Jilid 08
“JIKA ingin menghe mat tenaga aku harus me mpergunakan jurus serangan paling aneh, paling dahsyat dan paling cepat untuk me mbinasakan kedua orang manusia aneh ini.”
Karena itu me lihat datangnya ancaman tersebut, Ku See-hong tak berani berayal, dengan cepat dia kembangkan ilmu gerakan tubuh Mi-siu-biau-tiong untuk menghindarkan diri, kemudian dalam kesempatan tersebut, jurus serangan yang ampuhpun segera dilancarkan.
Tampaknya Ku See-hong dengan me mpergunakan kecepatan yang mengaburkan pandangan mata berputar dan berkelebat secepat sambaran kilat, jurus serangan dilancarkan berulang kali, kedahsyatannya mengejutkan me mbikin orang menjadi tertegun dan tak habis berpikir.
Iblis aneh berbaju aneka warna itu me mutar pula Duri Ikan Hiu- nya melancarkan serangan ke atas bawah, selapis garis busur yang me lingkar-lingkar dan berlapis-lapis segera tercipta di udara ibaratnya cahaya bianglala di angkasa, sinar tajam a mat menyilaukan mata. Sementara itu telapak tangan kirinya menyusul putaran senjata tersebut menciptakan pula bayangan busur yang berlapis-lapis, hawa pukulan yang berat dan tajam segulung demi segulung me luncur keluar bagaikan gulungan gelombang di tengah sa mudra.
Ilmu silat aliran Huan- mo- kiong di lautan La m-hay ini me mang benar-benar luar biasa sekali, namun diapun tidak lebih hanya jago kelas dua dalam istana Huan- mo- kiong, bisa dibayangkan betapa dahsyatnya jago-jago kelas satu mereka.
Dalam waktu singkat, kedua orang itu sudah saling bergebrak sebanyak belasan jurus.
Hawa nafsu me mbunuh telah berkobar dalam benak Ku See- hong, sambil berpekik nyaring, tubuhnya meloloskan diri dari lingkaran tenaga pukulan lawan, dengan suatu gerakan yang sangat aneh, kemudian secepat sambaran kilat telapak tangan kanannya dilontarkan ke depan.
Dalam me lancarkan serangan ini, Ku See-hong telah menggunakan tenaga dalamnya sebesar enam bagian, kekuatan pukulannya dahsyat seperti raksasa me mbelah bukit. Di tengah hembusan angin berpusing, udara menderu-deru, pasir dan batu kerikil beterbangan, keadaan benar-benar mengerikan sekali.
Di mana angin tajam mendesing, terdengar jeritan ngeri yang menyayatkan hati bergema me mecahkan keheningan, iblis aneh berbaju aneka warna itu mence lat tiga kaki ke belakang dan …. “Blaamm! ” roboh terkapar di tanah la lu mene mui ajalnya seketika itu juga.
Tiba-tiba berkumandang ke mbali suara tertawa seram yang menger ikan, dua gulung angin pukulan yang le mbut tapi kuat tahu- tahu sudah menyergap ke punggung Ku See-hong, “Blaaam…! ” dengan disertai dentuman keras, tenaga sakti Kan-kun-mi-siu yang dilatih Ku See-hong dalam tubuhnya telah membuyarkan tenaga serangan itu secara otomatis, ke mudian ia me mbalikkan badannya, dengan sorot mata yang me mancarkan kebengisan, dia lepaskan ke mbali sebuah pukulan dahsyat ke tubuh iblis aneh berbaju merah itu.
Tampak tenaga serangan yang dilancarkan Ku See-hong itu me mbawa berbagai angin desingan tajam, yang memekikkan telinga, seperti bendungan yang jebol saja, angin pukulan dahsyat dengan hebatnya meluncur ke depan…
Agaknya iblis aneh berbaju merah itu sama sekali tak menyangka kalau kedua buah angin pukulan le mbutnya yang sanggup menghancur kan batuan cadas sama sekali tidak menimbulkan reaksi apa-apa meski sudah terkena di tubuh lawan secara telak. Untuk sesaat lamanya dia sa mpai berdiri ter mangu- mangu.
Pada saat itulah, segulung tenaga pukulan yang menyesakkan napas telah meluncur datang dan mene kan dadanya berat-berat, seketika itu juga dia merasakan kepalanya pusing sekali, darah yang menga lir di dalam tubuhnya seperti mau meletus, sakitnya bukan kepalang.
Jeritan ngeri yang memilukan hatipun segera berkumandang me mecahkan keheningan, iblis aneh berbaju merah itu tahu-tahu sudah tewas dengan darah kental bercucuran dari ketujuh lubang inderanya.
Saat kematian bagi Im- Yang Siang- mo mes ki tidak berbarengan, namun selisih waktu di antara merekapun minim sekali.
Setelah berhasil me mbinasakan sepasang iblis tersebut, Ku See- hong segera mendongakkan kepalanya sambil berpekik nyaring, ke mudian secepat kilat meluncur ke arah hutan pohon tho tersebut.
Dalam waktu singkat Ku See-hong telah mene mbusi beberapa puluh batang pohon bunga tho, tiba-tiba dia merasakan dalam hutan itu seakan-akan terdapat begitu banyak pasukan yang mengurung sekeliling te mpat itu, sehingga walaupun ia sudah mencoba untuk menerjang ke kiri atau ke kanan, tetap gagal untuk menerjang keluar dari hutan itu. “Aduuuh celaka…! Ku See-hong segera berpekik dalam hatinya, “Aku telah terjebak oleh per ma inan busuk lawan….!”
Ternyata hutan bunga tho itu merupakan pos penjagaan pertama dari istana Huan- mo- kiong. Barisan pe mbingung sukma yang diatur dalam hutan tersebut, diatur menurut barisan Ngo-heng pat-kwa-tin yang dirubah susunannya. Bila seseorang tidak me maha mi ilmu barisan, maka kendatipun ilmu silat yang dimiliki a mat lihay, jangan harap bisa keluar dari hutan bunga tho ini, sebab bila melewatinya secara sembarangan, maka pada akhirnya toh akan terjebak pula ke dalam perangkap mere ka.
Sesungguhnya Ku See-hong juga tahu kalau barisan pembingung sukma yang berada dalam hutan bunga tho itu sangat lihay dan luar biasa, barang siapa berani memasukinya secara sembarangan ma ka akhirnya akan terjerumus dalam mara bahaya.
Namun pe muda yang tinggi hati dan keras kepala ini enggan untuk pasrah dan menyerah dengan begitu saja, maka dia mula i menerjang ke kiri, berputar ke kanan dengan harapan bisa lolos dari kepungan barisan lihay itu.
Orang bilang, sekalipun orang pandai, suatu kala akan menjadi menjadi pikun juga, begitu pula keadaannya Ku See-hong, dia hanya tahu berputar kesana kemari tiada hentinya, lambat laun kesadarannya makin kabur dan sekujur badannya sudah basah kuyub oleh keringat.
Tiba-tiba….
Ku See-hong mendengar ada orang yang tertawa seram dari sisi tubuhnya, kemudian kedengaran orang itu berkata:
“Anjing kecil, kali ini ada kenikmatan untuk kau rasakan, bukan? Heeehh… heeehh… heeehh… tak ubahnya seperti permainan joget ketek (monyet saja) saja.”
Dengan suatu gerakan yang cepat Ku See-hong berpaling ke arah mana datangnya suara tersebut, namun tiada sesosok bayangan manus ia pun. Apa yang terlihat tak lebih hanya bunga tho yang berlapis-lapis.
Tak terlukiskan rasa geram anak muda itu dibuatnya. Dengan gusar dia lantas me mbentak keras:
“Manusia laknat dari Huan- mo- kiong, mengapa tidak segera mengge linding keluar? Apakah gunanya bermain se mbunyi terus semaca m anak kura- kura saja?”
“Bajingan cilik yang ber mata buta, kami toh berada di sisimu, masa kau tidak melihatnya?” jengek orang itu dengan sinis.
Kemudian terdengar pula suara yang tajam melengking berkumandang lagi:
“Hmm… Kalau sudah tahu ber mata buram maca m begitu, mengapa kau berani mendatangi pulau Huan- mo-to untuk mencar i balas? Benar-benar tak tahu diri?! Hmm… kau sudah pasti tak akan dapat lolos dari neraka maut yang diatur oleh Huan- mo-kiong ka mi, sekarang akan kuberi sedikit waktu bagimu untuk hidup. Menanti kalau kiongcu telah ke mbali, kau baru akan diputuskan hukumannya. Malam ini kau telah me mbunuh dua orang tongcu kami, maka kaupun jangan berharap bisa lolos dari sini dalam keadaan hidup….”
Dengan mengandalkan sepasang matanya ayang tajam, sekali lagi Ku See-hong me mer iksa keadaan di sekeliling tempat itu. Namun ia belum berhasil mene mukan sesosok bayangan manusia pun.
Dia hanya merasa orang yang berbicara itu seakan-akan sebentar berada di sebalah timur, sebentar lagi di barat, kedudukannya tak menentu… dia kuatir secara tiba-tiba orang tersebut melancarkan sergapan kilat kepadanya.
Sekarang, walaupun Ku See-hong merasa gusar sekali, na mun ia sudah terjebak dalam barisan pe mbingung sukma dalam hutan bunga Tho itu, sekalipun akan mengumbar hawa a marahnya juga percuma. Dalam keadaan begini, dia m-dia m ia lantas menghimpun tenaga dalamnya dan siap melakukan tindakan bila mana diperlukan. Dia tahu banyak berbicara hanya me mber i kese mpatan baik saja bagi lawannya untuk bertindak.
Mendadak….
Dari luar hutan sana bergema suara pekikan aneh yang me me kikkan telinga. Di balik suara pekikan tersebut terbawa suatu hawa yang menyera mkan sekali.
Pekikan tersebut telah berkumandang dari luar hutan bunga Tho, yang dengan kecepatan luar biasa meluncur tiba, bukan hanya panjang dan mengerikan saja suaranya, lagipula me mbikin hati bergidik dan bulu kuduk pada bangun berdiri.
Dari suara pekikan lawan yang kian la ma bertambah tinggi dan me lengking, Ku See-hong tahu kalau pendatang itu me miliki kepandaian silat yang amat sempurna, tidak berada di bawah manus ia aneh berkerudung yang pernah dijumpainya. Terlintas satu dugaan bahwa orang ini mungkin adalah sau- kiongcu dari La m-hay Huan- mo-kiong.
Dengan kenyataan ini, anak muda tersebut makin sadar bahwa kedatangannya ke pulau Huan- mo-to kali ini lebih banyak bahayanya daripada sela mat.
Terdengar suara menera mkan yang dingin kaku tadi ke mba li berkata,
“Sau kiongcu, anjing itu sudah me mbunuh Sim-tong tongcu pertama, Im-Yang, dua orang tongcu… dan melanggar beberapa buah dosa besar, mohon diberi petunjuk hukuman apakah yang hedak dilimpahkan kepadanya?”
Dengusan dingin berge ma, ke mudian seseorang menjawab: “Barangsiapa berani me masuki istana Huan- mo- kiong, semuanya
dijatuhi hukuman dengan Lima Macam Siksaan. Cuma orang ini bisa me mbunuh Tit-it sintong tongcu berarti dia mengerti sedikit ilmu silat kucing kaki tiga. Kalian sebagai tongcu sim-tong ke-dua sepantasnya jika menyiksa dirinya lebih dulu agar orang ini merasakan sedikit kelihayan ilmu silat Huan- mo-kiong sebelum ajalnya tiba.”
Ku See-hong marah sekali, dia lantas menengadah dan tertawa terbahak-bahak dengan seramnya. Suara tertawanya keras me me kikkan telinga, cukup me mbuat perasaan orang bergetar keras.
Kemudian setelah berhenti tertawa ia mendengus sinis, tantangnya dengan suara keras:
“Manusia- manus ia laknat yang berhati busuk, jika kalian punya kepandaian, hayo tongolkan kepala mu dari tempat persembunyian, akan kubuktikan sendiri, apa benar orang-orang Huan- mo- kiong me miliki ke ma mpuan t iga kepala enam lengan.”
Untuk sesaat la manya ketiga orang itu tetap bungkam dalam seribu bahasa, rupanya mereka tertegun juga menyaksikan kegagahan serta keberanian Ku See-hong. Sepanjang sejarah, belum pernah ada orang yang begitu berani mendatangi pulau mereka.
Tak la ma ke mudian, terdengar seorang berkata dengan suara yang dingin menusuk tulang:
“Orang she Ku, dengan menganda lkan ucapan yang takabur tersebut, pun sau-kiongcu menjadi tertarik sekali untuk me ncoba dahulu sa mpai di manakah kelihayanmu, akan kulihat apa yang kau andalkan sehingga begitu so mbong dan takabur!”
Bersamaan dengan selesainya perkataan itu, kurang lebih dua kaki di belakang pohon bunga Tho, tepat di hadapan Ku See-hong me lo mpat keluar tiga sosok bayangan manusia.
Orang yang berada di tengah adalah seorang pemuda berjubah panjang warna biru yang ha mpir sebaya usianya dengan diri Ku See-hong sendiri. Sebilah pedang berbentuk aneh tersoreng di punggungnya, gagang pedang berwarna emas, kakinya bersepatu indah. Ia berwajah ta mpan dan gagah, sekilas pandangan mirip seorang kongcu ro mant is.
Cuma sayang sinar matanya me mbawa cahaya kebuasan, kebrutalan dan kelicikan. Orang ini tak lain adalah kiongcu muda dari istana Huan- mo-kiong, Si Pedang Emas Cia Tiong-giok.
Di sebelah kirinya berdiri seorang manusia aneh ber muka kuda yang mengenakan jubah berwarna putih seperti pakaian berkabung, sedang di sebelah kanannya adalah seorang kakek kurus ber mata besar, beralis mata tebal dan berwajah sera m.
Kedua orang ini tak lain adalah tongcu ruang siksa ke-dua dari istana Huan- mo-kiong, Siang-khi tok-ci (Kakek Beracun Pe mbawa Hawa Ke matian) Mao Soh-sat serta Ceng-hong mi-tan (Peluru Pembingung yang Menggetarkan Jagad) Ciu Khi-sin.
Ternyata pembagian urutan jago-jago dalam Huan- mo- kiong terbagi menjadi lima ruang siksa (sin-tong), makin meningkat satu tingkatan berarti penghuninya berilmu silat lebih tinggi.
Dalam perguruan Huan- mo-kiong, kedudukan Tongcu merupakan jago-jago yang terdiri dari jago-jago kelas dua dan keals satu. Lebih ke atas lagi adalah keempat Huhoat (pelindung) dari Kiongcu yang terbagi menjadi Panji Merah, Biru, Hitam dan Putih. Kepandaian silat yang mereka miliki rata-rata sangat lihay, masing- masing me miliki serangkaian ilmu rahasia yang sangat beracun.
Dari sini dapat diketahui kalau kekuatan dari orang-orang Huan- mo- kiong sesungguhnya luar biasa sekali, jauh lebih tangguh daripada kekuatan perkumpulan besar dalam dunia persilatan. Kekuatan se macam ini tentu saja tak boleh dipandang rendah.
Dengan sorot mata yang tajam, Ku See-hong memandang sekejap wajah musuh- musuhnya, dia m-dia m dia terkesiap juga. Pemuda itu sadar bahwa ketiga orang musuhnya ini merupa kan jago-jago paling top dalam dunia persilatan dewasa ini. Tak heran kalau umat persilatan pada jeri bila me mbicarakan soal ke ma mpuan Huan- mo-kiong. Rupanya jago-jago lihay mereka, selain banyak, juga merupa kan pilihan.
Ku See-hong yang bernyali baja dan berkeras kepala, betul hati kecilnya merasa terkesiap, namun wajahnya masih kelihatan sangat tenang. Setelah tertawa ringan ujarnya ketus:
“Bagus sekali! Bagus sekali! Sekarang aku orang she Ku akan menghantar kalian satu persatu pulang ke rumah nenek moyang kalian.”
Bahwasanya Ku See-hong secara beruntun berhasil me mbinasakan dua orang tongcu mereka, peristiwa ini sudah merupakan suatu aib yang belum pernah dialami Huan- mo- kiong sepanjang sejarahnya, tak heran kalau mereka tidak me mbiar kan musuhnya berbuat semena- mena terus menerus.
“Anjing laknat, sebelum ma mpus kau masih berani bicara takabur?” bentak Kakek Beracun Pe mbawa Hawa Ke matian Mao Soh-sat dengan geramnya.
Di tengah bentakan keras, Kakek Beracun Pembawa Hawa Kematian ini menerjang ke depan. Sepasang telapak tangannya didorong bersama ke muka, segulung tenaga pukulan yang amat dahsyat bagaikan gulungan o mbak sa mudra segera meluncur ke depan.
Ku See-hong me mbentak keras, dengan suara yang menggelegar seperti guntur, sepasang telapak tangannya dirangkap menjadi satu, lalu secara tiba-tiba dilontarkan keluar.
Dalam waktu singkat, segulung angin pukulan yang a mat kencang, bagaikan hembusan angin puyuh meluncur ke depan menyongsong datangnya anca man tersebut.
“Blaaa m…!” ketika dua gulung angin pukulan itu saling me mbentur, terjadilah ledakan yang me mekikkan telinga, lalu terjadi pusaran angin berpusing yang menyapu ke empat penjuru. Daun dan ranting segera berguguran ke atas tanah, batu dan pasir beterbangan di angkasa, keadaan yang sangat mengerikan.
Kakek Beracun Pe mbawa Hawa Ke matian, Mao Soh-sat merasakan sepasang bahunya bergetar keras, lalu tubuhnya mundur tiga e mpat langkah dengan se mpoyongan.
Sebaliknya Ku See-hong mas ih tetap berdiri tegak di te mpat semula. Meski begitu mukanya menjadi serius, jelas hatinya merasa amat terperanjat.
Dengan geramnya Kakek Beracun Pembawa Hawa Ke matian menjer it lengking, tiba-tiba tubuhnya menyelinap ke depan, sepasang cakar setannya diulur dan ditarik sa mbil me mancar kan selapis hawa kabut berwarna hijau, lalu dengan disertai desingan angin dingin menyergap ke tubuh Ku See-hong.
Secara tiba-tiba saja anak muda itu merasakan datangnya sergapan hawa dingin yang menyengat badan, lalu hidungnya megendus bau a mis yang busuk dan tak sedap dirasakan, menyusul ke mudian kepalanya terasa pening dan dadanya sesak, dia lantas sadar, di balik kabut hijau itu terdapat racun keji yang sangat hebat.
Dalam kejutnya, ia berusaha mengerahkan ilmu gerakan tubuhnya untuk menyelinap keluar. Siapa tahu kabut hijau itu sudah mengikut i hembusan angin pukulannya yang amat tajam itu menyelimuti seluruh tubuhnya….
Seketika itu juga Ku See-hong merasakan napasnya menjadi amat sesak, dia m-dia m ia berpekik:
“Habis sudah r iwayatku kali ini?!”
Dalam keadaan beginilah, mendadak Ku See-hog merasakan munculnya dua gulungan tenaga panas dan dingin yang aneh dari pusar yang segera menyebar ke dalam sekujur badannya.
“Blaaamm… Blaaamm…!” letupan demi letupan berge ma me menuhi angkasa. Semua kabut beracun dan tenaga serangan yang telah mengurung sekujur badannya itu tahu-tahu sudah lenyap tak berbekas. Dalam pada itu, Kakek Beracun Pe mbawa Hawa Ke matian Mao Soh-sat, telah memperdengarkan suara tertawa seramnya sembar i berseru:
“Bocah keparat she Ku, sekarang kau sudah terkena Ngo-tok im- khi (Hawa Dingin Panca Bisa)- ku, selewatnya dua belas jam, dalam siksaan dan penderitaan, kau akan muntah darah dan….”
Mendadak dia menutup mulutnya ke mba li sebab dijumpainya Ku See-hong sama sekali tidak menunjukkan gejala keracunan. Tak terlukiskan rasa terkesiap hatinya merasakan kenyataan tersebut. Untuk sesaat dia sampai berdiri termangu belaka dengan mata terbelalak dan me longo lebar.
Malah sau kiongcu, Si Pedang Emas Cia Tiong-giok yang berilmu tinggi pun ikut berubah wajahnya setelah menyaksikan kenyataan itu.
Sementara mereka masih tertegun, mendadak Ku See-hong berpekik nyaring….
Suara pekikannya tinggi menjulang ke angkasa bagaikan jeritan naga sakti, bukan cuma keras dan nyaring, suara itu sampa i mendengung di seluruh pulau.
Berbareng dengan berkumandangnya pekikan nyaring itu, sesosok tubuh melejit ke udara, ke mudian sepasang lengannya berputar secara aneh. Cahaya tajam yang menyilaukan mata pun menyebar ke empat penjuru.
“Sreeet…” di antara desingan angin tajam, sekilas cahaya putih yang menyilaukan mata telah meluncur ke muka.
Paras muka Si Kakek Beracun Pe mbawa Hawa Ke matian Mao Soh-sat yang sedang menyeringai seram, tiba-tiba berubah menjadi ngeri dan ketakutan sekali. Jeritnya tertahan:
“Hoo-han-seng-huan…!”
Namun baru kata “Huan” diucapkan, jeritan ngeri yang me milukan hati telah berge ma me mecahkan keheningan ma la m. Di antara percikan darah segar yang me mancar ke e mpat penjuru, batok kepala Kakek Beracun Pe mbawa Hawa Ke matian Mao Soh-sat telah berpisah dengan tubuhnya dan terbacok hancur tak karuan bentuknya.
Kematian ge mbong iblis ini, benar-benar mengerikan sekali, me mbuat orang merasa tak tega untuk melihatnya.
Kiongcu muda, Si Pedang Emas Cia Tiong-giok yang berada di tepi arena segera berubah muka. Rasa ngeri dan terkesiap menyelimuti wajahnya, namun hanya sejenak ke mudian telah lenyap tak berbekas. Kemudian dengan sorot mata buas dan sekulum senyuman menyeringai yang seram menghias i bibirnya, dia berkata:
“Suatu kepandaian yang a mat bagus! Suatu kepandaian yang amat bagus! Hari ini aku orang she Cia benar-benar terbuka matanya. Heeehh… heeehh… Tolong tanya, kau berasal dari perguruan mana?”
Ku See-hong merasa girang sekali ketika tiga jurus Hoo-han- seng-huan yang digunakannya berulang kali menunjukkan kelihayan serta kedahsyatan yang begitu meyakinkan.
Mendengar ucapan tersebut, ia segera berkata dengan suara dingin:
“Untuk menghadapi manusia- manus ia laknat berhati buas seperti kalian, kenapa harus me mbicarakan soal belas kasihan? Hmmm! Beritahu kepada mu juga tak mengapa… aku tak lain adalah murid dari Bun-ji koan-su Him Ci-seng, yang termasyhur na manya di seantero jagad itu.”
Nama besar Bun-ji koan-su me mang a mat menggetarkan jagad, jauh lebih termasyhur daripada nama orang-orang Huan- mo-to di Lam- hay. Selain itu na ma Bun-ji koan-su pun sudah banyak diceritakan orang se menjak lima puluh tahun berselang.
Bagi Kim- kiam (Si Pedang Emas) Cia Tiong-giok, hal mana masih belum seberapa mengejutkan hatinya, berbeda dengan Ceng-hong- mi-tan Ciu Khi-seng yang berada di sampingnya… kontan saja paras mukanya berubah menjadi pucat kehijau-hijauan saking takutnya.
Ketika Si Pedang Emas Cia Tiong-gio k menyaks ikan Ceng-hong mi-tan sedemikian ketakutannya, sebagai seorang jago yang pintar, ia segera tahu bahwa na ma besar Bun-ji koan-su tentu termasyhur sekali di daratan Tionggoan. Dengan cepat ia me mberi tanda berulang kali kepada anak buahnya itu.
Kemudian sambil tertawa terbahak-bahak, katanya:
“Sela mat bertemu! Sela mat bertemu! Pulau terpencil semaca m tempat ini dapat dikunjungi anak murid seorang tokoh silat kenamaan, hal mana benar-benar merupakan kebanggaan untuk Huan- mo-kiong kami. Hmmm! Cuma, aku orang she Cia rasa, kau tak dapat mencari na ma dengan mengandalkan na ma besar dari Bun-ji koan-su lagi.”
Begitu ucapan terakhir meluncur keluar dari bibirnya, dengan suatu gerakan yang sangat aneh, Si Pedang Emas Cia Tiong- giok telah melayang datang, kemudian sebuah pukulan dilancarkan ke tubuh Ku See-hong.
Sepintas lalu, serangan itu dilancarkan seakan-akan sama sekali tak disertai tenaga dalam, tapi ketika pelan-pelan mende kat sampa i jarak satu depa dari Ku See-hong, mendadak… gerakan tangannya berubah. Secepat kilat tahu-tahu menganca m bagian atas, tengah dan bawah tubuh Ku See-hong, di mana terdapat delapan belas buah jalan darah ke matian.
Selain gerakan serangannya yang amat ganas dan keji, kecepatannya sukar dilukiskan dengan kata-kata.
Serangan maha dahsyat itu ibaratnya sebuah jaring penangkap ikan yang besar sekali. Dalam waktu singkat empat penjuru sudah terkurung sama sekali, di sekitar arena muncul daya tekanan yang menyesakkan napas, beratnya bagaikan bukit karang. Ku See-hong sangat terperanjat. Dengan cepat ia pergunakan ilmu gerakan tubuh Mi- khi biau-tiong sin- hoat untuk menghindar kan diri.
Ujung kakinya mendadak menekuk ke bawah, lalu dengan pangkal kaki sebagai poros, secepat kilat ia berputar kencang….
“Sreeett…!” seluruh tubuhnya berputar bagaikan gerakan setan, tahu-tahu ia sudah me lejit ke sa mping untuk me loloskan diri.
Tiba-tiba pada saat itulah….
Ceng-hong mi-tan Ciu Khi-seng me mbentak keras, tangan kanannya diayunkan ke depan, serentetan cahaya hijau yang berkilauan secepat kilat menyambar ke muka.
“Blaaamm…!” ledakan keras berkumandang me mecahkan keheningan. Selapis asap berwarna hijau dengan cepat menyelimut i seluruh tubuh Ku See-hong.
Di tengah kabut hijau yang menyelimuti angkasa, tampak tubuh Ku See-hong pelan-pelan roboh terkulai di atas dan jatuh tak sadarkan diri.
Si Pedang Emas Cia Tiong-gio k segera perdengarkan suara tertawa liciknya yang seram dan menggetarkan sukma. Di balik gelak tertawa itu penuh disertai rasa kekejaman dan kebuasannya yang mengerikan.
Mendadak suara tertawa terhenti.
Kemudian terdengar Si Pedang Emas Cia Tiong-giok berseru dengan nada yang mengerikan,
“Hukum mati bocah keparat ini menurut Lima Macam Siksaan!”
Baru selesai dia berkata, di balik hutan bunga tho sana melintas lewat sesosok bayangan putih. Dari balik matanya yang jeli tampa k air mata jatuh berlinang me mbasahi pipinya, jelas ia sedang bersedih hati untuk ke matian pe muda pendekar yang tampan itu oleh lima maca m siksaan keji yang menakutkan itu. Ceng-hong mi-tan (Peluru Pe mabuk Yang Menggetarkan Jagad) segera mengempit tubuh Ku See-hong, lalu bersa ma Kim-kia m Cia Tiong-giok, me lenyapkan diri di balik barisan Mi-hun-tin dalam hutan bunga tho itu.
dw
SUATU ma lam yang sepi ke mbali me njelang t iba….
Awan hitam menyelimuti seluruh angkasa, tiada bintang, tiada rembulan, udara berwarna kelabu yang cuma mendatangkan keseraman dan kepedihan bagi setiap insan manus ia yang ada di sana.
Tempat siksaan ke-e mpat yang paling keji dari Istana Huan- mo- kiong….
‘Sumber Es Dalam Neraka’, letaknya dalam sebuah sumur kuno sedalam tiga puluh kaki, lebar lima kaki yang berada di antara tebing-tebing curam di sisi kiri Istana Huan- mo- kiong.
Sumber air dalam sumur itu merupakan sebuah sumber yang berasal dari dasar samudra. Airnya dingin bagaikan salju, tempat itulah merupakan tempat siksaan terkeji dari Huan- mo-kiong yang me mbunuh orang tak me lihat darah.
Sejak dulu sa mpai sekarang entah berapa puluh laksa orang yang mati kedinginan di situ.
Oleh karena air sumur itu luar biasa dinginnya, tanpa daya mengapung, maka setiap orang yang melanggar peraturan Huan- mo- kiong dan dijatuhi hukuman untuk menerima siksaan kee mpat di Sumber Salju Dalam Neraka ini. Maka terhukum akan digantung dengan tali dan diceburkan ke dalam sumur kuno itu.
Tak selang berapa saat kemudian sang terhukum itu akan mati karena peredaran darahnya membe ku. Tak heran kalau cara me mbunuh se maca m ini disebut sebagai suatu siksaan yang paling keji.
Tapi sela ma dua hari belakangan ini, ‘Sumber Salju Dalam Neraka’ tersebut seakan-akan sudah kehilangan daya ke ma mpuannya untuk me mbunuh orang…. Mengapa…?
Ternyata ada seorang terhukum, bukan saja tak mampus walau sudah disiksa di tiga tempat, bahkan sekalipun sudah direndam selama dua hari se ma lam dalam siksaan yang ke e mpat, ‘Sumber Salju Dalam Neraka’, orang itu bukan saja tidak mati, ma lahan semangat dan kekuatannya seperti bertambah hebat. Kata-kata makiannya menjulang sa mpai ke langit. Manusia aneh itu tak lain adalah Ku See-hong.
Sementara itu, di tepi sumur berdiri seorang pe muda berbaju biru, dia adalah sau-kiongcu dari istana Huan- mo-kiong, Si Pedang Emas Cia Tiong-giok. Waktu itu, ia dengar kata-kata makian sedang berkumandang dari dalam sumur itu:
“Manusia- manus ia laknat dari Huan- mo- kiong, sekarang kalian boleh saja menyiksa aku orang she Ku dengan cara yang keji dan rendah seperti itu, tapi suatu ketika, aku akan menghirup darahmu, akan kumakan hatimu, cara kerja kalian melebihi buasnya binatang, lebih rendah dari manus ia laknat manapun juga, tapi… aku orang she Ku tak akan mati, kecuali bila kalian me motong badanku menjadi dua bagian….”
Walaupun Ku See-hong berhasil meloloskan diri dari e mpat maca m siksaan yang keji, na mun dia harus me nahan penderitaan dan siksaan baik fis ik maupun batinnya. Oleh sebab itu, saat tersebut ia benar-benar ingin mati saja….
Mendengar makian itu, pelbagai pikiran berkeca muk dalam benak Si Pedang Emas Cia Tiong-giok, ia tidak habis mengerti, apa sebabnya Ku See-hong bisa melo loskan diri dari e mpat maca m siksaan tersebut tanpa mati…. Atau jangan-jangan dia bukan manus ia, me lainkan sukma gentayangan? Atau dewa? Pada siksaan yang pertama… Huan Hiat Jian Hun (Me mbalikkan Darah Me mbuat Cacad Sukma) adalah merupakan siksaan yang menotok jalan darah terhukum dengan se maca m kepandaian silat yang amat beracun. Bila orang biasa tertotok jalan darahnya oleh kepandaian tersebut, maka peredaran darahnya akan mengalir terbalik, hal mana akan berakibat me mbesarnya nadi darah yang akhirnya pecah dan mati. Tapi kenyataannya, pemuda itu sama sekali t idak merasakan siksaan apa-apa.
Pada siksaan yang ke-dua…. Tok Coan Cui Sim (Ular Beracun Menghancurkan Hati) merupakan siksaan yang me mbiar kan terhukum digigit oleh beribu-ribu ekor ular beracun yang buas dan ganas. Tapi kenyataannya, ular-ular beracun itu tak ada yang berani mende katinya… semburan bisa merekapun t idak me matikan sang korban.
Kemudian pada siksaan yang ke-tiga: Liat Hwee Kau Siau (Digarang dan Dimasak Di Atas Jilatan Api Panas). Bila orang yang biasa digarang dengan api, dalam waktu singkat, tubuhnya segera akan tinggal sebongkah tulang belulang belaka. Tapi anak muda itu sudah dibakar selama dua hari dua mala m, ia masih tetap segar bugar, malahan sepasang matanya seperti bertambah tajam saja.
Kini, sudah meningkat pada siksaan yang ke-e mpat Tee Ih Peng Swan (Sumber Salju Dalam Neraka), sampa i detik ini siksaan telah berlangsung dua hari se ma la m… tapi ia belum mat i juga.
Makin berpikir, Si Pedang Emas Cia Tiong-giok merasa ma kin terkesiap. Ia bersumpah akan me mbunuh Ku See-hong dengan cara apapun juga, sebab dia tahu asal Ku See-hong masih bisa hidup terus, bila suatu ketika ilmu silat Ku See-hong berta mbah lihay, dia pasti akan merupakan suatu anca man yang serius bagi pihaknya.
Adapun siksaan yang ke-lima adalah: Coh Ih Tay Si (Duduk Sambil Menunggu Ajal). Siksaan ini merupa kan suatu penyiksaan yang paling keji di dunia ini, sebab terhukum tidak diberi ma kanan maupun minuman, dia akan dibiarkan mati kelaparan. Asal dia manus ia, tak mungkin ada yang mampu me loloskan diri dari siksaan tersebut…. Sejak dulu sa mpai sekarang, dalam Huan- mo-kiong masih berlaku pula suatu peraturan yang la in, yakni barang siapa dapat me loloskan diri dari kee mpat maca m siksaan tersebut tanpa mati… maka tanpa syarat dia akan me mperoleh kebebasannya kemba li. (Tanpa harus menja lani siksaan yang ke-lima)
Namun peraturan tetap tinggal peraturan. Peraturan tak lebih hanya suatu tata cara yang berlaku belaka….
Sekulum senyuman keji segera tersungging di atas bibir Si Pedang Emas Cia Tiong- giok. Sa mbil berpaling ke arah seorang lelaki berbaju hita m, segera perintahnya:
“Angkat dia ke atas dan kirim ke ruang siksa ke-lima. Kurung dia dan biarkan ia ma mpus kelaparan. Perketat penjagaan di sekitar tempat itu, siapa berani melanggar bunuh tanpa a mpun!”
Ceng-hong mi-tan Ciu Khi-seng yang berada di sisinya, buru-buru berseru dengan ce mas:
“Sau-kio ngcu, ilmu silat yang dimiliki bocah keparat ini lihay sekali, lebih baik kita habiskan sebutir peluru pe mabuk sukma lebih dulu, agar ia jatuh tak sadarkan diri.”
Begitu selesai berkata, Ceng-hong mi-tan Ciu Khi-seng segera mengayunkan tangannya ke depan, serentetan cahaya hijau yang menyilaukan mata segera menya mbar ke depan.
“Blaaamm…!” ledakan keras berkumandang untuk kesekian kalinya. Ku See-hong yang berada dalam sumur dibikin tak sadarkan diri oleh asap pe mabuk tersebut.
Si Pedang Emas Cia Tiong-giok segera mendongakkan kepalanya sambil berpekik nyaring. Suara pekikan tersebut mengge ma sa mpa i di te mpat kejauhan dan menga lun t iada hentinya, menyusul ke mudian dia melejit ke udara dan melayang pergi dari situ. Sekejap ke mudian bayangan tubuhnya telah lenyap dari balik mata.
Ketika Ku See-hong sadar ke mba li dari pingsannya, waktu itu fajar telah menyingsing keesokan harinya. Ia disekap dalam sebuah gua di suatu tebing karang yang gundul. Suasana dalam gua itu gelap gulita tak na mpak lima jari tangan sendiri, hanya setitik cahaya lemah yang me mancar masuk lewat celah-celah terali besi. Berada dalam gua tersebut, Ku See-hong benar-benar terpencil. Tiada orang yang menyahuti teriakannya, tiada makanan yang pernah dikirim ke sana… tempat itu ibaratnya sebuah neraka.
Selama enam tujuh hari lamanya ini, dia telah mengala mi pelbagai siksaan dan penderitaan yang me mbuatnya berubah hingga tak berbentuk manusia lagi. Rambutnya terurai tak karuan, bajunya compang camping tak berbentuk lagi, mukanya kotor, seluruh badannya penuh bekas luka. Tapi sang pe muda yang keras hati ini bertekad untuk hidup terus, dia bersumpah akan hidup lebih jauh.
Manusia buas yang berhati keji telah merajale la di dunia persilatan, entah berapa puluh ribu nyawa umat persilatan yang me mer lukan pertolongan? Selain itu, dendam berdarah keluarganya belum dituntut balas. Atas dorongan dari beberapa macam kekuatan inilah me mbuat pe muda itu bertahan terus dan tak sampai mat i bunuh diri.
“Aaai…” Ku See-hong menghela napas sedih. Sekarang ia baru menyesal kenapa tidak menuruti peringatan dari nona berbaju putih itu. Kini keadaan telah menjadi begini…. Terbayang semua tugasnya yang belum selesai, ia menjadi sedih hingga tanpa terasa titik air mata jatuh berlinang me mbasahi pipinya….
Cahaya matahari bersinar indah jauh di luar gua, sedang Ku See- hong yang berada di tempat kegelapan hanya bisa menghela napas sedih, tanpa terasa akhirnya ia tertidur sa mbil bersandar di dinding.
Entah berapa lama sudah lewat, tiba-tiba ia dikejutkan oleh semaca m suara aneh sekali. Menyusul ke mudian ia mendengar suara langkah kaki yang ringan berkumandang dari luar terali besi itu. Ku See-hong me ngira Si Pedang Emas Cia Tiong-giok yang keji itu ke mbali akan mence mooh dirinya, kontan saja dia mencaci maki lebih dulu: “Binatang terkutuk yang tak berperasaan, kau adalah manusia laknat yang berhati binatang, aku orang she Ku bersumpah tak akan mati, kau….”
“Ku sauhiap, aku yang datang. Seorang gadis lemah bernasib ma lang, Keng Cin-sin,” tiba-tiba serentetan suara yang gemetar tapi le mbut berge ma me mecahkan keheningan.
Di tengah pembicaraan tersebut, terali besi itu pelan-pelan bergerak naik ke atas, lalu bayangan putih berkelebat lewat. Seorang gadis cantik berbaju putih telah mengulur kan tangannya yang putih me mperse mbahkan sebuah bungkusan yang a mat besar.
Ku See-hong merasa amat terharu, air matanya jatuh bercucuran me mbasahi pipinya, tapi ingatan lain segera melintas dalam benaknya, ia segera berseru:
“Nona Keng, cepat tinggalkan tempat ini! Tak usah kau gubris diriku lagi.”
Selama me ngala mi siksaan yang keji dari orang-orang Huan- mo- kiong dalam beberapa hari ini, Ku See-hong seringkali menyaksikan sepasang mata yang murung dan sedih dia m-dia m mengucur kan air mata.
Perasaan manusia yang le mbut dan halus ini, segera sang pemuda yang me mbenci kaum wanita itu dia m-dia m menaruh perasaan simpatik terhadap nona itu, dan perasaan tersebut selama ini hanya terpendam dalam dasar hatinya.
Sesungguhnya dia me mang seorang lelaki berperasaan hangat yang berjiwa pendekar. Dia tak ingin menyaksikan seorang yang dikagumi dan disayanginya mengorbankan jiwa gara-gara ingin meno long selembar jiwanya.
Tiba-tiba Keng Cin-sin mene mukan serentetan sorot mata yang sayang dan kasihan terpancar keluar dari balik mata pemuda ini, hal mana me mbuat kehangatan cintanya sebagai seorang gadis segera terlampiaskan keluar. Dengan cepat ia me mburu ke sisi tubuh Ku See-hong, ke mudian dengan air mata bercucuran dan nada sesenggukan katanya:
“Ku sauhiap, perempuan bernasib malang seperti aku ini tak akan me mperdulikan kesela matan jiwa sendiri. Aku hanya ingin menyela matkan jiwamu, sekalipun badan harus hancur, jiwa harus me layang, aku tak akan merasa sayang. Betul kita hanya bersua dua kali, tapi aku tahu kau adalah seorang manusia yang luar biasa, jiwa mu jauh lebih penting daripada jiwaku. Sekarang cepatlah habiskan makanan itu la lu berganti pakaian, kemudian cepat tinggalkan te mpat ini. Tunggu sa mpai kau merasa bertenaga lagi baru datang untuk me mbalas denda m…!”
Serangkaian perkataan itu telah mena mpilkan perasaan cinta yang tersuci dari makhluk yang bernama manus ia, setiap patah katanya bernada pedih dan jujur, lagipula dari ucapan tersebut dapat ditarik kesimpulan: betapa besarnya niat gadis ini untuk menyela matkan jiwa umat ma nusia dalam dunia ini….
Ku See-hong bukan orang bodoh, tentu saja dia dapat me maha mi maksud hatinya itu, tak heran kalau ia lebih terharu lagi dibuatnya. Perasaan pedih dalam hatinya juga makin hebat, ia merasa nasib telah me mper mainkan manus ia, nasib terlalu menyiksa umatnya. Mengapa gadis secantik itu harus turut merasakan pula siksaan se maca m itu?
Sesungguhnya Ku See-hong adalah seorang pemuda yang romantis, kebuasan dan sikap dingin hanya sikap di luarnya saja, hal man disebabkan terpengaruh oleh mus ibah yang menimpanya di masa kecil dulu, dan kini… begitu perasaan cinta yang terpendam dalam hatinya terungkap, maka keadaannya ibarat bendungan air yang jebol.
Dengan luapan emos i yang berkobar, dia berbisik: “Adik Sin, kee… marilah kau, dekatlah denganku, aku ingin melihat wajahmu lebih jelas lagi….”
Ketika sorot mata mereka saling berte mu, pancaran sinar mata yang hangat dan kepedihan dalam hatinya segera bercampur baur menjadi satu, makin la ma kedua orang itu makin dekat sehingga akhirnya ha mpir saling berde mpetan.
Pelan-pelan Ku See-hong me nggerakkan sepasang tangannya dan me megang wajahnya yang mungil dan le mbut itu.
Dengan suara yang a mat pedih Keng Cin-sin berbisik:
“Engkoh Hong, dulu aku tak pernah me mperhatikan siapapun, sebab aku sendiripun penuh dengan noda dan dosa, tapi sejak berjumpa dengan kau, aku mulai berpikir, bila ma laikat elmaut telah berada di depan mata, apakah yang bisa kutinggalkan di dunia ini…? Maka, aku bertekad akan mengorbankan sele mbar jiwaku, asal kau bisa hidup terus, berjuang demi keadilan dan kebenaran serta menyela matkan kaum le mah dari penderitaan yang tiada batasnya….”
“Engkoh Hong, terus terang kukatakan kepadamu, sejak bertemu denganmu, aku merasa bahwa kau telah jatuh hati kepadamu….”
Oleh ungkapan cintanya yang polos dan tulus itu, Ku See-hong merasa benar-benar a mat terharu, ujarnya dengan nada gemetar:
“Adik Sin, kau tak berdosa, kau adalah seorang yang suci bersih, akupun sangat mencintai dirimu, mari kita bersama-sama kabur dari pulau Huan- mo-to ini….”
“Engkoh Hong, aku tak dapat pergi…” tukas Keng Cin-sin dengan cepat, “Bila aku menghilang maka hal mana pasti akan me mancing mereka untuk mela kukan pengejaran secara besar-besaran, bukan saja hal tersebut akan mengakibatkan pe mbantaian berdarah dalam dunia persilatan, kita pun sukar untuk melo loskan diri dari pengejaran mereka yang ketat. Suatu ketika bila jejak kita ketahuan, maka nasib yang tragis akan menunggu kita berdua, keadaan semaca m itu sukar untuk dilukiskan dengan kata-kata….”
Air mata bercucuran me mbasahi wajah Ku See-hong, tiba-tiba selanya:
“Adik Sin, mari kita tinggalkan tempat ini bersama, kita mencari suatu tempat yang terpencil dan jauh dari manus ia, me menda m nama merahasikan asal-usul, sela ma hidup kita tak terjun ke mbali ke dalam dunia persilatan, sepanjang masa kita hidup bersa ma….”
Dengan tangannya yang halus dan lembut Keng Cin-sin menutup bibir Ku See-hong lalu katanya pedih:
“Engkoh Hong, jangan kau biarkan urusan muda- mudi menggerogoti a mbis imu yang me mbara, sekarang keadaan a mat mendesak. Rasanya mustahil kita dapat hidup bahagia sebagai suami istri dalam kehidupan kali ini. Tapi perasaanku kepadamu dapat dibuktikan kepada langit dan bumi, walaupun kita tak bisa hidup berdampingan, namun hati dan perasaanku dapat selalu ada di sa mpingmu….”
“Sekarang, waktu yang tersedia sudah tak banyak lagi, cepat- cepatlah bersiap sedia untuk me larikan diri. Kau harus tahu aku bersedia mengorbankan diri tak la in karena ingin menyela matkan jiwa mu… kau harus selalu menyayangi jiwa mu sendiri, sebab jiwa mu sudah merupakan peleburan dari jiwa kita berdua, dengan demikian walaupun Adik Sin- mu harus mat i dengan tubuh hancur, sukmaku akan selalu tersenyum di alam baka.”
Beberapa patah katanya itu diucapkan dengan nada yang amat me medihkan hati, tapi anehnya Thian selalu me misahkan sepasang sejoli yang sedang dimabuk as mara ini, bahkan me misahkan mere ka amat jauh, jauh sekali….
Ketika selesai mendengar perkataan itu, timbul suatu firasat jelek dalam hati Ku See-hong, sebab kekasih yang patut dikasihani ini bisa jadi akan benar-benar mati secara mengenaskan.
Sambil menahan kesedihan yang menceka m perasaannya, Ku See-hong berkata dengan pedih:
“Adik Sin, se moga kau bersedia untuk me manfaatkan sisa waktu yang ada untuk berada bersamaku, sehingga di ke mudian hari, bila aku berhasil me mbalas dendam di bawah sinar lentera di depan Buddha (ma ksudnya menjadi pendeta), akupun me mpunyai setitik kenangan manis ku bersa ma mu.” Keng Cin-s in dapat me maha mi maks ud perkataan dari Ku See- hong itu. Ia merasa terharu sekali hingga titik air mata jatuh bercucuran me mbasahi wajahnya yang putih halus.
Dengan le mbut Keng Ci-sin balas me me luk pinggangnya yang kekar dan mene mpe lkan wajahnya di atas dadanya yang bidang, tiba-tiba saja ia merasa dirinya seakan-akan terjerumus ke dalam samudra luas yang tiada bertepian, ia merasa bagaikan tak berada di dunia lagi, ternyata empat buah bibir mereka yang hangat telah saling berpadu….
Entah berapa saat kemudian, mereka baru menyelesaikan ciuman yang hangat dan mesra itu.
Dengan air mata me mbasahi pipinya, Keng Cin-sin berkata sambil tertawa getir:
“Inilah nilai yang kuperoleh dari pengorbanan cinta kasihku sepanjang hidup…. Sekarang, cepat-cepatlah kau tinggalkan te mpat ini, jangan sampa i ketahuan mereka. Bila sa mpai dikerubuti jago lihay, kaupun tak akan lolos dari kematian, bahkan pengorbananku inipun akan menjadi sia-sia belaka….”
Sambil berusaha keras menahan kepedihan hatinya, di sudut gua yang gelap Ku See-hong berganti pakaian. Walaupun perutnya waktu itu lapar sekali, namun ia tak bernafsu lagi untuk menghabiskan hidangan tersebut.
Waktu itu, sore hari sudah menjelang tiba, sisa sang surya di waktu senja me mencarkan cahaya ke e mpat penjuru….
Mendadak… dari luar gua berkuma ndang suara pekikan nyaring yang tajam dan me me kikkan telinga, kemudian dengan suatu gerakan cepat, tampak bayangan manus ia berkelebat lewat, tampaknya di sekitar tempat itu telah kedatangan jago-jago yang sangat banyak.
Paras muka Keng Cin-sin berubah berat, dengan suara agak gemetar bisiknya: “Aduh celaka, jejak kita sudah ketahuan, cepat kau gunakan ilmu mer ingankan tubuhmu yang sempurna untuk kabur ke arah selatan, aku akan berusaha mati-matian untuk menghadang pengejaran mereka.”
Ku See-hong merasa hatinya berat sekali, bagaimanapun juga ia tak tega me mbiarkan kekasih hatinya tewas di tempat itu.
Dengan suara yang me milukan hati ke mbali Keng Cin-sin berseru:
“Engkoh Hong, cepat lari, cepat lari! Apakah kau ingin menyaksikan Adik Sin- mu mati dengan me mbawa penyesalan?”
Suaranya yang me milukan hati me mbuat perasaan orang menjadi semakin kalut dan kacau tak karuan.
“Sela mat berpisah kekasihku yang kucintai,” ucap Ku See-hong ke mudian sa mbil me nghela napas sedih, “Aku akan selalu mengingat raut wajahmu dalam hati kecilku….”
Tiba-tiba Ku See-hong mendonga kkan kepalanya dan berpekik panjang, dalam pekikan tersebut penuh disertai oleh rasa benci, gusar dan dendam yang me mbara.
Begitu pekikan panjang itu bergema, sambil me mbawa hati yang lara dan duka, Ku See-hong me mpercepat langkahnya menerjang keluar dari gua tersebut.
Pada saat itulah, segulung he mbusan angin pukulan yang amat dahsyat, dengan cepatnya menggulung tiba.
“Engkoh Hong, cepat kabur ke arah selatan, biar adik yang menghadapinya di tempat ini!” bentakan merdu berkumandang datang. Ternyata orang yang melancarkan serangan itu tak lain adalah Sau-kiongcu dari istana Huan- mo-kiong Si Pedang Emas Cia Tiong-giok. Dengan sepasang mata me mancarkan cahaya buas yang mengerikan, ia segera me mbentak nyaring:
“Sumoay, kau perempuan rendah yang tak tahu malu, pagar makan tanaman! Sudah sepuluh tahun la manya ayahku mendidikmu, tapi… kau… Pun kiongcu bersumpah akan mencincang tubuh kalian anjing laki-la ki dan pere mpuan berdua menjadi hancur berkeping-keping!”
Untuk me lindungi kekasihnya agar berhasil melo loskan diri dari pulau Huan- mo-to, dengan nekadnya Keng Cin-sin menggerakkan sepasang telapak tangannya melancarkan serangkaian pukulan dahsyat yang rapat bagaikan jaringan laba-laba.
Bukan saja semua serangan itu dilancarkan dengan ganas dan buas, bagaikan bendungan yang jebol saja, mengalir terus tiada habisnya. Setiap jurus serangan yang digunakan hampir semuanya merupakan jurus-jurus serangan yang tangguh, betul-betul sukar dilukiskan dengan kata-kata.
Si Pedang Emas Cia Tiong-giok betul-betul naik pitam, pedang emas di tangannya segera digetarkan keras menciptakan berpuluh- puluh t itik cahaya bintang yang taja m. Cahaya pedang menya mbar seperti amukan arus sungai yang deras, kemanapun pukulan musuh tiba, di situ pula pedangnya menya mbut secara ganas.
Sementara itu, Ku See-hong telah mengerahkan ilmu mer ingankan tubuhnya yang sempurna untuk melesat sejauh tiga puluh-e mpat puluh kaki dari tempat semula, tapi tak tahan, ia segera berpaling ke mbali.
Tiba-tiba… dua kali pekikan nyaring yang tajam dan dingin menyeramkan berkumandang me mecahkan keheningan, lalu tampak ada dua sosok bayangan manusia yang mengejar di belakang Ku See-hng dengan kecepatan tinggi.
Melihat itu, Keng Cin-sin merasa amat terkejut, sambil me mbentak keras sepasang telapak tangannya digetarkan ke depan menciptakan selapis bayangan tangan yang menyelimut i angkasa. Tenaga pukulan yang dahsyat bagaikan ambruknya bukit, datang segera melanda ke tubuhnya Si Pedang Emas Cia Tiong-gio k.
Setelah itu, tubuhnya melejit ke udara, sepasang telapak tangannya dengan membawa cahaya perak yang menyilaukan mata langsung meluncur ke depan dan menghadang jalan pergi kedua orang itu.
Ketika ia menyaksikan Ku See-hong mas ih berdiri kaku di sana, ia lantas menjer it keras:
“Engkoh Hong… cepat pergi dari situ! Di alam baka, adik Sin- mu akan selalu mencintaimu…. Cepat lari!”
Tak terlukiskan rasa haru Ku See-hong setelah menyaksikan Keng Cin-sin mati- matian bertarung melawan tiga orang jago lihay dengan tujuan untuk menyelamatkan jiwanya. Tanpa terasa, titik air mata jatuh berlinang me mbasahi pipinya.
Ia segera menengadah dan berpekik sedih, kemudian secepat sambaran kilat pe muda itu kabur ke arah selatan.
Dalam pada itu, segenap anggota istana Huan-mo- kiong telah menerima tanda bahaya dan berbondong-bondong datang ke sana.
Keng Cin-sin segera mengerahkan segenap kepandaian silat yang dimilikinya untuk menerjang ke kiri dan ke kanan, me lejit, melayang dan berkelit untuk menahan serangan gabungan dari musuh- musuhnya.
Waktu itu, sekujur badannya telah bermandikan darah segar, peluh me mbasahi badannya, sementara paras mukanya berubah menjadi pucat pias… namun ia masih bertarung mati- matian untuk menghadang jalan pergi kawanan jago lihay itu.
Namun la ma kela maan ia mulai tak tahan. Gadis itu mulai keteter hebat dan mundur terus t iada hentinya.
Dalam pada itu, Ku See-hong dengan ilmu mer ingankan tubuhnya yang sempurna telah tiba di tepi pantai laut.
Tapi pada saat itu pula Ku See-hong mendengar jeritan ngeri yang memilukan hati berkumandang me mbelah angkasa. Itulah jeritan orang sekarat menjelang ke matiannya… lalu terdengar seseorang menjerit lengking: “Engkoh Hong… Adik Sin… akan… akan berangkat selangkah lebih dulu… kau….”
Tiba-tiba jeritan itu terputus sa mpai di tengah jalan dan… suasana pun pulih me njadi tenang ke mbali.
Ku See-hong segera merasakan badannya seperti dihantam dengan martil yang berat sekali, hawa darah di dalam dadanya bergolak keras dan tak a mpun lagi, dia muntahkan darah segar. Pikirannya serasa melayang tak menentu, hatinya bimbang dan kosong….
Dari sepuluh hal yang dijumpa inya di dunia ini, ada delapan sembilan maca m yang tak dapat me menuhi harapannya. Keadaan semaca m ini benar-benar me medihkan hati, me milukan hati….
Cinta kasih sayang telah berjanji di antara mereka berdua telah bersemi begitu menda la m, sepanjang hidup ia tak akan me lupakannya lagi. Pengorbanan dari Keng Cin-sin ini merupa kan suatu pengorbanan yang amat mulia. Sifat perempuan seperti ini boleh dibilang merupa kan sifat seorang pere mpuan yang sejati….
Sang surya telah tenggelam di langit barat, menyusul ke mudian kegelapanpun mulai menyelimuti angkasa….
Ombak menggulung-gulung saling mengejar….
Samudra terbentang luas tak bertepian, angin barat yang kencang berhembus menderu-deru, omba k menggulung a mat dahsyat. Sebuah sampan kecil tero mbang-a mbing dima inkan omba k, terbawa arus ke tempat kejauhan… menga lir tanpa arah tujuan….
Ketika o mbak me mecah ke tepian sa mpan, segera terpecahkan buih-buih air yang me mecah ke e mpat penjuru, sampan kecil itu tergoncang keras, namun seorang pemuda tampan yang ada di ujung sampan itu masih berdiri tegak di tempat. Sepasang matanya yang jeli menatap ke tempat kejauhan sana, me mandang tanpa berkedip. Ia tampak begitu menyendir i, begitu pedih. Hati kecilnya telah mender ita luka yang parah, me mbuat ia tak akan melupa kan kejadian ini untuk sela ma-la manya, sebab luka itu sudah me mbekas dalam-da lam di hati kecilnya.
Biar langit menjadi tua, air laut mongering, manusia bisa berubah-ubah, namun cinta kasihnya kepada gadis itu tak akan berubah walau seratus tahun, seribu tahun, selaksa tahun sekalipun….
Biar jagad berumur panjang, biar langit berlangsung berjagad abad, rasa dendam dalam hatinya tiada terbatas.
Ia mendenda m, dendam yang sedalam-da la mnya. Ia me mbenci kepada langit. Me mbenci kepada bumi, me mbenci kepada setiap manus ia laknat yang ada di dunia ini.
Mengapa nasibnya seburuk ini?
Mengapa gadis cantik selalu diberkahi umur yang pendek…?
Dia seakan-akan mendengar lagi suaranya, seolah-olah menyaksikan ke mbali raut wajahnya, seakan-akan mengendus pula bau harum se merbak yang keluar dari badannya.
Darah kental serasa meleleh keluar dari hatinya, ia merasa hatinya telah hancur luluh, hancur luluh untuk sela manya….
Ia tidak menangis, namun air matanya telah meleleh keluar hingga monger ing… dan kini hanya darah yang mele leh keluar menggantikan air mata.
Kalau dibilang impian, maka peristiwa itu merupa kan impian yang paling buruk.
Kalau dibilang khayalan, maka peristiwa itu merupakan khayalan yang paling me me dihkan hati.
Kalau dibilang kesedihan, hal ini merupakan suatu peristiwa yang me milukan hati. Kalau dibilang benci dan denda m, tiada kebencian dan dendam kesumat yang dapat menandingi perasaan benci dan dendam yang berkobar dalam hatinya saat ini.
Aliran udara yang berubah-ubah, kabut yang melayang tipis seolah-olah muncul dari permukaan laut, me mbuat pemandangan di sekeliling tempat itu kabur. Kabut yang menyelimuti sekeliling tempat itu makin la ma se makin menebal, me mbuat sekeliling tempat tersebut berubah menjadi putih.
Kabut tebal yang muncul secara tiba-tiba ini merupakan suatu keistimewaan dari lautan Lam-hay, tapi justru mendatangkan banyak kemurungan dan kesulitan bagi para nelayan yang tinggal di sekitar sana.
Sampan kecil itu bagaikan perasaan dari penumpangnya, terombang-a mbing tanpa arah tujuan. Dalam sekejap mata, bayangan sampan itu tahu-tahu sudah lenyap di balik tebalnya kabut yang menyelimut i te mpat itu.
Kegelapan mala m di tepi laut terasa begitu tenang, sunyi….
Terasa pula begitu indah, penuh mengandung ilha m- ilham untuk me mbuat syair atau lukisan.
Bintang-bintang yang bertaburan di angkasa, me mancarkan kerlipan cahaya yang redup dan menyoroti permukaan sa mudra yang luas tak bertepian. Ketika angin le mbut berhembus sepoi- sepoi, tampak r iak ombak yang saling mengejar, bagaikan ular-ular perak kecil yang sedang saling mengejar….
Indah, indah, indah, benar-benar suatu pe mandangan yang indah rupawan….
Pemandangan alam di ma lam ini terasa dingin dan sepi, angin barat berhembus kencang, di langit tiada rembulan, hanya titik bintang yang me mercikkan sinar redup.
dw WAKTU itu, di tepi pantai pasir yang luas, tampak seorang pemuda yang sedang berdiri termangu- mangu sa mbil me mandang lautan yang tak bertepian dengan pandangan kosong. Wajahnya tampak a mat sedih, kesal dan mur ung, ia berdiri me mbungka m tak mengucapkan sepatah katapun juga.
Apa yang sedang dilihatnya?
Sudah tiga mala m ia berada di situ, mala m ini merupakan mala m yang ke-empat….
“Aaai…” pe muda itu me mperdengarkan helaan napasnya yang pedih.
Dari helaan napasnya yang me medihkan hati, bisa kita ketahui, bahwa perasaan anak muda itu sedang sedih sekali…. Yaa, hatinya telah menderita luka yang begitu parahnya sehingga ha mpir tercabik-cabik, ha mpir saja ia tak berkeyakinan lagi untuk hidup di dunia ini.
Namun, bara api dendam yang berkobar di dalam dadanya me mbuat ia bertekad untuk hidup terus, selain itu bisikan merdu yang melintas kemba li dalam ingatannya me mbuat ia harus berani hidup lebih lanjut.
Ia berada di sana karena ia hendak me ngenang ke mba li wajahnya, mengenang kembali suaranya, serta mengenang ke mbali kenangan manisnya yang hanya sejenak.
Tiba-tiba, bagaikan orang yang sedang mengigau ia berguma m seorang diri:
“Wahai Ku See-hong, benarkah nasibmu sela ma ini begitu jelek? Setiap orang yang pernah melepaskan budi kepadaku, mengapa Thian selalu me misahkan mereka jauh- jauh dariku? Yaa… me misahkannya begitu jauh…? Kedua orang tuaku yang telah me lahirkan aku, guruku yang mengajarkan kepandaian kepadaku, beratus-ratus saudara dari Kim-to-pang, dan dia… Keng Cin-sin.” Ketika menyebut nama Keng Cin-sin, Ku See-hong merasa suaranya menjadi parau. Sepanjang hidupnya belum pernah ia mencintai pere mpuan, tapi sekali jatuh cinta, ma ka perasaan cintanya itu jauh lebih tebal daripada orang la in.
Ku See-hong ter menung sebentar, tiba-tiba selintas perasaan yakin melintas lewat di atas wajahnya, kemba li dia berguma m:
“Keng Cin-sin, dia tak mungkin akan mati, aku percaya, Thian tak akan bersikap….”
Tapi serentetan jeritan ngeri serta jeritan menjelang ke matian, sekali lagi berkumandang di sisi telingannya dan me motong ucapan selanjutnya….
Lewat la ma ke mudian, ia baru berguma m lebih jauh:
“Adik Sin, walaupun kau telah tiada lagi, namun hatimu dan bayangan tubuhmu sela manya akan tertera di hatiku. Aku bersumpah akan me mbalas dendam, akan kuratakan Huan- mo- kiong di La m-hay itu dengan tanah, kemudian akan kute mukan kerangka mu dan sela ma hidup akan kutemani dirimu….”
Mendadak… dari belakang tubuh Ku See-hong berkumandang suara tertawa seram yang amat menggidikkan hati.
Dengan kening berkerut dan gerakan yang cekatan Ku See-hong segera memba likkan tubuhnya. Sorot mata yang tajam menyeramkan terpancar keluar dari balik matanya, dengan cepat dia berpaling ke arah mana berasalnya suara itu….
Tapi ibaratnya minyak berte mu api, mendada k api dendam yang berkobar dalam dadanya menggelora dengan hebatnya. Giginya digertakkan sampai berbunyi ge merutan. Sorot matanya yang tajam segera beradu pandang dengan sinar mata buas dari lawannya….
Lebih kurang e mpat kaki di hadapan Ku See-hong telah berdiri seorang pemuda tampan berbaju biru. Dia tak lain adalah sau- kiongcu dari istana Huan- mo- kiong, Si Pedang Emas C ia Tiong-gio k. Di belakang pe muda itu berdiri e mpat orang lelaki berca mbang yang me maka i baju biru, di punggung masing- masing mengge mbo l sebilah pedang panjang berwarna kuning e mas.
Sekulum senyuman sinis yang tak sedap dipandang tersungging di ujung bibir Kim-kia m Cia Tiong-gio k, ujarnya dingin:
“Orang she Ku, hari ini kau tak akan lolos lagi dari cengkeramanku. Ayo cepat serahkan nyawa anjingmu itu!”
Ku See-hong tahu kalau ilmu silat yang dimiliki lawannya jauh lebih tinggi daripada kepandaian yang dimilikinya… tapi waktu itu kobaran api benci dan dendam telah menyelimuti seluruh benaknya. Ia tak ambil perduli terhadap semua persoalan itu. Sesudah mendengus gusar, katanya dengan suara menggeledek:
“Orang she Cia, apakah Keng Cin-s in telah dibunuh oleh kalian anjing-anjing laknat…?”
Kim- kiam Cia Tiong-giok segera mendongakkan kepalanya dan tertawa seram, sahutnya sinis:
“Orang she Ku, kau benar-benar tak tahu malu, berani benar kau me mikat hati sumoayku untuk mengkhianati perguruan. Hmm, tentunya aku pernah mendengar bukan akan peraturan dari Huan- mo- kiong? Apa hukumannya bila berani mengkhianati perguruan? Sekarang, aku pikir ada baiknya jika kau persiapkan dulu urusan belakangan, kalau tidak, mungkin keadaannya tak akan sempat lagi.”
Ku See-hong mendengar perkataan itu merasakan hatinya tercekat, sekarang ia sudah percaya kalau Keng Cin-sin benar-benar telah mengorbankan diri. Dengan peraturan Huan- mo-kiong yang turun temurun terkenal akan keketatannya, barang siapa yang berani melanggar peraturan, entah itu anak sendiri atau bukan, semuanya akan dijatuhi hukuman mati.
Si Pedang Emas Cia Tiong-giok tertawa dingin, dengan suara menger ikan lalu berkata lagi: “Orang she Ku, kau harus tahu, tempat suci Huan- mo-kiong tak pernah mengijinkan orang untuk berbuat se mena- mena di situ. Sekalipun tiba di sana tanpa sengaja, juga tiada kehidupan baginya. Tapi kau benar-benar tak tahu diri, selain me masuki daerah suci, sesumbar hendak me mbalas denda m, me mbunuh anggota istana kami, berani pula me mikat sumoayku hingga berkhianat. Dengan beberapa dosa yang kau langgar sekaligus, tiada a mpun lagi untuk jiwa anjingmu itu. Pihak ka mi juga tak akan melepaskan kau dengan begitu saja, sebelum kucincang tubuhmu hingga hancur berkeping- keping belum puas rasanya diriku.”
Dalam pada itu, secara dia m-dia m Ku See-hong telah menghimpun tenaga dala mnya untuk bersiap sedia menghadapi serangan lawan.
Ketika mendengar ucapan tersebut, dengan dingin ia lantas berkata:
“Hmm! Te mpat-te mpat maks iat, tempat berkumpulnya sekawanan sampah masyarakat dalam dunia persilatan juga beraninya disebut tempat suci? Huuuhh… betul-betul tak tahu malu. Aku orang she Ku mempunyai dendam kesumat sedalam lautan dengan kalian orang-orang Huan- mo-kiong, aku bersumpah tak akan hidup berda mpingan dengan kalian.
Sekarang, kaupun tak usah me mbuang waktu lagi, saat dibukanya pintu neraka sudah tiba. Aku orang she Ku harus segera mengantar mu agar cepat-cepat melakukan perjalanan jauh….”
“Heeehh… heeehh… heeehh… sekalipun ingin mat i juga tak usah begitu tergesa-gesa,” jengek Si Pedang Emas Cia Tiong-giok sa mbil tertawa dingin, “Aku ingin bertanya kepadamu, bulan berselang ketika kau mendatangi Huan- mo- kiong kami untuk me mbalas dendam, sebetulnya siapakah dari anggota istana Huan-mo- kiong kami yang telah mengikat tali per musuhan denganmu?”
Mendengar pertanyaan itu, Ku See-hong seolah-olah menyaksikan ke mbali mayat-mayat tanpa kepala yang tergeletak di mana- mana, dengan sorot mata berapi-api karena kobaran api dendam ia me mbentak keras:
“Orang she Cia, bapakmu betul-betul bedebah tua yang tak tahu peraturan dunia persilatan. Selama tahun berselang, ketika yaya-mu Hu-hay it-kia m beradu pedang dengan Bu-lim ti- it-kia m dalam istana Huan- mo-kiong, kakekmu itu telah kena dikalahkan setengah jurus dan harus menyerahkan pedang pendek Huan- mo-kiong sebagai tanda kepercayaan. Barang siapa yang memegang pedang tersebut, ia berhak untuk mengenda likan dan menghukum kalian orang-orang dari Huan- mo-kiong, tapi kenyataannya bapakmu Han-tian it-kia m berambis i besar. Bulan berselang ia berani menyerbu lagi ke daratan Tionggoan dengan me mbawa kawanan jago lihay, bukan saja berani me mbantai orang secara brutal juga berani mera mpas ke mbali pedang Huan- mo- kiam itu dari tangan orang-orang Kim-to-pang….”
Mendengar sampa i di situ, Si Pedang Emas Cia Tiong-giok merasa bangga berca mpur ge mbira. Ia girang sebab ayahnya telah berhasil merebut ke mbali pedang pendek Huan- mo-kia m itu.
Maka ia tertawa terbahak-bahak dengan seramnya, kemudian menukas ucapan Ku See-hong yang belum selesai:
“Maaf, maaf. Kalau menurut cerita mu itu, tampaknya kau adalah putranya Ku Kia m- cong, pangcu dari Kim-to-pang.”
Dia m-dia m Ku See-hong terkejut juga menyaksikan kecer matan Si Pedang Emas Cia Tiong- giok tersebut.
Ia sadar pertarungan yang dihadapinya mala m ini merupakan suatu pertempuran yang amat seru, kalau bukan lawannya yang mati maka dialah yang ma mpus, padahal ilmu silat yang dimiliki pun tidak yakin bisa menangkan lawannya. Itu berarti bila dia tidak berusaha mengenda likan kobaran api gusarnya sekarang, besar ke mungkinan dia akan mati dengan me mbawa kecewa.
Begitu ingatan tersebut melintas lewat dalam benaknya, sikapnya menjadi tenang ke mbali, katanya dengan suara dingin: “Orang she Cia, dendam kesumat di antara kita berdua, aku rasa tentunya kau sudah memaha mi, bukan? Dengan perbuatanmu yang begitu keji dan rendah, sekalipun bakal mati di tanganku mala m ini, tentunya kau tak akan menyesal, bukan?”
Ketika Si Pedang Emas Cia Tiong-giok me njumpai Ku See-hong yang gusar tiba-tiba berubah menjadi tenang… dengan cepat ia lantas berpikir:
“Orang ini me miliki se maca m kepandaian sakti yang amat luar biasa, belum tentu ka mi berlima sanggup untuk merobohkan dirinya. Barusan sebetulnya aku berniat untuk mengobar kan hawa amarahnya agar perhatiannya terpecah belah, kemudian baru me lancarkan serangan me matikan, siapa tahu ia begitu cekatan. Tampaknya orang ini benar-benar merupakan musuh tangguh yang belum pernah dijumpai sepanjang hidupku….”
Angin laut di musim gugur ini terasa amat dingin, me mbuat bulu kuduk orang pada berdiri.
-oodwoo-