Elang Terbang di Dataran Luas BAB 27. MENGAPA TIDAK KEMBALI?

BAB 27. MENGAPA TIDAK KEMBALI?

Dalam waktu singkat dia berhasil menemukan mulut lorong rahasia itu, hanya sayang ketika ia berhasil menemukan tempat itu, mendadak... "Blaam!", terdengar suara ledakan keras yang diiringi percikan batu dan pasir menyebar ke empat penjuru, tahu-tahu lorong rahasia itu sudah tersumbat mati.

Beberapa saat kemudian semua orang telah meninggalkan wilayah itu, mereka berangkat menuju ke sebuah dusun yang sangat terpencil.

Rombongan pembunuh yang mampu menghabisi nyawa orang tanpa berkedip ini dalam waktu singkat telah berubah menjadi rakyat biasa yang sama sekali tak menyolok perhatian, menjelang fajar orang-orang itu sudah membubarkan diri seperti segenggam debu yang terhembus angin, tiba-tiba saja lenyap secara misterius.

Siapa pun tak tahu apakah di kemudian hari masih dapat bertemu mereka, siapa pun tak tahu bila bersua lagi di kemudian hari apakah mereka masih dapat mengenali orang-orang itu.

Padahal mereka memang rombongan manusia yang tak ada "masa di kemudian hari", tak ada "masa kini", juga tak memiliki "masa lalu".

Ooo)d*w(ooO Angin sedang berhembus di luar jendela.

Pasir kuning beterbangan terbawa angin, ketika menghantam di atas jendela yang berlapis kertas tebal, terdengar suara gemericik yang ramai.

Ada arak, arak berada dalam poci, ada orang duduk di depan poci.

Tapi Siau-hong tidak minum, setetes pun dia tidak minum, begitu pula dengan Pancapanah.

Mereka harus berada dalam keadaan sadar, bahkan berharap pihak lain pun tetap sadar. Sebab siapa pun di antara mereka berdua, mempunyai banyak persoalan yang hendak dibicarakan, mempunyai banyak masalah yang harus diurai dan diberi penjelasan, bahkan pihak yang satu harus mendengarkan dengan seksama.

Orang yang berbicara adalah Pancapanah, "Sejak awal aku sudah tahu bahwa Hoapula serta si huncwe besar telah disuap Lu-sam, karena itulah aku sengaja mengirim dirimu ikut serta dalam rombongannya."

Ada sementara orang, kalau bicara tak suka berputar- putar, begitu buka suara langsung pada pokok persoalan.

Pancapanah adalah manusia jenis ini.

"Karena aku pun seperti kau, aku pun tak mampu menemukan Lu-sam, tapi aku harus menemukan dirinya," Pancapanah menjelaskan lebih jauh, "Oleh karena itulah, terpaksa aku memperalat dirimu untuk memancing kemunculannya."

Dia dan Siau-hong terhitung sahabat, namun sewaktu mengucapkan kata "memperalat", dia sama sekali tidak merasa canggung ataupun merasa menyesal. Siau-hong sendiri pun tidak menunjukkan perasaan sedih dan gusar, hanya sahutnya hambar, "Dia memang berhasil kupancing keluar, dalam hal ini perhitunganmu memang tidak meleset."

"Dalam hal ini, aku memang jarang sekali salah perhitungan."

Siau-hong mengulurkan tangannya menggenggam kencang cawan araknya, tapi kemudian dilepas kembali, tanyanya, "Di mana ia berada sekarang?"

Pertanyaan ini diajukan Siau-hong dengan berat hati, sebab sesungguhnya dia tak ingin mengajukan pertanyaan itu.

"Sekarang ia telah melarikan diri," sahut Pancapanah hambar.

"Setelah kau peralat aku untuk memancing kemunculannya satu kali, mungkinkah kau akan berhasil menemukannya lagi di kemudian hari?" kembali Siau-hong bertanya.

"Tidak," Pancapanah menggeleng "Di kemudian hari aku masih tetap tak mampu menemukannya."

"Oleh sebab itu persoalan ini boleh dibilang sedikit pun tak ada gunanya."

"Tampaknya memang begitu."

