Bagian 39
Goan Yu Liong adalah putra kesayangan Pendekar pedang tingkat empat Goan Siang Fei yang dikalahkan oleh Tan Ki. Pendidikannya cukup tinggi. Sejak kecil ia sudah belajar ilmu silat sehingga pandangan matanya sangat tajam. Tetapi setelah mendongakkan wajahnya sekian lama mencari-cari, dia tetap tidak melihat adanya bayangan orang di atas pohon, tanpa dapat ditahan lagi hatinya tergetar, lagipula dia melihat di Bagian batang pohon itu tidak terdapat ranting sama sekali, sedangkan sumber suara tadi terpancar dari Bagiannya yang paling tinggi. Hatinya berpikir bahwa ilmu ginkang orang ini sudah mencapai taraf yang begitu tingginya sehingga ngeri dibayangkan dengan akal sehat.
Karena di Bagian batang pohon tidak terdapat ranting sebagai injakan kaki. Orang itu ilmu ginkangnya sudah cukup tinggi saja, paling-paling hanya sanggup mencapai jarak tiga depaan sekali loncat. Sedangkan tinggi pohon ini justru lebih dua kali lipat.
Berpikir sampai di sini, hatinya tergerak, cepat-cepat dia membungkukkan tubuhnya dan memungut sebuah batu kecil. Setelah itu dia mendongakkan wajahnya dan mengeluarkan suara bentakan, “Siapa? Kalau tidak keluar juga, jangan salahkan Cayhe bertindak kurang sopan!”
Terdengar sahutan suara yang bening dan nyaring itu. “Nona… nona… aku bernama Liok Giok…”
Mendengar kata-kata itu, Goan Yu Liong jadi tertegun. Diam-diam dia berpikir di dalam hati: ‘Kata-kata ini sepertinya bukan diucapkan oleh manusia. Kalau benar orang, aku toh tidak menanyakan siapa namanya, mengapa tidak hujan tidak angin dia malah memberitahukan kepadaku? Lagipula mengapa dia menyebut aku nona?’
Pikirannya masih bergerak, tanpa sadar mulutnya berteriak lagi. “Liok Giok!”
Baru saja suaranya berkumandang, tiba-tiba dari gerombolan pohon siong yang paling tinggi terbang keluar seekor burung kecil berwarna hijau. Dia melesat ke atas sejauh sepuluh depaan, kemudian menukik turun ke arah Goan Yu Liong.
Goan Yu Liong mengulurkan tangannya, burung kecil itu langsung hinggap di atas pangkal lengannya. Begitu diperhatikan, wajah Goan Yu Liong langsung berseri-seri. Senangnya bukan kepalang, hampir saja dia menggerakkan kakinya menari-nari. Rupanya yang memanggil-manggil dari atas pohon dan sekarang hinggap di lengan anak muda itu ladalah seekor burung kakaktua berwarna hi-jau yang sangat cantik. Ukurannya lebih besar sedikit dari burung kakaktua biasanya. Bulunya lebat dan menimbulkan cahaya yang berkilauan.
Goan Yu Liong gembira sekali. Dibuangnya daging bakar yang ada di tangannya dan dipeluknya burung itu di depan dada. Siapa nyana burung itu memberontak dan mendonggakkan kepalanya menatap Goan Yu Liong sejenak. Tiba-tiba burung itu berteriak, “Kau bukan nona, Liok Giok tidak suka!”
Mendengar kata-katanya, Goan Yu Liong jadi termangu-mangu. Untuk sesaat dia merasa bingung. Tanpa sadar dia mengulurkan tangannya meraba wajahnya sendiri. Rupanya pipi anak muda ini memang halus sekali dan putih bersih. Lagipula rambutnya panjang terurai dan belum diikat dengan selendang. Kalau dilihat sepintas memang seperti anak gadis yang cantik. Kali ini Goan Yu Liong jadi tertawa geli sehingga hampir saja air matanya keluar.
“Sayang, aku memang bukan anak perempuan. Tetapi aku juga bisa menyayangimu, bahkan melebihi mereka.”
Di tengah pegunungan kesunyian semakin terasa, suara sedikit saja akan berkumandang ke mana-mana, otomatis suara tawanya yang keras tadi mengejutkan rekan-rekannya yang lain. Ban Jin Bu cepat-cepat berlari menghampirinya.
“Adik Liong, hal apa yang membuat kau demikian gembira?”
Mula-mula Goan Yu Liong mengencangkan dekapannya. Dengan demikian burung kakaktua itu tidak dapat sembarangan bergerak. Dia takut kedatangan Ban Jin Bu akan mengejutkannya, karena kalau sudah terbang tentu tidak mudah lagi menangkapnya. Setelah itu dia mengembangkan senyuman yang lebar.
“Coba kau lihat, aku berhasil menangkap seekor burung kakaktua yang pandai bicara.” Ban Jin Bu segera memusatkan perhatiannya. Dia melihat sepasang tangan Goan Yu
Liong yang halus bagai tangan wanita itu menggenggam seekor burung kakaktua yang
bulunya berwarna hijau berkilauan. Tampaknya anak muda itu seperti takut kehilangan burung tersebut sehingga dia memeluknya erat-erat. Ban Jin Bu merasa bahwa burung itu benar-benar menyenangkan. Setelah memperhatikan beberapa saat, tanpa dapat ditahan lagi dia mengulurkan tangannya untuk meraba burung dalam dekapan Goan Yu Liong itu.
Goan Yu Liong cepat-cepat mundur satu langkah, dia menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.
“Kau jangan sentuh dia. Aku baru saja berhasil menangkapnya, sekarang ini masih belum jinak.”
Ban Jin Bu menatap dengan mata tak berkedip.
“Burung ini benar-benar manis sekali. Sejak kecil sampai sekarang aku baru melihat ada burung secantik ini.”
Tiba-tiba tampak si pengemis cilik berjalan menghampiri ke arah mereka. Melihat burung dalam dekapan Goan Yu Liong, dia ikut terpana. Tampangnya seakan bingung. Setelah lewat sesaat, dia baru menggaruk-garuk kepalanya sambil tertawa lebar.
“Burung ini tidak menunjukkan perasaan terkejut melihat orang asing. Pasti bukan burung liar tetapi peliharaan seseorang…”
Belum lagi ucapannya selesai, dari kejauhan berkumandang suara siulan yang panjang.
Suara siulan itu begitu nyaring dan lantang sehingga menimbulkan gaungan yang tidak terputus-putus.
Suara siulan itu bagai semacam isyarat bagi si burung kakaktua. Tiba-tiba dia memberontak dan berusaha mengepakkan sayapnya seakan ingin terbang ke udara. Untung saja sejak semula Goan Yu Liong sudah berjaga-jaga, sepasang tangannya dengan cepat mengail genggam kaki burung itu erat-erat.
Burung kakaktua itu tidak bisa kabur, mungkin saking paniknya sepasang sayapnya terus dikepak-kepakkan dengan keras, terdengar pula suara teriakannya.
“Nona cepat ke mari! Nona…! Mei Hun…! Ciu Hiang…! Pai Ping…! Pai Ping…!”
Secara berturut-turut dia memanggil nama beberapa orang gadis, mendengar dia juga menyebut nama ‘Mei Hun’, hati Yang Jen Ping jadi tergerak. Belum sempat dia mengatakan apa-apa, suara siulan tadi sudah terdengar lagi. Kali ini malah lebih keras dari sebelumnya.
Bahkan lambat laun suara siulan itu berubah menjadi suara teriakan, sayup-sayup terdengar panggilan “Liok Giok…!”
Yang Jen Ping merasa ada sesuatu yang tidak beres. Cepat-cepat dia mencelat ke atas dan bersembunyi dalam gerombolan dedaunan pada sebatang pohon siong yang ada di samping.
Beberapa orang yang lainnya juga merasa terkejut oleh suara siulan dan panggilan itu.
Satu per satu menunjukkan kebimbangan hatinya. Wajah mereka tampak serius serta mulai berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan.
Terdengar suara itu semakin lama semakin mendekat. Nadanya juga semakin nyaring serta tajam menusuk. Liok Giok yang berada di dalam pelukan Goan Yu Liong juga memberontak semakin hebat. Sayapnya dikepak-kepakkan dengan keras.
Saking paniknya, Goan Yu Liong mendekapkan sepasang tangannya erat-erat di depan dada. Dipegangnya sepasang kaki Liok Giok kencang-kencang. Orang-orang yang lainnya juga seperti terpengaruh oleh suara siulan serta panggilan itu, mereka mengedarkan pandangannya ke sekeliling dan berusaha melihat jejak lawan.
Suara siulan tadi terus terdengar sampai kurang lebih sepeminum teh lamanya. Setelah berhenti, keheningan kembali mencekam, seluruh lembah tersebut bagai diselimuti kesunyian yang membuat perasaan mereka menjadi tegang. Mereka merasa bahwa orang yang menimbulkan suara itu sudah berada dekat sekali. Hati mereka seakan tertekan dan ma-tapun melirik ke sana ke mari, tetapi tidak ada suatupun yang terlihat. Hanya bayangan pohon yang bergerak-gerak tertiup angin sehingga menimbulkan hawa menyeramkan dan rerumputan juga bergoyang-goyang bagai gerombolan setan yang menari-nari.
Tiba-tiba dari Bagian kanan puncak gunung berkumandang suara tawa yang panjang. Disusul dengan dua sosok bayangan yang berkelebat bagai bintang jatuh. Dalam sekejap mata, keduanya sudah melayang turun dari puncak bukit yang tingginya kira-kira sepuluh depaan.
Kedua orang ini tidak asing sama sekali bagi rombongan Ceng Lam Hong. Mereka justru si laki-laki tinggi besar yang bercambang kasar dan pelajar yang tampan yang pernah bertemu dengan mereka di kedai arak tadi sore.
Saat ini si pelajar tersebut sudah mengganti pakaiannya dengan stelan ketat berwarna hi tam. Di pundaknya tergantung sebuah perisai berbentuk sayap burung yang besar.
Sedangkan di Bagian pinggangnya tersembul beberapa batang pisau. Wajahnya menunjukkan kegusaran hatinya. Sedangkan si laki-laki bercambang itu masih mengenakan pakaian yang sama, kepalanya masih diikat dengan sehelai selendang putih. Hanya Bagian pundaknya yang sudah bertambah sebatang senjata berupa golok. Matanya mendelik marah dan wajahnya kaku dan dingin.
Belum lagi rombongan Ceng Lam Hong sempat mengucapkan kata, si pelajar berwajah putih sudah menuding ke arah Goan Yu Liong dan bertanya dengan nada dingin.
“Tampaknya nyali bocah ini tidak kepalang besarnya sehingga berani mendekapi Liok Giok tanpa niat melepaskannya. Apakah kau tidak tahu peliharaan siapa Liok Giok ini?”
Sikap dan nada ucapannya angkuh dan dingin. Perkataannya lebih mirip sindiran yang tajam menusuk. Biar bagaimana pun Goan Yu Liong juga anak murid keluarga yang cukup punya nama di dunia Kangouw, otomatis dia juga berjiwa besar dan berhati mulia.
Tadinya dia berpikir ingin menanyakan sampai jelas apakah burung kakaktua itu adalah milik mereka. Apabila benar, dia memang bermaksud mengembalikannya. Tetapi karena nada-nada yang diucapkan pelajar itu begitu tidak enak didengar, tanpa terasa hawa amarahnya jadi meluap. Apalagi mengingat senjata rahasia yang dilemparkan kepadanya sore tadi, kemarahannya semakin menjadi-jadi. Persis seperti api yang disiram minyak.
Matanya mendelik ke arah pelajar itu lebar-lebar.
“Ucapanmu kok aneh sekali. Burung yang mempunyai sayap, di pegunungan mana atau lembah manapun banyak sekali. Kalau memang milik kalian, seharusnya tidak boleh dibiarkan berkeliaran di luar. Sedangkan luas daerah ini sampai ribuan li, jumlah burungnya saja mungkin mencapai laksaan. Apakah semuanya termasuk peliharaan kalian?”
Si laki-laki bercambang lebat langsung tertawa terbahak-bahak.
“Bocah busuk, berani benar mengucapkan kata-kata yang besar. Kalau tidak memberimu sedikit pelajaran, mungkin kau tidak tahu seberapa tingginya langit dan seberapa dalamnya bumi. Hanya mengandalkan kalian beberapa orang ini, apabila ingin menahan Liok Giok, benar-benar tidak mengukur kekuatan sendiri!’
Goan Yu Liong mengangkat sepasang bahunya dan tidak mau kalah gertak. “Teman, burung kakaktua termasuk unggas liar, mengapa kau berkeras mengatakan
bahwa burung ini milik kalian? Tadi sore kau menjual lagak dengan mempermainkan aku,
urusan itu masih belum diperhitungkan. Sekarang kalian tampaknya ingin mencari gara- gara lagi. Apakah karena menganggap bahwa kami ini orang-orang yang gampang dihina? Kalau melihat sepasang alismu yang berkerut-kerut dan matamu yang sejak tadi mendelik terus, apakah memang sudah ingin berkelahi?”
.Si laki-laki bercambang kasar itu memang sudah marah sekali, mendengar kata-kata Goan Yu Liong yang seakan menantang, mana mungkin dia bisa menahan kesabarannya lagi? Tangannya terangkat ke atas dan dihunusnya golok yang tergantung di pundak.
Terdengar suara dentingan yang nyaring dan tampak sinar berkilauan dari golok yang tergenggam di tangannya.
Tampaknya ilmu orang ini cukup tinggi juga. Ketika menghunus goloknya, sarung golok itu sendiri tidak bergerak sedikitpun. Dengan jurus Elang Perkasa Mengembangkan Sayapnya, tampak goloknya menimbulkan cahaya yang berkilauan. Serangannya meluncur ke depan dengan gerakan menyapu.
Goan Yu Liong menggeser kakinya sedikit kemudian memutar, tubuhnya bergerak menghindarkan diri. Pergelangan tangannya menekuk dan dengan jurus Sabuk Kumala Mengikat Pinggang, dia menyerang ke arah pinggang laki-laki kasar itu.
Tiba-tiba terdengar laki-laki kekar itu tertawa terbahak-bahak. Kakinya maju ke depan mengejar, gerakan tubuhnya bagai hembusan angin. Belum lagi jurus yang dikerahkan Goan Yu Liong selesai dijalankan, tahu-tahu orang itu sudah memutar ke Bagian belakang tubuhnya. Telapak tangannya mengirimkan sebuah pukulan ke arah punggung, sedangkan goloknya mengincar Bagian belakang paha. Satu jurus dua serangan dikerahkan sekaligus dalam waktu yang bersamaan.
Kali ini gerakannya cepat bukan kepalang. Begitu cepatnya sampai Ban Jin Bu tidak sempat memberikan pertolongan, si pengemis cilik begitu paniknya sehingga mengeluarkan suara bentakan dan menerjang ke depan. Sam Po Hwesio melepaskan tasbih di lehernya serta ikut melesat ke udara.
Tujuan kedua orang itu ingin menolong rekannya, tetapi karena itu pula, mereka jadi melancarkan serangan ke arah laki-laki kasar tersebut. Di depan mata tampak beberapa macam senjata berkelebat ke sana ke mari. Gerakan mereka sama cepat juga sama
kejinya. Apabila ada yang terkena, kalau tidak sampai mati, pasti terluka parah. Goan Yu Liong sulit terlepas dari kesulitan, sedangkan laki-laki tinggi besar itu juga tidak mudah terlepas dari marabahaya.
Justru di saat genting yang menentukan mati hidup kedua orang itu, bahaya setiap saat mengintai, tiba-tiba terdengar suara bentakan yang bening dan nyaring dari angkasa.
Sesosok bayangan kecil dan langsung bagai gulungan angin menerobos masuk ke dalam kelebatan senjata.
Dalam sesaat beberapa orang itu merasa pandangannya menjadi samar. Golok, tasbih, pedang yang ada di tangan langsung terlepas jatuh ke atas tanah. Serangkum angin yang kencang menerpa sehingga beberapa orang itu terhempas sejauh tiga empat depa. Begitu pandangan mata dipusatkan, baik si pengemis cilik, Goan Yu Liong maupun Sam Po Hwesio langsung termangu-mangu. Mata mereka membelalak dan mulut terbuka lebar.
Untuk beberapa saat tidak ada sepatah katapun tercetus dari mulut mereka.
Ini merupakan peristiwa yang sulit diterima akal sehat. Dalam sekali gerak saja, senjata mereka terlepas dari tangan, bahkan mereka terdorong oleh hempasan angin yang kencang. Ternyata orang yang muncul ini bukan seorang tokoh tua yang bertampang angker atau rambutnya sudah putih beruban, tetapi seorang gadis muda yang rambutnya dikepang dua. Wajahnya cantik sekali. Dia mengenakan pakaian berwarna hijau muda dan usianya pasti tidak lebih dari lima atau enam belas tahunan. Sepasang matanya indah berkilauan dipadu dengan hidung yang mangir serta bibir yang mungil.
Saat ini sepasang matanya menyorotkan sinar yang tajam dan dia sedang memusatkan perhatiannya kepada si laki-laki kasar kemudian pandangan matanya dialihkan kepada rombongan si pengemis cilik serta rombongannya. Kemudian dia berkata dengan suaranya yang masih kekanak-kanakan, “Kalian ini sebetulnya ada apa sih, kok tiba-tiba jadi berkelahi?”
Belum sempat Ban Jin Bu mengatakan apa-apa, laki-laki kasar itu sudah menjawab… “Mereka menangkap kakaktua Pek Sian Cu, Liok Giok. Aku dan Ong Heng berdebat
dengan mereka, tetapi mereka berkeras tidak mau mengembalikan. Akhirnya timbullah
perkelahian diantara kami.”
Gadis cilik itu menganggukkan kepalanya berkali-kali, kemudian sinar matanya beralih kepada si pelajar.
Si pelajar berwajah putih itu tampaknya agak gugup.
“Kejadiannya kurang lebih memang begitu.” katanya cepat-cepat. Sikapnya menunjukkan rasa sungkan dan takut.
Si gadis cilik itu tertawa dingin. Dia mengangkat tangannya menggapai, burung kakaktua yang ada dalam dekapan Goan Yu Liong segera mengepakkan sayap dan terbang memutarinya dua kali, mulutnya mengeluarkan suara panggilan…
“Mei Hun…! Mei Hun…!”
Setelah itu dia menggetarkan sayapnya dengan keras dan melesat ke udara lalu terbang Secepat kilat. Gadis cilik yang dipanggil Mei Hun itu menunggu sampai Liok Giok
hilang dari pandangan, setelah itu dia menolehkan kepalanya ke arah pelajar itu kembali serta berkata, “Kalian pergilah… di sini biar aku yang urus!”
Laki-laki bertubuh tinggi besar dan beradat seperti harimau gila ini cepat-cepat mengiakan setelah mendengar perkataan si gadis cilik tersebut. Tampaknya dia tidak berani membantah sama sekali. Dia segera membungkukkan tubuhnya memungut kembali goloknya yang jatuh di atas tanah kemudian mengundurkan diri ke puncak bukit bersama- sama rekannya yang berdandanan pelajar.
Mei Hun kembali menolehkan kepalanya dan berkata kepada Goan Yu Liong.
“Mungkin kalian berhasil menangkap Liok Giok tanpa sengaja. Melihat burung itu sangat cantik dan pandai berbicara jadi kalian sayang melepaskannya kembali. Tetapi perlu kalian ketahui bahwa Liok Giok adalah peliharaan kesayangan majikanku, siapapun tidak boleh menyentuhnya apalagi menyakitinya. Hari ini nasib kalian masih terhitung beruntung karena aku yang memergoki kejadian ini. Seandainya Cing Ying atau Pai Ping yang mengetahui, biar kalian beberapa orang ini bergabung menjadi satu juga sulit melepaskan diri dari sepasang cakarnya. Sekarang aku tidak berani mengambil keputusan bagaimana harus memberi hukuman kepada kalian. Aku harus menunggu petunjuk dari majikanku.
Liok Giok pasti akan menceritakan apa yang telah terjadi kepada majikanku itu, kalau kalian memang merasa bersalah, tentu tidak keberatan menunggu di sini beberapa saat, aku akan menanyakan dulu bagaimana keputusan majikanku. Tetapi kalau kalian merasa tidak mas, kalian boleh turun tangan serentak. Asal calian dapat menahan sepuluh kali seranganmu, maka aku yang akan bertanggung jawab atas kejadian ini. Kalian boleh segera tinggalkan tempat ini dengan tenang.” selesai berkata, dia berdiri berkacak pinggang. Sepasang matanya yang indah menyorotkan sinar bagai kilat yang seakan mendesak mereka untuk segera memberikan jawaban.
Kalau ditilik dari usianya, apalagi seorang gadis yang lemah gemulai dan cantik, pada saat biasanya siapa yang bisa menahan geli mendengar nada ucapannya yang sesumbar itu. Tetapi ketika baru datang, dia sudah sanggup menggetarkan beberapa orang itu sehingga senjata masing-masing terlepas dari tangan dan mereka terdesak oleh angin serangannya sampai terdesak mundur tujuh delapan langkah. Padahal begitu banyaknya mata yang melihat kejadian itu, tetapi tidak seorangpun yang dapat melihat jelas gerakan tubuhnya. Kenyataan ini membuat mereka terpaksa percaya bahwa kata-katanya bukan sekedar bualan saja.
Usia Ceng Lam Hong lebih tua dari yang lainnya. Tetapi untuk sesaat dia juga tidak tahu bagaimana harus memberikan jawaban.
Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat, terasa angin berdesir, Yang Jen Ping melesat keluar dari tempat persembunyiannya di atas pohon siong. Dia segera merangkapkan sepasang kepalan tangannya menjura ke arah si gadis cilik.
“Ilmu silat Nona sungguh membuat kami kagum, boleh dibilang seperti cerita khayalan saja. Majikan Nona pasti seorang Cianpwe yang hebatnya bukan main. Kalau kami mempunyai kesempatan untuk bertemu, tentu merupakan rejeki kami yang besar sekali. Silaukan Nona temui majikanmu dan tanyakan apa pendapatnya, kami akan menunggu kabar dan petunjuk dari Nona.”
Kata-kata ini diucapkan dengan sopan dan ramah, juga mengandung rasa hormat.
Wajah Mei Hun yang mendengarnya langsung berubah menjadi berseri-seri. Dia mengibaskan kepang rambutnya ke belakang sambil tersenyum manis.
“Apakah majikanku ingin bertemu dengan kalian atau tidak, aku belum berani memastikan. Tentu saja harus dilihat dari keberuntungan kalian. Tetapi aku rasa apa yang dilakukan oleh Saudara ini tadi bukan suatu kesengajaan, mungkin Beliau tidak akan menuntut lebih jauh. Majikanku jarang bertemu muka dengan orang asing, apalagi kaum laki-laki…”
Belum lagi ucapannya selesai, tiba-tiba terdengar suara pekikan panjang yang memekakan telinga, mirip dengan gesekan benda logam yang keras. Beberapa orang itu segera mendongakkan kepalanya melihat ke atas, pandangan mereka menangkap bayangan samar-samar di bawah kelap-kelipnya bintang-bintang yang bertaburan di langit. Setelah beberapa saat baru terlihat jelas bahwa suara itu timbul dari seekor burung elang yang bulunya berwarna hijau. Begitu besarnya elang itu sehingga dari kepala sampai ekor panjangnya tidak kurang dari sembilan kali. Sepasang sayapnya direntangkan lebar- lebar. Paling tidak lebarnya mencapai satu setengah meter. Sungguh sulit menemui elang sebesar itu. Ketika jaraknya dengan tanah masih sekitar tiga de-paan, dia tidak melayang lebih rendah lagi tetapi tetap mengepakkan sayapnya terbang berputaran di udara.
Di atas panggungnya yang berkilauan dengan warna-warni yang indah duduk seorang gadis bergaun putih. Tubuhnya tinggi semampai, rambutnya panjang terurai di pundak. Tangannya menyandang sebuah keranjang.
Liok Giok justru duduk di dalam keranjang itu. Entah rumput apa yang terdapat di dalam keranjang itu karena tercium bau harum seiring dengan hembusan angin yang berlalu. Jarak antara rombongan Ceng Lam Hong dengan burung raksasa itu cukup jauh, apalagi wajah gadis itu tertutup sehelai cadar putih sehingga mereka tidak dapat melihat bagaimana raut wajah gadis itu sebenarnya. Di atas sayap sebelah kiri burung elang tersebut berdiri seorang gadis yang pakaiannya mini dengan sepasang pundak terbuka. Tampaknya usia gadis ini tidak jauh berbeda dengan Mei Hun.
Tampaknya Mei Hun benar-benar terkejut melihat kemunculan si gadis berpakaian putih. Untuk sesaat dia jadi termangu-mangu. Tetapi sekejap kemudian dia sudah pulih kembali, dia segera merangkapkan sepasang telapak tangannya seperti orang yang menyembah.
“Budak baru saja akan kembali ke rumah, agar Cujin (majikan) jangan sampai menempuh perjalanan di tengah pegunungan yang sunyi, sungguh tidak mengira…”
Terdengar suara merdu si gadis berpakaian putih itu.
“Liok Giok sudah menceritakan semuanya kepadaku. Kalau mereka memang tidak sengaja, kita juga tidak usah memperpanjang urusan ini. Biarkan saja mereka pergi.”
Baru saja gadis berpakaian putih itu selesai berkata, si gadis berpakaian mini yang berdiri di sayap sebelah kiri burung elang itu segera berteriak, “Mei Hun Cici, cepat naik ke mari, Cujin ingin mengejar waktu melihat matahari terbit di gunung Thai San.”
Mei Hun menolehkan kepalanya melihat ke arah Yang Jen Ping. Bibirnya mengembangkan seulas senyuman yang manis.
“Kalian boleh pergi sekarang.”
Kemudian tampak dia melangkahkan kakinya dengan ringan, tidak terlihat bagaimana dia menggerakkan tubuhnya, tahu-tahu dia sudah mencelat ke atas dengan gaya yang indah. Di tengah udara dia bersalto satu kali kemudian hinggap di atas sayap elang raksasa sebelah kanan. Sekali lagi terdengar suara pekikan yang panjang, sayapnya dikepakkan perlahan-lahan kemudian bagai sebatang anak panah yang melesat, tubuhnya terbang ke udara. Dalam sekejap mata bayangannya sudah berubah menjadi titik hitam yang lambat laun menghilang dari pandangan. Arah yang diambil ketiga gadis itu sebelah barat.
Kejadian yang mereka alami seperti mimpi juga bagai khayalan. Untuk sesaat rombongan si pengemis cilik sampai terkesima sehingga tidak ada yang sanggup mencetuskan sepatah katapun.
Entah berapa lama sudah berlalu, akhirnya Hek Lohan Sam Po Hwesio menarik nafas panjang. Dia menepuk-nepuk kepalanya yang gundul sembari menghitung-hitung biji tasbihnya. Mulutnya bergerak seperti bergumam seorang diri.
“Kejadian yang benar-benar aneh. Aneh sekali. Si Hwesio cilik kali ini benar-benar bertemu dengan dewa.”
Si pengemis cilik Cu Cia tertawa lebar.
“Pertemuan ajaib seakan hanya terjadi dalam mimpi saja. Si pengemis cilik matanya benar-benar terbuka sekarang. Seandainya di Pek Hun Ceng nanti sampai kehilangan selembar jiwa, rasanya juga tidak penasaran lagi!”
Sam Po Hwesio sampai tertawa terbahak-bahak mendengar ucapannya.
“Ceng Pek-bo, undangan makan si Hwesio cilik dan si tukang minta-minta ini kali hebat sekali, bukan? Sudah mendapat suguhan hidangan yang istimewa, dapat melihat rombongan bidadari yang menunggang elang lagi.
Gunung Thai San jaraknya demikian jauh, letapi mereka mengatakan akan mengejar waktu untuk melihat matahari terbit, bayangkan saja. Jodoh pertemuan ini hanya terjadi secara kebetulan dan tidak bisa dipinta. Lebih baik kita bergegas meneruskan perjalanan, buat apa berdiri di sini termangu-mangu menghabiskan waktu?”
Selesai berkata, sekali lagi dia tertawa terbahak-bahak. Tanpa menunggu jawaban dari yang lainnya, tubuhnya bergerak mendahului rekan-rekannya berlari ke atas lembah tersebut. Beberapa orang lainnya segera mengikuti dari belakang. Dengan bantuan cahaya rembulan mereka menempuh perjalanan. Tengah hari esoknya mereka sudah keluar pari daerah pegunungan. Sepanjang perjalanan mereka terus membicarakan kejadian aneh sang mereka alami hari sebelumnya. Memang hal itu seperti impian semata, seperti khayalan tetapi kenyataan. Mengingat kembali kemunculan gadis yang menunggang elang raksasa itu dan ilmu silat budaknya Mei Hun yang begitu menakjubkan, kalau mereka tidak menyaksikannya dengan mata kepala sendiri, tentu mereka tidak perca,ya kalau di dunia ini ida orang yang baik hidup maupun ilmu silatnya bagai para dewata di khayangan.
Setelah melakukan perjalanan selama dua hari berturut-turut, mereka sampai di istana Ki Ling. Gedung ini merupakan istana kuno wilayah San Tung. Keadaannya sudah hancur dan hanya temboknya saja yang dijadikan batas masuk ke dalam kota, namun sampai saat ini masih merupakan penghubung antar kota yang sangat ramai. Baik pengusaha maupun pelancong banyak yang berlalu lalang di kota ini. Keenam orang itu masuk ke dalam kota, tepat waktu menjelang tengah malam.
Yang Jen Ping berjalan di depan, setelah melewati sebuah jalan yang besar, sampailah di pusat kota yang ramai. Meskipun malam sudah cukup larut, masih banyak orang yang hilir mudik maupun berbelanja di toko-toko. Tampaknya kehidupan di kota ini hampir tidak pernah berhenti. Dia mengedarkan pandangannya ke sekitar, tampak di sebelah kiri ada sebuah gedung tinggi dengan lentera yang tergantung di sekelilingnya, dengan demikian keadaan jadi terang benderang. Di Bagian atapnya tergantung tiga huruf berwarna emas yang menyolok sekali, Suang Eng Lau (Gedung sepasang pahlawan)
Yang Jen Ping merasa nama yang dipilih si pemilik rumah makan ini agak aneh. Belum sempat dia mengatakan apa-apa, si pengemis cilik dan Sam Po Hwesio sudah melesat masuk bagai hembusan angin. Terpaksa dia juga ikut melangkahkan kakinya ke dalam.
Pelayan rumah makan sekaligus penginapan ini melihat kemunculan si pengemis cilik dan Sam Po Hwesio yang pakaiannya compang-camping dan tidak karuan, tanpa dapat ditahan lagi sepasang alisnya berkerut. Tetapi ketika dia melihat Ceng Lam Hong, Ban Jin Bu dan Goan Yu Liong yang tampangnya gagah serta bersikap anggun ikut masuk ke dalam rumah makan tersebut, rasa ragu-ragu-nya lenyap seketika. Tampaknya tamu-tamu ini termasuk orang kaya yang seleranya aneh-aneh. Mereka langsung diajak ke ruangan dalam yang tenang dan sunyi.
Ruangan dalam ini dekat dengan taman bunga, tempatnya luas dan aneh. Ada tiga buah kamar yang dibangun dalam satu deretan. Pelayan itu mengantarkan mereka sampai ruangan tamu yang luas dan segera memamerkan senyumannya yang paling ramah.
“Tuan-tuan sekalian, apakah kalian ingin memesan hidangan atau arak? Meskipun penginapan kami ini tidak dapat dibandingkan dengan istana kaisar, tetapi keadaannya tenang sehingga Tuan-tuan tamu dapat beristirahat tanpa merasa terganggu.”
Ceng Lam Hong tersenyum simpul mendengar ucapannya.
“Sekarang kau pesankan dulu berbagai hidangan yang istimewa dari rumah makan kalian ini dan jangan lupa araknya yang paling bagus. Seluruh ruangan ini akan kami borong, jangan sampai dioperkan kepada orang lain.”
Pelayan itu kembali tertawa lebar.
“Apa yang Hujin pesan tentu tidak berani kami langgar, tetapi ada sedikit perkataan yang harus hamba sampaikan terlebih dahulu.”
Cu Cia melihat gaya bicaranya yang plintat-plintut, hampir saja dia kehabisan rasa sabarnya. Sepasang matanya mendelik lebar-lebar dan bertanya dengan garang, “Mengapa kau tidak berkata terus terang saja? Biar Hwesio makan delapan macam daging-dagingan atau si tukang minta-minta ini minum habis arak persediaan yang ada, kami juga bukan jenis manusia yang suka makan secara cuma-cuma. Meskipun aku
demikian miskin sampai baju utuh saja tidak terbeli, tetapi rekan-rekanku ini semua biangnya harta, tahu? Apakah kau takut kami tidak kuat membayar lalu kabur sehingga belum apa-apa kau sudah minta uang jaminan dulu?”
Si pelayan itu tidak marah mendengar kata-katanya yang ketus. Dia malah menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. “Hamba mana berani mempunyai pikiran seperti itu? Sekali lihat saja, hamba sudah tahu bahwa Tuan-tuan ini pasti hartawan- hartawan yang kaya raya. Kalau tidak, aku juga tidak akan mengajak kalian ke ruangan yang istimewa ini.”
Mendengar ucapannya yang pandai berkilah ini, Yang Jen Ping juga ikut-ikutan tersenyum.
“Ada apa kau katakan saja terus terang, kalau rasanya tinggal di sini ada masalah, kami tidak keberatan pindah ke penginapan yang lain.” katanya.
Si pelayan cepat-cepat membungkukkan tumbuhnya menghormat dengan gaya gugup. “Tuan tamu, kau jangan salah paham. Maksud hamba, di dalam taman bunga tinggal beberapa orang tamu, mereka pernah berpesan: Tidak perduli siapapun, tidak ada yang boleh menindakkan kakinya selangkah ke dalam taman bunga. Ruangan tempat tinggal kalian ini dekat dengan taman bunga. Siapa tahu setelah minum arak timbul pikiran untuk berjalan-jalan mencari angin di taman bunga, bukankah akhirnya malah timbul perselisihan? Usaha kami ini menjaga supaya langganan jangan bosan berkunjung, tentu saja tidak ingin ada kesulitan apapun. Oleh karena itu, hamba terpaksa memberitahukan lebih dahulu kepada Tuan-tuan tamu, sebaiknya jangan masuk ke dalam taman bunga.”
Sepasang alis si pengemis cilik langsung terjungkit ke atas mendengar keterangannya. “Si pengemis cilik ini sudah berkelana dari daerah utara sampai ke selatan. Hampir
semua penginapan sudah pernah aku singgahi. Tetapi selamanya belum pernah mendengar adanya peraturan seperti ini? Apakah tamu yang menginap di taman bunga itu adalah Kaisar zaman ini?”
“Siapa yang tinggal di sana, hamba benar-benar tidak jelas. Setelah tamu muda yang tinggal di taman bunga itu keluar, hari kedua datang lagi seorang laki-laki tinggi besar bercambang lebat. Orangnya hanya berdua, tetapi setiap pesan makanan selalu lima porsi lengkap dengan hidangannya, selain itu setiap hari harus juga disediakan sepuluh kati daging mentah. Kadang-kadang semuanya disapu bersih, kadang-kadang tidak disentuh sama sekali.”
Perasan Ceng Lam Hong peka sekali, tiba-tiba saja dia teringat sesuatu.
“Setiap kali kau mengantar makanan ke sana, apakah kau tidak bisa mengintip siapa sebenarnya yang tinggal di sana?”
“Pengadilan ada hukumnya, jalananpun ada peraturannya. Kami yang membuka usaha seperti ini hanya mengandalkan apa yang dipesankan oleh tamu-tamu. Kedua tamu itu memberi perintah kepada hamba agar setiap kali mengantar makanan, taruh saja di tengah-tengah taman di mana tersedia bangku panjang untuk duduk menikmati hawa segar. Tentu saja kami tidak berani berkeras hendak mengantarnya ke dalam kamar. Dia berpesan agar para tamu yang lain tidak boleh menginjak taman bunga, otomatis hamba juga menyampaikannya kepada para tamu sekalian, jangan sampai menginjakkan kaki
selangkah-pun ke dalam taman bunga. Kalau melihat dari dandanan kalian, tentunya termasuk tokoh-tokoh dunia Kangouw juga. Seandainya kalian tetap ingin masuk ke dalam taman bunga, sudah pasti hamba tidak berani melarang. Persoalan aneh di dunia Kangouw terlalu banyak, hamba hanya bisa berkata sampai sekian saja.” selesai berkata, dia membungkukkan tubuhnya menghormat dalam-dalam sekali lagi kemudian baru mengundurkan diri.
Si pengemis cilik memperdengarkan suara dengusan dingin dari hidungnya. Perlahan- lahan dia berjalan menuju jendela kemudian membuka lebar-lebar Bagian yang menghadap taman bunga, dia melongokkan kepalanya. Di bawah cahaya rembulan yang terang, pemandangan di sekitar dapat terlihat dengan jelas. Di sekelilingnya terdapat tembok pembatas, hanya Bagian tengahnya yang merupakan pintu masuk. Di pusat taman itu terdapat sebuah gunung buatan, di kiri kanannya terdapat dua buah tempat peristirahatan berbentuk ramah tetapi tanpa tembok atau pagar yang mengelilinginya.
Samar-samar terlihat beberapa buah ruangan kamar di dua sudut yang berhadapan. Serahgkum angin malam menghembus bau bunga yang harum dan segar. Di dalam taman suasana hening sekali, tidak terlihat sesuatu yang mencurigakan.
Setelah memperhatikan beberapa saat, si pengemis cilik menggaruk-garukkan kepalanya lalu membalikkan tubuh dan berjalan kembali ke tempat duduknya semula. Dia mendongakkan kepalanya dan merenung sekian lama. Tiba-tiba tampak dia menggebrak meja dan bicara seorang diri. j, “Pasti mereka! Tidak salah lagi, pasti mereka…!”
Mendengar gumaman si pengemis cilik, tampaknya Ceng Lam Hong, Yang Jen Ping juga ikut tersadar, mulut mereka mengeluarkan suara desahan serentak. Hal ini membuat Ban Jin Bu, Goan Yu Liong dan Sam Po Hwesio segera menatap diri Cu Cia lekat-lekat, kemudian serentak mereka menoleh kembali kepada Ceng Lam Hong dan Yang Jen Ping dengan pandangan bertanya.
Sam Po Hwesio menuding ke arah si pengemis cilik sambil menggerutu.
“Buat apa si tukang minta-minta ini berlagak yang bukan-bukan? Aku justru tidak percaya kalau kau lebih cerdas dari pada aku si Hwesio ini. Kalau kau masih sok bangga, jangan salahkan kalau aku akan membuka mulut mengomel!”
Si pengemis cilik tertawa lebar.
“Hwesio sembahyang Buddha membaca kitab suci setiap hari, mana boleh buka mulut selalu memaki orang? Orang sepertimu ini, sejak dulu-dulu sudah tidak pantas menggunduli rambut dan menjadi murid Buddha.”
“Dalam kitab suci ada disebutkan: ‘Ada tiada sama saja.’ aku justru tidak percaya, kalau tidak makan daging anjing atau minum arak, pasti bisa naik ke surga menjadi dewa. Kau tidak usah berlagak bodoh memutar omongans ke sana ke mari. Siapa sebetulnya yang kau maksudkan? Kalau ka\i masih membiarkan aku dalam kendi arak, mungkin aku benar- benar bisa terbang ke langit menjadi dewa!”
Si pengemis cilik tampaknya memang sengaja ingin menggodanya. Kembali dia tertawa lebar menanggapi ucapan rekannya.
“Lebih baik kau makan dan minum dulu. Nanti aku pasti akan memberitahukan kepadamu. Kalau kau sampai mati, si pengemis cilik juga tidak bergairah hidup seorang
diri di dunia ini. Kita berdua sahabat sejati ini hidup mati bersama. Kalau kau memang tidak takut, malam ini kita sama-sama pergi menyelidiki rahasianya. Apabila tebakan si pengemis cilik ini tidak salah, mungkin kita malah bisa bergandengan tangan naik ke atas surga.”
Ban Jin Bu dan Goan Yu Liong tahu benar kalau si pengemis cilik ini orangnya pemberani dan berjiwa besar, hatinya juga mulai sekali.
Walaupun tampangnya tersenyum simpul, tetapi kata-katanya serius. Mereka segera tahu bahwa hatinya sedang memikirkan sesuatu. Dia mengatakan ada kemungkinan naik ke surga bersama-sama, berarti urusan ini cukup berbahaya. Apa lagi setelah melihat wajah Ceng Lam Hong dan Yang Jen Ping yang juga berubah kelam serta menatap cawan arak dengan mata menerawang. Sikap yang diam mencekam ini menimbulkan suasana yang bukan main tegangnya.
Goan Yu Liong yang usianya paling muda menjadi panik, matanya menatap kepada si pengemis cilik dengan sinar mengandung permohonan.
“Koko pengemis, siapa yang kau katakan tinggal dalam taman itu, bolehkah kau memberitahukannya kepada aku? Kalau memang mereka tidak ada hubungannya dengan kita, buat apa kau menempuh bahaya sedemikian besar?”
“Di depan mata sekarang ini golongan sesat bermunculan di mana-mana. Mungkinkah tamu yang tinggal di dalam taman merupakan tokoh-tokoh dari Si Yu atau Lam Hay?” Ban Jin Bu ikut bertanya.
Kedua orang itu secara berturut-turut m engajukan pertanyaan. Si pengemis cilik terus meneguk araknya sambil tersenyum namun tidak memberikan jawaban. Kadang-kadang dia didesak sedemikian rupa sehingga akhirnya dia menjawab dengan nada enggan.
“Kalian sabarlah sebentar, sebelum kentungan kedua nanti aku akan mengajak kalian ke sana.”
Saat ini sudah menjelang tengah malam, tetapi di dalam ruangan terdapat dua batang lilin besar seperti lengan manusia dan menerbitkan sinar terang. Keadaan memang tidak gelap, tetapi udaranya justru terasa pengap sampai bernafaspun terasa sesak.
Tiba-tiba terdengar si pengemis cilik tertawa dingin satu kali.
“Sahabat di luar berdiri terus tentu bisa kedinginan, kalau memang berminat, mengapa tidak masuk saja ke dalam dan ikut ngobrol bersama? Mengendap-endap di luar jendela orang dan mencuri dengar pembicaraan orang lain, benar-benar perbuatan yang tidak sopan serta melanggar peraturan Bulim!”
Baru saja ucapannya selesai, rekannya yang lain segera menolehkan wajahnya menghadap jendela. Ternyata memang seperti ada bayangan yang berkelebat di sana. Ban Jin Bu terkejut setengah mati, dia mendorong meja dan bangkit berdiri. Baru saja dia ingin menerjang keluar untuk menangkap orang itu, tiba-tiba terdengar suara tertawa yang dingin menyusup ke dalam telinga. Dalam waktu yang bersamaan, si pengemis cilik mengulurkan tangan menahan dirinya. Bibirnya tersenyum lebar.
“Percuma kau keluar, orangnya sudah lari!”
Mendengar kata-katanya, Goan Yu Liong kesal sekali. Dengan menahan rasa mendongkol dalam hatinya, dia terpaksa duduk kembali.
Sam Po Hwesio mengangkat cawannya terus menerus dan secara berturut-turut dia telah menghabiskan arak sebanyak dua belas kati. Tiba-tiba wajahnya menjadi serius, dia meletakkan cawannya di atas meja dan bertanya kepada Cu Cia.
“Hei, tukang minta-minta…! Apakah orang-orang yang kau katakan tinggal di dalam taman itu justru tiga bidadari yang menunggang elang raksasa dua malam yang lalu?”
Si pengemis cilik menganggukkan kepalanya.
“Tidak salah, masih ada lagi si laki-laki kasar dan pelajar berwajah putih. Apabila semuanya digabungkan, jumlahnya tepat lima orang. Satupun tidak kurang dari jumlah hidangan yang mereka pesan. Sedangkan empat puluh kati daging mentah, tentu saja makanan si elang raksasa itu. Si pengemis cilik sendiri tahu bahwa penyelidikan kita nanti memang sangat berbahaya. Si laki-laki kasar dan rekannya yang pelajar itu sudah cukup repot dihadapi. Sedangkan kedua gadis cilik yang berkepang itu, apabila mereka ingin meringkus kami, tentu mudah sekali seperti membalikkan telapak tangan sendiri. Dan gadis berpakaian putih yang duduk di punggung elang raksasa itu adalah majikan mereka, tentu saja ilmu silatnya lebih mengerikan lagi. Kalau bukan dewa pasti siluman pedang.
Kepergian kita kali ini mungkin benar-benar tidak sulit apabila ingin langsung naik ke atas surga.”
Mendengar keterangannya, beberapa orang yang lain juga ikut tersadar. Di dalam hati mereka masing-masing seakan terselip sesuatu perasaan yang tidak mereka mengerti.
Entah rasa takut, tegang atau penasaran. Rasanya ingin sekali melihat apakah mereka benar-benar tamu yang dimaksudkan, namun rasanya tidak berani. Tetapi seluruh anggota badan seperti dihinggapi penyakit gatal-gatal. Duduk salah berdiripun salah.
Rasanya lama sekali waktu berlalu, akhirnya di luar jendela terdengar suara kentungan sebanyak tiga kali. Si pengemis cilik menekuk pinggangnya yang terasa pegal, setelah itu dia mendorong meja dan bangkit berdiri.
“Baiklah, kita sudah boleh pergi sekarang.”
Biar bagaimana usia Ceng Lam Hong lebih tua dari yang lainnya. Dalam segala hal pertimbangannya lebih matang. Mendengar ucapannya, sepasang alisnya yang indah langsung mengerut.
“Tengah malam begini mengendap-endap ke ruangan orang lain menyelidiki kehidupan pribadi orang, bukan hal yang dilakukan oleh kita dari golongan lurus. Menurut pendapat- ku, sebaiknya kalian kembali saja ke kamar untuk beristirahat. Jangan suka ikut campur urusan orang lain atau mencari kesulitan bagi diri sendiri.”
Sam Po Hwesio merekahkan secercah tawa yang lebar. Baru saja dia ingin mengatakan sesuatu, tiba-tiba sepasang alisnya terjungkit ke atas dan indera pendengarannya dipertajam. Rupanya dari tengah ruangan terdengar suara langkah kaki yang lirih mendatangi.
Tanpa terasa dia mengeluarkan suara batuk kecil kemudian membungkam kembali.
Rekannya yang lain tahu bahwa suara batuknya tadi merupakan isyarat agar mereka jangan bersuara. Kemudian dari luar halaman terdengar suara yang nyaring dan lantang, “Pendekar pedang tingkat Lima dari Tiong-goan, Tan Ki sengaja datang untuk mengakui kesalahan!”
Tengah malam suasana sunyi sekali, suara itu menjadi semakin jelas terdengar.
Keenam orang yang ada di dalam ruangan besar sama-sama terperanjat mendengar suara itu. Mereka benar-benar merasa sangat terkejut.
Hitung-hitung si pengemis cilik yang lebih cekatan dan cepat tanggap. Dia segera bergerak membuka jendela lalu mengintip keluar. Begitu pandangannya dipusatkan, dia melihat seseorang berdiri di bawah cahaya mentari yang dingin, siapa lagi kalau bukan Tan Ki?
Ceng Lam Hong sampai merasa terkejut sekaligus gembira melihatnya. Yang membuatnya terkejut adalah kesalahan yang tadi diakui oleh Tan Ki. Dia tidak mengerti putra kesayangannya berbuat kesalahan apa, sehingga tengah malam datang ke tempat orang mengaku dosa. Yang membuatnya gembira justru dapat bertemu dengan putranya meskipun telah menempuh perjalanan sejauh ini. Baru saja dia melangkah maju dengan maksud memanggilnya, tiba-tiba terdengar suara Cu Cia yang berat, “Pek-bo jangan bersuara dulu. Biar kita dengar dulu apa maksud ucapan Ki-heng tadi. Kalau sampai tampak keadaan membahayakan, kita baru memanggil juga belum terlambat!”
Ceng Lam Hong merenung sejenak, dia merasa apa yang dikatakan si pengemis cilik masuk akal juga. Oleh karena itu, dia segera membatalkan niatnya dan memperhatikan gerak-gerik Tan Ki secara diam-diam. Sementara itu dia juga sudah mengerahkan tenaga dalamnya, asalkan ada sesuatu yang kira-kira membahayakan diri putra kesayangannya, dia akan segera menerjang keluar untuk memberikan bantuan.
Tampak pintu ruangan seberang di dalam taman terbuka, keluar dua orang laki-laki dan berdiri di depan Tan Ki.