BAB 05. IKAN DALAM JARING
Perasaan pertama yang muncul dalam benak Siau-hong adalah "Tidak percaya", dia tak percaya Pova bakal mengkhianatinya.
Sayang semua ini merupakan kenyataan, seringkali kenyataan jauh lebih menakutkan, jauh lebih sadis dan kejam daripada impian buruk.
Tapi akhirnya dia mengerti juga. Pova menunggunya di dalam tenda bukan atas perintah Po Eng. Ternyata majikannya bukan Po Eng, melainkan Sui-gin, si Air raksa.
"Sekarang tentunya kau sudah paham bukan kalau semua ini hanya sebuah perangkap, semua perkataan yang dikatakan nona Sui kepadamu tadi tak satu pun yang merupakan kata sejujurnya, walaupun dia mempunyai suara yang manis bagai madu, namun di balik senyumannya tersembunyi golok, golok yang dapat membunuh tanpa mengeluarkan darah!"
Pova berdiri di samping Sui-gin, apa pun yang dikatakan Sui-gin, Pova hanya mendengarkan dengan tenang.
Mendadak ia cengkeram rambut Pova, menekan wajahnya yang pucat-pasi itu ke hadapan Siau-hong.
"Pentang matamu lebar-lebar dan awasi wajahnya, aku berani bertaruh, hingga sekarang kau pasti tak akan percaya kalau dia adalah perempuan semacam ini!"
Siau-hong membuka matanya lebar-lebar, rambut perempuan itu telah mewakilinya menahan cahaya matahari, rambutnya yang panjang terurai di atas wajahnya, sepasang mata perempuan itu tampak kosong- melompong, seakan tak melihat apa-apa, dia pun seolah tak memikirkan apa-apa.
Pada hakikatnya, orang ini seolah hanya tinggal sebuah badan yang kosong, tidak memiliki pikiran, tak punya perasaan, juga tak punya sukma.
Dalam waktu sekejap inilah, Siau-hong telah memaafkan dirinya. Terlepas dia pernah berapa kali melakukan perbuatan yang menakutkan, dia telah memaafkannya.
"Orang yang punya janji denganmu telah pergi," kata si Air raksa lagi, "Karena ia sudah tahu kalau kau pada hakikatnya tidak pantas untuk bertarung melawannya. Wi Thian-bong ingin menggunakan kau untuk mencari kembali uang emasnya, sedang aku hanya menginginkan nyawamu."
Setelah menarik napas, perlahan-lahan ia berkata lebih jauh, "Aku berani bertaruh, kali ini pasti tidak ada lagi orang yang datang menyelamatkan dirimu."
Tiba-tiba Siau-hong tertawa lebar.
"Apa yang kau pertaruhkan? Mempertaruhkan nyawamu?" katanya.
Sui-gin balas menatap lawannya lekat-lekat, "Aku hanya menginginkan. ”
Perempuan itu tidak menyelesaikan kata-katanya, mendadak senyuman di bibirnya membeku, karena secara tiba-tiba dia telah menyaksikan munculnya sesosok bayangan hitam di atas tanah.
Cahaya matahari memancar masuk dari belakang punggungnya, bayangan hitam itu justru muncul dari belakang tubuhnya, bayangan dari seseorang.
Dari mana datangnya orang itu? Sejak kapan muncul di sana? Ternyata Sui-gin sama sekali tidak merasakannya.
Bayangan itu menempel ketat di belakang tubuhnya, bergerak sedikit pun tidak.
Sui-gin tak berani bergerak, ia tak berani bergerak secara sembarangan.
Tangan dan kakinya telah dingin membeku, butir keringat sebesar kacang kedelai telah jatuh bercucuran, butir demi butir bercucuran membasahi jidatnya.
"Siapa kau?" akhirnya tak tahan dia bertanya. Bayangan itu tidak menjawab, Siau-hong yang mewakilinya menjawab, "Mengapa kau tidak berpaling dan melihatnya sendiri?"
Tentu saja wanita itu tak berani berpaling.
Asal dia berpaling, kemungkinan besar ada sebilah pedang yang tajam akan segera menggorok lehernya.
Segulung angin berhembus, mengibarkan jubah panjang bayangan itu.
Dia segera dapat melihat ujung jubah berwarna putih yang jauh lebih putih dari salju di pegunungan nun jauh di sana.
Kembali Siau-hong bertanya, "Sekarang apakah kau masih akan bertaruh lagi denganku?"
Sui-gin ingin sekali buka suara, namun hanya bibirnya yang gemetar, tak sepatah kata pun sanggup diucapkan.
Di saat orang lain menyangka dia sudah hampir runtuh karena rasa ketakutan yang luar biasa itulah mendadak perempuan itu melejit keluar lewat samping Pova, kemudian sambil menginjak di atas kepala Pova, dia melejit sejauh tiga tombak dari tempat semula kemudian kabur terbirit-birit meninggalkan tempat itu.
Sampai detik terakhir dia tetap tak berani berpaling untuk memandang sekejap ke arah bayangan yang berdiri di belakang tubuhnya, sebab ia sudah dapat menebak siapa gerangan orang itu.