Kembali Siau-hong menggenggam cawan araknya. "Bagimu, mungkin kejadian ini hanya sebuah peristiwa

yang sama sekali tak berguna, tapi bagaimana dengan akii? Tahukah kau, berapa besar pengorbanan yang harus kubayar untuk peristiwa ini?" Pertanyaan itu diajukan sangat berat, seolah dia harus mengerahkan seluruh kekuatan yang dimilikinya untuk mengajukan pertanyaan ini.

"Aku tahu!" jawaban Pancapanah amat singkat.

"Prak!", diiringi suara nyaring, cawan arak itu diremas hancur, hancur berkeping.

Pancapanah masih menatap Siau-hong dengan tatapan mata yang sama, dingin, hambar, sedikit pun tidak terselip perasaan malu, menyesal atau iba.

"Aku tahu kau pasti akan membenciku. Demi melaksanakan satu perbuatan yang aku sendiri pun tak yakin akan berhasil, bukan saja telah membuat kau menderita dan tersiksa, bahkan menyusahkan pula ibumu serta Yang-kong."

Dengan nada dingin dan hambar, kembali ia melanjutkan, "Tapi bila kau anggap aku bakal menyesal, maka dugaanmu itu salah besar!"

Siau-hong meremas hancuran cawan itu makin kencang, darah mulai meleleh dari telapak tangannya.

"Kau tidak menyesal?"

"Sedikit pun aku tak menyesal," Pancapanah membenarkan, "Bila di kemudian hari masih ada kesempatan semacam ini, aku tetap akan melakukannya kembali."

Kemudian setelah berhenti sejenak, lanjutnya, "Asal dapat menemukan Lu-sam, peduli apa pun yang harus kulakukan, aku tetap akan melakukannya. Biar tubuhku bakal terjerumus ke dalam neraka tingkat kedelapan belas pun aku tak bakal mengernyitkan alis mata." 

Siau-hong terbungkam. Sambil menatap wajah pemuda itu, kembali Pancapanah berkata, "Aku percaya kau pasti dapat memahami maksudku, karena kau sendiri pun ada kalanya tak segan terjun ke dalam neraka."

Siau-hong tak dapat menyangkal.

Walaupun dia tak memahami tingkah laku manusia yang bernama Pancapanah serta semua hal yang dia lakukan, namun dalam hal ini dia pun tak dapat menyangkal.

Siapa pun tak dapat menyangkal akan hal ini, setiap orang pasti akan mengalami saat dimana dia rela masuk ke dalam neraka sekalipun.

Cawan arak dalam genggamannya telah hancur, namun di atas meja masih tersedia cawan dan arak, meski kau kehilangan sanak keluarga dan kekasih, namun di dunia masih terdapat sanak keluarga lain.

Siapa pun tak dapat menjamin di kemudian hari mereka pun akan begitu akrab seperti sanak keluargamu yang telah tiada.

Oleh karena itu selama seseorang masih hidup, dia harus berusaha untuk tetap hidup.

Kalau memang bertekad akan hidup terus, maka tak perlu menggerutu, mengeluh atau menyalahkan orang lain.

Di atas meja masih tersedia cawan dan arak, Pancapanah segera mengisi penuh cawan dengan arak lalu disodorkan ke hadapan Siau-hong.

"Minumlah secawan lebih dulu, masih ada yang hendak kusampaikan kepadamu."

"Sekarang apa masih ada yang perlu dibicarakan lagi?” “Ada!" "Baik, akan kuminum."

Dengan sekali tegukan Siau-hong menghabiskan isi cawannya, kemudian berkata, "Sekarang kau boleh mulai bicara."

Tatapan mata Pancapanah sangat dalam, lebih dalam daripada telaga dingin di bawah air terjun, siapa pun tak dapat meraba apa yang sedang dipikirkannya pada saat ini.

"Sekarang apakah kau sudah memahami semua maksudku?" tanyanya kepada Siau-hong.

"Benar."

Jawaban Siau-hong tegas, tandas, dan singkat. Siapa tahu kembali Pancapanah menggeleng katanya, "Kau tidak mengerti, paling tidak masih ada satu hal yang tidak kau pahami.”

“Dalam hal apa?"

"Oleh karena aku hendak memperalat dirimu untuk memancing Lu-sam muncul dari tempat persembunyiannya, tentu saja aku selalu mengawasi semua gerak-gerikmu," Pancapanah menerangkan, "Peduli Lu-sam pergi ke mana pun, peduli kau berada di mana pun, aku selalu mengawasi dan mengintil terus."

