Jilid 05
Semenjak tadi Kwee Lian Cie sadar akan perbuatannya, ia sudah terlanjur membuka rahasia adik seperguruannya di hadapan umum. Dan seseorang yang telah kena bongkar rahasianya didepan umum, pastilah akan membunuh sipenuduh untuk menghilangkan saksi. Tentu saja pekerti demikian itu diukur dengan cara berpikirnya sendiri. ia tahu, ilmu kepandaian Kie Lian berada diatasnya, itulah sebabnya selagi Kie Lian tidak bersiaga, ia menikam lengan kanannya.
Setelah berhasil melukai lengan Kie Lian, ia menikam lagi empat kali berturut-turut dengan tertawa menang.
Memang, ilmu kepandaian Kie Lian menang setingkat dengan Kwee Lian Cie, Akan tetapi lengan kanannya telah tertikam, maka terpaksa ia membela diri dengan tangan kirinya. Menghadapi serangan Kwee Lian Cie yang kejam itu, hati Kie Lian tercekat. Dengan memusatkan seluruh kepandaiannya segera ia mempertahankan diri dan menyerang. Begitu menggerakkan pedangnya, serang- menyerang lantas terjadi dengan cepat sekali. Dalam sekejap mata saja telah berlangsung dua-puluh jurus lebih.
Mereka yang menonton, kecuali Thio Sin Houw - adalah jago-jago terkemuka, Diam-diam mereka kagum menyaksikan ilmu pedang Hoa Kie Lian dan Kwee Lian Cie, Pikir mereka dengan berbareng:
"Akh, benar-benar golongan Go-bie pay bukan nama kosong belaka, pantaslah ilmu pedangnya merajai kalangan rimba persilatan!"
Sebagai jago-jago terkemuka, sudah barang tentu mereka tahu belaka bahaya yang saling mengancam mereka berdua, Akan tetapi mereka semua terluka parah, sehingga tak dapat berdaya untuk melerai. Juga merekapun tak dapat membantu salah seorangnya, Dan terpaksalah mereka hanya menyaksikan belaka dengan mata terbelalak.
Kedua saudara seperguruan itu mengenal akan kepandaian masing-masing, pada saat menyerang dan bertahan mereka bergerak sangat cepat dan gesit. Maka tak mengherankan, pertarungan mereka makin lama makin menjadi seru. Sayang, lengan kanan Hoa Kie Lian terluka dan mengalirkan darah terus menerus. Makin ia menggerakkan pedangnya, darahnya makin mengucur deras.
Sadar akan kelemahan itu, ia segera melontarkan tipu-tipu serangan yang mematikan dengan maksud mendesak Kwee Lian Cie kepinggir, setelah itu ia bermaksud meninggalkan gelanggang secepat mungkin. Akan tetapi karena ia terpaksa menggunakan tangan kirinya, apalagi sudah terluka parah, kemampuannya menggerakkan pedangnya tinggal sebagian saja.
Bahwasanya sudah sekian jurus lamanya, masih belum tertikam lagi adalah karena Lian Cie masih segan terhadapnya, Tak berani ia terlalu mendesak, karena takut adik seperguruannya itu masih mempunyai simpanan tipu muslihat yang belum diketahuinya, Dalam usahanya untuk memenangkan pertempuran itu, ia melihat Kie Lian terus menerus, agar menjadi letih karena darahnya terus mengucur dengan sangat derasnya, Apabila Kie Lian kehilangan darah terlalu banyak, pasti ia akan roboh dengan sendirinya.
Perhitungan itu memang benar belaka, Beberapa saat kemudian langkah kaki Hoa Kie Lian nampak tak tetap lagi, gerakan-gerakan pedangnya mulai kacau, Teranglah sudah, bahwa ia tak tahan lagi.
Menyaksikan itu Kwee Lian Cie girang bukan kepalang, dengan penuh semangat ia melancarkan serangan-serangan berantai. Yang dibidik adalah lengan kanan Kie Lian yang berlumuran darah. Keruan saja Kie Lian sangat sukar mempertahankan diri.
"Hoa kouvnio!" tiba-tiba Siang-koan Hong berteriak, "Silahkan butakan saja mataku! Terima kasihku tak terhingga kepadamu!"
Betapa sulit kedudukan Kie Lian, dapat disadari Siangkoan Hong. Karena membela dirinyalah Kie Lian terpaksa menerima fitnah-fitnah yang menodai namanya sebagai seorang gadis yang suci bersih. Akan tetapi meskipun Hoa Kie Lian meluluskan permintaan Siangkoan Hong untuk membutakan mata-nya, pastilah Kwee Lian Cie tidak akan mengampuni juga.
Dan menyaksikan gerakan gerakan pedang Lian Cie yang makin lama makin keji dan tak kenal ampun itu, Siangkoan Hong menjadi gusar. Dengan suara menggeledek ia memaki kalang kabut:
"Hei, Kwee Lian Cie! Kau perempuan tak tahu malu! Pantas saja orang-orang gagah menyebutmu sebagai sundal! sekarang dengan mata kepalaku sendiri aku menyaksikan betapa keji dan kejam hatimu, melebihi ular berbisa, sudah mukamu Jelek, persegi dan kasar, untunglah wanita di seluruh dunia ini tiada yang mirip dengan mukamu yang persegi itu. seumpama demikian, pastilah laki-laki di seluruh muka bumi rela menjadi pendeta terkebiri, Hihihi ..!"
Padahal wajah Kwee Lian Cie meskipun belum terhitung cantik, akan tetapi lumayan juga, Namun Siangkoan Hong yang sudah kenyang makan garam, mengetahui kelemahan jiwa kaum wanita umumnya. Tak peduli dia cantik atau memang jelek wajahnya, apabila kena maki demikian - pastilah akan timbul dengkinya, ia berharap, terdorong oleh rasa gusar dan dengki itu, Kwee Lian Cie akan mengalihkan perhatian kepadanya, Dalam keadaan kalap gadis kejam itu pasti akan membunuhnya. Dengan demikian Kie Lian memperoleh kesempatan untuk melarikan diri, atau setidak- tidaknya bisa membalut lukanya lebih dahulu.
Sama sekali tak terduga, bahwa Kwee Lian Cie bukan gadis bodoh. Pada saat itu ia berpikir, bahwa yang terpenting ialah membunuh Hoa Kie Lian terlebih dahulu. Bukankah pendeta yang jahil mulut itu sudah terluka berat?
Hendak lari kemana lagi dia? itulah sebabnya, ia berlagak tuli dan tidak menggubris makian Siangkoan Hong.
Akan tetapi Siangkoan Hong bukan sembarang pendeta, Selain gagah, ia licin pula, Merasa pancingannya yang pertama gagal, ia segera berseru lantang:
"Hoa kouvnio terkenal sebagai seorang gadis suci bersih, Sebaliknya, tidak demikian dengan kau yang bermuka persegi dan berbulu itu, Kau adalah seorang sundal benar-benar, Umurmu sudah duapuluh delapan tahun, hatimu menjadi kecut dan takut pada masa depanmu, Maka setiap kali bertemu dengan laki-laki, kau segera berusaha memancing dan menjilatnya.
Demikian pula terhadap pendekar muda Tan Bun Kiat, murid Tie-kong tianglo yang termashur itu, Biasanya dengan menawarkan tubuhmu yang berbulu itu, tiap laki-laki iseng akan menerima tawaranmu, Tetapi kali ini kau menumbuk batu, pendekar muda Tan Bun Kiat tidak menggubris bahkan menolak dengan kasar. Oleh karena itu kau lantas menjadi irihati terhadap Hoa kouwnio yang berhati suci bersih, dan kau hendak membunuhnya,..! Eh, Kwee Lian cie yang bermuka persegi dan berbulu. cobalah! Sekali-kali kau bercermin yang terang! Lihat yang terlihat dengan kedua ,matamu! Bukankah selain wajahmu persegi, juga berbulu dan hitam seperti serabi hangus....? Ha-ha-ha !"
Mendengar ejekan dan olok-olok Siangkoan Hong, benar- benar dada Kwee Lian Cie hampir-hampir meledak. Oleh rasa gusar, tubuhnya sampai bergetaran, tetapi masih saja ia berusaha menguasai diri, sebaliknya mata Siangkoan Hong yang berpengalaman, segera mengetahui hal itu. Terus saja ia mementang mulutnya lagi dan berpidato kepada orang-orang gagah yang berada dikiri-kanannya, serunya lantang:
"Saudara-saudara! saudara tadi menyebut aku sebagai iblis. Memang aku ini iblis, bahkan raja iblis! Kegemaranku berpesta diantara perempuan perempuan cantik. Pada suatu hari, aku melihat Kwee kouwnio yang bermuka persegi dan berbulu itu, lagi memancing pendekar muda Tan Bun Kiat. Dengan mata-kepalaku sendiri, aku melihat betapa ia sakit hati tatkala ditolak pendekar muda itu.
Dengan uring-uringan ia menghunus pedangnya dan memasangkan langkah hendak mencari Kie kouwnio untuk melampiaskan rasa sesalnya, Karena uring-uringan ia kurang waspada, Didekat tikungan jalan, ia kusergap dari belakang. Kemudian kuperkosa sampai empat kali berturut-turut. Hahaha. "
Tentu saja olok-olok Siangkoan Hong itu bualan kosong belaka, akan tetapi keterlaluan. Betapa cerdik dan sabar seseorang, pasti akan meledak dadanya begitu mendengar olok olok yang beracun itu, Demikian pula Kwee Lian Cie. Dengan menjerit tinggi ia meninggalkan Hoa Kie Lian, dan melompat menikamkan pedangnya kemulut Siangkoan Hong yang jahil itu!
Melihat Kwee Lian Cie keluar gelanggang, masih sempat Siangkoan Hong tertawa syukur. Memang itulah harapannya, Dengan demikian ia memberi kesempatan kepada Hoa Kie Lian untuk melarikan diri, atau membalut terlebih dahulu untuk mengadakan balasan, itulah sebabnya ia menunggu ujung pedang Kwee Lian Cie dengan dada terbuka dan hati ikhlas. Hanya saja, pada saat itu peristiwa diluar dugaan siapapun segera terjadi.
Dari rumpun belukar melompatlah seseorang, secepat kilat sambil membentak nyaring. perawakan tubuhnya pendek bulat, ia menghadang di depan tubuh Siangkoan Hong menunggu datangnya tikaman. Oleh gerakannya yang cepat dan datangnya tidak terduga duga, Kwee Lian Cie tak dapat membatalkan tikamannya.
Dengan ,cepat sekali pedangnya menikam dan menancap dijidat orang itu. pada detik yang bersamaan, orang berperawakan pendek bulat itupun, melontarkan pukulan yang tepat mengenai dada Kwee Lian Cie.
"Blukkk!"
Tanpa ampun lagi , Kwee Lian Cie terpental dan terbanting ditanah dan memuntahkan darah segar. Dari dengan berbareng pula, orang itu roboh ke tanah berkelojotan, pedangnya Kwee Lian Cie masih membenam dijidatnya!
"Sie Ah Piang! Hei, bukankah dia Sie Ah Piang!" teriak See Cu Leng dan yang lain dengan berbareng.
Memang benar. Orang berperawakan pendek bulat itu adalah Sie Ah Piang, kacungnya Siangkoan Hong yang setia.
Semenjak tadi ia bersembunyi di belakang belukar, menyaksikan majikannya dikeroyok delapan orang. Ia percaya, majikannya yang sekaligus juga merupakan gurunya, pasti bisa memenangkan pertempuran itu. Tatkala gurunya terluka parah, hampir saja ia keluar dari persembunyiannya. Tetapi ia melihat perkembangan baru tatkala Kwee Lian Cie bertempur melawan adik seperguruannya, ia menunggu.
