Bagian 26
Tan Ki membalikkan lengannya menyapu, timbul serangkum angin yang kuat sehingga serangan kedua orang itu tertahan. Kemudian tubuhnya menggeser ke samping kira-kira lima depa dan menghindar dari serangan yang menerpa dari depan.
Orang yang menerjang dengan tiba-tiba itu mempunyai gerakan yang cepat sekali.
Begitu serangannya gagal, jurus kedua langsung menyusul. Tampak bayangan tubuhnya berkelebat, kembali terasa segulung kekuatan yang tidak berwujud dengan keji dan hebat menghantam ke arah Tan Ki.
Tan Ki mengeluarkan suara bentakan. Bukan saja dirinya tidak mundur, malah dia mendesak ke depan. Namun seiring dengan gerakan tubuhnya, kakinya juga menggeser ke samping sejauh dua depa. Dia berhasil menghindarkan diri dari serangan orang itu dan tanpa menunda waktu lagi dia melancarkan sebuah pukulan balasan.
Bayangan tubuh orang yang baru datang itu bukan saja cepat sekali, ilmu silatnya juga sangat tinggi. Tampaknya jauh lebih tinggi daripada kelima orang tadi. Tatkala Tan Ki melancarkan serangannya, kecepatannya tak usah ditanyakan lagi. Belum lagi kekuatan yang terkandung di dalamnya. Bahkan seorang jago kelas satu di daerah Tionggoan saja pasti tidak berani menganggap ringan, namun orang itu malah memperdengarkan suara tertawa yang dingin sebanyak dua kali. Tiba-tiba dia membungkukkan tubuhnya kemudian mencelat mundur sebanyak dua langkah. Selain berhasil menghindari serangan Tan Ki yang gencar, malah dengan menggunakan kesempatan itu dia membalas dua buah pukulan dan sebuah tendangan.
Tan Ki tidak mau kalah pamor. Tubuhnya mencelat ke atas dan lewat di atas kepala orang itu, dengan demikian serangan orang itu tidak mengenai sasarannya. Dengan kecepatan kilat dia membalikkan tubuhnya. Namun Tan Ki sudah bersiap diri. Mendadak tangan dan kakinya bergerak serentak. Baru saja dia melayang turun ke atas tanah, mendadak dia melancarkan tujuh belas jurus serangan secara berturut-turut.
Serangan yang gencar ini dikerahkan dengan begitu cepatnya sehingga orang itu ter- kejut setengah mati. Mulutnya sampai mengeluarkan suara seruan dan kakinya tergetar mundur sejauh tujuh depa.
Tan Ki tertawa lebar.
“Orang gagah dari Si Yu ternyata hanya begini saja!” telapak tangannya terulur keluar dan kembali dia melancarkan sebuah pukulan.
Pada saat ini, dia sudah melihat jelas orang yang menerjang ke arahnya itu. Orang itu juga bertubuh tinggi besar dan usianya sekitar tiga puluh tahun lebih. Di bawah dagunya terjuntai jenggot yang tipis. Dia mengenakan pakaian putih, raut wajahnya terasa asing sehingga Tan Ki yakin tidak pernah mengenal orang ini sebelumnya.
Tampaknya dia seakan kurang terbiasa menghadapi lawan dengan tangan kosong.
Setelah berhasil membebaskan diri dari serangan Tan Ki yang gencar, dia segera mencelat mun-dur dua langkah. Tangannya masuk ke dalam balik pakaian dan dikeluarkannya sejenis senjata yang bentuknya aneh.
Begitu dia mengeluarkan senjatanya, Tan Ki terkejut sekali sehingga tanpa dapat ditahan lagi kakinya mundur tiga langkah tanpa terasa. Di wajahnya yang tampan tersirat ke-seriusan yang belum pernah diperlihatkan sebelumnya.
Cin Ie yang melihat keadaan ini juga tergetar hatinya karena jenis senjata yang diguna- kan orang itu benar-benar senjata yang jarang terlihat di dunia Kangouw. Bentuknya seperti roda kereta namun terbuat dari baja. Jumlahnya sepasang dan pada Bagian pegangannya ada semacam gigi yang melengkung, kemungkinan fungsinya untuk mengait senjata lawan. Di Bagian depannya merupakan gerigi-gerigi yang tajam seperti gergaji.
Sejak orang ini menerjang masuk ke tengah arena, dua orang yang tersisa dari lima orang tadi segera mengundurkan diri. Mereka segera membangunkan rekan-rekan mereka yang terluka dan tidak sadarkan diri. Kemudian berdiri di samping dengan hormat.
Tampang mereka seakan segan sekali terhadap orang yang membawa senjata aneh ini. Kemungkinan memang kedudukan orang ini lebih tinggi daripada mereka berlima.
Tan Ki merentangkan sepasang lengannya menghindarkan diri dari dua pukulan dan sebuah tendangan orang itu. Kemudian dia menarik nafas panjang-panjang.
Terdengar orang yang membawa senjata aneh itu tertawa-terbahak-bahak dan menjura dalam-dalam.
“Cayhe Kim Cian dari Si Yu. Pertama kali bertemu dengan sahabat dari ionggoan, seharusnya merasa bangga sekali. Namun mendengar nada bicara Saudara benar-benar membuat hati ini merasa tidak puas. Walaupun kami sudah mempelajari silat selama beberapa tahun, tetapi tidak berani mengagunkan diri.”
Mendapat pandangan hina dari Saudara, masih tidak apa-apa, Namun daerah Si Yu luas dan banyak orang yang berbakat tinggi. Sama sekali tidak seperti perkiraan Saudara yang menganggap di pihak kami tidak ada tokoh yang dapat diandalkan. Cayhe berniat membutakan mata menganggap tidak melihat gunung Thai San yang menjulang tinggi.
Biar dengan sepasang Jit Goat Lun (roda bulan dari matahari ini, Cayhe menjajal beberapa jurus kepandaian Saudara.”
“Bagus sekali, bagus sekali! Kalau begitu, biar aku menggunakan sepasang senjata telapak tangan yang terdiri dari daging dan kulit ini untuk menemani sahabat dari Si Yu.” sahut Tan Ki tenang.
Meskipun kedua orang ini terlibat dalam’ percakapan, namun hawa pembunuhan sudah J muncul di hati masing-masing. Suasana musim semi yang sudah mencekam seakan ditambah lagi dengan bahan peledak yang akan meletus setiap saat.
Tampak wajah keduanya semakin kelam, langkah kaki mereka maju setindak demi setindak. Keduanya menuju ke titik tengah, suasana semakin menegangkan. Setingkat demi setingkat bertambah seiring dengan jarak keduanya yang semakin mendekat.
Hati Cin Ie semakin mencelos melihat keadaan yang semakin genting ini. Pikirannya kacau. Telapak tangannya mulai mengucurkan keringat dingin, dadanya bagai diganduli “beban yang berat bukan main. Dia merasa cemas juga takut, dan untuk sesaat tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Rupanya golongan sesat dari berbagai kalangan kali ini berkumpul di daerah Tionggong dengan maksud tertentu. Selain Bu Sin To (Pulau tanpa dewa) yang berada di Samudera luar, di dalam rombongan ini juga terdapat perkumpulan Pek Kut Kau (Perkumpulan tulang putih) yang namanya sudah sangat terkenal di daerah Si Yu. Bahkan namanya tidak kalah dengan Tocu dari Bu Sin To. Kim Cian dibesarkan di wilayah Kang Lam. Seharusnya dia juga termasuk orang Tionggoan, tetapi sejak dulu dia sudah bergabung dengan Pek Kut Kau. Dan tentu saja sudah melupakan asalnya sendiri. Cin Ie tahu benar watak orang ini yang jujur dan berjiwa pendekar. Merupakan orang pilihan dalam perkumpulan Pek Kut Kau. Melihat keadaan kedua orang ini akan bertarung hidup dan mati, tanpa terasa dia menjadi panik sehingga air matanya jatuh bercucuran. Hatinya menjadi bingung.
Ketika kecil sedang berlatih, tanpa sengaja Bagian belakang kepalanya terpukul oleh sang kakak sehingga terluka. Sejak itu akalnya jadi hilang sebab otaknya lemah. Tentu saja jauh berbeda kalau dibandingkan Cin Ying yang cerdas dan banyak akal. Meski menghadapi urusan seberat apapun, pasti dapat diselesaikannya dengan baik. Dalam belasan tahun ini, boleh dibilang dia selalu bergantung kepada kakaknya itu. Dia tidak perlu mengerahkan otaknya memikirkan jalan keluar untuk berbagai persoalan yang dihadapinya. Saat ini seorang diri dia menghadapi situasi seperti ini, tentu saja kepalanya jadi pusing tujuh keliling. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Dia khawatir keadaan Tan Ki yang mungkin akan terluka parah atau malah menemui ajal setelah berkelahi dengan orang yang lihai itu.
Waktu terus merayap, hatinya semakin titis tenang, air mata kekhawatiran pun mengalir semakin deras.
Tiba-tiba serentet suara langkah kaki yang ringan berkumandang datang. Begitu mata memandang, tampak Kiau Hun sedang melangkah dengan lenggang-lenggok yang gemulai di atas rerumputan dan berjalan ke arah mereka. Di atas kepala tampak mahkotanya mengeluarkan cahaya yang berkilauan. Seiring dengan hembusan dingin terdengar suara gemerincing perhiasan yang memenuhi seluruh tubuhnya. Untuk sesaat Cin Ie jadi termangu-mangu. Namun sejenak kemudian dia sudah tersentak sadar. Mulutnya mengeluarkan seruan terkejut. Perlahan-lahan dia mengetuk batok kepalanya sendiri.
‘Aku tahu sekarang. Setengah bulan yang lalu, perempuan ini ditemukan oleh Toa Tocu (Tuan besar pemilik pulau). Kemudian dia diterima menjadi selirnya. Diam-diam diajarkan ilmu sakti dari Bu Sin To. Dalam waktu tiga hari yang singkat, ilmu silatnya mengalami kemajuan berlipat ganda. Kemudian Toa Tocu mengutuskan menyelinap kembali ke daerah Tionggoan dan menjadi mata-mata. Dengan begitu mereka bisa mengetahui sampai di mana kekuatan para pendekar daerah Tionggoan, kemudian baru dirundingkan kembali untuk melakukan penyerangan. Mereka dapat menggunakan siasat mengadu domba atau menyerbu secara terang-terangan. Sekarang ini para tokoh dari Si Yu sudah berkumpul di sini, dia juga sudah datang. Mungkinkah Toa Tocu ingin bekerja sama dengan Si Yu untuk menye-rang daerah Tionggoan? Mungkin juga dia diutus sebagai wakil Toa Tocu untuk mengadakan perundingan, siapa yang kembali ke asal dan siapa yang boleh merebut daerah Tionggoan. Namun apabila benar demikian, pasti akan terjadi perkelahian di antara mereka. Yang menang terpilih sebagai raja dan yang kalah terpaksa pulang sambil menyurutkan ekornya. Tetapi, rasanya tidak mungkin…’ pikirnya dalam hati.
Dengan termenung-menung dia terus berpikir, dua persoalan terus berkecamuk di benaknya. Semakin dipikirkan, tampaknya keduanya sama-sama mempunyai kemungkinan yang sama. Tetapi dia juga merasa semuanya tidak mungkin terjadi.
Meskipun Cin Ie mempunyai daya khayal yang tinggi, namun karena urat penting di Otaknya pernah terluka parah, akalnya jadi tidak jalan. Dia juga kehilangan kepercayaan terhadap diri sendiri. Meskipun dalam persoalan apapun dia dapat memikirkan sampai hal yang sekecil-kecilnya, tetapi selalu terdorong kembali oleh kebimbangan dalam hatinya. Oleh karena itu pula, setiap hal yang dikerjakannya, tidak ada satupun yang dilandasi rasa percaya diri sehingga tidak dapat diselesaikan dengan tuntas. Hatinya selalu bertanya- tanya, apakah benar apa yang aku lakukan? Apakah hanya begini saja penyelesaiannya? Akibatnya dia selalu ragu dalam bertindak. Namun tentu saja dalam hal ini dirinya tidak dapat disalahkan. Semuanya terpengaruh oleh kelemahan otaknya yang tidak dapat berfungsi dengan baik lagi.
Sementara itu Kiau Hun tetap bergerak ke tengah-tengah ajang pertempuran, dengan tenang. Tiba-tiba dia mengibaskan tangannya ke kiri dan kanan. Tanpa dapat ditahan lagi, tu-buh Kim Cian maupun Tan Ki yang sedang maju merapat ke arah lawannya menjadi tergetar mundur.
Kiau Hun melirik sekilas ke arah Tan Ki. Kemudian dia menjura memberi hormat kepada Kim Cian serta rekan-rekannya. Bibirnya mengembangkan seulas senyuman yang manis.
“Maaf karena terlambat datang, mungkin Saudara sekalian sudah lama menunggu.” katanya.
Kim Cian mendongakkan wajahnya menatap langit. Dia menyimpan kembali senjatanya yang aneh.
“Sekarang ini kentungan ketiga baru berlalu. Rasanya tidak berbeda jauh dengan batas waktu perjanjian yang kita sepakati.” sinar matanya beralih ke arah belakang punggung Kiau Hun. Kemudian dia mengalihkan pertanyaannya. “Hanya Kouwnio seorang diri yang datang ke mari?”
Kiau Hun mencibirkan bibirnya tersenyum mengejek.
“Masa satu orang masih dianggap terlalu sedikit? Toh, bukannya hendak mengadakan upacara bunuh diri massal, untuk apa banyak-banyak orang yang hadir?”
Kim Cian hanya tersenyum simpul. Dia tidak menyahut sepatah katapun. Sementara itu, Kiau Hun membalikkan tubuhnya dan tersenyum datar kepada Tan Ki. “Kau pergilah, biar aku saja yang mengurus persoalan di sini!”
Tan Ki sedang memikirkan sapuan tangan Kiau Hun yang mengandung tenaga daiam yang dahsyat. Kalau ditilik dari usianya yang masih begitu muda, tampaknya tidak mungkin dia bisa mencapai hasil setinggi itu. Hatinya digelayuti berbagai pikiran. Dia terus memikirkan apa sebenarnya yang dialami oleh gadis itu selama beberapa hari belakangan ini. Terhadap ucapan Kiau Hun, sebetulnya dia malah tidak mendengarkan.
Kiau Hun melihat anak muda itu berdiri dengan termangu-mangu, seakan ada sesuatu yang rumit dalam pikirannya. Tanpa dapat ditahan lagi segulung rasa perih menyelinap dalam dadanya. Terhadap Tan Ki dia mempunyai perasaan yang istimewa. Seandainya ada orang lain yang mencintai Tan Ki, pasti dia tidak ragu. turun tangan membunuh saingannya itu.
Sejak kecil dia sudah sebatang kara dan menjadi anak yatim piatu. Dalam waktu yang bersamaan, keadaan juga mendesaknya sehingga gadis ini menjadi rendah diri. Apalagi setelah dia diusir dari perguruan oleh Ciu Cang Po. Jiwanya yang sempit dan peka mem- buatnya merasa bahwa orang-orang di dalam dunia ini tidak ada satupun yang tidak memandang dari segi materi serta kedudukan. Mei Ling adalah seorang gadis keturunan orang terkenal lagi kaya. Di mana-mana dia mendapat perhatian serta kasih sayang dari orang lain. Sedangkan dirinya hanya seorang budak maka dari itu selalu dipandang hina oleh semua orang. Orang-orang memandangnya dengan tatapan sinis, bibir mereka selalu tersenyum mengejek..?
Karena hal itu pula, melihat keadaan yang.
terpampang di hadapannya, timbul perasaan
dendam dalam hati. Justru pada sebuah kesempatan yang tidak terduga-duga, dia bertemu dengan Toa Tocu dari Bu Sin To.
Dalam waktu tiga hari, dia telah mengorbankan sesuatu miliknya… kesucian seorang gadis!
Tiga hari kemudian juga, dari seorang budak yang melayani nona besarnya, dia berubah menjadi Tocu Hujin (Nyonya pemilik pulau). Kedudukannya menjadi tinggi sekali. Dan tidak ada seorang pun yang berani lagi memandang hina ataupun mengejeknya.
Sedangkan bagi Kiau Hun sendiri, apa yang dikorbankannya hanya sebuah kesucian yang tidak berarti apa-apa, seolah-olah hal ini memang kejadian yang lumrah. Satu kejadian diganti atau diberi imbalan dengan sesuatu. Kedua pihak sama-sama tidak ada yang diru-gikan. Bagai jual beli yang telah disepakati. Bagi Kiau Hun, hal ini malah merupakan Suatu keberuntungan. Setelah bertemu dengan Toa Tocu, bukan saja ilmu silatnya maju pesat dalam jangka waktu tiga hari yang singkat. Bahkan harga diri dan kedudukannya juga ikut haik. Sekarang dia bukan lagi budak keluarga Liu.
Akhirnya ketika dia bertemu lagi dengan Tan Ki sekarang, rasanya dia ingin melampiaskan semua yang terpendam dalam hatinya agar kepedihan dan kekecewaannya dalam hidup ini dapat diceritakan kepada anak muda itu. Tetapi entah mengapa, kata-kata yang sudah siap dikeluarkan seakan tercekat di tenggorokannya, akhirnya malah ditelan kembali. Seperti juga sebelumnya, dia tidak dapat mengatakan sepatah katapun isi hatinya.
Apakah dia merasa malu? Atau masih juga merasa rendah diri?
Dia merasa kepalanya dipenuhi kabut yang tebal. Dia sendiri tidak dapat memastikan. Namun dia merasa bahwa kedua pertanyaan di atas sama-sama ada kemungkinannya. Tiba-tiba dia menggertakkan giginya erat-erat. Justru ketika Tan Ki masih termangu- mangu, cepat-cepat dia mengikuti Kim Cian dari belakang dan masuk ke dalam kuil tua tersebut.
Lama… lama sekali.
Akhirnya Tan Ki tersentak dari lamunannya. Tampak sepasang alisnya masih terus mengerut, seakan ada masalah berat yang tidak dapat dicernakan benaknya. Perlahan- lahan dia membalikkan tubuhnya dan melangkahkan kakinya.
Untuk sesaat Cin Ie jadi tertegun melihatnya. “Apakah kita akan pergi dari sini?” tanyanya bingung. Tan Ki menganggukkan kepalanya dengan enggan.
“Jejak kita sudah diketahui oleh pihak lawan. Pihak Si Yu pasti sudah mengambil tin- dakan pencegahan. Biarpun kita terus masuk ke dalam, juga tidak akan mendapatkan hasil apa-apa.”
Cin Ie menganggukkan kepalanya. Padahal hatinya setengah mengerti setengah tidak atas ucapan Tan Ki. Dia memang seorang gadis yang tidak mempunyai gagasan apapun. Apa-pun yang dilakukan oleh Tan Ki, dia pasti mengikutinya. Oleh karena itu, dia segera mengikuti Tan Ki dari belakang dan tidak mengatakan apa-apa lagi.
Di bawah cahaya rembulan, tampak dua sosok bayangan berjalan dengan lambat- lambat.
Tidak lama kemudian… kembali ada sesosok bayangan yang dengan kecepatan tinggi melayang turun di tempat Tan Ki berdiri barusan. Usianya kurang lebih dua puluh tahunan. Wajahnya putih bersih dan bibirnya merah. Sepasang lengannya berdekapan di depan dada. Pakaiannya merupakan jubah panjang berwarna putih perak. Saat ini berkibar-kibar karena tiupan angin. Watak orang ini sangat angkuh. Sudut bibirnya selalu mengulumkan senyuman mengejek. Sungguh sebuah senyuman yang dingin. Tetapi di antara sepasang alisnya tersirat kedukaan yang dalam. Matanya menunjukkan rasa kesepian yang tidak terkirakan. Dapat dipastikan bahwa hati orang ini sedang digelayuti masalah yang berat karena tampangnya pun menampilkan penderitaan yang dalam.
Perlahan-lahan dia mendongakkan wajahnya. Tiba-tiba dia bergumam seorang diri, “Berdiri seorang diri di atas pegunungan, angin bertiup semilir…”
Tidak ada seorangpun yang memahami hati yang merindukan bunga tersayang.
Dengan perasaan bingung minum sampai mabuk, berteman arak bersenandung suara hati…
Namun kedukaan tidak dapat sirna juga…
Akulah orangnya, akulah orangnya… Samudera luas, langit terbentang…. Akulah orangnya yang memikirkan kekasih dambaan sehingga tubuh layu dan wajah kusut…”
Rupanya dia sedang membaca sebuah puisi yang mengungkapkan perasaan hatinya. Meskipun dari luar tampaknya orang ini sangat tinggi hati dan bukan jenis manusia yang mu-dah didekati, tetapi saat ini dia seakan ingin melampiaskan keluhan hatinya dalam bentuk puisi. Suaranya bagai ratapan burung hantu yang membuat orang merasa hatinya tertekan. Di antara kedukaan hatinya terselip pula kerinduan yang dalam.
Terdengar suara orang itu yang di tarik sedemikian panjang sehingga sampai lama sekali baru sirap. Rupanya kesedihan hatinya tidak tertahankan lagi sehingga air matanya jatuh bercucuran bagai curahan hujan yang deras.
Rupanya anak muda yang dijangkiti kerinduan ini tidak lain daripada anak angkat si raja iblis, Oey Kang. Dia menamakan dirinya sendiri. Pendekar Baju Putih, sedangkan nama aslinya Oey Ku Kiong. Dia pula yang menghadiahkan obat kepada Tan Ki ketika terluka di dalam Pek Hun Ceng.
Sejak bertemu dengan Kiau Hun, seluruh perasaannya bagai terjatuh kepada gadis itu.
Entah mengapa, hatinya yang tenang bagai dilanda gelombang badai yang dahsyat. Senyumnya yang manis bagai mengandung asmara yang meluap-luap. Sehingga hati anak muda itu jadi tergetar dan tidak dapat mengendalikan perasaannya lagi.
Dia pernah menyimpan ketiga batang jarum rahasia Kiau Hun yang kemudian dite- kukkan dan dipakai setiap hari pada jari tangan. Dia mengira dengan berbuat demikian, meskipun tidak dapat menghilangkan keseluruhan rindu dalam hatinya, namun sedikit banyak dia jadi terhibur seakan selalu berdekatan dengan gadis itu. Tetapi tidak lama kemudian, Kiau Hun justru meninggalkan Pek Hun Ceng dengan membawa rombongan Liu Seng. Dia berdiam di dalam bangunan seperti istana itu selama dua hari dua malam.
Namun hatinya terus merasa gelisah. Dia merasa seakan duduk salah, berdiripun salah. Hatinya laksana ikut melayang seiring dengan kepergian Kiau Hun.
Ternyata dia tidak berhasil menahan kerinduan yang menggerogoti hatinya. Diam-diam dia meninggalkan Pek Hun Ceng dan mengejar rombongan Liu Seng yang beserta Kiau Hun kembali ke Lok Yang. Tetapi karena beberapa orang dari rombongan ini terkena racun Li Hun Tan, maka keadaan mereka kehilangan kesadaran. Semakin hari tubuh mereka semakin kurus dan lemah. Yang paling parah justru Ciu Cang Po, setiap hari dia selalu, termangu-mangu, tidak pernah tersenyum ataupun mengucapkan sepatah kata. Para pendekar maklum apabila bukan penawar racun milik Oey Kang sendiri, penyakit itu pasti sulit disembuhkan. Namun mereka juga tidak bisa berbuat apa-apa.
Kiau Hun mengajukan diri sebagai pahlawan. Dia bersedia menyelinap ke dalam Pek Hun Ceng untuk mencuri obat penawar tersebut. Sebetulnya pada saat itu, dia sudah mene-rima perintah rahasia dari Toa Tocu Pulau Tanpa Dewa, yang mengharuskan dia segera langsung menuju tempat tersebut untuk mengadakan hubungan dengan pihak Pek Kut Kau dari Si Yu. Mereka akan merundingkan masalah penggabungan kedua pihak untuk menyerbu daerah Tionggoan. Oleh karena itu, mau tidak mau Kiau Hun harus mencari alasan yang tepat agar dapat meninggalkan
para pendekar itu untuk sementara waktu.
Setelah mengikuti selama beberapa hari, Oey Ku Kiong terus mengintil di belakang Kiau Hun dan sampailah di tempat ini. Semua gerak-gerik Kiau Hun dia tahu jelas bagai mengenali telapak tangannya sendiri. Tentu saja Oey Ku Kiong sama sekali tidak mengkhawatirkan masalah yang akan terjadi dalam dunia Kangouw. Walaupun akan terjadi pemberontakan besar-besaran bahkan sekalipun darah akan mengalir bagai air sungai, dia tetap tidak perduli. Yang dicemaskannya justru kemungkinan Kiau Hun terperosok dalam bahaya atau hal yang menyangkut keselamatan jiwa gadis itu. Mungkin inilah yang disebut penyakit cinta.
Angin malam berhembus ke arahnya. Oey Ku Kiong merasa udara mulai dingin.
Matanya menatap lekat-lekat ke kuil tua tersebut. Diam-diam dia menarik nafas panjang. Dia tahu Kiau Hun sedang mengadakan perundingan dengan orang-orang Si Yu masalah perebutan kedudukan Bengcu. Tetapi dia malah rela menunggu di tempat itu. Karena dia tahu akhirnya Kiau Hun pasti akan keluar juga.
Ternyata setelah menunggu tidak berapa lama, tampak sesosok bayangan yang langsing melesat bagai terbang keluar dari kuil tua itu.
Di bawah cahaya rembulan, tampak gerakannya yang cepat dan indah sekali bagai seekor burung camar. Tubuhnya melesat bagai terbang di udara.
Dengan gugup Oey Ku Kiong bergerak mundur sejauh tujuh delapan langkah, tubuh- nya melesat dan bersembunyi di balik sebatang pohon. Tempatnya menyembunyikan diri, paling tidak berjarak ratusan depa dari kuil tua tersebut. Namun orang yang bergerak
keluar mempunyai ginkang yang demikian hebat. Dalam sekejap mata saja dia sudah sampai di sebelah kiri, tidak jauh dari persembunyian anak muda itu.
Oey Ku Kiong bersembunyi di tempat yang gelap. Dia dapat melihat jelas bahwa orang itu mengenakan pakaian berwarna merah jambu dan kepalanya dihiasi mahkota yang indah. Di pundaknya terselip sebatang pedang emas yang tentu sekali merupakan benda pusaka. Di bawah cahaya rembulan, dandanannya yang mewah itu malah menambah kecantikannya. Orang itu memang Kiau Hun yang ditunggu-tunggunya sejak tadi.
Tanpa terasa, jantungnya mulai berdebar-debar. Seperti orang yang menghadapi bahaya untuk pertama kalinya. Sampai dia sendiri merasa tidak mengerti. Mengapa cinta dapat membawa pengaruh yang demikian hebat? Dia merasa tegang luar biasa.
Kiau Hun telah mengadakan rundingan dengan pihak Si Yu. Tampaknya dia sudah mendapatkan jawaban yang memuaskan. Wajahnya yang cantik sering kali memperlihatkan senyuman yang tipis. Tiba-tiba tampak gadis itu menghentikan langkah kakinya dan memusatkan pendengarannya dengan seksama. Kemudian mulutnya mengeluarkan suara tertawa dingin.
“Entah Cianpwe, Taihiap, Kongcu atau sahabat mana yang…”
Sambil berteriak, matanya terus mengerling ke kiri dan kanan. Hal ini membuktikan bahwa dia sudah mengetahui adanya orang lain di tempat itu. Sepasang alis Oey Ku Kiong terus mengerut. Diam-diam dia meraba dadanya sendiri dan mengatakan ‘Celaka!’ dalam hati. Rupanya karena terlalu tegang, tanpa sadar nafasnya jadi agak berat sehingga jejaknya diketahui oleh Kiau Hun.
Tampaknya dia tidak ingin membuat Kiau Hun penasaran. Dengan tersendat-sendat dia segera menyahut, “Kouwnio… a… ku.”
Perlahan-lahan Kiau Hun melangkahkan kakinya menghampiri. Ketika dia berhasil melihat jelas Oey Ku Kiong, tanpa dapat ditahan lagi bibirnya mengembangkan senyuman yang manis.
“Sudah larut malam seperti ini, mengapa kau masih datang juga ke tempat ini?”
Kiau Hun tampaknya sudah tahu kalau selama beberapa hari ini Oey Ku Kiong selalu mengintil di belakangnya. Oleh karena itu pula, begitu melihat Oey Ku Kiong dia tidak merasa terkejut sama sekali. Penampilannya tetap tenang dan bibirnya terus tersenyum simpul.
Berada di hadapan pujaan hatinya, keberanian Oey Ku Kiong seakan kandas entah ke mana. Di dalam tenggorokannya seperti ada benda yang tercekat. Setelah tertegun sejenak, dengan susah payah dia baru dapat menyahut… “Cayhe mengkhawatirkan keselamatan kouwnio…”
Kiau Hun tersenyum lembut.
“Apakah kata-katamu ini hanya alasan yang kau kemukakan dalam keadaan terdesak?” “Mana berani Cayhe mendustai Kouwnio?” Bola mata Kiau Hun mengerling sekilas. Dia
menggigit bibirnya perlahan-lahan.
“Apakah kau takut aku akan terluka di tangan orang yang bernama Kim Cian itu?” selesai berkata, kembali bibirnya tersenyum simpul. Langkah kakinya maju setindak demi setindak mendekati Oey Ku Kiong.
Di bawah cahaya rembulan, tampak kulitnya begitu putih bagai hamparan salju, di antara senyumnya bagai ada ribuan bunga yang bermekaran. Tanpa dapat ditahan lagi Oey Ku Kiong memandangnya dengan terkesima. Tampak dia mengulurkan tangannya perlahan-lahan dan menggenggam tangan kanan anak muda tersebut.
“Selama beberapa hari ini, kau terus mengikuti dari belakang. Bukannya aku tidak tahu, tapi aku selalu mengajukan pertanyaan kepada diriku sendiri, sebetulnya mengapa kau melakukan hal ini? Aih, aku tahu apa yang kau pikirkan dalam hati. Dan aku juga mengerti mengapa kau selalu mengikuti aku dari belakang dan tidak mau meninggalkan aku sedikitpun.. Tapi ada suatu hal yang perlu kau ketahui. Untuk seumur hidup ini, aku tidak mungkin jatuh cinta lagi pada siapapun. Cinta kasih dalam hatiku sudah membeku bagai es di daerah kutub dan sudah terbenam di tempat yang tidak mungkin diinjaki manusia.”
Oey Ku Kiong merasa tiba-tiba ada beban yang berat sekali mengganduli hatinya.
Perasaannya tergetar, kesedihannya terbangkit seketika. Tanpa dapat dipertahankan lagi, dia menundukkan kepalanya perlahan-lahan, Kiau Hun melihat anak muda itu berdiri tegak. dengan kepala tertunduk, tampangnya benar-benar mengenaskan. Bagai orang yang kehilangan sukmanya. Tanpa terasa segulung rasa iba timbul dalam hatinya.
Terdengar dia menarik nafas dalam-dalam dan seakan menyesali diri sendiri dia berkata, “Sayangnya pertemuan kita terlalu lambat.”
Pikiran Oey Ku Kiong tergetar, tiba-tiba dia mendongakkan kepalanya. Sepasang matanya menatap wajah Kiau Hun lekat-lekat.
“Kouwnio masih terhitung seorang gadis remaja, Cayhe juga baru berusia dua puluh tahun. Mengapa bisa mengatakan bahwa pertemuan kita ini sudah terlambat?”
Kiau Hun memperlihatkan sekulum senyum yang pilu.
“Ketika kita bertemu, hatiku sudah terpaut di tempat lain. Lagipula keadaan diriku juga bukan gadis yang suci lagi.”
Perlahan-lahan dia menarik nafas panjang. Di antara sepasang, alisnya tampak kerutan yang seakan menyesali keadaan anak muda tersebut. Kemudian dia melanjutkan lagi kata- katanya. “Setiap sepuluh langkah, kita pasti bertemu dengan sekumpulan rerumputan. Di dunia yang luas ini entah berapa banyak gadis yang jauh lebih cantik daripada diriku, Kiau Hun. Mengapa kau justru menyukai bunga yang layu dan orang yang sudah tersesat jauh seperti diriku ini? Bahkan cintamu demikian dalam! Apalagi baik hati maupun tubuhku sudah milik orang lain. Seumur hidup ini tidak mungkin aku mengalihkan lagi perasaanku ini. Biar bagaimana tulusnya hatimu padaku, kau malah hanya mencari penyakit bagi dirimu sendiri.”
Oey Ku Kiong tertawa dengan pilu. Dia menggelengkan kepalanya berulang kali. “Lautan yang luas tidak mungkin berubah menjadi sungai, gunung yang menjulang
tinggi tidak mungkin berubah menjadi bukit yang rendah. Biar bagaimana kau perlakukan
aku, rasanya tidak mungkin merubah hatiku untuk melupakan dirimu.”
“Untuk apa kau berbuat begini? Mungkin kehalusan kulitku dan kecantikan wajahku yang membuat kau terpesona. Kau harus ingat, waktu terus berlalu, tidak ada kecantikan yang abadi di dunia ini. Akhirnya yang tertinggal hanya segumpal tanah juga. lagipula percintaan antara dua manusia harus dilandasi saling menyukai. Sedangkan aku benci sekali terhadap ketamakan manusia di dunia ini. Mereka semua menghina yang miskin dan memuliakan yang kaya. Aku ingin menggunakan tubuh yang sudah tidak mempunyai perasaan ini dan kecantikan sekejap ini untuk meraih kebesaran nama, kedudukan dan membalas dendam kepada semua orang di dunia ini. Kalau tidak, sekarang juga aku akan merusakkan wajahku di hadapanmu agar perasaanmu menjadi mati.”
Oey Ku Kiong termenung sejenak. Tiba-tiba di wajahnya yang muram perlahan-lahan terlihat senyuman yang lebar. Dia seperti bergumam seorang diri.
“Apabila ulat tidak mati, seratnya juga tidak akan terurai. Meskipun waktu berlalu, manusia dapat menjadi tua. Cayhe bersedia menjadi pendamping di samping kuburan!” katanya tegas.
Di bawah cahaya rembulan, tampak sepasang matanya mulai membasah. Sinarnya ber- kilauan. Tapi tampaknya anak muda ini berusaha menahan sekuatnya agar tidak mengalir turun. Kulit wajahnya tampak mengerut-ngerut.
Kiau Hun melihat tampang Oey Ku Kiong demikian tegas. Dia tahu tidak mungkin lagi menasehatinya agar kembali ke jalan semula. Tanpa terasa dia menarik nafas panjang.
“Aih, tampaknya kau ini sampai mati juga tidak bisa diubah lagi.” Oey Ku Kiong tertawa lebar.
“Tetapi, dapat melihat air mata iba menetes dari mata Kouwnio yang indah, matipun tidak perlu disayangkan.”
Kiau Hun menjadi marah.
“Sebetulnya apa maksudmu begitu setia dan mencintai mati-matian seorang perempu- an yang sudah tidak suci lagi?”
Oey Ku Kiong tetap tersenyum lembut.
“Demi cinta, apapun berani kukorbankan, bahkan nyawaku s endiri!” “Hm, hm! Manusia yang tidak berguna!” sindir Kiau Hun.
Oey Ku Kiong tetap tersenyum simpul.
“Kalau memang berguna, tentu aku tidak akan meninggalkain pek Hun Ceng dan mengikuti dirimu.” berkata sampai Bagian yang sedih, tanpa dapat dipertahankan lagi air matanya mengalir dengan deras.
Kiau Hun menghentakkan kakinya d atas tanah dengan kesal. Kemudian dia menarik nafas panjang.
“Kau hanya mencari kesulitan bagi dirimu sendiri. Akhirnya kau toh tidak akan mendapatkan apa-apa. Lebih baik kau kembali ke Pek Hun Ceng dan menjadi tuan muda di sana. Kalau kita berpisah, mungkin malah akan membawa kebaikan bagi dirimu.”
Wajah Oey Ku Kiong langsung berubah hebat. “Kouwnio, apakah kau benar-benar mengusir Cayhe?”
“Aku tidak dapat menerima cinta kasihmu yang tulus, juga tidak tega mencelakai dirimu. Keduanya merupakan hal yang sulit kuputuskan. Sedangkan jalan yang terbaik bagi kita sekarang ini adalah jangan bertemu lagi untuk selamanya!”
Oey Ku Kiong mendengar nada bicara Kiau Hun dari awal sejak akhir selalu bermakna sama. Tampaknya tekad gadis itu juga sulit dirubah. Tanpa terasa dia menarik nafas panjang.
“Terima kasih untuk maksud baik Kouwnio!” tanpa menunggu jawaban dari Kiau Hun, dia langsung membalikkan tubuh dan melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu. Dalam sekejap mata saja dia sudah menghilang dalam kegelapan malam.
Mendadak satu ingatan terlintas di benak Kiau Hun. Kemungkinan Oey Ku Kiong ada membawa obat penawar racun. Kalau dia benar-benar pergi karena marah, kehilangan ini terlalu besar bagi dirinya. Malah akan berpengaruh buruk pada seluruh rencananya.
Paling tidak, dia tidak dapat memberikan tanggung jawab kepada Liu Seng dan rom- bongannya dan otomatis kehilangan kesempatan untuk mengambil hati para pendekar. Dia ingin memanggil anak muda itu agar kembali. Bibirnya bergerak-gerak namun tidak sepatah katapun terucapkan olehnya.
Dia berdiri di tempat itu dengan termangu-mangu. Entah berapa lama sudah berlalu. Tiba-tiba… terdengar suara batuk-batuk yang lirih berkumandang dari belakangnya. Kiau Hun jadi terkesiap seketika. Cepat-cepat dia menolehkan wajahnya. Entah sejak kapan, Oey Ku Kiong yang barusan pergi ternyata sudah kembali lagi. Dia sedang berdiri tegak di belakangnya.
Kiau Hun berusaha menenangkan hatinya sejenak. “Kapan kau kembali lagi?” tanyanya.
Oey Ku Kiong tertawa getir.
“Sudah cukup lama aku kembali lagi, tidak tega rasanya mengejutkan engkau dari lamunanmu yang asyik. Itulah sebabnya aku tidak mengucapkan sepatah katapun.”
Tangannya terjulur ke dalam pakaian, dia mengeluarkan dua botol kumala dan menggenggamnya dalam telapak tangan.
“Di dalam botol kumala putih ini berisi obat penawar racun. Sedangkan di dalam botol yang satunya lagi berisi racun yang diracik Khusus oleh ayahku. Racun ini tidak berbau maupun berwarna. Dapat dimasukkan dalam arak. maupun hidangan tanpa terasa sedikitpun. Tentu sangat bermanfaat bagi gerakan yang akan kau ambil kelak kemudian hari di dunia Bulim. Ayah sendiri memandangnya sebagai benda pusaka.”
Dengan perasaan terharu Kiau Hun menatapnya sejenak. Dia mengulurkan tangannya untuk menerima botol tersebut. Tetapi tiba-tiba dia seperti teringat sesuatu dan tangannya pun segera ditarik kembali. Dia menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.
“Aku tidak dapat menerima pernyataan cinta kasihmu!” Oey Ku Kiong jadi tertegun. “Mengapa?” tanyanya heran.
Perlahan-lahan Kiau Hun maju dua langkah. Dia merapat ke arah anak muda itu. “Maukah kau melakukan suatu hal untukku?”
“Lautan api maupun gunung golok, Cayhe rela menerjangnya demi Kouwnio!”
“Kalau begitu, kau antarkan obat penawar racun itu ke Lok Yang. Dengan demikian hati para pendekar akan menjadi senang.” kata Kiau Hun kembali.
Untuk sesaat Oey Ku Kiong menjadi bimbang. Hatinya merasa serba salah.
“Ayah angkatku merupakan musuh mereka bersama. Kedua pihak bagai api dan air yang tidak dapat disatukan. Kalau aku tiba-tiba muncul di sana, mungkin akan menimbulkan kecurigaan para pendekar…”
Kiau Hun tertawa lebar.
“Kau bisa berpura-pura mengkhianati ayahmu dan berpihak kepada mereka. Lagipula obat ini memang asli, tentu bisa mendapatkan kepercayaan dari para pendekar.”
“Kemudian?”
Kiau Hun berpikir sejenak. Tiba-tiba dia merendahkan suaranya.
“Beberapa hari kemudian, mereka akan mengadakan sebuah pertemuan besar di luar kota Lok Yang. Orang-orang yang hadir merupakan tokoh-tokoh yang sudah mempunyai nama besar di dunia Kangouw. Saat itu, kau bisa menggunakan kesempatan untuk muncul di depan umum dan membantuku mengalahkan musuh. Kalau aku bisa merebut kedudukan Bulim Bengcu, maka aku akan menyiarkan secara terang-terangan bahwa kau adalah pengawal pribadiku. Sejak itu, baik siang maupun malam kau dapat menemaniku. Walaupun hubungan kita terbatas dan tidak dapat maju lebih jauh lagi, namun setidaknya dapat mengurangi rasa rindumu kepadaku…”
Mendengar ucapan Kiau Hun, sepasang mata Oey Ku Kiong langsung bersinar terang.
Tampangnya pun langsung bersemangat.
“Bagus sekali! Dapat mendengar ucapan Kouwnio yang satu ini saja, Cayhe pasti akan berusaha menepati janji, tetapi… apakah kau tidak akan mendustai aku?”
Kiau Hun tersenyum lembut.
“Kalau sudah mengabulkan, tentu tidak ada niat untuk mengingkarinya. Sekarang kau pulanglah, kita bertemu di kota Lok Yang.”
Kata-katanya yang terakhir diucapkan dengan lembut sekali. Di dalamnya seakan ter- kandung perhatian yang dalam. Hati Oey Ku Kiong sampai tergugah melihatnya. Wajahnya pun tidak sekelam tadi lagi. Tampak dia menarik nafas panjang.
“Bolehkah aku meraba tanganmu?” tanyanya lirih.
Kiau Hun tersenyum manis. Dia mengulurkan jari tangannya dan membiarkan Oey Ku Kiong menggenggamnya.
“Tunggulah dengan sabar, Bulim Tay Hwe sudah di depan mata, semuanya tergantung dari tindakanmu sendiri.” katanya lembut.
Oey Ku Kiong menganggukkan kepalanya perlahan-lahan. Mimik wajahnya menyirat- kan kegembiraan dan juga keresahan. Tidak diragukan lagi bahwa dia sudah terjerumus dalam jurang cinta yang dalam. Hatinya sendiri tidak tahu apakah akhirnya penderitaan atau kebahagiaan yang akan didapatkannya.
Kurang lebih sepeminum teh kemudian baru Oey Ku Kiong menarik tangannya kembali.
Dia menyodorkan botol yang berisi racun keji kepada Kiau Hun. “Benda ini tidak bermanfaat apa-apa bagiku. Kau simpan saja.”
Kiau Hun tersenyum lembut. Dia juga tidak sungkan lagi. Dia segera mengulurkan tangannya menyambut kemudian memasukkan botol itu ke dalam saku pakaian.
“Pergilah dan laksanakan semuanya dengan baik. Kita pasti masih mempunyai dua kesempatan untuk bertemu lagi.”
Oey Ku Kiong menganggukkan kepalanya. Namun dia tetap memandang gadis itu dengan penuh perasaan. Seakan berat sekali meninggalkannya. Akhirnya terpaksa Kiau Hun menyuruhnya sekali lagi. Oey Ku Kiong mengeluarkan suara siulan yang panjang kemudian tubuhnya mencelat ke udara, persis seperti seekor burung yang terbang melayang. Sekejap saja dia sudah melesat ke arah Tenggara.
Di wajah Kiau Hun langsung tersirat senyuman yang penuh kebanggaan begitu Oey Ku Kiong meninggalkan dirinya. Dia merasa seperti meraih suatu kemenangan besar karena berhasil meluluhkan hati seorang laki-laki.