Siau-hong percaya akan hal ini.

Bila Pancapanah tidak mengawasi dan mengintil secara ketat, mana mungkin Lu-sam bisa menderita kekalahan total pada hari ini?

Paras Pancapanah pun menunjukkan mimik dingin, sadis, dan hambar.

"Aku selalu menguntitmu, selalu mengawasi gerak- gerikmu, bagaimana mungkin aku bisa tak tahu berada di manakah orang-orang terdekatmu?" Kemudian sambil menatap Siau-hong dengan dingin dan hambar, terusnya, "Coba jawab, mana mungkin aku bisa tak tahu?"

Siau-hong selalu berharap dirinya pun bisa meniru keadaan Po Eng maupun Pancapanah, berada dalam kondisi dan situasi macam apa pun selalu dapat mengendalikan ketenangan diri.

Tapi sekarang ia sama sekali tak sanggup mengendalikan diri lagi, tubuhnya melompat bangun, saking paniknya hampir dia membalikkan meja di depannya. Sambil menggenggam lengan Pancapanah kuat-kuat, teriaknya, "Jadi kau tahu? Tahu berada di manakah mereka sekarang?"

Perlahan-lahan Pancapanah mengangguk, "Sekarang mereka telah berada di suatu tempat yang aman, tak mungkin mengalami rasa takut atau gangguan apa pun."

"Mereka berada di mana?" desak Siau-hong, "Mengapa kau tidak membiarkan aku pergi menjumpai mereka?"

Pancapanah mengawasi lengan kanannya yang dicengkeram Siau-hong hingga pemuda itu melepaskan genggamannya, ia baru menjawab, "Yang-kong telah mengalami shok yang luar biasa, dia stress berat karena ketakutan dan kaget, butuh istirahat cukup panjang, sementara waktu lebih baik kau tak usah menjumpainya."

"Ini keinginannya atau keinginanmu?"

Siau-hong mulai emosi, hatinya mulai bergolak.

"Peduli keinginan siapa, hasilnya tetap sama, demi kebaikan dirinya."

Setelah berhenti sejenak, kembali Pancapanah berkata, "Bila dia berjumpa denganmu, sudah pasti perjumpaan ini akan membangkitkan kembali kenangan yang memedihkan, tak gampang untuk menenangkan dan menenteramkan kembali gejolak perasaannya."

Dengan cara apa Lu-sam menyiksanya? Sehingga gadis itu mengalami penderitaan yang luar biasa?

Siau-hong merasakan hatinya sakit bagaikan ditusuk- tusuk.

"Aku mengerti," sahurnya, "akulah yang telah mencelakainya, bila tak bertemu denganku, hal ini justru bermanfaat dan menguntungkan baginya."

Ternyata Pancapanah menyetujui perkataannya itu.

Apa yang dikatakan memang sebuah kenyataan, kenyataan yang jauh lebih menyakitkan daripada tusukan ujung jarum atau sayatan mata pisau.

Siau-hong mengepal sepasang tangannya, lewat lama kemudian baru bertanya, "Tapi bagaimana dengan ibuku? Apakah aku pun tidak seharusnya pergi menjumpainya?"

Kemudian dengan suara parau tanyanya lagi, "Apakah kau pun kuatir aku melukai perasaannya?"

"Kau sudah seharusnya pergi menjumpai ibumu, hanya saja. ”

Pancapanah bangkit, membiarkan hembusan angin bercampur pasir menerpa wajahnya.

"Hanya saja kau selamanya tak bisa bertemu lagi dengannya."

Siau-hong seakan ingin melompat, tapi sayang seluruh ruas tulang tubuhnya, setiap otot dalam tubuhnya seolah membeku dan mati rasa dalam waktu singkat.

"Lu-sam telah membunuhnya?" suara teriakannya parau dan menyeramkan, "Benarkah perbuatan Lu-sam?" "Perbuatan Lu-sam atau bukan, sama saja," sahut Pancapanah, "Setiap orang tentu akan mengalami kematian satu kali, bagi orang yang tersiksa dan hidup menderita, kematian justru merupakan saat istirahat yang paling abadi."

Apa yang dia katakan pun merupakan kenyataan, hanya saja cara penyampaiannya yang kelewat sadis.