Dan begitu gurunya menghadapi bahaya, dengan cepat ia keluar dan mewakili menerima tikaman pedang Kwee Lian Cie, walaupun ilmu kepandaiannya terpaut jauh dengan gurunya, akan tetapi ia memiliki pukulan dahsyat. Begitu mengenai dada Kwee Lian Cie, beberapa tulang iga gadis itu patah.
Setelah menenangkan diri, Hoa Kie Lian menyobek kain bajunya dan membalut luka di lengannya. Kemudian menolong melepaskan tali pengikat Siangkoan Hong pada kaki-tangannya, dan tanpa berkata sepatah katapun ia memutar tubuh hendak pergi.
"Tunggu, Hoa kouwnio! Terimalah hormatku!" seru Siangkoan Hong sambil merangkapkan sepasang telapak tangannya.
Dengan cepat Hoa Kie Lian mengelakkan pemberian hormat pendeta itu, sedangkan Siangkoan Hong lalu memungut pedang See Cu Leng yang tadi jatuh ketanah, Katanya:
"Hoa kouwnio, Kwee kouwnio tadi memfitnah namamu yang suci bersih. Karena itu sebaiknya ia tidak dibiarkan hidup terus!" setelah berkata demikian pedangnya lantas menikam leher Kwee Lian Cie, tetapi dengan cepat Hoa Kie Lian menangkisnya, Katanya:
"Dia kakak seperguruanku. Meskipun budinya tercela, tetapi aku tak sampai hati menghianatinya."
"Urusan sudah begitu jauh. Kalau dia tak dibunuh, dikemudian hari pasti akan merugikan nama pribadimu." ujar Siangkoan Hong.
Hoa Kie Lian mengucurkan air mata dan berkata:
"Aku memang gadis ma1ang. Mungkin pula akan membawa alamat jelek, tetapi biarlah aku menerima nasibku. Siang-koan Hosiang, jangan kau mencelakainya."
Siangkoan Hong menghela napas. Berkata:
"Baiklah, jika demikian keinginanmu , aku akan mematuhi." "Sucie." kata Hoa Kie Lian dengan suara haru kepada kakak seperguruannya, "Harap kau menjaga dirimu baik-baik."
Setelah berkata demikian ia memasukkan pedangnya kedalam sarungnya, kemudian meninggalkan gelanggang pertempuran dengan seorang diri.
Setelah Hoa Kie Lian hilang dari penglihatan, Siangkoan Hong berkata kepada sekalian jago-jago yang mengeroyoknya, Katanya dengan suara tegas:
"Aku, Siangkoan Hong - sebenarnya tidak mempunyai dendam sakit hati kepada kalian. Andaikata tayhiap Thio Kim San hidup kembali, beliaupun tidak akan menaruh dendam pula kepada kalian, sebab ia tahu bahwa kalian hanya begundal begundal belaka, Akan tetapi pada malam ini kalian mendengar perempuan she Kwee itu memfitnah Hoa kownio begitu keji, kalau hal itu kalian siarkan - nasib Hoa kouwnio yang berhati suci bersih akan menjadi gelap dikemudian hari. itulah sebabnya, terpaksa aku meniadakan saksi-saksi hidup, aku mohon maaf kepada kalian. Kelak apabila kalian menghadapi malaikat-malaikat yang akan mengantar kalian ke sorga, tolong katakan kepadanya bahwa aku membunuh kalian karena terpaksa saja."
Setelah selesai berkata demikian, ia tidak menunggu reaksi mereka. seorang demi seorang dibunuhnya dengan tangannya sendiri. Setelah itu ia mendekati Kwee Lian Cie, dan wajah muka Kwee Lian cie digarisnya dengan ujung pedang lima sampai tujuh kali. Dengan demikian wajah Kwee Lian Cie yang tadinya agak lumayan, kini menjadi cacad seumur hidupnya, Hati gadis itu hampir hampir pecah, akan tetapi dalam keadaan luka parah tak dapat ia mengadakan perlawanan, ia hanya bisa memaki kalang-kabut, serunya lantang:
"Bangsat gundul! janganlah kau menyiksaku dengan cara begini. Kalau mau bunuh, bunuhlah dengan segera!"
Siangkoan Hong tertawa lebar. sahutnya:
"He-he-he! perempuan jelek semacammu ini, setanpun enggan mendekati. sebaliknya kalau kini kau kubunuh hmm, mungkin setan-setan jahat dan roh roh yang tidak karuan dosanya akan lari kalang kabut karena ketakutan melihat tampangmu. Boleh jadi malaikat Jibril akan lari ketakutan pula!"
(Malaikat Jibril ~ Giam Lo Ong).
Berkata demikian, ia tertawa gelak beberapa kali. Kemudian melemparkan pedangnya dan mendukung jenazah Sie Ah Piang, setelah menangis menggerung-gerung beberapa saat lamanya, dengan mendukung jenazah itu ia berjalan perlahan-lahan meninggalkan gelanggang pertarungan tadi.
Kwee Lian Cie berusaha menolong diri, dengan napas tersengal-sengal ia mencoba merayap bangun. Dan dengan bertongkat pedangnya, ia berjalan perlahan-lahan keluar hutan.
Pertempuran yang menggoncangkan hati itu, mendebarkan jantung Thio sin Houw berdua Cie Siang Gie, setelah Kwee Lian Cie tiada nampak bayangannya lagi, barulah mereka menghela napas merasa lega.
"Cie toako," kata Sin Houw kemudian, "Belum pernah aku berbicara dengan bibi Hoa Kie Lian, aku hanya melihatnya ketika ia mendaki gunung Boe-tong, Nampaknya ia menaruh perhatian besar kepada susiok-ku, Tan Bun Kian karena katanya mereka telah bertunangan. Tetapi ... tetapi ... apa... apakah menurut pendapatmu, benar-benar bibi Hoa Kie Lian pernah melahirkan seorang anak diluar perkawinan?"
"Hmmml perempuan she Kwee itu mengacau-balau tak keruan, janganlah kau percaya!" sahut Cie Siang Gie.
Mendengar jawaban Cie Siang Gie, hati Sin Houw bergembira, Katanya:
"Benar! Benar! Biar kelak kuadukan fitnahan ini kepada susiok Tan Bun Kiat, agar dihajarnya dia. Aku benci pada mulutnya yang kotor!"
"Jangan! Jangan!" cegah Cie Siang Gie cepat, "Sekali-kali jangan kau ceritakan peristiwa yang kau lihat pada malam ini, Wah, kelak bisa jadi runyam malah !"
"Apa sebab begitu?" tanya Sin Houw heran.
"Kata-kata kotor yang tak sedap didengar ini, janganlah kau ceritakan kepada siapapun juga!" ujar Cie Siang Gie.
"Oh!" sahut Sin Houw. Meskipun dia baru berumur belasan tahu, tetapi otaknya sangat cerdas. setelah berenung sejenak, segera ia berkata:
"Cie toako, apakah... apakah kau merasa bahwa fitnahan perempuan busuk itu benar-benar terjadi? Tidak, bukan?"
"Entahlah, aku sendiri tidak tahu " sahut Cie Siang Gie.
(Oo-dwkz-oO)
SETELAH terang tanah, jalan darah Cie Siang Gie menjadi lancar kembali. ia segera menggendong Thio Sin Houw meneruskan perjalanan. Dengan perlahan lahan ia melintasi mayat-mayat yang bergelimpangan. Timbullah suatu pertanyaan besar dalam hatinya:
"Mereka bertempur mati-matian, hanya karena persoalan seorang gadis yang bernama Thio Siu Lan. sesungguhnya apa latar belakang gadis itu?"
Sebaliknya Thio Sin Houw yang berada digendongannya, berpikir pula:
"Ayah dan ibu sendiri belum tahu pasti tentang golok mustika itu, akan tetapi mereka bersedia mengorbankan nyawa demi memperoleh keterangan tentang golok itu, Nampaknya golok itu merupakan sumber bencana, entah berapa orang lagi yang akan mati bergelimpangan. "
Setelah beristirahat satu malam tanpa bergerak didalam rimba itu, tenaga Cie Siang Gie menjadi pulih kembali. Langkahnya cekatan, akan tetapi karena perjalanannya terpotong oleh kejadian semalam, ia menjadi tersesat. tiba-tiba saja, dibawah bukit nampak tergelar lembah ngarai yang berpenduduk, Pikir Siang Gie didalam hati: "Supeh Ouw Gie Coen bertempat tinggal disebuah perkampungan Ouw-tiap kok, tempatnya sangat terpencil. Mengapa justru disini nampak tergelar beberapa dusun? Apa aku tersesat?"
Cie Siang Gie lalu memasuki perkampungan itu, maksudnya hendak mencari penduduk untuk minta keterangan, Tiba-tiba ia mendengar derap suara kuda riuh dibelakangnya. Empat tentara Mongolia datang mengaburkan kudanya, mereka nampak bersenjata lengkap, Terdengar mereka membentak-bentak:
"Hayoo, pergi dari sini! Cepat!"
Sewaktu berada duapuluh langkah dibelakang Cie Siang Gie, mereka mencabut pedangnya dan mengancam punggung pemuda itu
Diam-diam Cie Siang Gie mengeluh dalam hati:
"Celaka! Baru saja lolos dari bahaya, kini bertemu dengan bencana lain lagi, Yang terancam bukan hanya aku seorang, tetapi Sin Houw pula."
Ia merasa ilmu kepandaiannya telah punah, jangan lagi bertempur melawan empat orang, meskipun menghadapi seorang rasanya tidak mampu lagi, Maka melihat ancaman bahaya itu, terpaksa ia menyerahkan dirinya kepada nasib.
Selagi meneruskan perjalanan dengan menyerahkan diri kepada nasib, tiba-tiba ia melihat beberapa tentara Mongolia mengganas terhadap penduduk kampung. Melihat hal itu, Cie Siang Gie mempunyai setitik harapan, Pikirnya:
"Rupanya tentara penjajah itu sedang mengumpulkan penduduk desa, dan tidak bermaksud menangkap aku."
Tahulah Cie Siang Gie apa sebab tentara Mongolia itu mengumpulkan penduduk, mereka hendak merampok barang milik penduduk, Karena merasa diri tak mampu melawan, segera Cie Siang Gie menggabungkan diri dengan penduduk yang dikumpulkan itu. Ketika tiba disimpang tiga, ia melihat seorang perwira Mongolia memimpin tentaranya. jumlah mereka kira-kira enam puluh orang. Mereka semua menghunus pedang dan golok. Perwira itu lantas berseru kepada semua penduduk, dengan suaranya yang lantang:
"Hey! Kalian manusia atau binatang? Kalian kalau manusia, lekas berlutut dihadapan kami!"
Penduduk desa yang ketakutan itu segera mematuhi perintah tersebut. Mereka menjatuhkan diri berlutut. Melihat hal itu, Thio Sin Houw yang berpengalaman segera membisiki telinga Cie Siang Gie:
"Toako, lekas lemparkan pedangmu! pastilah tentara itu akan menggeledah mereka, dan biasanya siapa yang bersenjata akan dibunuhnya!"
Sian Gie seperti diingatkan, segera ia berpura-pura tergelincir sambil melemparkan senjatanya ke dalam semak belukar. setelah itu dengan merintih-rintih ia berjalan tertatih- tatih.
"Hey, kau yang berberewok!" teriak perwira itu kepada Cie Siang Gie, "Mengapa kau tidak berlutut?"
Cie Siang Gie seorang pemuda angkuh hati, Meskipun ayahnya menjadi abdi Ciu Kong Bie, akan tetapi dia sendiri tidak. ia seorang pemuda yang hidup dengan bebas. ia ikut kelompok Beng-kauw, itulah sebabnya terhadap penjajah Mongolia ia benci bukan main. sekarang ia mendengar perintah agar berlutut, keruan saja ia berontak. Da-lam hati ia sudah mengambil keputusan, lebih baik mati dari pada berlutut di hadapan kaum penjajah!
