Jilid 13
diriku, setelah mendengar keadaan diriku."
"Walaupun aku masih muda, seumpama seorang anak yang belum pandai apa apa, aku berjanji kepadamu bahwa hal itu tak mungkin terjadi!" seru Sin Houw dengan suara menyala-nyala.
Beberapa saat lamanya, Giok Cu menatap wajah Sin Houw mencari keyakinan, kemudian ia mengumpulkan ketabahannya untuk menceritakan riwayat hidupnya, katanya:
"Baiklah, aku percaya kepadamu, biarlah aku ceritakan siapa diriku."
Thio Sin Houw balas menatap wajah Giok Cu, Dengan sungguh-sungguh ia menaruh perhatian dan siap mendengarkan setiap patah kata-kata yang membersit dari mulut Giok Cu.
"Tatkala ibumu masih muda remaja, aku sudah dihamilkan olehnya " Giok Cu memulai. "Maksudku, ketika ibu masih
remaja, ia kena diperkosa oleh seorang laki-laki busuk. Dan akibat dari perkosaan itu, lahiriah aku, Kakek tentu saja tidak tinggal diam. Dengan berbekal kepandaiannya, ia melabrak lelaki busuk itu. Akan tetapi kakek kalah".
Karena penasaran, kakek mengumpulkan sepuluh orang teman-temannya, dan barulah manusia busuk itu bisa terusir dari rumah. Tetapi dengan demikian, aku jadi tak mempunyai ayah lagi. Nah, tahulah kau kini bahwa aku ini anak seorang manusia busuk. Hasil dari suatu perkosaan, sekarang hinalah aku!" Thio Sin Houw tahu tabiat Giok Cu aneh, tetapi tak pernah menyangka bahwa jalan pikirannya pun aneh juga. Maka cepat-cepat ia menjawab:
"Sudah tentu kau sendiri tak dapat disalahkan. Kalau memang harus ada yang disalahkan, haruslah si manusia busuk itu."
"Akh, kau hanya menghibur hatiku saja!" ujar Giok Cu dengan suara dalam. "Seumpama kau berada diantara sepuluh orang, yang sembilan orang berpikir lain, Kata mereka, justru dirikulah yang menyebabkan dan yang membuat ibu serta manusia busuk itu terangsang napsunya.
Memang, dihadapanku mereka tak berani berkata demikian, tetapi dibelakang aku, mereka mencemooh, mencaci dan mengutuk diriku, Merekapun memaki-maki ibu pula."
"Hm! siapakah yang telah berani menghina kau dan menghina ibumu?" tanya Sin Houw dengan mata menyala. "Baik aku berjanji kepadamu, akan membantumu meng hajar mereka sampai jera. Manusia jail mulut itu, tak pantas kita kasihani, saudara Giok Cu, setelah mendengar kisah hidupmu, kini tiada lagi sisa rasa benciku kepadamu, Dan demi Tuhan, sekiranya kau sudi menganggap diriku sebagai salah seorang sahabatmu, aku pasti akan datang lagi kepadamu dan bersedia menyertaimu ke manapun kau pergi."
"Oh, benarkah itu?" seru Giok Cu girang. Dan karena rasa girangnya, kedua matanya menjadi basah, Rasa haru menyelinap ke dalam lubuk hatinya. Mendadak ia lompat bangun dan memeluk Sin Houw, kemudian ia menari-nari kegirangan !
Menyaksikan kelakuan Giok Cu, sejenak Sin Houw menjadi tercengang, ia kaget tatkala kena dipeluk. Lengannya lembut halus. Bau harum rambutnya, terasa sedap. selagi demikian Giok Cu menari -nari, sehingga mau tak mau ia tertawa geli juga.
"Saudara Sin Houw, lihatlah! Aku begini girang, tahukah kau apa sebabnya ?" kata Giok Cu menguji.
"Apakah karena aku bersedia menyertaimu ke manapun kau pergi?"
"Benar! Kau berjanji dengan sesungguhnya, bukan?" Giok Cu berhenti menari dan menegas.
"Tak pernah aku berdusta terhadap siapapun juga, Guruku sering berkata, bahwa untuk suatu janji seorang laki-laki harus berani mengorbankan diri sendiri. Kalau perlu, jiwa dan hartanya " jawab Sin Houw dengan suara meyakinkan.
Sekonyong-konyong terdengarlah suara gemerisik dibawah gundukan. Sin Houw lompat bangun dan menoleh ke arah suara itu, sesosok bayangan muncul di antara gerombol bunga, lalu terdengar ia mendengus menggerendeng:
"Hm! Di malam buta kalian mengadakan pertemuan." Bayangan itu bertubuh jangkung kurus, siapa lagi, kalau
bukan Kun Jie?
Wajahnya muram, ia berdiri sambil bertolak pinggang. Terang sekali, ia dalam keadaan marah.
Giok Cu terkejut, Tetapi begitu mengenali Kun Jie, segera ia menegur dengan kata-kata pedas:
"Kau sendiri keluyuran sampai di sini, Kenapa?"
"Kau jawablah pertanyaanmu sendiri !" sahut Kun Jie.
"Aku sedang bergadang menikmati bulan purnama dengan saudara Sin Houw, apa salahnya?" jawab Giok Cu cepat, "Dia berada disini karena aku yang undang, sebaliknya kau? siapa yang mengundangmu? Coba bilang, bukankah siapa saja mengetahui, kalian kularang memasuki wilayah ini? Di dunia ini, kecuali ibu, siapapun tak diperkenankan memasuki pertamananku. Cu suciok sendiri yang menetapkan undang- undangnya, mengapa sekarang kau berani melanggar?"
Kun Jie mendengus. sambil menuding Sin Houw, ia berkata: "Dan dia? Kenapa dia datang ke mari?"
"Bukankah telingamu tadi sudah mendengar? Dia datang kemari karena aku yang undang! Berani kau mencampuri urusanku?" bentak Giok Cu.
Tak enak hati Sin Houw menyaksikan pertengkaran mulut itu, lantaran ia sendiri. segera ia menengahi:
"Kukira sudah cukup kita bergadang menikmati sinar bulan. Biarlah aku mengundurkan diri saja."
"Tidak, jangan pulang dulu!" Giok Cu mencegah. "Kau duduk sajalah."
Sin Houw yang sudah berdiri, lalu kembali duduk ditempat semula. ia melihat muka Kun Jie semakin muram. Meskipun dia tak berani membantah kata-kata Giok Cu, namun jelas sekali hatinya mendongkol.
"Bunga-bunga yang kutanam di sini adalah hasil jerih- payahku sendiri, boleh aku cabuti atau aku jual atau aku pertontonkan kepada orang lain," ujar Giok Cu galak. "Siapapun tak dapat mengingkari hakku itu, sekarang, kularang kau menonton bunga-bungaku!"
"Tetapi, aku terlanjur melihat semua tanaman bungamu!" kata Kun Jie kekanak-kanakan. "Hanya saja, aku belum pernah menciumnya, Sekarang, biarlah aku menciumnya."
"Tidak boleh!" Giok Cu melarang menjerit.
Kali ini Kun Jie berani membangkang, ia menghampiri serumpun tanaman bunga itu lalu menciumnya.
Meluap amarah Giok Cu. Serta merta ia meloncat dari tempatnya. sekali melesat ia menyambar tangkai bunga itu, lalu dicabutnya, setelah dilemparkan ke tanah, ia mencabut yang lain demikianlah sampai tiga-ampat kali.
"Nah, kau sekarang puas, bukan? Benar-benar puas?" jerit Giok Cu.
