BAB 08. JAGO BERILMU TINGGI
Itulah potongan bait syair Mira Lesepa seorang penyair Tibet, walaupun amat sederhana, singkat, dan terdiri dari beberapa huruf saja, namun terkandung perasaan campuk- aduk yang sukar diurai dengan perkataan, macam golakan darah panas dalam tubuh seorang lelaki.
Po Eng tidak mati, Siau-hong pun belum pergi. Rombongan besar itu kembali melanjutkan perjalanan,
akhirnya tibalah mereka di gunung Toa-kit-leng, lebih
kurang dua ratus lima puluh li dari tanah suci Lhasa.
Langit sangat cerah, hanya setitik awan tipis yang melayang di udara nan biru, di kejauhan sana terlihat puncak bukit yang berlapiskan salju, perasaan Siau-hong pun nampaknya jauh lebih cerah dan riang.
Akan tetapi dia sama sekali tak dapat melupakan Pova. Agaknya Po Eng mengetahui akan hal ini.
"Masih ada satu hal lagi yang perlu kuberitahukan kepadamu," suatu hari ia berkata kepada Siau-hong, "Terserah mau percaya atau tidak, aku tetap harus mengatakannya kepadamu."
"Masalah apa?"
"Pova berarti salju, salju yang telah membeku dan mengeras bagai batu, warna salju adalah putih keperak- perakan. ”
Setelah berhenti sejenak, Po Eng baru kembali melanjutkan, "Pova sebenarnya tak lain adalah Sui-gin, si Air raksa yang sebenarnya!"
Siau-hong sama sekali tidak menunjukkan reaksi.
Ia sedang menerawang lapisan salju di puncak bukit di kejauhan sana, pemuda itu seolah tidak mendengar apa yang sedang dibicarakan Po Eng.
Kembali Po Eng berkata, "Sebelum tumpukan emas murni yang hilang ditemukan kembali, tak nanti Wi Thian- bong akan melepaskan diriku. Putra yang telah mati selamanya tak pernah bisa hidup kembali, Lu-sam pun pasti tak akan melepaskan dirimu."
Setelah berhenti sejenak, perlahan lanjutnya, "Kini, kelompok panah kita sudah kehilangan setengah anggotanya, mereka tak nanti akan membiarkan kita tiba di kota Lhasa dengan selamat."
Selama dua malam belakangan, setiap kali rombongan mereka sedang berhenti untuk beristirahat, lamat-lamat Siau-hong seakan mendengar ada suara derap kaki kuda yang ramai di kejauhan sana.
Apakah Wi Thian-bong sedang mengumpulkan anak buahnya, bersiap untuk melakukan pertempuran terakhir melawan mereka?
"Di depan sana terdapat sebuah celah sempit, orang Tibet menyebutnya sebagai sumbatan leher," kata Po Eng, "Bila perhitunganku tak meleset, saat ini mereka pasti sedang menanti kedatangan rombongan kita di sana!"
'Sumbatan leher'. Cukup mendengar namanya, Siau- hong sudah dapat membayangkan betapa berbahaya dan ngerinya celah sempit itu.
Dengan empat penjuru tertutup dinding curam yang menjulang ke angkasa, andaikata ada musuh bersembunyi dan melakukan sergapan di sana, dapat dipastikan tak akan banyak anggota rombongan mereka yang bisa lolos dalam keadaan selamat. Apalagi musuh yang bersembunyi di sana adalah jago-jago inti kelompok pimpinan Wi Thian-bong.
"Kau siap menerjang ke sana?" tanya Siau-hong dengan perasaan kuatir.
Po Eng tertawa dingin.
"Mereka memang berharap aku menerjang melalui celah itu, kenapa aku harus memenuhi harapan mereka?"
"Selain celah sempit itu, apakah masih ada jalan lain yang bisa dilewati?" kembali Siau-hong bertanya.
"Tidak ada, hanya saja kita bukan harus melewati tempat itu."
"Lalu bagaimana caramu melewatinya?" "Menunggu, mereka bisa menunggu kedatangan kita, kita pun dapat menunggu kedatangan mereka, menunggu sampai mereka datang sendiri."
"Mereka pasti akan datang sendiri?"
"Pasti, bahkan dalam waktu singkat akan datang, karena kita bisa menunggu, sementara mereka tidak."
"Mengapa?"
"Anak buah yang mereka kumpulkan pasti sedang berada dalam keadaan kenyang dan semangat tempur paling puncak. Mereka telah memperhitungkan pertarungan ini pasti dapat mereka menangkan, begitu berhasil dengan pertarungan ini, mereka akan mulai pesta-pora merayakannya, oleh sebab itu mereka pasti tidak membekal rangsum dan air dalam jumlah banyak, sebab dalam anggapan mereka, selesai pertarungan ini, rangsum dan air yang kita bawa akan menjadi milik mereka."
Setelah mendengus, kembali Po Eng melanjutkan dengan nada dingin, "Oleh sebab itu mereka tak bisa menunggu, bila kita tidak lewat, merekalah yang pasti datang mencari kita."