Melihat Cie Siang Gie membangkang, seorang tentara menghampiri dan mendupak lututnya, Karena ilmu kepandaian Cie Siang Gie telah punah, ia roboh begitu kena dupak serdadu itu. Dengan sendirinya pula ia jadi berlutut.
"Kau siapa?" bentak tentara itu.
"Kami berdua hidup mengemis, ini abangku, ia tuli. itu sebabnya ia tidak mendengar perintah toaya," sahut Thio Sin Houw cepat.
"Bangsat!" bentaknya lagi, Kaki tentara itu dilayangkan dan Cie Siang Gie kena dupak untuk yang kedua kalinya. ia roboh terjungkal, dengan sendirinya Sin Houw ikut terbanting pula.
Keruan saja Cie Siang Gie gusar bukan main, tetapi sadar bahwa dirinya tak sanggup melawan. ia hanya dapat memakinya didalam hati, pada detik itu pula bersumpahlah ia didalam hati:
"Aku bersumpah, demi bumi dan langit akan menghabiskan setiap tentara penjajah beserta begundalnya, seorang demi seorang sampai mereka lenyap dari buka bumi, Kalau aku tak sanggup menghabiskan mereka, aku bukan seorang laki-laki sejati!"
Karena mereka dianggap pengemis, maka Cie siang Gie dan Thio Sin Houw dapat melanjutkan perjalanannya, selagi mendekati bukit yang berada di depan mereka, tiba-tiba mereka mendengar pekik teriak yang menyayatkan hati, Ternyata penduduk kampung itu di sembelih tentara Mongolia seorang demi seorang.
Pada waktu itu perjuangan Thio Su Seng sangat termashur, ia dibantu oleh sekalian penduduk. Tak mengherankan, seringkali dalam peperangan tentara penjajah Mongolia menderita kekalahan total, Karena sudah tiga tahun lamanya tidak dapat menangkap Thio Su Seng yang dianggap menjadi biang keladi kerusuhan, maka pihak penjajah menjadikan penduduk sebagai sasaran kini.
Setiap kali mereka melakukan perondaan, segera mengumpulkan penduduk kampung dengan dalih mencari para pemberontak. Apabila maksud mereka tidak tercapai, maka mereka mengadakan pembunuhan masal.
Menyaksikan hal itu, dendan dan rasa gusar Cie Siang Gie kian membara. ia mengeluh mengapa menyaksikan peristiwa demikian, justru ilmu kepandaiannya dalam keadaan punah, seumpama ilmu kepandaiannya belum punah, sudah sejak tadi ia melabrak tentara penjajah itu meskipun jumlahnya cukup besar .
Cie Siang Gie memangnya seorang pemuda yang gagah perkasa, akan tetapi pada saat itu ia merasa diri tidak berdaya. itulah sebabnya setelah mengeluh sambil membanting-banting kakinya, ia lalu melanjutkan perjalanan.
Menjelang tengah hari ia bertemu dengan seorang penebang kayu. ia segera menghampiri dan minta keterangan dimanakah letak dusun Ouw-tiap kok tempat tinggal pamannya, Ouw Gie Coen, Tetapi penebang kayu itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya:
"Selama hidupku belum pernah mendengar nama dusun tersebut."
Dan mendengar keterangan penebang kayu itu, sejenak Cie Siang Gie tergugu. Tetapi ia yakin, bahwa dusun pamannya tentu tidak jauh lagi, Dengan sabar ia melanjutkan perjalanan kembali .
Pemandangan seberang-menyeberang, jalan sangat indah kini, Bunga- bungasedang bermekaran dan mahkota dedaunan hijau meresapkan penglihatan. Tetapi Cie Siang Gie maupun Thio Sin Houw masih belum bisa melepaskan diri dari penglihatan yang disaksikan tadi, itulah penglihatan tentara penjajah menyembelih penduduk kampung. Karena itu, betapa mereka berdua dapat menikmati pemandangan yang bagaimanapun indahnya. Kata Sin Houw kemudian:
"Cie toako, tempat kediaman pamanmu bernama Ouw-tiap kok. Kalau tak salah, Ouw-tiap kok adalah selat kupu-kupu. Menurut cerita ibuku, tempat itu sangatlah indahnya, sekarang kita melihat seberang-menyeberang jalan ini sangat indah pula, apakah tidak mungkin pamanmu itu bertempat tinggal di sekitar sini?"
Mendengar perkataan Thio Sin Houw benar-benar Cie Siang Gie sangat kagum, pikirnya didalam hati:
"Sungguh! Anak ini cerdas luar biasa! Mengapa aku tidak dapat berpikir demikian sejak tadi?"
Ia segera menyeberang ke dalam gerombolan bunga, setelah berjalan selintasan timbullah setitik harapan, serunya kepada Sin Houw:
"Dugaanmu agaknya benar. Bunga-bunga ini seperti ada yang mengatur."
Dengan menuruti jalan pegunungan yang berliku-liku, mereka menuju ke utara. Selagi melayangkan pandangnya, mereka melihat suatu tebing di sebelah barat. Disitu nampak seorang tua sedang mencangkul. Mereka segera mendekati Dengan sekali pandang, tahulah mereka bahwa orang itu berusia hampir mencapai limapuluh tahun. perawakan tubuhnya jangkung kurus.
Entah apa sebabnya, melihat orang itu hati Thio Sin Houw berdebar debar Katanya didalam hati:
"Apakah dia yang bernama Ouw Gie Coen?"
Selagi ia hendak minta keterangan kepada Cie Siang Gie, pemuda itu telah menghampiri dan berkata dengan membungkuk hormat:
"Aku bernama Cie Siang Gie, dapatkah aku mohon petunjuk dari lopeh, jalan manakah yang harus kami tempuh agar dapat bertemu dengan tabib sakti Ouw Lo-cianpwee? Kami berdua ingin sekali bertemu, untuk mohon pertolongan.
Mendengar pertanyaan Cie Siang Gie, tahulah Sin Houw bahwa orang itu bukan Ouw Gie Coen. Maka dengan penuh perhatian ingin ia mendengar jawaban orang itu, Sama sekali tak terduga orang tua itu tetap menundukkan kepalanya dan terus memacul, Beberapa kali Cie Siang Gie membuka mulutnya untuk mohon keterangan, akan tetapi agaknya orang tua itu tuli.
SELAGI Thio Sin Houw hendak membantu bertanya pula, tiba-tiba Cie Siang Gie mencubit pahanya. Maka ia segera mengurungkan niatnya, Dan Cie Siang Gie yang biasanya mudah tersinggung serta mudah bergusar, kali ini tidaklah demikian, ia melanjutkan berjalan dengan langkah sabar, kira- kira beberapa lie jauhnya barulah ia berkata:
"Sute, pamanku mempunyai tabiat yang aneh sekali, ia mempunyai murid dan pengikut yang setia, dan tabiat pengikut-pengikutnya mirip majikannya pula. Kita telah memasuki wilayahnya, karena itu tidak boleh gegabah. sekali kita melanggar pantangannya tiada lagi harapan. sekarang tiada jalan lagi selain mencari tempat kediaman pamanku, dengan menyerahkan nasib kepada Tuhan."
Sesudah menikung beberapa kali, tiba-tiba mereka melihat sebidang taman bunga yang terpisah beberapa puluh meter dari pinggir jalan. Di tengah ladang itu tampak seorang gadis dusun mengenakan pakaian hijau, sedang merawat tetanaman bunga sambil membungkuk. Thio Sin Houw berada diatas punggung Cie Siang Gie, karena itu ia memperoleh penglihatan lebih luas dari pada Siang Gie. Nampak gadis itu membelakangi tiga rumah atap berdiri berjajar, dan disekitar rumah itu sunyi sepi.
Dengan masih menggendong Thio Sin Houw, Cie Siang Gie menghampiri gadis dusun itu, sambil membungkuk hormat ia berkata:
"Adik eh, kakak. Bolehkah kami bertanya kepadamu?
jalan manakah yang harus kami tempuh agar dapat bertemu dengan paman Ouw Ceng Goe?"
Gadis itu mengangkat kepalanya, memandang Cie siang Gie dan Thio Sin Houw dengan kedua matanya yang jernih. Melihat pandang matanya yang bersinar tajam luar biasa itu, baik Cie siang Gie maupun Thio Sin Houw terkejut.
"Akh!" kata Thio Sin Houw dan Cie Siang Gie didalam hati, "Mengapa sinar matanya begitu luar biasa?"
Thio Sin Houw menatap paras muka gadis dusun itu, Dibandingkan dengan Kwee Lian Cie dan Hoa Kie Lian , gadis dusun ini kalah cantik.
Kulitnya kering, kuning. Mukanya pucat, seperti kekurangan makan. Rambutnya jarang dan berwarna kekuningan, sedangkan pundaknya tinggi dan tubuhnya kurus. Hal itu menunjukkan bahwa dia seorang gadis dusun yang miskin.
Dilihat dari paras muka gadis itu, kira-kira berumur enam belas atau tujuh belas tahun. Tetapi karena tubuhnya kurus- kering dan kecil, nampaknya seperti kanak-kanak berumur tiga belas atau empat belas tahun, Meskipun demikian, oleh rasa hati-hati Cie siang Gie tidak berani berlaku semberono, ia memanggil adik dan kakak dengan berbareng, karena takut menyinggung kehormatannya.
"Adik, eh, kakak," ulang Cie siang Gie lagi. "Numpang tanya, di manakah letak lembah Ouw-tiap kok? Apa kami harus ke timur atau ke barat, ataukah ke utara?"
Dengan suara dingin gadis dusun itu menjawab: "Tidak tahu!"
Setelah menjawab demikian, ia menundukkan kepalanya
lagi.
Melihat sikap yang agak sombong dan kasar itu, hati Cie siang Gie mendongkol, Tetapi mengingat tempat itu sangat berdekatan dengan Ouw-tiap kok, sedapat-dapatnya ia menahan rasa mendongkolnya . Katanya kepada Thio Sin Houw:
"Sute, hayolah kita berangkat. Ouw-tiap kok adalah sebuah lembah yang sangat terkenal, biar bagaimana juga kita pasti akan dapat mencari sendiri."
Tetapi Thio Sin Houw tidak sependapat dengan Cie siang Gie. Menimbang bahwa matahari sudah condong ke barat, ia harus menemukan petunjuk yang pasti. Rasanya akan mengalami kejadian yang tidak enak apabila sampai tersesat diwaktu malam hari. Maka dengan sabar ia bertanya:
"Suci, apa ayah dan ibumu ada di rumah ? Mereka tentu tahu jalan yang menuju ke lembah Quw-tiap kok." Akan tetapi gadis itu tetap saja tidak melayani, ia terus mencabuti rumput sambil menundukkan kepalanya.
Hati Cie siang Gie yang gampang tersinggung, jadi semakin panas. Dengan membuang muka ia melanjutkan perjalanan Hati Cie siang Gie tidak jahat, tetapi ia kasar. oleh rasa mendongkolnya ia berjalan menyeberang taman bunga itu dan menginjak-injak beberapa rumpun tanaman.
Menyaksikan hal itu, buru-buru Thio Sin Houw berseru: "Cie toako, hati-hati!"
Oleh peringatan Thio sin Houw, Cie siang Gie tersadar akan kesembronoannya, Cepat-cepat ia menghindarkan kakinya agar jangan sampai menginjak rumpun tanaman bunga di depannya.
"Sute, gadis itu rupanya tuli, Buat apa kita bicara berkepanjangan dengan dia? Hayolah berangkat." kata Cie siang Gie sambil ia melompat ke pengempangan dan meneruskan perjalanan dengan langkah panjang.