"Kau menghina aku!" Giok Cu berteriak. "Kenapa kau cium bungaku? Biar kucabuti saja, Biar kau dimarahi susiok - bukankah kau tahu, siapa saja aku larang melihat bungaku? Kenapa kau malahan telah menciumnya? Biar kucabuti sajal"
Tiba-tiba ia lantas menangis sambil masih mencabuti tanaman bunganya. Hebat sepak-terjangnya, seperti tadi, ia mengamuk. sebentar kemudian taman bunganya telah menjadi rusak.
Thio Sin Houw tak dapat mencegah. ia seperti tergugu melihat watak Giok Cu. Tanaman bunganya, benar-benar diKun Jie tetap gusar, akan tetapi ia tidak berkata apa-apa, Melihat kira-kira ada empatpuluh batang bunga yang tercabut berantakan, ia memutar tubuh dan berjalan dengan penasaran. Tatkala hendak menuruni gundukan, ia menoleh dan berkata:
"Aku selalu bersikap baik terhadapmu kenapa kau perlakukan aku begini rupa? Coba kau pikir baik-baik, Kau mempunyai budi pekerti atau tidak?"
Giok Cu masih menangis, jawabnya dengan ketus:
"Siapa yang menghendaki kau bersikap baik kepadaku? Jika kau tidak senang melihatku, silahkan kau mengadu kepada paman. Biarkan aku diusir dari sini! Malam ini aku akan tetap berada disini bersama saudara Sin Houw, nah, adukanlah hal ini kepada paman. sama sekali aku tidak takut."
Kun Jie menghela napas. ia menundukkan kepala. Hatinya pedih bukan main. Dengan berdiam diri, ia menuruni gundukan.
Setelah bayangan Kun Jie hilang dari pengamatan, Giok Cu kembali memasuki paseban dan duduk disamping Sin Houw. Kedua pipinya basah dengan air mata.
"Mengapa sikapmu begitu keras kepada kakakmu sendiri?" tanya Sin Houw.
"Dia bukan kakak kandungku," sahut Giok Cu diantara isak tangisnya, "Dia anak pamanku yang menguasai rumah kakek, dia kakak misanku. Akh, andaikata aku mempunyai ayah, pastilah aku tidak akan tinggal di rumah ini. Dengan mempunyai rumah sendiri, tak akan aku dihina orang."
Berkata sampai disitu, tangisnya kian menjadi-jadi, Sin Houw tetap belum mengerti perangai Giok Cu yang dianggapnya aneh, jalan pikirannya sukar dimengerti. Maka terpikir oleh Sin Houw:
"Rumah ini adalah rumah kakeknya, kini dikuasai oleh pamannya. Bukankah tetap satu keluarga? Mengapa dia merasa dirinya dihina keluarga pamannya?" Berpikir demikian, Sin Houw lalu berkata :
"Kulihat dia bersikap baik kepadamu, justru kau yang terlalu galak terhadapnya."
Giok Cu mengangkat kepalanya, dan tiba-tiba ia tertawa, Sahutnya:
"Sekiranya aku tidak bersikap galak kepadanya, pastilah dia bakal memperlakukan aku yang bukan-bukan."
Jawaban Giok Cu terasa aneh bagi Sin Houw, ia bahkan berkesimpulan Giok Cu bukan manusia lumrah, pemuda itu bisa menangis menggerung-gerung dan tertawa riang secara mendadak. inilah tanda-tanda seorang manusia berbahaya! Walaupun demikian, karena Giok Cu seorang yatim seperti dirinya, hatinya bersimpati juga.
"Ayahku juga binasa karena aniaya orang seperti ayahmu." kata Sin Houw, menghibur, "Waktu itu, aku baru berumur tujuh atau delapan tahun, ibuku juga binasa pada hari yang sama."
"Apakah kau sudah menuntut balas...?" tanya Giok Cu. "Sampai hari ini, aku belum memperoleh kesempatan
untuk "
"Kalau begitu, catatlah namaku didalam hatimu! Bila kau hendak menuntut balas, dengan sepenuh hati aku hendak membantumu" Giok Cu memutus perkataan Sin Houw dengan suara prihatin. "Tak perduli musuhmu sangat lihay ilmu kepandaiannya, aku akan membantumu." Mendengar ucapan Giok Cu, Thio Sin Houw geli bercampur haru, Tadinya ia hendak menghibur dan memberitahukan betapa sikapnya terhadap orang-orang yang telah membunuh ayah dan ibunya. Bahwasanya walaupun hati menyimpan dendam sedalam lautan, tak boleh mengumbar adat seenaknya sendiri. Tetapi sekarang, dia justru dihibur oleh Giok Cu, Tak terasa terucaplah kata-katanya kepada teman barunya itu:
"Saudara Giok Cu, aku sangat berterima kasih terhadapmu!"
Giok Cu memegang pergelangan tangan Sin Houw, dan Sin Houw membalas pegangannya, Giok Cu membiarkan dan berkata:
"Dalam hal ilmu silat, aku kalah beberapa puluh kali lipat dari padamu, Akan tetapi mengenai sikap hidup didalam pergaulan, rupanya kau belum berpengalaman banyak. Dikemudian hari aku perlu menyumbangkan pikiranku."
"Akh, kau baik sekali kepadaku,." kata Sin Houw terharu, "Selama hidupku - belum pernah aku mempunyai seorang teman seusiamu."
"Benarkah begitu? Tetapi tabiatku sangat buruk." Giok Cu mengakui dengan menundukkan kepalanya, "Yang aku khawatirkan, janqan-jangan dikemudian hari aku akan berbuat kesalahan terhadapmu."
"Aku telah mengenal tabiatmu sejak pertemuan kita yang pertamar" sahut Sin Houw, "Umpama kau melakukan kesalahan terhadapku, tidak akan aku masukkan ke dalam hatiku benar-benar."
Mendengar ucapan Sin Houw, Giok Cu merasa bersyukur bukan main sampai ia menghela napas lega, Tiba-tiba, di luar dugaan ia berkata:
"Tetapi justru demikian, hatiku jadi merasa tak tenang." "Mengapa?" Giok Cu tak segera memberikan jawaban, ia semakin menundukkan kepalanya.
Melihat sikap sahabatnya itu, Sin Houw semakin heran. Mengapa sehabatnya kali ini begitu lembut? Kebengisan serta kegalakannya lenyap sama sekali dari perbendaharaan hatinya.
"Saudara Giok Cu!" kata Sin Houw dengan suara bergetar. "Sebenarnya ingin aku mengajakmu berbicara. Tetapi entah kau sudi mendengarkan atau tidak?"
Giok Cu menegakkan pandangnya lagi. Menjawab meyakinkan:
"Di dalam dunia ini, hanya tiga orang saja yang kudengar perkataannya, Yang pertama, ibuku. Kedua, pamanku, Cu susiok. Dan yang ketiga adalah kau!"
Hati Sin Houw semakin tergerak. Berkata:
"Terima kasih. Kau ternyata menghargai diriku terlalu tinggi. sebenarnya, perkataan siapapun asal memang pantas, harus kau dengar."
"Tidak!" Giok Cu menolak dengan tegas. "Dalam dunia ini, tiada suatu kewajiban yang mengatakan begitu. seorang yang berbicara terlalu pantas, biasanya banyak ulatnya. sebab kata- kata saja belum tentu membawa sikap dirinya. sebaliknya, seseorang yang memperlakukan diriku sangat baik dan akupun berkenan padanya, meskipun kadangkala kata- katanya tidak pantas, akan tetap kudengarkan perkataannya, sebaliknya, apabila hatiku jemu terhadapnya, walaupun kata- katanya pantas didengar, aku akan bersikap tuli."
Thio Sin Houw tertawa geli, Katanya:
"Cara berpikirmu masih kekanak-kanakan, Sebenarnya, berapa umurmu kini?"