"Kemudian?"
"Aku telah menurunkan perintah untuk mendirikan perkemahan di tempat tiga puluh li dari celah sempit itu," sahut Po Eng, "Sewaktu mereka tidak melihat kedatangan kita, semangat tempurnya pasti akan melemah, apalagi harus menempuh perjalanan sejauh tiga puluh li untuk mencari kita, sudah pasti kekuatannya akan makin lemah. Nah, di sanalah kita sambut kehadiran orang-orang itu, menunggu mereka datang mengantar kematian. ”
Bukan saja ia bisa melihat secara tepat, bahkan memperhitungkan segala sesuatunya dengan tepat, bukan hanya bisa mencabut pedang melukai musuh dalam jarak lima langkah, bahkan dapat membuat strategi perang yang jauh lebih unggul daripada menempuh jarak ribuan li.
Mau tak mau Siau-hong harus mengakui bahwa dia memang seorang tokoh silat berbakat aneh yang jarang dijumpai dalam dunia persilatan.
Namun ada satu hal yang membuat Siau-hong tetap kuatir. "Sekalipun mereka datang kemari, belum tentu kedatangan mereka hanya untuk mengantar nyawa.”
“O, ya?"
"Kalau memang Wi Thian-bong sudah bertekad akan menangkan pertarungan ini, sudah pasti dia akan mengerahkan segenap kekuatan inti yang dimilikinya, ditambah Tokko Ci dan Siu-hun-jiu, ada berapa orang di pihak kita yang sanggup mengungguli beberapa orang itu?"
Kembali terlihat darah segar meleleh membasahi baju putih yang dikenakan Po Eng, selewat pertarungan nanti, entah ada berapa banyak darah segar lagi yang akan menodai baju putihnya.
Namun sikap dan penampilannya tetap tenang, tiba-tiba ujarnya, "Aku tahu, terlepas seberapa besar kesempatan kita dalam pertarungan ini, kau tak bakal pergi meninggalkan aku. Kalau tidak, kau pun tak perlu menguatirkan keselamatanku."
Lagi-lagi Siau-hong merasakan hawa panas menggelora dalam dadanya.
Pengertian dari seorang sahabat selalu membuatnya lebih terharu dibanding persoalan apa pun.
Po Eng menatapnya, sinar mata yang dingin, sadis dan tajam tiba-tiba berubah lebih lembut dan halus, katanya, "Aku telah terluka, anak buah yang kita miliki pun tidak banyak, tapi kita bukannya sama sekali tak punya kesempatan, karena kita memiliki sebuah benda yang tak mungkin dimiliki Wi Thian-bong sekalian."
Setelah berhenti sejenak, perlahan-lahan lanjutnya, "Kita memiliki sahabat yang siap sehidup semati, sahabat yang tak akan melarikan diri di saat bahaya maut datang mengancam."
"Apa pun yang bakal terjadi, kali ini kau harus sisakan Tokko Ci untuk diriku!" teriak Siau-hong tiba-tiba.
Kembali Po Eng menatapnya cukup lama, sekali lagi secercah senyuman melintas dari balik sorot matanya.
"Kali ini mungkin Tokko Ci tak bakal datang." "Kenapa?"
"Kau pasti suka juga mendengar perkataan yang paling senang diucapkan Pancapanah."
Tentu saja Siau-hong tahu apakah perkataan itu.
Bila ingin orang lain mengucurkan darah, diri sendiri pun harus mengucurkan darah.
"Kuakui Tokko Ci adalah jago pedang yang tiada duanya di kolong langit," ujar Po Eng, "Tapi bila dia ingin aku mengucurkan darah, dirinya pun harus membayar mahal untuk itu."
"Jadi dia pun terluka?" Siau-hong segera bertanya.
Po Eng tidak menjawab pertanyaan itu, hanya ujarnya hambar, "Peduli bagaimana pun, bila ia berani datang lagi, aku pasti akan menahan dia di sini."
Sebelum senja menjelang tiba, rombongan itu sudah menghentikan perjalanan. Menurut laporan Garda, jarak tempat ini dengan "sumbatan leher" hanya selisih dua puluh sembilan li.
Rombongan onta telah berkerumun jadi satu, tenda- tenda pun telah didirikan, setiap orang sibuk melaksanakan tugas harian yang harus mereka selesaikan, keadaan tak jauh berbeda dengan situasi di hari-hari biasa, seakan mereka sama sekali tak tahu akan kehadiran musuh tangguh.
Kembali seharian penuh Siau-hong tak berjumpa dengan Pancapanah, dalam dua hari belakangan, dia pun tidak mendapat tugas melakukan perondaan, selama ini dia hanya menemani Po Eng, berada dalam tenda dengan puncak tergantung bulu elang berwarna hitam pekat.
Orang yang bertugas mengurus rangsum dan air, Gan Tin-kong dan Song-lohucu telah datang, Po Eng yang mengundang kedatangan mereka, mengundang mereka berdua untuk minum arak bersama.
Tampaknya kegembiraan Po Eng pada hari ini sangat baik.
Arak yang mereka teguk bukan arak Ku-shia-sau, melainkan arak biji-bijian yang keras dan menusuk lidah.
Walaupun arak semacam ini tidak gampang memabukkan, namun sekali mabuk, jangan harap bisa mendusin dengan mudah.
Selewat magrib, dari luar tenda mulai berkumandang suara nyanyian, bagi orang Tibet, nyanyian dan arak memang tak dapat dipisahkan satu sama lainnya.
Cahaya api mulai menerangi segala penjuru, setiap orang sedang menyanyi, sedang menenggak arak, seakan sengaja membiarkan orang lain menyangka mereka sama sekali tak waspada, sama sekali tak siap. Namun sekalipun dilakukan persiapan, sekalipun setiap orang waspada, lalu apa gunanya? Jumlah petarung dalam kelompok ini hanya tersisa tak lebih belasan orang saja.
Menurut suara ringkikan kuda yang terdengar oleh Siau- hong, kawanan jago yang berhasil dihimpun Po Eng paling tidak berjumlah sepuluh kali lipat dari jumlah mereka. Pancapanah telah kembali.
Dia membuktikan kebenaran jalan pikiran Siau-hong, ia telah mengunjungi "sumbaran leher".
"Rombongan pasukan yang saat ini telah berkumpul di sana lebih kurang berjumlah tujuh puluh ekor kuda," jelasnya.
Tujuh puluh ekor kuda berarti tujuh puluh orang jago dengan tujuh puluh jenis senjata tajam, dapat dipastikan setiap senjata yang mereka bawa adalah senjata tajam yang sangat mematikan.
Kembali Pancapanah berkata, "Mereka hampir semuanya merupakan jago-jago tangguh yang pandai menunggang kuda, di antaranya ada sebagian yang menggunakan senjata tombak panjang, ada sebagian membawa busur dan anak panah, ada pula tujuh-delapan orang di antaranya menggunakan senjata yang tak biasa digunakan orang."
Orang yang bisa menggunakan senjata istimewa tentu memiliki ilmu silat yang sangat tangguh.
Terdengar Pancapanah kembali berkata, "Sesungguhnya orang yang benar-benar menakutkan bukanlah mereka."
"Lalu siapakah yang benar-benar menakutkan?" tanya Siau-hong cepat. "Kecuali tujuh puluh ekor penunggang kuda, ada pula tiga buah tandu yang telah tiba di sini."
Berada di tengah gurun pasir ternyata ada orang naik tandu, bahkan di saat bersiap menyergap musuh tangguh pun masih ada orang yang berada dalam tandu.
"Adakah seseorang di dalam tandu itu?" tanya Siau-hong semakin terkesiap.
"Tentu saja ada," Pancapanah mengangguk, "Dalam setiap tandu terdapat seorang."
"Manusia macam apakah mereka?"
"Tentu saja hanya orang-orang luar biasa yang bisa dijemput Wi Thian-bong dengan menggunakan tandu," setelah agak sangsi sejenak, kembali Pancapanah melanjutkan, "Aku hanya kenal salah seorang di antaranya."
"Siapakah orang itu?"
"Perempuan yang kau anggap tak mungkin membunuh orang."
Seketika itu juga Siau-hong terbungkam dalam seribu bahasa.
Benarkah Pova adalah seorang pembunuh berilmu tinggi yang sengaja menyembunyikan kemampuannya? Benarkah dia mampu membunuh orang dalam sekejap mata?
Dia tak dapat melihatnya, betul-betul tak dapat melihatnya.
Dia pun tak percaya, bukannya tak dapat percaya, melainkan tak ingin percaya.
Kembali Pancapanah berkata, "Selain dia, orang kedua adalah seorang cacat yang memiliki sebuah lengan dan sebuah kaki, kaki kirinya dipasang kaki kayu sedang di tangan kanannya menenteng sebuah buntalan kuning, tampaknya buntalan itu cukup berat."
"Berapa usianya?" Siau-hong segera bertanya.
"Aku tak dapat menilai usianya," sahut Pancapanah, "Tapi setiap lembar rambutnya telah memutih, putih berkilat bagaikan serat perak, namun wajahnya justru masih putih bersemu merah, pada hakikatnya dia adalah seorang nona cilik."
"Nona cilik?" kembali Siau-hong bertanya, "Kau maksudkan orang ini adalah seorang wanita?"
"Betul, dia adalah seorang wanita."
Paras Siau-hong kelihatan sedikit berubah. "Lalu siapa pula orang yang ketiga?"
"Tampaknya orang itu adalah seorang buta, sewaktu turun dari tandu harus dituntun orang, tapi justru dialah satu-satunya orang yang mengetahui kalau aku bersembunyi di seputar sana."
Sesudah tertawa getir kembali Pancapanah melanjutkan, "Hampir saja aku tak bisa pulang kemari."
Siau-hong merasakan hatinya mulai tenggelam.
Dia telah menduga siapa gerangan kedua orang itu, di antara kawanan jago paling tangguh yang terdapat di kolong langit saat ini, nama besar kedua orang itu boleh dibilang menempati deretan sepuluh besar.
Seharusnya Po Eng pun mengetahui identitas kedua orang itu, namun dia sama sekali tidak memberikan reaksi, hanya ujarnya hambar, "Kau sudah lelah, mari, minumlah arak ini." Arak yang tidak gampang memabukkan, sekali mabuk akan susah mendusin kembali. Orang yang paling menawan hati, terkadang justru merupakan orang yang paling menakutkan.
Memang banyak peristiwa dan kejadian seperti ini terjadi di dunia.
Langit sudah semakin gelap, manusia pun sudah mendekati mabuk, cahaya api dalam tenda terasa makin terang benderang, suara nyanyian pun bergema makin nyaring dan lantang.
Sorot mata Po Eng tampak jauh lebih terang dan tajam.
Mengapa dia bisa bersikap begitu tenang? Apakah dia sudah mempunyai cara untuk menghadapi serbuan orang- orang itu?
Siau-hong tak habis mengerti, dia benar-benar tak tahu apa yang akan dia lakukan.
Si manusia buta itu tak disangkal pastilah Siu-hun-jiu. "Tangan beracun pencabut nyawa, tiada tempat aman
untuk nyawa". Bila dia pergi mencari seseorang, kalau orang itu tidak segera melarikan diri, secepatnya persiapkan urusan akhir bagi diri sendiri.
Hingga kini hanya beberapa orang saja yang berhasil melarikan diri dari cengkeraman mautnya.
Perempuan berambut putih berwajah merah berlengan tunggal berkaki tunggal itu jauh lebih menakutkan lagi, sebab dia hanya terhitung separoh manusia.
Separohnya yang lain bukan dewa, juga bukan setan, terlebih bukan manusia.
Sebab separoh yang lain sudah termasuk "iblis". Perempuan ini seakan telah terbelah jadi dua oleh semacam ilmu iblis yang sangat menakutkan, separohnya adalah Giok-li, perempuan suci, sementara yang separohnya lagi adalah Thian-mo, iblis langit.
Giok-li-thian-mo, perempuan suci iblis langit Liu Hun- hun!
Tak seorang pun yang tahu seberapa tinggi ilmu silat yang dimilikinya, tak ada pula yang tahu berapa usianya.
Tapi setiap orang tahu dengan pasti, setiap saat dia dapat membelah tubuhmu menjadi dua bagian.
Gan Tin-kong selamanya tak pernah meneguk arak biar setetes pun, sementara Song-lohucu sudah meneguk tak sedikit arak keras.
Yang tidak meneguk arak selalu bersikap serius sementara yang meneguk arak pun merupakan seorang Kuncu, dalam keadaan apa pun, mereka berdua merupakan orang-orang yang pantas dihormati.
Tapi setelah tiba saat mencabut golok bersiap adu nyawa, mungkin nilai kedua orang ini sudah tak bisa menandingi nilai Garda.
Sebagaimana diketahui Garda adalah seorang petarung, seorang patriot, namun ketika harus berhadapan dengan jago-jago tangguh macam Siu-hun-jiu serta Liu Hun-hun, satu-satunya yang bisa dia lakukan hanyalah mati.
Sekalipun "kematian" merupakan akhir dari semuanya, namun tak akan menyelesaikan persoalan mana pun.
Sekalipun benar-benar dapat menyelesaikan masalah, bukan berarti ada orang bersedia menggunakan cara begini menyelesaikan persoalannya. Po Eng telah terluka parah, Pancapanah pun bukan dewa, dengan cara apa mereka akan menghadapi serbuan musuh yang begitu tangguh?
Sudah banyak yang dipikirkan Siau-hong, namun ada satu hal yang tak pernah terpikir olehnya.
Mungkinkah Pova akan ikut datang? Seandainya datang, sikap seperti apakah yang akan dia perlihatkan menghadapi dirinya?
Sikap seperti apa pula yang harus dia lakukan menghadapinya?
Kekasih yang cintanya sehidup semati tiba-tiba berubah jadi musuh bebuyutan yang harus bertarung mati-matian, dengan cara apa dia harus menghadapi situasi semacam ini dan menyelesaikannya? Siapa pula yang bisa memahami penderitaan serta tekanan batin yang harus dirasakan?
Selama ini Po Eng mengawasi dirinya terus, dia seolah dapat melihat penderitaan batin yang dirasakan saat ini, tanpa mengucapkan sepatah kata pun ia mengangkat cawan araknya.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda yang ramai bergema dari kejauhan.
Tujuh puluh ekor kuda berlari bersama, suara derap kaki yang keras bagai suara guntur yang menggelegar di angkasa, dalam waktu sekejap hawa pembunuhan menyelimuti seluruh jagat.
Namun suara nyanyian yang berkumandang di luar masih bergema tiada hentinya, Po Eng masih tetap duduk tenang tanpa bergerak.
Dalam cawannya masih penuh dengan arak, cawan dengan arak wangi yang tak menetes setitik pun, dia hanya berkata kepada Siau-hong dengan nada hambar, "Aku tahu, kau paling takut menunggu, ternyata mereka tidak membiarkan kita menunggu terlalu lama."
Kemudian sesudah mengangkat cawan, terusnya, "Untuk hal itu, kita seharusnya meneguk habis isi cawan arak ini!"
Suara derap kaki kuda bergerak semakin dekat, tampaknya kelompok penyerang itu hanya berlari mengelilingi tenda itu tanpa ada maksud menyerbu masuk.
Orang-orang yang berada di sekitar api unggun masih menyanyi dengan lantang, mereka seakan tidak tahu akan kehadiran kawanan musuh tangguh itu, seolah tidak sadar kalau mati hidup mereka hanya dibatasi soal tarikan napas.
Apakah hal ini dikarenakan mereka menaruh keyakinan dan kepercayaan penuh terhadap Po Eng, percaya dia tak akan membawa mereka menuju jalan kematian, karena itu mereka tetap tenang?
Atau justru karena ketenangan luar biasa yang ditampilkan orang-orang itu, maka musuh tangguh tak berani menyerang secara gegabah?
Mendadak terdengar suara suitan nyaring yang tajam bergema menembus angkasa.
Kuda-kuda jempolan yang sedang berlarian mengelilingi tenda seketika berhenti secara tiba-tiba, begitu suara derap kaki kuda berhenti, suasana pun dicekam dalam keheningan yang luar biasa.
Hawa pembunuhan terasa semakin pekat menyelimuti angkasa.
Tampaknya tujuh puluh ekor kuda jempolan dengan tujuh puluh orang petarung tangguh telah memasang panah di atas gendawa dan melolos golok siap melakukan penyerangan.
Po Eng masih tetap tak bergerak.
Selama pihak lawan tidak bergerak, dia pun tak akan bergerak, dia jauh lebih pandai menunggu, lebih sabar menunggu daripada orang-orang itu.
Siau-hong ingin sekali berjalan keluar melihat keadaan di luar, tapi lagi-lagi Po Eng telah mengangkat cawan araknya.
"Kujamin mereka tak bakal berani menyerbu kemari, sebelum keadaan diketahui secara jelas, mereka tak bakal berani bertindak secara sembarangan."
Kembali dia meneguk isi cawannya hingga habis, lalu terusnya, "Paling tidak kita masih punya cukup waktu untuk meneguk tiga sampai lima cawan arak lagi."
Baru saja dia menghabiskan secawan arak, kembali terdengar suara suitan yang amat nyaring bergema membelah angkasa, lalu terlihat Garda secara tiba-tiba menerjang masuk ke dalam tenda seraya berteriak, "Sudah datang!"
Kembali Po Eng memenuhi cawannya dengan arak, kemudian tanyanya dingin, "Siapa yang telah datang?"
"Wi Thian-bong telah datang," suara Garda terdengar makin tegang dan sedikit panik, "Selain itu terdapat enam orang menggotong tiga buah tandu ikut datang bersamanya, mereka telah memasuki daerah tenda sebelah barat."
"Berapa orang yang telah datang?"
"Pasukan berkuda lainnya telah mengepung kita rapat- rapat, sedang yang masuk ke dalam wilayah tenda hanya beberapa orang itu," sahut Garda, "Mereka bilang hendak bertemu denganmu." Po Eng meneguk dulu araknya, kemudian baru berseru, "Kalau memang kita kedatangan tamu agung, mengapa tidak mempersilakan mereka masuk?"
Mendadak dari luar tenda terdengar seseorang tertawa dingin.
"Kalau sudah tahu ada tamu agung datang berkunjung, mengapa tuan rumah belum keluar menyambut?"
Suara orang ini melengking tapi lembut, seperti ada sebuah jarum tajam yang menusuk telinga.
"Po-toalopan, kau tidak merasa lagakmu berlebihan?" kata orang itu lagi.
Po Eng mendengus dingin.
"Hm, sejak awal lagakku memang besar," sahutnya. Dia mengulap tangan memberi tanda, Garda segera menggulung pintu masuk tenda besar itu.
Tampak cahaya lentera menerangi seluruh tempat, suasana di luar tenda terasa terang benderang bagaikan siang hari, di kejauhan sana tampak cahaya pantulan golok dan pedang, sementara suara nyanyian telah berhenti, yang terdengar kini hanya suara ringkik kuda dan onta.
Angin malam berhembus kencang, udara terasa makin dingin membeku, begitu dingin seakan ada golok yang menghujam ke dalam tulang.
Seekor kuda tinggi besar ditambah tiga buah tandu kecil berwarna hijau telah berhenti di luar tenda. Wi Thian-bong duduk di atas kudanya dengan golok tersoreng di pinggang, anak panah dalam kantung.
Biarpun golok masih berada dalam sarung, biar anak panah masih belum terpasang, namun hawa pembunuhan telah mencekam seluruh jagat. Ternyata orang yang barusan berbicara bukan dia.
Suara itu muncul dari dalam tandu nomor satu dan kini orang itu sudah turun dari tandunya.
Dia adalah seorang wanita berlengan tunggal berkaki tunggal, rambutnya telah memutih bagai warna perak, tapi wajahnya masih merah segar bagaikan seorang gadis.
Pada kaki kirinya terpasang kaki kayu yang jelek dan kasar, sementara kaki kanannya mengenakan kain celana warna hijau bunga dan memperlihatkan betisnya yang putih, halus dan kenyal. Tujuh-delapan buah gelang berwarna keemas-emasan menghiasi betisnya itu.
Lengan kirinya telah tertabas kutung, tapi tangan kanannya tampak indah dan mulus, dalam genggamannya terlihat menenteng sebuah buntalan kuning yang tampaknya berat sekali.
Ketika kaki kayunya menginjak tanah, penampilan perempuan itu nampak jelek dan bebal, tapi setelah kaki kanannya menginjak tanah, seketika penampilannya berubah indah dan cantik bagaikan bidadari.
Perempuan ini boleh dibilang tampil dengan dua macam penampilan yang saling bertolak belakang, meski begitu, justru dia dapat tampil begitu indah dan pas, membuat siapa pun yang melihatnya bergidik dan ngeri.
Sejak awal Siau-hong memang sudah pernah mendengar kabar berita manusia macam apakah Thian-mo-giok-li, perempuan suci iblis langit Liu Hun-hun.
Namun setelah menyaksikan dengan mata kepala sendiri, dia baru tahu apa yang dilukiskan orang selama ini sesungguhnya belum dapat menggambarkan seluruh kesesatan dan kemisteriusan perempuan itu. Orang yang berada dalam tandu kedua telah muncul pula, dia adalah seorang bertubuh kurus dan hitam, tinggi bagai bambu dan mengenakan baju berwarna hitam pekat. Sepasang matanya gelap tak bersinar, sepasang tangannya selalu disembunyikan di balik pakaian, seakan dia tak ingin memperlihatkan tangannya kepada orang lain.
Siau-hong tahu dia tak lain adalah si Tangan sakti pencabut nyawa yang nama besarnya telah menggetarkan sungai telaga.
Namun ia tidak terlalu memperhatikan orang ini, karena seluruh konsentrasi Siau-hong telah dialihkan ke arah tandu nomor tiga.
Apakah Pova segera akan tampil dari balik tandu itu?
Jantungnya berdebar keras, berdetak sangat keras, ia merasakan rasa sakit yang luar biasa, rasa sakit yang merasuk hingga ke tulang sumsum.
Sekuat tenaga ia berusaha mengendalikan diri, tidak membiarkan rasa sakit itu tampil di atas wajahnya.
Siapa tahu tak seorang pun yang menampilkan diri dari balik tandu ketiga itu.
Dalam pada itu Wi Thian-bong telah melompat turun dari kudanya dan berjalan masuk ke dalam tenda mengikut di belakang Siu-hun-jiu serta Liu Hun-hun.
Bulu elang berwarna hitam di puncak tenda masih bergoyang terhembus angin, seakan-akan sedang memproklamirkan kepada setiap orang akan arti ketidak beruntungan yang bakal terjadi, penyakit, malapetaka, kematian! Tapi semua itu sama sekali tak digubris Siau-hong, mau penyakit, mau malapetaka, bahkan kematian sekalipun, dia tak peduli.
Sekarang hanya satu hal yang dia peduli.
Sebetulnya adakah orang di dalam tandu ketiga? Kalau ada, mengapa tidak keluar? Kalau tak ada orang, mengapa mereka harus menggotong datang sebuah tandu kosong?
Po Eng masih duduk tak bergerak, tiada perubahan mimik muka pada wajahnya yang pucat-pasi.
"Po-toalopan, ternyata lagakmu memang luar biasa," jengek Wi Thian-bong sambil tertawa dingin.
"Kau keliru," tukas Liu Hun-hun ikut tertawa, "Sekarang aku sudah tahu lagaknya memang tidak besar."
Tiba-tiba suaranya berubah, berubah lembut, merdu bagai rayuan seorang gadis remaja.
"Dia tidak bangkit menyambut kedatangan kita karena dia sudah terluka, mana boleh kita menyalahkan dirinya?" ia menambahkan.
Ternyata Po Eng tidak menyangkal.
"Betul, bukan saja sudah terluka, bahkan lukaku sangat parah," sahutnya.
"Padahal kau tak perlu kelewat sedih," suara Liu Hun- hun semakin halus dan lembut, "Selain kau, rasanya belum pernah ada orang kedua yang berhasil menyelamatkan jiwanya dari ujung pedang Tokko Ci."
"Aku sama sekali tak sedih," sahut Po Eng, "Karena aku tahu keadaan Tokko Ci saat ini pun tidak lebih baik daripada keadaanku." Ternyata Liu Hun-hun sangat setuju dengan pendapatnya itu.
"Oleh karena itu kau tak bisa dianggap kalah dalam pertarungan kali itu, karenanya Po-toalopan masih tetap merupakan jagoan yang selamanya tak pernah terkalahkan!"
Setelah berhenti sejenak, terusnya lagi dengan lembut, "Paling tidak hingga sekarang masih belum pernah terkalahkan, kalah satu kali pun belum pernah."
"Bagaimana setelah ini?" sela Siu-hun-jiu dingin.
"Setelah ini pun dia tak pernah bakal kalah," sahut Liu Hun-hun sambil tertawa terkekeh, "Sebab kali ini dia tidak bersedia menyanggupi permintaan kita, pada hakikatnya tak bakal ada lain kali lagi."
"Siapa yang kalian kehendaki?" tanya Po Eng kemudian. "Uang emas sebesar tiga puluh laksa tahil ditambah
seseorang."
"Kalian telah mengirim orang untuk melakukan penggeledahan, seharusnya sudah tahu bukan, di sini tak ada emas murni."
"Kalau bukan di sini, lantas di mana?" kembali Wi Thian-bong tertawa dingin, "kecuali kau, mungkin tidak ada orang kedua yang mengetahuinya.”
“O, ya?"
"Kami telah mengutus orang melakukan penggeledahan di sekitar wilayah ini," ujar Wi Thian-bong lagi, "Kecuali kalian, tiada ada orang lain lagi yang mampu merampok tumpukan emas murni itu dari tangan Thiat Gi, oleh sebab itu sekalipun emas lantakan tidak berada dalam barang dagangan yang kalian angkut, dapat dipastikan barang- barang itu telah kalian sembunyikan."
"Ai, buat apa kau galak begitu?" sela Liu Hun-hun sambil menghela napas panjang, "Kalau bertanya secara kasar, dia pasti tak akan mengakuinya."
"Jadi kau punya cara untuk membuatnya mengaku?" "Biasanya hanya ada satu cara untuk menyelesaikan
persoalan semacam ini, biarpun cara ini agak berlebihan
namun justru merupakan cara paling kuno, yang paling bermanfaat."
Tiba-tiba suaranya kembali berubah... berubah jadi tinggi melengking dan sadis, "Siapa menang dia yang kuat, siapa kalah dia bakal mendapat bencana. Bila mereka kalah di tangan kita, sekalipun uang emas itu bukan mereka yang rampok, mereka tetap harus mencari akal untuk menyerahkan tiga puluh laksa tahil emas murni itu kepada kita."
"Hm, agaknya cara ini memang sangat bagus," seru Siu- hun-jiu sambil tertawa dingin, "Aku percaya tidak sulit bagi Po-toalopan untuk menyerahkan emas sebesar tiga puluh laksa tahil."
"Kujamin dia pasti dapat menyerahkan," sahut Liu Hun- hun cepat.
"Tapi kami tak ingin menimbulkan banyak korban yang tak berguna," sambung Wi Thian-bong, "Oleh sebab itu, hanya kami bertiga saja yang datang."
"Mari kita bertaruh tiga babak," kata Siu-hun-jiu, "Bertaruh emas murni sebanyak tiga puluh laksa tahil serta nasib orang itu." Cepat Wi Thian-bong menambahkan, "Asal kau mampu mengalahkan kami bertiga, mulai saat ini kami tak akan mencampuri urusan ini lagi."
"Peduli siapa yang akan kalian pilih sebagai lawan tanding, Siau-hong tetap menjadi milikku," Siu-hun-jiu menambahkan pula. Akhirnya Siau-hong membalikkan tubuh.
Selama ini sudah berapa kali dia berniat menerjang maju, dia ingin memeriksa apakah dalam tandu terdapat seseorang atau tidak, dia ingin membuktikan apakah Pova berada di dalam tandu itu.
Namun berapa kali pula niat itu diurungkan.
Setelah melihatnya, apa yang dapat dilakukan? Dapat membuktikan apa? Dapat merubah apa?
Sambil membalikkan badan menghadap Siu-hun-jiu, ujarnya kemudian, "Akulah Siau-hong, orang yang sedang kau cari. Apakah sekarang juga kau ingin turun tangan?"
Sebelum Siu-hun-jiu menjawab, Po Eng telah mewakilinya, "Dia tak ingin. Pada hakikatnya dia bukan benar-benar ingin mencari kau sebagai lawan, karena dia sendiri pun tahu, dalam sepuluh gebrakan kau sanggup menghabisi jiwanya di ujung pedangmu."
"Tapi dia secara terang-terangan sudah datang mencariku?"
"Apa yang dia lakukan tak lebih hanya sekedar taktik tempur mereka."
"Taktik tempur? Taktik tempur apa?" tanya Siau-hong tak habis mengerti.
"Aku sudah terluka, sedang Pancapanah adalah orang Tibet, mereka selalu menganggap di antara suku Tibet tak pernah ada jago yang benar-benar tangguh," kata Po Eng lagi, "Maka satu-satunya orang yang harus mereka waspadai hanya dirimu seorang, itulah sebabnya mereka ingin Siu-hun-jiu memilih kau sebagai musuh utamanya, sebab ilmu silat yang dia miliki paling lemah, dengan menggunakan orang paling lemah menghadapi orang paling tangguh sama artinya mereka menyisakan dua babak terakhir untuk orang yang paling tangguh, kemenangan pun sudah dipastikan akan jatuh ke pihak mereka."
Inilah taktik perang yang paling populer zaman Cun-ciu dulu, asal penggunaannya dilakukan tepat waktu, biasanya akan memberikan hasil yang luar biasa.
Tiba-tiba Po Eng berkata lagi sambil tertawa dingin, "Tapi sayang penggunaan taktik perang kali ini, mereka telah melakukan kesalahan.”
“Di mana letak kesalahannya?" tak tahan Wi Thian-bong bertanya.
"Kalian keliru karena pada hakikatnya sama sekali tak bisa menduga siapa jago tangguh yang sesungguhnya.”
“Di sini masih ada jago tangguh?"
"Masih ada satu orang," sahut Po Eng, "Asal dia mau, setiap saat orang itu dapat merampas golok dalam genggamanmu, mematahkan busur dan anak panahmu, bahkan menempeleng tujuh-delapan kali di wajahmu dan menendangmu hingga mencelat!"
Mendengar itu kontan saja Wi Thian-bong tertawa, tertawa terbahak-bahak.
"Jadi kau tak percaya?" ejek Po Eng.
"Mana berani aku tidak mempercayai perkataan Po- toalopan?" sahut Wi Thian-bong cepat, "Hanya saja, bukan cuma aku tak pernah menyaksikan manusia macam apa yang dikatakan Po-toalopan, bahkan mendengar pun belum pernah."
"Sekarang kau telah mendengarnya, apakah ingin segera bertemu dengannya?"
"Tentu saja, aku ingin sekali."
"Kalau begitu tak ada salahnya kau segera mencabut golokmu, asal kau cabut golokmu, orang itu segera akan kau jumpai." Wi Thian-bong tidak melolos goloknya.
Golok andalannya tergantung di pinggang, golok pembelah setan yang nama besarnya telah menggetarkan sungai telaga.
Namun kini tangannya telah menggenggam gagang goloknya kencang-kencang.
Cara dan sikapnya sewaktu mencabut golok boleh dibilang begitu ketat pertahanannya tanpa setitik kelemahan pun, gerakan mencabut senjata pun sama tepat dan cepatnya, jarang ada orang persilatan yang sanggup menandinginya.
Setiap kali goloknya dicabut, darah segar pasti akan berhamburan di mana-mana.
Walau begitu, kini dia sama sekali tidak mencabut goloknya.
Di dalam tenda itu, selain mereka bertiga dan Siau-hong, Po Eng, serta Pancapanah, di sana masih hadir dua orang Losianseng.
Gan Tin-kong polos dan jujur, sama sekali tak memiliki kelincahan dan hawa pembunuhan seorang jago persilatan.
Song-lohucu tampak sudah tua, rabun, dan berbadan agak bongkok, dia lebih mirip seorang kakek terpelajar. Dipandang dari sudut mana pun, kedua orang ini sama sekali tak mirip seorang jago silat berilmu tinggi.
Lalu selain mereka berdua, apakah masih ada orang lain?
Wi Thian-bong tak menemukan orang yang dimaksud, maka dia sama sekali tidak melolos goloknya. Selama hidup dia belum pernah melakukan perbuatan yang sama sekali tak meyakinkan.
Tiba-tiba Liu Hun-hun menghela napas panjang, ujarnya dengan suara lembut, "Po-toalopan, kau seharusnya memahami tabiat orang ini, bukan pekerjaan gampang untuk memintanya mencabut golok. Beda sekali dengan aku, gampang sekali bila kau ingin aku turun tangan."
Sekulum senyuman manis kembali tersungging di wajahnya yang merah segar bagai gadis remaja.
"Bukankah kita sama saja akan melihatnya bila aku yang turun tangan?"
"Sama," jawaban Po Eng tegas dan singkat.
"Kalau begitu bagus sekali," seru Liu Hun-hun sambil tersenyum.
Di dalam tenda terdapat dua buah meja pendek serta tempat duduk yang berlapis kulit hewan, perlahan-lahan Liu Hun-hun mengambil tempat duduk, dia letakkan buntalan kain kuningnya di atas meja, lalu membukanya memakai jari tangannya yang putih mulus.
Ia sudah bersiap turun tangan, tak disangkal isi buntalan itu adalah senjata pamungkas andalannya, sejenis senjata pembunuh yang tidak termasuk senjata pembunuh yang bersifat "manusia".
Semacam senjata pembunuh yang hampir mendekati sifat "iblis". Ooo)d*w(ooO