Di atas puncak Cu-mu-lang-ma yang selalu dilapisi salju abadi, hanya ada seekor burung elang. Di dataran luas yang tak berperasaan pun hanya ada seorang, konon orang itu adalah jelmaan dari siluman elang, seorang tokoh sakti yang selamanya tak pernah bisa dimusnahkan. Semua orang yang hidup di tengah gurun pasir, pasti pernah mendengar kisah cerita tentang dongeng ini, begitu juga dengan Sui-gin.
Po Eng tidak mengejar perempuan itu, dia masih berdiri di situ tanpa bergerak, berdiri sambil mengawasi Siau-hong dengan sepasang mata elangnya.
"Kau sudah kalah," tiba-tiba ujarnya, "Bila ia benar- benar mengajakmu bertaruh, kau sudah kalah.”
“Kenapa?"
"Karena apa yang dia katakan memang benar, kali ini memang tiada orang yang bakal menolongmu.”
“Bagaimana dengan kau?"
"Aku pun bukan datang untuk menolongmu, aku hanya kebetulan lewat di sini, kebetulan berdiri persis di belakang tubuhnya."
Siau-hong pun menghela napas panjang.
"Ai, apakah selamanya kau tak pernah mau menerima rasa terima kasih orang lain terhadapmu?"
Dia tahu Po Eng tak bakal menjawab pertanyaan ini, maka segera lanjutnya lebih jauh, "Jika secara kebetulan kau butuh lima lembar sabuk kulit kerbau, kebetulan aku memiliki lima lembar sabuk kulit kerbau dan bisa kuhadiahkan untukmu, aku pun tak ingin kau berterima kasih kepadaku!"
Senyuman mulai nampak dari pancaran mata Po Eng, sahutnya, "Kebetulan aku memang sedang membutuhkan sabuk kulit kerbau semacam ini."
Siau-hong segera menghembuskan napas lega, katanya kemudian sambil tersenyum, "Kalau begitu, bagus sekali." Kulit kerbau yang terikat di keempat anggota badan serta tenggorokan Siau-hong sudah dilepas, Po Eng pun menggabungkan kelima utas sabuk itu menjadi satu, tiba- tiba ia bertanya, "Tahukah kau apa yang hendak kuperbuat dengan benda ini?"
"Tidak."
"Akan kuhadiahkan kepada seseorang.” “Dihadiahkan untuk siapa?"
"Untuk seseorang yang setiap saat kemungkinan akan menggantung diri, kalau ingin gantung diri, sabuk kulit kerbau semacam ini paling cocok dipakai," kata Po Eng hambar, "Aku tak suka membunuh orang, tapi aku pun tak keberatan jika ada seseorang ingin menggantung diri."
Siau-hong tak perlu bertanya lagi siapakah orang itu, dia memang tidak terlalu menaruh perhatian atas perkataan dari Po Eng itu.
Hingga saat ini, dia hanya mengawasi Pova terus tanpa berkedip.
Waktu itu Pova sudah terinjak hingga terbenam dalam pasir, biarpun rambutnya yang hitam masih berkibar terhembus angin, namun seluruh wajahnya telah terbenam di dalam pasir kuning.
Selama ini dia hanya berbaring terus dalam posisi begitu, sama sekali tak bergerak, sama sekali tak mendongakkan kepalanya.
Apakah hal ini dikarenakan ia tak berani mengangkat wajahnya lagi untuk berhadapan dengan Siau-hong?
Sebetulnya Siau-hong ingin sekali pergi begitu saja, pergi tanpa mempedulikan perempuan itu lagi, akan tetapi perasaannya masih terasa sakit sekali. "Mana pedangmu?" kembali Po Eng bertanya kepadanya. "Tidak tahu!" pedang itu memang sudah tidak berada di sampingnya lagi.
"Masih ingin mendapatkan kembali pedangmu?” “Tentu saja!"
Mendadak Po Eng tertawa dingin, katanya, "Padahal kau sudah tak menginginkannya lagi, kecuali perempuan ini, kau sudah tak menginginkan yang lain. ”
Ternyata Siau-hong tidak menyangkal, tiba-tiba dia mengulurkan tangan, membelai perlahan rambut Pova yang masih berkibar terhembus angin.
Berada di hadapan Po Eng, sebetulnya dia tak ingin berbuat begitu.
Tapi sekarang dia telah melakukannya, ia lakukan semua itu bukan terdorong oleh rasa iba atau simpatik, bukan juga karena luapan emosi sesaat, melainkan karena suatu perasaan yang sukar dijelaskan, sukar dilukiskan dengan perkataan apa pun.
Dia tidak tahu kalau perasaan semacam ini sesungguhnya tak dapat dipahami oleh Po Eng, dia hanya mendengar suara tertawa dingin Po Eng, lalu secara tiba- tiba suara itu semakin menjauh.
Di kolong langit, di tengah dataran yang begitu luas seolah-olah kini tinggal mereka berdua, walau begitu Siau- hong sudah tidak merasakan kesendirian dan kesepian lagi.