"Delapan atau sembilan belas tahun. Dan kau?" "Mungkin lebih tua tiga atau empat tahun." Giok Cu menundukkan kepalanya lagi. wajahnya mendadak bersemu merah lalu katanya dengan suara perlahan:
"Sejak masih kanak-kanak, aku hidup sebatangkara dengan ibu, Tidak mempunyai kakak maupun adik, Bagaimana kalau kita mengangkat saudara? Maukah kau menerimaku sebagai "
Thio Sin Houw seorang pemuda yang cermat, lantaran digodok oleh pengalamannya yang pahit sejak masih kanak- kanak, itulah sebabnya, tak dapat ia menerima Giok Cu dengan segera. Ia belum kenal Giok Cu sedalam da1amnya. juga ibunya maupun keluarganya, Tercetaklah dalam ingatannya siang tadi, bahwa keluar Giok Cu merupakan musuh para penduduk setempat, oleh pertimbangan itu, ia jadi ragu-ragu.
Giok Cu ternyata sangat perasa, ia seperti dapat meraba keadaan hati Sin Houw, terus saja ia berputar tubuh dan lari menuruni tanjakan, Keruan saja Sin Houw jadi terkejut, dan cepat-cepat ia memburu. Dalam sekejap saja bayangan Giok Cu terlihat sudah mulai mendaki bukit yang berada disebelah depan.
"Dia mudah tersinggung, lantaran tabiatnya keras dan aneh. Akh, tidak boleh aku mengecewakan hatinya, Dia bisa bersakit hati, dan kalau sampai hatinya merasa kulukai, jangan-jangan. " pikir Sin Houw selagi mengejar. ia khawatir,
Giok Cu akan nekat bunuh diri terjun ke dalam jurang. Menilik adatnya yang aneh dan sukar diduga, bukan mustahil ia bisa berbuat begitu,
Oleh pikirannya itu, segera Sin Houw menggunakan ilmu sakti Bok-siang tojin, Dalam beberapa rintasan saja, ia sudah dapat mendahului. Kemudian berdiri menghadang.
Benar saja dugaannya, Giok Cu berusaha mengelakkan hadangannya dengan nyelonong ke sebelah kiri, Cepat Sin Houw melompat menghadang kembali sambil berseru:
"Giok Cu Hiantee, apakah kau marah kepadaku?" Mendengar Sin Houw memanggil adik kepadanya, Giok Cu girang bukan kepalang, serentak ia berhenti, kemudian duduk bersimpuh dan perlahan-lahan ia menegas dengan hati-hati:
"Benarkah kau sudi memanggil adik kepadaku? Bukankah diriku tidak cukup berharga untuk kau panggil demikian?"
"Sejak kapan aku tidak menghargai dirimu?" sahut Sin Houw terharu, "Mari! Di tempat ini kita saling mengangkat saudara, Kau mau, bukan?"
Terus saja Giok Cu bangkit dan berdiri tegak, kemudian masing masing mengiris kulit pergelangan tangannya sampai keluar darah, setelah itu, mereka memanunggalkan darah mereka masing masing dengan memipitkan pergelangan tangan.
Dengan disaksikan oleh langit dan bumi, mereka bersumpah saling mengangkat saudara. Lalu Sin Houw memanggil adik kepada Giok Cu dan Giok Cu memanggil kakak kepada Sin Houw, perlahan ia mengucapkan perkataannya, lantaran hatinya terharu.
Lega hati sin Houw setelah selesai upacara itu, kemudian ia mengajak pulang karena hari sudah larut malam. Giok Cu tidak membantah, dan mereka saling berendeng berjalan pulang, sampai didepan pintu kamar, Sin Houw berpesan:
"Jangan sampai ibu terbangun. Kita tidur disini saja!" Mendengar perkataan Sin Houw, wajah Giok Cu merah
dengan mendadak. ia tertawa manis seraya menolak tangan Sin Houw, Katanya:
"Kau... kau... sampai besok pagi ! " dan setelah itu, ia lari keluar.
"Aneh!" pikir Sin Houw yang merasa tidak mengerti.
(Oo-dwkz-oO)
SEPERTI BIASANYA, pada keesokan harinya Sin Houw bangun pada pagi buta, ia bersemedi dulu agar memperoleh kesegaran dalam dirinya. Satu jam kemudian, pelayan perempuan yang semalam datang mengantarkan air teh hangat.
Cepat-cepat Sin Houw melompat turun dari ranjangnya, dan mengucapkan terima kasih. setelah mencuci muka, ia makan pagi yang juga telah tersedia dihadapannya, Dan selagi makan, Giok Cu muncul diambang pintu memasuki kamarnya.
"Marilah kita makan pagi bersama " Sin Houw menawari.
Giok Cu tertawa, Sahutnya:
"Terima kasih. Apakah Sin-ko akan melihat suatu keramaian?"
"Keramaian apakah itu?" tanya Sin Houw heran.
"Seorang gadis datang pada pagi hari buta tadi, untuk menagih emas, Mari kita lihat!"
Sebenarnya Sin Houw ingin minta keterangan tentang kata-kata "menagih" itu, Tetapi karena Giok Cu sudah mengajaknya, ia lantas mangut dan berkata:
"Baik!"
Berdua mereka memasuki sebuah gedung yang mempunyai ruangan olah raga, Di ruangan itu, mereka melihat seorang gadis sedang bertempur melawan Kun Jie, Dan dua orang lain, nampak duduk di atas kursi diluar gelanggang, Yang seorang bersenjata sebatang tongkat, dan yang lainnya bertangan kosong.
Giok Cu mendekati orang yang bersenjata tongkat, ia membisik. Orang itu menoleh kepada Sin Houw, ternyata dia seorang yang sudah berusia lima puluhan tahun lebih. Rambutnya, kumisnya dan jenggotnya sudah banyak ubannya, ia menatap Sin Houw beberapa saat lamanya dengan penuh perhatian, kemudian memanggut-manggut.
Thio Sin Houw hanya membalas memandang beberapa detik, kemudian mengalihkan perhatiannya kepada gadis yang sedang bertempur melawan Thio Kun Jie, ia seorang gadis berumur sembilan belas tahunan, wajahnya cantik sekali. Gerak-geriknya gesit, pakaiannya berwarna merah.
Diam-diam Sin Houw mencoba menduga duga siapakah gadis itu, setelah pertempuran berlangsung sepuluh jurus.
Gadis berpakaian merah itu gesit gerakannya dan cantik orangnya, hati Sin Houw tercekat, ia melihat sua tu gerakan pedang yang sangat dikenalnya. ujung pedang itu menyambar pundak Kun Jie, lalu dengan tiba-tiba berbelok sasaran menikam leher, inilah gerakan salah satu jurus ajaran gurunya, Bok Jin Ceng!
Mereka berdua memang bertempur dengan menggunakan senjata, Gadis itu memegang sebatang pedang, dan Kun Jie menggunakan sebatang golok. Masing-masing nampak mahir sekali menggunakan senjata andalannya. Tadi gadis itu menyambar pundak, Kun Jie segera menangkis dengan mengadu tenaga.
Kena tangkisan Kun Jie, pedang gadis itu terpental. justru pada saat itu, mendadak pedangnya menikam leher. Kun Jie kaget sampai melesat mundur tiga langkah, namun gadis itu tak sudi memberi waktu bernapas.
Gesit sekali, ia melesat, sebelah tangan dan kedua kakinya bekerja saling menyusul. Menyaksikan hal ini, Thio Sin Houw ber-bimbang hati, jurus itu jelas bukan merupakan ajaran gurunya, Maka pikirnya didalam hati:
"Bagaimanapun juga, dia pasti sudah pernah menerima jurus-jurus ajaran suhu. Setidak-tidaknya, termasuk golongan suhu, Jangan-jangan dia adalah murid salah seorang saudara seperguruanku. Sekiranya dia tidak memiliki ilmu pedang itu, takkan mungkin ia bisa membuat Kun Jie benar-benar repot,"
Gerak-gerik gadis itu memang cepat dan gesit, pedangnya berkelebatan. Namun dibandingkan dengan kepandaian Thio Kun Jie, ia masih kalah ulet, Tak perduli pedangnya garang bagaikan jari maut, namun dia bukan tanding Kun Jie.
