus. Begitu memperoleh kesempatan, dengan sebat ia menghantamkan tongkatnya.
Thio Sin Houw nampak lelah. Dengan gerakan lambat ia menyambut serangan tongkat Ceng Sam yang dahsyat tak mengenal ampun. Giok Cu yang berada diluar gelanggang berseru cemas.
Tiba-tiba ia melihat suatu perubahan yang mengherankan. Pada saat ujung tongkat lewat didepan dada, cepat, luar biasa Sin Houw menggerakkan tangannya.
Tahu-tahu ujung tongkat kena ditangkapnya dengan tangan kiri, Dengan tenaga penuh, ia menghentak sambil menarik. Kemudian pedang kayunya menyambar. Bret! dan bajunya Ceng Sam menjadi koyak!
Ceng Sam kaget bukan kepalang.
Pada detik itu pula, telapak tangannya panas luar biasa oleh gentakan Sin Houw. Tak dapat lagi ia mengelakkan diri atau mencoba mempertahankan diri.
Satu-satunya jalan, hanya melepaskan genggemannya. Artinya, tongkat andalannya kena direbut lawan. Hal itu sebenarnya sudah merupakan karunia meskipun memalukan sekali. coba seumpama Sin Houw tidak mengenal belas kasih, dadanya sudah kena tikam dengan telak!
Thio sin Houw tahu kegelisahan lawan. Hatinya yang mulia tidak mengijinkan untuk ia membuat orang tua itu menanggung malu, selagi menarik pedang kayunya, ia menyodorkan tongkat yang kena dirampasnya kepada pemiliknya lagi. Gerakan itu dilakukan dengan cepat dan semu, sehingga hanya seorang ahli saja yang bisa mengetahuinya.
Sebenarnya Ceng sam sudah merasa mati kutu, Akan tetapi hatinya panas dan mendongkol, sambil menerima tongkatnya kembali, ia berteriak tinggi sambil menyerang, itulah kejadian diluar dugaan Sin Houw, ia heran, apa sebab orang tua itu membandel? Bukankah dia sudah terkalahkan? Apa sebab ia masih menyerang? Tapi tak sempat lagi ia berpikir berkepanjangan, ia harus mengelakkan serangan tiba- tiba itu, Dengan gesit ia melesat ke samping dengan memiringkan badannya. Lalu melompat mundur.
Ceng sam tak mau mengerti. Sebenarnya, kalau mau Sin Houw dapat menyerangnya dari samping, Tapi ia tak memperdulikan kemuliaan hati pemuda itu. Dengan penasaran, ia menarik pulang tongkatnya. Lalu menyerang, tapi kali ini dibarengi dengan suara berdesir, Dan dari ujung tongkatnya, melesatlah tiga batang paku beracun yang tipis. sasarannya membidik atas, tengah dan bawah.
Jarak mereka sangat dekat. Maka bisa dibayangkan, betapa berbahayanya.
Apalagi Ceng Sam membarengi dengan tusukan. Giok Cu berseru kaget, Hampir saja ia melompat ke dalam gelanggang, kalau saja tidak kena tarik ibunya.
Thio Sin Houw sudah berjaga-jaga sejak memperoleh kisikan Giok Cu. Tapi serangan itu sendiri, sangat keji.
Gesit luar biasa, ia menyapu ketiga paku itu dengan pedang dan ujung baju-nya, itulah jurus simpanan ilmu sakti dari golongan Hoa-san pay ajaran guru-nya, Bok Jin Ceng yang jarang sekali muncul didepan umum. Kalau saja tidak merasa terpaksa, tidak akan Sin Houw menggunakan ilmu simpanan tersebut.
Setelah itu, dengan geram ia maju selangkah dan menekan ujung tongkat Ceng Sam dengan pedang kayunya kelantai.
Itulah suatu peristiwa diluar dugaan Ceng Sam. ia tadi sudah merasa pasti, bahwa serangan paku beracunnya akan berhasil. Tak mengherankan, tongkatnya tidak perlu ditariknya kembali cepat-cepat, sekarang tongkatnya kena tindih, Suatu tenaga luar biasa besarnya menekan ujung tongkatnya ke lantai.