Siau-hong benar-benar tak tahan, dia ingin menerkam ke depan dan menghajar wajahnya yang kaku tanpa emosi itu hingga babak belur.

Tapi dia benar-benar tidak salah, Siau-hong pun tahu orang itu tidak salah.

Kembali Pancapanah berkata lebih lanjut, "Aku tahu kau masih ingin bertemu seseorang lagi, tapi kau pun tak boleh bertemu lagi dengan dirinya."

Yang dimaksud tentu saja Soso.

"Mengapa aku tak boleh bertemu dengannya?" teriak Siau-hong, "Apakah dia pun sudah mati?"

"Dia belum mati," Pancapanah menggeleng, "Bila dia mati, bagimu malah jauh lebih menguntungkan."

"Kenapa?"

"Karena dia adalah perempuan milik Lu-sam. Dia berbuat begitu tak lebih karena ingin menuntut balik seorang putra bagi Lu-sam."

Arak masih berada dalam poci, tapi bagaimana dengan air mata? Tiada air mata!

Kalau darah pun telah mengering, dari mana datangnya air mata? Siau-hong mengawasi cawan araknya yang telah kosong dengan termangu, dia merasa dirinya seperti cawan kosong itu, sama sekali tak berguna, sama sekali tak memiliki apa pun.

Apa yang dikatakan Pancapanah jelas merupakan sebuah kenyataan, sekalipun apa yang diucapkan makin lama semakin sadis tanpa perasaan, namun kenyataan memang selamanya tak akan berubah.

"Banyak manusia di dunia ini yang mengalami nasib seperti dirimu, demi orang tua, istri, sahabat dan sanak keluarga, harus menahan penderitaan dan siksaan karena pisah hidup maupun pisah mati!" kata Pancapanah lebih jauh, "Hanya bedanya, ada sementara orang yang sanggup mempertahankan diri, ada pula yang tak sanggup melanjutkan hidup."

Dia awasi Siau-hong tiba-tiba tatapan matanya menunjukkan kehangatan seperti ketika Lu-sam membicarakan soal ikan mas Ghardu.

"Bila seseorang ingin mencapai sebuah target, sebuah tujuan, ingin melakukan apa yang ingin dia lakukan, maka harus mempertahankan diri, harus berjuang untuk tetap hidup," katanya, "Terlepas seberapa besar penderitaan dan siksaan yang harus dialaminya, terlepas seberapa besar pengorbanan yang harus dia berikan, ia harus tetap hidup, harus tetap mempertahankan diri."

Lalu apa targetnya? Apa tujuannya? Apa yang ingin dia lakukan?

Siau-hong tidak menanyakan hal hal itu, hanya tanyanya kepada Pancapanah, "Apakah kau sanggup mempertahankan diri?" "Aku sanggup," jawaban Pancapanah begitu tegas dan tandas, ibarat paku baja yang dipakukan ke atas batu cadas, "Aku pasti akan mempertahankan diri! Harus hidup terus!"

Kemudian tambahnya, "Orang-orang yang ikut bersamaku pasti akan menemani aku bertahan terus, tapi kau. ”

Mendadak tanyanya kepada Siau-hong, "Mengapa kau tidak balik saja ke wilayah Kang-lam?"

Kembali Siau-hong merasakan hatinya mulai sakit, sakit bagaikan ditusuk jarum, pertanyaan Pancapanah kali ini telah melukai hatinya.

"Kenapa kau minta aku kembali ke Kang-lam?" ia balik bertanya, "Kau sangka aku tak punya kemampuan untuk menemanimu bertahan hidup?"

Pancapanah tidak langsung menjawab pertanyaan itu, hanya ujarnya dengan nada hambar, "Kau adalah orang baik, karena itu sepantasnya balik ke Kang-lam."

Ia tidak memberi kesempatan kepada Siau-hong untuk bertanya, tiba-tiba dengan suara seperti bongkahan salju yang mencair, terusnya, "Karena Kang-lam pun merupakan tempat yang indah, orang yang hidup di wilayah Kang-lam yang banyak air dan banyak cinta, pasti jauh lebih lembut dan romantis perjalanan hidupnya!"