Sin Houw melihat, dalam beberapa gebrakan lagi, gadis itu akan segera terdesak. Dan penglihatannya ternyata tepat. Beberapa jurus kemudian, Kun Jie yang sudah tenang kembali, mulai melancarkan serangan-serangan yang berbahaya. Dan gadis itu mundur selangkah demi selangkah dengan berputaran.
"Hemm!" dengus Giok Cu. "Dengan berbekal kepandaian begitu, dia sudah berani main labrak disini!" Giok Cu tertawa tawar, "Dia bukan tanding kakak misanku, bagaimana menurut pendapatmu ?"
Thio Sin Houw belum menjawab atau ia melihat berkelebatnya babatan golok Kun Jie yang berbahaya sekali. waktu itu, gerakan lawannya mulai kendor, itulah kesempatan sebaik-baiknya bagi Kun Jie untuk memperkembangkan ilmu goloknya. Setelah merangsak beberapa kali, goloknya bergerak melintang. Dan gadis itu terancam pinggang serta lengannya sekaligus!
Hati Thio Sin Houw tercekat, Melihat suatu kegentingan, tanpa berpikir panjang lagi ia melompat memasuki gelanggang pertempuran. Kedua tangannya menyekat garis tengah. Itulah berbahaya sekali, karena kedua orang itu sedang mengayunkan senjata, Giok Cu yang menyaksikan hal itu, memekik kaget.
Dan kedua orang tua yang berada diluar gelanggang meloncat bangun, tetapi baik Giok Cu maupun kedua orang tua itu tak sempat lagi mencegah perbuatan Sin Houw.
Thio Sin Houw sudah barang tentu menyadari akan ancaman bahaya itu, Tetapi pada detik yang menentukan tangan kanannya menolak lengan Kun Jie dengan perlahan, dan tangan kirinya menangkap pergelangan tangan si gadis dengan perlahan pula. Berbareng dengan gerakannya itu, ia mengendapkan diri, Dengan demikian, terbebaslah dirinya dari ancaman maut.
Gerakan Thio Sin Houw nampaknya sederhana saja, hanya akibatnya diluar dugaan siapapun. Tatkala mengendapkan diri, ia menggempur tekanan tenaga mereka dengan ilmu saktinya yang lunak.
Begitu terpotong, baik pedang maupun golok, gagal mencapai sasaran. Dalam keadaan demikian, Thio Sin Houw bisa leluasa merampas senjata mereka. Namun ia tak berbuat begitu, karena khawatir akan menyinggung kehormatan diri Kun Jie, sebaliknya karena gerakan ilmu saktinya utuh, kuda- kuda mereka berdua kena digempur sampai mundur sempoyongan dua-tiga langkah. Keruan saja mereka kaget sampai memekik tertahan.
Setelah bisa memperbaiki diri, mereka menjadi gusar dengan alasannya masing-masing.
Terlebih hati Thio Kun Jie yang memang sudah dengki terhadap Sin Houw. Didepan adik misannya, harga dirinya runtuh. ia malu sekali sampai tak dapat memejamkan mata satu malam suntuk, sekarangpun dirinya diperlakukan sangat ringan dihadapan adik misannya, malahan kedua orang tua yang berada di luar gelanggang pula. Tak mengherankan hatinya menjadi panas seperti dibakar.
Sebaliknya gadis itu gusar, lantaran mengira Sin Houw membantu Kun Jie, Menurut kata hati, ingin ia menggerakkan pedangnya, Tetapi segera ia menyadari, bahwa kepandaian pemuda itu sangat tinggi. Maka dengan terpaksa ia mengendalikan rangsangan hatinya, kemudian mundur dua langkah dan hendak mengangkat kaki.
"Kouwnio, tunggu!" seru Sin Houw, "Aku ingin bicara denganmu!"
"Tak dapat aku melawanmu!" sahut gadis itu diantara rasa marahnya, "Tetapi seseorang berkepandaian beberapa kali lipat tingginya dariku, akan datang mengambil emasnya kembali. Mau berbicara apa lagi?"
Thio Sin Houw mendekati, memberi hormat dan berkata lagi:
"Jangan kau menuruti kata hati saja, bersabarlah sedikit, sebenarnya siapakah namamu, dan dari mana asalmu? Bolehkah aku "
"Tak tahu malu!" gadis itu ber-sungut dan meludah dilantai, lalu sekali loncat ia sudah keluar pintu,
Thio Sin Houw segera mengejarnya. Akan tetapi, ia membiarkan gadis itu mencapai serambi depan dulu, Kemudian, dengan sekali loncat ia melesat bagaikan terbang. Tahu-tahu ia sudah menghadang didepan gadis itu, katanya setengah membisik:
"Sst! jangan pergi dulu, Aku akan membantumu "
Gadis itu tercengang sampai menghentikan langkahnya, sambil menatap wajah Sin Houw, ia menegas:
"Siapakah kau?" "Aku Sin Houw!"
Gadis itu mengerutkan dahinya, ia menatap wajah Sin
Houw kian tajam, Menguji: "Kenalkah dengan Nie susiok?"
Mendengar pertanyaan itu, Sin Houw menggigil. siapa lagi
yang disebut Nie susiok, kalau bukan si paman bisu? Terus saja ia memperkenalkan nama lengkapnya:
"Aku Thio Sin Houw, bukankah kau Cie Lan?"
Mendadak saja, wajah gadis itu berseri-seri, oleh rasa girang, ia lupa diri, Terus saja disambarnya tangan Sin Houw, dan ditariknya mendekati serunya:
"Benar, aku Ci Lan! Dan kau ? Benar-benarkah kau sin
Houw koko?" tetapi setelah mengucap demikian, justru ia tersadar, Dengan wajah merah, ia melepaskan pegangannya.
Tepat pada saat itu, terdengar Thio Kun Jie berkata:
"Akh, kukira siapa kau saudara Sin Houw, Kiranya kau adalah mata-mata dari Thio Su Seng yang merembes kemari!"
Thio Sin Houw tercengang. ia me mang mengetahui nama Thio Su Seng sebagai pahlawan pejuang, dan gurunya bahkan merupakan pembantu utama dari pahlawan pejuang itu. Tetapi kalau dia kini datang ke rumah keluarga Thio sebagai mata-mata dari pejuang itu, sama sekali tidak benar, Maka berkatalah ia memberikan keterangan:
"Aku memang mengagumi pahlawan pejuang bangsa itu, dan aku bahkan kenal dengan panglima Thio Hian Cong tetapi tidak benar apabila aku dikatakan sebagai mata-mata dari mereka. Mengapa kau bisa menuduh demikian? Apakah karena aku kenal gadis ini? Dialah sahabatku sejak kami masih kanak-kanak. sepuluh tahun lebih kami berdua tidak pernah bertemu pandang. sekarang bolehkah aku minta keterangan kepadamu, apa sebabnya kau bentrok dengan sahabatku ini? Bagaimana pendapatmu mana-kala aku memberanikan diri, untuk mendamaikan perselisihan kalian berdua?"
"Apabila emas yang kuminta bisa dikembalikan, barulah persoalan selesai!" kata Cie Lan.
"Hemm! Begitu gampang?" dengus Kun Jie.