Semenjak kanak-kanak Thio Sin Houw hidup dalam kemiskinan dan penuh bahaya, itulah sebabnya hatinya cepat menaruh iba terhadap orang-orang miskin seperti dirinya, Diperlakukan gadis itu dengan sikap dingin, ia tidak menjadi gusar. ia malah merasa iba kepadanya, ia menduga bunga- bunga itu merupakan mata pencarian keluarga gadis itu, Maka tak henti-hentinya ia memberi peringatan kepada Cie siang Gie, apabila kaki pemuda itu hendak menginjak tanaman.
Tiba-tiba diluar dugaan, gadis itu mengangkat kepalanya dan berseru:
"Hai! untuk apa kalian pergi ke Ouw-tiap kok?"
Cie siang Gie menahan langkah kakinya, dan menjawab: "Adikku ini lumpuh terkena racun, karena itu kami hendak
menghadap 0uw-sinshe untuk mohon pertolongan"
"Aku hanya pernah mendengar namanya saja, tetapi belum pernah bertemu dengan orangnya," kata gadis itu, "Apa kau kenal dengannya?"
"Belum!" jawab Thio Sin Houw di atas punggung Cie siang Gie, sambil ia memijit pundak pemuda itu, perlahan gadis itu menegakkan badannya, dan menatap wajah Thio Sin Houw dengan sinar mata yang sangat tajam.
"Bagaimana kau yakin, bahwa dia sudi mengobati dirimu?" tanyanya.
wajah Thio Sin Houw lantas saja menjadi suram, jawabnya dengan berduka:
"Ya, sebenarnya akupun hanya berdoa saja," setelah menjawab demikian, dengan tidak disadarinya Thio Sin Houw menghela napas. Tiba-tiba suatu ingatan menusuk benaknya, pikirnya didalam hati:
"Gadis ini nampaknya kenal tabiat dan perangai sinshe Ouw Ceng Goe, Kalau begitu, tempatnya di Ouw-tiap kok tidak jauh lagi dari sini."
Memperoleh pikiran demikian, segera ia membisiki Cie siang Gie agar menghampiri gadis itu lagi, Kemudian berkata dengan hormat.
"Itulah sebabnya, aku mohon petunjuk-petunjukmu!"
Thio Sin Houw adalah seorang bocah yang memiliki otak cerdas luar biasa. Dengan istilah petunjuk itu, ia mempunyai dua maksud. Yang pertama mohon keterangan kepada gadis itu di mana letak Ouw-tiap kok, sedang yang kedua mohon petunjuk tentang cara-cara mengobati lukanya. Akan tetapi gadis itu tidak menyahut. Dengan pandang tajam, ia mengamat-amati Cie siang Gie dan Thio Sin Houw dari kaki sampai ke kepalanya. seberapa saat kemudian tiba tiba ia menuding dua buah pasu berisi kotoran binatang, katanya memerintah.
"Disebelah sana, ada kolam berisi kotoran binatang. Ada beberapa pasu pula ditepinya, penuhilah dua pasu dengan kotoran binatang itu, lalu siram-lah tanaman ini dengan kotoran binatang itu!" Setelah memberi perintah demikian, gadis itu membungkuk lagi dan ia meneruskan pekerjaannya mencabuti rumput.
Baik Cie siang Gie maupun Thio Sin Houw, terkesiap hatinya. Mereka berdua meskipun selisih umur, tetapi memiliki pengalaman-pengalaman hidup yang hebat. seringkali mereka menjumpai manusia-mamisia yang aneh lagak-lagunya, akan tetapi kata-katanya tidak ada yang melebihi anehnya dengan kata-kata gadis itu, Betapa tidak? Gadis itu terang seorang dusun yang miskin, akan tetapi kata-katanya seolah-olah perintah majikan terhadap kulinya.
Meskipun melarat, sejak kanak-kanak baik Thio Sin Houw maupun Cie siang Gie belum pernah mengerjakan pekerjaan menyiram tanaman dengan kotoran binatang.
Syukurlah Thio Sin Houw seorang anak yang kenyang digembleng pengalaman hidup pahit. setelah hilang kagetnya, dalam hati lantas saja timbul rasa kasihan. Katanya didalam hati:
"Dia begitu kurus-kering, meskipun berkemauan besar - betapa sanggup menyirami tanaman bunga diseluruh ladang ini dengan seorang diri." Tepat pada saat itu, ia melihat wajah Cie siang Gie merah padam, Buru-buru ia berkata:
"Toako, seorang laki-laki yang kuat memang harus menolong yang lemah. Biarlah kita membantunya."
"Kau berkata apa?" seru Cie siang Gie dengan mendongkol.
"Kita bantu dia!" sahut Thio Sin Houw dengan tenang. Tentu saja Cie siang Gie tahu maksud Thio Sin Houw,
Dialah sesungguhnya yang disuruh membantu pekerjaan gadis itu. selama dalam perjalanan dia merasakan kecerdikan adikkecilnya ini, Maka sekali ini, ia percaya Sin Houw mempunyai rencana tertentu, Maka dengan menggelengkan kepalanya , ia menurunkan Sin Houw ke atas tanah, kemudian dengan berdiam diri ia mencari kolam kotoran binatang.
Setelah mengisi dua pasu penuh air kotoran binatang," Cie siang Gie segera kembali dan menyirami tanaman dengan menggunakan gayung. Tetapi baru saja ia menyiram satu-dua kali, tiba-tiba gadis itu berseru:
"Salah! Terlalu kental! Pohon bunga itu bisa mati nanti !"
Menuruti tabiatnya, Cie siang Gie pasti akan mendamprat gadis itu, yang berani menegurnya demikian. Akan tetapi mengingat bahwa Thio Sin Houw mempunyai rencana tertentu, ia menguasai gejolak hatinya sedapat mungkin. justru demikian, ia menjadi tertegun. sejenak kemudian ia mengerling kepada Thio Sin Houw, bocah itu memberi isyarat agar ia patuh, oleh isyarat itu segera ia balik lagi ke kolam dan melakukan perintah si gadis dusun. selagi hendak menyiram tanaman, lagi-lagi gadis itu menegur.
"Awas! jangan sampai daun dan bunganya kena tersiram." Dengan sikap mengalah, Cie siang Gie menyahut.
"Baik!"
Setelah berkata demikian, ia menyiram tanaman itu dengan hati-hati.
Justru demikian, ia dapat memperhatikan warna bunga itu, Bentuknya sedang, warnanya biru tua dan harus luar biasa
bunga apa ini? selama hidupnya belum pernah ia melihat. Tidak lama kemudian kedua pasunya telah kosong kembali.
"Bagus!" kata gadis dusun itu, "Coba tolong satu pikul lagi!"
Mendengar perintah itu, Thio Sin Houw yang duduk di pengempangan berseru dengan suara halus:
"Kakakku ini harus segera berangkat, malam ini juga kita harus menghadap sinshe 0uw. Baiklah begini saja, sepulang kami dari Ouw-tiap kok kami akan singgah kembali untuk membantumu !"
"Lebih baik kalian tinggal saja disini menyiram bunga!" kata gadis itu, "Karena kulihat kalian berdua baik-baik, maka aku minta agar kalian menyiram tanamanku."
Mendengar alasan gadis itu, baik Cie siang Gie maupun Thio Sin Houw makin menjadi heran, Mereka berdua saling memandang, Thio Sin Houw kembali memberi isyarat. Dan pada saat itu, Cie siang Gie berpikir di dalam hati:
"Apa boleh buat, sudah terlanjur membantu, maka harus membantu sampai selesai "
Demikianlah ia memikul dua pasu berisi air kotoran binatang, dan dengan teliti ia menyiram tanaman bunga diseluruh ladang.
Dalam pada itu matahari telah turun dibalik gunung. sinarnya yang kuning keemas-emasan masih menyoroti bunga-bunga biru itu, sehingga memberikan penglihatan yang indah sekali.
Cie siang Gie seorang pemuda kasar, tetapi melihat keindahan itu di dalam hati ia berkata: Benar-benar indah bunga-bunga ini
Dalam pada itu Thio Sin Houw yang duduk dipengempangan berseru lagi kepada gadis dusun itu:
"Cici, sekarang perkenankan kami meneruskan perjalanan."
Sambil berkata demikian, ia menatap wajah gadis itu dengan pandang mohon belas kasihan.
Mendadak saja wajah gadis dusun itu berubah angker, katanya:
"Kalian telah membantuku. Kalian-pun minta petunjukku, bukan?"
Mendengar perkataan gadis dusun itu, Cie siang Gie berdua Thio Sin Houw berkata didalam hati:
"Memang, memang aku membutuhkan petunjukmu, Akan tetapi bantuan menyirami tanamanmu terbersit dari hati menaruh belas kasihan kepadamu, sudahlah, rasanya jika kini mohon bantuannya agar menunjukkan tempat paman Ouw, agaknya seperti orang menagih budi."
Pada saat itu Cie siang Gie tertawa lebar. Katanya: "Akh, indah benar bungamu ini."
Setelah berkata demikian, pemuda berewok itu menghampiri Thio Sin Houw, selagi hendak meneruskan perjalanan dengan menggendong Thio Sin Houw, tiba tiba gadis itu berseru memanggil:
"Tahan!"
Cie siang Gie mulai tak sabar, Dengan pandang gelisah ia menatap gadis itu, ia melihat gadis tersebut membungkuk memetik dua kuntum bunga.
Katanya:
"Kau tadi berkata, bunga ini indah sekali. Nah, kuberi kalian dua tangkai bunga!" setelah berkata demikian, ia memberikan dua tangkai bunga itu.
"Terima kasih!" kata Thio Sin Houw dan Cie siang Gie, Cie siang Gie membungkuk dan dimasukkan kedalam sakunya.
"Sebetulnya siapa nama kalian...?" tanya gadis dusun itu. "Aku Thio Sin Houw, dan kakakku ini Cie siang Gie." jawab
Sin Houw.
Gadis dusun itu mengangguk dan berkata lagi:
"Jika kalian hendak ke Ouw-tiap kok, lebih baik ambil jalan mengarah ke timur laut!"
Sebenarnya dalam hati Cie siang Gie mendongkol terhadap gadis dusun itu, tetapi begitu mendengar petunjuknya lantas saja hilang, Bisiknya kepada Sin Houw sambil tertawa:
"Sute, benar-benar kau bisa memandang jauh, Coba, kalau aku tadi menuruti kekasaranku, pastilah aku akan tersesat dipinggang gunung ini." Tetapi sebaliknya, hati Sin Houw bercuriga, pikirnya didalam hati:
"Jika tempat kediaman Ouw sinshe berada di sebelah timur laut, sebenarnya ia dapat menerangkan dengan tegas. Kenapa ia menggunakan kata-kata: lebih baik mengambil jalan ke timur laut?"
Thio Sin Houw meskipun baru berumur belasan tahun, akan tetapi pengalamannya terhadap manusia lebih banyak dari pada Cie siang Gie. Maklumlah selama beberapa tahun ia dikejar musuh-musuh ayahnya terus-menerus, dan semua musuh-musuh ayahnya seringkali kalau bicara menggunakan tipu muslihat jebakan-jebakan tertentu, Karena itu setiap kali hendak mengambil keputusan, keluarganya dipaksa untuk memecahkan teka-teki atau menduga-duga tata muslihat lawan terlebih dahulu.
Tetapi kali ini meskipun ia menaruh curiga, namun segan mendesak lebih jauh lagi, segera ia memberi isyarat kepada Cie siang Gie agar meneruskan perjalanan.
Baru saja mereka melintasi gundukan tanah tinggi, dihadapannya menghadang sebuah telaga yang sangat luas, jalan satu-satunya yang nampak di depan matanya, mengarah ke jurusan barat dengan demikian, petunjuk gadis dusun tadi sangat bertentangan.