Lalu dengan suara dingin tambahnya, "Tempat ini merupakan dataran luas yang tak berperasaan, manusia yang hidup di tempat ini pasti jauh lebih kejam, buas, dan tak berperasaan daripada apa yang kau bayangkan. Kau tak pernah dapat menyesuaikan diri dalam kehidupan di tempat ini, lagi pula di sini pun tak ada lagi tempat yang berharga untuk kau kenang dan kau rindukan." Sambil berpaling ke arah Siau-hong, desaknya, "Mengapa kau tak mau kembali?"

Ooo)d*w(ooO

Angin masih berhembus kencang di luar jendela.

Di wilayah Kang-lam tak akan ada hembusan angin sekencang ini, angin kencang yang menerpa di atas badan terasa bagaikan sayatan pisau.

Perkataan yang diucapkan Pancapanah pun setajam hembusan angin.

Sepasang mata Siau-hong seakan tak sanggup dipentang karena terhembus angin, tapi secara tiba-tiba ia bangkit.

Sekuat tenaga ia berusaha berdiri tegak, setegak tiang bendera.

"Aku akan pulang," katanya kemudian, "Tentu saja aku harus pulang."

Ketika Siau-hong dengan menggembol pedang berjalan keluar, Gharda telah menyiapkan kuda untuknya. Pedangnya adalah Mo-gan miliknya, kudanya pun kuda Ci- hu miliknya.

Semua yang telah hilang kini muncul kembali dan balik ke tangannya.

Sewaktu datang, ia membawa pedang itu dan menunggang kuda itu, dan sekarang dengan menggembol pedang yang sama, kuda yang sama, ia siap berangkat pulang.

Biarpun dataran luas kejam tak berperasaan, namun dia masih tetap hidup. Apakah dia sudah seharusnya merasa gembira dan puas? Benarkah apa yang hilang, semuanya telah kembali?

Siapa pula yang tahu apa yang sebenarnya hilang darinya?

Gharda menyerahkan tali les kuda ke tangannya, memandang pemuda itu tanpa bicara, seolah ada banyak perkataan yang hendak disampaikan, tapi akhirnya hanya beberapa patah kata yang diucapkan.

"Kau tampak kurus," katanya.

Lama sekali Siau-hong termenung, kemudian baru menjawab, "Benar, aku memang kurus!"

Selesai perkataan itu, mereka berdua sama-sama tidak bicara lagi, Siau-hong segera melompat ke atas pelana kudanya.

Malam telah tiba, hembusan angin semakin kencang, seluruh jagat raya diselimuti kegelapan yang pekat.

Sewaktu dia melompat ke atas pelana kuda, Gharda ikut lenyap di balik kegelapan malam, yang tersisa hanya bayangan punggungnya yang tipis, sepintas terlihat begitu lemah, begitu letih.

Dia ingin sekali memberitahu kepadanya, "Kau pun  lebih kurus."

Tapi kuda Ci-hu telah meringkik panjang sambil  bergerak meninggalkan tempat itu, bagaikan segulung angin kencang kuda itu menembus kegelapan malam yang tak bertepian.

Suara ringkikannya terdengar penuh keriang gembiraan, sebab walaupun dia adalah seekor kuda jempolan, bagaimana pun tetap hanya seekor kuda, kuda yang tak akan memahami perasaan sedih, pedih dan kesepian yang dirasakan manusia.

Selain itu, meski dia hanya seekor kuda, namun masih belum melupakan budi kebaikan majikan lamanya di masa silam.

"Tak nyana kau masih kenal padaku aku."

Sambil memeluk kepala kudanya, Siau-hong berbisik, bagaimana pun dia masih tetap memiliki teman, teman yang selamanya tak terpisahkan.

Asalkan dia teman sejati, apa salahnya kendati dia hanya seekor kuda?

Kang-lam berada sangat jauh, sejauh dalam impian. Malam yang panjang pun baru dimulai, saat itu bayangan punggung yang remang telah lenyap, namun dari kejauhan sana sudah terlihat sinar bintang yang berkilauan.

Biarpun dataran luas tak berperasaan, cahaya bintang masih tetap lembut dan berkilauan.

Cahaya bintang di Kang-lam pun seperti itu.

Kau adalah orang baik, tapi sayang kau kelewat lemah, manusia semacam dirimu pada hakikatnya tak berguna bagiku.