"Saudara Kun Jie, mari kuperkenalkan ..." Sin Houw mencoba meredakan ketegangan. "Dia bernama Cie Lan, seperti kataku tadi, sejak kanak-kanak kami berdua pernah hidup dibawah satu atap, sampai pada hari ini, lebih dari sepuluh tahun lamanya kami tak pernah bertemu, Mari, aku perkenalkan "
Kun Jie tetap bersikap dingin. ia mengawasi Cie Lan dengan pandang tegang. Melihat hal itu, hati Sin Houw menjadi tak enak, Cepat-cepat ia mengalihkan pembicaraan. Katanya kepada Cie Lan:
"Bagaimana kau segera mengenali diriku?" "Tanda bekas luka didahimu, sebelah kanan!"
"Tanda bekas luka?" Thio Sin Houw meraba dahinya dengan tercengang.
"Bagaimana aku bisa melupakan kejadian dulu itu, tatkala kau dilukai, penculik yang mencoba melarikan aku, seumpama kau tidak berusaha menolong diriku dengan mati-matian, entahlah bagaimana akibatnya. Apakah peristiwa itu tak pernah terkenang lagi olehmu?"
Merah wajah muka Sin Houw, sambil menurunkan tangan dari dahinya, ia menyahut:
"Tak mungkin kulupakan. Bukankah waktu itu kita sedang bermain-main?"
Giok Cu yang selama itu mendengarkan pembicaraan mereka, tiba-tiba ikut bicara:
"Kalau masih hendak berbicara berkepanjangan lagi, masuklah ke dalam !"
Tetapi Sin Houw tidak menghiraukan, gelisah ia minta keterangan kepada Cie Lan:
"Sebenarnya, bagaimana asal mulanya, kau sampai bentrok dengan saudara Kun Jie?"
"Aku dan ciu suheng kena pegat." Cie Lan memberikan keterangan.
"Ciu suheng? siapakah dia?" tanya Sin Houw.
"Dia adalah keponakan luar dari Siok-hu Thio Hian Cong." kata Cie Lan menerangkan. "Kami berdua sedang mengantarkan uang mas milik Thio Su Seng untuk propinsi Ciat-kang. Dan orang busuk itu tiba-tiba merampasnya!" dan Cie Lan menunjuk Giok Cu.
Sekarang, barulah jelas bagi Sin Houw bahwa uang emas rampasan Giok Cu sesungguhnya milik laskar pejuang yang dipimpin oleh Thio Su Seng, Dan setelah ia mengetahui uang perbekalan itu kena dirampas, sudah seharusnya ia tidak akan tinggal diam, jangan lagi terhadap pahlawan pejuang bangsa itu, seumpama uang emas itu milik CieLan atau ibunya, dalam keadaan demikian ia akan berpihak padanya. sekalipun terhadap Giok Cu.
Lagipula, uang emas itu pasti sangat penting artinya untuk perbekalan perjuangan bangsa. Karena itu sudah seharuanyalah kalau ia membantu-nya!
Setelah memperoleh keputusan demikian, ia berkata kepada Giok Cu:
"Hiantee! Maukah kau mengembalikan uang emas itu kepadanya?"
"Hmm!" Giok Cu mendengus. "Menghadaplah sendiri kepada kedua pamanku itu. Ajaklah beliau berbicara!"
Mendengar syarat itu, Thio Sin Houw segera menghampiri. Karena dia telah menjadi saudara angkat Giok Cu dan ternyata kedua orang tua itu adalah pamannya, maka tiada jeleknya apabila dia berlutut untuk memberi hormat kepada mereka, Demikian, setelah berhadapan maka Sin Houw bergegas hendak berlutut.
Orang tua yang memegang tongkat cepat-cepat berkata: "Hey! Tak berani aku menerima penghormatanniu. Anak
muda, kau bangunlah!"
Dimulut dia berbicara demikian manis, tetapi setelah ia menyandarkan tongkatnya, dengan tangannya ia memegang bahu Sin Houw, Kemudian diangkatnya sambil mengerahkan himpunan tenaga saktinya.
Thio Sin Houw terperanjat tatkala kena angkat orang tua itu, Apabila membiarkan diri, ia akan terlempar ke udara. Maka iapun segera mengerahkan tenaga dalamnya agar badannya jadi seberat gunung. Dengan menggunakan ilmu sakti itu, ia berhasil tetap berlutut dengan tubuh tak bergeming.
Didalam hati, orang tua itu menjadi sangat terkejut, Pikirnya:
"Hebat anak ini! sekian puluh tahun aku melatih menghimpun tenaga sakti , namun masih tak sanggup aku mengangkat tubuhnya," ia lantas tertawa berkakakan sambil berkata:
"Selamat! selamat! pantas keponakanku memujimu sebagai seorang pemuda yang memiliki ilmu tinggi. Benar- benar tak tercela, dan aku telah membuktikannya sendiri!" Giok Cu yang berada di belakang Sin Houw maju ke
samping dan berkata memperkenalkan
"lnilah pamanku yang ketiga, Sam-susiok. Dan ini adalah pamanku yang ke lima, Go-susiok "
Baik sang paman yang ketiga maupun yang ke lima, membungkam mulut. Mereka seperti tak senang diperkenalkan kepada Thio Sin Houw.
Pemuda itu menjadi perasa, diam-diam ia merasa mendongkol. Tetapi ia seorang pemuda yang pandai membawa diri, segera ia menoleh kepada Giok Cu dan berkata dengan suara tegas:
"Hiantee, aku minta dengan hormat agar emas itu segera kau kembalikan ke pada adikku!"
"Adik! Adik!" Giok Cu jadi iri-hati, "selalu saja kau sebut dia adik, Begitu besar perhatianmu kepadanya mengapa aku tak memperoleh perhatianmu yang layak?"
"Giok Cu Hiantee! Kita semua adalah golongan ksatrya, kalau tak mau di sebut sebagai golongan pendekar. Jangan kau bergurau keterlaluan!" kata Sin Houw tak memperdulikan ocehan Giok Cu, "Emas itu kau rampas, karena kau tidak mengetahui siapa pemiliknya, Tak apalah! siapapun bisa berbuat salah.
Dan hidup ini cukup lapang untuk me maafkan kesalahanmu itu. Tetapi setelah mengetahui bahwa uang emas itu adalah milik laskar perjuangan, sudah seharusnyalah kau kembalikan dengan segera, Malahan kita wajib mohon maaf yang sebesar-besarnya,"
Thio Ceng Sam yang menjadi Sam-susiok dari Giok Cu dan Thio Ceng Go sang paman kelima, jadi tak enak hati.
Tadinya mereka mengira, bahwa uang emas itu milik seorang saudagar besar yang sedang sial, Tak tahunya uang emas itu milik laskar perjuangan yang dipimpin oleh Thio Su Seng, sekarang setelah mereka mengetahui, seumpama gadis itu dapat diusir pergi, Thio Su Seng pasti akan mengirimkan laskarnya, siapa yang mampu menghadapi laskar yang besar jumlahnya? inilah ancaman yang sangat membahayakan kesejahteraan keluarga Co-liang pay!
Memperoleh pertimbangan demikian, kembali Thio Ceng sam tertawa, lalu ia berkata kepada Giok Cu:
"Keponakanku, demi persahabatanmu dengan dia, kau kembalikanlah uang emas itu!"
Girang hati Thio Sin Houw mendengar perintah Thio Ceng Sam. inilah suatu keputusan yang bijaksana, Diluar dugaan, Giok Cu menyahut galak:
"Tidak, paman! Tak dapat aku kembalikan uang emas itu" Thio Sin Houw tercengang. Tiba-tiba suatu ingatan
menusuk benaknya, maka segera ia berkata:
"Oh, ya, Yang sebagian memang berada padaku, Biarlah aku mengembalikan dahulu kepadanya, bagaimana?"
