Bagian 46
Ceng Lam Hong segera menghampirinya. “Kedua orang itu sedang menghimpun hawa murni dalam tubuh agar keletihan dapat dihilangkan secepatnya. Sepanjang malam mereka sudah banyak mengeluarkan tenaga, jangan bersuara, nanti mereka terkejut.” katanya lirih.
Lok Ing menghembuskan nafas panjang-panjang. Cepat-cepat dia mengusap keringat dingin yang membasahi keningnya. Tadi dia sempat panik karena mengira telah terjadi sesuatu pada diri kakeknya dan Yibun Siu San. Lewat keterangan Ceng Lam Hong, perasaannya jadi tenang kembali. Bibirnya tersenyum.
“Tit-li (keponakan) juga menduga demikian. Pek Bo, duduk saja di sini.” dia langsung menarik sebuah kursi dan mempersilahkan Ceng Lam Hong duduk. Dia sendiri menemani duduk di sebelah kirinya kemudian memejamkan mata beristirahat.
Perlu diketahui bahwa seseorang yang mempelajari ilmu silat dapat bertahan tidak tidur meskipun tiga hari tiga malam lamanya. Apabila dalam pertarungan terkena luka dalam atau Bagian luar yang terluka, asalkan mengerahkan hawa murni dalam tubuh lalu beristirahat sejenak, maka keadaannya bisa segera pulih kembali.
Yibun Siu San dan Lok Hong adalah tokoh-tokoh Bulim yang memiliki kepandaian tinggi.
Tenaga dalam mereka juga sudah mencapai taraf yang hebat, tetapi kali ini mereka sampai memerlukan waktu dua kentungan untuk memejamkan mata beristirahat. Setelah itu tampak keduanya membuka mata dan kesehatan sudah pulih seperti sedia kala. Hal ini membuktikan bahwa pertarungan tadi malam cukup banyak menguras hawa murni dalam tubuh mereka.
Sementara itu, terdengar suara langkah kaki mendatangi. Mereka segera menolehkan kepalanya. Tampak si pengemis cilik Cu Cia beserta Sam Po Hwesio berjalan masuk dengan berendengan.
Melihat kehadiran kedua orang itu, Yibun Siu San langsung bertanya, “Apakah semuanya telah disiapkan?”
“Suhu si tukang minta-minta sudah membereskan arena pertandingan sampai rapi serta siap dipakai. Para pendekar tingkat delapan, kecuali Heng Sang Si dan empat rekan lainnya yang meninggal beserta delapan orang pendekar pedang tingkat enam, semuanya sudah berkumpul di arena pertandingan. Asal Susiok serta Lok Locianpwe sudah hadir, rasanya pemilihan Bulim Bengcu sudah bisa dimulai.”
Yibun Siu San menganggukkan kepalanya berkali-kali. Sejenak kemudian tampak dia berdiri dari kursinya kemudian mengajak Lok Hong menuju arena pertandingan.
Ceng Lam Hong dan Lok Ing berjalan lemah gemulai mengikuti di belakang mereka.
Paling akhir mengiringi si pengemis cilik Cu Cia dan Sam Po Hwesio, tetapi sepasang mata kedua orang ini terus mengerling ke sana ke mari. Diam-diam mereka merasa heran mengapa sampai saat ini masih belum terlihat bayangan Tan Ki dan istrinya.
Dalam waktu singkat keenam orang itu sudah sampai di ruangan pertandingan.
Kerumunan manusia bergerak-gerak, angin pagi menghembus membawa kesegaran. Pakaian yang berwarna-warni pun melambai-lambai seperti bendera yang berkibaran. Mereka mengambil jalan mengitar. Di tengah-tengah arena Bagian atas tampak duduk si pengemis sakti Cian Cong. Orangtua itu sedang menggerogoti paha ayam sambil sekali- sekali meneguk arak dari hiolonya.
Wajah Cian Cong sudah merah padam, matanya terlihat sayu sehingga kentara jelas bahwa orangtua itu sudah mulai mabuk. Kemungkinan sebelum menuju ke tempat tersebut dia sudah minum arak dalam jumlah yang banyak. Orangtua ini memang mempunyai kebiasaan yang aneh, belum pernah dia minum air putih atau air teh. Biar makanpun yang diminumnya tetap arak. Setiap minum pasti mabuk. Oleh karena itu dari tubuhnya tidak sedetikpun tidak terpancar bau arak yang menusuk. Sedangkan pikirannya
semakin terang kalau sudah mabuk. Saat ini dia duduk di Bagian atas dengan sepasang mata mengedar ke sana ke mari. Tetapi mulutnya tidak mengucapkan sepatah katapun.
Yibun Siu San mengulapkan tangannya mempersilahkan Lok Hong duduk di Bagian kanan. Dia sendiri tanpa sungkan lagi duduk di tengah-tengah. Ceng Lam Hong dan si pengemis cilik Cu Cia berdiri di belakang mereka.
Di seluruh arena yang luas itu tidak terdengar sedikit suarapun. Suasana demikian serius seakan mereka sedang menantikan berlangsungnya pertandingan dengan hati tegang.
Yibun Siu San duduk di tempatnya sambil mengedarkan sepasang matanya yang tajam. Dia memperhatikan sekelilingnya dengan seksama. Sekonyong-konyong tampak sepasang alisnya menjungkit ke atas. Dia menolehkan kepalanya kepada Cian Cong.
“Mengapa anak Ki masih belum hadir juga?
“Si pengemis tua kan bukan inang pengasuhnya, bagaimana bisa tahu mengapa dia masih belum datang juga? Tetapi Hek Lohan si Hwesio cilik dan Yang Jen Ping melihat dia berjalan sambil bercakap-cakap dengan istrinya. Entah apa yang mereka kasak-kusukkan. Meskipun mereka melihat, tetapi kan tidak enak rasanya mengganggu sepasang pengantin baru yang sedang memadu kasih?”
Yibun Siu San jadi tertegun mendengar kata-katanya. “Arah mana yang mereka ambil?” tanyanya kembali. Cian Cong merenung sejenak.
“Kemungkinan ke Bagian belakang bukit. Sam Po Hwesio mengatakan bahwa si setan cilik itu mungkin mengkhawatirkan keadaan Liang Fu Yong. Semalam mereka sudah terlibat berbagai pertarungan, sedangkan dia masih belum mendapat bukti yang nyata bagaimana keadaan mereka yang sedang menutup diri.”
Wajah Yibun Siu San tampak kelam sekali. “Pertandingan sudah hampir dimulai, dia toh sudah pergi cukup lama, kan seharusnya sudah kembali. Apakah dia tidak tahu setelah lewat pagi ini, berarti dia tidak mempunyai kesempatan lagi ikut dalam perebutan Bulim Bengcu?” mendengar nada bicaranya, tampaknya Yibun Siu San mengkhawatirkan keadaan Tan Ki dan perhatiannya terhadap anak muda itu juga besar sekali.
Cian Cong tertawa lebar.
“Si pengemis tua dengan dirimu tiada bedanya. Kita semua mengharapkan si setan cilik itu dapat melewati tiga macam ujian dalam pertandingan ini dan sanggup menghadapi lawan yang lain agar kedudukan Bulim Bengcu berhasil diraihnya tanpa susah payah.
Tetapi kita justru tidak mengerti apa sebenarnya yang dikehendaki bocah ini. Waktu pertandingan sudah hampir dimulai, dia malah tidak muncul. Sedangkan seratus lebih tokoh Bulim sudah berkumpul di sini menantikan jalannya pertandingan. Kita toh tidak mungkin menunda waktu lebih lama hanya karena urusan pribadi. Sekarang sebaiknya kita mulai saja acara ini sambil mengutus orang untuk mencari si setan cilik itu.”
Yibun Siu San menarik nafas panjang.
“Aku justru khawatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada dirinya, padahal tidak ada orang yang dapat disuruhnya mencari bantuan.” sambil berkata, dia menggapaikan tangannya kepada si pengemis cilik Cu Cia, juga Hek Lohan Sam Po Hwesio. Dia berbisik kepada mereka dengan suara lirih kemudian baru berdiri dengan perlahan-lahan. Dengan suara keras dia mengumumkan bahwa pertandingan final perebutan Bulim Bengcu tersebut segera di mulai.
Di antara delapan orang jago yang diandalkan, Liu Seng tidak berminat mencari nama sehingga mengundurkan diri. Sedangkan Kok Hua Hong baru sembuh dari luka yang parah, untuk sementara tenaganya tidak boleh terkuras. Ciong San Suang Siu sedang menjaga goa di mana Tian Bu Cu sedang menutup diri menurunkan ilmu kepada Liang Fu Yong. Tugas mereka bukan saja berat, namun tanggung jawabnya pun tinggi sekali.
Dengan demikian mereka juga tidak dapat turut dalam pertandingan tersebut. Oleh karena itu, dari antara pendekar pedang tingkat delapan, yang tersisa hanya Goan Yu Liong beserta tiga orang lainnya. Lihat siapa diantara mereka yang berhak menjabat kedudukan sebagai Bulim Bengcu.
Begitu pertandingan dimulai, empat orang pendekar pedang tingkat delapan itu langsung dibagi menjadi dua kelompok dan segera melangsungkan pertarungan sengit. Masing-masing mengerahkan segenap kemampuannya untuk memenangkan pertarungan.
Untuk sementara kita kembali kepada si pengemis cilik Cu Cia dan Sam Po Hwesio yang ditugaskan oleh Yibun Siu San untuk mencari Tan Ki.
Kedua orang itu tidak menunda waktu lagi, mereka segera meninggalkan arena pertandingan dan lari dengan cepat. Gerakan tubuh mereka bagai awan yang berarak. Yang tertangkap oleh pandangan mata mereka hanya pepohonan dan rerumputan yang tinggi. Semakin jauh mereka berlari, jalanan yang dilewati pun semakin sulit ditempuh. Ranting-ranting pohon serta batu-batu besar kecil menghalangi jalan. Kerikil-kerikil tajam juga berserakan di mana-mana sehingga menimbulkan perasan tidak enak dalam hati.
Pikiran Cu Cia sedang ruwet, dia tidak memperdulikan jalanan yang banyak liku-likunya itu. Sepanjang perjalanan dia terus berlari secepat kilat. Dalam sekejap mata dia sudah mencapai jarak setengah li. Setelah melewati sebuah lekukan, tiba-tiba dia melihat ada jurang yang dalam sehingga jalanan menjadi buntu. Bagian kiri terdapat pepohonan siong yang lebat, dedaunannya juga rimbun sekali. Sedangkan di Bagian kanan persis bersebelahan dengan jurang terdapat sebuah goa alami namun sudah dibersihkan oleh beberapa orang gagah atas perintah Yibun Siu San. Suasana di sekitar begitu tenang sehingga menimbulkan perasaan tenteram. Memang sebuah tempat yang cocok sekali apabila digunakan untuk menutup diri berlatih ilmu.
Seiring tiupan angin yang lembut, tampak rumput-rumput melambai-lambai. Pinto goa yang entah seberapa tebalnya justru tertutup rapat-rapat. Keadaan di sekeliling pun sunyi senyap tanpa terlihat bayangan seorangpun.
Sam Po Hwesio mengelus-elus kepalanya yang gundul. Dia menunjuk ke arah pintu goa sambil berkata, “Apakah goa ini yang digunakan Tian Bu Cu Locianpwe untuk menutup diri?”
Cu Cia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Wajahnya menyiratkan perasaannya yang sedang kebingungan.
“Memang goa ini yang dimaksud, tetapi entah ke mana perginya Ciong San Suang Siu yang bertugas menjaga di sini?”
Mendengar kata-katanya, Sam Po Hwesio jadi termangu-mangu. Matanya mengedar ke sekeliling tempat itu.
“Rasanya sedikit aneh. Tukang minta-minta, biasanya kau paling banyak akal bulus.
Apakah kau bisa menebak apa sebetulnya yang telah terjadi?”
“Si pengemis cilik kan bukan setan penjaga lembah ini, juga bukan tukang ramal.
Tanpa hujan tanpa angin menghadapi urusan seperti ini, mana bisa aku menduga sembarangan saja. Asal mulanya bagaimana saja aku tidak tahu, rasanya….” tiba-tiba dia seperti menemukan sesuatu. Kata-katanya terhenti seketika. Sepasang matanya menatap ke depan lekat-lekat. Sikapnya serius dan waspada.
Sam Po Hwesio tahu sikap rekannya ini sehari-harinya bebas tanpa banyak pemikiran apa-apa. Sepanjang hari selalu tertawa lebar. Sebelumnya dia tidak pernah melihat tampang si pengemis cilik seperti sekarang ini, tanpa dapat ditahan lagi dia jadi termangudari dalam goa. Cu Cia jadi termangu-mangu beberapa saat. Kemudian terdengar dia berkata kembali…
“Apakah wajah saudara ini dipenuhi dengan bekas cacar atau lidah saudara yang telah dipotong oleh mertua, sehingga tidak berani menemui orang dan bahkan tidak bisa mengucapkan sepatah katapun? Si pengemis cilik berkelana di dunia Kangouw, bukan baru dua tiga tahun ini, tetapi belum pernah menemui manusia yang menyembunyikan kepala memperlihatkan ekor seperti dirimu ini. Apabila saudara mempunyai kepala dan wajah, ada she serta nama, seharusnya tidak perlu menyembunyikan diri di tempat gelap seperti setan gentayangan. Meskipun selembar nyawa si tukang minta-minta ini tidak seberapa nilainya, namun hanya mati di tangan seorang pendekar sejati baru merasa puas!”
Si pengemis cilik mengira kata-katanya yang keras dan tajam ini pasti bisa menimbulkan kemarahan orang yang bersembunyi itu sehingga mengunjukkan diri. Paling tidak dia akan membuka suara memberikan sahutan. Dengan demikian tidak sulit baginya untuk menentukan Bagian mana orang itu menyembunyikan dirinya. Setelah itu urusan timenjaga segala kemungkinan, sekonyong-konyong dia merasa ada serangkum angin yang menerpa dari depan. Keadaan di dalam goa itu begitu gelap sehingga kelima jari tangan sendiripun tidak terlihat. Meskipun pandangan mata Cu Cia lebih tajam daripada orang biasa, dalam keadaan seperti ini dia tidak dapat melihat senjata rahasia apa yang sedang meluncur ke arahnya. Hatinya menjadi tercekat, mulutnya mengeluarkan suara teriakan keras.
“Ada senjata rahasia!” sepasang lengannya direntangkan ke depan, seiring dengan suara teriakannya, tubuh si pengemis cilik pun mencelat ke samping dengan gerakan secepat kilat. Tanpa menunda waktu dia pun meloncat mundur ke belakang tiga langkah.
Terdengar suara benturan logam dan batu, Cu Cia tahu senjata rahasia itu sudah mengenai dinding goa di sampingnya. Suaranya saja sampai bergema ke seluruh goa dan kumandangnya seperti sahut menyahut.
Cu Cia merasa marah sekali terhadap bo-kongan itu.
“Siapa yang menimpukkan senjata rahasia? Kalau sahabat dari dunia Bulim seharusnya memberi peringatan terlebih dahulu!”
Untuk sekian lama tetap tidak ada sahutan sumbernya dari bahwa tanah, suaranya sendiri gemuruh memekakkan telinga. Kurang lebih setengah menit kemudian sepasang pintu yang tadinya tertutup rapat mulai membuka.
Si pengemis cilik Cu Cia merentangkan pedang pendeknya di depan dada kemudian mendahului Sam Po Hwesio menerjang ke dalam. Dengan bantuan cahaya matahari yang sedang bersinar terang, dia mengedarkan pandangannya. Tampak tinggi goa itu mencapai satu depa setengah. Keadaan di dalamnya luas sekali. Tetapi karena lama sekali tidak pernah dimanfaatkan, maka di dalamnya masih terasa ada hawa yang lembab.
Tiba-tiba terdengar suara yang menggelegar, rupanya sepasang pintu goa yang tadi telah terbuka sekarang merapat kembali. Kalau waktu membukanya agak lama, tutupnya justru cepat sekali. Otomatis ruangan goa tersebut kehilangan penerangan dan menjadi gelap gulita.
Sam Po Hwesio meleletkan lidahnya sambil tertawa lebar.
“Amit-amit! Kalau saja si hwesio cilik terlambat masuk satu detik saja, tubuh ini pasti tergencet pintu yang tebal ini dan bisa-bisa gepeng seperti perkedel!”
Si pengemis cilik mengerutkan sepasang alisnya, dia berkata dengan suara lirih, “Jangan banyak bicara! Menurut pandangan si pengemis cilik, di dalam goa pasti bersembunyi seorang tokoh yang berbahaya. Keadaan sekarang tidak menguntungkan bagi kita, apalagi si pengemis cilik masih belum menemukan seorang tukang minta-minta perempuan yang dapat dijadikan isteri, dengan demikian ketu-runanpun belum ada. Siapa yang ingin mati konyol di tempat ini?” mulutnya berkata, langkahnya mulai bergerak.
Perlahan-lahan dia berjalan masuk ke dalam goa.
Sam Po Hwesio melepaskan tasbeh yang mengalungi lehernya. Digenggamnya erat-erat tasbeh itu di tangan. Dia mengikuti belakang Cu Cia dengan ketat seakan takut ketinggalan oleh sahabat karibnya itu. Berduaan mereka masuk ke dalam goa dengan hati- hati.
Selangkah demi selangkah mereka bertindak. Setelah berjalan kurang lebih tiga puluh depaan, mereka mulai merasa tanah yang diinjak menjadi kasar dan penuh dengan batu- batu kecil. Semakin lama semakin sulit ditempuh. Baru saja dia ingin mengingatkan Sam Po Hwesio agar mengerahkan tenaga dalamnya goa ini tanpa sebab musabab yang pasti!”
Sam Po Hwesio merenung beberapa saat. Dia merasa apa yang dikatakan si pengemis cilik Cu Cia memang beralasan. Sekali lagi dia mengedarkan pandangannya. Setelah yakin tidak ada hal yang mencurigakan, tubuhnya langsung berkelebat ke depan goa dan memeriksa keadaan di sana dengan teliti.
Sejenak kemudian terdengar suara teriakan Sam Po Hwesio, “Apa yang diduga oleh si tukang minta-minta ternyata sedikitpun tidak salah. Di tempat ini terdapat banyak jejak kaki. Rumput-rumputan terkulai karena bekas injakan. Tampaknya malah telah terjadi pertarungan yang sengit, sehingga banyak bekasnya yang serabutan. Sedangkan bekas
jejak kaki ada yang dalamnya sampai tiga senti, lagipula satu di antaranya kecil sekali. Tidak salah lagi jejak kaki seorang perempuan…”
Si pengemis cilik tidak mengucapkan sepa-tah katapun. Tiba-tiba tubuhnya berkelebat ke depan goa, tangannya mengulur ke depan dan menekan suatu benda yang bentuknya bulat kecil. Dalam waktu yang bersamaan, tangan kanannya langsung mengeluarkan sebatang pedang pendek berukuran tiga mistar.
Terdengar suara rantai berderak-derak, mangu untuk beberapa saat. “Apakah kau menemukan sesuatu?”
Tangan si pengemis cilik menunjuk ke arah goa batu.
“Hek Lohan, coba kau perhatikan. Di depan batu goa itu ada tiga batang senjata rahasia, entah siapa yang menjatuhkannya di sana. Juga terdapat sepasang golok. Rasanya telah terjadi sesuatu belum lama ini. Kalau jatuhnya tadi malam, setelah terkena embun pagi, cahayanya pasti tidak demikian berkilau lagi. Di rerumputan Bagian timur juga terdapat beberapa senjata rahasia, juga secarik koyakan baju berwarna abu-abu. Aku masih ingat dengan jelas bahwa Yi Siu Locianpwe mengenakan pakaian dari,bahan yang persis dan warnanya pun sama pula!”
Hati Sam Po Hwesio tergetar mendengarnya.
“Maksudmu di depan goa ini telah terjadi suatu peristiwa pagi ini?” Cu Cia menganggukkan kepalanya berkahkah.
“Secara kasarnya memang demikian. Kalau tidak, Ciong San Suang Siu Locianpwe yang sudah tahu tugas serta tanggung jawabnya sangat berat, tidak mungkin meninggalkan dak begitu sulit lagi diselesaikan. Kalau tidak, posisi dirinya sungguh tidak menguntungkan.
Musuh di tempat gelap, sedangkan dirinya di tempat terang. Setiap gerak-geriknya dapat diketahui oleh lawan sehingga dia kehilangan peluang melakukan penyerangan. Orang bodoh juga mengerti bahwa kedudukannya sekarang sudah kalah set. Oleh karena itu, selesai berkata dia segera mempertajam indera pendengarannya dan mendengarkan dengan seksama.
Dalam keadaan seperti ini, walaupun sebatang jarum jatuh di atas tanah pada jarak sepuluh depa, pasti masih dapat terdengar jelas olehnya. Siapa nyana setelah mendengarkan beberapa saat tetap saja tidak ada suara sedikitpun. Akhirnya hawa amarah dalam dada si pengemis cilik jadi meluap. Dia berteriak dengan suara keras, “Hei, kalau kau masih tidak mengunjukkan diri juga, si pengemis cilik akan memaki-maki delapan keturunan dari nenek moyangmu!”
Baru saja ucapannya selesai, tampaknya pihak lawan sudah mulai kehabisan perasaan sabarnya. Tiba-tiba terdengar suara angin berdesir, tiga batang senjata rahasia meluncur ke arahnya secepat kilat.
Cu Cia mengeluarkan suara dengusan berat satu kali. Lengan kanannya bergerak dan tenaga dalam langsung terpancar keluar. Begitu ketiga batang senjata rahasia itu agak mendekat, sekonyong-konyong Cu Cia mengibaskan tangannya dengan jurus Angin Menangkap Bayangan. Tampak pedangnya berkilauan dan menimbulkan bayangan seperti
bunga-bunga yang menerjang ke atas. Terdengar suara berdentang beberapa kali berturut-turut. Tiga batang senjata rahasia tersampok jatuh di atas tanah oleh pedang si pengemis cilik.
Pendengaran si pengemis cilik Cu Cia sangat tajam, apalagi sejak semula dia memang sudah memusatkan seluruh perhatiannya. Ketika telinganya mendengarkan dengan seksama, dia segera dapat menduga dari mana ketiga batang senjata rahasia itu dilemparkan. Tempatnya kurang lebih dua belas langkah di sebelah kiri. Dengan demikian dia segera tertawa terbahak-bahak.
“Si pengemis cilik juga mempunyai sedikit hadiah untukmu, sambutlah!” tangan kirinya mengibas, dua butir batu kecil melayang ke depan.
Rupanya ketika berbicara tadi, secara diam–diam dia sudah menyediakan dua butir batu dalam genggaman tangannya. Kedua butir batu tersebut melayang secepat kilat karena dilemparkan dengan tenaga dalam yang kuat. Terdengar suara desiran pakaian yang sekejap mata sirap kembali. Kemudian terdengar suara: Plok! Plok! Dua kali dari jarak kurang lebih satu depaan. Kedua butir batu itu mengenai dinding goa sehingga menimbulkan gema yang berkumandang di seluruh goa. Tentu saja orang itu sudah berpindah tempat ketika ia menimpukkan senjata rahasia.
Untuk sesaat Cu Cia jadi termangu-mangu. Diam-diam dia berpikir di dalam hatinya. ‘Entah siapa orang ini? Ternyata ilmu meringankan tubuhnya begitu tinggi. Seandainya
dia sengaja menggunakan senjata rahasia mempermainkan aku, jangan harap aku dapat menggeser setengah langkah saja. Tampaknya kalau begini terus, keadaan Tian Bu Cu Locianpwe semakin lama bisa semakin berbahaya. Lagipula aku tidak tahu ada berapa jago kelas tinggi yang bersembunyi di dalam goa ini.’
Pikirannya bekerja cepat bagai kincir angin, setelah berputaran beberapa kali, hati Cu Cia semakin panik. Matanya menatap ke arah dalam goa dengan termangu-mangu. Dia sendiri bingung apa yang harus diperbuatnya.
Tiba-tiba terdengar suara tawa Sam Po Hwesio.
“Hidup ada tempatnya, mati ada suratan nasibnya. Bila Giam Lo-ong (Malaikat elmaut) sudah menentukan ingin mengambil jiwa kita berdua di tempat ini, mau lari pun tidak mungkin. Saat sekarang ini yang paling penting justru menolong orang. Kita terpaksa berusaha dengan menempuh bahaya!” sambil berkata, tampak tubuhnya yang gemuk berkelabat. Sepasang lengan bajunya menimbulkan desiran angin, dia melesat lewat di samping Cu Cia kemudian menerjang ke depan.
Sekonyong-konyong terdengar suara bentakan dari dalam goa, “Berhenti! Kalau kau masih berani maju terus, jangan salahkan apabila aku turun tangan melukaimu!”
Sam Po Hwesio tertawa terbahak-bahak.
“Maaf sekali kalau si Hwesio cilik tidak dapat menuruti permintaanmu!”
Sepasang kakinya dipercepat, dua kali loncatan dia sudah mencapai sembilan langkah lebih. Cu Cia yang melihat Sam Po Hwesio menerjang ke depan tanpa memperdulikan bahaya langsung mengerutkan sepasang alis karena perbuatan rekannya itu benar-benar
ceroboh. Mudah sekali apabila lawan hendak membokongnya secara tiba-tiba. Tetapi saat itu sudah terlambat baginya mencegah, terpaksa dia mengerahkan hawa murninya dan mengejar ke depan.
Siapa nyana baru saja dia melesat ke depan, telinganya sudah mendengar suara dengusan berat Sam Po Hwesio. Orangnya sendiri bagai disengat aliran listrik. Setelah gemetar sebentar, dia langsung terkulai jatuh di atas tanah. Si pengemis cilik telah bersahabat karib dengannya cukup lama. Selama beberapa tahun ini mereka bergembira bersama, apabila ada kedukaan pun dibagi bersama, boleh dibilang mereka berdua seperti orang dengan bayangannya yang tidak pernah berpisah sekejap matapun. Hubungan mereka demikian erat seperti kelima jari tangan sendiri.
Sam Po Hwesio terkulai di atas tanah, kejadiannya begitu cepat. Cu Cia tahu dia telah dibokong oleh seseorang. Saat itu juga perasaan amarah dalam dadanya jadi meluap.
Wajahnya menyiratkan kegusaran yang berbaur dengan rasa sedih. Dia langsung mengeluarkan suara siulan yang panjang, pedang bambunya mengerahkan jurus Menyerang Delapan Penjuru di Malam Hari. Timbul berpuluhpuluh bayangan dari pedang bambunya yang digunakan untuk melindungi diri, orangnya sendiri menerjang ke depan dalam waktu yang bersamaan.
Dalam keadaan marah, kecepatan tubuhnya bagai terbang. Dalam sekejap mata saja dia sudah sampai di tempat Sam Po Hwesio terkulai. Dari dalam goa panjang dan gelap, kembali berkumandang suara yang dingin tadi.
“Kalau kau ingin mati kan mudah saja!”
Cu Cia menggetarkan lengan kanannya, tubuhnya yang sedang menerjang ke depan sekonyong-konyong berubah posisi. Pedangnya menimbulkan suara angin yang menderu- deru dan dilancarkannya langsung ke arah sumber suara barusan.
Entah mengapa, tiba-tiba dia merasa Bagian pahanya kesemutan, peredaran darah di Bagian bawah tubuhnya bagai tersumbat, tenaganya lenyap dan hampir saja dia terkulai jatuh. Cepat-cepat dia menghimpun hawa murni dalam tubuhnya dan dengan keras dia menghentakkan sepasang pundaknya ke belakang, gerakan tubuhnya pun terhenti. Tetapi untuk beberapa saat dia sempat terhuyung-huyung seperti orang mabuk.
Apabila pada saat itu orang yang bersembunyi dalam goa kembali menimpukkan sebatang senjata rahasia, biarpun ilmu Cu Cia lebih tinggi lagi dari sekarang, tetap saja sulit baginya untuk menghindarkan diri. Entah apa sebabnya, ternyata orang itu tidak melakukan tindakan apa-apa. Seluruh ruangan goa yang gelap gulita itu menjadi hening sekali. Bahkan terasa ada serangkum hawa tegang yang menyelimuti keadaan di dalamnya. Hal ini membuat perasaan orang semakin tidak tenang.
Ketika Cu Cia mengerahkan hawa murni dalam tubuhnya, dia merasa aliran hawa tersebut seakan tersumbat, paha kirinya sulit digerakkan. Dia langsung tahu bahwa barusan dirinya telah terkena senjata rahasia lawan yang mengandung racun. Meskipun nyali anak muda ini sangat besar dan selamanya menganggap remeh terhadap kematian, tetapi kali ini hatinya tercekat juga. Dia segera mendongakkan wajahnya dan membentak dengan suara lantang, “Hei, siapa kau sebenarnya? Keluarlah dan biar si pengemis cilik melihat tampangmu, dengan demikian matipun tidak menyesal!”
Orang itu mengeluarkan suara dengusan dingin dari hidungnya.
“Sebelum masuk ke dalam goa ini, cahye sudah menutupi wajah dengan sehelai cadar. Seandainya saat ini aku keluar menemuimu, kau juga tidak dapat melihat wajah asliku!”
Cu Cia sengaja merenung sejenak. Sesaat kemudian baru dia berkata kembali.
“Si pengemis cilik maklum ilmu silatku masih tidak dapat menandingi dirimu, tetapi aku rela mati di bawah tanganmu. Apabila ada beberapa temanmu yang lain di dalam goa, ada baiknya suruh mereka turun tangan sekalian, agar si pengemis cilik mati dengan puas!”
Sembari berbicara, tangannya terulur ke depan meraba-raba tubuh Sam Po Hwesio. Dia ingin memeriksa keadaan sahabatnya, apakah masih hidup atau sudah mati. Tindakannya ini dilakukan dengan cepat sekali, baru saja teraba dia sudah menarik tangannya kembali. Sementara mulutnya sedang berbicara, Cu Cia mengira lawannya pasti berhasil dikelabui.
Tiba-tiba terdengar orang itu mengeluarkan suara tertawa terbahak-bahak.
“Teman baikmu itu hanya tertotok jalan darahnya, dalam waktu satu kentungan lebih tidak mungkin mati. Kau tidak perlu khawatir, lagipula cayhe sama sekali tidak berniat melukai orang, maka cara turun tanganpun ringan sekali. Sekarang ini lebih baik kau berdiri diam-diam di tempatmu itu, jangan mempunyai pikiran yang bukan-bukan. Cahye sendiri juga tidak ingin mencari kesulitan.”
“Siapa kau sebenarnya? Apakah Ciong San Suang Siu telah terbunuh olehmu?” tanya Cu Cia semakin penasaran.
Sekali lagi orang itu tertawa terbahak-bahak.
“Tidak perlu mencapaikan diri beromong kosong, kurang lebih setengah kentungan kemudian, semua urusan akan menjadi terang!”
Hati Cu Cia tergetar mendengar perkataannya, tiba-tiba saja dia membayangkan diri Tian Bu Cu yang entah selamat atau tidak. Tanpa dapat ditahan lagi dia langsung bertanya kepada orang itu.
“Apakah Tian Bu Cu Locianpwe juga sudah…”
Belum lagi ucapannya selesai, sekonyong-konyong telinganya mendengar suara benturan senjata. Nadanya melengking membuat telinga menjadi ngilu. Sumbernya dari dalam goa. Cepat-cepat dia menolehkan kepalanya, tampak di dalam goa yang tertangkap pandangan mata hanya kegelapan. Jarak lebih dari tiga langkah sudah tidak kelihatan apaapa lagi. Meskipun Cu Cia memusatkan pandangan matanya, tetap saja dia tidak menemukan jejak apa-apa.
Sementara itu, tidak jauh dari tempatnya berdiri terdengar suara desiran angin yang timbul dari pakaian seseorang, semakin lama semakin menjauh. Sesaat kemudian suara itu tidak terdengar lagi. Cu Cia yakin orattg yang bersembunyi tadi sudah meninggalkan tempat tersebut. Apabila pendengaran Cu Cia tidak cukup tajam, tentu dia tidak dapat mendengar suara gerakan orang itu yang demikian ringan.
Dia maklum situasi saat ini sangat gawat, menunda waktu satu detik satu menit saja, kemungkinan menyangkut keselamatan jiwa seseorang. Dia tidak sempat memeriksa keadaan luka Sam Po Hwesio lagi, tubuhnya langsung bergerak, berkelebat masuk ke dalam goa. Sayang sekali pahanya sendiri juga terluka, gerakannya menjadi kaku dan tidak gesit seperti biasa. Oleh karena itu, jalannya juga tidak dapat terlalu cepat.
Kurang lebih seminuman teh kemudian, dia menikung pada sebuah belokan. Telinganya kembali mendengar suara benturan senjata. Dia segera menduga ada orang yang sedang mengadakan pertarungan. Cepat-cepat dia melonjak dua kali berturut-turut. Dengan menahan rasa nyeri di pahanya, dia terus menerjang maju ke depan. Setelah lewat lagi sebuah tikungan, tiba-tiba pemandangan di depan matanya jadi terang. Di kiri kanan dinding goa terdapat beberapa batang obor besar yang menyala, sinarnya berkibaran sehingga matanya yang sejak tadi melihat keadaan gelap menjadi silau. Untuk sesaat dia tidak berani membuka matanya.
Namun dia sadar musuh kuat sedang di hadapan mata, setiap waktu bisa menyebabkan peristiwa yang tidak diinginkan. Oleh karena itu, setelah memejamkan mata beberapa saat, perlahan-lahan dia membukanya kembali.
Begitu pandangan matanya sudah terbiasa, dia melihat Ciong San Suang Siu duduk berdampingan di depan tumpukan kayu bakar. Wajah mereka pucat pasi dan keringat membasahi seluruh tubuh mereka. Tampang mereka menyiratkan penderitaan yang dalam seakan sedang menahan rasa sakit yang tidak terkirakan. Di Bagian pundak, pinggang maupun paha mereka terlihat tanda luka yang cukup dalam. Darah segar masih terus menetes. Tampaknya kedua orang itu saja melangsungkan pertarungan sengit dengan pihak musuh dan akibatnya terluka cukup parah.
Mei Ling sedang berjongkok di bawah tanah mengobati kedua orangtua tersebut. Meskipun dia tahu di belakangnya ada orang yang berlari mendatangi, tetapi dia tidak menolehkan kepalanya atau melirik sekilas.
Seorang laki-laki berpakaian putih dengan wajah ditutupi sehelai cadar berdiri di samping dengan tangan menggenggam sebatang pedang. Diam-diam Cu Cia memperhatikan orang ini. Mungkin dialah yang menimpukkan senjata rahasia di tengah goa tadi. Tanpa dapat ditahan lagi hidungnya mengeluarkan suara dengusan dingin.
Setelah itu baru dia mengalihkan pandangannya. Siapa nyana begitu melihat, dia langsung merasa jantungnya berdebar-debar dan hatinya menjadi panik bukan main.
Dia melihat sebelah lengan Tan Ki terulur ke depan dengan wajah kelam. Dengan pedang sulingnya dia menahan pedang panjang di tangan seorang gadis berpakaian merah. Gadis itu juga menggunakan cadar untuk menutupi wajahnya. Hanya dari bentuk tubuhnya dapat dipastikan bahwa usianya masih cukup muda. Saat ini kedua orang itu saling mengadu kekuatan tenaga dalam lewat senjata masing-masing, tubuh mereka tidak bergerak sedikit-pun.
Tampak keringat sudah membasahi kening keduanya, dada mereka turun naik dan nafas-pun tersengal-sengal. Masing-masing mengerahkan tenaga dalamnya yang disalurkan lewat pedang dan berusaha mendesak lawannya.
Keduanya mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya untuk mendesak lawannya. Hal ini membuat kedua batang senjata mereka hampir tidak bisa dipertahankan. Tampak cahaya dari percikan api yang timbul dari senjata mereka memijar-mijar. Kedua senjata saling
bergesekan dan seperti mengandung aliran listrik. Timbul suara yang membuat pendengaran menjadi ngilu.
Kurang lebih sepeminuman teh kemudian tampak wajah Tan Ki semakin kelam, keringatnya mengucur bagai curah hujan. Tiba-tiba terdengar suara keluhan dari mulut gadis itu, tubuhnya terhuyung-huyung seakan sudah mulai tidak kuat mempertahankan diri. Mungkin sebentar lagi dia akan terdesak mundur. Laki-laki berpakaian putih yang wajahnya juga ditutupi cadar seakan tergetar melihatnya, tanpa sadar kakinya melangkah ke depan setengah tindak.
Cu Cia melihat laki-laki itu ingin maju ke depan memberikan bantuan kepada si gadis berpakaian merah. Dia segera memperdengarkan suara tawa yang dingin.
“Saudara harap jangan keburu nafsu! Jangan lupa masih ada si pengemis cilik di sini!”
Tiba-tiba semangat si gadis berpakaian merah sepertinya terbangkit kembali. Tubuhnya bergerak ke sana ke mari. Entah bagaimana caranya, tahu-tahu di tangannya sudah bertambah sebatang pedang pendek. Meskipun ukuran pedang itu pendek, tetapi cahayanya justru berkilauan sekali. Begitu digerakkan terasa ada serangkum hawa dingin yang menyebar. Kalau dibandingkan dengan pedang panjang di tangan kanannya, mungkin ketajamannya melebihi beberapa kali lipat.
Sepasang alis Tan Ki langsung menjungkit ke atas. Diam-diam dia menghimpun hawa murni dalam tubuhnya dan memperhatikan tindakan yang akan diambil oleh gadis tersebut. Tampaknya gadis itu mengatur pernafasannya sejenak, tiba-tiba tubuhnya kembali berkelebat dan menerjang datang ke arah Tan Ki.
Kedua orang itu kembali bergerak dengan menggunakan jurus-jurus serangan yang dahsyat serta kecepatan bagai kilat. Orang lain jangan harap dapat melihat bagaimana mereka menggerakkan senjata masing-masing, yang tampak hanya cahaya berwarna hijau dan sinar putih yang berkilauan menusuk pandangan mata. Untuk sesaat bayangan manusia laksana menari-nari di tengah kabut yang tebal.
Terasa hawa yang terpancar dari pedang menyebar sejauh lima langkah di sekeliling mereka. Bahkan obor api yang tertancap di kanan kiri dinding goa ikut melambai-lambai karena terpaan angin yang kencang. Kadang sinarnya menyala terang, sekejap kemudian redup kembali. Tan Ki khawatir suara pertarungan mereka mengejutkan Tian Bu Cu yang sedang menutup diri. Oleh karena itu, dia berusaha sebisa mungkin untuk tidak menimbulkan suara bising.
Cu Cia sampai mengeluarkan keringat dingin menyaksikan pertarungan tersebut. Diam- diam dia berpikir dalam hatinya: ‘Tampaknya ilmu pedang memang benar tidak ada batasnya. Suhuku sendiri terkenal di dunia Kangouw dengan ilmu pedang Delapan Pedang Pengejar Sukma-nya. Tetapi kalau dibandingkan dengan ilmu yang digunakan Tan-heng sekarang, kemungkinan malah sudah kalah satu garis. Usia Tan-heng paling-paling lebih tua satu dua tahun dibandingkan denganku, ternyata dia sudah berhasil melatih ilmu pedangnya sampai taraf sedemikian tinggi sehingga dapat melukai orang dari jarak sepuluh langkah tanpa wujud sama sekali…’
Justru di saat Cu Cia sedang merenung, teryata telah terjadi perubahan di arena pertarungan. Tampak cahaya hijau semakin lama semakin membesar. Hawa yang terpancar dari pedang seperti mengandung kegusaran. Tiba-tiba terdengar kembali suara
logam beradu, timbul secarik sinar bagai pelangi yang hanya sepenggal. Bayangan manusia pun memencar, sebatang pedang suling di tangan Tan Ki yang langka ternyata kutung putus oleh cahaya hijau yang tajam tadi. Di lain pihak pedang panjang di tangan kanan si gadis berpakaian merah juga patah menjadi dua Bagian, dari lengannya terlihat darah mengalir. Tetapi karena wajahnya ditutupi dengan cadar, jadi tidak tampak bagaimana tampangnya saat itu.
Tampaknya dia tergetar oleh tenaga dalam Tan Ki yang kuat. Kalau saja gerakannya kurang cepat, mungkin sebelah lengannya juga ikut terpapas putus. Untungnya dia cepat- cepat menahan serangan Tan Ki dengan pedang panjangnya. Dalam hati dia sadar bahwa apabila pertarungan ini tetap diteruskan, dia juga bukan tandingan Tan Ki. Rencana yang telah diperhitungkan matang-matang tampaknya tidak mungkin terwujud lagi. Tanpa menunda waktu lagi gadis itu mengeluarkan suara siulan yang panjang kemudian menghambur keluar dari goa tersebut.
Cu Cia dapat melihat bagaimana liciknya gadis ini. Saat itu sang gadis melesat lewat di sampingnya, dia segera mengambil kesimpulan bahwa dia harus menggunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Tetapi biar bagaimana dia merupakan seorang murid yang dididik oleh tokoh lurus. Tentu saja dia tidak sudi membokong orang secara diam-diam, oleh karena itu mulutnya segera mengeluarkan suara bentakan nyaring, “Sambut seranganku ini!” pergelangan tangannya memutar, pedangnya langsung dijulurkan ke depan. Dengan jurus Ular Putih Memuntahkan Bisa, dia melancarkan sebuah tikaman.
Serangan ini dikerahkan setelah mempertimbangkan baik-baik. Dengan demikian kehebatannya tidak dapat dianggap ringan. Suara yang timbul dari serangannya menderu- deru. Kecepatannya bagai kilat menyambar.
Punggung si gadis berpak un merah seakan mempunyai mata, tanpa memalingkan kepala, lengannya sudah terulur dan menghantam ke belakang. Kalau dikatakan memang aneh juga, serangannya itu ternyata dengan telak menahan pedang kayu Cu Cia yang sedang meluncur ke arahnya.
Cu Cia melihat dia melancarkan serangan balasan tanpa menolehkan kepalanya sedikit pun. Bahkan langkah kaki gadis itu tidak berhenti sama sekali. Tampaknya dia memang tidak memandang sebelah mata kepada Cu Cia. Karena usia si pengemis cilik itu masih relatif muda, otomatis emosi dalam dadanya gampang meluap. Saat itu juga dia menjadi gusar, kecepatan pedang bambunya dipertambah, serangkum angin yang kencang langsung terpancar keluar. Namun baru saja dia maju dua langkah, pedang bambunya telah tertahan oleh tenaga dalam yang tidak berwujud. Hatinya tercekat, tangannya yang menggenggam pedang terasa panas dan hampir saja dia tidak dapat mempertahankan diri. Akhirnya pedang bambu di tangannya terjatuh di atas tanah kerena terlepas dari pegangannya.
Matanya menatap lekat-lekat bayangan punggung si gadis berpakaian merah yang terus melesat pergi. Tanpa terasa dia jadi termangu-mangu. Seandainya gadis itu memang berniat melukainya, asal tenaga dalamnya tadi ditambah sedikit lagi, Cu Cia pasti tidak sanggup mengundurkan diri dalam keadaan utuh. Berpikir sampai di sini, tanpa dapat ditahan lagi tubuhnya bergetar. Bulu kuduknya merinding semua membayangkan kehebatan ilmu silat gadis itu.
Sementara itu, Tan Ki membungkukkan tubuhnya memungut kembali pedang sulingnya yang sudah terkutung seBagian. Dia memasukkannya ke dalam saku pakaian.
“Kedatangan Cu-heng sungguh kebetulan. Harap kau menjaga diri Tian Bu Cu Locianpwe yang sedang merawat lukanya!”
Melihat orang habis berkata sudah berniat pergi, Cu Cia malah jadi tertegun. “Memangnya Tan-heng sendiri hendak ke mana?”
“Aku ingin menyelidiki jejak orang-orang tadi!” tanpa memberi kesempatan bagi Cu Cia untuk mengajukan pertanyaan lagi, Tan Ki langsung melesat keluar dari goa tersebut.
Tampak bayangan tubuhnya berkelebat bagai hembusan angin dan dalam waktu sekejap mata dia sudah menghilang dari pandangan mata.
Sepasang alis Cu Cia langsung mengerut-ngerut. Diam-diam dia berpikir dalam hati: ‘Tingkah lakunya seperti orang yang tergesa-gesa, malah keringatpun belum sempat dihapus. Mungkinkah di dalam hatinya telah tersimpan suatu kecurigaan sehingga dia ingin membuktikan benar tidaknya?’
Seraya berpikir, kakinya melangkah ke depan untuk memungut pedang bambunya yang terjatuh di atas tanah. Tangannya yang sebelah lagi mengeluarkan sebotol obat luka dan dia segera membantu Mei Ling membalut luka Ciong San Suang Siu.
Tidak berapa lama kemudian, terdengar suara langkah kaki mendatangi. Begitu pandangan matanya ditolehkan, dia melihat sosok tubuh Sam Po Hwesio yang gemuk sedang berjalan masuk mendekati mereka.
Belum lagi Cu Cia sempat menanyakan keadaan lukanya, si Hwesio cilik itu sudah terlebih dahulu mengajukan pertanyaan.
“Siapa laki-laki dan perempuan yang baru menerjang keluar dari dalam sini? Keadaan di tengah-tengah goa begitu gelap, kawan atau lawan sampai sulit dibedakan. Biarpun hati si Hwesio cilik sedang mendongkol sekali, tetapi tetap saja tidak berani sembarangan turun tangan.
Si pengemis cilik Cu Cia hanya tertawa getir. Dia sengaja tidak menjawab pertanyaan Sam Po Hwesio, namun menolehkan kepalanya kepada Mei Ling.
“Liu Kouwnio, sebetulnya bagaimana kejadiannya sampai Ciong San Suang Siu kedua Locianpwe bisa sampai terluka sedemikian rupa?”
Mei Ling meletakkan bekas sobekan lengan pakaian sisa membalut luka Ciong San Suang Siu di atas tanah. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Aku sendiri juga kurang jelas. Tadinya aku dan Tan Koko hanya berniat melihat keadaan Liang Cici, sekalian jalan ke arah ini. Tetapi baru masuk ke dalam goa, kami sudah melihat laki-laki berpakaian putih yang mengenakan cadar tadi. Dia sedang berusaha membuka pintu ini. Aku dan Tan Koko bertanya kepadanya dengan suara keras sampai beberapa kali, tetapi mereka tidak menyahut sedikitpun. Malah si gadis berpakaian merah langsung menyerang Tan Koko sehingga terjadi pertarungan sengit.”
“Kalah dan menang masih belum ketahuan, mengapa si laki-laki berpakaian putih tiba- tiba mengundurkan diri dan mencegat kami di lorong goa? Dia toh bukan tukang ramal, bagaimana dia bisa tahu kalau aku dan Sam Po Hwesio akan datang ke mari?”
Mei Ling tersenyum mendengar kata-katanya.
“Dia sama sekali belum bergebrak dengan Tan Koko, tentu saja bebas ke mana saja. Begitu masuk ke mari, Tan Koko langsung terlibat perkelahian dengan gadis berpakaian merah. Pada saat itu Ciong San Suang Siu kedua Locianpwe justru sedang mempertahankan diri sekuatnya agar mereka jangan sampai menerobos masuk ke dalam. Meskipun sudah terluka parah tetapi mereka masih terus bertahan. Seorang diri saja, apabila dia hendak merobohkan Ciong San Suang Siu kedua Locianpwe dalam waktu yang singkat, memangnya gampang. Apalagi setelah kedatangan kami, tampaknya dia tidak ingin menyaksikan pertarungan antara gadis berpakaian merah itu dengan Tan Koko. Oleh karena itu, dia segera berjalan keluar dan kemungkinan dia bersembunyi di lorong sempit sekaligus mencegah apabila ada pihak kita yang datang memberikan pertolongan atau bisa jadi dia menunggu di sana sebagai pembuka jalan seandainya gadis itu ingin mengundurkan diri.”
Cu Cia menaikkan sepasang bahunya.
“Ciong San Suang Siu kedua Locianpwe mempertaruhkan nyawa menjaga pintu batu ini. Untung saja pihak lawan belum sempat membobolnya. Apabila hal ini terjadi, Tian Bu Cu Locianpwe yang sedang menutup diri pasti akan terkejut, akibatnya sungguh tidak dapat dibayangkan, bahkan Liang Fu Yong juga mungkin…”
Tiba-tiba dia seperti teringat sesuatu hal yang mencurigakan, kata-katanya terhenti.
Sepasang alisnya mengerut ketat dan kepalanya mendongak ke atas seakan sedang memutar otaknya.
Kurang lebih sepeminuman teh kemudian, baru terdengar dia menarik nafas panjang. Lalu dia berkata dengan lirih seperti sedang mengguman seorang diri, “Si pengemis cilik sungguh tidak mengerti, bagaimana kedua orang ini bisa tahu cara membuka alat rahasia yang digunakan untuk menutup goa. Apakah ada orang yang mengkhianati kita dan membeberkan rahasia kepada pihak musuh…?”
Bukan hanya Cu Cia yang mengandung kecurigaan yang dalam. Demikian pula halnya dengan Tan Ki yang sedang mengejar sepasang manusia tadi. Setelah memungut kembali pedang sulingnya yang patah ia langsung mengejar mereka. Kecepatannya jangan ditanyakan lagi. Dalam waktu yang singkat dia sudah keluar dari goa yang gelap itu.
Begitu pandangan matanya beredar, dia melihat sekitar bukit tersebut sunyi senyap. Angin berhembus semilir menggoyangkan rerumputan yang tumbuh liar. Tidak terlihat bayangan seorangpun. Tanpa dapat ditahan lagi dia menggaruk-garuk kepalanya, diam-diam dia berpikir dalam hati: ‘Di seluruh bukit ini entah terdapat berapa banyak celah-celah yang terpencil, ke mana aku harus mencari mereka?’ begitu pikirannya tergerak, dia merenung sejenak. Kemudian dia menggertakkan giginya erat-erat dan mengerahkan ilmu ginkangnya menghambur ke arah barat.
Dia sadar cara berlari tanpa memperhitungkan arah ini dan hanya mengandalkan nasib serta peruntungan, sebetulnya sulit untuk dapat menyandak kedua orang tadi. Siapa nyana baru saja berlari sejauh empat lima depa, secercah warna menyolok sudah tertangkap pandangan matanya. Gadis berpakaian merah itu ternyata sedang berdiri
membelakanginya dengan bersandar pada sebatang pohon siong. Angin pagi menghembuskan ikat pinggangnya yang menjuntai ke bawah. Gelang tangannya yang diganduli bola-bola emas ukuran kecil berdentingan karena saling beradu. Warna pakaiannya sungguh kontras dengan pemandangan di sekitar. Untuk sesaat Tan Ki malah jadi tertegun.
Tempat ini merupakan sebidang tanah kosong yang tidak jauh dari jurang yang dalam. Rerumputan serta pepohonan agak jarang, dengan demikian pemandangan jadi lapang. Selain sebatang pohon siong yang disandarinya, boleh dibilang tidak ada lagi tempat untuk menyembunyikan diri. Tetapi Tan Ki tetap khawatir kalau si laki-laki berpakaian putih tetap melindungi gadis itu secara diam-diam. Meskipun kakinya melangkah ke depan, namun tanpa menyolok dia sudah mengerahkan tenaga dalamnya untuk berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan. Sikapnya hati-hati dan waspada.