Kini Lu-sam pun menganggap kau tak berguna lagi, setiap saat dia dapat melenyapkan dirimu, aku pun tak  perlu membuang banyak tenaga untuk melindungi seseorang yang tak berguna, karena itu lebih baik kau pergi saja.

Kata-kata semacam itu tak sampai diutarakan Pancapanah, dia pun tak perlu mengutarakannya. Siau- hong cukup mengerti sampai di mana bobot dirinya dalam penilaian orang lain. Selama ini sikap Pancapanah terhadap dirinya sangat baik, namun sejak pertemuan pertama, ia sudah tahu mereka tak bakal menjadi sahabat, Pancapanah tak pernah menganggapnya sebagai seorang sahabat.

Karena pada hakikatnya Pancapanah memandang sebelah mata terhadap dirinya.

Kecuali terhadap Po Eng, mungkin dalam sejarah hidupnya Pancapanah tak pernah pandang sebelah mata terhadap orang lain.

Po Eng, di manakah kau?

Rumah demi rumah terlalui, di manakah jalan untuk kembali?

Kang-lam berada jauh di ujung dunia, tapi Siau-hong tidak terburu-buru untuk menempuhnya, dia tak berencana menikmati musim semi di wilayah Kang-lam.

Setelah balik ke sana, apa pula yang akan dilakukan?

Untuk siapa musim semi dinikmatinya?

Lapisan salju di atas puncak bukit belum lagi mencair, jalanan becek dan basah. Meski bayangan kota telah muncul di depan mata, namun cuaca sudah mulai berubah jadi gelap.

Seorang pemuda yang tampaknya tidak terlalu kekar sedang mendorong kereta beroda tunggal berjalan di depannya. Di atas kereta duduk istri dan putrinya, di samping mereka terlihat buntalan dan peti kuno, sang istri dengan tatapan mata lembut dan penuh rasa kasihan mengawasi suaminya yang sedang bersusah-payah mendorong kereta melewati tanah yang becek.

Kereta beroda tunggal sangat jarang dijumpai di tempat ini, sepasang suami istri ini pasti datang dari tempat jauh, bisa jadi mereka datang dari Kang-lam dan ingin mencari kehidupan baru di tempat yang asing ini.

Mereka masih muda, tidak takut hidup susah, mereka masih memiliki cita-cita dan harapan sebagai orang muda.

Ketika Siau-hong mengikut di belakang mereka, kebetulan terdengar sang istri sedang bertanya kepada suaminya, "Long-ko, mau istirahat sebentar?"

"Aku tidak apa-apa."

Yang dikuatirkan sang suami bukan dirinya, ia bertanya pada bininya, "Kau sendiri tidak apa-apa, bukan?"

Ternyata dialek yang mereka pergunakan adalah dialek Kang-lam yang sangat kental, ketika terdengar oleh Siau- hong, ia segera merasakan kehangatan yang luar biasa.

Hampir saja dia tak tahan untuk berhenti, menanyakan kabar tentang Kang-lam, bertanya apakah mereka membutuhkan bantuannya.

Tapi dia tidak berhenti karena secara tiba-tiba satu pikiran yang aneh dan sangat menakutkan muncul dalam hati kecilnya.

Siapa tahu sepasang suami-istri ini adalah pembunuh yang dikirim Lu-sam, bisa jadi di balik kereta beroda tunggal itu tersembunyi senjata yang mematikan, kemungkinan besar sang putri dan istrinya yang duduk dalam kereta akan melancarkan serangan senjata rahasia yang mematikan, membidik mati kuda tunggangannya.

Hanya orang yang terjangkit penyakit curiga baru akan memiliki pemikiran semacam ini, bertemu siapa pun selalu waspada dan menaruh rasa curiga yang amat besar.

Sebetulnya Siau-hong bukan termasuk manusia semacam ini, namun setelah mengalami begitu banyak kejadian yang menakutkan, mau tak mau dia harus lebih hati-hati dalam menghadapi setiap keadaan.

Oleh karena itu dia sama sekali tidak berhenti, juga sama sekali tak berpaling, saat ini dia hanya ingin meneguk secawan arak beras yang tidak terlalu memabukkan.

Kota ini merupakan sebuah kota yang ramai dan cukup besar, ketika tiba dalam kota itu waktu sudah menjelang malam, saat semua orang mulai memasang lampu.

