BAB 24. DIA MENGANDUNG ANAKKU
Tangan Siau-hong sangat dingin, hatinya pun ikut dingin.
Sebuah kesalahan yang tak mungkin bisa terhapus, dua orang yang tak punya muka bertemu orang lain.
Bila kau menjadi Siau-hong, apa yang akan kau lakukan?
Lewat lama kemudian Siau-hong baru buka mulut, tak disangka ia buka mulut setelah mengambil keputusan.
"Kita tunggu lagi sehari," katanya, "Peduli apa pun yang hendak kita lakukan, tunggu satu hari lagi."
"Tunggu apa?"
"Tunggu Tio Kun," sahut Siau-hong, "Aku harus membuat dia tahu, meski aku tak punya muka bertemu lagi dengannya, namun tetap akan kutunggu sampai dia kembali."
Soso menatapnya lekat-lekat, sorot matanya memancarkan perasaan kagum dan hormat yang luar biasa, perasaan salut yang belum pernah dia tunjukkan kepada lelaki mana pun.
Lama kemudian dia pun baru bertanya, "Kalau dia tetap tidak kembali?"
"Bila ia tetap tak kembali, aku akan pergi."
"Kau berencana akan pergi ke mana?" tanya Soso.
"Pergi mencari Lu-sam, mencari mati!" kata Siau-hong "Sampai saatnya, peduli apa pun yang hendak kau lakukan, bagiku hanya jalan ini yang bisa kutempuh."
"Kau tak bersedia menemani aku pergi ke tempat lain?" "Tidak!" jawaban dari Siau-hong menampilkan
keteguhan hatinya. "Kenapa?"
"Karena aku tak dapat melupakan semua orang dan semua permasalahannya," kata Siau-hong, "Peduli ke mana pun kita akan bersembunyi, sekalipun kau bisa menghindari semua orang namun ada satu orang yang tak mungkin bisa kau hindari.”
“Siapa?” “Diriku sendiri."
Setiap orang tentu ada saatnya ingin menghindar dari orang lain, namun selama hidup jangan harap kau bisa menghindari diri sendiri. Kembali mereka menunggu satu hari.
Tio Kun belum juga kembali, bukan saja tidak kembali, sedikit kabar tentang dirinya pun tak ada.
Langit kembali jadi gelap, sudah tiba saat makan malam. Sudah cukup lama Soso tidak bicara, begitu pula dengan Siau-hong. Mereka sudah lama sekali tidak saling memandang ke arah lawan, seakan-akan takut tatapan mata lawan akan melukai hati sendiri.
Karena mereka berdua merasa sulit untuk melupakan kejadian semalam. Gejolak napsu, luapan birahi, pergulatan maut, kejadian yang tak mungkin bisa dilupakan.
Lalu bagaimana selanjutnya?
Dua insan manusia tanpa akar, ternyata telah melakukan persetubuhan yang tak pernah bisa dilupakan, apakah setelah ini mereka berdua harus hidup bersama? Ataukah masing-masing mengambil arah yang berlawanan, pergi begitu saja, membiarkan pihak lawan menerima dan merasakan semua penderitaan, semua penyesalan yang tercipta karena kesalahan ini, seorang diri?
Siapa yang dapat menjawab pertanyaan ini? Siapa yang dapat memberi petunjuk, apa yang harus mereka lakukan selanjutnya?
Daun jendela terbuka lebar, Siau-hong berdiri di depan jendela.
Senja yang remang mulai menyelimuti angkasa, langit terasa hening, lembah terasa sepi, senja terasa kelabu, langit dan bumi seolah dicekam dalam ketenangan yang luar biasa.
Mendadak Siau-hong merasakan jantungnya mengejang keras, tiba-tiba ia menemukan, ada sesuatu hal yang tak beres.
Setiap orang pasti makan, setiap rumah pasti punya cerobong asap di bagian dapurnya, di atas atap rumah tentu ada lubang cerobong. Kini sudah tiba saatnya makan malam, cerobong asap di atas setiap rumah seharusnya mengepulkan asap, asap dari api untuk menanak nasi.
Matahari senja telah tenggelam di langit barat, bianglala magrib telah menyelimuti seluruh angkasa, saat semacam ini selalu merupakan saat yang paling indah.
Di sini ada penduduk, ada rumah penduduk, ada cerobong asap di atap rumah mereka, kini sudah hampir tiba saat bersantap malam.
Tapi aneh, tak nampak asap yang mengepul di cerobong asap rumah-rumah penduduk.
Mungkinkah penduduk desa yang berada di seputar sana adalah para dewa yang tidak memakan hidangan manusia?
Tiba-tiba Siau-hong bertanya pada Soso, "Sebelum ini pernahkah kau berkunjung ke desa ini?"
"Pernah."
"Tahukah kau, kebiasaan penduduk tempat ini makan apa?"
"Apa yang dimakan orang lain, mereka pun makan makanan yang sama," rupanya gadis ini merasa kalau pertanyaan Siau-hong sangat aneh, maka dia pun balik bertanya, "Apakah kau telah menjumpai suatu kejadian aneh?"
"Aku tidak melihat apa-apa, tak ada yang kutemukan," Siau-hong telah berpikir sampai ke situ, kecuali keluarga tukang pencari kayu, sejak sampai di situ, dia memang tak pernah berjumpa manusia lain.
"Aku akan keluar memeriksanya," pemuda itu menambahkan. Seharusnya sejak tadi ia sudah melakukan pemeriksaan, coba kalau Po Eng dan Pancapanah, mereka pasti sudah menggeledah dan memeriksa setiap rumah penduduk itu dengan seksama.
Bisa jadi "kelima" orang itu sudah bersembunyi di dalam rumah penduduk di sekitar sana, kemungkinan besar Yang- kong tak pernah meninggalkan dusun itu.
Ternyata ia tak pernah berpikir ke situ, inilah keteledorannya yang paling fatal.
Terciptanya sebuah kesalahan memang disebabkan oleh banyak macam alasan, namun teledor adalah salah satu alasan yang tak boleh dimaafkan, bahkan sebuah kesalahan yang selamanya tak mungkin bisa diperbaiki.
Rumah batu milik tukang kayu yang mereka pinjam berada di tepi jalan masuk menuju ke dusun, begitu masuk ke lembah itu, rumah itulah yang pertama akan terlihat.
Di depan bangunan itu terbentang sebuah jalan setapak, setelah ratusan langkah kemudian baru akan tiba di rumah kedua.
Rumah itu pun terbuat dari batu cadas, daun jendelanya terbuat pula oleh kertas buram, kini dari balik rumah memancar sinar lentera, lentera yang baru saja disulut.
Jendela dalam keadaan tertutup, begitu pula pintu rumah. Siau-hong segera mengetuk pintu.
Sudah cukup lama dia mengetuk, namun tak seorang pun yang menyahut atau membuka pintu.
Dalam rumah itu terdapat lentera, seharusnya ada penghuninya.
Ketika dia mulai mengetuk pintu, Soso ikut menyusul, dia mengenakan pakaian kasar milik istri si tukang kayu, ujung baju dilipat tinggi-tinggi hingga terlihat betisnya yang putih bersih.
"Dahulu pernahkan kau datang ke rumah ini?" tanya Siau-hong.
"Belum pernah," setelah berpikir sejenak, kembali Soso berkata, "Tapi aku tahu siapa yang tinggal di rumah ini."
"Siapa?"
"Rumah ini didiami kakak misan si tukang kayu itu," Soso menerangkan, "ketika kami bertandang ke rumah tukang kayu itu, mereka seluruh keluarga telah pindah ke rumah milik kakak misannya ini. ”
Dahulu dia pasti sering datang ke sana bersama Tio Kun, tempat ini pastilah tempat mereka bertemu secara rahasia.
Bila dikatakan Siau-hong tak pernah berpikir ke situ, jelas hal ini bohong. Kalau dibilang Siau-hong sama sekali tidak merasakan apa-apa setelah ia berpikir akan hal itu, ini pun merupakan pengakuan bohong.
Kembali Siau-hong mengetuk pintu.
Cukup lama dia mengetuk pintu, begitu keras suara ketukannya sampai papan pintu pun bergetar keras, sekalipun penghuni rumah itu tuli, seharusnya tahu ada orang sedang mengetuk pintu.
Belum juga terlihat ada penghuni rumah yang membuka pintu, karena rumah itu memang tak berpenghuni, jangankan seorang, separoh bayangan pun tak ada.
Siau-hong telah membuktikan hal ini, karena dia telah menjebol pintu rumah itu dengan tumbukan bahunya yang kuat.
Walaupun rumah itu tak berpenghuni, tapi lampu tetap menyala. Sebuah lentera minyak yang amat sederhana dengan sebuah rumah yang sederhana, perabot rumah tangga yang sederhana pula.
Tapi begitu Siau-hong memasuki rumah itu, parasnya segera berubah, berubah jadi begitu menakutkan, seolah- olah mendadak telah bertemu setan.
Setan itu tidak menakutkan, ada banyak orang yang tidak takut setan, Siau-hong pun tidak takut, dia jauh lebih tak takut bila dibandingkan kebanyakan orang.
Dalam rumah itu memang tak ada setan.
Setiap benda yang berada dalam rumah itu merupakan perabot rumah tangga yang tentu dimiliki kebanyakan penduduk, bahkan terkesan jauh lebih sederhana dan kasar bila dibanding perabot orang lain.
Soso tak begitu memahami tentang Siau-hong, namun dalam pergaulannya selama dua hari ini, dia dapat melihat pemuda itu bukanlah termasuk seorang lelaki yang gampang dibuat terperanjat.
Tapi sekarang dia bisa melihat Siau-hong terperangah, tertegun saking kagetnya.
Dia tak perlu bertanya kepada Siau-hong "Apa yang telah kau lihat?"
Sebab apa yang bisa dilihat Siau-hong dapat pula terlihat olehnya, namun apa yang dia lihat tak sampai membuat gadis ini ikut ketakutan.
Yang terlihat olehnya tak lebih hanya sebuah ranjang, sebuah meja, beberapa kursi, sebuah meja rias, sebuah almari baju, dan sebuah lentera minyak, setiap benda terbuat dari bahan sederhana, bahkan sudah lapuk dan kuno. Benda-benda itu pula yang terlihat oleh Siau-hong sekarang, siapa pun tak akan menyangka, apa sebabnya dia menjadi begitu ketakutan, takut setengah mati?
Sumbu lentera terbuat dari kapas, tampaknya belum lama dinyalakan.
Ketika Siau-hong berdiri di samping jendela di rumahnya tadi, lentera di dalam bangunan itu belum menyala.
Lampu baru dinyalakan sewaktu dia berjalan keluar tadi. Tapi di manakah orang yang menyalakan lampu?
Siau-hong tidak lagi pergi mencari orang yang menyalakan lentera, dia pun tidak mengunjungi rumah penduduk lainnya.
Kini ia terduduk, terduduk di samping lentera.
Mimik mukanya tampak sangat jelek, seakan dia telah bertemu setan, bahkan saat ini mimik mukanya justru lebih jelek dan menyeramkan daripada wajah setan.
Mungkinkah di dalam rumah itu ada setan, terdapat setan iblis gentayangan tak tembus pandangan mata orang awam? Mungkin siapa pun yang memasuki rumah ini segera akan dipengaruhinya?
Kalau benar begitu, mengapa Soso sama sekali tak terpengaruh? Mengapa dia seperti tidak merasakan apa-apa?
Mungkinkah setan gentayangan yang berada dalam rumah itu hanya mencari Siau-hong seorang? Sejujurnya Soso ingin sekali bertanya kepadanya, mengapa ia berubah seperti itu, namun gadis itu tak berani mengajukan pertanyaannya.
Tampang wajah Siau-hong benar-benar membuat orang ketakutan. Kini Siau-hong telah duduk, duduk bersandar tembok, duduk pada sebuah bangku bambu kuno.
Mimik mukanya sekarang telah berubah semakin kalut, kecuali rasa takut, ngeri dan gusar, bahkan seolah-olah terselip pula perasaan cinta dan rindu yang tak akan tergunting setajam apa pun.
Mengapa dari dalam rumah sederhana itu dapat menimbulkan pelbagai perubahan perasaan dalam hati pemuda itu?
Kembali Soso ingin bertanya, namun ia tak berani mengajukan pertanyaannya.
Tiba-tiba Siau-hong buka suara.
"Aku pun seperti orang lain, aku pun mempunyai ayah dan ibu," katanya, "Ayahku adalah seorang Piausu, lima belas tahun berselang dia mempunyai sedikit nama di seputar Kang-lam."
Suaranya berubah jadi rendah, berat dan sedikit parau. "Ibuku sangat lembut, setia dan bijaksana, tapi nyalinya
kecil, setiap kali ayahku bertugas mengawal barang, setiap malam dia tak pernah bisa tidur nyenyak."
Yang-kong lenyap tak berbekas, Tio Kun tak pernah muncul lagi, sang pembunuh telah melarikan diri, Tangan emas telah muncul kembali. Dalam keadaan dan situasi seperti ini, mengapa secara tiba-tiba Siau-hong malah menyinggung tentang orang tuanya?
Kembali Soso ingin bertanya, tapi tak berani, lewat beberapa saat kemudian Siau-hong berkata lebih jauh, "Ketika aku berusia lima tahun, apa yang dikuatirkan ibuku akhirnya terjadi juga." "Tahun itu bulan ketiga, ayahku mengawal barang menuju daratan Tionggoan, ketika tiba di atas bukit Tiong- tiau-san, barang kawalannya dibegal orang, sejak itu ayahku tak pernah kembali ke rumah."
Suaranya makin rendah, parau dan berat.
"Gaji ayahku sebagai seorang Piausu tidak terlalu banyak, lagi ayahku termasuk orang yang royal, sekalipun kehidupan keluarga kami masih terhitung berkecukupan, namun sama sekali tak punya uang tabungan. Setelah terjadinya peristiwa itu, kehidupan kami ibu dan anak jadi semakin susah dan sengsara."
Akhirnya Soso tak kuasa menahan diri, tanyanya, "Bagaimana pertanggung-jawaban perusahaan ekspedisi itu? Ayahmu mengorbankan nyawa demi perusahaan, masa mereka sama sekali tidak menggubris kehidupan kalian berdua?"
"Gara-gara kehilangan barang kawalan, perusahaan itu harus ganti rugi, mereka ikut bangkrut akibatnya, bahkan pemilik perusahaan menggantung diri karena tak kuat menghadapi percobaan."
Memang peristiwa ini merupakan sebuah kejadian tragis, peristiwa menyedihkan yang setiap saat bisa terjadi dalam dunia persilatan.
Orang persilatan yang hidup berlumuran darah di ujung golok, hidup dalam budi dan dendam, ada berapa banyak orang yang bisa memahami sisi gelap kehidupan mereka?
"Tapi kalian tetap harus hidup lebih jauh," kata Soso sedih, kemudian tanyanya lagi kepada Siau-hong, "Bagaimana cara kalian berdua mempertahankan hidup?"
"Bagaimana cara kami mempertahankan hidup?
Bagaimana cara kami mempertahankan hidup...?" Siau-hong mengepal tinjunya, mimik mukanya menampilkan penderitaan seakan tertusuk oleh pedang, tertusuk tepat di hulu hatinya.
"Seorang wanita tanpa sanak, tanpa keluarga, tanpa topangan hidup apa pun, dengan membawa seorang bocah berusia lima tahun, apa yang harus dia lakukan agar dapat hidup lebih jauh?"
Soso adalah seorang wanita, tentu saja dia memahami maksud perkataan Siau-hong.
Seorang wanita tanpa sanak, tanpa keluarga, tanpa topangan hidup, demi mendidik dan memelihara putranya, perbuatan apa pun dapat ia lakukan, pengorbanan apa pun dapat ia laksanakan.
Mau di rumah pelacuran, dalam kubangan api, dari dulu hingga sekarang entah sudah berapa banyak wanita yang melakukannya.
Butir air mata hampir jatuh bercucuran membasahi mata Soso.
Tapi dia terlebih tak mengerti, dia tak paham kenapa dalam keadaan dan situasi seperti ini, Siau-hong harus menyinggung masalah itu di hadapannya.
Sebetulnya persoalan semacam ini tak nanti mau disinggung seorang lelaki sejati di hadapan orang lain kendati harus mati sekalipun.
Apa yang diucapkan Siau-hong selanjutnya semakin membuatnya terkesiap.
"Ternyata ayahku tidak mati," Siau-hong berkata lebih lanjut, "Tiga tahun kemudian tiba-tiba ia muncul kembali." Soso menggenggam tangannya kencang-kencang, begitu kencang hingga kuku jari menusuk ke dalam daging tubuhnya.
"Ayahmu muncul kembali?" suara perempuan itu gemetar saking tegang dan cemasnya, "Jadi dia tak tahu apa yang telah dilakukan ibumu?"
"Dia tahu."
"Dia... dia..." Soso menggigit bibirnya, "Apa yang kemudian dia lakukan terhadap ibumu?"
Siau-hong tidak menjawab.
Kembali Soso berseru, "Kalau aku jadi dia, aku pasti akan bersikap lebih hormat dan berterima kasih kepada ibumu."
"Sayang kau bukan dia," kata Siau-hong dingin, "Lagi pula kau bukan lelaki!"
"Jadi... jadi dia tak mau ibumu lagi?" kembali Soso bertanya.
Begitu pertanyaan diucapkan, ia segera sadar pertanyaan semacam ini tidak sepantasnya diucapkan, melihat mimik muka sedih Siau-hong, ia sudah tahu apa jawaban dari pertanyaannya.
Seorang wanita, seorang bocah, suatu kehidupan, ada berapa banyak kepedihan yang harus dialami manusia dalam hidupnya?
Ada berapa banyak orang yang bisa memahami ketidak berdayaan manusia dalam menghadapi tragedi dan percobaan hidup semacam ini?
Siau-hong bangkit, berjalan mendekati jendela, mendorongnya. Kegelapan malam di luar jendela terasa hitam pekat. Sampai lama sekali pemuda itu mengawasi kegelapan malam dimana bintang dan rembulan belum muncul, kemudian ia baru bicara lagi.
"Aku memberitahukan persoalan ini kepadamu, tak lain karena aku ingin kau tahu, aku memiliki seorang ibu semacam ini."
"Di mana dia sekarang?" tanya Soso, "Apakah dia masih hidup?"
"Dia masih hidup," Siau-hong mengangguk perlahan, "Waktu itu aku masih kecil, maka dia belum boleh mati."
Kembali lanjutnya dengan suara bercampur isak, "Biarpun waktu itu usiaku masih kecil, tapi aku tahu dia mengorbankan diri demi aku, karena itu aku pun mengatakan kepadanya, jika dia mati, aku pun ikut mati."
"Sekarang kau telah tumbuh dewasa," kembali Soso bertanya, "Di mana dia sekarang?"
"Tak seorang pun mengenalinya, juga tak seorang pun tahu di mana ia berada, kini ia hidup dalam sebuah rumah kayu kecil," Siau-hong menerangkan, "Dia melarang aku sering menengoknya, bahkan tak ingin orang lain tahu kalau dia adalah ibuku..."
Air matanya nyaris meleleh namun tak sampai membasahi pipinya, hanya penderitaan dan siksaan yang kelewat dalam akan membuat orang tak mudah melelehkan air mata.
"Dalam rumah kayu itu hanya ada sebuah ranjang, sebuah meja, beberapa bangku, sebuah almari baju, dan sebuah lentera minyak," ujar Siau-hong lebih lanjut, "Biarpun dia melarangku sering menengoknya, aku tetap sering ke sana, aku hapal sekali dengan setiap macam benda yang berada dalam rumahnya." Ia melototkan mata, melototi kegelapan malam yang menyelimuti angkasa, tiba-tiba pandangannya seolah melihat lembaran kosong, katanya lagi, "Semua benda yang berada dalam rumah ini, hampir semuanya dipindah kemari dari tempat tinggalnya."
Kini Soso mengerti apa sebabnya Siau-hong berubah jadi begitu menakutkan setelah memasuki rumah ini.
Ternyata setiap benda yang berada dalam rumah ini, dipindahkan dari tempat tinggal ibunya....
Siapa yang telah memindahkannya? Tentu saja Lu-sam.
Tak dapat disangkal Lu-sam telah berhasil menemukan ibunya, tak dapat disangkal pula kalau dia bersama Yang- kong, telah terjatuh pula ke dalam cengkeraman Lu-sam.
Soso menatap wajah Siau-hong, tiada air mata di wajah pemuda itu, tapi air mata telah membasahi pipinya, karena dia telah memahami hubungan perasaan antara ibu beranak itu.
"Kuajak kau ke sana," akhirnya Soso mengambil keputusan, "Kuajak kau pergi mencari Lu-sam."
Sekalipun ia sadar kepergiannya bakal menuai kematian, gadis ini tetap akan mengajaknya pergi ke sana, karena dia tahu pemuda itu sudah tak punya jalan pilihan lain.
Ternyata Siau-hong menggeleng. "Tidak usah," katanya.
"Tidak usah?"
"Kau tak usah mengajakku ke sana, kau tak perlu menemani aku pergi mati," sahut Siau-hong, "Tapi tak ada salahnya kau memberitahukan kepadaku, di manakah tempat itu."
"Tidak, aku tak bisa berbuat begitu," Soso ikut menggeleng, "Aku tak dapat memberitahukan kepadamu."
"Kenapa?"
"Karena aku sendiri pun tak tahu di manakah dia berada, aku hanya bisa membawamu ke sana." Siau-hong tidak mengerti.
Segera Soso menjelaskan kembali, "Dia adalah seorang penuh teka-teki, hampir di setiap sudut kota maupun ujung desa terdapat bekas tempat tinggalnya, belum pernah ada orang yang tahu tempat tinggal sesungguhnya."
Kemudian kembali ia menambahkan, "Aku pun tidak tahu di mana ia berada, tapi aku mampu menemukan jejaknya."
Siau-hong tidak bertanya lagi, ia telah bangkit seraya berkata, "Kalau begitu kita segera pergi mencarinya."
"Mungkin kita harus mencarinya cukup lama, sebab tempat singgahnya kelewat banyak."
"Asal dapat menemukannya, biar harus dicari lebih lama pun tidak menjadi masalah."
Mereka pun mencarinya sangat lama, lama sekali....
Mereka gagal menemukannya. Gagal menemukan Yang- kong, gagal menemukan Tio Kun, mereka pun gagal menemukan Lu-sam.
Ooo)d*w(ooO
Bunga bwe merah membara, lapisan salju putih bercahaya, daun jendela hijau lembayung. Ayam panggang, ikan asin, daging asap.
Baju baru untuk anak-anak akan menjadi beban hutang orang tua, sulaman kaum gadis, dan uang celengan para nenek.
Akhir tahun sudah makin mendekat, tahun baru pun segera akan menjelang tiba.
Peduli kau sebagai orang suku Han, suku Biau, suku Tibet ataukah suku Mongol, peduli kau berada di mana pun, tahun baru tetap adalah tahun baru, karena semuanya merupakan satu bangsa, anak keturunan kaisar Ui-te bahkan merasa bangga karenanya.
Begitu pula semua orang yang berada di tempat ini.
Orang-orang di tempat ini pun akan merayakan tahun baru, peduli kau miskin atau kaya, tua atau muda, pria atau wanita, tahun baru tetap adalah tahun baru.
Betapa pun susahnya kehidupan sepanjang tahun, tahun baru tetap harus dirayakan, setiap orang harus menikmati tahun baru, begitu juga dengan Siau-hong serta Soso.
Sudah banyak tempat yang mereka telusuri, sudah banyak kota yang mereka datangi.
Kini mereka telah tiba di sini, sekarang adalah saatnya menjelang tahun baru, karena itulah mereka tetap tinggal di sana untuk merayakan pergantian tahun.
Sebagian besar pelancong dan perantau yang mudik telah tiba kembali di rumah masing-masing, kamar dalam penginapan pun sembilan puluh persen dalam keadaan kosong tanpa penghuni, ketika menengok dari balik jendela, yang terlihat hanya bekas kaki kuda dan kereta yang tertinggal di atas permukaan salju, di luar halaman. Di atas meja berkaki delapan yang sudah kusam warnanya, tersedia sepoci arak dan empat mangkuk hidangan tahun baru, hidangan itu merupakan hidangan khusus yang disediakan pemilik penginapan, bahkan di atas mangkuk sayur tertera selembar kertas merah yang bertuliskan,
"Ki-siang-ji-gi, Kiong-hi-hoat-cay",
Semuanya selamat dan terkabul, semoga kaya raya, dan banyak rezeki.
Kehangatan memang selalu muncul di antara kehidupan manusia, khususnya menjelang tahun baru seperti sekarang setiap orang selalu berkeinginan untuk membagikan sedikit kegembiraan dan rezeki yang dimilikinya untuk mereka yang kesepian, kesendirian dan tidak beruntung.
Di sinilah letak semangat setiap orang dalam mengartikan kata "Tahun baru", dan itu pula makna yang sesungguhnya dari tahun baru. Mungkin karena inilah maka kebiasaan merayakan tahun baru berlangsung terus turun temurun.
Soso telah menyiapkan dua perangkat mangkuk dan sumpit, bahkan memenuhi cawan Siau-hong dengan arak hangat.
Dia memang seorang wanita baik, terhadap Siau-hong dia telah melakukan setiap tugas yang harus dilakukan seorang wanita terhadap seorang pria.
Setiap kali memandang wajah gadis itu, perasaan kecut selalu timbul dari dasar hati Siau-hong, dia selalu tak kuasa untuk bertanya pada diri sendiri, "Apa yang telah kulakukan baginya?"
Tampaknya selama dua hari belakangan kesehatannya kurang baik, ia tak pernah bisa tidur nyenyak, makanan yang disantap pun tak banyak, terkadang secara diam-diam dia mual dan muntah.
Siau-hong mengambil sebutir kuning telur dan dimasukkan ke dalam mangkuknya, ia menelannya dengan terpaksa, namun lagi-lagi segera muntah.
Andaikata Siau-hong adalah seorang lelaki yang berpengalaman, dia seharusnya tahu mengapa gadis itu berubah jadi begini rupa.
Sayang dia tak tahu, malah tanyanya, "Apakah kau sakit?"
Soso menggeleng tapi penampilannya memang mirip seorang yang menderita sakit.
Maka Siau-hong pun kembali bertanya, "Kau tampaknya sedikit tidak sehat, bagian tubuhmu yang mana terasa kurang enak?"
Soso tertunduk rendah, wajahnya yang pucat tiba-tiba bersemu merah, setelah lewat lama, dengan memberanikan diri ia baru menjawab, "Kelihatannya aku... aku hamil."
Siau-hong tertegun, ia betul-betul terperangah, kaget bercampur tidak percaya.
Secara diam-diam Soso sedang memperhatikan wajahnya, menyaksikan perubahan mimik mukanya, perasaan sedih yang luar biasa terpancar dari balik matanya, ia gigit ujung bibirnya kuat-kuat, seperti kuatir kalau dia mengucapkan kata-kata yang kurang patut.
Tapi akhirnya dia tak kuasa menahan diri dan bertanya, "Apakah kau ingin bertanya kepadaku, anak yang berada dalam perutku ini anakmu atau anak Tio Kun?"
Suaranya gemetar lantaran emosi yang menggelora, terusnya, "Aku dapat memberitahukan kepadamu sejujurnya, anak ini anakmu, karena Tio Kun tak bakal bisa punya anak."
Sekuat tenaga ia berusaha mengendalikan diri, lanjutnya, "Selama mengikuti rombongan saudagar yang dipimpin Hoapula, kami selalu menginap di sebelah kamar kalian. Suara desahan napas yang tiap malam kami perdengarkan bukanlah berasal dari suara desahan karena kami suka melakukan permainan ranjang."
"Lantas karena apa?"
"Kami sengaja berbuat begitu," sahut Soso, "Dengan sengaja berbuat begitu, maka orang lain baru tak akan mencurigai kami sebagai orang yang sedang dicari Lu-sam, maka itulah orang lain baru mencurigai dirimu."
"Kenapa?" kembali Siau-hong bertanya.
"Karena anak buah Lu-sam sebagian besar adalah sahabatnya, mereka tahu Tio Kun pada hakikatnya tak mungkin mampu melakukan perbuatan semacam itu."
Suara Soso bertambah sedih dan tersiksa, "Karena sejak lahir dia sudah dikebiri!"
Sekali lagi Siau-hong tertegun, kali ini benar-benar terperangah.
"Orang lain heran kepadaku, mengapa aku bisa mencintai seorang lelaki yang pada hakikatnya bukan lelaki."
Air mata mulai membasahi mata Soso, "Sesungguhnya mereka bisa keheranan karena tak pernah bisa memahami perasaan cintaku terhadapnya, perasaan cinta yang sesungguhnya."
Kembali dia melanjutkan, "Aku menyukainya karena kekurangan dan kelemahannya itu, karena dia merupakan satu-satunya lelaki yang pernah kujumpai sepanjang hidupku, yang menyukai aku bukan karena tubuhku."
Perasaan cinta seorang wanita, rahasia seorang perempuan, siapa yang dapat memahaminya?
Siau-hong sendiri pun tak mampu.
Soso menatapnya, kembali ia berkata, "Aku memberitahukan semuanya kepadamu bukan karena berharap kau bersedia mengakui anak ini sebagai anakmu, kau tetap bisa menolak kehadirannya, setiap detik aku bisa pergi dari sisimu."
Siau-hong mulai meneguk arak, minum dengan kepala tertunduk, karena dia sudah tak berani menatap ke arahnya lagi.
Dia tahu apa yang dikatakan Soso adalah ucapan yang sejujurnya, dia tak bisa tidak harus mengakui bahwa benih itu adalah darah dagingnya, dia tak mungkin bisa menyangkalnya.
Bagaimana pun juga dia bukanlah seorang lelaki yang sama sekali tak bertanggung jawab.
Hanya saja bagi seorang gelandangan tak berakar semacam dirinya, datangnya peristiwa ini benar-benar kelewat mendadak, sedemikian tiba-tiba hingga membuat dia tak sanggup menghadapinya.
Ternyata dia sudah punya anak, punya anak dengan seorang perempuan yang sebenarnya bukan perempuan miliknya.
Siapa pula yang dapat menduga akan terjadinya peristiwa semacam ini?
"Bagaimana pun juga di kemudian hari kita masih tetap sahabat," sambil menyeka air mata, Soso mengangkat cawan araknya, "Kuhormati secawan arak untukmu, bersediakah kau meneguknya?"
Tentu saja Siau-hong harus meneguk arak itu. Menanti dia mencari arak poci kedua, pemuda itu sadar, hari ini dirinya bakal mabuk.
Dia benar-benar telah mabuk.
Saat itulah bunyi mercon mulai bergema di luar sana. Tahun yang lama telah lewat, tahun yang baru dimulai. Bulan satu tanggal satu, pagi.
Ooo)d*w(ooO