Cepat dia membangunkan perempuan itu, mengangkat wajahnya dengan kedua belah tangan, tampak sorot mata Pova kosong dan hampa, tiada perubahan mimik, tiada luapan perasaan, tiada air mata. Bekas air mata masih memenuhi wajahnya yang kini telah tergesek luka oleh pasir panas, mendadak Siau-hong mengambil keputusan, dia bertekad akan membuat perempuan itu memahami perasaannya.
"Semua ini bukan kesalahanmu, aku tidak membencimu. Terlepas perbuatan apa saja yang pernah kau lakukan dulu, aku tak peduli, selama aku masih bisa hidup, akan kurawat dirimu secara baik-baik, tak akan kubiarkan kau diatur orang, diperintah orang dan dianiaya orang lain."
Pova hanya mendengarkan tanpa bicara, membiarkan air matanya meleleh membasahi pipinya, bukan saja ia tidak memberi penjelasan atas kesalahan yang pernah dilakukan, dia pun tidak menampik kasih sayangnya yang lembut. Peduli apa pun yang akan dilakukan pemuda itu, dia bersedia menerimanya, rela menuruti semua kemauannya.
Maka Siau-hong pun membopong tubuh perempuan itu, berjalan ke depan dengan langkah lebar.
Tapi berapa jauh dia bisa pergi? Berapa lama dia bisa hidup?
Siau-hong tak tahu, dia pun tak peduli.
Belum jauh ia berjalan meninggalkan tenda, tiba-tiba terdengar suara keleningan onta, suara keleningan onta yang lebih merdu dari irama dewa-dewi, lebih membangkitkan semangat daripada genderang perang.
Menyusul dia pun menyaksikan satu rombongan pedagang yang mengendrai onta yang begitu besar, rombongan besar yang belum pernah dijumpai sebelumnya.
Begitu banyak onta, begitu banyak barang muatan, begitu banyak manusia.... Orang pertama yang dia saksikan adalah seorang bongkok yang timpang kakinya, putus jari tangannya, berkepala botak, dan bermata satu. Si bongkok ini tampak tinggi besar dan jauh lebih buas tampangnya daripada kebanyakan orang.
Terhadap manusia semacam ini, dia tak perlu bicara berputar-putar.
"Aku dari marga Hong," dia langsung berterus terang, "Saat ini tak punya air, tak punya makanan, tak punya uang. Aku sudah tersesat. Karena itu kumohon kalian mau menerimaku, bawa aku meninggalkan wilayah gurun pasir ini!"
Dengan mata tunggalnya yang memancarkan sinar tajam si bongkok mengawasinya lekat-lekat, kemudian bertanya dingin, "Kalau kau memang tak memiliki apa-apa, kenapa kami harus menerimamu?"
"Karena aku adalah manusia, kalian pun manusia."
Oleh karena ucapannya itu, maka mereka pun menerimanya.
Rombongan pedagang itu berasal dari berbagai ragam bangsa, ada orang Tibet dengan dandanannya aneh tapi indah, ada orang Mongol yang gagah perkasa, ada orang Bhutan yang gemar memakai baju ungu, ada pula bangsa Han yang sudah lama meninggalkan kampung halaman.
Barang dagangan mereka terdiri dari bulu domba, kulit samak, daun teh, garam, obat-obatan, serta dupa wangi.
Adapun tujuan mereka adalah negeri Turfan pada dinasti Tong, kota Tosiamso yang dalam pandangan orang Tibet merupakan kota suci mereka, Lhasa! Sekalipun kelompok yang mereka bentuk sedikit campur- aduk, namun semuanya merupakan kaum pedagang, oleh karena itu kerja sama antar kelompok berlangsung sangat baik dan harmonis.
Ada yang bertugas memberi makan onta, ada yang bertugas mengurus makanan dan minuman, ada yang bertugas mengobati penyakit, ada pula satu kelompok orang yang paling kuat dan buas bertugas sebagai pengawal, pengamat, serta pasukan pemukul serangan musuh.
Si bongkok yang mengizinkan Siau-hong bergabung dalam rombongan ini adalah salah satu di antara kelompok itu.
Siau-hong mendapat tahu kalau pemimpin mereka adalah seorang Tibet yang mempunyai julukan sebagai Pancapanah, sayang selama ini belum pernah menjumpainya karena dia sering berkelana ke empat penjuru dunia.
Selama dia tak berada di tempat, kelompok ini akan dipimpin oleh si bongkok serta seseorang bernama Tong Leng yang berasal dari wilayah Siok (Su-cwan).
Memang bukan pekerjaan gampang untuk mengurusi serta bertanggung-jawab atas keselamatan rombongan besar semacam ini!
Biarpun si bongkok adalah seorang cacat, ternyata gerak- geriknya cepat dan lincah, bahkan memiliki kekuatan yang menakutkan, bungkusan barang seberat beberapa ratus kati ternyata sanggup dia angkat hanya dengan mengandalkan sebelah tangan.