Di tepi jalan besar dekat pintu kota terdapat sebuah warung arak, warung arak pertama yang akan terlihat oleh siapa pun yang memasuki kota itu.

Ketika dua cawan arak telah mengalir masuk ke dalam perutnya, tiba-tiba Siau-hong merasa jalan pikirannya tadi sangat menggelikan.

Bila suami-istri tadi adalah pembunuh yang diutus Lu- sam untuk menghabisi nyawanya, seharusnya merupakan kesempatan terbaik bagi mereka untuk turun tangan.

Tiba-tiba Siau-hong merasa sedikit menyesal, bisa bertemu orang sedusun di suatu tempat yang ribuan li jauhnya merupakan suatu kejadian langka dan tak mudah.

Mungkin inilah alasan mengapa dia memilih warung arak itu, bisa jadi dia ingin menunggu kedatangan mereka, mencari tahu berita tentang desanya, bisa mendengar dan menikmati dialek desanya.

Tapi sayang ia tak menemukan orang yang ditunggu.

Padahal jalan itu tak ada simpangannya, sedang suami istri itu jelas sedang menuju ke kota itu. Sekalipun perjalanan mereka tempuh dengan sangat lamban, menurut perkiraan Siau-hong, seharusnya mereka sudah tiba di sana.

Namun mereka tak pernah muncul, tak pernah terlihat. Sebagai perantau yang berada di negeri orang, seringkali seorang perantau memiliki perasaan yang sukar dilukiskan dengan perkataan terhadap perantau lainnya, apalagi perantau yang berasal dari dusun yang sama. Kendati Siau- hong tidak kenal sepasang suami-istri itu, namun dia tetap menguatirkan keselamatan jiwanya.

Mengapa mereka belum juga tiba? Mungkinkah telah terjadi peristiwa yang tak diinginkan?

Mungkinkah sang suami yang telah menempuh perjalanan ribuan li sudah tak sanggup mempertahankan diri, ataukah putrinya yang cantik terserang penyakit?

Siau-hong memutuskan untuk menunggu beberapa saat lagi, jika mereka belum datang juga, dia akan balik ke jalanan semula untuk melihat keadaan.

Kembali ia menunggu selama setengah jam lamanya, namun belum nampak juga bayangan tubuhnya.

Orang yang berlalu-lalang di jalanan semakin sedikit, karena bagi orang awam, saat dan kondisi seperti ini sudah tak cocok lagi untuk melakukan perjalanan.

Siau-hong bukan manusia biasa, sinar matanya jauh lebih tajam dan terang dibandingkan orang pada umumnya.

Ia tidak menjumpai sepasang suami-istri itu, tapi melihat seorang gadis yang menunggang keledai seorang diri.

Biarpun langit sudah gelap, namun ia masih dapat melihat gadis itu bukan saja masih muda dan cantik, bahkan sangat anggun dan menawan.

Dipandang sepintas, usianya paling baru enam-tujuh belas tahunan, memakai baju berwarna hijau. Sambil duduk di atas pelana, ia gunakan sebelah tangan memegang tali les keledai sedang tangan yang lain digunakan memegang rambut sendiri yang berkibar terhembus angin. Sewaktu berjumpa Siau-hong, dia seakan sedang tertawa, tapi seakan juga tidak tertawa.

Seekor kuda dan seekor keledai dengan cepat saling bersimpangan, Siau-hong tak sempat melihat terlalu jelas, dia merasa seakan pernah melihat wajah gadis itu, apa mau dikata justru tak jelas di manakah mereka pernah bertemu.

Dia bukan Pova, bukan Soso, bukan Yang-kong, juga bukan perempuan-perempuan yang dahulu pernah menjadi pacar Siau-hong ketika masih di Kang-lam.

Lalu siapakah dia?

Siau-hong tidak memikirkannya lebih jauh, dia pun tidak terlalu menaruh perhatian.

Seorang pengembara yang tak punya akar memang seringkali akan bertemu dengan perempuan-perempuan yang seakan pernah dikenalnya.

Burung lelah kembali ke hutan, pelancong lelah masuk penginapan, jalan raya yang semestinya sudah mulai tenang itu tiba-tiba berubah menjadi sangat tidak tenang.