"Kurang ajar perempuan itu!" maki Cie siang Gie, "Kalau tak sudi memberi petunjuk, sebenarnya kita juga tidak akan memaksa, Biarlah, kalau kelak kita lewat di dusunnya lagi aku akan menghajarnya!"
Thio Sin Houw merasa heran. Baik Cie siang Gie maupun dirinya, tadi telah berbuat baik terhadap gadis itu, Apa sebab balasannya demikian buruk?
"Toako!" kata Sin Houw, "Kurasa perempuan itu mempunyai hubungan dengan Ouw sinshe."
"Apa kau melihat tanda-tanda yang mencurigakan?" sahut Cie siang Gie. "Kedua matanya bersinar luar biasa," kata Thio Sin Houw, "Aku merasa bahwa ia bukan seorang perempuan dusun yang belum pernah melihat dunia."
"Benar!" kata Cie Siang Gie. "Kalau begitu, ku buangnya saja dua tangkai bunga pemberiannya ini."
Cie siang Gie segera mengeluarkan dua tangkai bunga dari sakunya, Melihat bunga itu berwarna sangat indah, hingga Thio Sin Houw merasa sayang. Katanya:
"Perempuan itu memang patut kita sesali, akan tetapi bunga pemberiannya ini sangat indah. Belum tentu bunga ini akan mencelakakan kita."
Setelah berkata demikian, ia segera mengambil dua tangkai bunga itu dari tangan Cie siang Gie dan dimasukkannya ke dalam kantongnya sendiri. Kemudian memberi isyarat kepada Cie Siang Gie, agar meneruskan perjalanannya menuju ke barat.
"Hai! Hati-hati sedikit. Jalan ini nampaknya licin sekali!" ia memberi ingat dari punggung Cie siang Gie, tetapi Cie siang Gie nampaknya sudah uring-uringan karena mendongkol terhadap gadis dusun tadi, ia berjalan dengan langkah panjang, makin lama makin cepat.
Waktu itu magrib telah tiba, sejak tadi hati mereka sudah khawatir, pada siang hari, meskipun andaikata perjalanan sangat berbahaya, semuanya dapat dilihat dengan terang benderang, sebaliknya apabila malam hari tiba, suasana alam menjadi gelap pekat.
Teringat pengalamannya kemarin malam hati mereka berdebaran, setelah berjalan setengah jam lagi, suasana alam berubah dengan mendadak. Pohon-pohon dan rumput-rumput yang tumbuh dikiri-kanan jalan makin berkurang, Akhirnya mereka tiba pada suatu tempat yang gundul sama sekali. Dan melihat pemandangan demikian, jantung Thio Sin Houw maupun Cie siang Gie memukul keras.
Kata Sin Houw dengan suara cemas: "Toako, coba lihat! selembar rumputpun tiada tampak tumbuh di sini, sungguh mengherankan I"
"Benar." jawab Cie siang Gie. "Andaikata semua tumbuh- tumbuhan yang berada di sini dibabat manusia, setidak- tidaknya masih nampak bekas-bekasnya, Jangan-jangan inilah akibat tanah gamping atau lahar gunung ..." ia tidak menyelesaikan kata-katanya, sebaliknya setelah berdiam sejenak, ia berbisik kepada Thio Sin Houw:
"Sesungguhnya, sute, Belum pernah aku singgah ditempatnya paman Ouw, Tetapi aku yakin, bahwa tempat paman Ouw sudah berada dekat sekali, Mungkin dialah yang menebari racun, hingga tanah disini tidak dapat ditumbuhi se- onggok rumputpun."
Thio Sin Houw mengangguk. Teringat kelumpuhan jasmaninya disebabkan karena racun pula, ia jadi ketakutan begitu mendengar kata-kata racun. Tiba tiba saja ia mengeluarkan dua potong saputangan, setelah menutupi pernapasannya dengan saputangan itu, ia memberikan saputangan lainnya kepada Cie siang Gie, Katanya:
"Kau tutuplah hidungmu dengan saputangan, mungkin sekali disini kita akan menghisap asap beracun, Kalau toako mempunyai sehelai kain yang agak panjang, bebatlah kedua kakimu agar tidak menginjak tempat-tempat yang beracun!"
Cie siang Gie mendengarkan peringatan Thio Sin Houw dengan perasaan kagum, ia memuji sikap hati-hati sang adik itu, Segera ia menutupi pernapasannya dengan sehelai saputangan pemberian Thio Sin Houw, kemudian mengambil sehelai kain dan dibebatkan pada kedua kakinya.
Dengan waspada mereka melanjutkan perjalanan Tak lama kemudian kembali mereka melihat sebuah bangunan atau sebuah rumah yang bentuknya aneh sekali. Rumah itu bentuknya seperti sebuah kuburan besar tanpa pintu dan tanpa jendela, sedangkan warnanya hitam mulus sehingga kelihatannya menyeramkan sekali. sepuluh meter disekitar rumah itu berdiri pohon-pohon pendek yang daunnya berwarna merah darah.
Cie Siang Gie seorang pemuda yang tidak pernah mengenal takut menghadapi segala kejadian-kejadian yang menyeramkan, pengalamannya pun banyak sekali. seringkali ia menghadapi lawan yang bersenjata racun jahat, dan kerap kali pula ia melintasi wilayah-wilayah yang berbahaya, Akan tetapi pada saat itu, dia yang mempunyai keberanian besar, tak urung mengeluarkan keringat dingin juga, begitu menyaksikan penglihatan yang aneh dan menyeramkan itu. Bisiknya kepada Thio Sin Houw:
"Sute, bagaimana pikiranmu?"
"Apakah rumah itu kira-kira tempat bersemayannya Ouw sinshe?" Thio Sin Houw menduga, "Jika rumah tersebut memang tempatnya Ouw sinshe, kita mohon dengan sopan- santun. Lalu kita mempertimbangkan perkembangan selanjutnya."
Cie siang Gie sudah percaya akan kecerdasan Sin Houw, maka dengan hati-hati ia maju terus. Kemudian dengan sikap sangat hormat ia berseru:
"Tecu, Cie siang Gie, Keponakan paman, hari ini datang bersama seorang sahabat bernama Thio Sin Houw, Kami berdua menghaturkan selamat kepada Ouw pekhu "
Meskipun ilmu kepandaian Cie siang Gie punah, akan tetapi tidak berarti tenaganya benar-benar hilang. Masih sanggup ia berseru dengan nyaring sekali, suaranya tajam dan jelas. Apa-lagi ia berteriak ditengah alam yang sunyi-sepi, Suara demikian dapat di tangkap limapuluh atau seratus meter dengan jelas. Akan tetapi rumah itu tetap sunyi-sepi, Tak terdengar suara apapun juga.
Sekali lagi Ouw siang Gie berteriak, tetapi tetap saja tidak memperoleh jawaban, pemuda itu jadi agak mendongkol, segera ia berteriak untuk yang ketiga kalinya dengan sekuat tenaga. Katanya:
"Aku kena pukulan hebat, dan adikku ini terkena racun jahat. Entah siapa yang melakukan penganiayaan terhadap kami berdua, kami sendiri tidak jelas, itulah sebabnya, kami datang kemari mohon pertolongan supek!"
Akan tetapi, tetap saja ia tidak memperoleh jawaban. Dalam pada itu, cuaca semakin gelap, Thio Sin Houw
menjadi gelisah, tanyanya minta pertimbangan kepada Cie
siang Gie:
"Toako, apak kau pernah bertemu dengan Ouw supekmu?" Cie siang Gie mengangguk, sahutnya:
"Tiga kali aku pernah bertemu dengannya." "Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan?"
Cie Siang Cie tertegun-tegun, Tak berani ia mengambil
keputusan. Rupanya ia terlalu mengenal tabiat pamannya, sehingga apabila kurang hati-hati jerih payahnya itu akan menjadi sia-sia belaka.
"Apa kita pulang saja, dan menyerahkan nasib kepada Tuhan?" ujar Thio Sin Houw lagi, "Kalau demikianlah keputusanmu, biar aku menunggu nasibku saja, percayalah, aku tidak akan menyesali siapapun juga."
Mendengar perkataan Thio Sin Houw itu, hati Cie Siang Gie menjadi terharu. Dengan penuh semangat ia menyahut:
"Aku sudah berjanji kepada kakek-gurumu, Tie-kong tianglo.Meskipun tiba-tiba pamanku menjadi raja iblis yang paling kejam dijagad ini, aku tidak akan mundur, Coba kau tunggu disini, biarlah aku sendiri memasuki halamannya. Mungkin pula dia enggan memberi jawaban kepadaku karena melihat kehadiranmu "
Sehabis berkata demikian, tanpa menunggu jawaban ia menurunkan Thio Sin Houw dari punggungnya. Kemudian seorang diri ia memasuki halaman rumah yang aneh itu, Dalam hatinya ia sudah mengambil keputusan tetap, hendak menggunakan kekerasan apabila perlu. Meskipun pernah menyaksikan kemampuan Ouw Ceng Gie, namun ia percaya bahwa pamannya itu hanya pandai mengobati orang sakit saja, Dia yakin, dalam hal berkelahi kepandaiannya tidak begitu tinggi.
Pohon-pohon berdaun merah itu ternyata mempunyai cabang yang lebat sekali, demikian pula daunnya, sehingga merupakan sebuah mahkota yang rimbun. Begitu lebat cabang, ranting-ranting dan daunnya, sehingga mencapai tanah. Maka tidaklah mudah untuk melintasi dengan begitu saja.
Tanpa berpikir panjang lagi, Cie siang Gie segera mengambil keputusan hendak melompati pagar pohon itu saja, selagi badannya masih berada ditengah udara, tiba-tiba ia mencium bau wangi. pada saat itu juga kedua matanya menjadi gelap, kepalanya pusing. Dan ia roboh terbanting diantara rimbun pohon.
Peristiwa itu sudah tentu mengejutkan hati Thio Sin Houw, segera ia hendak menyusul, akan tetapi kaki dan tangannya tidak dapat digerakkan. setiap kali berusaha akan berdiri, tubuhnya bergemetaran dan terasa lemah lunglai, Akan tetapi Ihio Sin Houw adalah anak yang keras hati, segera timbullah keputusannya hendak mencoba menghampiri. Hati-hati, ia bertiarap kemudian merangkak-rangkak maju dengan mengisutkan tubuhnya, ia dapat melakukan gerakan tersebut, akan tetapi tentu saja sangat lambat.
Baru saja ia me rangkak beberapa meter jauhnya, tenaga jasmaninya terasa habis. Keringat membasahi seluruh tubuhnya, namun dengan menguatkan diri ia terus maju sedikit demi sedikit.
Sekarang ia telah memasuki halaman rumah berbentuk aneh itu, seperti Cie siang Gie, segera ia mencium bau wangi dan dadanya lantas saja menjadi sesak. Karena tadi menyaksikan robohnya Cie siang Gie, dapatlah ia berlaku lebih hati-hati. Dengan menguatkan diri, kerapkali ia menahan napas. Ke-mudian dengan menundukkan kepalanya ia maju terus mendekati tubuh Cie siang Gie yang tergolek diatas tanah dalam keadaan tidak berkutik lagi, segera ia memeriksa kedua mata Cie siang Gie ternyata tertutup rapat. Tangan dan mukanya dingin, akan tetapi napasnya masih berjalan dengan baik.