Sejak awal perjumpaan, Siau-hong sudah tahu orang ini adalah seorang jago persilatan yang memiliki kungfu sangat hebat. Tong Leng adalah seorang lelaki pendiam tapi gerak- geriknya serius, dia memiliki jari tangan yang panjang namun penuh bertenaga, kemungkinan besar merupakan anak murid keluarga Tong dari Su-cwan yang tersohor karena kelihaian senjata rahasia beracunnya.
Kendatipun begitu, setiap kali menyinggung Pancapanah, sikap mereka segera akan berubah amat hormat dan patuh.
Kendati Siau-hong belum pernah bertemu orang itu, namun bisa membayangkan bahwa dia adalah seorang lawan yang tak gampang dihadapi.
Perjalanan yang ditempuh rombongan itu tidak terlalu cepat. Onta memang bukan termasuk jenis binatang yang gemar berlari, sementara rombongan itu pun tidak punya kepentingan untuk menempuh perjalanan cepat.
Begitu matahari mulai tenggelam di balik gunung, mereka akan mengumpulkan semua onta menjadi satu lingkaran besar, di tengah lingkaran kosong inilah mereka mendirikan tenda untuk berteduh, Siau-hong serta Pova mendapat jatah sebuah tenda tersendiri.
Malam kedua, Siau-hong dapat tidur amat nyenyak.
Berada dalam perlindungan keamanan sebuah kelompok yang begitu ketat dan kuat, tentu saja ia dapat tidur sangat pulas.
Dia berharap Pova pun dapat tidur dengan nyenyak sekali, tapi sampai ia mendusin pada hari kedua, perempuan itu masih duduk bodoh di tempat semula, sekalipun sudah tiada air mata namun ia sudah memperlihatkan reaksi.
Sorot mata yang terpancar menunjukkan perasaannya yang hancur-lebur. Biarpun selama ini dia tak pernah mengucapkan sepatah kata penyesalan pun, namun sinar matanya telah memperlihatkan seluruh perasaannya, ungkapan hati yang jauh lebih gamblang daripada kata-kata.
Biarpun Siau-hong telah memaafkan dirinya, akan tetapi ia tak dapat memaafkan diri sendiri.
Dia hanya berharap waktu dapat menyembuhkan seluruh luka yang membekas dalam hatinya.
Sewaktu Siau-hong bangun dari tidurnya, hari belum begitu terang tanah, saat itu rombongan onta sudah siap melanjutkan kembali perjalanannya.
Ketika keluar dari tenda, si bongkok telah menantinya. "Kemarin aku telah menerangkan semua keadaan di sini
kepadamu, tentu saja kau sudah paham bukan, setiap orang
yang berada di sini harus bekerja." "Aku mengerti."
"Apa yang dapat kau lakukan?"
"Kau menghendaki aku mengerjakan apa, akan kulakukan."
Si bongkok memandangnya dengan dingin, di antara kilatan cahaya dari balik mata tunggalnya, mendadak secepat kilat dia melancarkan serangan.
Tangan kirinya hanya memiliki dua jari tangan, namun ketika turun tangan, kedua jari itu tiba-tiba saja berubah seperti sepasang pedang, sebilah gurdi dan seekor ular berbisa, ular yang langsung menyergap tenggorokan Siau- hong.
Menghadapi datangnya ancaman itu Siau-hong sama sekali tak bergerak, bahkan mata pun sama sekali tak berkedip, menunggu kedua jari tangan itu sudah berada lima inci di depan tenggorokannya, ia baru mulai bergeser, tiba-tiba saja ia sudah menyelinap ke sisi kiri si bongkok.
Waktu itu telapak tangan kanan si bongkok telah melancarkan pukulan, pukulan inilah baru merupakan serangan utamanya, angin serangan yang muncul akibat pukulan itu seketika membuat seluruh tenda bergoncang keras.
Sayang sekali sasaran gempurannya sudah tidak berada pada posisi yang diperhitungkan semula.
Siau-hong sudah tahu serangannya hanya jurus tipuan, biarpun anak muda itu bergerak lamban, namun sesungguhnya cepat luar biasa, arah di mana Siau-hong bergeser justru merupakan posisi yang paling sulit dicapai serangan lawan atau dengan perkataan lain merupakan posisi yang paling lemah dan kosong pertahanannya. Asal dia melancarkan serangan balasan, niscaya pihak lawan segera akan roboh.
Siau-hong tidak turun tangan.
Dia membiarkan pihak lawan tahu kalau dirinya tak bisa dianggap enteng, dengan "tenang mengatasi gerak, dengan lambat mengatasi cepat, menyerang belakangan tiba duluan", ia perlihatkan ketangguhan dan kelebihan dirinya.
Si bongkok pun tidak lagi melancarkan serangan.
Kedua orang itu berdiri saling berhadapan, saling menatap sampai lama sekali, kemudian si bongkok itu baru berkata perlahan, "Sekarang aku sudah tahu apa yang bisa kau lakukan."
Sambil membalikkan badan tambahnya, "Mari ikut aku!"
Sekarang, tentu saja Siau-hong pun sudah tahu pekerjaan apa yang bakal diberikan si bongkok kepadanya. Demi kelanjutan hidup, demi keluar dari gurun pasir dalam keadaan hidup, terpaksa dia harus melakukannya.
Dia harus berusaha dengan sekuat tenaga untuk memperebutkan hak mempertahankan hidup bagi dirinya serta Pova. Di saat tak boleh mati, dia akan berusaha sekuat tenaga untuk tidak mati, di saat harus hidup, dia pun akan sepenuh tenaga memperebutkannya.
Tong Leng mempunyai perawakan tubuh setinggi lima kaki sedang berat tubuhnya hanya seratus lima puluh satu kati, namun setiap inci tubuhnya dipenuhi otot baja dan tenaga raksasa, setiap otot setiap tulang, setiap syaraf yang dimilikinya selalu terjaga dalam kondisi sehat dan sempurna sehingga setiap saat dapat melancarkan serangan telak yang mematikan.
Biarpun perawakan tubuh anak buahnya rata-rata jauh lebih tinggi dari tubuhnya, namun selama berdiri di hadapannya, ternyata tak seorang pun berani memandang enteng terhadap dirinya.
Di antara kelompok mereka ini, di antaranya bukan saja terdapat para jago gagah dari dunia persilatan, ada juga para jago dari luar perbatasan maupun jago-jago dari bangsa asing.
Dan sekarang, mereka telah ketambahan lagi seorang rekan.
"Dia she Hong," si bongkok mengajak Siau-hong ikut hadir di tempat di mana setiap pagi mereka berkumpul, "Aku ingin menggunakan dia!"
"Apakah dia berguna?" tanya Tong Leng, hanya satu pertanyaan.
"Ya!" Tong Leng tidak bicara lagi, dia sangat mempercayai si bongkok, selamanya tak pernah banyak bertanya.
Sayang belum tentu orang lain berpandangan begitu.
Kelompok manusia ini terdiri dari kawanan manusia yang sudah terbiasa hidup menyendiri, angkuh, dan enggan mengaku lemah di hadapan orang lain, sifat mereka masih liar, siapa pun tak pernah memandang sebelah mata terhadap orang lain.
Setelah saling bertukar pandang, akhirnya orang pertama yang tampil ke depan adalah Ma Sah.
Lelaki yang bernama Ma Sah ini berperawakan tinggi besar dan kasar, ia memiliki tenaga dalam yang luar biasa kuatnya, termasuk seorang Bu-su kenamaan di wilayah Mongol dan merupakan jagoan hebat ilmu gulat.
Kalau akan mencari masalah dengan orang lain, dialah orang pertama yang selalu tampil lebih dulu.
"Biar aku yang mencoba lebih dulu sampai di mana kehebatan kepandaian silatnya!"
Diiringi suara bentakan nyaring, sepasang tangan besarnya yang kuat bagai banteng itu langsung mencengkeram bahu Siau-hong.
Seketika itu juga tubuh Siau-hong terlempar ke tengah udara.
Ma Sah tertawa terbahak-bahak. Tapi baru saja tertawa, mendadak ia tak dapat tertawa lagi.
Orang yang baru saja dilempar jauh ke belakang, tahu- tahu sudah berdiri kembali di posisi semula, bukan hanya balik ke tempat semula, bahkan seakan sama sekali tak pernah bergerak.
"Bocah muda, ternyata hebat juga kepandaianmu." Ma Sah meraung keras, kembali ia gunakan jurus paling hebat dari ilmu gulatnya. Konon dengan jurus ini dia pernah membanting mati seekor banteng buas.
Tapi kali ini Siau-hong sama sekali tak bergerak, sepasang kakinya seolah sudah berakar di dalam tanah.
Kembali Ma Sah meraung keras, suaranya nyaring bagai auman binatang buas, seluruh kekuatan yang dimilikinya telah digunakan.
Kali ini Siau-hong mulai bergerak.
Bahunya dikibaskan perlahan, sekonyong-konyong tubuh Ma Sah yang gede bagai kerbau itu sudah berjumpalitan beberapa kali di tengah udara, lalu roboh terbanting ke atas tanah, begitu kerasnya bantingan itu hingga nyaris menciptakan sebuah liang besar di atas permukaan pasir.
Pada saat itulah sekilas cahaya dingin berkelebat di tengah udara, sebilah golok telah dilolos dari sarungnya dan langsung dihujamkan ke arah pinggang Siau-hong.
"Coba dulu kehebatan golokku!"
Orang ini menyerang dulu kemudian baru bersuara, memang begitulah cara seorang pejuang suku Gurkha ketika hendak membunuh orang, Garda merupakan salah seorang dalam pasukan mereka yang paling ganas dan buas.
Bagi mereka, membunuh tetap adalah membunuh, asal dapat membunuh lawan, peduli cara mereka itu gagah atau tidak.
Baru saja suara bentakan bergema, mata goloknya nyaris sudah menusuk pinggang Siau-hong, sayang pergelangan tangannya sudah keburu ditahan oleh Siau-hong, menyusul tahu-tahu golok miliknya sudah berpindah tangan. "Kau hendak membunuhku, seharusnya aku pun membunuhmu," ujar Siau-hong dengan suara berat, "Karena kau tak mampu membunuhku, seharusnya kaulah yang mati di tanganku."
Setelah berhenti sejenak, tambahnya, "Apakah cara ini terhitung sangat adil?"
Saking sakitnya, peluh sebesar kacang kedelai telah membasahi jidat Garda, ia merasakan pergelangan tangannya nyaris hancur berkeping, sambil mengertak gigi sahutnya cepat, "Adil!"
Siau-hong tertawa, tiba-tiba ia kendorkan tangannya dan menyarungkan kembali golok itu ke dalam sarung kulit kerbaunya.
"Aku tak boleh membunuhmu karena kau adalah seorang jago pemberani, seorang jago pemberani yang tak takut mati."
Garda melotot besar, melotot sambil mengawasi lawannya tanpa berkedip, mendadak ia meleletkan lidah, meleletkan lidahnya yang panjang, panjang sekali.
Jelas dia bukan sedang membuat muka setan, mimik wajahnya tampak serius dan sangat menaruh hormat.
Kemudian dari sakunya dia ambil keluar selembar kain putih yang terbuat dari sutera, dengan kedua belah tangan dia persembahkan sutera itu dan diletakkan di bawah kaki Siau-hong.
Untung Siau-hong sudah pernah mendatangi banyak tempat di wilayah seputar sana sehingga tidak sampai salah mengartikan maksudnya.
Meleletkan lidah di hadapan orang lain merupakan upacara penghormatan paling tinggi bagi orang Tibet, menandakan mereka menaruh rasa hormat yang luar biasa terhadap dirimu.
Sementara kain putih sutera itu merupakan "Ha-da", benda yang amat dihormati bangsa Tibet, jika seorang mempersembahkan Ha-da kepada orang lain, hal ini mengartikan dia telah menganggap dirimu sebagai sahabatnya yang paling terhormat.
Oleh karena itulah paling tidak di tempat itu Siau-hong sudah mempunyai seorang sahabat yang bisa diandalkan.
Tak ada lagi yang turun tangan, ketika menatap Siau- hong sekarang, sorot mata setiap orang sudah jauh berbeda bila dibandingkan dengan tatapannya semula.
Siau-hong mengerti, mereka telah menerima kehadirannya.
Selama ini si bongkok hanya mengawasi tanpa bicara, saat itulah dia baru berkata, "Julukan untuk kelompok kami adalah 'Panah', sekarang kau sudah menjadi salah satu anggota kelompok Panah, berarti seperti anggota lain, setiap hari mendapat giliran sekali untuk meronda dan piket. Barang dagangan yang kita bawa pulang kali ini tak ternilai harganya. Asalkan ada orang mencurigakan ingin datang membegal barang dagangan kita, kau boleh segera membunuhnya."
Kemudian setelah berhenti sejenak, kembali terusnya, "Kau bahkan boleh menggunakan cara yang digunakan Garda untuk membunuhmu tadi untuk membinasakannya."
"Kau akan mendapat tugas piket senja nanti," ujar Tong Leng kemudian, "Aku akan mengirim Garda untuk tugas bersamamu, sampai waktunya dia akan pergi menghubungimu." "Sekarang kau boleh kembali untuk merawat perempuanmu itu lebih dulu," si bongkok menambahkan.
Dari balik mata tunggalnya tiba-tiba terlintas senyuman, tambahnya, "Kelihatannya perempuan itu adalah seorang perempuan baik, di sini jarang ada perempuan, lebih banyak kaum lelaki, jadi kau harus menjaganya ekstra hati- hati."
Siau-hong hanya mendengarkan dengan mulut membungkam, kemudian berlalu tanpa bicara.
Belum jauh dia pergi, terdengar Tong Leng bertanya kepada si bongkok, "Ilmu silat yang dimiliki orang she Hong itu sangat hebat, tahukah kau asal-usul ilmu silatnya?"
"Tidak tahu."
"Kau tak bertanya kepadanya?” “Tidak."
"Kenapa tidak kau tanya?” “Karena. ”
Siau-hong tidak mendengar pembicaraan mereka selanjutnya, karena secara tiba-tiba si bongkok merendahkan suaranya, sedang dia pun sudah pergi jauh.
Rombongan onta kembali melanjutkan perjalanannya, mereka bergerak sangat lamban.
Ada di antara anggota rombongan yang demi sujud hormatnya terhadap tempat suci, mereka bersujud penuh dengan ketulusan hati, setiap tiga langkah satu kali menyembah, lima langkah tiga kali bersujud.
Pova mendapat jatah seekor onta, ia duduk termangu di atas onta dengan pandangan mata kosong, seolah tak ada yang dipikirkan selama ini, seolah juga kelewat banyak yang sedang dia pikirkan.
Sementara Siau-hong sedang memikirkan terus perkataan yang diucapkan si bongkok tadi.
"Kali ini kami sedang membawa barang dagangan yang mahal harganya, asal ada orang mencurigakan yang berusaha mendekat, kau harus segera membunuhnya."
Mau tak mau timbul kecurigaan di hati Siau-hong.
Apakah barang dagangan yang mereka bawa pulang kali ini adalah emas lantakan senilai tiga puluh laksa tahil?
Mungkinkah orang-orang ini adalah begal kucing?
Menggunakan cara semacam ini untuk mengelabui identitas mereka meski tak bisa dihitung terlalu baik, namun untuk mengirim keluar emas sebesar tiga puluh laksa tahil dari gurun pasir, memang tiada cara lain yang lebih bagus lagi daripada cara seperti ini.
Bila para Bu-su dari kelompok Panah mengenakan topeng kepala kucing, bukankah mereka segera akan berubah menjadi begal kucing?
Sekalipun sepak terjang mereka sangat mencurigakan, namun di balik hal itu pun masih terdapat persoalan lain. Kalau ada rombongan yang begitu besar sedang melakukan perjalanan di gurun pasir, tak mungkin Wi Thian-bong tidak memperhatikan.
Kenapa hingga sekarang Wi Thian-bong belum melakukan suatu langkah serta tindakan terhadap mereka?
Jika mereka benar-benar adalah bandit kucing, mengapa pula mau menerima dirinya sebagai seorang asing yang tak jelas asal-usulnya?
Siau-hong memutuskan untuk tidak berpikir lebih jauh. Bagaimana pun juga sikap orang-orang itu terhadapnya masih terhitung lumayan, bila bukan mereka yang mau menampungnya, kemungkinan besar saat ini tubuhnya sudah menjadi santapan elang kelaparan.
Yang paling ketat dan keras pengurusannya adalah masalah penggunaan air minum.
Orang yang bertanggung jawab atas masalah ini adalah seorang dari marga Gan, dia bernama Tin-kong, orangnya jujur, adil, tegas, dan sangat pakai aturan.
Selama menempuh perjalanan, tak terhindar tentu ada yang menderita sakit atau tak sehat badan.
Orang yang bertanggung-jawab masalah pengobatan adalah seorang Siucay yang mengembara hingga keluar perbatasan, tubuhnya kurus, lemah, mukanya penyakitan. Meski dia tak mampu menyembuhkan penyakit yang ia sendiri derita, namun semua orang bersikap hormat kepadanya, mereka memanggilnya Song-lohucu, si tabib Song.
Dalam waktu singkat Siau-hong telah berkenalan dengan mereka, namun selama ini ia tak pernah bertemu Pancapanah yang jejaknya penuh misteri itu, dia pun tak pernah lagi berjumpa dengan Wi Thian-bong.
Tampaknya Wi Thian-bong sama sekali tidak menaruh perhatian kalau di tengah gurun terdapat rombongan onta yang begitu besar.
Senja telah menjelang.
Rombongan onta kembali membuat sebuah lingkaran, tenda-tenda pun mulai didirikan.
Pova kelihatan makin layu, makin lemah dan kusut, walaupun kadangkala secara diam-diam ia mencuri pandang sekejap ke arah Siau-hong, namun tak pernah buka suara.
Untung saja perempuan itu sangat penurut, bila Siau- hong memintanya minum, dia langsung minum, bila memintanya tidur, dia pun langsung tidur.
Justru sikap semacam ini membuat perasaan orang makin kecut dan pedih.
Dia sebetulnya ingin sekali menemaninya lebih lama, tapi Garda telah muncul, memanggilnya untuk tugas ronda.
Seluruh barang dagangan telah diturunkan dari punggung onta dan dikumpulkan jadi satu di tengah arena, begitu banyak barang bawaan itu hingga tertumpuk bagai sebuah bukit pasir.
Sejak senja hingga tengah malam, terdapat dua belas orang yang terbagi dalam enam regu ronda, Siau-hong dan Garda merupakan salah satu di antaranya.
Siapa pun itu orangnya, asal bungkusan yang ada di tengah arena dibuka sedikit saja, segera akan diketahui apa isi barang itu.
Sejak awal Siau-hong memang sudah menampik memikirkan persoalan itu.
Emas batangan milik Hok-kui-sin-sian memang kelewat banyak, sudah seharusnya ia membagi sedikit harta kekayaannya untuk orang lain.
Langit makin lama semakin gelap, mereka melakukan perondaan di sekeliling barang dagangan.
Garda selalu secara sengaja berjalan selangkah di belakang, pertanda ia menaruh rasa hormat terhadap Siau- hong, selama anak muda itu tidak berbicara, dia pun tak akan buka suara. Akhirnya Siau-hong buka suara terlebih dulu, ujarnya, "Dapat kulihat Ma Sah adalah seorang jagoan hebat, apakah dia adalah sahabatmu?"
"Benar," wajah Garda tampak amat berat dan serius, "Tapi selanjutnya mungkin kita tak pernah akan bertemu lagi dengannya.”
“Mengapa?" tanya Siau-hong terperanjat.
"Ketika tengah hari tadi, dia minta aku menemaninya pergi berhajat, karena aku tak mau berhajat maka tak jadi ikut, dia pun pergi seorang diri."
Sekilas rasa sedih dan pedih melintas di wajah Garda, terusnya, "Siapa tahu sejak kepergiannya itu, dia tak pernah balik lagi."
Siau-hong cukup memahami perasaan sedihnya.
Penyebab kematian di tengah gurun pasir memang terlalu banyak, setiap saat kau bisa mati secara mendadak di tengah pasir panas bagaikan seekor anjing liar, kecuali sahabat karibnya, tak bakal ada orang lain yang akan menguatirkannya, terlebih merasa sedih bagi kepergiannya.
Langit semakin gelap, tiba-tiba dari kejauhan berkumandang suara terompet, kemudian tampak dua ekor kuda bergerak cepat mendekati rombongan. Rupanya dalam barisan ini pun terdapat kuda.
"Mereka adalah orang yang dikirim Tong Leng untuk menemukan jejak Ma Sah," ujar Garda dengan semangat bangkit kembali, "Ma Sah pasti ikut kembali!"
Cepat dia menyongsong kedatangan kuda-kuda itu. Betul saja, Ma Sah memang telah kembali, tapi yang kembali bukan Ma Sah dalam keadaan hidup. Jago gulat yang tiada duanya di kolong langit, jagoan yang memiliki tenaga raksasa itu sudah tewas dengan tulang leher patah, ternyata dia tewas terkena jurus jepitan mematikan dari ilmu gulat.
Siapa yang telah membunuhnya? Mengapa harus membunuhnya? Tak ada yang tahu.
Bayangan kematian yang penuh misteri dan menakutkan itu seakan sudah seperti kegelapan yang menyelimuti langit saat itu, mengurung dan mencekik rombongan ini.
Ma Sah tak lebih hanya orang pertama yang menemui ajalnya secara mengenaskan, ketika mereka kembali ke tempat ronda, segera ditemukan korban kedua.
Terdapat begitu banyak jagoan tangguh dalam kelompok Panah, ada yang pandai menggunakan golok, ada yang pandai menggunakan pedang, ada yang menguasai ilmu gulat, tapi hanya satu yang menggunakan ruyung panjang.
Ruyung panjang yang digunakan Sun Liang adalah sebuah ruyung ular berbisa sepanjang satu depa tiga kaki.
Dialah orang kedua yang ditemukan tewas secara mengenaskan, ia mati terlilit oleh ruyung ular milik sendiri.
Hong Hau, rekannya satu regu ikut hilang, hingga keesokan harinya mereka baru menemukan jenazah orang itu.
Hong Hau adalah anak murid perguruan Kim-to-bun, gara-gara terlibat kasus pembunuhan, ia melarikan diri keluar perbatasan.
Senjata yang digunakan adalah sebilah golok pemenggal bukit berpunggung emas. Goloknya masih kedapatan berada di sana, namun batok kepalanya justru sudah lenyap, batok kepala itu terpenggal oleh golok emas miliknya sendiri.
Dalam satu malam sudah ada tiga orang ditemukan tewas secara mengenaskan, tapi sayang kematian yang penuh misteri baru saja memasuki tahap awal.
Malam semakin larut.
Ketika Siau-hong balik kembali ke tendanya, bukan saja terasa amat lelah bahkan hatinya amat berduka.
Walaupun ketiga orang korban yang tewas secara mengenaskan itu sama sekali tak ada sangkut-paut dengan dirinya, namun menyaksikan suasana duka yang mencekam rombongan itu, sedikit banyak perasaannya ikut tertekan dan tak leluasa.
Setiap musibah, setiap halangan yang ia alami selama beberapa hari belakangan ini hampir semuanya membuat dia merasa kecewa. Pembegalan yang misterius, musibah yang mengenaskan, kematian yang tiba-tiba, seakan selalu mengikutinya kemana pun dia pergi.
Dari balik jagat raya yang luas seolah terdapat sebuah kekuatan jahat yang selalu menyatukan dan mengaitkan dirinya dengan semua ketidak beruntungan yang dialaminya selama ini.
Suasana dalam tenda tenang dan gelap, walaupun dia berharap Pova bisa menghiburnya, namun dia dapat memahami perasaan perempuan itu, terlepas apakah dia sudah tidur atau tidak, ia tak berani lagi mengganggunya.
Sambil meraba, ia menemukan selembar permadani, dengan perlahan ia pun membaringkan diri, dia berharap bisa tertidur dalam waktu singkat. Namun ia tidak tertidur.
Tubuh Pova yang halus dan lembut telah bergeser menempel tubuhnya, bukan saja ia dapat merasakan kehangatan perempuan itu, dia pun dapat merasakan tubuhnya yang gemetar tiada hentinya, entah gemetar karena tegang ataukah karena merasa sedih?
Tampaknya perempuan itu tahu kalau Siau-hong butuh hiburan, maka dia pun mengantar tubuhnya.
Di kolong langit dewasa ini, belum pernah ada seorang wanita lain yang bersikap begitu baik dan mesra terhadap dirinya.
Tiba-tiba Siau-hong menjumpai tubuhnya ikut gemetar.
Di saat mereka saling bersentuhan, bukan hanya napsu birahi saja yang terlampiaskan, rasa cinta pun ikut meningkat. Dia tak pernah menyangka apa yang dilakukannya sekarang dapat berubah menjadi begitu indah.
Ooo)d*w(ooO