Terus saja, ia berjuang mempertahankan tongkatnya, Akan tetapi pedang kayu Sin Houw terus menekan ke bawah sedikit demi sedikit, Dan tatkala ujung tongkat meraba lantai, kaki kirinya menggantikan kedudukan pedang, Tongkat itu diinjaknya.
Keringat dingin membanjiri seluruh tubuh Ceng Sam, ia berkutat mati-matian untuk membebaskan tongkatnya.
Selagi mengerahkan sisa tenaganya, tiba tiba Sin Houw melompat mundur, oleh perubahan itu, Ceng Sam terhentak mundur beberapa langkah dan hampir saja ia roboh terjengkang, ia berhasil mengangkat tongkatnya kembali. Akan tetapi lantai yang terbuat dari batu pualam hijau meninggalkan lobang besar sebesar tusukan ujung tongkatnya, Dan menyaksikan hal itu, semua hadirin terperanjat dan tercengang.
Tak usah diumumkan lagi, Ceng Sam telah kalah. ia mendongkol bukan kepalang. Tak pernah terlintas di dalam benaknya, bahwa pada suatu kali ia bakal dikalahkan lawan yang hanya bersenjata pedang kayu, ia menggigil oleh rasa marah, kecewa dan benci.
Dengan kedua tangannya ia melemparkan tongkatnya keatas wuwungan gedung. Brak! Dan atap gedung itu tertembus tongkatnya dengan suara berderakan.
"Tongkatku kena kau kalahkan dengan pedang kayumu, Apa perlunya kusimpan lagi sebagai senjata mustika?" teriaknya dengan wajah merah padam.
Thio Sin Houw tak bergerak dari tempatnya. ia tahu, orang tua itu sedang mengumbar rasa mendongkolnya. sebenarnya bukan tongkatnya yang buruk, akan tetapi karena ilmu kepandaiannya kalah jauh dengan Thio Sin Houw. Semua orang tahu akan hal itu, Dan sebenarnya tak perlu Ceng Sam menutup nutupi kekalahannya.
Diantara keluarga Cio-liang pay yang berkumpul didalam gedung itu, tinggal Ceng It, Ceng Sie dan Ceng Go yang belum melawan Sin Houw, Ceng Go adalah seorang ahli pembidik senjata rahasia. senjata yang digunakannya adalah semacam pisau belati panjang yang tipis.
Bentuknya setengah golok setengah pisau, Tajamnya luar biasa. selain itu mengandung racun jahat, Selama hidupnya, belum pernah ia kehilangan sasaran bidikannya, selalu tepat dan tak pernah meleset.
Senjatanya disimpan dalam sebuah kantong semacam tempat anak panah. Masing-masing senjata mempunyai daya berat setengah kilo, Biasanya senjata bidik terlepas tanpa suara. Tapi senjata bidik Ceng Go yang istimewa itu, meraung nyaring seperti seruling, itulah disebabkan pada ujung belati terdapat sebuah lobang sebesar biji asam.
Suara itu sendiri dimaksudkan sebagai suatu santun. Lawan diperingatkan terlebih dahulu agar bersiaga penuh begitu mendengar suara raungan, Akan tetapi sebenarnya raungan suara itu justru mengacaukan pemusatan lawan. salah salah bisa membuat lawan yang kecil hati jadi bingung dan gugup.
Melihat kakaknya gagal menguji ketangguhan Sin Houw, tanpa berbicara lagi ia melompat kedalam gelanggang.
"Saudara Sin Houw!" katanya. "Tahun depan umurku mencapai empat puluh tahun, jadi aku masih pantas menyebut kau sebagai saudara. Kau hebat, saudara. Dengan senjata kayu kau bisa mengalahkan tongkat mustika kakakku. Bagaimana kalau sekarang aku mencoba-coba senjata bidikku?"
Dan setelah ia berkata demikian, dialihkannya kantong kulit yang berada dipunggung ke pinggang.
Sin Houw menatap gerak-gerik Ceng Go sebentar. Rasanya tiada gunanya ia mencoba menolak. Maka terpaksalah ia mengangguk. sahutnya:
"Baiklah, hanya saja tak berani paman menyebut diriku dengan istilah saudara. sebab aku sudah mengangkat saudara dengan kemenakanmu, Harap saja paman sudi bermurah hati terhadapku "
Ia mengembalikan pedang kayu kepada anak yang meminjami, kemudian balik kembali memasuki gelanggang, ia tahu, kali ini bakal menghadapi pertempuran seru, apalagi ia menghadapi orang termuda dari lima dedengkot Cio-liang pay, pastilah dia lebih berangasan dari pada saudara-saudaranya yang tua tadi.
Dalam pada itu, semua penonton mundur sampai kedinding. Mereka tahu, senjata bidik Ceng Go tak boleh di buat semberono, sekali terlepas, maka udara akan dipenuhi pisau belati yang berterbangan dengan suara meraung.
Tak mengherankan suasana gelanggang jadi tenang bercampur tegang, Sebab apabila Sin Houw terpaksa mengelak, senjata bidik akan terus meluncur menikam salah seorang penonton yang lagi bernasib sial.
Thio Sin Houw sendiri kala itu, terpaksa memeras otak, Bagaimana cara yang sebaik-baiknya untuk melawan senjata bidik Ceng Go? Kalau hanya main tangkap, rasanya kurang kena. Karena gerakan itu hanya memperlihatkan suatu kegesitan belaka, seumpama Ceng Go bisa dikalahkan dengan cara demikian, tentunya dia belum puas.
Kecuali apabila sanggup menanamkan rasa segan kedalam hati mereka semua, agar Cie Lan dibebaskan dengan hormat.Pikirnya: "Dia hendak memperlihatkan kepandaiannya dalam hal membidikkan senjata kenapa aku tak menirunya?" dan memperoleh pikiran demikian, segera ia berkata:
"Go susiok, biarlah aku mengambil segenggam batu untuk menghadapi senjata bidik paman yang dahsyat."
Setelah berkata demikian, ia keluar gelanggang dan mengambil seraup batu-batu kerikil. ia sudah memperoleh keputusan hendak melawan senjata bidik Ceng Go dengan ilmu ajaran Bok-siang tojin!
"Silahkan!" katanya setelah memasuki gelanggang kembali.
"Hati-hati!" Ceng Go memperingatkan.
Berbareng dengan peringatannya, sebatang pisau belati menyambar dengan suara meraung, Hebat suara raungan itu, gerakan Ceng Go tangkas pula. Maka cepat-cepat Sin Houw menyentil sebuah batu, !Takk!" Batu membentur ujung pisau. Dan suara raungan itu terhenti, karena batu menyumbat lobang suara.
"Bagus!" Ceng Go memuji. "Kalau begitu, tak boleh aku bersegan segan lagi, Hati-hatilah!"
Dua pisau belati terbang menyambar dengan sekaligus, dan dua kali pula bentrokan terdengar nyaring, Yang pertama terpukul miring dan membenam pada tiang, sedang yang kedua runtuh bergelontangan dilantai, peristiwa itu benar- benar mengejutkan Ceng it yang memperhatikan adu kepandaian antara saudara-saudaranya melawan Sin Houw.
Betapa tidak? senjata bidik Ceng Go mempunyai berat kurang lebih setengah kilo, Kena tenaga lontaran pembidiknya akan mempunyai daya berat sekian kali lipat, Akan tetapi kena di runtuhkan Sin Houw yang hanya menggunakan batu kerikil. Tak usah dikatakan lagi, bahwa himpunan tenaga dalam Sin Houw jauh berada diatas Ceng Go.
Wajah Ceng Go nampak berubah, begitu menyaksikan runtuhnya dua pisau belatinya, Tapi pada saat itu pula, ia memberondongkan ampat pisau belatinya sekaligus. Sin Houw sudah mempunyai dugaan demikian, ia menyongsong sambitan pisau belati Ceng Go dengan ampat butir kerikilnya, Dan ampat pisau belati itu runtuh diatas lantai saling susul seperti tadi, setelah terdengarnya suara benturan yang nyaring.
"Akh, bagus ! Bagus!" seru Ceng Go, ia seperti menyatakan pujian dengan hati tulus, akan tetapi hatinya sesungguhnya mendongkol bukan main. segera ia melepaskan enam pisau belatinya sekaligus, kemudian dua batang lagi menyusul beberapa detik.
Arah bidikannya memenuhi segenap penjuru akan tetapi sasarannya satu. Teriaknya didalam hati: "Hem! Coba, ingin kulihat apakah kau mampu meruntuhkan ke enam pisau-pisau belati, berikut dua lagi yang menyusul belakangan "
Terbangnya delapan benda tajam itu membawa suara meraung-raung berisik sekali, Kena pantulan sinar lampu, ke delapan senjata bidik itu membawa cahaya berkilauan, Tetapi sebentar saja, baik suara raungan maupun sinar berkilauan itu padam dengan mendadak kena benturan enambelas batu kerikil Sin Houw yang bersuing pula diudara!
"Akh, benar-benar hebat!" seru Ceng Go didalam hati, sekarang ia jadi penasaran. Dengan semangat tempur yang menyala, ia melepaskan enam batang pisau belati sampai tiga kali berturut-turut saling menyusul, Tak usah dikatakan lagi, betapa berisik suara raungan diudara!
Ceng It adalah seorang pendekar berpengalaman. Melihat gerak-gerik Sin Houw yang gesit dan tangkas luar biasa, tahulah dia bahwa pemuda itu pasti murid seorang pendekar yang berkepandaian tinggi luar biasa. Kalau sampai pisaunya Ceng Go melukainya, akan panjang ekornya. Maka cepat- cepat ia berteriak mencegah:
"Go-tee, jangan menuruti hati panas saja, Tahan!"
Akan tetapi pencegahan itu sudah kasep, Tiga kali berturut-turut, Ceng Go melepaskan senjata bidiknya, setiap kali ia melepaskan enam batang. Dengan demikian, delapanbelas batang senjata bidik berkilauan memenuhi udara tak ubah hujan gerimis. Adalah tak mungkin untuk menarik kembali. Thio Sen Houw sendiri bersikap tenang luar biasa, menghadapi hujan senjata bidik. Mula-mula ia menebarkan duabelas batu kerikilnya untuk meruntuhkan enam batang golok. Kemudian ia melesat kesana kemari menangkap enam pisau belati susulan. setelah kena tergenggam ditangannya, ia menyambitkan kembali meruntuhkan enam senjata bidik yang menyambar untuk yang ketiga kalinya.
Dengan tiga gerakan itu, ke delapan belas senjata bidik Ceng Go rontok bergelontangan diatas lantai. Dan yang kena bentur senjata kerikilnya terbang keluar gelanggang menancap pada dinding. itulah suatu pemandangan yang benar-benar mempesonakan. Mereka semua yang melihat, memekik tertahan oleh rasa heran dan kagum.
Pandang mata Ceng It, Ceng Jie, Ceng Sam, Ceng Sie dan Ceng Go mendadak menjadi bengis. Dengan serentak mereka berteriak nyaring:
"Apakah kedatanganmu kemari atas perintahnya Gin-coa Long-kun?"
Sin Houw tercengang, Memang, ia tadi menggunakan jurus ilmu warisannya Gin-coa Long-kun selagi menghadapi kerumunan senjata bidiknya Ceng Go. Tetapi bagaimana mereka berlima bisa mengenal dengan sekali melihat saja?
Thio Sin Houw tidak mengetahui bahwa pada waktu muda, Ceng It berlima pernah bertempur melawan Gin-coa Long-kun. Ketika waktu itu Ceng Go menyerang dengan delapanbelas senjata bidiknya, cara menangkap dan mengadakan perlawanan Gin-coa Long-kun, benar-benar tak pernah terlupakan oleh mereka berlima. Di dunia ini hanya dia seorang, Bertahun-tahun lamanya, mereka membicarakan dan merundingkan gerakan Gin-coa Long-kun yang ternyata merupakan obat pemunah sambaran pisau terbang yang ampuh, Gerakan itu tak pernah terhapus dari ingatan mereka. Bahkan seringkali dibawanya bermimpi. Maka itulah sebabnya, begitu melihat gerakan perlawanan Thio Sin Houw segera mereka mengenali tanpa ragu-ragu lagi. Thio Sin Houw tidak mengetahui adanya latar belakang sejarah mereka berlima yang bersangkut-paut dengan Gin-coa Long-kun. Melawan Ceng Jie dan Ceng Sam serta Ceng Sie, ia hanya meng gunakan jurus-jurus ajaran kedua gurunya. Tetapi setelah merasa terpojok oleh sambaran pisau terbang Ceng Go, dengan tak dikehendakinya sendiri ia melakukan perlawanan dengan jurus warisan Gin-coa Long-kun. Memang warisan Gin-coa Long-kun sudah meresap didalam darah dagingnya, seakan-akan miliknya sendiri. Karena itu cara menggunakannya secara naluriah belaka.
Begitulah, tatkala mendengar pertanyaan itu segera ia hendak memberi keterangan, Tetapi pengalaman hidupnya yang pahit, menahannya. ia menaruh curiga terhadap bunyi dan nada pertanyaan mereka. Cara mereka bertanya, mengingatkan dirinya kepada musuh-musuh ayah bundanya yang bersikap galak dan main paksa. Mulutnya yang sudah bergerak, segera menutup kembali, selagi demikian, terlihatlah tiga orang memasuki paseban, Yang berjalan di depan adalah Cie Lan yang terbelenggu kedua tangannya. ia dikawal oleh dua orang yang bersenjata terhunus. Rupanya, baru saja Cie Lan dikeluarkan dari lubang jebakan.
Melihat munculnya Cie Lan, hati Sin Houw tergetar, Terus saja ia melesat menghampiri. Ceng It dan Ceng Ji segera memburunya dengan senjata andalan mereka.
Thio Sin Houw tak menghiraukan, ia menyusul Cie Lan, Tiba-tiba dua pengawalnya menyerang dengan berbareng,
Cepat ia mengendapkan diri, dan pada detik itu terdengarlah suatu bentrokan senjata tajam, itulah bentrokan senjata antara dua pengawal Cie Lan dan Ceng lt.
"Minggir, tolol!" bentak Ceng It mendongkol.
Sin Houw tadi tidak mengadakan perlawanan tatkala kena serang dua orang pengawalnya Cie Lan, ia hanya mengendapkan diri, sehingga kedua pedang penyerangnya menyelonong melalui punggungnya, justru pada saat itu Ceng It dan Ceng Jie sedang menyerang pula. Dengan demikian senjata mereka berempat jadi berbenturan. Keruan saja, dua pengawal itu kaget setengah mati.
Mereka heran bukan kepalang, atas terjadinya benturan itu, pada waktu itu Sin Houw mempunyai kesempatan untuk mendekati Cie Lan. Dengan sekali tabas, ia memutuskan tali pembelenggu dengan pedangnya Cie Lan yang masih tergantung di pinggangnya. Kemudian berkata:
"lni pedangmu!"
"Sin-ko!" seru Cie Lan girang, Cepat ia membuang tali pembelenggunya dan terus menerima pedangnya, Dan baru saja pedangnya tergenggam, dua batang tombak pendek Ceng It melintang di depannya, ia terperanjat Tetapi pada saat itu, ia mendengar suara mengaduh. Cepat ia menoleh dan melihat dua pengawal yang sialan tertusuk tombak Ceng It.
Untung, Ceng It masih sempat menyadarkan tikamannya sehingga hanya menusuk paha. Kalau tidak, mereka berdua pasti akan menjadi sate mentah.
Peristiwa itu terjadi oleh kecekatan Sin Houw yang bisa mengambil keputusan diluar dugaan. Melihat ancaman bahaya, sebat ia menyambar dua pengawal yang menyerang dari samping dan dibenturkan pada tombak majikannya dan setelah itu, ia merenggut tali pembelenggu Cie Lan untuk dijadikan alat melawan keganasan tombak Ceng It.
Ceng It pada waktu itu mendongkol bukan main, Dengan geram, ia menendang kedua pengawalnya,Kemudian mengulangi tikamannya. Sin Houw menyambar tangan Cie Lan dan dibawanya melompat mundur. Kemudian ia melihat ujung tombak Ceng It dengan tali pembelenggu.
Sudah barang tentu, Ceng It tidak sudi kena libat, untuk membebaskan libatan itu, ia melompat dengan menikamkan tombaknya lagi untuk yang ketiga kalinya, Sin Houw memuji kecekatannya, Tetapi otaknya yang cerdas dapat mengambil tindakan diluar dugaan. Tadi, memang ia bermaksud menarik tombak itu setelah melihatnya. Apabila Ceng it melompat maju sambil melepaskan tikamannya, ia malah melepaskan tali libatan, Dan dengan kecepatan luar biasa, ia melompat kesamping sambil melindungi Cie Lan. Ceng It jadi kehilangan keseimbangan.
Tubuhnya menyelonong ke depan sampai dua langkah jauhnya. Kemudian dengan mati-matian ia mempertahankannya dengan menjagangkan kedua kakinya.
Thio Sin Houw mempergunakan kesempatan yang baik itu, Dengan membimbing tangan Cie Lan, ia lari keserambi depan, ia membalikkan tubuhnya, berdiri tegak dan menunggu kedatangan mereka dengan sikap tenang luar biasa.
Ceng It jadi panas hati, ia merasa diri kena dipermainkan seorang pemuda seumpama bocah yang belum pandai apa- apa. Maka dengan penasaran dan penuh dengki, ia memburu. Keempat saudara dan dua kemenakannya segera menyusulnya. Dan sebentar saja, mereka bertujuh sudah mengambil sikap mengurung.
"Kau jawablah pertanyaanku! Di mana Lim Beng Cin kini berada?" bentak Ceng It dengan menudingkan tombaknya.
"Lim Beng Cin? siapakah Lim Beng Cin?" sahut Sin Houw heran, Kemudian meneruskan dengan suara sabar: "Marilah kita bicarakan dengan baik-baik. susiok sekalian tidak perlu bergusar hati terhadapku."
"Apakah kau muridnya Lim Beng Cin yang terkenal dengan sebutan Gin-coa Long-kun?" kata Ceng It yang tidak menggubris. "Apakah kedatanganmu ke sini, atas perintahnya?"
Belum lagi Sin Houw membuka mulutnya, Ceng Sie ikut bicara, Katanya garang:
"Anak muda! sebelum terlanjur berilah kami keterangan sejelas-jelasnya - coba jawab, dimanakah Gin-coa Long-kun kini berada?"
Sepasang alis Sin Houw terbangun. Teringatlah dia, bahwa dahulu Kun Cu dan temannya secara samar-samar pernah menyebut Gin-coa Long-kun dengan nama Lim Beng Cin pula, Maka oleh ingatan itu, segera ia menjawab:
"Dengan sesungguhnya, selama hidupku belum pernah aku melihat wajah Gin-coa Long-kun. Bagaimana dia bisa memerintahkan aku untuk datang ke sini?"
"Apa kata-katamu ada harganya untuk kami percaya?" Ceng sie menegas.
"Hem! Meskipun aku bukan seorang ksatria besar, tetapi selama hidupku belum pernah aku berbohong terhadap siapapun." sahut Sin Houw mendongkol. "Secara kebetulan aku bertemu dengan saudara Giok Cu, kemudian bersahabat dan datang ke sini untuk mengunjungi dan menjenguk kesehatannya, Apakah hal ini ada hubungannya dengan Gin- coa Long-kun?"
