Bagian 32
Saat itu Lok Ing seperti teringat akan sesuatu yang penting. Mulutnya mengeluarkan suara seruan dan berkata, “Cepat telan dulu obat ini!” sembari berbicara, dia menyodorkan tangannya ke hadapan Tan Ki.
Tan Ki melirik sekilas kepada dua butir pil berwarna merah yang ada dalam genggamannya, batinya merasa tercekat.
Diam-diam dia berpikir: ‘Ternyata setelah mengusir ibuku, dia tetap tidak bersedia melepaskan diriku…’
Oleh karena itu, dia segera mendengus dingin.
“Di kolong langit ini, yang paling keji justru hati seorang isteri. Tidak disangka kau yang masih begini muda, tidak kalah kejinya.”
Lok Ing tersenyum simpul.
“Kalau racun ini sudah tersimpan terlalu lama dan khasiatnya hilang, tentunya kau juga tidak perlu mati lagi selamanya.”
Wajah Tan Ki perlahan-lahan berubah. Dia merenung sekian lama kemudian tertawa keras-keras.
“Seorang laki-laki sejati memandang kematian dan kehidupan sebagai nasib yang telah ditentukan oleh Thian. Meskipun racun ini dapat membuat tulang belulangku hancur lebur dan rohku hilang untuk selamanya, rasanya juga tidak perlu ditakuti!”
Kata-kata ini diucapkan dengan penuh kegagahan. Tampaknya dia sudah hambar terhadap perihal kematian atau pun kehidupan. Begitu ucapannya selesai, dia langsung menyambut kedua butir pil itu dan memasukkannya ke dalam mulut lalu menelannya sekaligus.
Begitu pil itu masuk ke dalam perutnya, dia merasa ada serangkum hawa panas yang langsung berkobar di dalam tubuhnya, sengatannya hampir tidak tertahankan. Ususnya bagai terbakar. Tanpa dapat ditahan lagi perasaannya tercekat.
‘Habislah…!’ pikirnya dalam hati.
Semacam perasaan menjelang ajal, tiba-tiba menyelinap di dalam hatinya. Semuanya terjadi dalam sekejap mata. Tanpa terasa dia menarik nafas panjang dan memejamkan sepasang matanya.
Dia mulai merasa bahwa kemenangan atau kekalahan, bahkan kegemilangan ataupun kesuraman dunia ini, sejak saat itu tidak ada kaitan lagi dengan dirinya. Bagai sekuntum bunga yang layu atau buah-buahan yang terlalu ranum sehingga terjatuh di atas tanah.
Kelak dia akan meninggalkan dunia ini dengan perasaan pilu dan berbagai kebimbangan. Dia akan terlepas dari dunia yang mempunyai aneka variasi ini.
Tiba-tiba telinganya mendengar suara yang ramah dan lembut. “Bagaimana kalau aku membawa kau meninggalkan tempat ini?” Tan Ki marah sekali kepadanya.
“Aku toh telah kau kuasai. Jalan darahku pun telah tertotok. Apapun yang ingin kau lakukan, silahkan. Tidak perlu berpura-pura atau bersandiwara dengan berlagak lembut segala macam!”
Lok Ing tersenyum lembut. Dia mengulurkan tangannya dan menepuk bahu Tan Ki satu kali. Totokannya pun terbebas seketika. Terhadap gerakannya ini, Tan Ki benar-benar merasa di luar dugaan. Untuk sesaat dia jadi tertegun. Dengan perasaan heran dia bertanya…
“Apa yang kau lakukan?”
Lok Ing mengulurkan jari tangannya menunjuk ke depan. Dia tidak menjawab pertanyaan Tan Ki.
“Bagaimana kalau kita berjalan ke arah sana?”
Tan Ki merenung sejenak, dia masih berpikir bagaimana harus memberikan jawaban kepada gadis itu. Tahu-tahu kakinya sudah bergerak melangkah. Rupanya ketika selesai berbicara, Lok Ing langsung menarik tangan anak muda itu dan tanpa memberikan kesempatan baginya untuk menjawab, dia langsung menyeret Tan Ki mengikutinya.
Tan Ki membiarkan dirinya ditarik oleh Lok Ing. Tanpa tujuan yang pasti mereka berjalan beberapa saat, terdengar suara air terjun yang bergemuruh dan aliran air. Suara itu terpancar dari Bagian belakang rumah taman bunga di mana terdapat sebuah kolam buatan lengkap dengan air terjunnya. Sekitar tempat itu ditanami berbagai, jenis pepohonan dan bunga bungaan. Pemandangannya indah sekali, Udarapun terasa sejuk. Oleh karena itu, mereka segera duduk di atas sebuah batu besar dan Tan Ki pun langsung memejamkan matanya.
Lok Ing melihat sikap anak muda itu demikian angkuh dan dingin. Dia bahkan tidak melirik sekilaspun ke arah Lok Ing. Hatinya menjadi kesal. Setelah mendengus satu kali, dia segera memalingkan wajahnya.
Kedua orang itu membisu beberapa saat, Lok Ing mulai tidak sabar menghadapi situasi demikian. Dialah yang lebih dulu membuka pokok pembicaraan.
“Mengapa kau diam saja sejak tadi?”
Tubuh Tan Ki agak gemetar, dengan nada dingin dia menyahut, “Sudah waktunya kau pergi, buat apa masih duduk terus di tempat ini?”
“Aku mengajak engkau ke mari, tentu saja karena ada ucapan yang ingin kukatakan kepada dirimu.”
Tan Ki tertawa dingin.
“Sayangnya aku tidak berminat mendengarkan.”
Dalam seumur hidupnya, Lok Ing belum pernah menerima penghinaan sekecil apapun. Tiba-tiba dia melonjak bangun dan menghu nus pedangnya lalu ditusukkan ke dada anak muda itu.
Siapa sangka Tan Ki seolah tidak melihat apa-apa. Ketika ujung pedang telah mengoyak pakaian luarnya, dia masih bersikap tenang. Matanya terpejam dan duduk dengan tegak. Dia bahkan tidak bergerak sedikitpun.
Begitu pedangnya mengoyak sedikit pakaian Tan Ki, Lok Ing segera menariknya kembali. Perasaan marah dalam hatinya dalam sesaat berubah menjadi kekecewaan yang tidak terkatakan. Air matanya langsung tercurah bagai hujan yang deras.
Padahal dia ingin sekali Tan Ki melonjak bangun dan berkelahi mati-matian dengan dirinya. Atau paling tidak, memohon kepadanya secara baik-baik agar dia melepaskan pedang pusakanya dan memaafkan kesalahannya. Atau seumpamanya Tan Ki membuka mulut mencaci maki dirinya, mungkin perasaannya malah akan terasa lebih enak. Tetapi anak muda itu justru membungkam seribu bahasa dan seolah memandang kematian sebagai sesuatu hal yang tidak menakutkan sama sekali. Hal ini benar-benar di luar dugaan Lok Ing. Padahal dia dapat menikamkan pedangnya ke jantung anak muda itu agar kekesalannya terlampiaskan. Tetapi biar bagaimana dia tidak sampai hati untuk turun tangan. Wataknya sangat keras, perasaan dirinya yang merasa gagah dan berjiwa pahlawan memandang perbuatan itu sebagai sesuatu hal yang sangat memalukan.
Gengsinya bahkan lebih tinggi dari nilai nyawanya sendiri.
Sepasang mata Tan Ki yang tadinya terpejam erat membuka secara perlahan. Dia melihat di ufuk timur mulai membias segurat cahaya keemasan. Tanpa dapat ditahan lagi dia menarik nafas panjang.
“Mengapa kau menangis?” tanyanya sambil mengembangkan seulas senyuman.
Dengan sekuat tenaga Lok Ing membanting sebatang pedang yang dikeluarkan dari pundaknya ke atas tanah. Kemudian dia menghapus sisa air mata dengan ujung lengan bajunya. Dengan marah dia menyahut.
“Kalau aku suka menangis, apa urusannya dengan dirimu? Cepat pungut pedang itu dan aku akan memberimu sebuah kesempatan untuk bertarung secara jujur. Kalau belum sampai tahu dengan pasti siapa yang akan hidup dan siapa yang akan terkapar di atas tanah bermandikan darah, pokoknya siapapun tidak boleh ada yang berhenti!”
Tan Ki melirik ke arah pedang di atas tanah sekilas.
“Aku memang sudah di ambang kematian, tidak ada niat sedikitpun untuk meraih kemenangan. Lebih baik ambil kembali pedangmu itu dan pergi dari sini, siapa tahu di tempat tadi sudah berlangsung pertarungan yang sengit…”
Lok Ing langsung menukas dengan suara keras. “Ngaco belo!”
Wajah Tan Ki berubah hebat.
“Kalau kau tetap tidak percaya, apa boleh buat? Pribadi Cayhe paling tidak suka berdusta.” selesai berkata, dia memejamkan matanya kembali dan menekuk kedua kakinya dengan sikap bersila.
Lok Ing tertegun sejenak. Perlahan-lahan dia melangkah ke depan. Dia melihat di kening Tan Ki terdapat guratan berwarna hijau. Hal ini membuktikan bahwa anak muda itu benar-benar telah keracunan parah. Tiba-tiba dia merasa dadanya bagai ditinju seseorang dengan sekuat tenaga. Rasa sakitnya tidak terkirakan lagi. Tanpa terasa pedang di tangannya terjatuh ke atas tanah dan menimbulkan bunyi Trang! Kemudian dia membungkukkan tubuhnya perlahan-lahan.
“Bagaimana hal ini bisa terjadi?”
Wajah Tan Ki menjadi serius. Tetapi nada suaranya masih tetap dingin.
“Aku sendiri yang rela minum pil beracunmu itu, tetapi aku sama sekali tidak membenci dirimu…”
Dia merandek sejenak. Wajahnya yang serius lambat laun merekahkan tawa yang manis. Kemudian dia melanjutkan kata-katanya. “Sekarang aku ingin mencoba melawan racun yang masuk ke dalam tubuh dengan ilmu yang kukuasai. Cepatlah kau pergi, jangan membuat pikiranku terganggu…”
Lok Ing semakin panik mendengar perkataannya.
“Obat yang kuberikan kepadamu tadi bukan racun. Aku hanya bergurau denganmu.
Bagaimana kau bisa keracunan? Ya Tuhan… benar-benar membuat aku bingung setengah mati…”
Tiba-tiba Tan Ki membuka matanya yang terpejam. Dua buah bola matanya yang menyorotkan sinar tajam memandang gadis itu lekat-lekat. Dia melihat air matanya mengembang, wajahnya menyiratkan kepanikan hatinya yang tidak terkira.
Gadis yang keras kepala dan terkenal kegarangannya di daerah Sai Pak ini, dalam waktu yang singkat berubah demikian lemah sehingga membuat orang hampir tidak percaya. Terdengar suaranya yang bagai ratapan juga mirip keluhan.
“Sejak aku tahu urusan, belum pernah ada seorangpun yang menghina aku. Kedua orang-tuaku menganggap aku sebagai permata hatinya, kakek menyayangiku melebihi segala benda di dunia ini. Dalam suasana yang penuh cinta kasih aku dibesarkan…”
Tan Ki mengembangkan seulas senyuman yang pilu. “Nasibmu sungguh baik.”
Dengan ujung lengan baju Lok Ing mengusap air matanya. Tendengar dia menarik nafas panjang.
“Sejak ilmu silatku sudah cukup tinggi, aku terus berkelana di daerah Sai Pak. Dalam beberapa tahun ini, jarang aku menemukan tandingan yang sesuai. Tetapi dalam pertarungan di Pek Hun Ceng, Pek To San, dua kali berturut-turut aku mengalami kekalahan bahkan sampai terluka. Sejak itu dalam hatiku timbul rasa benci terhadap dirimu. Secara diam-diam entah berapa kali aku sudah bersumpah untuk membunuhmu dengan tanganku sendiri…”
“Aih… jiwa anak perempuan memang rada sempit. Hanya dua kali terluka, kau malah menganggapnya begitu serius bahkan menanam kebencian dalam hati…”
“Oleh karena itu, ketika bertemu kembali denganmu, aku sudah mengambil keputusan untuk membunuhmu…”
Tan Ki tertawa datar.
“Tentunya sekarang kau merasa gembira sekali, karena akhirnya aku toh mati di tanganmu juga. Tetapi menjelang ajal, aku tetap tidak membencimu sedikitpun. Perlu kau ketahui, membunuh seseorang sebenarnya tidak terlalu sulit. Tetapi apabila orang yang kau bunuh itu tidak menaruh perasaan benci sedikitpun kepadamu, hal itulah yang sulit ditemukan.”
Lok Ing semakin panik.
“Tetapi aku, aku… sejak semula aku sudah tidak ingin membunuhmu lagi. Entah sejak kapan mulainya, tiba-tiba aku merasa bahwa sebenarnya aku bukan sungguh-sungguh membenci dirimu.”
Tan Ki jadi tertegun mendengar perkataannya.
“Secara diam-diam kau sudah bersumpah berulang kali bahwa kau akan membunuh diriku dengan tanganmu sendiri. Kalau ini bukan benci, lalu apa?”
Lok Ing tersenyum pilu.
“Aku juga tidak mengerti. Pokoknya itu bukan benci yang sesungguhnya. Sedangkan pil yang kau minum tadi merupakan obat penyembuh luka buatan kakekku sendiri. Bukan saja tidak akan mencelakai dirimu, malah akan mempercepat proses penyembuhan dalam tubuhmu. Tetapi… kau kok bisa keracunan?”
Matanya yang bulat dan indah mengejap-ngejap. Dua bulir air mata yang berkilauan menetes turun membasahi pipinya. Kemudian terdengar tarikan nafasnya yang mengenaskan. Lalu dia melanjutkan lagi kata-katanya. “Tetapi masalah dirimu yang keracunan, juga merupakan kenyataan. Rona wajahmu menunjukkan bahwa racun itu telah menyebar luas di dalam tubuhmu. Apakah… kau… benar-benar tidak bisa hidup lebih lama lagi?”
Tan Ki tersenyum lembut.
“Tentu saja benar. Tidak ada gunanya aku berdusta, lagipula kau sudah melihat sendiri kenyataannya. Aku memang tidak mungkin hidup lebih lama lagi di dunia ini.”
Kemudian tampak anak muda itu mendongakkan kepalanya menatap warna langit. “Hari sudah hampir pagi. Kau boleh pergi sekarang.”
Lok Ing tersenyum pilu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Aku tidak bisa pergi.” “Mengapa?”
“Kalau kau benar-benar mati, aku akan menemani dirimu. Biarpun bukan diriku langsung yang meracuni dirimu, tetapi hatiku tetap saja merasa bersalah dan berduka…”
Mendengar ucapannya, Tan Ki jadi termangu-mangu. Tiba-tiba dia seperti teringat akan sesuatu yang penting. Tubuhnya melonjak ba-ngun dan tertawa terbahak-bahak. Lok Ing merasa heran melihat sikapnya. “Sampai sekarang kau masih mempunyai minat untuk bergembira.”
“Aku tahu apa yang kau harapkan dalam patimu. Sayangnya aku sudah menyembah langit dan bumi dan sudah beristeri. Terpaksa aku menyia-nyiakan perasaan kasih di dalam patimu…” perlahan-lahan dia melangkahkan Kakinya menuju ke depan.
“Kau hendak ke mana?” tanya Lok Ing. Tan Ki menarik nafas perlahan-lahan. “Manusia di dunia ini mengalami kematian dengan cara yang berbeda-beda. Tetapi aku merasa mati dengan cara seperti yang akan
kuhadapi ini secara diam-diam tampaknya terlalu membosankan. Oleh karena itu, aku tidak ingin meninggalkan dunia ini begini saja. Kalau memang tidak dapat meloloskan diri dari Dewa Kematian, mengapa tidak memilih ke-matian yang gemilang dan gegap gempita. Dengan demikian orang-orang akan tahu siapa diriku yang sebenarnya…”
Secara berturut-turut, dia mengucapkan kata ‘kematian’, namun baik nada suara maupun mimik wajahnya tidak menyiratkan perasaan takut sama sekali. Seakan mati adalah suatu hal yang wajar dan rutin dan bukan hal yang mengerikan. Selesai berkata, dia malah menggerakkan kakinya dengan cepat dan menghambur ke arah di mana dia datang tadi.
Bayangan punggungnya menyiratkan kehampaan dan kesunyian hidup seorang pendekar sejati. Hal ini membuat orang yang memandangnya turut berduka dan merasa kagum secara diam-diam.
Lok Ing menarik nafas panjang, dia juga menggerakkan kakinya mengejar dari belakang. Dalam waktu yang singkat, keduanya sudah sampai kembali di selatar tembok pekarangan.
Terdengar suara deruan angin yang timbul dari serangan dan pukulan. Rupanya di tempat itu tengah berlangsung pertarungan yang
sengit.
Rupanya tidak lama setelah Tan Ki dan Lok Ing meninggalkan tempat itu, Oey Ku Kiong langsung mulai bergebrak dengan pihak lawan. Anak muda ini menerima perintah dari
Kiau Hun untuk merebut hati para pendekar agar dirinya dipercaya penuh. Oleh karena itu, ketika mulai bergebrak, dia langsung mengerahkan jurus-jurusnya yang lihai.
Serangannya gencar sekali. Tetapi lawan yang dihadapinya kali ini adalah manusia berpakaian putih yang tampangnya mirip mayat hidup. Meskipun orang-orang ini jarang berkelana di dunia Bulim, tetapi bukan berarti kepandaiannya dapat dipandang ringan. Sejak awal hingga sekarang mereka sudah bertarung sebanyak ribuan jurus, namun masih belum ketahuan siapa yang unggul dan siapa yang akan mengalami kekalahan.
Semakin bertarung hati Oey Ku Kiong semakin panik. Saat ini matahari telah menyingsing. Kalau lewat beberapa waktu lagi dia tetap belum mendapat kesempatan yang baik, tentu sulit baginya untuk meraih kemenangan. Karena pada saat itu, dia mulai merasa letih dan kurang tidur. Keringat dingin mulai membasahi keningnya. Serangannya tidak segencar sebelumnya lagi.
Tiba-tiba dia meraung dengan suara keras. Secara berturut-turut dia melancarkan tiga empat jurus serangan. Pihak lawan langsung terdesak sehingga hatipun terasa bergetar. Tatkala lawannya menyurut mundur, diam-diam dia menarik nafas panjang. Sikapnya serius. Dengan mengambil posisi menahan di depan dada, dia melancarkan sebuah pukulan balasan.
Pukulan ini dilancarkan dengan segenap kekuatannya yang tersisa. Tampaknya dia benar-benar ingin mengadu jiwa dengan lawannya. Gerakannya keji dan menimbulkan angin yang menderu-deru. Tenaganya bagai ombak yang bergulung-gulung menerpa ke arah lawannya.
Manusia berpakaian putih melihat sikapnya serius dan wajahnya kelam. Ketika melancarkan serangan itu, dia segera tahu bahwa serangan ini tidak dapat disamakan dengan yang sebelumnya. Dengan panik dia mencelat mundur sejauh setengah langkah. Tanpa menunda waktu lagi dia juga melancarkan sebuah pukulan ke depan.
Yang satu menghantam ke mari, yang lain memukul ke sana. Dua. kekuatan yang dahsyat beradu seketika. Tiba-tiba terdengar dengusan yang berat dari hidung manusia berpakaian putih tadi, langkahnya limbung. Dengan terseret-seret dia tersurat mundur sejauh tiga langkah.
Oey Ku Kiong tertawa dingin. Secepat kilat dia maju merapat ke depan. Dengan jurus Menunjuk Langit Mengibas Bumi, lima jari tangannya segera terulur keluar dan meraup dari atas ke bawah.
Gerakannya ini cepat bukan kepalang, tubuhnya bagai sehembusan angin yang bertiup lewat dan langsung menerpa. Lawan masin dalam keadaan terhuyung-huyung, kakinya belum sempat berdiri dengan mantap, tahu-tahu angin yang timbul dari serangan kelima jarinya sudah menghantam tiba.
Saat itu juga suasana bagai diliputi hawa pembunuhan yang tebal.
Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dari arah berlawanan di mana matahari baru terbit, sehingga pandangan mata jadi silau. Oey Ku Kiong hanya merasa ada serangkum angin yang kencang dari pukulan seseorang menyerangnya dari sebelah kiri!
Manusia berpakaian putih yang satunya lagi sejak tadi hanya menjadi penonton menyaksikan jalannya pertarungan. Ketika melihat rekannya sebentar lagi akan terluka
oleh pukulan Oey Ku Kiong, dia segera menerjang ke tengah arena dan tanpa mengucapkan sepatah katapun, dia langsung melancarkan sebuah serangan.
Apabila pertarungan yang berlangsung terjadi antara tokoh-tokoh yang berilmu tinggi, kejadiannya hanya memakan waktu sekian detik. Jurus Menunjuk Langit Mengibas Bumi telah dikuasai Oey Ku Kiong dengan mahir. Hatinya sudah merasa gembira bahwa sejenak lagi lawannya pasti akan terluka di bawah cengkeraman jari tangannya, tahu-tahu manusia berpakaian putih yang satunya sudah menerjang datang.
Seandainya dia tidak merubah gerakannya, lawan sudah pasti terluka oleh cengkeraman jari tangannya, tetapi dia sendiri juga pasti termakan pukulan manusia berpakaian putih yang satunya lagi. Dalam keadaan seperti ini, memang tidak ada waktu lagi untuk mempertimbangkan langkah yang harus diambilnya.
Kemudian… tampak dia menggertakkan giginya erat-erat. Cengkeramannya dibuka dan berubah menjadi pukulan. Tepat pada saat pergelangan tangannya memutar, lawan sudah semakin dekat. Secepat kilat tangan kanannya menghantam ke dada orang itu, sekaligus tangan kirinya terulur keluar dan menyambut serangan manusia berpakaian putih yang satunya lagi.
Peristiwa itu terjadi dalam sekejap mata.
Terdengar suara dengusan yang mengenaskan yang disusul dengan jeritan ngeri.
Manusia berpakaian putih yang terhantam dadanya oleh Oey Ku Kiong langsung memuntahkan segumpal darah segar, tubuhnyapun langsung terhempas jatuh di atas tanah.
Dalam waktu yang bersamaan, tubuh Oey Ku Kiong sendiri juga sempoyongan lalu tersurat mundur sejauh empat lima langkah. Dia bermaksud mempertahankan dirinya. Sepasang bahunya terus bergoyang, tetapi akhirnya kemauannya tidak terlaksana juga. Setelah mundur terhuyung-huyung sejauh empat lima, tubuhnya terkulai juga di atas tanah.
Manusia berpakaian putih yang satunya lagi mempunyai watak yang kejam serta sadis. Mula-mula ketika melihat rekannya dalam keadaan berbahaya, dia segera menerjang ke depan dan melancarkan sebuah serangan. Tetapi ketika rekannya itu terhempas di atas tanah dalam keadaan terluka parah, dia bahkan tidak meliriknya sekilaspun. Tubuhnya memutar dan kembali dia menerjang ke arah Oey Ku Kiong.
Orang yang mempunyai mata sekali lihat saja sudah dapat mengerti apa yang terkandung dalam hati orang itu.
Saat itu Lok Hong sedang membelai-belai cucu kesayangannya. Tampaknya bayangan mengenaskan yang akan terjadi sejenak lagi, tak diperhatikannya sedikitpun.
Tiba-tiba terdengar suara suitan panjang yang lantang dan nyaring timbul dari sampingnya. Sesosok bayangan persis seperti rajawali yang murka menerjang ke tengah arena. Ketika kakinya melayang turun kembali, posisinya tepat berada di sisi Oey Ku Kiong dan berdiri tegak dengan tenang. Tampaknya perubahan yang mendadak ini membuat si manusia berpakaian putih terkesiap. Dia tidak menyangka Tan Ki akan menghambur ke depan dan melindungi Oey Ku Kiong. Dengan panik dia menekan hawa murni dalam
tubuhnya agar tidak terus meluncur ke depan. Akhirnya dia berhasil juga menghentikan gerakan tubuhnya.
Sepasang mata setannya yang berwarna kehijau-hijauan memperhatikan Tan Ki dari atas kepala ke ujung kaki. Mulutnya memperdengarkan suara tawa yang dingin.
“Siapa kau?”
Tan Ki mendengus berat satu kali. “Penagih nyawa!” sahutnya angkuh.
Manusia berpakaian putih itu perlahan-lahan menjadi terpana. Tetapi sesaat kemudian dia seperti tersentak sadar. Kemudian tampak dia mendongakkan wajahnya dan tertawa marah. Tiba-tiba tubuhnya membungkuk, tenaga dalamnya dikerahkan. Terdengar suara kretek-kretek seolah tulang belulangnya berderak-derak dan terlepas dari persendian.
Sepasang matanya yang laksana setan menyorotkan sinar tajam berwarna kehijauan. Saat itu dia sedang membelalak penuh kemarahan. Meskipun waktu baru berubah pagi dan matahari baru terbit, tetapi wajahnya yang pucat pasi dan bibirnya yang keungu-unguan membuat orang yang melihatnya bagai bertemu dengan kaum setan gentayangan. Malah hati bisa jadi kebat-kebit karena munculnya perasaan seram.
Tan Ki melihat orang itu sudah mengerahkan tenaga dalamnya dan siap melancarkan serangan setiap waktu. Di luarnya dia berlagak tenang seolah tidak ada apa-apa, tetapi sebetulnya dalam hati dia tidak berani memandang ringan lawannya sama sekali.
Sepasang matanya yang bersinar tajam menatap lawannya lekat-lekat.
Dia sadar bahwa pertarungan kali ini pasti gawat sekali keadaannya. Juga merupakan pertarungannya yang terakhir sebelum ajalnya tiba. Tidak perduli menang atau kalah, dia tetap harus meninggalkan dunia yang fana ini.
Sebelumnya, dia memang merasa takut sekali apabila Lok Hong berhasil mengetahui asal-usul ilmu silatnya, sehingga dia tidak berani memamerkan di hadapan orangtua ini. Tetapi keadaan sekarang tidak dapat disamakan lagi dengan sebelumnya. Dia sudah tahu bahwa dirinya telah keracunan cukup parah. Biar bagaimana dia harus memenangkan pertarungan kali ini, walaupun dia akan mati juga karena terlalu banyak mengerahkan hawa murni sehingga racun akan lebih cepat menyebar, tetapi setidaknya dia akan mati dengan nama harum, bukan mati secara diam-diam tanpa diketahui siapapun. Oleh karena itu, saat ini dia sudah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk melakukan pertarungan besar-besaran yang terakhir sebelum maut merenggutnya.
Manusia berpakaian putih yang tampangnya mirip mayat hidup menunggu beberapa saat. Dia melihat Tan Ki masih belum melakukan gerakan apa-apa. Tampaknya dia mulai kehabisan sabar, mulutnya terkekeh-kekeh menyeramkan. Dia mengulurkan sepasang tangannya yang mirip cakar burung itu. Gerakannya lamban sekali. Lebih mirip jurus pembukaan ilmu Tae Kwon-do. Tidak ada keistimewaannya sama. sekali.
Tan Ki melihat orang itu mengulurkan tangannya yang bagai cakar burung itu, tampaknya tidak ada sesuatu yang mengejutkan. Tetapi ketika jarinya didorong ke depan, dia justru merasa ada serangkum hawa dingin yang melanda ke arahnya. Tanpa dapat ditahan lagi tubuhnya bergetar, kakinya goyah dan akhirnya mau tidak mau dia menyurut mundur setengah langkah.
Manusia berpakaian putih itu tiba-tiba mengeluarkan suara teriakan yang aneh. Kedua kakinya dihentakkan dan tubuhnya pun meloncat ke atas dengan posisi tegak lurus.
Gerakannya ringan dan cepat, sekali melesat langsung naik ke atas. Orangnya belum sampai, hawa dingin yang terpancar dari jari tangannya sudah terasa dan bahkan dua kali lipat lebih menggigilkan dari sebelumnya.
Hati Tan Ki jadi tercekat melihatnya. Diam-diam dia berpikir: ‘Ilmu silat Si Yu semuanya aneh-aneh, tidak terselip hawa manusia hidup. Bahkan orang semacam ini juga…’
Belum lagi habis pikirannya bekerja, tiba-tiba ia sudah bergerak setengah lingkaran dan menghindarkan diri dari serangan gencar manusia berpakaian putih itu.
Ternyata gerakan manusia berpakaian putih itu cepatnya bukan kepalang. Meskipun kakinya tidak melangkah melainkan berjalan dengan cara meloncat-loncat, tetapi kecepatannya malah bisa melebihi orang biasa. Ketika pikiran Tan Ki masih melayang- layang, orangnya sudah seperti kuda liar yang lepas dari kendali menerjang datang.
Tampaknya orang ini mempunyai kepandaian menebak sesuatu yang belum terjadi. Dia seakan sudah tahu kalau serangannya ini tidak akan membawa hasil. Cepat-cepat dia menarik kembali tangannya lalu hanya dalam perbedaan sekian detik, kembali dia melancarkan dua jurus yang lain.
Hawa yang dingin menyusup tadi bercampur dengan serangan pukulannya yang mengandung daya Im. Bagai air sungai yang meluap tiba-tiba melanda ke arah Tan Ki. Belum apa-apa hembusan anginnya saja sudah menggetarkan hati orang yang melihatnya.
Tubuh Tan Ki tengah keracunan hebat, dia tidak ingin berhadapan langsung dengan orang itu, apalagi dengan cara keras lawan keras. Cepat-cepat dia miringkan tubuhnya sedikit lalu bergerak memutar dan meluncur ke samping kurang lebih setengah lingkaran. Kemudian dengan jurus Lima Gelombang Mengurung Naga yang merupakan andalan para leluhur Ti Ciang Pang, dia melancarkan sebuah cengkeraman.
Diam-diam hati manusia berpakaian putih menjadi terkesiap. Dia tidak menyangka usia Tan Ki yang masih demikian muda, tetapi sudah mempunyai kepandaian demikian tinggi. Hembusan angin yang terbit dari cengkeramannya itu begitu dahsyat. Hal ini juga membuktikan bahwa tenaga dalam anak muda ini juga kuat sekali. Tampak dia mendongakkan wajahnya dan mengeluarkan suara pekikan yang menyeramkan. Kedua kakinya bergerak dan tahu-tahu dia sudah mencelat mundur ke belakang.
Bola mata Tan Ki mengerling ke sana ke mari. Dia melirik sekilas ke arah Oey Ku Kiong yang tadinya terkulai di atas tanah. Entah sejak kapan, tahu-tahu anak muda itu sudah merangkak bangun dan saat ini sedang duduk bersila dengan sepasang mata terpejam.
Tampaknya dia sedang mengatur pernafasan untuk menyembuhkan luka dalam yang dideritanya. Hatinya seakan terlepas dari beban yang berat. Dia langsung meraung keras dan tubuhnya melesat menerjang ke depan.
Saat itu Tan Ki sudah tidak mempunyai beban tanggung jawab apa-apa lagi yang harus dipikirkan. Begitu mengerahkan kepandaiannya, serangannya langsung terasa gencar sekali. Ilmu yang dikerahkannya terdiri dari jurus-jurus yang aneh dan terkandung serangan yang mampu membunuh lawannya.
Mula-mula manusia berpakaian putih itu menganggap remeh lawannya. Sejak pertama bergebrak dia sudah memberi kesempatan bagi Tan Ki untuk menempatkan diri pada posisi yang menguntungkan. Akibatnya dia menjadi kehilangan peluang untuk menggerakkan serangan balasan. Serangan Tan Ki yang aneh dan gencar ini membuat sedemikian terdesak sehingga mulutnya terus mengeluarkan suara suitan yang aneh dan kakinya juga terus meloncat mundur ke belakang.
Tiba-tiba Lok Hong melepaskan pelukan cucu kesayangannya dan maju dengan langkah lebar.
“Berhenti!” bentaknya keras.
Tanpa dapat ditahan lagi Tan Ki jadi terpana. Justru ketika dia masih terkesima oleh bentakan Lok Hong, tahu-tahu manusia berpakaian putih itu sudah meloncat datang dan memutar sedikit tubuhnya untuk mengubah jurus yang lain. Dengan mudah serta tanpa kesulitan sama sekali, dia berhasil mencekal pergelangan tangan Tan Ki.
Tan Ki hanya merasa bahwa Bagian tubuh sebelah kirinya seperti kesemutan, tenaga dalamnya lenyap seketika. Tanpa dapat ditahan lagi hatinya menjadi terkesiap tidak kepalang. Wajahnya pun berubah hebat.
Tampak sepasang alis Lok Hong menjung-kit ke atas. Orangtua itu seperti marah sekali. “Lohu suruh kalian berhenti bergebrak, kau masih berani mencuri kesempatan
membokong orang. Apakah kau benar-benar tidak memandang sebelah mata terhadap diri Lo-hu?”
Mulutnya berbicara, kakinya ikut m elangkah maju. Lengan bajunya dikibaskan sehingga timbul angin yang kencang lalu langsung meluncur ke arah manusia berpakaian putih tersebut!
Siapa nyana manusia berpakaian putih itu licik bukan main. Dengan seenaknya dia menarik tangan Tan Ki dan tubuh anak muda itu yang sudah setengah kaku itupun terseret olehnya. Apabila dibiarkan otomatis anak muda itu yang dijadikan perisai untuk menyambut datangnya kibasan lengan baju Lok Hong yang dahsyat.
Untuk sesaat Lok Hong jadi tertegun. Hawa amarah dalam dadanya meluap seketika.
Tubuh Bagian atasnya tidak bergerak satria sekali. Tangannya diulurkan ke depan, pergelangan tangan Tan Ki langsung tercekal olehnya. Serangkum tenaga yang dahsyat segera mengalir ke dalam tubuh anak muda itu.
Tan Ki merasa segulung aliran tenaga yang panas menyusup ke dalam tubuhnya lalu mengalir keluar dengan menerjang ke pergelangan tangan manusia berpakaian putih yang juga sedang mencekal pergelangan tangan kiri anak muda itu.
Manusia berpakaian putih itu mendengus dingin satu kali. Lengannya bergerak perlahan-lahan, dia menambah lagi tiga Bagian tenaga dalamnya dan didorong ke depan.
Tiba tiba Tan Ki merasa tenaga dalam yang dikerahkan oleh Lok Hong mempunyai daya tekan yang besar. Sebetulnya dia bisa mengerahkan tenaga dalam untuk menolak.
Dengan demikian gelombang arus yang dahsyat itu jadi tertahan. Dengan membawa pikiran itu, dia langsung mempraktekkan apa yang terpikir olehnya barusan.
Rupanya saat itu manusia berpakaian putih tengah mengadu kekuatan dengan Lok Hong lewat tubuh Tan Ki.
Lok Hong merupakan seorang tokoh tua yang sudah terkenal dengan adatnya yang aneh. Melihat lawannya sanggup menyambut gelombang arus tenaganya yang dahsyat bahkan seakan tidak terasa apa-apa, kemarahannya jadi berkobar-kobar. Setelah tertawa dingin sebanyak satu kali, dia menambahkan lagi kekuatan tenaga dalamnya lalu didesakkan lewat pergelangan tangan Tan Ki.
Meskipun Tan Ki mengerahkan lwekangnya dengan lambat dan kemudian menambah lagi kekuatannya, tetapi cara mengadu kekuatan yang luar biasa dan jarang dijumpai ini justru membuat diri hampir tidak dapat menahan diri. Dia merasa bahwa tenaga dalam yang tidak berwujud itu bagai air sungai yang meluap-luap dan deras serta mempunyai daya tekan yang hebat melanda tubuhnya dari dua jurusan. Dirinya bagai benda kecil yang terjepit di antara dua benda raksasa. Tan Ki seakan memanggul beban yang berat.
Tubuhnya terasa letih dan lemas bahkan nafasnya pun menjadi sesak.
Rupanya kekuatan tenaga dalam manusia berpakaian putih itu masih kalah satu tingkat bila dibandingkan dengan Lok Hong. Dua arus tenaga dalam yang satu dahsyat dan lainnya agak lemah malah menggetarkan isi perut Tan Ki. Pernafasannya seperti tersumbat dan dari kiri kanan mendapat tekanan yang hebat. Tanpa terasa, timbul semacam niat untuk melawan. Tan Ki sendiri tidak menyadari kalau dia sudah mengerahkan hawa murni dalam tubuhnya untuk memberontak. Dan secara aneh hawa murni serta tenaganya sendiri langsung bergabung dengan kerahan tenaga dalam manusia berpakaian putih yang lebih lemah, bergabung melawan datangnya arus tenaga Lok Hong yang dahsyat.
Dalam waktu yang singkat, wajahnya yang tampan sudah dibasahi keringat yang menetes terus menerus. Manusia berpakaian putih itu tampaknya lebih menderita lagi. Bibirnya mengatup erat dan matanya membelalak lebar-lebar. Wajahnya mengerut-ngerut seperti orang yang menahan sakit. Tetapi pada dasarnya watak manusia berpakaian putih ini sangat keras. Meskipun dia tahu apabila dia melepaskan tangannya lalu mengundurkan diri, tentu ia akan terlepas dari kesulitan ini. Namun dia tidak berbuat demikian, giginya digertakkan erat-erat dan terus mengerahkan tenaga yang lebih kuat lagi.
Tan Ki merasa nyali serta empedunya dialiri hawa yang panas yang kemudian meluap naik ke atas. Arus tenaga yang ada pada Bagian kiri tubuhnya seperti bertambah kuat.
Tubuhnya sampai doyong miring dan ketika manusia berpakaian putih itu menambah lagi kekuatan tenaga dalamnya, tubuhnya baru tegak kembali.
Lok Hong sudah mengerahkan tenaga dalamnya sebanyak enam Bagian. Tetapi dia merasa ketika tenaga lawannya kembali menerobos datang, arus kekuatannya sendiri bagai didorong dan hampir saja dia tidak dapat berdiri tegak. Cepat-cepat dia menambah lagi kekuatannya ke arah telapak tangan.
Tan Ki sendiri langsung memejamkan matanya dan mengatur jalannya hawa murni dalam tubuhnya. Di bawah tekanan kedua tenaga yang berlainan itu, dia sampai mengerutkan alisnya. Keringatnya mengucur bagai curahan hujan. Tetapi dia tidak berani ayal, disalurkannya tenaga dalam untuk menolak arus kekuatan yang dikerahkan Lok Hong.
Saat itu Lok Hong sudah menambah lagi kekuatan tenaga dalamnya menjadi sembilan Bagian. Siapa nyana kedudukannya tetap saja seimbang, tidak tampak salah satu pihak yang lebih unggul atau lebih asor. Hal ini membuatnya tidak berpeluang lagi untuk meraih kemenangan.
Di dalam hatinya mulai terselip rasa khawatir. Karena di antara mereka berdua terhalang oleh Tan Ki. Meskipun mereka hanya mengadu kekuatan tenaga dalam, tetapi justru keduanya tidak dapat saling menafsir. Mereka tidak dapat menilai, dari mimik wajah lawannya apakah diri sendiri yang akan unggul atau pihak lawannya yang akan meraih kemenangan. Dia hanya tahu bahwa kekuatan dirinya sendiri sudah dikerahkan sampai titik maksimal. Seandainya sisa seBagian yang terakhir dikerahkan juga, maka hilanglah kemampuan mengadakan perlawanan yang terakhir. Pada saat itu, apabila lawannya menambah sedikit saja kekuatan tenaga dalamnya, sudah pasti dirinya akan mendapatkan luka parah walaupun belum tentu sampai mati di tangan lawan.
Padahal manusia berpakaian putih itu juga mempunyai pikiran yang sama. Dia sendiri juga sedang kelabakan, tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Keduanya sama-sama tidak mempunyai keberanian untuk menambah lagi tenaga dalamnya, keduanya sama- sama khawatir kalau pihak lawan akan menggunakan kesempatan itu menambah tenaga dalamnya.
Hal ini bukan berarti bahwa tenaga dalam Lok Hong kurang sempurna sehingga menjadi peristiwa semacam ini. Tetapi justru karena kekuatan tenaga dalam manusia berpakaian putih secara tanpa sadar bergabung dengan tenaga tolakan dalam tubuh Tan Ki yang mendorong dengan kuat seperti memberontak sehingga arus kekuatan Lok Hong jadi surut seBagian. Tetapi kebimbangan yang terjadi dalam hati kedua orang ini malah memberi keuntungan pada diri Tan Ki. Perasaan tidak enak di dalam tubuhnya menjadi lenyap. Dan lambat laun dia dapat menyesuaikan diri dengan keadaan tersebut. Tekanan yang ada pada dirinya perlahan-lahan disalurkan oleh hawa murninya yang terus bergerak.
Meskipun mula-mulanya, ketika kedua orang itu baru menyalurkan tenaga dalam ke tubuhnya, Tan Ki merasa agak tergetar dan nafasnya sesak, sekarang dia tidak merasakan apa-apa lagi. Malah dengan adanya dua arus tenaga yang saling berdesakan di dalam tubuhnya, kemudian dibantu gerakan hawa murninya sendiri, malah membawa keuntungan yang tidak kecil bagi dirinya. Bagian urat nadi yang sebelumnya sulit tertembus dengan mengandalkan himpunan hawa murninya sendiri, sekarang malah tertembus satu persatu.
Setelah kurang lebih sepeminum teh telah berlalu, diantara keduanya masih belum juga terlihat siapa yang akan meraih keunggulan dalam mengadu kekuatan ini. Tiba-tiba pikiran Tan Ki tergerak. Diam-diam dia berpikir: ‘Kalau begini terus, sampai kapan baru ada penyelesaiannya?’
Begitu pikirannya tergerak, mendadak dia menghimpun kembali hawa murni di dalam tubuhnya lalu mengarahkannya ke lengan kiri. Dia menyalurkan tenaga dalamnya membantu arus tenaga Lok Hong sehingga bergabung menjadi satu dan mengalir dengan deras. Terdengar dengusan berat dari hidung manusia berpakaian putih itu dan tangannya pun terlepas lalu tersurut mundur.
Tampaknya dia tergetar oleh bantuan arus tenaga Tan Ki yang disalurkan secara mendadak sehingga tubuhnya tidak dapat berdiri tegak kemudian mundur dengan terhuyung-huyung. Tetapi dasar manusia berwatak keras, dengan susah payah dia
mempertahankan diri agar tidak terjatuh ke atas tanah. Setelah tergetar mundur beberapa langkah, mulutnya langsung membuka dan memuntahkan darah segar beberapa kali berturut-turut.
Wajah Lok Hong menyiratkan senyuman mengejek. Mulutnya bahkan memperdengarkan suara tawa yang dingin.
“Kau memang sangat gagah.” sindirnya tajam.
Manusia berpakaian putih sadar bahwa tenaga dalamnya masih kalah jauh dengan pihak lawan. Oleh karena itu dia tidak memperdulikan sindirian Lok Hong dan segera memejamkan matanya untuk mengatur pernafasan. Di samping membiarkan tubuhnya yang letih mendapat waktu istirahat juga berusaha meringankan luka dalamnya.
Sembari mengelus jenggotnya, kembali Lok Hong memperdengarkan suara tertawa yang dingin. Kemudian dia menoleh kepada Tan Ki.
“Dari mana kau mempelajari ilmu silat?”
Hati Tan Ki langsung berdegup kencang mendapat pertanyaan seperti itu. Dia malah sengaja memutar balikkan pertanyaan itu dengan pertanyaan pula.
“Apakah Locianpwe sudah mengetahui asal-usul ilmu silatku ini?”
Sepasang alis Lok Hong langsung terjungkit ke atas. Hatinya mulai merasa marah. “Lohu sedang mengajukan pertanyaan, bukan malah Lohu yang harus memberi
jawaban kepadamu!”
Tan Ki mengangkat sepasang bahunya dengan acuh tak acuh, seolah bersikap pasrah terserah menghadapi orangtua di hadapannya.
“Ucapan Locianpwe selalu tajam menusuk, hal ini justru membuat aku tidak tahu bagaimana harus memberikan jawaban.”
“Bagus sekali, kau malah memutar lidah di hadapan Lohu!”
Sambil berkata, Lok Hong melangkah maju menghampiri Tan Ki. Kalau dilihat dari sikapnya yang serius dan garang, tampaknya kemarahan orangtua ini hampir tidak terbendung lagi. Rasanya dia sudah bersiap-siap menghukum Tan Ki.
Suasana yang tegang seakan berada pada tingkat yang maksimum saat itu. Pertikaian yang tadinya berlangsung antara golongan sesat dan lurus sekarang berubah menjadi perang antara kawan sendiri. Meskipun hal ini tidak diakui oleh keduanya, tetapi secara tidak langsung Tan Ki telah memberikan bantuan kepada Lok Hong dengan melukai manusia berpakaian putih barusan.
Tiba-tiba terdengar suara teriakan Lok Ing…
“Yaya…!” ujung pakaian berdesir, orangnya pun langsung menghambur datang.
Tampak wajahnya yang sedih menyiratkan ketakutan dan kecemasan yang tidak
terkirakan. Dia menghambur ke depan Tan Ki lalu membalikkan tubuhnya dan menghadang jalan kakeknya itu.
Angin pagi yang sejuk menghembus ke arahnya. Gadis itu bagai seekor domba yang mendapat penganiayaan. Dia berdiri di tengah-tengah kedua orang itu dengan tampang yang menyayat hati.
Lok Hong benar-benar tidak menyangka kalau cucu kesayangannya yang selama ini sangat membenci Tan Ki, bisa tiba-tiba berubah dan bersikap melindunginya. Untuk sesaat dia jadi tertegun.
“Apa yang kau lakukan?” tanyanya kemudian. Nada suaranya seperti sebuah perintah, tetapi di dalamnya terkandung kelembutan dan kasih sayang yang besar.