Thio Sin Houw menjadi bingung berbareng juga khawatir. Katanya di dalam hati:
"Akh! Dia datang kemari dengan maksud mulia sekali untuk menolong diriku. Akan tetapi belum lagi ia bertemu dengan pamannya, sudah terbanting roboh terkena racun. Aku sendiripun sudah menghisap hawa beracun dan tinggal menunggu waktu saja, Tak apalah bila aku yang mati, tetapi dia? Dia harus hidup! Ouw sinshe adalah pamannya. seumpama dia datang seorang diri, pastilah tidak akan mengalami bencana demikian ini."
Oleh pikiran itu, ia menjadi nekad, Lalu mendekati rumah aneh itu,
"Ouw sinshe!" ia berteriak. "Dengan tangan kosong kami datang ke mari untuk memohon pertolongan, sama sekali kami tidak mengandung maksud kurang baik, Jika Ouw sinshe tetap tak sudi menemui kami, maka kami terpaksa tak dapat menghargai anda lagi!"
Sambil berteriak, ia mengamati-amati bangunan rumah itu, Tatawarna rumah itu hitam seluruhnya, sehingga seolah-olah bukan terbuat dari kayu.
Kesannya tak ubah sekapan gerombolan liar yang berada di atas gunung, walaupun demikian, sekitar rumah tersebut bersih luar biasa, Tak ada sepotong kayupun atau selembar daun di kiri kanannya, bahkan sebutir batu juga tidak nampak. Beberapa saat lamanya ia berdiri tertegun sambil mengasah otak.
Setelah menghampiri rumah itu - tak berani ia menyentuh karena takut terkena racun.
Tiba-tiba teringatlah dia, di dalam sakunya terdapat beberapa potong uang perak. segera ia mengeluarkan se potong uang perak dan dipergunakan untuk mengetuk dinding rumah tersebut.
Ia heran, tatkala terdengar suara "tring", Maka jelaslah sudah, bahwa bangunan tersebut dibuat dari logam, setelah memasukkan uang peraknya ke dalam saku kembali, ia menundukkan kepala hendak menyelidiki. Tiba-tiba bau wangi menyambar hidungnya, dan begitu mencium bau wangi itu dadanya terasa lega dan otaknya menjadi lebih terang. Heran dan terkejut ia menundukkan kepalanya lagi, Dan sekali lagi ia mencium bau wangi yang menyegarkan dadanya.
Ternyata bau wangi itu, meruap dari kuntum bunga biru pemberian gadis dusun tadi, Katanya didalam hati:
"Akh! Kalau begitu, bunga ini mempunyai khasiat penolak racun, sekarang terbuktilah bahwa gadis itu tidak bermaksud buruk, bahkan dengan diam-diam ia memberi pertolongan."
Memperoleh keyakinan demikian, timbullah keberanian Thio Sin Houw, Dengan merangkak-rangkak ia maju mendekati rumah aneh itu, Benar-benar ajaib! Rumah tersebut tidak mempunyai jendela maupun pintu, bahkan lubang kecilpun tidak terdapat di sana, pikirnya:
"Apakah rumah ini tidak ada penghuninya? Kalaupun ada penghuninya, bagaimana bisa hidup didalam bangunan yang tidak berhawa sama sekali?"
Sebenarnya besar keinginannya ia hendak mengadakan penyelidikan lebih lanjut, akan tetapi ia sudah tidak bertenaga lagi, setelah menimbang-nimbang sejenak, ia menghampiri Cie siang Gie dan menempelkan bunga birunya pada lubang hidungnya. Begitu Cie siang Gie mencium harum bunga biru itu, ia bersin dan tersadarlah.
Thio Sin Houw girang bukan kepalang, Dan lantas saja mengambil keputusan untuk kembali kepada gadis dusun yang dijumpainya petang tadi, dengan maksud memohon nasehat dan petunjuk-petunjuknya.
Setangkai bunga biru lalu ditancapkan pada dada Cie siang Gie sedang yang lainnya digenggamnya erat-erat, seolah-olah jimat dari sorga, Kemudian ia menunggu sampai tenaga Cie Siang Gie pulih kembali.
Tak usah menunggu terlalu lama, Cie siang Gie telah dapat berdiri tegak. Karena pemuda ini semakin percaya kepada Thio Sin Houw, ia tidak membantak tatkala di ajaknya kembali kedusun untuk mencari sigadis pemilik bunga biru.
Demikianlah sambil mendukung Thio Sin Houw, segera ia melompati pohon-pohon merah yang ternyata sangat beracun itu, Tetapi baru saja kedua kakinya hinggap diatas tanah, mendadak terdengarlah bentakan datang dari dalam rumah aneh itu:
"Hai!"
Suara itu terdengar menyeramkan dan mengandung rasa gusar yang bergolak hebat. Dan mendengar bentakan itu, Thio Sin Houw menolehkan kepalanya, serunya:
"Ouw sinshe! Apa kau sekarang sudi menerima kami?" Pertanyaan itu tidak memperoleh jawaban, dan tetap tak
terjawab meskipun ia mengulangi seruannya beberapa kali
lagi.
Tiba-tiba kesunyiam malam itu di pecahkan oleh suara gedubrakan seolah-olah benda berat jatuh keatas tanah.
Dengan berbareng, Cie siang Gie dan Thio Sin Houw memalingkan kepalanya, Hati mereka terkesiap, tatkala kesiur angin tajam menyambar dirinya, sebelum dapat berbuat sesuatu, mereka telah terbanting roboh ketanah...
Entah berapa lamanya mereka terkapar diatas tanah. setelah menyenakkan mata, mereka ternyata berada di tengah tegalan bunga tanaman si gadis dusun. Malam hari pada waktu itu sunyi senyap, Diantara kesunyian malam.
Bunga-bunga biru yang sedang berkembangan menyiarkan bau yang sangat kuat.
Dan mencium harum bunga itu, dada Cie Siang Gie dan Thio Sin Houw menjadi lega dan semangatnya menjadi pulih kembali.
Mereka berdua masing-masing menderita luka, Thio Sin Houw sejak turun Siauw-sit san boleh dikatakan lumpuh tidak bertenaga, sedangkan Cie siang Gie kecuali menderita luka parah akibat pukulan-pukulan beracun, kakinya menginjak racun di halaman rumah aneh itu pula.
Maka dapatlah dibayangkan, bahwa penderitaan mereka kian menjadi hebat. Akan tetapi aneh! Benar-benar aneh! setelah sadar penuh-penuh, baik Cie Siang Gie maupun Thio Sin Houw, dapat menggerakkan kaki dan tangannya dengan leluasa, walaupun terasa agak lemas.
Thio Sin Houw nyaris tak percaya kepada perubahannya sendiri. Berkali-kali ia mencoba mencoba berjalan pula, semuanya berjalan lancar.
"Hai! Bukankah aku sedang bermimpi?" serunya.
Dan berbareng dengan seruannya, Cie siang Gie pun berteriak kagum penuh sukacita:
"Sute! Kau bisa berjalan?"
"Benar! Aku bisa berjalan. Benar-kah ini? ini bukan mimpi, bukan?"
Cie siang Gie tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. serunya cepat.
"Bukan! Bukan mimpi! Benar-benar terjadi! Kau bisa berjalan, sute!"
Mereka berdua lantas berpelukan hangat, setelah puas, mereka memutuskan untuk bermalam dirumah si gadis dusun, agar memperoleh pertolongan dan petunjuknya. sekonyong- konyong rumah gubuk yang berada didepannya terbuka jendelanya, dan muncullan sinar pelita.
"Brak!" pintu terbuka dan gadis dusun itu kelihatan berdiri diambang pintu. "Silahkan kalian masuk! gadis itu mengundang, "Dusunku sangat melarat, dan aku sendiri sangat miskin pula, Tak dapat aku menyuguhkan santapan yang pantas kepada kalian, silahkan kalian minum teh hangat dan nasi kasar."
Dengan bergandengan tangan, Thio Sin Houw dan Cie siang Gie memasuki rumah. setelah itu cepat-cepat Thio Sin Houw membungkuk hormat, dan berkata dengan suara merendah:
"Kami berdua sungguh merasa malu, karena ditengah malam buta begini telah mengganggu ketenteraman cici."
Gadis itu tersenyum dan berdiri disamping pintu, mempersilahkan kedua tamunya masuk. Begitu masuk, baik Thio Sin Houw maupun Cie siang Gie melihat bahwa perabot gubuk itu sangat sederhana. Tiada bedanya dengan rumah- rumah gubuk orang miskin. Tetapi suatu hal yang aneh, seluruh ruangan luar biasa bersihnya seolah-olah tidak melekat debu. Menyaksikan hal itu, jantung Sin Houw memukul keras. Kebersihan gubuk ini, mirip benar dengan kebersihan rumah aneh yang berpagar pohon pohon beracun!
"Kalian duduklah!" kata gadis itu lagi, mempersilahkan kedua tamunya, ia masuk ke dalam dan beberapa saat kemudian ia keluar dengan membawa dua mangkok kosong, sepanci nasi, sepiring sayur dengan kuah berikut air teh yang masih hangat. Hidangan yang disajikan sangat sederhana, akan tetapi masih mengepulkan asap panas. Begitu uap asap hidangan tercium hidung, Sin Houw dan siang Gie lantas tergugah rasa laparnya.
Tak usah dikatakan lagi, setelah mengarungi perjalanan yang begitu jauh mereka berdua sangat lapar.
"Terima kasih!" kata Thio Sin Houw sambil tertawa. segera ia mengisi mangkok kosongnya dengan nasi putih yang masih mengepul-ngepulkan asap hangat. setelah menaruhkan sayur serta kuahnya - segera ia makan dengan bernapsu sekali.
Sebaliknya tidaklah demikian dengan Cie siang Gie, Pemuda bermuka berewokan ini tidak berani bergerak karena hatinya menaruh curiga, Katanya didalam hati:
"Semua makanan ini tentunya sudah disiapkan terlebih dahulu. Kalau tidak masakan masih begini hangat. Aku tadi jatuh pingsan tidak sadarkan diri, mengapa dia bisa menduga dengan tepat bahwasanya aku tersadar pada jam begini? Akh, aku harus hati-hati dan waspada terhadap penduduk sekitar tempat ini. Biarlah aku menderita lapar daripada mampus kena racun."
Memperoleh pikiran demikian, tatkala si gadis masuk ke dalam ia segera berbisik kepada Thio Sin Houw :
"Sst! Lebih baik kau jangan makan apa-apa disini, Dusun ini sangat berdekatan dengan lembah Ouw-tiap kok, dan paman Ouw bertabiat aneh sekali. Apa kau lupa? Jangan- jangan semuanya ini beracun "
Akan tetapi Thio Sin Houw berpendapat lain, ia mengira gadis dusun ini tidak mengandung maksud kurang baik, Apabila bermaksud jahat, apa sebab tadi menghadiahkan dua kuntum bunga kepada mereka berdua? Dan ternyata sangat besar faedahnya, Disamping itu, jikalau hidangan yang disajikan ini tidak dimakan, gadis itu tentu merasa tersinggung, selagi ia hendak menyatakan pendapatnya itu, sigadis sudah keburu keluar dari dapur, Kali ini ia membawa sebuah nampan kayu, dan di atas nampan itu terdapat sepanci nasi yang masih mengepulkan asap hangat. Thio Sin Houw bangkit dari duduknya, berkata:
"Terima kasih atas budi baik cici, dapatkah kami berdua menyampaikan hormat kepada ayah dan ibumu?"
"Kedua orang tuaku sudah meninggal dunia," jawabnya. "Aku hidup sebatang kara disini."
"Akh!" Thio Sin Houw berseru tertahan. Terus saja ia jadi teringat kepada nasibnya sendiri, pada hari ini dia pun hidup sebatang kara pula. Tetapi dia tidak berkata sesuatu apa, setelah kembali duduk ia meneruskan makannya.
Hidangan yang disajikan berupa sayur-mayur segar yang rasanya lezat sekali. Dengan tidak sangsi lagi, Sin Houw menyapu semua hidangan yang di suguhkan kepadanya. Untuk menyenangkan hati gadis itu, sambil makan tidak hentinya ia memuji lezatnya santapan. Keruan saja Cie siang Gie tambah prihatin. Dengan menghela napas perlahan ia mengawasi Sin Houw, yang terus menjejali mulutnya dengan tidak mengenal bahaya. Katanya didalam hati:
"Baiklah, jika kau tidak mendengarkan nasihatku, Akupun tidak dapat berbuat apa-apa. Bagaimanapun juga kita berdua tidak boleh mati berbareng karena racun.
Walaupun kasar, Cie siang Gie mempunyai pengalaman pergaulan yang luas dalam masyarakat. Maka agar tidak menyinggung hati gadis itu, ia berkata:
"Kouwnio, harap kau memaafkan aku, tatkala aku mendekati rumah aneh itu aku kena racun sehingga perutku terasa tidak enak sekali. Napsu makanku lenyap sama sekali
..."
Mendengar perkataannya, si gadis lantas menuangkan teh pada mangkok kosong dan diangsurkan kepada Cie siang Gie, Katanya:
"Kalau begitu, minumlah air teh ini saja."
Cie siang Gie menerima pemberian air teh yang dituang ke dalam mangkok tadi, Dengan sudut matanya, ia menjenguk ke dalam mangkok. Warna air teh ternyata kehijau-hijauan, sebenarnya ia haus sekali, akan tetapi begitu melihat warnanya - napsunya lantas hilang, seperti orang yang punah tenaganya, ia menaruh mangkok teh ke atas meja dengan lemah lunglai, Si gadis tidak merasa tersinggung, sikapnya tenang-tenang saja.
Sama sekali ia tidak menunjukkan rasa kesal atau jengkel. Melihat Sin Houw menyapu habis semua hidangan yang disajikan seperti macan kelaparan, ia menjadi girang, sinar matanya lantas berseri-seri.
Thio Sin Houw meskipun bocah yang baru berumur belasan tahun, sesungguhnya memiliki otak cerdas luar biasa, sekali melirik, pandang mata gadis itu tak luput dari perhatiannya, ia makan sekenyang-kenyangnya, karena sudah diperhitungkan untung ruginya.
Sejak meninggalkan kuil Siauw-lim sie, hatinya sudah menjadi putus asa terhadap hidup dan kehidupan. seluruh tubuhnya sudah berlumuran racun berbahaya, itulah sebabnya ia tak takut lagi menghadapi segala macam racun di dalam dunia ini, Dan apabila hidangan yang disajikan kepadanya itu mengandung racun, makan sedikit ataupun banyak akibatnya sama saja.
Maka ia malah membuka perutnya sebesar-besarnya dan menghabiskan empat mangkok nasi, serta menyikat semua santapan yang berada diatas meja.
Setelah selesai, gadis itu lalu bergerak hendak mengundurkan bekas-bekas hidangan. Akan tetapi Sin Houw telah mendahuluinya, Dengan rapi ia menyusun perabot makan minum di atas nampan, dan dibawanya ke dapur.
Kemudian dicucinya sekali, setelah bersih, perabotan itu lalu dimasukkan ke dalam lemari, Melihat persediaan air dalam tempayan yang tinggal sedikit, segera ia mengambil tahang dan mengambil air diselokan yang berada disamping rumah. Dalam pada Itu, gadis pemilik rumah menyapu sisa- sisa makanan yang tercecer di tanah.
Sebenarnya Thio Sin Houw tidak boleh bergerak terlalu banyak. Betapapun juga tenaganya yang datang tiba-tiba sehingga bisa menggerakkan kaki-tangannya itu, adalah untuk sementara saja, ia sadar akan hal itu, justru demikian, ia mau menggunakan kesempatan sebaik-baiknya untuk membuat jasa.
Demikianlah, setelah mengisi tempayan itu penuh-penuh, ia kembali ke ruangan depan. Cie siang Gie ternyata sudah tidur sangat nyenyak, mendekam di tepi meja.
"Maaf, adik." kata gadis itu. "Aku tidak mempunyai kamar tamu, untuk pelepas lelah, adik hanya bisa merebahkan diri diatas bangku panjang itu.
"Terima kasih atas segala budimu ini," jawab Thio Sin Houw sambil tertawa, "janganlah cici bersegan-segan lagi terhadapku."
Gadis dusun itu tidak berkata apa-apa lagi, setelah menutup pintu depan, ia segera masuk ke dalam. Ternyata pintu itu tidak dikuncinya,
Diam-diam Thio Sin Houw kagum terhadap sikap gadis itu,Meskipun hidup seorang diri ditempat yang begini sepi, namun masih berani ia menerima dua tetamu laki-laki semua, per-lahan-lahan ia mendorong pundak Cie siang Gie, dan membisik:
"Toako, pindahlah ke bangku panjang itu."
Diluar dugaan, begitu kena dorong Thio Sin Houw - badan Cie siang Gie miring dan terguling diatas tanah.
Kaget Sin Houw meraih dan mencoba membangunkannya. Begitu tangannya menyentuh paras siang Gie, hatinya tercekat. Ternyata paras muka Cie siang Gie sangat panas seperti api, Dengan suara tertahan ia mencoba menyadarkan:
"Toako, kau kenapa?"
Ia menjadi bingung. Buru-buru ia mengambil pelita dan menyelidiki keadaan siang Gie. Muka siang Gie nampak merah membara, ia mirip seseorang yang tertidur karena mabuk. Anehnya, mulutnya menebarkan uap arak pula, pikirnya didalam hati:
"Anehl Kapan ia minum arak? jangan lagi arak, air tehpun yang disuguhkan ia tidak berani menyentuhnya. Tetapi, apabila ia tidak minum arak kenapa mulutnya bau arak begini keras? iapun mabuk pula..."
Dalam keadaan tak sadar, Cie siang Gie mengigau:
"Tidak! Aku tidak mabuk! Mari, mari! Mari kita minum tiga mangkok lagi!" Thio Sin Houw jadi prihatin, Besar dugaannya bahwa mabuknya pemuda itu disebabkan perbuatan si gadis yang mungkin tersinggung hatinya, Bukankah Cie siang Gie menolak makanan dan minuman yang dihidangkan tadi? ia berkhawatir dan heran, tidak tahu ia apa yang harus dilakukan. Harus membangunkan si gadis untuk memohon pertolongan...? Atau membiarkan saja Cie siang Gie sampai tersadar sendiri? sekonyong-konyong ia mempunyai pikiran:
"Akh, apakah benar begitu? Cie toako takut kena racun, justru demikian, gadis itu malah meracunnya, karena hatinya tersinggung, Ya, benar begitu. Nampaknya Cie toako bukan mabuk sewajarnya, pastilah ia telah terkena racun..."
Selagi hatinya berbincang bimbang, dikejauhan tiba-tiba terdengar salak binatang liar yang sangat menyeramkan. Ditengah kesunyian malam suara itu membangunkan bulu roma. Salak itu memekik tinggi, seolah-olah jeritan seseorang yang kena aniaya, Teringatlah dia akan tutur kata ayah ibunya, bahwa jeritan demikian adalah salak srigala kelaparan. Tetapi masakan di pinggang gunung Ouw-tiap san ini ada kawanan srigala? Andaikata memang ada, mestinya hanya satu-dua ekor saja, Dan tidak merupakan rombongan besar.
Dengan hati berdebaran, Sin Houw memasang telinganya. semakin lama salak itu semakin dekat, Kadang kadang diselingi dengan jeritan kambing hutan yang kesakitan. Selagi hendak menengok keadaan Cie siang Gie, tiba-tiba pintu ruang dalam terbuka dan nampak sigadis membawa lentera, wajahnya nampak ketakutan, katanya:
"ltulah kawanan srigala "
Thio Sin Houw mengangguk. ia mengawasi gadis itu, dan berkata sambil menunjuk Cie siang Gie:
"Cici "
Sebenarnya ia hendak minta pertolongan, akan tetapi pada saat itu salak kawanan srigala terdengar makin dekat.
Mendengar hiruk-piruk salak srigala, hati Thio Sin Houw tergoncang.
Tak dikehendaki sendiri, wajahnya menjadi pucat.
Cie siang Gie sedang dalam keadaan tak sadarkan diri, sedang sikap gadis itu masih meragukan, Apakah dia kawan atau lawan? Thio Sin Houw belum dapat menentukan. Apa yang harus di lakukannya?
Selagi dalam keadaan kebingungan, ia mendengar bunyi derap kaki kuda di antara salak anjing yang kacau balau, Derap kaki kuda itu terdengar cepat luar biasa.
(Oo-dwkz-oO)
BURU-BURU Thio Sin Houw membungkuk dan menyeret Cie siang Gie kebawah bangku panjang, ia sendiri lantas melompat ke dapur mencari golok. Tetapi karena gelap gulita, golok itu tidak mudah dicarinya. Bahkan untuk memperoleh sebilah pisau dapurpun tidak dapat.
"Apakah kau orang suruhan dari keluarga Tan Liang Peng?" terdengar suara gadis dusun itu membentak. "Apa perlunya kau datang ditengah malam buta ?"
Mendengar bentakan gadis itu yang sangat angker, hati Thio Sin Houw menjadi lega. sekarang, sedikitnya ia mengetahui bahwa penunggang kuda itu bukan kawan si gadis. Dengan cepat ia menerobos keluar, dan masuk kedalam pekarangan belakang, setelah mencari batu-batu kecil, ia segera melompat ke atas pohon dan memanjatnya tinggi-tinggi.
Seperti kemarin malam, malam itu bulan muncul di langit, Hanya kali ini sinarnya nampak guram. Di bawah sinar bulan remang-remang itu, ia mengamat-amati penunggang kuda yang tiba-tiba berada di depan pintu.
Dia seorang laki-laki, pakaiannya abu-abu, Mungkin warna abu-abu itu disebabkan oleh sinar bulan yang remang-remang. Ia diikuti belasan srigala yang selalu menyalak dan menjerit menyeramkan. Terang sekali binatang-binatang itu sedang kelaparan. Sepintas lalu, orang itu seperti lagi diuber binatang buas itu, Tetapi setelah diamat-amati, ternyata si penunggang kuda menyeret seekor kambing putih yang diikatkan pada tunggangannya, Karena terseret kuda yang berlari-lari sangat cepat, kambing putih itu mengembik-embik kesakitan.
Menyaksikan kejadian itu, Thio Sin Houw heran bukan main. Apakah dia seorang pemburu yang lagi memberi umpan pada belasan srigala yang memburu dibelakangnya?
Mendadak ia memutar kudanya dan mengaburkan memasuki kebun bunga, Dengan diubar kawanan srigala, ia melarikan kudanya dari timur ke barat dan dari barat ke timur, dalam sekejab mata saja seluruh tanaman bunga itu rusak terinjak-injak, orang itu benar-benar pandai menunggang kuda, sekian kali ia membawa kudanya lari berputaran, tetap saja kawanan srigala itu tidak dapat menerkam kambing putih yang terseret dibelakangnya.
"Akh!" Thio Sin Houw tersadar. "Nampaknya orang itu sengaja hendak merusak kebun bunga ini. Kalau begitu tak dapat aku berpeluk tangan saja."
Segera ia mempersiapkan batu-batu yang digenggamnya, akan tetapi sebelum ia dapat berbuat sesuatu, terdengar suara erangan.
"Aduhhh!"
Berbareng dengan suara mengaduh itu, sipenunggang kuda mengaburkan kudanya kearah utara dan kambing yang tadi diseretnya itu ditinggalkan di tengah-tengah kebun.
Keruan saja kambing putih itu lantas menjadi mangsa belasan srigala yang kelaparan, Dengan menggeram, menyalak dan menggerung, belasan srigala lapar itu menerkam dan merobek-robek perut kambing putih itu.
"Jahat benar orang itu" pikir Thio Sin Houw sambil menimpukkan dua butir batu. Oleh timpukan itu dua ekor anjing serigala roboh terguling. Sekali lagi Thio Sin Houw menyambitkan dua butir batunya, kali ini batu yang disambitkan agak kecil. Yang satu mengenai perut seekor serigala dan yang lain menghajar kaki depan serigala yang sedang merobek-robek perut kambing putih.
Meskipun tak sampai mati, kedua serigala itu lantas memekik-mekik kesakitan.
Kawanan binatang buas itu agaknya mengerti, bahwa musuh mereka berada di atas pohon. Mereka mendongak dan menggeram sambil memperlihatkan taringnya. Pandang matanya berapi-api seperti bara yang menyala dan menyaksikan keganasan binatang buas itu, tak terasa Thio Sin Houw jadi bergidik.
Tanpa memegang senjata, ia merasa tak ungkulan melawan kawanan serigala ganas itu. Apa lagi sesungguhnya tenaga yang diperoleh hanya untuk sementara saja.
Sekali lagi ia mengayunkan tangannya untuk menimpuk serigala jantan yang paling besar.
Bagaikan kilat batunya menyambar tenggorokan serigala jantan itu. Terkena sambitannya, binatang itu terguling-guling dengan mengiang-ngiang kemudian kabur sekencang- kencangnya.
Sedang serigala lain yang perutnya sudah kenyang, lantas turut kabur.
Lantas yang ketiga menyusul, kemudian yang berikutnya dan begitu seterusnya.
Dalam sekejap mata saja, mereka semua lenyap dari penglihatan. Akan tetapi kebun bunga itu sudah gugur hancur.
Thio Sin Houw segera turun dari pohonnya. Ia mendongkol, dengki dan mengutuk. Katanya berulangkali:
"Sayang, sayang! sungguh sayang!"
Betapa tidak?" Jerih payah gadis dusun itu, hilang musnah dalam beberapa saat saja, pastilah gadis itu gusar bukan kepalang, menyaksikan kebun bunganya hancur terinjak-injak kawanan serigala, Syukurlah, kalau hanya ber-gusar saja, Kalau sampai turun semangat, pastilah ia tidak sudi lagi menanam bunga-bunga yang sangat berkhasiat itu.
Tetapi diluar dugaan, gadis itu sama sekali tidak menyebut-nyebut tentang kerusakan kebunnya, Malahan ia tertawa sambil berkata:
"Adik! Terima kasih atas bantuanmu tadi."
"Aku sungguh sangat malu," jawab Thio Sin Houw, "Aku sangat menyesal. Beradanya aku disini ternyata tiada gunanya, seumpama aku ini seorang perkasa, sejak tadi tentu telah kurobohkan penunggang kuda yang biadab itu. Jika dia dapat kurobohkan,tanaman bunga ini tentu dapat diselamatkan."
Gadis itu tersenyum manis. Berkata dengan suara tenang: "Andaikata tidak dirusak oleh kawanan anjing liar itu,
beberapa hari lagi bunga-bunga itupun akan layu sendiri..."
Mendengar kata-kata gadis itu, Thio Sin Houw heran berbareng bercekat hatinya, Gadis dusun yang sederhana ini seolah-olah mengerti segalanya. Keakhliannya terdengar melebihi gadis-gadis yang hidup dikota. Karena itu, ia jadi tertarik hatinya, Dengan membungkuk hormat, Thio Sin Houw minta keterangan:
"Cici, budimu sangat besar terhadapku, Bolehkah aku mengetahui namamu ?"
Wajah gadis itu lantas berubah menjadi angker, jawabnya: "Orang memanggilku "si Jelek" tetapi dihadapan orang
lain, janganlah kau sekali-kali memanggil "si jelek kepadaku!"
Karena dia berbicara seperti kepada anggauta keluarganya sendiri.
- hati Thio Sin Houw menjadi girang dan bersyukur bukan main, ia maju selangkah lagi, bertanya:
"Kalau aku tidak boleh memanggil cici "si Jelek", lantas aku harus memanggil bagaimana? Tak sudikah cici memperkenalkan namamu sebenarnya?" "Kau sangat baik, adik." ujar gadis itu dengan tersenyum manis.
"Maka baiklah, karena sudah terlanjur biarlah aku memperkenalkan namaku kepadamu, Nama lengkapku Lie Hong Kiauw."
"Kalau begitu, aku akan memanggil cici sebagai cici Hong saja." kata Thio Sin Houw dengan tertawa.
Lie Hong Kiauw tertawa pula, Menyahut :
"Kau sungguh ramah " dan oleh kata-kata itu, entah apa
sebabnya jantung Thio Sin Houw berdebar. Lie Hong Kiauw bukan seorang gadis cantik, juga bukan gadis kota yang mengerti tentang kemajuan jaman. Namun demikian, lagu kata-kata dan suara tertawanya sangat manis dan meresapkan hati, Kedua modal ini merupakan daya tarik luar biasa baginya.
Selagi Thio Sin Houw hendak membicarakan keadaan Cie siang Gie, Lie Hong Hong Kiauw sudah mendahului. Katanya dengan acuh tak acuh:
"Sebenarnya, siapakah kalian berdua ini?"
"Aku sendiri bernama Thio Sin Houw, dan teman seperjalananku itu bernama Cie Siang Gie." jawab Thio Sin Houw dengan cepat.
"Oh, begitu? Keadaan Cie siang Gie sama sekali tidak berbahaya. sekarang aku ingin menemui beberapa orang, apakah kau mau ikut?"
Sekali lagi Thio Sin Houw heran. siapakah yang hendak dijumpainya pada larut malam begini? Meskipun ia ingin memperoleh keterangan, namun tak berani ia membuka mulut. Satu hal ia merasa pasti, bahwa tindakan Lie Hong Kiao tentu mempunyai maksud yang penting sekali. Maka tanpa berpikir panjang lagi ia menyahut:
"Baik, aku ikut!"
"Tetapi sebelum berangkat, kau harus berjanji tiga hal, Yang pertama, kau tidak boleh berbicara kepada lain orang." "Setuju!" sahut Thio Sin Houw cepat, "Aku akan berlagak
bisu."
"ltupun tak usah," ujar Lie Hong Kiauw dengan tertawa lebar. "Apakah kau akan berlagak bisu pula terhadapku? Kau boleh berbicara secara wajar kepadaku, hanya terhadap orang lain kau kularang membuka mulut. Dan yang kedua, kau tak boleh bertempur serta tak boleh melepaskan senjata macam apa pun juga, Juga kau tidak boleh memukul orang. pokoknya, semuanya tak boleh! Ketiga, kau tak boleh berpisah lebih dari tiga langkah dari sampingku!"
(Oo-dwkz-oO)
THIO SIN HOUW merasa mendapat kepercayaan. Dengan sangat girang ia mengiyakan, ia yakin bahwa gadis itu akan membawanya kepada sinshe Ouw Gie Coen, Terus saja ia bertanya:
"Apakah kita berangkat sekarang juga?"
"Sebentar! Kita harus membawa barang sedikit." ujar Lie Hong Kiauw.
Dan gadis itu lantas masuk ke dalam,
Kira-kira setengah jam kemudian, ia keluar dengan membawa dua keranjang bambu yang tertutup rapat, sehingga tak dapat diketahui apa isinya.
"Biarlah aku yang memikulnya..." kata Thio Sin Houw menyambut.
Gadis itu tersenyum, tetapi tidak menolak kehendak Sin Houw, ia meletakkan kedua keranjang beserta pikulannya ke atas tanah.
Thio Sin Houw sebenarnya masih termasuk kanak-kanak, meskipun bertahun-tahun ikut ayah-bundanya hidup merantau dari satu tempat ke tempat yang lainnya, akan tetapi selama itu belum pernah ia memikul sesuatu, Hanya terdorong oleh rasa sopan-santun belaka, ia menawarkan diri. padahal tenaganya belum pulih seluruhnya, ia tahu bahwa keadaan dirinya yang kini bisa menggerakkan tangan dan kaki, semata mata suatu keajaiban belaka, Bukankah Tie-kong tianglo yang terkenal maha sakti menyatakan putus asa tentang keadaannya?
Begitulah, ia mencoba mengangkat kedua keranjang bambu tersebut, ia jadi sempoyongan tatkala mencoba memikulnya, karena berat sebelah, Yang sebelah seberat tujuhpuluh kilo sedang yang lainnya ringan sekali. ia heran, akan tetapi tidak berkata sepatah katapun.
Melihat Thio Sin Houw sempoyongan - Lie Hong Kiauw lantas meraihnya, Katanya dengan tersenyum mengerti:
"Biarlah aku yang memikulnya, Kesehatanmu belum pulih seperti sedia-kala, bukan?"
Menghadapi kenyataan demikian, meskipun Thio Sin Houw ingin menyenangkan hati gadis itu, tak berani ia menolak. ia menyerahkan keranjang dan pikulan itu kembali kepada pemiliknya.
Lie Hong Kiauw mengunci pintu dari luar, Thio Sin Houw masih sempat menengok kearah Cie siang Gie yang terus menggeros, sedang mulutnya masih menebarkan ruap arak, Kemudian ia berjalan mengikuti Lie Hong Kiauw.
"Hong cici," kata Thio Sin Houw setelah mendampingi Lie Hong Kiauw, "Bolehkah aku menanyakan sesuatu hal kepadamu?"
Tanpa menoleh, gadis itu menjawab: "Boleh saja, asal aku dapat menjawabnya."
"Jikalau cici tak dapat menjawab, didalam dunia ini tiada seorang pun yang dapat memberikan jawaban." kata Thio Sin Houw lagi, "Kau sendiri tahu bahwa Cie toako tidak minum air setetespun, dan juga tidak makan sebutir nasipun, Tetapi mengapa ia sampai mabok begitu rupa?"
Lie Hong Kiauw tertawa geli, jawabnya : "Dia mabuk, justru karena tak makan dan tak minum!" Jawaban ini sangat diluar dugaan Thio Sin Houw, sehingga
bocah itu jadi sangat heran, Katanya tak mengerti:
"Akh! inilah benar-benar suatu kejadian yang sama sekali tak ku mengerti, Cie toako seorang pejoang yang banyak pengalamannya, ia berkepandaian tinggi pula. Bertahun-tahun lamanya ia berada didalam laskar perjuangan yang dipimpin oleh Cu Goan Ciang, Di dalam segala hal, ia cukup berwaspada dan berhati-hati. sebaliknya aku, anak kemarin sore yang belum pandai beringus, Kepandaianku sangat dangkal.
Apa sebab Cie toako yang selalu berwaspada dan bersikap hati-hati, justru ia .... " Thio Sin Houw tak meneruskan perkataannya.
"Bicaralah terus terang!" kata Lie Hong Kiauw, "Kau tentu ingin mengatakan bahwa ia roboh ditanganku, meskipun telah bersikap waspada dan hati-hati , bukan? Apakah kau mengira bahwa yang berhati-hati selalu selamat? justru orang seperti dirimulah, yang jarang sekali mendapat celaka."
"Kenapa begitu?" tanya Thio Sin Houw, semakin heran. "Karena kau penurut. Disuruh memikul kotoran binatang,
kau tak menolak . Disuruh makan, kau makan dengan lahap, selesai makan, kau bersihkan pula, Kau isi jambangan kosong meskipun tidak ada yang memerintah, kau ingin bantu pula memikul keranjang, meskipun tenagamu tidak mengijinkan." jawab Lie Hong Kiauw dengan tertawa lebar.
"Terhadap bocah yang begitu penurut , masakan ada orang yang tega menurunkan tangan jahat kepadamu?"