"Jika yang sebagian kau yang menghendaki, aku akan segera menyerahkan kepadamu," kata Giok Cu. "Selamanya tak pernah aku menganggap sebungkus emas sebagai barang mustika dunia. Te- tapi kalau dia yang menghendaki aku mengembalikan uang emas yang telah aku rampas, hmm
tak sudi aku menyerahkannya!" berkata demikian Giok Cu menuding Cie Lan dengan mata berapi-api.
Cie Lan menjadi gusar, ia maju selangkah dan berkata bengis:
"Kau mau mengembalikan atau tidak ? Atau kau ada syarat-syarat tertentu? sebutkan!"
Giok Cu tak menghiraukan reaksi Cie Lan, masih saja ia menatap Thio Sin Houw, Menegas kepada pemuda itu:
"Sebenarnya kau berpihak dimana? Dia atau aku?" Memperoleh pertanyaan demikian, Thio Sin Houw jadi bimbang, Hati-hati ia memberikan jawaban:
"Sebenarnya aku tidak memihak siapapun, hanya saja aku patuh kepada guruku."
"Gurumu? siapakah gurumu itu?"
"Guruku salah seorang panglima penting dalam laskar Thio Su Seng."
"Hemm!" dengus Giok Cu mendongkol. "Pulang-balik, kau hanya membantu dia. Baiklah, Emas itu memang berada di sini. Tetapi kau sendiri tahu, betapa sulitnya aku mempertahankan emas itu. Malahan kalau tidak bernasib baik dan berakal jitu, pastilah jiwaku sudah melayang ditengah perjalanan. Karena aku memperoleh emas itu dengan akal dan keringat, maka kaupun harus merebutnya kembali dengan akal dan keringat pula, Aku beri waktu tiga hari, kau rebutlah emas itu. Tetapi bila dalam waktu tiga hari kau tak berhasil merebutnya, maka akupun tak akan bersegan-segan lagi terhadapmu!"
Thio Sin Houw menyambar tangan Giok Cu, dan diajaknya menyendiri. Katanya:
"Adikku, semalam kau berjanji mau mematuhi dan taat kepadaku, tetapi belum lagi setengah hari kata-katamu sudah berubah. Mengapa?"
"Jika kau perlakukan diriku dengan baik sekali, pastilah aku akan patuh pada setiap patah perkataanmu. Bukankah aku berkata begitu?" sahut Giok Cu cepat.
"Apakah aku bersikap tak baik kepadamu?" Sin Houw tak mengerti. "Benarkah aku tak dapat mengambil uang emas itu kembali?"
Kedua mata Giok Cu menjadi merah basah. Katanya: "Baru semalam kau mengangkat diriku sebagai
saudaramu, Tetapi begitu bertemu dengan sahabat lama, kau
sudah tidak menaruh perhatian lagi kepadaku. seumpama aku hendak mengangkangi emas Thio Su Seng, apa yang aku andalkan? Paling-paling aku pasti mati, Ya, memang sebenarnya aku harus tahu diri, bahwa didunia ini tiada seorangpun yang menaruh belas kasih kepadaku.."
Hati Sin Houw tergetar. Tetapi jawaban Giok Cu tidak juga membuatnya puas, maka ia berkata untuk memberikan pengertian:
"Kau adakah adik angkatku, dan dia adalah puteri sahabatku, Baik dia maupun kau, kupandang sebagai bagian dari hidupku sendiri. Tiada sama sekali aku membeda- bedakan, mengapa kau bersikap kaku begini?"
"Sudahlah, jangan bicara berkepanjangan!" bentak Giok Cu. "Kalau mempunyai akal, kau ambil saja emas itu dalam waktu tiga hari..." dan setalah berkata demikian, ia lari kedalam.
Thio Sin Houw menarik napas. Hatinya masgul luar biasa. Karena menumbuk suatu kegagalan, terpaksalah ia membawa Cie Lan keluar dari rumah keluarga Thio, dan menginap dirumah seorang keluarga petani. Di rumah ini, Sin Houw minta keterangan asal-mula terjadinya perampasan uang emas itu kepada Cie Lan, Dan Cie Lan memberi keterangan terlalu sederhana. ia seperti belum percaya penuh kepada Thio Sin Houw, Katanya, ia berdua Ciu suheng yang katanya menjadi keponakannya Thio Hian Cong pada suatu kali berpisah, dan pada saat itu enam kawalannya kena dirampas Giok Cu. Karena emas itu menjadi tanggung jawabnya, ia lantas menyusul ke rumah keluarga Cio-liang pay.
"Selanjutnya, kau sendiri menyaksikan bagaimana kesudahannya," Cie Lan menutup ceritanya.
Melihat Cie Lan berbimbang-bimbang terhadap dirinya, Sin Houw membatalkan maksudnya yang hendak mengetahui latar belakang persoalannya, ia segera mempersiapkan diri dalam usahanya, hendak merebut uang emas itu kembali dari tangan Giok Cu.
Pada malam harinya, sekitar jam dua Sin Houw mengajak Cie Lan untuk mengintai gerak-gerik pihak Cio-liang pay. Begitu melompat diatas genting, ia melihat gedung pertemuan terang-benderang oleh nyala api. Thio Ceng Sam dan Thio Ceng Go duduk berhadap-hadapan dengan Giok Cu dan Kun Jie mereka makan-minum diseling pembicaraan yang menggembirakan, seolah olah sedang berpesta.
Sin Houw mencoba menguping pembicaraan mereka. siapa tahu dengan tak sadar mereka menyinggung tentang uang emas yang disembunyikan. selagi demikian, ia mendengar Giok Cu berkata seperti kepada dirinya sendiri:
"Bungkusan emas memang ada disini - siapa saja yang merasa diri mempunyai kepandaian, boleh ambil." dan setelah berkata demikian, ia tertawa melalui dadanya.
Cie Lan menarik lengan Sin Houw, Bisiknya: "Rupanya dia sudah mengetahui kita berada disini."
Thio Sin Houw mengangguk. Meskipun demikian, pandang matanya tak beralih, ia melihat Giok Cu meletakkan dua buah bungkusan diatas meja, segera ia membukanya, dan terpantullah sinarnya yang bergemerlapan. itulah emas yang dipertaruhkan. Kemudian ia meletakkan pedangnya disampingnya. Kun Jie yang duduk disampingnya, meletakkan pula goloknya diatas meja, Kemudian mereka meneguk minumannya dan menikmati penganan yang disediakan.
"Mereka sengaja memperlihat emasnya, dengan penjagaan yang rapi dan kuat, Tiada jalan lain, kecuali mengadu kekerasan. perlukah aku berbuat begitu?" pikir Sin Houw didalam hati, ia menoleh kepada Cie Lan untuk memperoleh pertimbangan tetapi gadis itu hanya membungkam mulut saja.
Setengah jam lamanya Sin Houw dan Cie Lan menunggu, mereka yang berada didalam gedung tetap saja duduk dikursinya masing-masing, Akhirnya terpaksa Sin Houw mengalah. Dengan hati kesal ia mengajak Cie Lan pulang ke tempat pemondokannya. Malam itu mereka merasa gagal merampas emasnya kembali. Keesokan harinya sikap Cie Lan agak beda, ia tak menaruh sangsi lagi kepada Sin Houw, sekarang ia menceritakan tentang keadaan ibunya yang katanya dalam keadaan sehat dan seringkali membicarakannya.
Sin Houw lalu mengambil gelang emas kecil dari dalam sakunya, yang diperlihatkan kepada Cie Lan. Katanya:
"lnilah gelang emas pemberian ibu mu, tatkala aku hendak berangkat mendaki gunung Hoa-san. Dahulu, pergelangan tanganku tidak sebesar sekarang, Karena itu gelang emas pemberian ibumu hanya kusimpan didalam saku, Aku selalu membawanya ke mana saja aku pergi."
Cie Lan tertawa. ia memperhatikan lengan Sin Houw dan gelang emas itu, lalu katanya mengalihkan pembicaraan mereka:
"Sepuluh tahun lebih kita tidak pernah bertemu, akupun tak pernah mendengar beritamu, Sesungguhnya, selama itu apa saja yang telah kau kerjakan?"
"Setiap hari aku hanya berlatih dan mendalami ilmu ajaran suhu." jawab Sin Houw sederhana.
"Pantas saja ilmu kepandaianmu hebat sekali." Cie Lan memuji. "Sewaktu kemarin kau menolak tubuhku, kedudukanku gempur."
"Tetapi, dari mana kau memperoleh ilmu pedang itu?" Sin Houw minta keterangan . "Siapakah yang memberimu pelajaran ?"
Memperoleh pertanyaan itu, tiba-tiba kelopak mata Cie Lan basah, jawabnya:
"Ciu suheng yang mengajari, Bukankah dia termasuk salah seorang murid golongan Hoa-san?"
Hati Sin Houw tercekat melihat kelopak mata Cie Lan yang menjadi basah dengan tiba-tiba. Tanyanya menebas:
"Apakah dia terluka dalam perjalanan ini?" "Tak mungkin dia terluka "
"Kalau begitu, mengapa kau bersedih hati?"
"Aku dibiarkan berjalan seorang diri, dia berpisah dan meninggalkan aku tanpa pamit." Cie Lan menundukkan kepalanya.
Thio Sin Houw tak mau mendesak.
Ia lantas mengalihkan pembicaraan tentang kemungkinan nanti malam, dalam usaha merebut kembali uang emas, Dan apabila sudah memperoleh kata sepakat, mereka lalu bersemedi menghimpun tenaga dalam masing-masing.
Larut malam, mereka mengintai lagi dari atas genting gedung pertemuan, seperti kemarin malam, Meja itu tetap terjaga oleh empat orang, Hanya saja kedudukan Thio Ceng Go ditempati oleh lain orang, Pastilah mereka itu termasuk pula anggauta keluarga Cio-liang pay.
Menurut keterangan Giok Cu, semua pamannya berjumlah lima orang. Bila hanya dua orang memperlihatkan diri secara terang-terangan, tentunya yang tiga orang sedang bersembunyi di suatu tempat tertentu.
Thio Sin Houw seorang pemuda yang cermat, lantaran tergodok oleh pengalaman hidupnya sejak kanak-kanak. Memperoleh dugaan demikian, segera ia mengisiki Cie Lan:
"Waspadalah! Pasti ada beberapa orang yang bersembunyi disekitar tempat ini, Kita mau mengintai mereka, jangan-jangan justru kita yang mereka intai."
Cie Lan manggut. Sekonyong-konyong kedua alisnya berkerut, Tanpa minta pertimbangan, ia melompat turun. Gerakan itu membuat hati Sin Houw terkesiap, segera ia mengejar dengan maksud mengawal dari belakang.
Cie Lan ternyata mengarah ke belakang gedung. ia mencari dapur dan terus menyalakan api. sebelum Sin Houw sempat memberi pertimbangan, dapur sudah dibakarnya, sebentar saja api menjilat tinggi sampai keatap gedung, seketika itu juga, seluruh anggauta rumah tangga menjadi kacau-balau, Gugup mereka lari berserabutan mencari air dan merobohkan ranting-ranting pohon untuk memadamkan api, Dan pada saat itu, Cie Lan lari balik keatap gedung pertemuan.
Tahulah Sin Houw akan maksud gadis itu. ia hendak mengalihkan perhatian empat orang yang berada di dalam gedung pertemuan itu, Dan akal itu memang tepat sekali. Tatkala mereka berdua telah berada diatas atap gedung pertemuan kembali, keempat orang tadi tiada nampak lagi. Cie Lan girang, ia merasa dirinya cerdas dan akalnya berjalan dengan baik sekali. Terus saja ia berseru kepada Sin Houw:
"Mereka sedang sibuk memadamkan api, mari kita bekerja!" dan segera ia melompat turun melalui jendela,
Sin Houw mencontoh perbuatannya, tetapi ia berhenti bergelantungan di luar jendela, untuk menjaga kemungkinannya.
"lkut aku!" ajak Cie Lan.
Gadis itu tiba diatas lantai dan hendak segera menghampiri meja. Sin Houw terpaksa pula mengikuti. ia melihat bungkusan emas itu berada diatas meja tanpa penjaga. Dan dengan bernapsu Cie Lan maju selangkah. Tangannya menyambar. Mendadak saja Sin Houw merasakan suatu keanehan. Lantai yang di injaknya terasa lunak dan bergoyang, segera sadarlah dia, bahwa lantai itu merupakan lobang jebakan.
Cepat tangannya bergerak menjangkau tubuh Cie Lan, sambil melompat ke samping. Tetapi terlambat! sambaran tangannya gagal, pada detik itu juga, Cie Lan terjeblos kedalam lubang jebakan. Sin Houw menjejakkan kakinya pada lantai yang menjeblak kedalam, tangannya menyambar dan berhasil mencapai tiang yang berada di sebelah meja. Kemudian ia menurunkan kakinya pada dasar tancapan tiang itu, ia selamat, tetapi kaget dan cemas memikirkan nasib Cie Lan. Dengan jantung bertebaran keras ia berpaling kearah jendela, Dan seseorang yang merasa terancam bahaya, biasanya menjadi peka oleh rasa naluriahnya, Apalagi Sin Houw seorang pemuda yang mempunyai pembawaan cerdas luar biasa.
Tiba-tiba saja ia menaruh curiga terhadap jendela itu, menurut dugaannya, pada jendela itulah terletak pesawat penggerak lantai jebakan. Memperoleh dugaan demikian, terus saja ia melompat hendak menyelidiki.
Selagi badannya terapung diudara, angin tajam menyambar padanya. Tahulah dia, seseorang menyerang dari belakang punggungnya, Cepat ia menangkis, suatu bentrokan terjadi. Prak! Dan orang itu terdorong mundur, Namun dia ternyata gesit, Begitu roboh diatas lantai, dia meletik bangun.
Thio Sin Houw tak sudi kena dilibat oleh perkelahian ia melompat ke atas genting, Tetapi orang itupun menyusul dengan sebat pula. pemuda itu mendongkol juga, ia memutar pandang dan pada saat itu, bulu kuduknya menggeridik, sebab dengan tiba-tiba saja, ia telah kena kepung. Beberapa orang yang berperawakan tak rata memandang padanya dengan bengis.
Yang langsung berhadapan dengan dia, seorang laki-laki berperawakan pendek kecil setengah cebol. Disampingnya seorang laki-laki pula, berperawakan tinggi besar. Orang itu nampak perkasa sekali. Dua orang itu didampingi empat orang lagi yang bersenjata lengkap. Dan karena mereka berdiri membelakangi cerah bulan. Sin Houw tak dapat melihat wajahnya dengan jelas.
Sin Houw lantas memperhatikan orang yang menyusulnya, ternyata dia adalah Kun Jie, Dan begitu melihat Kun Jie, segera ia menyadari siapakah mereka. Jelas mereka adalah sisa tiga orang pamannya Kun Jie yang belum pernah dilihatnya.
Hanya ia belum mengetahui apakah mereka benar-benar hendak mencelakai dirinya. Memperoleh pikiran itu, ia bersikap waspada dan hati-hati.
Diantara mereka yang mengepung kecuali Kun Jie, ia mengenal tiga orang dengan segera. Yang pertama adalah Thio Ceng Sam, kemudian Thio Ceng Go dan yang ketiga Giok Cu, Tatkala ia bermaksud hendak menegurnya, tiba-tiba orang yang berperawakan tinggi besar tertawa terbahak- bahak. Hebat perbawanya, atap yang diinjaknya bergetar dan suara tertawanya nyaring sekali.