Mendengar perkataan Sin Houw Ceng It berlima agak menjadi tenang, Namun rasa curiga mereka belum hilang, setelah berdiam sejenak, Ceng It berkata mengancam:
"Kau bisa menyebut Gin-coa Long-kun dengan lancar, pastilah kau mengetahui dimana tempat persembunyiannya, janganlah kau mengharap bisa keluar dari dusun ini. Terus terang saja, dia adalah orang buruan kami!"
Thio Sin Houw menjadi tercengang mendengar bunyi ancaman Ceng It, ia menjadi teringat dengan nasib keluarganya yang terus-menerus dikejar-kejar musuh dari berbagai jurusan, Dan teringat hal itu, hatinya sengit, Namun masih bisa ia bersikap sabar dan tenang, setelah membungkuk hormat, ia menyahuti
"Aku memang kenal namanya, tetapi aku bukan sanak atau keluarganya, Akupun belum pernah melihat dirinya dengan berhadap-hadapan, apalagi berbicara dengannya. Hanya saja memang aku tahu, di mana dia kini berada. Tetapi yang kukhawatirkan, barangkali tiada seorangpun yang berani menemuinya "
Itulah suatu penghinaan bagi Ceng It berlima, lantas saja ia menggerung hebat. Teriaknya: "Siapa bilang kami tak berani mencarinya ? Belasan tahun sudah, kami berusaha mencari untuk menemukannya kembali. Kami berlima boleh kau antarkan seorang demi seorang, atau dengan berbareng. Sesukamulah! Biarpun dia bersembunyi di ujung langit, kami tidak akan mundur selangkah pun juga..."
Nah, antarkan kami kepadanya! Atau berilah kami keterangan di mana dia sekarang berada."
Thio Sin Houw tertawa tawar, sebagai seorang pemuda yang banyak mempunyai pengalaman berhadapan dengan musuh-musuh ayah-bundanya, lantas saja dia dapat menilai budi pekerti Ceng It dan saudara-saudaranya, sahutnya menggertak:
"Apakah benar-benar susiok hendak menemui dia?" Dengan hati panas, Ceng It maju selangkah. Berteriak
nyaring:
"Tidak salah lagi! Aku memang mau menemui dia, Di mana?"
Sin Houw mengkerutkan dahi, Ber-tanya menegas: "Sebenarnya apa maksud susiok hendak menemuinya?"
"Hei, anak muda!" bentak Ceng It, "Kau anak kemarin sore, janganlah kau mempermainkan aku yang sudah ubanan, kau katakanlah, dimana dia sekarang berada!"
Sin Houw tersenyum melihat kelakuan orang tua itu, yang masih berangasan, jawabnya:
"Kurasa susiok masih membutuhkan waktu beberapa tahun, untuk bisa menemui dia."
"Apa maksudmu?" potong Ceng It.
"Karena dia sudah meninggal dunia..." ujar Sin Houw dengan suara tenang.
Mendengar perkataan itu, mereka semua tercengang, Juga seluruh anggauta keluarga Cio-liang pay yang ikut menyusul ke serambi depan. Tiba-tiba terdengarlah pekik suara Giok Cu: "lbu! ibu !"
Thio Sin Houw menoleh. Dan pada saat itu, ia masih berkesempatan melihat ibunya Giok Cu jatuh pingsan di atas kursi. Cepat-cepat Giok Cu mengangkat kepala ibunya, dan diletakkan diatas pangkuannya, wajah ibunya pucat lesi, kedua matanya tertutup rapat.
"Hemm !" dengus Ceng Sie dengan bersungut,
Ceng Jie berpaling kepada Giok Cu, menuding sambil berkata memerintah.
"Kau bawalah ibumu masuk kedalam, Keluarga kita tak boleh memperlihatkan kelemahannya!"
Giok Cu menangis dengan tiba-tiba, jawabnya dengan sengit:
"lbu terkejut tatkala mendengar berita ayah, kenapa harus malu? Apa yang harus disembunyikan? ibu bersengsara, ibu pedih, Hatinya kena tertikam!"