Mendadak terjadi kegaduhan di depan sana, selain suara teriakan manusia, terdengar pula ada bocah sedang menangis.

Setelah berjalan maju lagi beberapa saat, dari tepi jalan ia dapat menyaksikan berkilaunya cahaya lentera, terdengar pula ada orang dengan nada gugup, kaget, panik bercampur gusar sedang berteriak, "Siapa yang begitu keji? Siapa?"

Terdengar suara manusia yang berteriak kalut, yang berbicara bukan hanya satu orang, tapi Siau-hong tidak mendengar jelas apa yang sedang mereka bicarakan. Tapi satu firasat jelek telah melintas dalam benaknya, dia seolah sudah melihat sepasang suami-istri muda yang berasal dari Kang-lam itu sedang tergeletak di tengah genangan darah.

Ternyata benar saja, tampak sepasang suami-istri itu telah terkapar, tergeletak di pinggir jalan, walaupun anggota badannya belum mendingin, namun detak jantung dan pernapasannya telah terhenti.

Di tepi jalan terparkir sebuah kereta keledai, dua ekor kuda kurus dan enam-tujuh orang pelancong yang sedang mengerubungi jenazah mereka berdua, sementara putrinya telah dibopong seorang yang berbaik hati dan menggunakan sepotong gula-gula untuk menghentikan isak tangisnya.

Dia menangis tak lain karena dibuat terkejut dan ketakutan, bukan lantaran sedih atau terluka. Karena gadis itu masih kecil, belum mengerti sedihnya perpisahan, apalagi pisah mati. Dia belum tahu orang tuanya telah dibunuh orang, karenanya hanya dengan sepotong gula- gula telah membuatnya berhenti menangis.

Tapi bila ia telah menginjak dewasa nanti, bila teringat akan kejadian malam ini, gadis itu pasti akan terjaga dari tidurnya di tengah malam dan menangis sedih.

Saat itu biar ada setumpuk gula-gula di hadapannya pun tak nanti dapat menghentikan isak tangisnya.

Bila seseorang "tidak tahu", maka dia tak akan menderita, tak akan sedih.

Tapi bukankah "tidak tahu" justru merupakan penderitaan dan kepedihan terbesar bagi manusia?

Di atas tanah tak ada darah, begitu pula di atas jenazah mereka, siapa pun tak tahu mengapa secara tiba-tiba suami- istri muda itu bisa tergeletak mati di tepi jalan. Hingga Siau-hong menerobos masuk ke dalam kerumunan orang, meminjam sebuah lentera dari tangan seseorang dia baru melihat setitik bekas darah di atas dada kedua orang itu.

Mulut luka yang mematikan berada di atas hulu hati mereka, mulut luka bekas tusukan pedang, sebuah tusukan maut yang sangat mematikan. Bukan saja tusukan pedang ini bersih dan cekatan, bahkan sangat tepat sasaran.

Biar begitu, tidak banyak darah yang meleleh, mulut luka pun tidak terlalu dalam.

Satu tusukan yang pasti mematikan, karena itulah tidak perlu menggunakan tenaga kelewat besar.

Ilmu pedang itu begitu sempurna dan tepat sasaran, betul-betul amat mengerikan serta menakutkan!

Mendadak Siau-hong teringat kembali dengan dua tokoh sakti yang sering didengarnya dalam dongeng, Sebun Jui- soat dan Tionggoan It-tiam-ang.

Tionggoan It-tiam-ang adalah jagoan pada zaman Coh Liu-hiang, pembunuh gelap yang paling menakutkan pada zamannya, orang itu pun merupakan jago pedang paling menakutkan pada saat itu. "membunuh tanpa melihat darah, di bawah pedang hanya setitik merah".

Sewaktu menusukkan pedang, dia tak pernah mau menggunakan tenaga yang berlebihan, tapi serangannya selalu tepat sasaran dan mematikan.

Sebun Jui-soat adalah sahabat Liok Siau-hong yang paling dihormati, tapi dia pun lawan Liok Siau-hong yang paling disegani.

Ooo)d*w(ooO 
Terima Kasih atas dukungan dan saluran donasinya🙏

Halo, Enghiong semua. Bantuannya telah saya salurkan langsung ke ybs, mudah-mudahan penyakitnya cepat diangkat oleh yang maha kuasa🙏

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar