Bagian 22
Setelah tertegun beberapa saat, tiba-tiba bagai seekor binatang buas, dia menerjang ke-luar!
Begitu matanya memandang, yang terlihat hanya sinar rembulan yang semakin meredup. Benda langit itu seakan memaksakan dirinya muncul dari balik awan yang tebal, cahayanya hanya remang-remang. Angin malam masih berhembus seperti orang yang menghela nafas panjang. Rerumputan bergerak-gerak menimbulkan alunan suara yang pilu. Di sekitar sunyi senyap. Tak terlihat lagi bayangan wanita jelek itu.
Pada saat itu juga, dia merasa hatinya seperti ditusuk oleh ribuan jarum. Sakit dan marah. Serangkum rasa perih memenuhi dadanya. Dua baris air mata bagai curahan hujan lebat membasahi wajahnya.
Tadinya dia berpikir dapat bertemu lagi dengan Mei Ling setelah diculik oleh Oey Kang, bahkan racun Li Hun Tan dapat disembuhkan oleh Yibun Siu San. Sejak hari itu, mereka tidak akan terpisah lagi. Untuk selamanya mereka dapat mereguk kenikmatan anggur cinta yang tumbuh dalam hati mereka berdua.
Siapa tahu bencana memang tidak dapat ditolak. Tiba-tiba bisa muncul seorang Lu Sam Nio dan seorang Im Ka Tojin yang menculik Mei Ling. Bagi Tan Ki, hal ini merupakan suatu pukulan bathin yang tidak terkatakan beratnya.
Ketika dia melihat jelas bahwa kedua orang itu sudah menghilang, hatinya menjadi hancur. Berbagai penderitaan berkecamuk dalam dadanya. Bagai seorang anak yang menerima hinaan dari kawan-kawannya. Dia berdiri termangu-mangu dan memandangi rembulan yang suram seperti orang yang kurang waras.
Padahal dia sedang mengerahkan segenap pikirannya untuk mencari tahu asal-usul sepasang laki-laki dan perempuan tadi. Tetapi bagaimanapun dia tetap merasa belum pernah bertemu dengan mereka. Dan Toa Ie yang mereka katakan tadi, entah siapa orangnya. Yang dapat diduganya, Toa Ie ini pasti bukan tokoh sembarangan. Dan dia pula yang memerintahkan tosu serta wanita jelek tadi untuk menculik Mei Ling.
Tanpa dapat ditahan lagi dia tertawa getir. Berbagai macam penderitaan dalam waktu yang singkat memenuhi sanubarinya. Dia sendiri tidak tahu apa arti tawanya itu. Tetapi dia membayangkan, dunia begini luas, daratan, pegunungan, lautan, semuanya dapat dijadikan tempat tinggal. Lalu ke mana dia harus mencari orang yang hanya dia tahu sebutannya Toa Ie itu?
Keperihan yang tidak terkatakan memenuhi seluruh hatinya. Akal sehatnya bagai lenyap tanpa bekas. Pikirannya kalut. Tiba-tiba dia mendengus satu kali. Dengan termangu- mangu, dia mulai tertawa lebar.
Tawanya ini masih belum seberapa mengejutkan. Tetapi seperti sedang melampiaskan kekecewaan hatinya. Namun tawanya semakin lama semakin keras. Lama kelamaan menjadi tawa yang terbahak-bahak. Suara tawanya melengking, di dalamnya terkandung keperihan yang tidak teruraikan dengan kata-kata. Seluruh bukit dan lembah bagai tergetar, gaungnya bertalu-talu ke segala penjuru.
Tawanya yang panjang berlangsung kurang lebih sepeminum teh lamanya. Lalu tiba- tiba terhenti. Di wajahnya yang tampan tersirat kedukaan yang aneh, kemudian dia menarik nafas panjang.
Perlahan-lahan dia membalikkan tubuh dan berjalan ke atas bukit. Dalam waktu sesaat, dia merasa kehidupannya di dunia ini tidak ada artinya sama sekali. Juga tidak tahu sejak kapan, ternyata di dalam hatinya terlintas pikiran untuk menggundulkan rambutnya menjadi hwesio.
Dia berjalan dengan lambat, langkahnya seakan demikian berat…
Dari hadapannya berhembus segulungan angin, tetapi tetap saja tidak menghentakkan- nya dari lamunan. Embun yang membasahi rumput dan bunga-bungaan berulang kali memercik kakinya. Namun dia tidak merasa dingin sama sekali. Seluruh perasaannya seolah sudah kebal.
Selangkah demi selangkah dia berjalan. Tampang dan penampilannya lebih mirip sesosok mayat hidup. Dalam kegelapan malam seperti ini, suasana semakin mengerikan!
Tiba-tiba…
Terasa angin berkibar, sesosok bayangan kehitaman dengan tergesa- gesa berkelebat datang. Orang ini terpana ketika tiba-tiba bertemu dengan Tan Ki. Mulutnya sampai menge-luarkan seruan terkejut. Secara mendadak dia menahan luncuran tubuhnya yang sedang melesat ke depan. Ketika dia berhenti, jarak antara kedua orang itu hanya tiga langkah saja.
Di bawah sinar rembulan yang remang-remang, tampak orang itu bertubuh langsing. Alisnya bagai dilukis, kepalanya terikat sebuah pita berwarna ungu, pakaiannya berwarna merah jambu. Bahunya menyandang sebilah pedang panjang, usianya kira-kira empat puluhan.
Kemunculan wanita setengah baya yang cantik ini begitu tiba-tiba. Seharusnya Tan Ki bisa terkejut setengah mati. Tetapi kenyataannya benar-benar di luar dugaan, dia tidak mengucapkan sepatah katapun. Seperti sebelumnya dia terus berjalan, seolah matanya tidak melihat apa-apa.
Gerakan yang tidak biasanya ini, malah membuat wanita setengah baya itu terperanjat. Kakinya menggeser ke kanan kurang lebih setengah tindak, dia membiarkan Tan Ki lewat di sampingnya.
Begitu mata memandang, dia melihat tampang Tan Ki pucat sekali. Di bawah cahaya rembulan, wajah itu adalah tanpa perasaan. Hatinya menjadi perih. Semacam perasaan yang timbul dari kasih seorang ibu, memenuhi dadanya seketika. Membuat dia tidak dapat menahan kedukaan dalam bathinnya. Air mata pun mengalir dengan deras. Tanpa dapat ditahan lagi, dia berteriak sekeras-kerasnya. “Anakku!”
Setelah memanggil satu kali, nada suara-nya begitu mengharukan. Siapa kira, Tan Ki seakan tidak mendengarnya, dia terus melangkahkan kakinya ke depan.
Kalau saja pikiran Tan Ki saat itu sadar seperti biasa, tentu dia dapat mengenali wanita yang tiba-tiba muncul di hadapannya tadi adalah ibu yang sangat menyayanginya tetapi juga sangat dibencinya, Cen Lam Hong. Meskipun dia telah berpisah dengan ibunya selama sepuluh tahun.
Angin gunung terus berhembus, seakan tidak hentinya menarik nafas panjang melihat tragedi yang menimpa anak manusia. Suasana semakin pilu serta menyayat hati…
Tadinya Cen Lam Hong mendapat laporan dari Yibun Siu San. Oleh karena itu, dengan hati penuh harapan dia cepat-cepat turun untuk menemui putranya tersayang. Meskipun Yibun Siu San sudah memperigatkannya berkali-kali bahwa Tan Ki mempunyai salah paham yang dalam terhadap dirinya. Setelah bertemu, ada kemungkinan timbul suasana yang tidak enak. Tetapi dia tetap tidak perduli segalanya. Meskipun putra kesayangannya akan memaki ataupun memukul dirinya, dia bersedia menerima semuanya. Dia hanya berharap dapat melihat Tan Ki satu kali saja. Ingin tahu sampai di mana perubahan anaknya setelah berpisah selama sepuluh tahun, seperti apa rupanya sekarang. Dengan demikian pun hatinya sudah merasa puas.
Tidak disangka kenyataan yang terpampang di hadapannya benar-benar di luar dugaan wanita setengah baya ini, akibatnya dia malah jadi terpana.
Tubuhnya berkelebat, dia menghadang di depan Tan Ki. Wajahnya menyiratkan pera- saan sayangnya yang dalam. Dengan lembut dia berkata…
“Anakku, apa yang terjadi padamu?”
Suaranya demikian keibuan dan penuh perhatian. Orang yang mendengarnya pasti akan terharu dibuatnya. Mendadak Tan Ki menghentikan langkah kakinya. Dia memandang Ceng Lam Hong dengan tertegun. Kemunculan wanita setengah baya itu dihadapannya membuat dia jadi termangu-mangu.
Sepeluh tahun berpisah, meskipun terhitung waktu yang panjang, tetapi bagi ingatan seseorang belumlah terlalu lama. Tetapi pikiran Tan Ki sekarang sedang sekarat, dia hampir tidak tahu apa-apa lagi. Dia hanya merasa wajah wanita setengah baya di hadapannya ini begitu welas asih, tetapi tidak dapat mengingat bahwa dia mempunyai hubungan dengan dirinya. Setelah memandangnya dengan termangu-mangu beberapa saat, tiba-tiba dengan ketolol-tololan dia tertawa terkekeh-kekeh. .
“Siapa kau?”
Ceng Lam Hong menarik nafas panjang.
“Aku adalah ibumu, apakah kau tidak mengingatnya lagi?”
Tan Ki seolah tertegun.
“Kau adalah ibuku?” bola matanya bergerak-gerak, dia memperhatikan Ceng Lam Hong dari atas kepala sampai ke bawah kaki. Kemudian dia menggelengkan kepalanya. “Ti-dak benar, ibuku tidak selembut dirimu. Dia juga tidak sebaik dirimu, makanya dia bisa kabur dengan seorang laki-laki. Lagipula dia sudah bersembunyi begitu lama serta tidak sudi menemui diriku… kau mengatakan bahwa kau adalah ibuku, apakah kau juga pernah kabur dengan seorang laki-laki?”
Mendengar kata-katanya, Ceng Lam Hong jadi tertegun. Beberapa saat kemudian, dia baru tersadar apa makna ucapan Tan Ki. Tanpa dapat ditahan lagi dia menghentakkan kakinya ke atas tanah.
“Ngaco!”
Tan Ki menaikkan sepasang bahunya.
“Ngaco juga tidak apa-apa, omong kosong juga boleh. Pokoknya, di dalam hatiku sudah tidak ada lagi bayangan ayah ibuku. Kalau kau ingin memalsukan dirinya dan mengaku sebagai ibuku, berarti kau juga mempunyai hubungan yang kotor dengan seorang laki- laki!” selesai berkata, mendadak dia mendongakkan wajahnya dan tertawa terbahak- bahak, kemudian dengan cepat tubuhnya melesat ke depan.
Hati Ceng Lam Hong tergetar. Secara jelas dia tahu bahwa saat ini pikiran Tan Ki sedang kacau, kata-kata yang diucapkannya pasti seenaknya saja. Tetapi hal ini membuktikan kepadanya bahwa kenyataannya memang Tan Ki benci sekali kepadanya.
Tiba-tiba tubuh Tan Ki menerjang ke depan, meskipun dia sangat terkejut. Secara oto- matis, dia bergeser dua langkah dan membiarkan Tan Ki lewat. Ketika anak muda itu sudah mencapai jarak tiga depaan, tanpa dapat mempertahankan diri lagi dia memanggil dengan suara keras, “Anak Ki…!”
Suaranya tajam dan pilu. Lebih mirip ratapan dari suara panggilan. Tampangnya sungguh mengharukan, mimiknya menyorotkan ketulusan. Meskipun dia sudah
berpisah dengan Tan Ki selama sepuluh tahun, tetapi kasih sayangnya sebagai seorang ibu
tetap tidak hilang.
Rembulan yang menyembul di balik awan, menyorotkan cahaya ke arah wajahnya yang mulai berkerut, dua baris air mata mengalir dengan deras…
Kasih sayang seorang ibu yang lembut, seakan meluap memenuhi hatinya saat itu juga.
Tetapi Tan Ki masih belum menyadari bahwa panggilan ibunya sangat berharga, pikirannya kurang waras, dia bahkan tidak mendengar panggilan itu.
Diantara angin malam, sayup-sayup berkumandang suara tawa yang panjang, seperti sebilah pedang yang tajam menusuk kalbunya sebagai seorang ibu yang mencintai anaknya. Hatinya sangat terluka.
“Aku… tidak tahu malu…? Perempuan yang kabur dengan seorang laki-laki…?” gumamnya seorang diri.
Mulutnya bergumam, hatinya terasa semakin dingin. Sakit yang menusuk… dua baris air mata kembali berderai.
Suaminya dibunuh mati dengan empat puluh macam senjata rahasia, meskipun hatinya sedih sekali, namun tidak sehebat kali ini. Dua baris air mata ibu ini mengalir dari ketulusan hatinya. Air mata yang tidak terkira nilainya. Dia dimaki oleh Tan Ki sebagai wanita jalang yang tidak tahu malu, bagaimana perasaannya tidak menjadi sakit?
Kemudian, tampak dia menggertakkan giginya erat-erat. Tangannya terangkat dan dihapusnya air mata yang mengalir turun. Mulutnya mengeluarkan tawa yang getir.
“Baiklah, biar saja dia memarahi aku sedemikian rupa, pokoknya dia tetap anakku!” Tubuhnya berkelebat, dengan membawa penderitaan dan rasa sakit di hatinya, dia ber-
lari ke arah yang diambil Tan Ki dengan maksud mengejar anaknya itu.
Cahaya rembulan semakin redup. Namun cukup untuk menyinari seluruh perbukitan itu.
Tampak Ceng Lam Hong berlari dengan mengerahkan ilmu ginkangnya, kadang-kadang kakinya meloncat ke atas, kadang melayang turun lagi ke bawah. Dalam waktu yang singkat dia sudah jauh sekali. Sekali loncatan saja, dia mampu mencapai satu depaan.
Tidak berapa lama kemudian, dia sudah dapat melihat bayangan punggung Tan Ki yang melangkah di tengah perbukitan. Diam-diam Ceng Lam Hong menghembuskan nafas panjang. Hatinya menjadi agak lega setelah berhasil menyusul anaknya. Langkah kakinya diperingan dan tanpa diketahui oleh Tan Ki, dia mengikutinya dari belakang.
Seorang ibu serta seorang anak membawa perasaan yang berbeda terus mendaki ke atas bukit tanpa mengucapkan sepatah katapun. Setelah berjalan beberapa saat, tiba-tiba terdengar suara tawa yang panjang bergema di daerah perbukitan itu. Gaungnya bahkan membuat gendang telinga seakan menjadi berdengung-dengung.
Setelah mendengar suara tawa yang berulang-ulang itu, hati Ceng Lam Hong menjadi khawatir. Dia tahu suara tawa itu timbul dari mulut Yibun Siu San yang mengerahkan tenaga dalamnya, tetapi diselingi juga oleh suara Oey Kang yang sinis. Yang satu berniat melindungi dirinya, sedangkan yang satu lagi ingin menemui dirinya. Kedua orang itu bagai api dan air yang tidak dapat dipersatukan…
Pikirannya masih melayang-layang, tiba-tiba berkumandang lagi suara dengusan dan bentakan. Deru angin menghempas-hempas. Tidak usah diragukan lagi, kedua orang itu mulai terlibat dalam perkelahian yang sengit. Pada saat itu juga, mendadak Tan Ki tertawa keras. Dengan suara lantang dia berteriak…
“Liu Moay Moay, jangan takut! Aku datang menolongmu!” baru saja ucapannya selesai, dengan segera dia menarik nafas panjang dan tubuhnya langsung berkelebat menerjang ke depan.
Meskipun pikirannya sedang kacau, namun ilmu silatnya masih tetap. Begitu mengemposkan tenaga, tubuhnya melesat bagai seekor kijang. Kecepatannya tidak terkirakan. Ceng Lam Hong cepat-cepat mengerahkan ginkang-nya mengejar, semakin lama semakin cepat.
Tidak berapa lama kemudian, mereka sudah sampai di puncak bukit di mana terdapat sebuah padang rumput yang cukup luas. Saat itu rembulan masih menyembunyikan seBagian dirinya di balik awan, cahayanya yang redup menyinari seluruh permukaan bukit itu. Namun masih ada beberapa bintang yang berkelap-kelip. Yibun Siu San dan Oey Kang bertarung dengan sengit dengan tangan masing-masing menggenggam sebilah pedang kayu.
Si pengemis sakti Cian Cong malah duduk di atas rumput pada jarak dua depaan. Ta- ngannya menggenggam hiolo berisi arak. Berulang kali dia meneguk araknya dengan nikmat. Kadang-kadang matanya membelalak apabila menyaksikan Bagian pertarungan yang hebat. Wajahnya menyiratkan perasaan khawatir.
Tepat pada saat Tan Ki dan ibunya mendaki ke puncak bukit. Terdengar suara Oey Kang membentak dengan suara keras. Dengan jurus Naga Menggerakkan Ekor, orang beserta pedangnya meluncur ke arah Yibun Siu San!
Serangannya ini dilancarkan dengan kecepatan yang hebatnya bukan main. Kaki Yibun Siu San baru berdiri dengan mantap, pedang kayunya sudah menimbulkan suara desingan yang meluncur dari tengah udara ke hadapannya!
Dengan panik Yibun Siu San mengerahkan jurus Berpacu di atas kuda. Dia mengelakkan diri dari serangan pedang kayu Oey Kang, sekaligus menendangkan kaki kanannya ke arah pergelangan tangan lawan yang menggenggam pedang kayu.
Terdengar suara tawa Oey Kang yang mengandung kelicikan luar biasa. Dia tidak ber- usaha menghindarkan diri dari serangan lawan, malah tangan kirinya terulur mengincar urat darah di Bagian paha Yibun Siu San yang sedang menendang ke arahnya.
Yibun Siu San terkejut setengah mati melihat iblis itu menyambut serangannya dengan serangan pula. Laki-laki itu terdesak sampai dua tiga depa. Dia merasa serangkum angin menghembus lewat selangkangannya. Meskipun jalan darahnya tidak tertotok, namun sapuan anginnya saja sudah menimbulkan rasa perih dan panas.
Dalam keadaan masih terperanjat, tiba-tiba dia melihat Oey Kang bagai camar yang terbang di angkasa. Diiringi suara orang meniup dengan keras, dia melintas di atas kepala Yibun Siu San. Pedangnya berubah menjadi bayangan yang mengitarinya dan tiba-tiba orang beserta pedang kayunya meluncur ke arah Ceng Lam Hong.
Yibun Siu San melihat dia menggerakkan pedang sambil melayang di udara.
Kepandaian orang ini sudah mencapai taraf yang demikian tinggi sehingga pedangnya sudah berhasil dikuasai sedemikian rupa tergantung kemauan-nya. Hatinya menjadi tercekat, sambil meraung dengan keras, dia menggetarkan pedang kayunya serta menyapu ke depan.
Terdengar suara benturan yang keras. Dua batang pedang kayu saling beradu. Dengan menggunakan daya pental dari dorongan tenaga lawan, tubuh Oey Kang melayang lagi di udara sejauh satu depaan. Dia berjungkir balik sebanyak dua kali. Sambil tertawa terbahak-bahak, pedang kayunya kembali meluncur ke arah jalan darah penting di Bagian punggung Yibun Siu San. Angin yang keras timbul dari totokan pedangnya, gerakannya ringan dan lincah sekali.
Dengan panik Yibun Siu San menerjang ke depan sejauh beberapa depa. Tangannya membalik dan dengan jurus Mematri lonceng emas, dia membalas sebuah serangan. Siapa nyana gerakan iblis ini jauh lebih cepat dari pada dirinya. Sepasang kakinya baru menutul di atas tanah, tahu-tahu tubuhnya sudah mencelat kembali di udara. Serangan Yibun Siu San sampai, tubuhnya sudah melayang kembali. Dengan jurus Camar menerobos awan, dia sudah melesat ke atas kepala Yibun Siu San dan pedang kayunya secepat kilat menebas ke bawah!
Jurus ini anehnya bukan main. Meskipun Yibun Siu San sudah banyak menghadapi la- wan tangguh, pengalamannya juga luas. Tetapi dia juga dibuat kalang kabut oleh serangan Oey Kang ini. Cepat-cepat dia membalikkan tubuhnya di udara dan menghindar sejauh beberapa depa. Begitu kakinya menginjak tanah, dengan jurus Pelangi mewarnai langit dia lancarkan kembali serangan dari udara. Kehebatannya mengagumkan, dia langsung menyambut datangnya serangan lawan.
Terdengar lagi suara pedang kayu mereka beradu, kembali Oey Kang meminjam tenaga dorongan akibat benturan itu dengan melayang lagi di udara. Pergelangan tangannya memutar dan dia menebas lagi ke arah Yibur Siu San.
Cara menyerang yang belum pernah terdengar atau terlihat ini, justru merupakan ilmu andalan Oey Kang yakni, Mo-hun Cap Pat-cai atau Delapan belas jurus meraba awan.
Gerak-annya selalu meminjam tenaga pantulan pedang lawan untuk mencelat ke atas dan menyerang dari udara. Acap kali sampai lama sekali tubuhnya tidak mendarat turun di atas tanah.
Ketika mula-mula menghadapi lawannya, Yibun Siu San masih belum merasa adanya keistimewaan apa-apa. Dia hanya merasa ilmu meringankan tubuh Jikonya itu maju pesat dibandingkan waktu lalu. Dengan pertimbangan waktu yang tepat, dia dapat meminjam tenaga pantulan senjata lawannya untuk mencelat ke tengah udara. Tetapi setelah bergebrak kurang lebih sepeminum teh lamanya, dia baru mulai merasa ada yang tidak beres. Dia melihat tubuh lawannya yang melayang di udara bagai burung camar beterbangan. Melesat ke sana menerobos ke mari. Serangannya semakin lama semakin gencar. Perubahan jurusnya mengejutkan. Terang-terangan dia melihat serangan dilancarkan dari arah depan, tahu-tahu tubuhnya berkelebat dan serangannya sudah mengancam dari belakang. Gerakan tangannya seperti asal-asalan saja, namun sasarannya selalu Bagian tubuh yang berbahaya. Pedang kayu di tangannyapun semakin lama gerakannya semakin aneh. Tiba-tiba menyerang ke kiri dan kadang-kadang berpindah ke kanan. Kedatangannya selalu tidak terduga-duga.
Lambat laun Yibun Siu San terpaksa harus memusatkan perhatian sepenuhnya untuk menghadapi lawan. Tokoh kelas tinggi di dunia Bulim ini, dibuat kalang kabut oleh gerakan tubuh Oey Kang yang bergerak bagai hempasan angin. Biarpun kepandaiannya sangat tinggi, namun dia sama sekali tidak sempat menggunakannya.
Karena ilmu Cap Pat Mo-hun milik Oey Kang ini merupakan sejenis ilmu yang sangat istimewa, tubuhnya sambil melayang di udara dapat melesat ke kiri dan ke kanan.
Gerakan tubuhnya seakan tidak pernah berhenti. Meskipun tenaga dalam Yibun Siu San lebih tinggi lagi, tetap saja dia tidak bisa berbuat apa-apa.
Si pengemis sakti yang terus menyaksikan jalannya pertempuran dari samping, menjadi tercekat hatinya. Diam-diam dia berpikir…
‘Nama si iblis tua ini ternyata bukan nama kosong. Dia merupakan musuh tertangguh yang pernah aku lihat. Kalau dibiarkan terus, Yibun Loji pasti akan kena pukulannya. Lebih baik aku memanas-manasi hatinya agar bertempur dengan cara yang biasa…’
Begitu pikirannya tergerak, dia langsung berteriak dengan keras, “Cara bertempur yang seperti mainan ini, mana terhitung ilmu sejati. Tampaknya julukanmu Sam-jiu San Tian-sin hanya ejekan para sahabat dunia Kangouw saja. Pada dasarnya tidak berani bertempur dengan cara jantan dengan lawan!”
Mendengar sindirannya itu, ternyata Oey Kang langsung menghentikan serangannya dan berjungkir balik di udara satu kali kemudian mendarat turun pada jarak dua depaan. Tangannya masih menggenggam pedang kayu, mulutnya mengeluarkan suara tertawa yang dingin.
“Pengemis tua tidak perlu menyulut api membakar hati. Tidak perduli permainan apa yang kalian keluarkan, aku tetap akan menemani. Tetapi harus ada taruhannya baru seru!”
Yibun Siu San tertawa terbahak-bahak.
“Taruhan apa boleh kau katakan saja, bahkan taruhan kepala yang ada di atas leher inipun, aku tidak akan menolaknya!”
Oey Kang melirik Ceng Lam Hong sekilas. Tampak wajah wanita setengah baya itu masih memancarkan sisa kecantikannya ketika masa muda dulu. Tiba-tiba dia menarik nafas panjang.
“Kalau aku yang kalah, maka aku akan mematahkan pedangku dan mencukur rambut. Kemudian mengasingkan diri di pegunungan yang sunyi. Sejak hari ini juga aku tidak akan mencampuri urusan dunia Kangouw lagi!”
Yibun Siu San menganggukkan kepalanya. “Baik. Kalau aku yang kalah, maka aku akan mengutungkan sebelah lenganku ini dan untuk selamanya tidak membicarakan ilmu silat lagi!”
Oey Kang menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Untuk apa Samte berbuat demikian? Kalau kebetulan Giheng bisa meraih kemenang- an, aku hanya minta diijinkan berbicara beberapa patah kata dengan Toaso.”
Mendengar ucapannya, Yibun Siu San segera menyadari bahwa cinta kasih di dalam hati Jikonya terhadap Toasonya ini masih belum pupus juga walaupun belasan tahun telah berlalu. Dia menjadi terperanjat. Untuk sesaat kepalanya tertunduk ke bawah dan tidak mampu memberikan jawaban. Tetapi karena wajahnya ditutupi dengan sehelai cadar hitam, maka tidak terlihat bagaimana perasaannya saat itu.
Yibun Siu San paham sekali watak Ceng Lam Hong. Meskipun dari luar, wanita ini terlihat lembut dan ramah, tetapi hatinya lebih keras dari pada baja. Kalau dia sampai mengetahui seluk beluk di balik kematian sang Toako, mungkin…
Tiba-tiba tubuhnya jadi menggigil, dia tidak berani membayangkan kelanjutannya.
Wajahnya didongakkan kembali, dengan nada yang berat dia berkata, “Baiklah, apabila kau bisa memenangkan aku, maka aku tidak akan ikut campur lagi urusan ini!”
Dia sudah bertekad untuk mengadu jiwa dengan Oey Kang. Selesai berkata, dia segera menghimpun tenaga dalamnya ke keempat anggota tubuhnya dan mengerahkan hawa murni untuk melindungi diri. Kakinyapun langsung memasang kuda-kuda dengan posisi menunggu datangnya serangan.
Kedua orang itu berdiri berhadapan saling menunggu beberapa saat. Akhirnya Oey Kang yang kehabisan sabar. Pergelangan tangannya terulur dan pedang kayunya langsung meluncur mengincar dada Yibun Siu San.
Tangan Yibun Siu San membalik dengan melingkar. Timbul segulungan angin yang terpancar dari pedangnya. Dia berhasil mengelak dari serangan lawan. Pedang di tangannya menukik, berbalik menerjang ke bawah ketiak Oey Kang.
Sekali berkelebat saja, Oey Kang berhasil menghindarkan diri, disusul dengan melun- curnya sebuah serangan balasan darinya. Perkelahian mereka kali ini agak berbeda dengan sebelumnya. Gebrakan kali ini bukan hanya jurus serangannya yang gencar, tetapi mengandung tenaga dalam yang dikerahkan sepenuhnya. Setiap serangan maupun gerakan yang mereka lakukan mengandung tenaga dalam seberat ribuan kati. Siapapun yang menunjukkan sedikit saja kelemahannya, maka lawan segera menggunakan kesempatan itu untuk merandek ke depan. Tenaga yang sudah tersalur ke ujung pedang bagai gulungan ombak besar yang menerjang datang.
Itulah sebabnya, mereka tidak ingin turun tangan secara asal-asalan. Setiap kali menge-rahkan satu jurus, yang dipilihnya tentu jurus yang mematikan. Kalau diperhatikan
pada awalnya, mereka bukan sedang berhadapan untuk mengadu jiwa. Untuk sekian lama mereka hanya berdiri saling memandang, kemudian baru tiba-tiba saling menyerang dua jurus. Di antara berkelebatnya cahaya pedang, terdengarlah suara benturan, namun setiap kali selalu beradu lalu berpisah lagi. Masing-masing langsung mencelat ke samping.
Sebetulnya, pertarungan ini merupakan pertarungan yang sulit ditemui dalam dunia Bulim. Setiap jurus serangan kedua orang itu memang hanya beradu lalu berpisah lagi. Namun di dalamnya terkandung kekuatan, siasat, pengalaman dan perubahan jurus yang diandalkan. Dari luar memang sulit menemukan keistimewaannya, tetapi sebetulnya ibarat telor di ujung tanduk, mati dan hidup dapat ditentukan dalam waktu sekian detik.
Setelah bergebrak kurang lebih sepenanakan nasi, masih juga sulit ditentukan siapa yang lebih unggul di antara keduanya. Tetapi gerakan mereka semakin lama semakin mem-bahayakan. Jurus serangannya makin lama makin aneh. Lambat laun Oey Kang menjadi habis rasa sabarnya. Tiba-tiba mulutnya mengeluarkan suara siulan panjang, tubuhnya mencelat ke udara seakan hendak mengerahkan lagi ilmu Cap-pat Mo-hun nya yang hebat.
Mana mungkin Yibun Siu San memberinya kesempatan, pergelangannya bergetar, pedangnya langsung ditusukkan ke depan!
Meskipun pedang di tangannya hanya sebilah pedang kayu, tetapi karena tenaga da- lamnya telah disalurkan pada badan pedang tersebut, maka tampaklah cahaya berwarna keperakan bagai kilat yang menyambar, menukik ke atas. Tampaknya sebentar lagi
bokong Oey Kang pasti akan tertotok. Dengan panik Oey Kang mengerutkan sepasang kakinya. Di tengah udara dia berjungkir balik, tubuhnya melesat menghindarkan diri dari serangan Yibun Siu San. Kemudian pinggangnya meliuk, ujung pedang meluncur membalas sebuah serangan.
Belum lagi serangan Yibun Siu San sampai, cepat-cepat dia mengempos hawa murninya, pedang panjangnya dimiringkan dan langsung menotok. Telapak tangan kirinya mengambil posisi menahan di depan dada, dengan tenaga sepenuhnya, dia bersiap melancarkan sebuah pukulan.
Tepat pada saat itu…
Sebuah suara yang memekakkan telinga berkumandang memecahkan keheningan! Tampak Tan Ki melangkahkan kakinya menerjang ke depan sambil berteriak… “Orang jahat, kembalikan Liu Moay-moayku!”
Telapak tangannya langsung terulur ke depan dan menghantam ke arah dada Yibun Siu San!
Perubahan yang mendadak, tanpa hujan tanpa angin, tentu saja Yibun Siu San yang melihatnya sampai terpana. Tetapi dia dapat merasakan bahwa pukulan yang dilancarkan Tan Ki mengandung kekuatan yang dahsyat sekali. Sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Untuk sesaat dia tidak berani menyambut dengan kekerasan. Dia menghirup nafas sekuat-kuatnya kemudian mencelat mundur sebanyak tiga langkah.
Tiba-tiba terasa serangkum angin yang timbul dari tebasan pedang menerpa dari depan, rupanya Oey Kang yang tubuhnya masih melayang di tengah udara dan melancarkan sebuah serangan pada saat yang bersamaan.
Dengan tampang ketolol-tololan, Tan Ki tertawa terkekeh-kekeh.
“Ternyata kau satu komplotan dengan penculik Liu Moay-moayku!” bentaknya.
Tangan kirinya mengambil posisi menahan di depan dada. Tiba-tiba dia melancarkan sebuah pukulan, serangkum tenaga yang kuat menimbulkan suara yang menderu-deru dan dengan telak mendorong hawa pedang Oey Kang yang sedang meluncur datang.
Dengan kecepatan yang sulit ditangkap pandangan mata, dia mengerahkan jurus Naga muncul dari balik awan tiga kali yang mengandung kekuatan dahsyat, secara berturut- turut dia melancarkan tiga buah serangan. Tiga rangkum tenaga langsung mengincar tiga urat darah Oey Kang yang mematikan.
Serangan yang gencar dan cepat ini, dilakukan dengan membalas serangan dengan serangan pula. Oey Kang yang melihatnya sampai terperanjat setengah mati. Pedang kayunya segera berputar membuat lingkaran. Seiring dengan timbulnya angin pedang yang tajam, dia melesat ke depan sejauh tujuh langkah kemudian mendarat turun di sebelah kiri.
Dalam waktu sekejapan mata, serentak Tan Ki berhasil menghindarkan diri dari serangan dua tokoh kelas tinggi di dunia Bulim saat ini. Bukan hanya Ceng Lam Hong merasa sedih sekaligus gembira. Bahkan si pengemis sakti Cian Cong juga sampai
mengeluarkan suara seruan terkejut. Dia benar-benar merasa di luar dugaan. Sepasang alisnya langsung terjungkit ke atas. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri dan berjalan ke arah Ceng Lam Hong.
“Apakah kau sudah turun ke kaki bukit?” “Hm…”
Cian Cong mengangkat tangannya dan menunjuk ke arah Tan Ki. “Kenapa dia? Uring-uringan, tidak seperti biasanya!”
Mendengar pertanyaannya, serangkum rasa pedih kembali menyelimuti dada Ceng Lam Hong. Tanpa dapat tertahan lagi, air matanya mengalir dengan deras.
“Ketika aku bertemu dengannya, keadaannya memang sudah begitu.” “Apakah kau melihat Liu Kouwnio?” tanya Cian Cong mulai panik.
“Tidak, tetapi kalau mendengar nada bicaranya, tampaknya gadis itu telah diculik oleh seseorang.”
Cian Cong terkejut sekali. “Apa? Apa yang kau katakan?”
Kata-kata yang diluar dugaannya itu, benar-benar jauh dari perkiraan orangtua itu.
Meskipun biasanya Cian Cong merupakan manusia yang pandai mengendalikan diri dan te- nang menghadapi masalah apapun, namun kali ini dia benar-benar terlonjak saking terkejut-nya. Sepasang alisnya langsung mengerut erat. Sepatah katapun tidak tercetus dari mulutnya. Diam-diam dia merenungkan siapa kiranya yang paling besar kemungkinannya menculik gadis itu.
Tiba-tiba, sebuah ingatan melintas dalam benaknya. Dia ingat Oey Kang pernah menculik Mei Ling. Mungkinkah orang itu menggunakan siasat Memancing harimau meninggalkan gunung kemudian diam-diam dia memerintahkan orang untuk menculik Mei Ling?
Begitu pikirannya tergerak, hawa amarah dalam dadanya meluap seketika. Dia mendongakkan wajahnya dan mulutnya mengeluarkan siulan panjang. Tubuhnya berkelebat ke tengah arena.
“Iblis tua tidak tahu malu! Terimalah jurus serangan Memukul anjing meneteskan liur dari si pengemis tua ini!”
Lengan kanannya bergetar, dengan sengit dia melancarkan sebuah serangan.
Hatinya sudah yakin betul bahwa Oey Kang yang menculik Mei Ling. Dalam keadaan marah, dia tidak memperdulikan peraturan dunia Kangouw lagi, tangannya bergerak dan sebuah pukulan diarahkan ke dada Oey Kang.
Sepasang alis Oey Kang langsung terjungkit ke atas. Tiba-tiba hatinya tergerak…
‘Aku sudah berkelahi melawan Samte selama setengah harian, hawa murni dalam tu- buhku sudah terhambur banyak. Apabila bergebrak lagi melawan si pengemis tua ini, aku tidak akan sanggup mempertahankan diri lebih dari dua puluh kali serangannya.
Kenyataan di depan mata, meskipun Ceng Lam Hong sudah terlihat, namun terpaksa kali ini aku melepaskannya. Kelak cari lagi akal yang lain dan memaksanya menikah denganku…’
Begitu pikirannya bergerak, dia berusaha sekuat mungkin menahan hawa amarah da- lam dadanya. Kakinya menutul dan tubuhnya mencelat mundur sejauh tiga langkah.
Mulut-nya mengeluarkan suara tawa yang dingin. “Memangnya kenapa kalau tidak tahu malu?”
Cian Cong mendengus satu kali. Baru saja dia menggerakkan bibirnya dengan maksud ingin memaki iblis tua itu, tiba-tiba dia melihat
Tan Ki sedang tertawa sendirian. Tangannya menggapai-gapai dan menari-nari. Mulutnya pun terus berteriak, “Liu Moay Moay, jangan lari. Tunggu aku!” baru saja ucapannya selesai, dia langsung memacu kakinya menghambur ke depan.
Melihat seorang pemuda yang gagah dan tampan dalam waktu yang singkat berubah menjadi idiot dan kurang waras, tanpa dapat ditahan lagi dia menarik nafas panjang.
Kepa-lanya terus menggeleng berkali-kali.
Hatinya sedang merasa berduka dan menyesalkan kemalangan Tan Ki, tiba-tiba terdengar Ceng Lam Hong berteriak dengan nada yang menyayat hati. Tubuhnya langsung melesat mengejar. Dalam sekejap mata, dia sudah mencapai jarak sepuluh depa.
Tadinya Yibun Siu San bermaksud mengadu jiwa dengan Oey Kang. Tetapi tampaknya orang ini selalu memperhatikan setiap gerak-gerik Ceng Lam Hong. Baginya diri wanita itu lebih penting dari segalanya. Dari kata-kata Tan Ki yang ngaco tidak karuan, dia sudah dapat menduga bahwa telah terjadi sesuatu pada diri Mei Ling. Oleh karena itu, dia segera menyimpan kembali pedangnya dan tanpa memperdulikan Oey Kang lagi, dia langsung mengerahkan ginkangnya mengejar.
Terdengar suara hembusan angin yang kemudian disusul dengan berkelebatnya sesosok bayangan. Rupanya Cian Cong cepat-cepat menenteng hiolo araknya dan ikut menerjang ke depan mengejar Yibun Siu San.
Dalam sekejapan mata, semua orang sudah meninggalkan tempat itu. Di atas padang rerumputan hanya sisa Oey Kang seorang. Dia berdiri sendirian sambil mendongakkan wa- jahnya menatap rembulan.
Secara mendadak dia ditinggalkan oleh orang-orang tanpa dilirik sekilaspun. Tapi dia tidak menaruh dalam hati persoalan ini. Malah mulutnya mengeluarkan suara tawa yang licik serta menyeramkan.
“Dengan membiarkan aku mengetahui tempat tinggal kalian, pokoknya entah pagi entah malam, suatu hari aku pasti akan berkunjung kembali dan menemui Toaso.” gumamnya lirih.
Suaranya senyap, orangnyapun mencelat ke udara. Tubuhnya melesat ke depan bagai sebatang anak panah meluncur ke bawah bukit. Dalam sekejapan mata sudah menghilang dalam kegelapan.
Di bawah sorotan cahaya rembulan yang remang-remang, tampak empat sosok baya- ngan berlari seperti barisan. Jarak mereka hampir tidak berbeda. Di depan mereka tampak Tan Ki. Pemuda itu baru saja menggerakkan kaki tangannya dengan lincah menghindarkan diri dari serangan dua tokoh kelas tinggi saat ini. Tetapi sekarang dia berjalan dengan perlahan. Langkah kakinya seakan berat sekali. Seperti orang yang menyandang penyakit parah dan cara jalannya pun hampir tidak bertenaga.
Melihat keadaan itu, hati Ceng Lam Hong perih tidak terkatakan. Hatinya semakin sedih. Untuk sesaat air matanya tidak tertahan lagi berderai dengan deras membasahi pipinya.
Keempat orang itu dengan perasaan hati yang berbeda berjalan dengan perlahan- lahan. Dari awal sampai akhir tidak ada satupun yang mengucapkan sepatah kata. Di atas pa-dang rumput yang luas, suasana semakin mencekam dan memilukan.
Tanpa sadar mereka telah berjalan kembali ke arah rumah peristirahatan. Tiba-tiba Tan Ki seperti menemukan sesuatu, mendadak dia menjerit histeris dan menerjang ke dalam ru-mah.
Tindakan yang dilakukan secara tiba-tiba ini benar-benar di luar dugaan semua orang. Ceng Lam Hong yang paling terkejut. Kasih sayangnya sebagai seorang ibu seakan meluap seketika. Dialah yang pertama-tama menghambur ke dalam rumah agar dapat berjaga- jaga terhadap segala kemungkinan.
Begitu mata memandang, dia melihat Tan Ki sedang berdiri termangu-mangu di depan jendela. Matanya menatap ke arah sebuah kursi goyang yang ada di sebelah kiri dengan perhatian terpusat.
Ceng Lam Hong tidak tahu kursi itu, tidak lama sebelumnya diduduki oleh Mei Ling.
Sedangkan Tan Ki menatap kursi itu lekat-lekat karena mengenang pembicaraan mereka yang romantis malam sebelumnya di tempat yang sama.
Sementara itu, Yibun Siu San dan si pengemis sakti Cian Cong juga sudah sampai di rumah itu. Seperti telah disepakati sebelumnya, wajah mereka langsung menyiratkan perasaan mereka yang tertekan.
Mereka menyadari bahwa pikiran Tan Ki pasti terserang pukulan bathin yang hebat sehingga jadi kurang waras. Oleh karena itu pula, tampangnya menjadi ketolol-tololan dan uring-uringan. Hanya saja mereka merasa tidak sampai hati menyampaikannya di hadapan Ceng Lam Hong.
Dengan tampang seperti orang bodoh, Tan Ki berdiri termangu-mangu sekian lama. Tiba-tiba bibirnya mengulumkan seulas senyuman. Perlahan-lahan dia berjalan menuju kursi itu dan duduk di atasnya. Kemudian tampak dia menarik nafas panjang. Dua baris air mata segera mengalir dengan deras. Seakan membayangkan diri Mei Ling yang akan menderita setelah diculik.
Namun dalam sekejap mata, wajahnya tiba-tiba berubah hebat. Dia mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak. “Kurang ajar! Kau berani menyentuh Liu Moay Moay-ku!” bentaknya keras.
Baru saja bicaranya selesai, orangnya sudah mencelat ke atas, gerakan tubuhnya cepat bukan main. Dia melesat ke sebelah kiri, tinjunya langsung menghantam. Kakinya menendang. Hampir semua meja dan kursi yang ada dalam ruangan itu jungkir balik dan pecah berantakan.
Tenaga dalamnya sekarang sudah tinggi sekali. Meskipun dalam keadaan kacau pikir- an, tetapi tenaga dalam yang terpancar keluar tidak dapat dipandang ringan. Rumah peristi-rahatan itu atapnya terbuat dari daun rumbia. SeBagian dindingnya juga terbuat dari kayu-kayu berbentuk balok. Mendapat hantaman yang kalap dari tangan dan tendangan kaki Tan Ki, saat itu juga seluruh rumah bergetar bagai dilanda gempa bumi. Melihat keadaan itu, Yibun Siu San terkejut sekali. Diam-diam dia berpikir, kalau tindakan Tan Ki ini tidak dihentikan, kemungkinan besar rumah peristirahatannya akan ambruk.
Oleh karena itu, tubuhnya segera berkelebat, lengan kanannya segera terulur. Dengan gerakan yang aneh, Yibun Siu San mengincar jalan darah di belakang punggung Tan Ki.
Gerakannya ini seakan mengandung kekejian yang tidak terkirakan, wajah Ceng Lam Hong langsung berubah hebat.
“Apa yang kau lakukan?” bentaknya.
Lengannya terulur ke depan, sebuah hantaman diluncurkan ke depan menyambut totokan Yibun Siu San.
Kedua orang itu hidup bersama di perbukitan itu sudah ada sepuluh tahunan. Sejak awal hingga akhir selalu sering menghormati. Keadaan seperti sekarang ini boleh dibilang baru berlangsung untuk pertama kalinya. Boleh dibilang saling membentak pun tidak pernah. Otomatis Yibun Siu San jadi tertegun.
Ceng Lam Hong menarik nafas dalam-dalam.
“Dia sudah berubah seperti orang bodoh. Apakah kau masih sampai hati menotok jalan darahnya?”
Suara tarikan nafasnya begitu berat, di dalamnya terselip kedukaan yang tidak terkira- kan. Hati Yibun Siu San yang mendengarnya jadi pilu. Tanpa terasa dia melangkah mundur dua tindak dan berdiri kembali di tempatnya semula.
Begitu matanya memandang, dia melihat tingkah laku Tan Ki seperti orang gila sudah berhenti. Tetapi dia berdiri tegak sambil menatap ke arah pintu lekat-lekat. Jari tangannya menunjuk, mulutnya tertawa lebar.
“Liu Moay Moay, kau sudah kembali? Aih, kau benar-benar membuat aku menderita memikirkan dirimu…”
Hatinya mendapat pukulan bathin yang hebat. Tetapi karena dia terlalu merindukan Mei Ling, di depan matanya seakan muncul bayangan gadis itu. Dia seakan melihat Mei Ling sedang tersenyum ke arahnya, tanpa sadar dia mulai melangkah ke arah pintu. Tiba-tiba ia seperti tersandung sesuatu, kakinya menjadi goyah kemudian tersuruk ke depan.
Ceng Lam Hong terkejut setengah mati. “Anak Ki…!”
Sambil berteriak, orangnya sudah menghambur ke depan. Dia membungkukkan tu- buhnya dan memeriksa seluruh tubuh Tan Ki dengan teliti. Dia takut anaknya itu menda- patkan luka karena terjatuh tadi. Siapa nyana, Tan Ki benar-benar sudah berubah. Begitu terjatuh, dia langsung bangkit kembali. Tiba-tiba dia merasa ada segumpal darah yang hangat meluap melalui ulu hatinya. Kedua matanya langsung berkunang-kunang. Hoak! Hoak! Anak muda itu memuntahkan darah sebanyak dua kali berturut-turut. Seluruh kepala dan wajah Ceng Lam Hong sampai terciprat sehingga penuh noda berwarna merah.
Kali ini Ceng Lam Hong benar-benar kalang kabut. Dia menjadi panik sekali. Untung saja Yibun Siu San berdiri di sampingnya. Laki-laki itu segera maju dan mengulurkan jarinya untuk menotok tiga buah jalan darah Tan Ki.
Cian Cong malah tersenyum simpul.
“Bocah cilik ini sudah mengeluarkan gumpalan darah yang membeku dalam hatinya.
Hal ini malah mempermudah masalah yang ada.” katanya.
Ceng Lam Hong mendongakkan wajahnya yang basah oleh air mata dan penuh noda darah.
“Apa yang harus kita lakukan?”
Cian Cong mengangkat hiolo araknya dan minum sebanyak dua teguk. Kembali bibirnya mengembangkan seulas senyuman.
“Penyakit hati terus harus diobati dengan hati pula. Rencana kita sekarang, lebih baik biarkan dia beristirahat dulu sejenak. Lalu perlahan-lahan kita mencari akal untuk menemukan Liu Kouwnio. Sayangnya, pertemukan besar dunia Bulim tinggal beberapa hari lagi. Apabila kesehatan anak Ki sudah pulih kembali, tentu sudah terlambat merebut kedudukan Bengcu.”
Yibun Siu San menarik nafas panjang.
“Apa boleh buat, asal anak Ki bisa disembuhkan kembali, sudah merupakan keberuntungan besar diantara kemalangan.”
***