"Kami berlima tinggal di sebuah dusun yang sunyi!" katanya nyaring.
"Tak pernah kami duga, bahwa pada hari ini salah seorang bawahan Thio Su Seng sudi mengunjungi rumah kami."
Thio Sin Houw maju selangkah. ia memanggut hormat seraya menyahut:
"Perkenankan aku memperkenalkan diri terhadap susiok sekalian."
"Tidak usah. Bukankah kau bernama Thio Sin Houw?" orang itu menukas dengan galak.
Giok Cu yang berdiri di belakang mereka, maju menengahi, Katanya memperkenalkan paman-pamannya:
"inilah pamanku yang paling tua, Ceng It, Dan ini pamanku yang kedua, Ceng Jie, Dan ini yang keempat, Ceng Sie. Dan dia kakak misanku yang lain, Kun Cie, puteranya paman Ceng it "
Thio Sin Houw memanggut hormat, setiap kali Giok Cu menyebut nama mereka masing-masing. Didalam hati ia berpikir:
"Rupanya keluarga mereka menggunakan nama Ceng untuk golongan tertua, dan Kun untuk yang muda-muda. Entah apalagi untuk generasi berikutnya, dan entah apa pula maksud mereka,"
Diantara kelima bersaudara, Ceng Jie yang beradat berangasan.Dengan segera ia menegur: "Hey, anak muda! usiamu belum seberapa, tetapi sudah pandai membakar rumah. Bagus! sesungguhnya kepandaian apakah yang kau andalkan?"
"ltulah perbuatan temanku yang semberono." sahut Sin Houw dengan sopan. "Aku sangat menyesal atas terjadinya pembakaran itu. syukurlah, api tidak begitu besar. Biarlah esok pagi, akan kuperintahkan ia menghaturkan maaf kepada paman sekalian."
Ceng Jie melotot marah. Memang, api telah dapat dipadamkan, akan tetapi hatinya masih saja panas. Ceng Sie yang berperawakan tinggi jangkung dengan punggung agak melengkung, maju ke depan. Katanya menimbrung:
"Puluhan tahun kami tinggal disini, selama itu belum pernah kami terusik oleh pekerti siapapun. Mereka yang datang kemari, hanyalah untuk menghaturkan rasa hormat mereka. sebaliknya kau yang masih begini muda, berani membuat onar disini, sebenarnya siapakah gurumu?"
"Guruku berada dalam laskar Thio pekhu." sahut Sin Houw dengan tenang.
"Kedatanganku kemari semata-mata untuk memohon, agar paman sekalian sudi mengembalikan emasnya Thio Pekhu. Aku berjanji hendak membujuk guruku, agar beliau sudi berkirim surat kepada paman sekalian untuk menyatakan rasa terima kasih."
Thio Ceng Sie mendengus. sekian panjangnya pemuda mengoceh, akan tetapi nama gurunya tidak pernah disinggungnya, selagi hendak membuka mulut, kakaknya yang tertua, Ceng It, membentak nyaring kepada pemuda itu:
"Siapakah gurumu?"
Thio Sin Houw mendehem. Menyahut:
"Guruku jarang sekali berkelana atau memperkenalkan diri, Karena itu, tak berani aku menyebutkan nama beliau, lagi pula, bagi paman sekalian tiada artinya sama sekali." "Hemm!" Ceng Jie tak sabar lagi, Memang adatnya berangasan. lantas saja ia memutuskan:
"Jadi kau masih hendak sembunyikan nama gurumu? Apakah kau kira, kami tidak dapat mengenal gurumu? Kami mempunyai cara lain, kau berhati-hatilah!" Dan dengan wajah merah padam ia berseru kepada Kun Cie:
"Kun Cie! Coba kau bermain main sebentar dengan anak itu!"
Seorang pemuda yang tadi diperkenalkan sebagai puteranya Ceng It, dengan gesit masuk ke gelanggang, Terus saja tangannya bergerak menampar pipi, kemudian kakinya menyusul membuat suatu tendangan.
Thio Sin Houw mengelak, dan Kun Cie melepaskan tinju kirinya. Pikir Sin Houw didalam hati:
"Mereka berjumlah banyak. "Kalau mereka maju satu demi satu, aku bisa celaka karena lelah, Bila aku tidak melawannya dengan cepat, sulit untukku meloloskan diri."
Oleh pikirannya itu, ia menyambut tinju kiri Kun Cie dengan berhadap-hadapan, Tangan kanannya berkelebat menyambar tinju itu, lalu dilemparkan ke belakang sambil melompat kesamping.
Kun Cie tak berkesempatan lagi untuk membebaskan dirinya yang kena disambar. Belum lagi ia menancapkan kakinya, tubuhnya sudah tertarik ke depan, Tidak dikehendaki sendiri, ia menyelonong ke depan. Tatkala kakinya menginjak atap, genting yang diinjaknya pecah. Dan ia terjeblos ke bawah.
Syukurlah pada saat itu, Ceng sam masih berkesempatan menyambar dirinya.
Sekiranya tidak demikian, pastilah dia bakal terbanting kelantai, Mukanya merah padam oleh rasa malu, dengan penasaran ia menyerang lagi.
Thio Sin Houw sudah bersiaga, sama sekali ia tak bergeming tatkala lawannya menyerang dengan dahsyat. ia agaknya hendak mengadakan perlawanan dengan berhadap- hadapan, Tetapi mendadak saja, ia memutar tubuhnya berbareng menarik kaki kirinya. Dak! Dan Kun Cie roboh terjungkal.
Sin Houw ternyata tidak hanya mendupakkan kaki kirinya saja, iapun menggerakkan tangan kanannya selagi kaki kirinya ditarik, Dengan suara deras, tangan kanannya menyambar pantat Kun Cie, ia mencengkeram dan mengangkatnya oleh gerakannya itu, tak sampai Kun Cie mencium tanah. ia malahan dapat berdiri kembali dengan tak kurang suatu apa.
Bukan main rasa mendongkol Kun Cie, Akan tetapi tak dapat ia berkelahi lagi, ia harus tahu diri. Meskipun matanya masih melototi terpaksa ia mengundurkan diri.
"Hey! Anak ini benar-benar hebat!" seru Ceng Jie dengan hati gusar.
"Biarlah aku mencoba-coba mengadu kepandaian dengan murid seorang sakti."
Setelah berseru demikian, ia maju sambil menggerakkan kedua tangannya.
Tiba-tiba Giok Cu melompat ke samping orang tua itu, dan membisik:
"Paman! Dia telah mengangkat saudara denganku. janganlah paman melukainya .."
"Setan! Minggir!" bentak Ceng Jie dengan sengit.
Tetapi Giok Cu bahkan memegang tangannya. Katanya setengah merajuk:
"Paman tidak akan melukainya, bukan ?"
"Kau lihat saja bagaimana nanti!" sahut Ceng Jie sambil mengibaskan tangannya yang kena genggam, Dan oleh kibasan itu, Giok Cu terpelanting mundur beberapa langkah. Hampir saja ia roboh terguling. Ceng Jie tidak menghiraukan keponakannya itu, ia maju mendekati Sin Houw, Bentaknya.
"Kau majulah!"
"Akh, aku tidak berani." sahut Sin Houw sambil membungkuk hormat.
"Kau tak mau menyebutkan nama gurumu, maka seranglah aku tiga kali!" perintah Ceng Jie. "Aku ingin melihat sendiri, apakah aku sanggup mengenal gurumu."
Panas juga hati Thio Sin Houw ketika mendengar dan melihat sikap Ceng Jie yang besar kepala, Setelah menimbang sejenak, akhirnya ia berkata dengan suara merendah: