Jilid 07
SEAKAN-AKAN menerima suatu penghinaan yang amat besar, mendadak Im Yan cu mendengus karena mendongkol, ke mudian air matanya jatuh bercucuran me mbasahi wajahnya.
Tergetar keras perasaan Ku See-hong setelah menyaksikan gadis itu mengucur kan air matanya, dia berpikir:
“Mungkin dalam hatinya terdapat suatu persoalan yang amat me medihkan hatinya, aku sebagai seorang lelaki sejati, tidak seharusnya bersikap demikian kepadanya sehingga me mbuat dia menjadi mendo ngkol. Aaai… watak setiap orang sebetulnya baik semua, cuma watak gadis ini agak aneh saja, siapa tahu kalau keanehannya itu dipengaruhi oleh gurunya…?”
Setelah berhasil menje laskan sendiri kesulitan orang, sikapnya pun turut berubah menjadi lebih le mbut dan halus, katanya pelan:
“Nona Im, kau me mpunyai rahasia apakah yang menyulitkan dirimu? Silahkan kau katakan, bila aku orang she Ku bisa me lakukannya pasti akan kubantu sedapat mungkin.”
“Banyak urusan!” bentak Im Yan cu. “Pergi kau dari sini, ma kin jauh se makin baik, hayo pergi!”
Ucapan yang terakhir itu ternyata sudah mendekati setengah menjer it, meski demikian, na mun suara hatinya ketika itu justru merupakan kebalikan dari teriakannya tadi, betapa tak inginnya dia me mbiarkan Ku See-hong pergi meninggalkan te mpat itu. Ku See-hong yang tidak me maha mi perasaan perempuan dan seluk beluknya wanita segera menghela napas panjang, guma mnya:
“Perempuan, wahai pere mpuan… kau me mang ma khluk yang sukar untuk dihadapi.”
Selesai berguma m, tubuhnya segera melayang ke tengah udara dan di tengah desingan angin taja m, tubuh Ku See-hong yang gagah perkasa itu sudah lenyap dari pandangan mata.
Me mandang bayangan punggung Ku See-hong yang lenyap di balik kegelapan itu, Im Yan cu yang cantik jelita bagaikan bidadari itu tak dapat menahan luka di hatinya lagi, tak bisa dicegah diapun menangis tersedu-sedu dengan sedihnya.
Seorang gadis re maja yang baru me kar perasaan cintanya selalu me mang panas dan bergairah, ketika ia berte mu dengan seorang lelaki yang mence koki perasaannya, maka diapun berusaha mengesa mpingkan sifat malunya untuk menunjukkan perasaan cinta yang berkobar terhadap lawan jenis yang ditujunya itu.
Akan tetapi di kala mendapatkan sikap yag jauh di luar kehendaknya, bahkan pihak lawan menunjukkan sikap segannya, maka gadis itupun merasa harga dirinya tersinggung, tak hran kalau Im Yan cu merasakan haitnya benar-benar amat pedih.
Bila seorang gadis le mah yang tak punya orang tua dan hidup sebatang kara macam dia tidak me miliki sifat yang keras dan iman yang teguh, biasanya dia akan mengambil keputusan pendek bila menghadapi pukulan batin se maca m ini.
dw
Waktu itu, kentongan kedua telah menjelang. Langit bersih dan jagad terasa hening….
Rembulan me mancarkan sinar le mbutnya dari angkasa dan menyinar i jalan pegunungan yang sepi. Pada saat itulah nampak sesosok bayangan manusia dengan kecepatan luar biasa sedang berkelebat lewat. Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki orang ini telah mencapai pada puncak kesempur naan yang luar biasa.
Pada mulanya dia sendiripun tak tahu kalau dirinya me miliki ilmu mer ingankan tubuh sedemikian lihaynya. Tatkala dia merasakan kalau ilmu ginkangnya telah mencapai ke tingkatan seperti itu, ma ka secara menggila diapun mengerahkannya sekuat tenaga, sebab dengan begitu rasa sesal di dalam hatinya baru dapat terlampiaskan.
Angin berhembus lewat menggoyangkan pepohonan, bayangan manus ia itu dengan enteng dan cepat berkelebat lewat, selain suara gemeris iknya dedaunan yang terhembus angin, di sekeliling sana amat sepi, hening dan tenang.
Dengan berlarian secepat sambaran petir itu, dalam waktu yang singkat Ku See-hong telah melewati belasan buah puncak bukit.
Mendadak….
Dia menghentikan diri di atas tebing curam, tepat di hadapan sebuah jeram yang luasnya delapan sembilan kaki, lalu mendonga kkan kepalanya dan menghe mbus kan napas panjang. Ia merasa se mua kekesalan dan ke mur ungan yang mengganja l dalam dadanya selama ini dapat dila mpiaskan keluar bersamaan dengan hembusan napas itu, dadanya terasa lega sekali.
Pelan-pelan Ku See-hong berjalan ke muka dan melengo k ke dasar jeram tersebut, ternyata dalamnya mencapai dua puluhan kaki. Air terjun tumpah ke bawah dari puncak bukit dan menumbuk di atas batu-batu cadas di dasar jeram. Percikan air muncrat ke empat penjuru dan menimbulkan suara ‘ting tang ting’ yang merdu, hembusan angin yang menggoyangkan dedaunan menciptakan pula serangkaian perpaduan suara yang lembut dan syahdu.
Mendadak…. Serentetan jeritan ngeri yang me milukan hati la mat- la mat berkumandang datang dari kejauhan sana. Suara tersebut berkumandang secara beruntun dan merupakan jeritan sekarat menjelang tibanya ajal, selain itu terdengar pula serentetan suara tertawa dingin yang a mat seram, keras dan menger ikan hati. Perpaduan suara yang beraneka ragam itu menciptakan suatu ira ma nada yang mengerikan di tengah kegelapan mala m itu dan cukup mendir ikan bulu ro ma siapapun yang mendengarnya.
Perasaan Ku See-hong yang tajam dengan cepat dapat menyadari kejadian apakah yang telah berlangsung di situ…. Suatu pembunuhan berdarah karena luapan denda m.
Dengan tenang dia berdiri tegak di tempat semula, sementara sepasang matanya yang me mancarkan cahaya tajam pelan-pe lan menyapu sekeliling jeram itu dan me mer iksa asal mulanya suara jeritan tadi. Namun kecuali aliran air sungai serta hembusan angin yang mendesis, suasana di sekeliling tempat itu masih tetap sepi, hening dan tak kedengaran sedikit suara pun.
Jeritan ngeri serta gelak tertawa menyeramkan yang berge ma tadi, meski berlangsung secara beruntun, tapi oleh karena suara itu mengge ma secara tiba-tiba, lagipula sekejap mata ke mudian segala sesuatunya telah menjadi tenang kembali, ma ka Ku See-hong menghentikan pencariannya dan dia m-dia m berpikir:
“Pe mbunuhan berdarah se maca m itu, mengapa bisa berubah menjadi tenang ke mbali dalam waktu singkat? Kalau begitu ilmu silat yang dimiliki orang itu sudah pasti lihay sekali atau mungkin korbannya adalah orang-orang yang tak pandai berilmu silat.”
Berpikir sampa i di situ, Ku See-hong segera beranjak dan me langkah pergi ke arah mana berasalnya suara itu, kemudian me lakukan pencarian dengan seksa ma.
Dengan menelusur i jeram tersebut ia berjalan lebih kurang seratus kaki lebih mendadak sorot matanya mene mukan sesuatu.
Di sebelah kanan jeram, dia mene mukan sebuah jembatan kecil yang terbuat dari kayu je mbatan itu berdiri dari sebuah balok kayu yang dipalangkan dari tebing seberang ke tepi tebing sebelah sini. Di ujung je mbatan sebelah depan sana, di balik rimbunnya dedaunan tergantung sebuah lentera merah yang tergantung tinggi dan bergoyang ketika terhe mbus angin.
Ku See-hong mengerutkan dahinya, suatu pemandangan yang menger ikan seakan-akan terlintas dalam benaknya.
Jeram yang menganga di bawahnya amat dalam, sedang jembatan itu tergantung di atas awang-awang, mes ki lebarnya dua jengkal tapi bawah jeram tersebut merupa kan gulungan air dengan omba k yang dahsyat serta arus yang deras, bila seseorang tidak bernyali dia akan pusing kepalanya bila berdiri di situ jangankan lewat, berdiripun tak berani.
Maka setelah menyaksikan bentuk jembatan itu Ku See-hong segera tahu kalau orang yang menghuni di sana sudah pasti jago persilatan yang mengerti ilmu silat.
Dalam sekejap mata, Ku See-hong telah berjalan menuju ke bawah tebing seberang. Ketika ia mencoba untuk me mperhatikan keadaan di sekitarnya, tampaklah di sa mping jembatan tersebut terdapat sebuah hutan. Di balik hutan terdapat sebuah rumah kecil yang terbuat dari batu, sinar lentera tampak keluar dari balik ruma h tersebut.
Lentera merah yang terlihat tadi, tergantung di atas rumah batu itu. Ku See-hong segera menghimpun tenaga dala mnya, kemudian sambil menyingsingkan baju dia melo mpat ke depan dan mengintip ke dalam rumah tadi.
Paras mukanya mendada k berubah hebat, untung saja selama berdiri di kuil kuno dulu sudah biasa terlatih untuk menghadapi hal- hal yang menyeramkan, kalau t idak….
Kiranya di dalam rumah batu itu, di samping meja tergeletak dua sosok mayat. Sekilas pandangan tampak kedua sosok mayat itu me miliki perawakan tubuh yang tinggi kekar. Mereka mengena kan baju ringkas berwarna emas dengan sebuah golok besar bergaris emas yang me mancar kan sinar tajam tersoreng di pinggangnya. Batok kepala kedua orang itu sudah dibikin gepeng sehingga paras mukanya sukar terlihat lagi.
Setelah menyaksikan dandanan dari kedua orang lelaki itu wajah Ku See-hong segera diliputi oleh kabut hitam, pikirnya:
“Kalau dilihat dari dandanan mere ka, tampaknya kedua orang itu mengenakan dandanan dari anggota perkumpulan Kim-to-pang yang dulu didirikan oleh kedua orang tuaku, semenjak ayah ibu mati terbunuh, seluruh perkumpulan Kim-to-pang juga bubar tak karuan….”
Terbayang kembali ke matian kedua orang tuanya yang dibunuh orang secara mengerikan, tanpa terasa titik ar mata jatuh berlinang me mbasahi wajahnya. Dengan cepat pikiran dan perasaannya juga terjerumus dalam kepedihan yang bukan kepalang.
Cahaya lentera dalam ruangan itu masih me nyoroti tubuh kedua sosok mayat itu. Ini se mua me mbuat tanah pebukitan yang hening dan sepi itu terasa ma kin mengerikan dan menggidikkan hati.
Ku See-hong tertegun beberapa saat lamanya, kemudian menghe la napas sedih. Sepasang matanya me mperhatikan kedua sosok mayat itu sekejap, lalu sambil me nelusuri undak-unda kan batu di sisi kiri ruma h kecil itu, menuruti tebing tadi.
Suaana di bawah tebing amat sepi dan hening, bintang-bintang di angkasa juga bertaburan menyiarkan cahaya yang redup, di bawah tebing merupakan sebuah tanah persawahan yang luas, di belakang sawah adalah bangunan rumah yang rapat menyerupai sebuah perkampungan. Cahaya lentera tampak me mancar keluar dari antara bangunan rumah itu.
Pelbagai ingatan berkeca muk dalam benak Ku See-hong. Dia sedang berpikir, betulkah di dalam perka mpungan itu berdiam para pengikut setia ayah ibunya yang tergabung dalam Kim-to-pang? Benarkah mereka mengasingkan diri di sana sa mbil berusaha untuk me lanjutkan perjuangan perkumpulannya? Makin la ma Ku See-hong merasakan hatinya se makin tidak tenang. Setelah mendengar jeritan ngeri yang bergema tadi, ke mudian me nyaksikan suasana mengerikan yang terbentang di depan mata, suatu firasat jelek tiba-tiba saja muncul dalam hatinya.
Dengan cepat dia menyeberangi tanah persawahan itu. Tampak di sebelah kiri sana terbentang sebuah sungai yang lebarnya dua kaki. Air mengalir dengan derasnya, sedang di sebelah kanan tampak tanah perbukitan menjulang tinggi ke angkasa di bawah pantulan cahaya rembulan, menciptakan suatu pemandangan yang indah.
Di depan sana berdiri sebuah bukit yang tinggi. Di kaki bukit berdiri sebuah bangunan perka mpungan, ketika berjalan makin dekat tampaklah bangunan loteng dan gardu se makin jelas.
Di luar hala man perkampungan itu berdirilah sebuah dinding perkampungan yang tingginya beberapa kaki, pintu gerbang yang berwarna hitam pekat didirikan menghadap ke arah selatan.
Waktu itu pintu terbuka lebar, di atas pintu tertancap dua bilah golok e mas yang menyilang. Di bawah pancaran sinar re mblan tampak cahaya emas yang berkilauan.
Ku See-hong berhenti sebentar di depan pintu. Ke mudian mengulur tangannya untuk menepuk gelang pintu keras-keras. Ketika gelang pintu yang terbuat dari emas itu saling beradu terdengarlah bunyi dentingan yang a mat merdu.
Tapi, suasana di dalam ruangan tetap sepi, bahkan keheningan tersebut erbawa pula suasana yang menyeramkan. Ku See-hong merasa hatinya makin berat, keningnya berkerut kencang, baru saja kakinya melangkah masuk ke balik pintu, bau amis darah yang sangat tebal dengan cepatnya menyelimuti di seluruh angkasa.
Apa yang terbentang di depan matanya hampir saja me mbuat anak muda itu tertegun, benar-benar suatu pemandangan yang amat menggidikkan hati. Di dalam hala man di balik pintu gerbang bercat hitam itu berbaringlah tiga puluhan sosok mayat. Kalau dilihat dari dandanan maupun keadaan mereka, tak bisa disangkal lagi orang-orang itu me mang berasal dari satu rombongan dengan kedua orang lelaki kekar yang dijumpainya tadi.
Tubuh mere ka tidak dijumpai luka barang sedikitpun juga, tapi kepalanya sudah dihajar orang sampai hancur berantakan. Mayat mereka bergelimpangan tak karuan, agaknya sebelum dibunuh mereka telah terlibat dalam suatu pertarungan yang sengit.
Cahaya rembulan yang le mbut menyinar i noda darah di atas tanah. Cahaya lampu yang redup terpancar keluar dari balik ruangan mena mbah keseraman suasana te mpat itu.
Paras muka Ku See-hong berubah menjadi sangat berat, kalau dilihat dari bekas luka di atas mayat-mayat itu, dapat diketahui bahwa pembunuhan yang keji itu benar-benar me miliki ilmu silat yang maha dahsyat, dan lagi sudah pasti bukan satu orang. Paling tidak ada dua atau tiga orang yang terlibat.
Dari antara jago-jago lihay dalam dunia persilatan yang pernah dijumpainya belakangan ini, hanya Im Yan cu serta manus ia aneh berkerudung itu saja yang me miliki kepandaian sehebat itu.
Lalu siapakah orang-orang itu? Kenapa me mbunuh begitu banyak orang? Apalagi orang-orang yang dibunuhnya itu seperti anggota setia dari Kim-to-pang?
Pelan-pelan Ku See-hong berjalan masuk ke dalam ruang tengah, mendorong pintu ruangan dengan tangan kirinya….
“Kraaakkk…” suara mencicit yang tajam me mecahkan keheningan yang menceka m seluruh bangunan tersebut.
Pintu ruangan telah terbuka lebar tapi di dala mnya tak nampak sesosok bayangan manusia pun. Kemba li dia menelusur i ruangan itu dengan langkah pelan, la lu keluar lewat pintu sebelah kiri. Di luar ruangan merupakan sebuah beranda, bangunan di sana indah dan menawan. Di luar beranda na mpak sebuah jalan kecil beralaskan batu putih yang jauh menjoro k ke dala m.
Tiba-tiba Ku See-hong menyaksikan pula di kedua belah sisi jalan kecil itu, terkapar dua sosok mayat lelaki berca mbang yang me ma kai jubah berwarna kuning e mas, golok e mas yang tergantung di pinggangnya baru tercabut separuh, tubuhnya yang tidak ditemukan luka, cuma kepalanya yang basah oleh darah. Noda darah itu meresap sa mpai jauh ke dalam tanah di tepi ja lan itu.
Kembali Ku See-hong berjalan belasan langkah mene lusuri jalan itu, di sana ia temukan pula dua sosok mayat gemuk yang me maka i jubah berwarna kuning pula. Dua bilah golok e mas yang berbentuk aneh mencelat jauh sekali dari sisi mayat itu. Rambutnya penuh noda darah dan kepala merekapun hancur tak ada wujudnya.
Beberapa langkah lebih ke depan, terlihat pula sesosok mayat dari seorang kakek berjenggot panjang serta e mpat orang le laki bercambang. Tubuh merekapun tidak dijumpai luka, tapi kepalanya penuh dengan noda darah.
Di ujung ja lan kecil itu, di dalam gardu persegi enam ta mpak enam tujuh sosok mayat terkapar tak karuan bentuknya, ada yang tua, ada yang muda, ada yang kurus ada pula yang gemuk, tapi ke matian mereka mengerikan sekali.
Kendatipun Ku See-hong bernyali besar, tak urung hatinya dibikin bergidik juga setelah menyaksikan peristiwa itu, juga bergidik oleh kelihayan ilmu silat yang dimiliki pe mbunuh itu, juga bergidik oleh kekejian lawannya.
Selain daripada itu, muncul juga suatu perasaan marah dan sedih dalam hatinya, sebab orang-orang itu mirip sekali dengan anggota Kim-to-pang yang didirikan ayah-ibunya.
Ku See-hong tidak percaya kalau di dalam hala man itu sudah tiada seorang manusiapun, maka dia melanjut kan pe meriksaannya ke depan. Setelah melewati gardu persegi enam sampailah dia di sebuah halaman luas. Tapi apa yang terlihat me mbuat darahnya mendidih, giginya digertak kencang- kencang dan sinar matanya me mancar kan pancaran cahaya yang menggidikkan hati.
Dia merasa benci, benci yang tak terkirakan. Dia mendenda m terhadap kebuasan pembunuh itu. Kekeja man orang itu benar-benar tak terlukiskan dengan kata-kata.
Ternyata di dalam hala man tersebut berserakan mayat yang jumlahnya mencapai tiga empat puluh sosok dalam keadaan menger ikan… ternyata pembunuh kejam itu me mbunuh tanpa pilih bulu, baik anak kecil ataupun kaum wanita tak ada yang berhasil lolos dari pe mbunuhan biadab itu.
Perasaan Ku See-hong ketika itu penuh diliputi oleh peraaan sedih dan marah.
Dari balik sorot matanya yang tajam terpancar keluar sinar ke marahan yang menggidikkan hati, dia m-dia m ia bersumpah akan me mba laskan dendam bagi ke matian orang-orang itu, dia akan menggunakan cara yang sama kejinya, sama biadabnya dan sama buasnya untuk me mbalas dendam kepada pe mbunuh brutal itu.
Hal - robek….
Tiba-tiba muncul seorang kakek dalam keadaan terluka yang sangat mengerikan.
“Kalian pembunuh kejam yang berhati binatang sekalipun lohu berubah menjadi setan pun tetap akan menggaet nyawa kalian, kau… kau…!”
Setelah mengucapkan kata-kata itu dengan penuh emosi, seluruh tubuh kakek kurus itu ge metar keras dan gontai kesana ke mari, wajahnya yang menyeringai menyeramkan segera menunjukkan kesakitan hebat, sehingga kata-kata selanjutnya tak sanggup dilanjutkan lagi. Betapa girangnya Ku See-hong menyaksikan kakek kurus itu belum mati, dengan cepat dia me lo mpat ke muka dan mengha mpirinya.
Kakek kurus itu me ngira Ku See-hong hendak melancarkan serangan me matikan ke arahnya, dengan cepat dia me mbentak:
“Kau manusia berhati binatang, lohu akan beradu jiwa denganmu!”
Berbicara sampai di situ dia lantas menghimpun sisa tenaga dalam yang dimilikinya, dengan jari-jari tangan yang hitam pekat dan kurus kering ia sa mbar musuhnya, jari-jari tangannya yang direntangkan bagaikan cakar besi, ibaratnya sepuluh bilah pedang tajam langsung mencengkera m tubuh Ku See-hong.
Terkesiap juga hati Ku See-hong menghadapi anca man tersebut, sebab jurus serangan yang dipergunakan kakek itu selain aneh juga cepatnya bukan kepalang sehingga me mbuat orang tak tahu bagaimana caranya menghindarkan diri.
Ia tak berani me mbendung anca man tersebut dengan kekerasan, maka dengan mengerahkan ilmu Mi- khi-biau-tiong ia berkelit ke samping secara gesit dan aneh.
Agaknya isi perut kakek ceking itu sudah mengala mi luka yang cukup parah, batok kepalanya pun terkena sebuah pukulan yang me matikan, kesadarannya sekarang tak lebih karena me mpero leh tunjangan hawa murninya yang sempurna, sehingga dengan menganda lkan sehe mbus napas yang belum me mbuyar ia tetap me mpertahankan diri.
Sekarang setelah serangannya gagal mencapai sasaran dan sisa hawa murninya me mbuyar ia tak sanggup untuk me mpertahankan diri lagi, tubunya roboh terkapar ke atas tanah, napasnya tersengkal-sengkal, namun sorot matanya yang belum me mbuyar itu masih mengawasi wajah Ku See-hong dengan penuh kebencian.
Ku See-hong tahu bahwa kakek ini telah salah menganggap dirinya sebagai seorang pembunuh, buru-buru serunya: “Lo-pek… lo-pek, jangan marah dulu, boanpwe bukan seorang pembunuh, melainkan seorang perawat jalan belaka.”
Sementara itu, si kakek kurus itu sudah dapat melihat jelas kalau pendatang itu adalah seorang pemuda yang tampan, apalagi setelah mendengar suara dari Ku See-hong, dengan cepat ia tersadar bahwa si anak muda itu bukanlah pe mbunuh berhati binatang seperti apa yang diduganya se mula.
Walaupun begitu, hati kecilnya merasa terkesiap sekali, sebab dengan suatu gerakan yang begitu mudah pemuda itu telah berhasil menghindarkan diri dari serangan me matikannya yang dahsyat itu, padahal seingatnya hanya beberapa gelintir manusia saja dalam dunia persilatan yang ma mpu me lakukan hal itu.
Dengan gelisah Ku See-hong segera bertanya:
“Lopek, lopek, apakah kau hendak me mberitahukan kepada boanpwe, siapa-siapa saja pembunuh keji yang telah me lakukan pembantaian secara brutal itu?”
Sepasang mata si kakek kurus yang mulai sayu itu mendadak menatap wajah Ku See-hong tanpa berkedip, agaknya dia sedang berusaha untuk mene mukan ke mbali kenangan serta ingatannya yang sudah mula i me mbuyar itu.
Ku See-hong sendiripun meraa amat curiga sewaktu dilihatnya orang kakek kurus itu hanya me mbungka m sa mbil mengawas i wajahnya tanpa berkedip, pikiran dan prasaannya menjadi kalut sekali, sebab dia kuatir kakek itu mati dengan begitu saja, sehingga pembunuhan brutal ini sa ma sekli tak diketahui olehnya.
Dengan nada gelisah ke mbali Ku See-hong bertanya:
“Lopek, lopek, apakah kau masih bisa berbicara? Cepat katakan, boanpwe akan me mba laskan dendam bagi kalian.”
Tiba-tiba selintas perasaan aneh menghiasi wajah si kakek kurus yang mengenaskan itu, bibirnya bergetar dan muncullah serentetan perkataan yang amat le mah: “Si… siapa… siapa na ma mu?”
Ku See-hong merasa girang sekali ketika dilihatnya kakek itu masih dapat berbicara, dengan ce mas katanya:
“Boanpwe she Ku, bernama See-hong…. Lopek, cepat kau katakan, siapakah pe mbunuh itu?”
Mimik wajah kakek kurus itu berubah semakin misterius dan aneh, dengan suara gemetar dia berkata:
“A… apakah… apakah di atas lengan kirimu, di antara lekukan sikut mu terdapat sebuah tahi lalat berwarna merah?”
Tak terlukiskan rasa kaget Ku See-hong sesudah mendengar perkataan itu. Ia tak habis mengerti mengapa kakek itu bisa tahu kalau di antara lekukan sikut mu terdapat tahi lalat berwarna merah, padahal sejak berusia dua tahun dulu, kedua orang tuanya sudah mati terbunuh secara mengenaskan, sedangkan dia sendiri dibesarkan oleh ma k-inangnya di mana orang tua inipun meningga l dunia sewaktu dia berusia delapan tahun…. Praktis tiada sanak keluarganya lagi sejak waktu itu.
Tapi, dari mana kah orang tua ini bisa mengetahui ciri tersebut dengan begitu je las?
Sementara itu, tatkala si kakek kurus itu melihat rasa kaget bercampur rasa tercengang menghiasi wajah pemuda itu, tahulah dia bahwa dugaannya memang benar. Tiba-tiba saja dari balik sorot matanya yang sudah mulai me mudar itu muncul serentetan cahaya yang aneh sekali.
“Nak…” dia berkata ge metar, “Siapa… siapakah orang tua mu?
Dapatkah kau me mberitahukan kepadaku?”
Melihat kakek itu menanyakan na ma orang tuanya, secara tiba- tiba Ku See-hong yang pintar segera menyadari sesuatu. Dia tahu si kakek kurus beserta orang-orang yang telah tewas terbunuh itu ke mungkinan besar adalah bekas-bekas anggota perkumpulan Kim- to-pang yang masih setia kepada orang tuanya. Air mata segera jatuh bercucuran membasahi wajah Ku See- hong, serunya dengan suara keras:
“Lopek, apakah kalian bekas anggota perkumpulan Kim-to-pang? Boanpwe… boanpwe… ayahku bernama Ku Kia m-cong, sedang ibuku berna ma Lik- ih- li (Pere mpuan Berbaju Hijau) Hoangpo Yan….”
Sekujur badan kakek kurus itu ge metar semakin keras, dua titik air mata darah jatuh bercucuran membasahi pipinya. Dengan penuh emosi dia berseru:
“Sau pangcu, kau… kau tidak me mbunuh bukan? Apakah lohu… apakah lohu sedang ber mimpi?”
“Lopek jangan me manggil aku sau-pangcu, aku tak sanggup menerima panggilanmu itu,” kata sang anak muda a mat emos i sekali air matanya jatuh bercucuran se makin deras.
“Lohu tak la in adalah tongcu dari ruang Sin-tong dalam perkumpulan Kim-to-pang yang didirikan ayahmu dulu. Orang menyebutku San-tian-han-jiau, Cakar Dingin Sa mbaran Kilat Sangkoan Ik.
Sungguh beruntung sekali lohu dapat bersua muka denganmu sebelum menutup mata untuk sela manya… pangcu suami istri dapat me mpunyai seorang anak seperti kau, berada di alam bakapun arwah mere ka dapat beristirahat dengan tenang….”
“Empek Sangkoan, mas ih sanggupkah kau untuk me mpertahankan diri?” tanya Ku See-hong dengan cemas, “Katakan dulu siapa pe mbunuh keji itu? Terangkan pula segala sesuatu alasannya.”
Dengan suatu gerakan yang amat cepat Ku See-hong me mbangunkan tubuh San-tian-han-jiu Sangkoan Ik, se mentara air matanya jatuh bercucuran dengan amat derasnya. Ia hanya bisa mengawasi kakek yang setia kepada perkumpulannya ini dengan teramat sedih.
Sorot mata kasih sayang me mancar keluar dari balik mata Si Cakar Dingin Sambaran Kilat Sangkoan Ik, ke mudian ia berkata: “Nak, musuh- musuh besar mu ha mpir se muanya berilmu silat sangat lihay, cara kerjanya pun amat buas, kejam dan tidak mengenal a mpun. Setelah kau ketahui siapakah pembunuhnya nanti, aku minta kau jangan me mbalas dendam secara me mbabi buta. Ingatlah Pangcu hanya me mpunyai kau seorang untuk me lanjutkan keturunannya, bila kau sampai menga mbil tindakan yang gegabah bagaimana pula tanggung jawabmu nanti kepada orang tuamu di alam baka…?”
“Ketika kau baru lahir dulu, siang ma lam lohu selalu me mbopong dirimu, apalagi lohu me mang tidak me mpunyai keturunan, aku telah menganggap kau sebagai anak kandungku sendiri, itulah sebabnya aku harap kau bisa baik-ba ik menjaga diri….”
Ketika berbicara sampai di situ, San-tian-han-jiu merasakan darah di dalam rongga dadanya bergolak keras, tanpa terasa ucapannya terpotong sampai di separuh ja lan dan tak sanggup untuk me lanjutkan lebih jauh….
Setelah mendengar keterangan itu, Ku See-hong juga baru tahu apa sebabnya kakek itu bisa tahu kalau di lekukan sikutnya terdapat sebuah tahi lalat berwarna merah, kiranya sedari ia masih bayi dulu kakek ini sudah me mpunyai hubungan yang akrab sekali dengan dirinya.
Kenyataan ini seketika menimbulkan gejolak e mosi di dalam dadanya, sambil sesenggukan menahan isak tangisnya, dia berkata:
“Empek Sangkoan, Hong-ji akan menurut i perkataanmu, Hong-ji telah berhasi me mpe lajari beberapa macam ilmu sakti dari guruku Bun-ji koan-su Him Ci-seng, aku yakin ke ma mpuanku masih dapat dipergunakan untuk me mbunuh musuh- musuh besarku itu.”
Sinar mata tercengang memancar keluar dari balik mata San-tian han-jiau Sangkoan Ik, serunya agak ge metar:
“Nak, apakah manusia berbakat setan Bun-ji koan-su Him Ci-seng masih hidup di dunia ini?” “Setelah suhu mewaris kan tiga maca m kepandaian sakti kepada Hong-ji, ia telah pergi meninggalkan dunia yang fana ini,” sahut pemuda itu dengan wajah a mat sedih.
Tadi, ketika San-tian han-jiu mendengar pengakuan dari Ku See- hong yang mengatakan bahwa dia adalah mur idnya Bun-ji koan-su, mula- mula dianggapnya dia sudah salah mendengar, ma ka pertanyaan tersebut diulangi sekali lagi.
Tapi sekarang, setelah tahu dengan pasti bahwa Ku See-hong me mang benar-benar adalah mur idnya Bun-ji koan-su, tak terlukiskan rasa girang di dalam hatinya. Itu berarti dendam kesumat mereka ada harapan untuk dila mpiaskan.
“Nak…” seru Sangkoan Ik dengan penuh e mos i, “Kau… rejekimu sungguh amat besar, oooh… Sekalipun harus mati, lohu akan mati dengan mata meram.”
Berbicara sampai di situ, suaranya makin la ma makin le mah, seluruh badannya gemetar keras menahan penderitaan yang luar biasa, kulit mukanya mengejang keras, sementara wajahnya berubah menjadi pucat pias seperti sesosok mayat.
“Empek Sangkoan…!” jerit Ku See-hong dengan a mat sedihnya, “Sadarlah… sadarlah dahulu, siapa-siapa kah musuh besar kita? Kau… kau belum mengatakannya.”
San-tian-han-jiau berkerut kening dan pelan-pelan me meja mkan matanya, tapi ia segera me mbuka ke mba li matanya. Darah dalam jantungnya waktu itu telah me mbeku dan tak sanggup untuk menga lir ke dalam seluruh badannya lagi. Setelah termenung beberapa waktu, dia baru dapat berbicara dengan suara parau yang sangat lemah:
“Nak, musuh besar pangcu adalah… Perkumpulan Thi- kiong-pang serta… serta Cian-khi-pang… masih ada dalang lain yang berdiri di belakang layar. Di kemudian hari orang itu pasti akan berhasil kau temukan…. Sedangkan orang-orang yang me mbunuh segenap sisa anggota Kim-to-pang pada ma lam ini adalah… Huan- mo kiangcu dari Lam- hay, Han-thian It-kiam (Pedang Sakti dari Han-thian) Cia Cu-kim sekalian….”
“Dendam ini menyangkut soal hubungan sakit hati guru ayahmu de… dengan ayah dari Han-thian-it-kia m. Juga menyangkut sebuah ‘benda’ kepercayaan milik aliran La m-hay-bun. Saa… sayang benda itu… telah mereka rampas ke mbali. Ke mungkinan besar La m-hay Huan- mo-kiong akan melakukan penyerbuan lagi ke daratan Tionggoan, mereka… mereka adalah manusia- manus ia yang berbahaya, buas dan berilmu tinggi.
Besar kemungkinan mereka akan menerbitkan ke mbali badai bencana di seluruh dunia persilatan…. Lohu sungguh merasa tak punya muka untuk… untuk berjumpa muka dengan kedua orang tuamu… aku menyesal tak ma mpu melindungi benda itu dengan sebaik-baiknya….”
Tapi setelah berbicara sampai di situ, di atas wajah Han-jiau san- tian Sangkoan Ik yang pucat pias, tersungging sekulum senyuman yang amat le mbut.
Begitulah, diir ingi senyuman tadi akhirnya dia telah meninggalkan dunia yang fana ini untuk mendapatkan ketenangan sela manya….
Dengan meningga lnya Sin-tong tongcu dari perkumpulan Kim-to- pang ini, maka berakhir pula segenap jago lihay perkumpulan Kim- to-pang yang masih tersisa di dunia ini.
Kenyataan semacam ini benar-benar merupakan suatu kenyataan yang sangat tragis….
Ku See-hong, pemuda keras kepala yang mempunyai hati teguh ini tidak menangis tapi air mata jatuh bercucuran dengan amat derasnya me mbasahi seluruh wajahnya, padahal kepedihan yang mence kam perasaannya sekarang sungguh tak terlukiskan dengan kata-kata. = (Soal benda yang dipersengketakan antara pihak Huan- mo- kiong dari La m-hay dengan Kim-to-pang akan diungkap di belakang cerita ini)=
Mendadak….
Dari balik mata Ku See-hong yang basah oleh air mata, terpancar keluar cahaya yang menggidikkan hati, keningnya berkerut lalu mendengus dingin dengan nada yang a mat sinis. Tubuhnya melejit ke tengah udara dan me layang secepat kilat, tahu-tahu dia sudah berada di luar hala man bangunan tersebut.
Di tengah keheningan ma lam dan di bawah cahaya re mbulan yang redup, di sebelah selatan tanah perbukitan itu tampak ada empat sosok bayangan manusia sedang berlarian dengan kecepatan luar biasa, dalam waktu singkat bayangan tubuh mereka sudah lenyap dari pandangan mata.
Sekulum senyuman sinis yang menggidikkan hati segera tersungging di ujung bibir Ku See-hong, dia percepat gerakan tubuhnya untuk menjejar dari belakang.
Dalam waktu singkat Ku See-hong telah berhasil menyusul keempat sosok bayangan manus ia di depan itu, jaraknya tinggal lima enam kaki belaka. Dengan suara menggeledek pe muda itu segera me mbentak:
“Empat saudara yang berada di depan, harap tunggu sebentar!”
Agak terkesiap kee mpat sosok bayangan manusia itu tatkala mendengar suara bentakan yang mengge ledek tersebut. Sementara mereka tertegun, Ku See-hong yang berada di belakangnya telah me lepaskan sebuah pukulan dahsyat yang mengerikan menerjang ke tengah-tengah antara keempat sosok bayangan manusia itu.
Walaupun serangan itu dilancarkan dari jarak lima kaki, tapi oleh karena tenaga dalam yang dimiliki Ku See-hong belakangan ini telah me mpero leh ke majuan yang pesat, maka angin pukulan tersebut bagaikan a mukan o mbak dahsyat di tengah samudra, menggulung ke depan. Agaknya ilmu silat yang dimiliki keempat sosok bayangan manus ia itupun tidak le mah. Tampak mereka mengegos ke sa mping dengan cekatan sekali, masing- masing me mpergunakan gerakan yang aneh tapi sakti, kemudian sa mbil me mbentak, bayangan manus ia berkelebat lewat dan berbalik menerjang ke arah Ku See- hong.
Angin pukulan bayangan kaki segera memenuhi seluruh angkasa.
Berkobarlah suatu pertarungan yang amat seru di te mpat itu.
Serangan gabungan yang dilakukan kee mpat orang ini sungguh luar biasa sekali, angin pukulan datang berlapis, tendangan keji menderu-deru seperti angin puyuh, se mua anca man tersebut datang dari arah delapan penjuru dan bersama-sama tertuju ke tubuh anak muda itu.
Paras muka Ku See-hong berubah hebat sesudah menyaksikan jurus serangan yang dipergunakan musuhnya. Bahna nafsu me mbunuh segera berkobar, sambil berpekik nyaring dia me mbentak:
“Kawanan tikus dari La m-hay Huan- mo-kiong, serahkan nyawa kalian!”
Pekikan nyaring dan bentakan keras segera berge ma berca mpur aduk menjadi satu….
Ku See-hong me lakukan suatu gerakan busur yang bercahaya tajam dengan tangan kanannya, ke mudian tubuhnya menerjang ke muka secara tiba-tiba, segulung desingan angin tajam yang disertai kilatan cahaya menyerang orang yang berada di sebelah kiri itu.
Jeritan ngeri yang me milukan hati sgera berkumandang me mecahkan keheningan, tahu-tahu batok kepala orang itu sudah terbacok hancur menjadi berkeping- keping dan tewas seketika itu juga.
Tiga orang sisanya betul-betul tahu diri, serentak mereka perdengarkan suara pekikan yang aneh sekali, ke mudian dengan me misahkan diri ke tiga penjuru yang berbeda, seperti anjing-anjing yang kena digebuk, mereka kabur terbirit-birit meninggalkan tempat itu.
Sorot mata Ku See-hong me mancarkan sinar merah yang berapi- api karena gusar, menyusul dua kali lompatan ke muka, jari tangannya digetarkan. Lima gulung desingan cahaya putih segera me mancar ke e mpat penjuru.
Lagi-lagi berkumandang suara jeritan ngeri yang menyayatkan hati. Orang yang kabur menuju ke arah barat itu tahu-tahu sudah terkena serangan dan tewas seketika.
Sementara Ku See-hong mela kukan pe mbunuhan di situ, dua sosok bayangan manusia yang lain telah manfaatkan kesempatan itu sebaik-baiknya untuk menyela matkan diri. Tahu-tahu bayangan tubuh mereka bedua sudah lenyap tak berbekas.
Senyum sinis yang mengerikan segera tersungging di ujung bibir Ku See-hong, dengan me mpergunakan suara yang dingin seperti salju, dia berkata lantang:
“Manusia- manus ia laknat dari La m-hay Huan- mo-kiong, ingat saja pembalasanku nanti. Ehmm… secara keji dan buas kalian telah me mbas mi perkumpulan Kim-to-pang kami, me mbantai setiap anggota perkumpulan kami secara keji dan brutal, tak seorang pun yang kalian biarkan hidup. Baik… ingat saja baik-baik, suatu ketika aku pun akan me mpergunakan cara yang sama seperti apa yang kalian lakukan hari ini untuk me mbantai kalian se mua.”
“Mulai detik ini, aku Ku See-hong bersumpah akan me mbunuh habis kalian anjing-anjing keparat dari Lam-hay Huan- mo-kiong, aku akan me mbunuh terus sampai semua orang-orangmu punah, sampai istana Huan- mo- kiongmu rata dengan tanah, bila aku tidak mewujudkan sumpah yang kuucapkan pada hari ini biar langit dan bumi me ngutuk diriku….”
Selesai mengucapkan sumpahnya itu, Ku See-hong me mper lihatkan sorot mata berapi-api yang penuh disertai rasa benci dan dendam yang amat tebal dan menusuk tulang seakan- akan kalau bisa dia ingin me mbas mi se mua musuhnya yang ada di dunia ini.
Setelah berdiri termangu beberapa saat lamanya, pemuda itu lantas menengadah dan berpekik nyaring. Suara pekikan tersebut me lengking tinggi dan me manjang di tengah udara….
Di balik suara pekikan tersebut, penuh terkandung rasa sedih dan marahnya yang me mbara. Seakan-akan badai dunia persilatan yang penuh berbau anyir darah sudah berada di a mbang pintu.
Berbareng dengan selesainya suara pekikan tadi, mendadak Ku See-hong melejit ke depan dan berangkat menuju ke istana Huan- mo- kiong di La m-hay….
d-w
DI TENGAH lautan La m-hay yang amat luas, tersebar berpuluh- puluh pulau kecil. Kepulauan tersebut telah terlepas sama sekali dengan daratan.
Huan- mo-kiong terletak di sebelah timur lautan La m-hay di atas sebuah pulau misterius dan menyeramkan, para nelayan di sekitar sana selalu menaruh perasaan ngeri dan was-was terhadap pulau itu. Oleh sebab itu belum pernah ada orang yang berani me lakukan penyelidikan terhadap keadaan pula tersebut.
Ilmu silat aliran La m-hay sudah termasyhur dalam dunia persilatan karena keanehan dan kesaktiannya Hun- mo- kiongcu pemilik pulau Huan mo-to tersebut, yakni Han-thian it-kia m (Pedang Sakti Langit Dingin) Cia Cu-kim, sudah termasyhur sekali na manya di seantero jagad.
Dulu, ayah Cia Cu-kim yang bernama Hu-hay it-kia m (Pedang Sakti Laut Seberang) Cia Long-po pernah me mimpin anak muridnya menyerbu ke daratan Tionggoan, membantai umat persilatan dan berusaha menana mkan pengaruh mere ka di sana. Waktu itu tak seorang jagoanpun dari se mbilan partai besar dunia persilatan yang sanggup membendung serbuan mere ka itu. Ketika dalam dunia persilatan bertambah gawat dan tampaknya segera akan terjatuh ke tangan Hu-hay it-kia m Cia Long-po beserta begundalnya, untung saja ada dalam dunia persilatan, seorang pendekar yang berilmu tinggi… dia tak lain adalah guru Ku Kiam- cong, pedang no mor wahid dalam dunia persilatan Thio-pek-sio ng.
Mereka berdua berjanji akan melangsungkan duel pedang di dalam istana Huan- mo- kiong, untuk me nentukan masa depan berjuta-juta umat persilatan di daratan Tionggoan, serta ketentuan apakah orang-orang dari La m-hay Huan- mo-kiong akan berhasil menguasai daratan Tionggoan atau tidak.
Dalam suatu pertarungan sengit yang ke mudian berlangsung dalam istana Huan- mo- kiong, antara Bu-lim-tit-it-kia m Thio Pek- siong melawan Ku-hay-it-kia m Cia Long-po, secara mengejutkan sekali Thio Pek-s iong berhasil me nangkan lawannya.
Sebagai umat persilatan yang menjunjung tinggi setiap perkataan yang diucapkan, terpaksa Hu-hay-it-kiam Cia Long-po harus menyerahkan pedang mestika alirannya, yaitu pedang Huan-mo- kiam kepada Bu-lim-tit-it-kia m Thio Pek-s iong serta berjanji untuk tak akan muncul ke mba li dalam daratan Tionggoan.
Sejak saat itu, pedang pendek Huan- mo-kia m disimpan oleh Bu- lim-tit- it-kia m Thio Pek-s iong. Menjelang saat ke matiannya, ia telah menyerahkan pedang pendek Huan-mo- kiam itu kepada muridnya Ku Kia m-cong (ayah dari Ku See-hong).
Sayang pada dua puluh tahun berselang perkumpulan Kim-to- pang telah musnah di tangan orang… Sebelum meninggal dunia, Ku Kia m-cong telah menyerahkan pedang pendek itu kepada Sin-tong tongcunya yakni San-tian-han-jiau Sangkoan Ik.
Hu-hay-it-kia m Cia Long-po sendiri me njelang saat menghe mbuskan napasnya yang penghabisan, telah berpesan pula kepada putranya Han-thian-it-kia m Cia Cu-kim, seandainya golongan mereka me miliki kekuatan yang cukup, maka pedang pendek Huan- mo- kiam tersebut harus berusaha untuk direbut ke mbali.
Han-thian it-kia m Cia Cu-kim, adalah seorang manusia licik dan berotak cerdas, dia pun me mpunyai ambisi yang sangat besar. Setelah kematian ayahnya dia mulai menyusun rencana untuk ‘melalap’ daratan Tionggoan, serta me mba las dendam bagi sakit hati ayahnya.
Maka, diapun secara dia m-dia m mulai me nghimpun sa mpah- sampah masyarakat di dalam dunia persilatan untuk berpihak kepadanya, kemudian menjadikan Huan- mo-kiong di La m-hay sebagai sarang perompak.
Han-thian it-kia m Cia Cu-kim yang menutup diri sela ma lima puluh tahunan, benar-benar telah berhasil me miliki serangkaian ilmu silat yang luar biasa sekali hebatnya, selain itu gembong-ge mbong iblis yang berhasil dihimpun olehnya juga tak terhitung jumlahnya, hal mana me mbuat a mbis i iblis tua ini untuk me nguasai seluruh dunia persilatan se makin berkobar-ko bar.
Sasaran pertama yang menjadi incarannya sudah barang tentu perkumpulan Kim-to-pang yang menyimpan pedang pendek Huan- mo- kia m.
Sebab bila pedang pendek Huan- mo-kia m tersebut belum dia mbil ke mbali, maka menur ut peraturan, pihak Huan-mo- kiong yang turun-temurun, semua anggota perguruan tersebut dilarang menginjakkan kakinya lagi di daratan Tionggoan.
Di sinilah pangkal sebab mengapa para anggota setia dari perkumpulan Kim-to-pang yang masih tersisa menga la mi nasib yang mengenaskan sekali.
Langit berawan, ombak bergulung-gulung terhe mbus angin kencang.
Sebuah sampan kecil berlayar menembusi gulungan ombak, me mercikkan bunga air dan melaju ke muka. Di atas sampan itu duduk seorang pe muda yang ta mpan. Sepasang matanya me mancarkan cahaya dingin yang menggidikkan hati, ia sedang me mandang ke tempat kejauhan, me mandang setitik hitam di ujung langit situ….
Siapakah pe muda ini? Dia tak lain adalah Ku See-hong.
Cahaya matahari telah memancarkan sinarnya ke seluruh penjuru dan me mantul di atas per mukaan langit. Langit nan biru, suasana nan hening, mendatangkan perasaan nyaman bagi siapapun juga.
Segulung angin laut berhe mbus lewat me mbawa udara yang asn dan amis. Sampan Ku See-hong dengan seelmbar layar persegi tiganya mene mbus i o mba k berlayar dengan tenangnya ke depan.
Gelo mbang laut tidaklah begitu besar, hanya angin laut berhembus sepoi menimbulkan gulungan kecil yang satu demi satu saling berkejaran.
Sejauh mata me mandang hanya lautan yang luas terbentang di depan mata dan bersatu dengan langit di ujung sana, mendatangkan perasaan yang lapang dan luas bagi siapapun yang me mandangnya.
Kadangkala satu dua ekor burung manyar terbang merendah dan me liuk-liuk menukik kesana ke mar i, mendatangkan perasaan dama i di hati se mua orang….
Ku See-hong mendayung terus sampannya dengan penuh bersemangat, setiap dayungan mmbuat perahunya meluncur ke depan bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya, apalagi terhembus oleh angin le mbut, me mbuat lajunya sampan itu me lebihi larinya sang kuda.
Dalam waktu singkat, matahari yang indah telah melepaskan sinar keemas-e masannya yang memabukkan, pelan-pelan mene mbus i air sa mudra yang hijau dan menyorot ke arah kedala man lautan.
Pemandangan alam yang terbentang waktu itu begitu cantik sehingga sukar dilukiskan dengan kata-kata, mungkin hanya orang yang berada di te mpat kejadian saja yang dapat merasakannya. Lambat laun, di ujung langit kejauhan sana muncul setitik hitam yang kecil, tampaknya pulau Huan- mo-to sudah berada di depan mata.
Pelan-pelan tapi pasti, pulau itu makin la ma sema kin mende kat, sekarang Ku See-hong telah dapat menyaksikan segala sesuatu yang berada di atas pulau tersebut. Lalu perahu pun makin la mbat sementara suara ombak yang me mecah di tepian pantai semakin terdengar jelas.
Akhirnya ia mencapa i tepi pantai berpasir yang le mbut.
Dengan gesit Ku See-hong me lo mpat turun ke daratan, sebuah pantai berpasir yang berbentuk bukit kecil terbentang di depan mata. Setelah melewati bukit berpasir itu, di atasnya baru merupakan per mukaan tanah biasa. Di atas tanah tertera selapis batu kerikil yang lembut tampa knya batuan itu digunakan sebagai bahan untuk me mbendung tanah agar t idak terjadi tanah longsor.
Dengan menge mbangkan ilmu meringankan tubuhnya yang amat sempurna, Ku See-hong berlarian di balik pepohonan yang tumbuh di tepi jalan menuju ke ujung jalan berlapis batu, ke mudian me mbe lok ke sebelah kanan, tiba-tiba pemandangan alam yang terbentang di hadapannya berubah.
Pepohonan yang tumbuh di sisi ja lan makin tipis dan jarang, tapi di antara sela-sela pohon dengan pohon, tumbuh aneka rumput dan bunga yang indah. Memandang dari kejauhan, yang terlihat hanya warna merah, kuning, hijau yang berwarna-warni, la mat-la mat terendus pula bau harum se merbak yang me mabukkan.
Waktu itu, kegelapan ma lam sudah mula i menyelimuti seluruh jagad. Suatu mala m yang sepi telah menje lang tiba, walaupun rembulan belum muncul dari balik awan, namun kerlipan bintang yang berkerlip di angkasa me mancarkan cahaya yang redup, itulah sebabnya semua pe mandangan alam di sekelliling tempat itu dapat terlihat dengan jelas.
Tanpa terasa Ku See-hong telah me mperla mbat langkahnya, dari balik matanya terpancar keluar sinar tajam yang menggidikkan, dengan cekatan dia mengawasi sekejap sekeliling te mpat itu, ternyata pulau Huan- mo-to yang begitu luas, sa ma sekali tak tampak sesosok bayangan manusiapun. Keheningan yang amat menger ikan menceka m seluruh jagad, hanya lamat-la mat saja kedengaran suara o mbak yang me mecah di tepian.
Walaupun dendam kesumat berkobar di dalam dadanya, walaupun dia datang ke Huan- mo- kiong untuk me mbalas denda m, namun perasaannya saat ini berat sekali.
Dia cukup tahu akan ke ma mpuan orang-orang Huan- mo- kiong yang rata-rata berilmu tinggi, dia juga tahu akan kekejaman mereka serta alat-alat rahasia mereka yang berbahaya, kesemuanya ini menimbulkan perasaan tidak tenang dalam hatnya, me mbuat hatinya kebat-kebit tak karuan.
Berada dalam keadaan begini, dia sangat berharap bisa bersua muka dengan seseorang, bisa terjadi pertarungan yang sengit, daripada harus menghadapi keheningan yang mengerikan… tapi justru la mat-la mat terkandung hawa pembunuhan yang menger ikan. Padahal sejak Ku See-hong melangkahkan kakinya ke atas pulau Huan-mo-to, dia sudah tahu kalau keadaannya lebih banyak mara bahayanya daripada rejeki.
Mendadak….
Ku See-hong menghentikan langkahnya dengan wajah berubah, sorot mata aneh terpancar keluar dari balik matanya, ternyata lebih kurang dua puluh kaki di hadapan sana terbentang sebuah hutan bunga Tho yang amat luas, di belakang hutan tersebut muncul bangunan-bangunan yang tinggi, megah dan kokoh.
Yang aneh adalah di sekeliling bangunan seperti bangunan keraton itu, terpancar keluar se maca m asap putih, yang mirip asap bukan asap, kabut bukan kabut, warnanya keemas-emasan bercampur hijau tua yang menyelimut i sekeliling bangunan.
Kabut itu menggumpal menjadi satu tanpa me mbuyar, hal ini me mbuat orang merasa sulit untuk melihat jelas bentuk dari bangunan itu. Sementara Ku See-hong masih ter menung sa mbil berdiri termangu- mangu, mendadak dari balik hutan bunga tho itu me luncur keluar sesosok bayangan putih bagaikan burung walet mene mbus i o mba k, dalam sekejap mata ia telah melayang turun di hadapan muka Ku See-hong.
Agak berubah paras muka Ku See-hong setelah menyaksikan kelihayan ilmu mer ingankan tubuh yang dimiliki bayangan putih itu. Dengan sorot mata yang tajam bagaikan sembilu, dia awasi orang itu, tapi keningnya segera berkerut dan wajahnya menunjukkan setitik cahaya keheranan.
Ternyata dua kaki di hadapan Ku See-hong telah berdiri seorang gadis berbaju putih yang berwajah cantik jelita bak bidadari dari kahyangan, rambutnya yang hitam panjang, terurai ke bawah berkibar terhembus angin. Di bawah sepasang alis matanya yang lentik bagaikan bulat sabit, tampa k sepasang biji mata yang sayu dan me mancar kan sinar kemurungan, sedang mengawasi wajah pemuda itu tak berkedip.
Gadis cantik jelita seperti bunga ini, meski menunjukkan sikap tanpa emosi yang kaku na mun wajahnya yang cantik jelit itu me mancarkan sinar keanggunan yang suci bersih, me mbuat siapa saja yang berjumpa dengannya segera menaruh kesan baik. Dengan muka dingin dan kaku, dia m-dia m Ku See-hong berpikir dalam hatinya:
“Heran, mengapa di dalam istana Huan- mo- kiong yang menyerupai sarang perampo k ini bisa terdapat gadis cantik yang begini anggun? Hmm! Kebanyakan pere mpuan hanya suci di luar, padahal hatinya keji seperti seekor ular berbisa…”
Kesannya terhadap kaum wanita me mang a mat jelek sekali serta me miliki sesuatu cara pandang yang picik. Betul kesannya terhadap gadis berbaju putih ini baik, namun pandangannya yang sempit me mbuat pemuda itu segera terpengaruh oleh pandangannya itu.
Tiba-tiba terdengar gadis berbaju putih itu berkata dengan suara yang amat le mbut: “Sauhiap, kau datang dari mana? Siapa na ma mu? Ada urusan apa kau datang ke istana Huan- mo- kiong?”
Ku See-hong tahu bahwa gadis itu telah mengira dirinya sebagai tamu pihak Huan- mo- kiong. Tanpa terasa ia mendengus dingin, dengan sorot mata me mancar kan cahaya menggidikkan dan suara sedingin salju, katanya dengan cepat:
“Aku bernama Ku See-hong, datang ke pulau Huan-mo-to ini untuk me mbunuh se mua manusia laknat yang bergabung dalam istana Huan- mo-kiong ini.”
Paras muka nona berbaju putih itu segera berubah hebat, sejak dilahirkan belum pernah ia dengar ada orang berani mendatangi pulau Huan- mo-to untuk me mba las denda m, apalagi menge mukakan maksud kedatangannya secara begitu terang- terangan.
Pada mulanya ia masih mengira pemuda ini sudah gila, tapi setelah menyaksikan wajah yang gagah dan dingin me mbawa hawa pembunuhan tersebut, tanpa terasa ia tertegun juga. Setelah hening sejenak, akhirnya gadis itu berkata lagi:
“Ku sauhiap, tahukah kau setiap anggota Huan-mo- kiong me miliki ilmu silat yang sangat lihay dengan tindakan yang keji dan tidak mengena l ampun? Setiap orang yang berani mendatangi pulau Huan- mo-to belum pernah ada yang bisa pulang dalam keadaan selamat?”
Mendadak Ku See-hong mendongakkan kepalanya dan tertawa seram:
“Haaahh… haaahh… haaahh… Huan- mo-kiong tidak lebih cuma tempat kelo mpo k manusia- manus ia rendah yang terdiri dari sampah masyarakat dunia persilatan, setelah aku orang she Ku berani datang kemari untuk mencar i balas, tentu saja akupun tak akan takut menghadapi segala macam tipu mus lihat dari kalian se mua.
Kini cepat laporkan kepada gembong iblis terkutuk Han-thian it- kiam Cia Cu-kim, katakan kalau keturunan dari Kim-to-pangcu datang kemar i untuk menuntut ke mbali keseratus le mbar nyawa anggota kami yang dibunuhnya pada sebulan berselang!”
Nona berbaju putih itu segera berkerut kening, paras mukanya juga turut berubah menjadi dingin seperti es, katanya:
“Guruku Han-thian it-kia m Cia Cu-kim telah berangkat ke daratan Tionggoan se menjak dua bulan berselang, hingga kini dia belum ke mbali…. Sekarang kedua kalinya kuperingatkan kepada mu, sebelum orang-orang Huan- mo- kiong pada pulang, lebih baik cepat- cepatlah tahu diri dan mengndur kan diri dari sini, kalau t idak kau bisa mati tanpa liang kubur di te mpat ini.”
Mendongkol sekali hati Ku See-hong setelah mengetahui kalau biang keladinya tak ada di rumah, dia segera tertawa dingin:
“Kalau me mang tua bangka itu tidak ada di rumah, la in kali aku orang she Ku pasti akan mencarinya lagi untuk direnggut nyawanya, ma lam ini akan kumusnahkan dahulu sarang iblisnya… bila kau tahu diri, cepatlah tinggalkan tempat ini, aku orang she Ku mengingat kau masih me miliki watak ma nusia, tak akan kuusik dirimu.”
Dia m-dia m nona berbaju putih itu menghe la napas panjang, pikirnya ke mudian:
“Betul-betul seorang pendekar muda yang keras kepala dan tinggi hati, aaai… kasihan jika dia harus mene mui ajalnya pula di dalam istana Huan-mo- kiong…. Keng Cin-sin, wahai Keng Cin-sin, kau sudah penuh dengan dosa dan menyalahi hukum Thian, apakah kau akan me mbiarkan pendekar muda ini kembali terkubur di sini? Kau tak boleh me mbiarkan orang ini mengorbankan pula jiwnya di tangan kaum laknat tersebut….”
Untuk sesaat lamanya perlbagai ingatan berkecamuk dalam benak nona berbaju putih itu. Tiba-tiba wajahnya menjadi cerah ke mbali, dengan le mbut katanya:
“Ku Sauhiap, aku tahu kalau kau angkuh dan keras kepala, lagipula me mpunyai dendam kesumat sedalam lautan, tak nanti kau akan mundur dengan begitu saja dari sini, cuma aku ingin bertaruh dulu denganmu, bila kau sanggup mengalahkan aku dalam tiga jurus, silahkan kau masuk ke dalam istana Huan- mo-kiong. Kalau tidak, cepatlah mengundur kan diri dari sini, ketahuilah t indakanku berbicang-bincang denganmu pada mala m ini sudah me langgar peraturan rumah tangga kami dan seharusnya menerima hukuma n mati… ”
Terkesiap hati Ku See-hong sesudah me ndengar perkataan itu, segera pikirnya:
“Mungkinkah gadis ini adalah sekuntum bunga teratai putih yang benar-benar masih suci dan belum ternoda?”
Tapi dasar wataknya me mang angkuh, dengan wajah dingin seperti es, segera katanya:
“Maksud baik nona biar aku orang she Ku terima di dalam hati saja. Kalau me mang begitu, maaf kalau aku akan berbuat lancang.”
Sementara berkata, dengan suatu gerakan yang cepat seperti sambaran kilat Ku Se-hong bergerak maju ke depan. Telapak tangan kirinya me mbuat satu gerakan melingkar yang aneh sekali, semenara tangan kanannya digetarkan keras-keras. Lima gulung desingan angin tajam yang disertai dengan he mbusan angin dahsyat dengan cepat menyergap ke atas jalan darah penting di tubuh Leng- sin si nona berbaju putih.
Serangannya semakin ganas dan dahsyat, jurus serangannya juga hebat sekali.
Menyaksikan serangan itu, paras muka si nona berbaju putih Keng Cin-sin segera berubah hebat, dengan cepat badannya mengegos ke sa mping dan me loloskan diri dari sergapan Ku See- hong yang cepat bagaikan sambaran petir itu, ke mudian dengan enteng sekali badannya maju ke depan. Telapak tangan yang putih dan halus itu, kiri kanan melancarkan serangan, telapak tangan kirinya melancarkan pukulan tenaga Yang-kang yang hebat tenaga pukulannya menderu-deru, sebaliknya telapak tangan kanannya me lancarkan sebuah jurus pukulan yang bertenaga Im- kang, le mah gemulai seakan-a kan sa ma sekali tak bertenaga. Ku See-hong sa ma sekali t idak menyangka kalau gerakan menghindar dan gerakan melancarkan serangan balasan yang dilakukan gadis itu bisa dilakukan dengan begitu aneh dan cepatnya.
Dalam keadaan terkesiapnya, jurus serangan tangguh segera dilancarkan berulang kali, sementara kakinya melangkah dengan ilmu gerakan tubuh Mi-khi biau-tiong, secara aneh tapi pasti tubuhnya melejit ke samping kanan lawannya, lalu kesepuluh jari tangannya disentilkan bersa ma.
Desingan angin tajam mendes ing me mekikkan telinga, segulung gulungan tenaga serangan bagaikan sepuluh bilah pedang terbang berbareng menganca m sepuluh tempat jalan darah penting di tubuh lawan.
Keng Cin-sin, si nona berbaju putih itu me mbentak keras, tubuhnya bergetar indah sepasang telapak tangannya diputar me mbentuk segulung tenaga pukulan yang lembut dan tiba-tiba saja balik menggulung ke atas tubuh Ku See-hong.
Perasaan Ku Se-hong waktu itu sudah diliput i oleh perasaan bergidik berca mpur kaget, dia sudah tahu kalau nona berbaju putih ini me miliki kepandaian silat yang maha lihay, sedikitpun tidak berada di bawah Im Yan cu, sekalipun ada selisihnya, juga minim sekali.
Maka setelah berpikir sejenak, tubuhnya lantas melayang sejauh empat kaki jauhnya mengikuti ke he mbusan angin pukulan yang kuat itu.
Sebaliknya Keng C in-sin yang sudah bertarung dua jurus dengan Ku See-hong, meski dia tahu kalau pe muda ini me miliki ilmu silat yang sangat lihay, namun dia yakin ke ma mpuan semaca m itu masih belum ma mpu untuk menghadapi kakak seperguruannya… Sau- kiongcu dari istana Huan- mo- kiong.
“Ku sauhiap,” kata Keng Cin-sin ke mudian dengan suara dingin, “Ucapan seorang kuncu berat bagaikan bukit Thay-san, kini tinggal satu jurus yang terakhir….” Paras muka Ku See-hong juga berubah menjadi dingin dan kaku, ucapnya pula:
“Harap nona perhatikan baik-baik, di dalam serangan yang terakhir ini akan kupergunakan sebuah jurus serangan yang me matikan, begitu digunakan… aku sendiripun tak dapat mengenda likannya kemba li. Bila kau menganggap tidak me miliki ke ma mpuan untuk menghindarinya, harap segera mundur dengan cepat….”
Agak termangu- mangu Keng Cin-sin setelah mendengar ucapan tersebut, mungkinkah dia benar-benar me miliki ilmu silat yang begini hebatnya?
Tapi ketika menyaksikan ucapan Ku See-hong yang begitu serius, dia tak berani pula bertindak gegabah. Diam-dia m ia me mpers iapkan diri la lu mundur ke belakang, dia bukannya takut mati, tapi sekarang ia belum boleh mati….
“Hati-hati!” bentak Ku See-hong dengan suara dingin.
Mendadak seapsnag lengannya diputar dan digerakkan dengan suatu gerakan aneh, tiba-tiba saja seluruh badannya mela mbung ke tengah udara, menyusul ke mudian sepasang kakinya bergetar secara aneh… seluruh tubuhnya tahu-tahu sudah melayang ke mbali ke atas tanah.
Pada saat ujung kakinya hampir menyentuh permukaan tanah itulah tiba-tiba Ku See-hong menerjang ke depan… “Blaaamm…! ” diir ingi kilatan cahaya tajam yang amat menyilaukan mata, suatu ledakan keras berkumandang me me cahkan keheningan.
Untung saja sebelum serangan tersebut dilancarkan, Keng Cin-sin telah me mperoleh peringatan dari Ku See-hong, tiba-tiba saja dia merasakan sekujur badannya seakan-akan terbungkus di balik cahaya keemas-emasan yang amat menyilaukan mata. Ia tahu jurus serangan ini terlampau ganas… Dalam terkesiapnya dengan mengerahkan segenap tenaga yang dimilikinya dia melo mpat ke belakang. Namun, baru saja badannya meninggalkan permukaan tanah, matanya telah berkunang-kunang dan kepalanya amat pening. Dia merasakan datangnya segulung tenaga pukulan yang aneh me mbuat napasnya menjadi sesak. Dalam terkesiapnya buru-bur u dia menjejakkan kakinya ke tanah, dengan menghimpun tenaga dalam yang ada di dalam pusar, dia percepat gerakannya untuk me lo mpat mundur.
Kendatipun gerakan yang dilakukan olehnya dilakukan cukup cepat, dan lagi sebelum serangan dilancarkan ia telah me mpero leh peringatan dulu, na mun tiga gerakan dari jurus Hoo- han-seng-huan tersebut memang terla mpau dahsyat…. Ditambah pula tenaga dalam yang dimiliki Ku See-hong makin hari makin berta mbah pesat. Kesempurnaan tenaga dalamnya sekarang sudah berlipat ganda bila dibandingkan sewaktu bertarung melawan Im Yan cu tempo hari.
Terdengar nona berbaju putih itu mendengus tertahan, badannya terkena sambaran ekor tenaga serangan dari jurus Tee-cian-hun-ih (Sukma Sengsara Neraka Mengerikan) itu, hingga badannya mence lat sejauh empat kaki. Baju putih yang dikenakan itu sudah robek sebagian besar sehingga kulit badan yang berwarna putih itu la mat-la mat kelihatan. Merah padam sele mbar wajah Keng Cin-sin karena jengah, dengan agak cemas dia lantas berseru, “Hati-hati dengan akal muslihat dan tipu daya mereka!”
Di tengah seruan tersebut, bayangan putih tampak berkelebat lewat, bagaikan sukma gentayangan dia sudah menyusup masuk ke dalam hutan bunga tho itu. Pada saat itulah, tiba-tiba dari balik hutan bunga tho itu ke mba li berkumandang suara bentakan yang keras, menyusul bergemanya suara tertawa aneh yang mengerikan.
“Sreeett… sreeett…!” dua sosok bayangan manusia, bagaikan sukma gentayangan munculkan diri dari balik pepohonan. Ke mudian dalam beberapa kali lo mpatan saja telah berada di hadapan Ku See- hong. Dilihat dari ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya, dapat diketahui kalau ilmu silat yang mereka miliki tidak le mah. Dari balik mata Ku See-hong yang tajam segera me mancarkan sinar menggidikkan hati, disapunya sekejap pendatang itu, lalu mendengus dingin dengan nada sinis:
“Rupanya kalian dua orang manusia laknat yang berhawa sesat ingin datang menghantar ke matian. Baik, aku orang she Ku akan menghantar dulu keberangkatan kalian….”
Ternyata dua orang yang munculkan diri itu adalah manusia aneh Im- Yang, bertubuh aneh dan kurus kering seperti tengkorak, selain mukanya berwarna pucat keabu-abuan, bibirnya tampak lancip dengan tulang pipi yang se mpit.
Kedua orang manusia aneh ini terbiasa bersikap bengis, buas dan tidak mengenal a mpun, sudah barang tentu mereka tidak tahan menghadapi sikap Ku See-hong yang begitu sinisnya itu.
Salah seorang di antaranya, seorang manusia aneh berjubah panjang warna hijau segera berteriak aneh, ke mudian serunya:
“Anjing cilik, ke matian sudah berada di a mbang pintu masih berani bicara takabur. Hmm! Lohu akan segera mengirimmu pulang ke rumah kakek moyangmu….”
Di tengah teriakan tadi, dia meloloskan sebuah senjata aneh yang berwarna hitam, lalu dengan me mbentuk selapis cahaya busur berwarna perak yang amat rapat, disertai desingan angin tajam yang menderu-deru, langsung menggulung ke tubuh Ku See-hong.
Kiranya dua orang manusia aneh itu tak laian adalah Sim-tongcu yang paling beracun dalam istana Huan- mo-kiong… Im- Yang Siang- mo (Sepasang Iblis Im Yang).
Bukan cuma bengis dan kejam saja, kedua orang inipun termasyhur karena kebuasannya yang lebih me ndekati tak kenal perike manusiaan.
Sudah cukup la ma kedua orang ini berse mbunyi di balik hutan bunga tho, mereka pun cukup mengetahui betapa lihaynya kepandaian silat yang dimiliki Ku See-hong, maka dari itu, begitu turun tangan, mereka lantas mengeluarkan senjata andalannya yang paling beracun Sah-hi-ci (Duri Ikan Hiu).
Begitulah, sementara senjata Duri Ikan Hiu di tangan kanannya menciptakan gelo mbang cahaya tajam yang berlapis-lapis, tangan kirinya juga dipentangkan seperti cakar setan untuk menciptakan lapisan hawa tajam yang segera menyelimuti seluruh angkasa.
Ku See-hong sudah me mpunyai perhitungan yang cukup matang di dalam hatinya, dia m-dia m dia berpikir:
-oodwoo-