Bagian 20
Yibun Siu San berdehem lirih satu kali. Sinar matanya mengandung perasaan yang pilu.
Dia menarik nafas dalam-dalam.
“Hal ini tentu tidak dapat disalahkan. Ketika Lu Wi Sam-kiat menggetarkan dunia Kangouw, kau masih dalam gendongan ibumu. Teringat kami bertiga mengangkat tali persaudaraan, hubungan kami demikian dekat…”
Sepasang alis Tan Ki mengkerut-kerut. Tiba-tiba dia memotong pembicaraan Yibun Siu San, “Apakah ayahku merupakan salah satu anggota dari Lu Wi Sam-kiat?”
“Betul. Kami mengambil urutan berdasarkan usia masing-masing. Ayahmu adalah Lotoa, sedangkan aku berada pada deretan nomor tiga.”
“Lalu siapa yang menduduki urutan kedua?”
“Orang ini pasti sudah kau kenal, dialah pemilik Pek Hun-ceng, si raja iblis nomor satu Oey Kang.”
Seluruh tubuh Tan Ki langsung bergetar mendengarnya, dia merasa terkejut sekali. “Apa? Jadi dialah Ji-siokhu Boanpwe?” (Ji-siokhu artinya paman kedua).
“Hal ini merupakan kenyataan yang tidak dapat ditolak. Kalau kau tidak percaya, setelah bertemu dengan ibumu, kau boleh menanyakannya lebih jelas.”
Mendengar ucapannya, Tan Ki segera menutupi kedua belah telinganya dengan tangan.
Dia menghentak-hentakkan kakinya dengan penuh kebencian.
“Aku tidak mau dengar, aku tidak mau dengar! Aku sudah mengatakan bahwa aku tidak mau berbicara tentang ibuku, Locianpwe malah sengaja membuat hatiku menjadi kacau, sebetulnya apa maksudmu?”
Yibun Siu San tertawa dingin.
“Tampaknya kesanmu terhadap ibumu sendiri bukan hanya buruk tapi jahat!”
Tampaknya orang ini menaruh rasa hormat yang dalam kepada ibu Tan Ki. Mendengar anak muda itu terus-terusan mengatakan bahwa dia membenci ibunya, tanpa dapat ditahan lagi hawa amarah dalam dadanya jadi meluap-luap. Ketika ucapannya selesai, tiba-tiba tubuhnya berdiri dan dengan kecepatan kilat ia menghambur mendekati. Tangan kanannya terangkat dan terdengar suara Plak! Satu kali. Dengan kecepatan yang sulit ditangkap pandangan mata, tahu-tahu pipi Tan Ki sudah kena ditempeleng oleh orang itu.
Gerakannya demikian cepat, sehingga laksana anak panah yang meluncur. Tan Ki tidak sempat lagi menghindar. Dia hanya merasa wajahnya panas sekali. Juga terselip rasa perih yang tidak terkatakan. Tanpa sadar dia meraba pipinya dan mundur sejauh dua langkah.
“Mengapa kau memukul orang seenaknya?”
Rupanya tamparan Yibun Siu San ini keras sekali. Tampak orang itu mengeluarkan suara tawa yang dingin.
“Masih keenakan kalau memukul saja. Aku ingin bertanya padamu, sebagai seorang anak, apa yang terutama harus dilakukan?”
“Bakti!”
“Lalu, mengapa kau demikian tidak becus? Bahkan berani-beraninya merasa benci kepada ibu yang melahirkan dirimu dengan susah payah? Hm, baru mendengar orang mengungkitnya sudah sedemikian rupa, apabila suatu hari nanti kalian ibu dan akan dapat bertemu lagi, entah peristiwa tragis apa yang akan terjadi pada saat itu!”
Tan Ki mendengar suara bentakannya semakin lama semakin keras. Tangannya menuding dan kakinya dihentakkan. Tampangnya seakan kesal sekali. Hatinya diam-diam timbul kecurigaan: ‘Tampaknya dia mengenal Ibu dengan baik…’
Pikirannya tergerak, dengan luapan amarah dia menyahut, “Kalau dia pantas menjadi orangtua bagi seorang anak, aku juga tidak akan demikian kurang ajar!”
Tubuh Yibun Siu San bergetar hebat. “Mengapa?” desaknya.
Dengan mata menyorotkan kebencian Tan Ki melanjutkan kata-katanya…
“Justru ketika Ayah mati secara mengenaskan malam itu, dia malah lari bersama kekasih gelapnya.
“Mengapa kau bisa yakin begitu kejadiannya? Apakah saat itu kau melihat dengan mata kepalamu sendiri?”
“Meskipun aku tidak melihatnya sendiri, tetapi di dalam kamar Ayah aku menemukan sehelai sapu tangan seorang laki-laki. Di atasnya tersulam sepasang burung camar yang sedang terbang melayang di atas lautan. Juga terdapat sebaris syair yang menyatakan perasaan cinta. Hatiku tahu, bahwa benda itu bukan milik ayahku. Sedangkan di atas syair itu, tertulis nama ibuku semasa gadis. Apakah bukti-bukti ini masih belum cukup?”
Tampaknya dalam sesaat Yibun Siu San teringat akan sesuatu hal. Dia langsung membentak, “Jangan sembarangan bicara, sapu tangan itu…” dia merandek sejenak. Kemudian tampak dia membungkam seribu bahasa.
Rupanya dalam hati dia merasa panik sekali, hampir saja dia kelepasan bicara. Tadinya dia ingin mengatakan: ‘Sapu tangan itu adalah milikku…’ tetapi dia tersadar bahwa hal itu malah bisa semakin memperdalam kesalahpahaman dalam hati Tan Ki. Oleh karena itu, cepat-cepat dia menutup mulutnya.
Tetapi Tan Ki adalah seorang pemuda yang cerdas. Mendengar nada suaranya yang seakan menyimpan suatu rahasia, mana mungkin dia sudi membiarkan begitu saja. Dia segera mencekal kesempatan itu baik-baik. “Milik siapa?”
Nada suara dalam pertanyaan itu sangat tajam. Tampaknya kalau tidak dijelaskan, Tan Ki pun tidak mau menyudahi begitu saja. Bahkan apakah Yibun Siu San benar-benar Sam- sioknya atau bukan, dia tidak perduli lagi.
Yibun Siu San merenung sejenak.
“Ini…” tampaknya dia mempunyai ganjalan dalam hati. Untuk sesaat dia merasa bimbang tak menentu. Kata-kata yang hanya sepatah itu ditariknya sampai panjang sekali, bahkan dia masih tidak sanggup meneruskannya.
Tan Ki hampir kehabisan kesabarannya. “Katakanlah!” teriaknya gugup. -
Akhirnya tampak Yibun Siu San menarik nafas panjang.
“Benar tidaknya dugaanmu, suatu hari pasti akan terungkap sampai jelas. Mengapa kau begitu panik dan mendesak terus…?”
Kata-katanya belum selesai, tiba-tiba jari tangannya meluncur ke arah tenggorokan Mei Ling…
Tindakan yang mendadak ini, benar-benar di luar dugaan Tan Ki. Lagipula totokan yang dilancarkan juga demikian cepat!
Melihat hal itu, Tan Ki terkejut setengah mati. Dia segera membentak dengan gusar, “Apa yang kau lakukan?” terdengar suara angin menderu, dia langsung melancarkan sebuah pukulan!
Meskipun serangannya dilancarkan secara mendadak bahkan dalam keadaan marah dan tanpa persiapan sama sekali, tetapi kecepatannya tidak terkirakan. Tenaga dalamnya pun sangat kuat.
Yibun sengaja melakukan hal ini karena hendak menghindari desakan pertanyaan Tan Ki. Setelah totokannya yang ringan mengenai tenggorokan Mei Ling, luncuran pukulan Tan Ki yang dahsyat pun menerjang tiba. Dia merasa ada serangkum angin yang kuat menerpa dari samping tubuhnya. Tiba-tiba terlihat Yibun Siu San memutar, dengan gerakan yang indah dan jurus yang ajaib, tahu-tahu dia sudah berada di belakang Mei Ling. Gerakannya itu bukan saja berhasil menghindarkan diri dari serangan Tan Ki, sekaligus dia masih sempat mengulurkan tangannya menotok tujuh delapan tempat urat darah di belakang punggung Mei Ling.
Tubuh Mei Ling yang kecil langsing terkena tujuh totokan Yibun Siu San secara berturut-turut. Setelah mendengus satu kali, tubuhnya pun terkulai di atas tanah.
Hampir dalam waktu yang bersamaan, dengan kemarahan yang meluap-luap, mulut Tan Ki mengeluarkan suara raungan yang keras. Dia menerjang dengan kalap. Jurus Api Membara Di Hari Yang Cerah langsung mengarah ke dada Yibun Siu San.
Sebetulnya Yibun Siu San hanya menghindarkan diri dari pertanyaan Tan Ki yang bertubi-tubi. Dia sama sekali tidak berniat berkelahi dengan anak muda itu. Pundaknya digerakkan ke kiri dan kakinya pun mencelat mundur setengah langkah. Dia segera mengibaskan tangannya berkali-kali.
“Tunggu dulu, dengarlah perkataanku!”
Air mata Tan Ki terus mengalir. Wajahnya menyiratkan kepedihan yang dalam.
“Kau sudah mencelakakan kekasihku sampai mati. Apalagi yang harus kita bicarakan?” bentaknya marah.
Lengannya yang kokoh seperti besi terus bergerak. Ternyata dia tidak sudi mendengar penjelasan Yibun Siu San. Dengan jurus Burung Melayang Dengan Gusar, dia menebas dari atas ke bawah. Sasarannya kali ini ubunubun kepala Yibun Siu San. Sungguh merupakan serangan yang keji!
Belum lagi kakinya yang tiba-tiba melangkah ke depan sampai tangan satunya lagi langsung melancarkan sebuah pukulan ke dada Yibun Siu San. Hatinya pedih sekali karena mengira keka-sihnya telah mati. Dalam satu jurus dia melancarkan dua buah serangan.
Kecepatannya hampir pada waktu yang bersamaan. Rangkuman tenaga yang dahsyat belum mencapai sasaran, anginnya sudah menerpa wajah sehingga menimbulkan rasa dingin.
Langkah kiri Yibun Siu San bergeser sedikit. Dia menghindarkan diri dari tebasan tangan Tan Ki. Lengan kanannya terulur secepat kilat. Gerakannya meluncur ke depan. Tetapi karena dia memang tidak berniat melukai Tan Ki, biarpun kecepatannya bagai kilat yang menyambar, tetapi tenaga yang terkandung di dalamnya demikian ringan sehingga tidak menimbulkan angin sedikitpun. Dengan demikian kekuatannya tidak cukup untuk melukai orang.
Tan Ki menggertakkan giginya erat-erat, kakinya melangkah mundur setengah mistar, Sekaligus dia menggerakkan lengan kanannya, dari tebasan diubah menjadi hantaman tenaga dalam yang sudah dipersiapkan di telapak tangan seketika dikerahkan.
Jurus ini dilancarkan dengan keras lawan keras. Jadi tidak main-main, bahkan bermimpipun Yibun Siu San tidak mengira Tan Ki demikian setia. Hanya karena melihat Mei Ling terkulai di atas tanah, dia langsung berubah kalap. Serangan yang dilancarkannya seperti mengadu jiwa saja. Tentu saja Yibun Siu San jadi tertegun.
Justru ketika dia masih terpana, tanpa terasa dua arus tenaga dalam sudah saling membentur. Terdengar suara menggelegar yang keras sekali. Rumah peristirahatan itu sampai bergetar bagai dilanda gempa bumi. Dalam keadaan tidak siap sama sekali,Yibun Siu San malah terdorong oleh rangkuman tenaga dalam Tan Ki yang dahsyat sehingga terdesak mundur sejauh tiga langkah.
Yibun Siu San merasa wajahnya menjadi panas. Dalam hatinya timbul perasaan malu.
Apabila aku sampai dikalahkan oleh keponakan kesayangan ini, benar-benar keterlaluan, pikirnya dalam hati.
Begitu pikirannya tergerak, dia langsung memperdengarkan suara tawa yang gagah.
Kakinya melangkah maju dan menerjang ke depan. Dalam waktu yang singkat, terlihat dia menghantam, kakinya menendang, secara berturut-turut dia melancarkan serangan sebanyak tujuh delapan jurus.
Tampak totokannya menimbulkan angin kencang, bayangan telapak tangannya berkibar-kibar. Semuanya berkumpul di kiri dan kanan, dengan bergulung-gulung melanda
datang. Bahkan tubuh Yibun Siu San sendiri hampir tidak kelihatan karena tertutup bayangan totokan dan telapak tangannya.
Hati Tan Ki jadi terkesiap bukan kepalang. Dia merasa serangan lawan yang gencar me- ngandung kekuatan yang dahsyat. Seumur hidupnya hal ini justru merupakan peristiwa yang paling menggetarkan yang pernah dijumpainya. Untuk sesaat mana berani dia menyongsong ke depan serta menyambut serangan itu. Terpaksa tubuhnya mencelat mundur ke belakang setelah menarik nafas dalam-dalam.
Apabila tokoh kelas tinggi bergebrak, kejadiannya hanya sekejapan mata saja. Tubuh mereka bergerak maju dan tahu-tahu sudah mundur kembali. Yibun Siu San tidak menyia- nyiakan kesempatan untuk mendesak terus. Tangan kiri melancarkan jurus Memetik Teratai Emas, tangan kanan dalam waktu yang bersamaan mendorong ke depan, sasarannya langsung ke dada Tan Ki. Baik gerakan jurus maupun tenaga dalamnya mengandung kehebatan yang tidak terkirakan.
Satu jurus dua gerakan, dilancarkan hampir bersamaan waktunya, malah dalam saat yang sama menggunakan dua arus tenaga dalam yang berlainan bobotnya. Tangan kiri mengambil gaya memetik, tangan kanan menghantam sekuat tenaga. Gerakan kelas tinggi yang jarang terlihat ini, membuat mata Tan Ki sampai berkunang-kunang kebingungan.
Terpaksa dia mencelat mundur kembali.
Semacam pikiran yang buruk segera terlintas di benaknya di saat kakinya mencelat mundur ke belakang. Dia sudah tahu, orang yang mengaku sebagai paman ketiganya memiliki ilmu silat yang jauh lebih tinggi daripada dirinya sendiri. Niat untuk membalaskan dendam bagi kekasihnya, mungkin hanya impian kosong saja.
Tanpa dapat ditahan lagi, dia mendongakkan wajahnya dan tertawa sumbang. Suara tawanya melengking tinggi dan mengandung kepiluan yang tidak terkatakan. Dapat dibayangkan penderitaan yang dialaminya saat itu.
Seseorang bila sudah mencapai rasa putus asanya, pasti akan membayangkan banyak hal. Oleh karena itu, berbagai pikiran berkecamuk dalam hati Tan Ki saat itu. Setiap kenangan bagai ombak yang bergulung menerpa benaknya yang mulai rapuh.
Di dalam kitab yang kutemukan terdapat ilmu Te Sa Jit-sut yang hebat sekali. Meskipun di dalam Pek Hun Ceng, ketika bertempur melawan tiga puluh enam jendral langit, aku sempat mengingatnya di saat terdesak. Tetapi sekarang aku malah melupakannya kembali. Kalau tidak, meskipun Yibun Siu San ini mempunyai ilmu yang lebih hebat dan keji, kemungkinan aku masih sanggup mengadu nyawa dengannya!
Dengan membawa pikiran seperti itu, penyesalan di dalam hatinya semakin bertambah.
Dia juga terus-terusan menyalahkan dirinya sendiri yang dianggapnya bodoh.
Tiba-tiba… terdengar suara tawa yang memekakkan telinga, bayangan manusia berkelebat dan tahu-tahu di depan Tan Ki sudah bertambah satu orang.
Ilmu silat orang ini hebatnya bukan main. Kedatangannya begitu cepat. Benar-benar di luar dugaan sehingga Tan Ki terkejut setengah mati.
Begitu matanya memandang, dia melihat orang itu mengenakan pakaian yang penuh tambalan. Kakinya beralas sepatu rumput, dia adalah salah satu dari dua tokoh sakti di dunia Kangouw saat itu yakni Po Siu Cu Cian Cong atau disebut juga si pengemis sakti.
Sesudah terkejut, Tan Ki malah jadi termangu-mangu. Dia tidak mengerti mengapa Cian Cong bisa muncul di saat yang demikian tepat?
Terdengar orangtua itu tertawa terbahak-bahak.
“Yibun Loji, harap berhenti sebentar. Bagaimana kalau menjual sedikit muka kepada si pengemis tua?” lengan kanannya terulur dan langsung menyambut ke atas. Dalam waktu yang bersamaan dengan kata-kata yang diucapkannya, jurus serangan Yibun Siu San sudah berhasil dipecahkannya dengan mudah.
Yibun Siu San paling suka kebersihan. Tampaknya dia tidak mau menyentuh tubuh Cian Cong yang hitam dan dekil. Baru saja kakinya menginjak tanah, dia cepat-cepat mencelat mundur ke belakang. Bibirnya tersenyum.
“Untuk apa kau datang ke mari?”
“Si pengemis tua belum juga mengajukan pertanyaan, kau malah yang bertanya duluan. Lihat saja dirimu, sudah hidup sampai setua ini, masih mencari urusan dengan bocah cilik seperti ini. Malah main tinju dan tendangan segala macam.”
Yibun Siu San melirik Tan Ki sekilas. “Kau kenal dengannya?”
“Pernah bertemu beberapa kali.”
Sembari berkata, mata Cian Cong menatap Tan Ki. Sinarnya memancarkan kasih sayang.
Yibun Siu San merenung sejenak. Di dalam hatinya seolah terdapat ganjalan. Setelah be-berapa saat, dia mendekati telinga si pengemis sakti dan membisikkan beberapa patah kata. Tampak Cian Cong berdehem dua kali sambil menganggukkan kepalanya, seakan menyetujui apa yang dikatakan Yibun Siu San.
Melihat keadaan itu, Tan Ki semakin terpana. Diam-diam dia berpikir: Rupanya mereka sahabat karib…
Kurang lebih sepeminum teh kemudian, Cian Cong membalikkan tubuhnya dan berkata kepada Tan Ki.
“Ikut si pengemis tua keluar, kita bicara di sana!”
Tanpa memberi kesempatan bagi Tan Ki untuk menolak, dia segera mengulurkan tangannya dan menarik tangan kanan Tan Ki lalu mengajaknya berlari keluar.
Tan Ki tampak gugup sekali.
“Locianpwe, tunggu sebentar. Orang ini sudah mencelakai Liu Kouwnio, mana boleh kita lepaskan dia begitu saja, aku…!” kata-kata selanjutnya belum lagi sempat diteruskan. Cian Cong malah menambah tenaga tarikannya sehingga langkah kaki Tan Ki terseret.
Biarpun dia berusaha melepaskan diri, ternyata tidak bergeming sedikitpun.
Kedua orang itu meninggalkan rumah peristirahatan Yibun Siu San. Langkah kaki mereka tidak berhenti, terus menerjang ke arah barat. Dalam waktu yang singkat mereka sudah berlari kurang lebih tiga li.
Dari depan terasa angin berhembus, suara desirannya mendengung-dengung di telinga.
Setelah berlari beberapa saat, kobaran api di dalam dada Tan Ki hampir surut setengahnya. Tetapi dia tetap membisu, dibiarkannya Cian Cong menarik tangannya sambil berlari.
Kurang lebih sepeminum teh lagi, tiba-tiba Cian Cong menghentikan langkah kakinya.
Cara berlari seperti orang yang dikejar setan tadipun terhenti sampai di situ. Dia membalikkan tubuhnya sambil tertawa.
“Tidak usah lari lagi. Kita bicara di tempat ini saja.” “Apa yang akan kita bicarakan?”
Cian Cong tertawa terbahak-bahak.
“Masalah yang akan dibicarakan, rasanya tidak kalah dengan bintang-bintang yang ber- taburan di langit. Dalam sehari semalam saja belum tentu dapat selesai…” dia merandek sejenak.
Dengan sengaja dia merenung beberapa saat, kemudian baru melanjutkan kembali. “Si pengemis tua berdiam cukup lama di dalam hutan Pek Hun Ceng. Dengan kesal akhirnya aku pergi, tetapi aku tahu Liu Seng membawa beberapa rekannya datang dari ribuan li untuk menolong putrinya. Tentu saja mereka bukan tandingan si iblis tua itu. Itulah sebabnya si pengemis tua cepat-cepat datang ke sini dan mengundang sahabat baik Yibun Loji ini agar menuju Pek Hun Ceng membantu para pendekar meloloskan diri dari maut…”
Tan Ki terkejut mendengarnya, dia segera menukas.
“Orang yang dapat menjadi sahabat baik Locianpwe pasti seorang pendekar yang gagah serta tidak mengejar nama besar. Kalau Yibun Siu San merupakan sahabat lama Locianpwe, mengapa dia bisa membunuh seorang gadis yang tidak berdosa?” selesai berkata, tampaknya hati anak muda itu masih mendongkol, dia segera mengeluarkan suara dengusan dingin dari hidungnya.
“Tidak mungkin. Yibun Loji seorang manusia yang berbudi luhur. Dia tidak akan melukai orang sembarangan. Perbuatannya ini pasti mengandung maksud tertentu. Apa alasannya, setelah senja nanti, pasti akan diketahui. Buat apa kau panik tidak karuan?” Tan Ki malah semakin panik. “Locianpwe jangan sampai dikelabui olehnya. Cara turun tangan maupun jurus yang dilancarkan Yibun Siu San selalu mengandung kekejian. Kalau Boanpwe tidak menyaksikannya dengan mata kepala sendiri, tentu tidak percaya dia dapat dalam melakukan hal itu. Lagipula dia sudah menotok tujuh jalan darah Liu Kouwnio yang mematikan, mana mungkin dia mengandung maksud lainnya?” Cian Cong tersenyum
simpul. “Si pengemis tua sudah mengatakan bahwa dia tidak berniat mencelakakan orang, kalau kau masih tidak percaya juga, apa boleh buat?” tiba-tiba sepasang alisnya berjungkit ke atas. Dia segera mengalihkan pokok pembicaraannya. “Ada orang yang datang.” sepasang lengannya terentang, tubuhnya bagai burung yang terbang melesat ke dalam hutan. Kemu-dian dia mencelat ke atas dan bersembunyi di balik dedaunan pohon Siong yang rimbun.
Kemudian, terlihat sesosok bayangan berkelebat. Tahu-tahu Tan Ki sudah sampai di sam-pingnya, Cian Cong melihat gerakannya yang mencelat ke atas dan melayang turun di sampingnya dilakukannya dengan indah, tanpa dapat ditahan lagi bibirnya tersenyum simpul.
“Meskipun ilmu ginkangmu cukup baik, tetapi tampaknya kau tidak pernah mempelajari ilmu lwekang. Tenaga dalammu belum dapat dikendalikan. Dengan demikian, ilmumu belum cukup tinggi untuk malang melintang di dunia Kangouw. Apalagi mencapai kedudukan…”
Seperti ada sesuatu yang tiba-tiba berkelabat dalam benaknya. Dia segera menghentikan kata-katanya di tengah jalan.
Tan Ki menyibakkan dedaunan yang menghalangi pemandangan. Kepalanya melongok ke depan. Dia melihat rombongan orang berjumlah kurang lebih belasan melangkah dengan cepat. Ketika Cian Cong menghentikan kata-katanya, mereka sudah sampai di bawah pohon di mana Cian Cong dan Tan Ki bersembunyi.
Diam-diam hatinya jadi terperanjat. Dia tidak mengerti Kiau Hun memimpin Liu Seng, Kok Hua-hong, Yi Siu, Cu Mei beserta yang lainnya ke tempat ini dengan tujuan apa. Yang aneh, Ciu Cang Po juga termasuk di antara rombongan itu. Tampaknya kesadaran nenek itu belum pulih. Wajahnya masih kaku dan datar. Sepasang matanya menerawang, bahkan dengan dibimbing oleh dua orang di kiri kanannya, dia baru dapat melangkah.
Rupanya Yibun Siu San telah berhasil menolong para pendekar dan membantu mereka keluar dari Pek Hun Ceng. Sesampai di jembatan perbatasan, mereka melihat Ciu Cang Po yang terduduk di atas papan jembatan dan segera memberi pertolongan kepadanya. Saat itu kesadaran Ciu Cang Po memang sudah hilang, apalagi dia dalam keadaan terluka akibat serangan Kiau Hun. Begitu ada orang yang mengajaknya pergi, dia pun tidak menolak.
Kalau tidak karena kebetulan muncul Lok Hong yang lalu berselisihan dengan Oey Ku Kiong, sampai anak muda itu kalah dan akhirnya mereka pergi bersama. Dengan adanya anak muda itu, kemungkinan para pendekar akan mendapat kesulitan lagi sebelum meninggalkan Pek Hun Ceng. Paling tidak akan terjadi pertarungan sengit yang memakan waktu cukup panjang.
Tak berapa jauh mereka meninggalkan Pek
Hun Ceng, orang yang pingsan mulai sadar. Yang terluka pun sudah mulai bisa jalan sendiri. Hanya tinggal Ciu Cang Po yang lukanya agak parah dan kesadarannya masih hilang sampai memerlukan bimbingan orang lain.
Tampaknya Kiau Hun memang berniat mengambil hati para pendekar dan mencari muka. Dia segera mengeluarkan berbagai macam obat yang mujarab dan membagikannya
kepada para pendekar. Tetapi terhadap luka yang dialami oleh Ciu Cang Po, dia tidak melirik sekilaspun. Karena dulu ia diusir dari pintu perguruan, rasa bencinya kepada nenek itu masih meluap-luap. Meskipun ada di antara para pendekar yang mengetahui urusan ini, mereka hanya berpikir bahwa itu merupakan masalah pribadi mereka antara guru dan murid. Lebih baik jangan turut campur. Oleh karena itu tidak ada seorangpun yang banyak bertanya.
Setelah mengalami pertarungan yang hampir menentukan hidup mati, baru berjalan sampai di sini, mereka sudah kelelahan setengah mati. Ada yang menyandarkan diri pada batang pohon, ada yang langsung duduk di atas rerumputan, seBagian besar memejamkan matanya untuk beristirahat.
Namun di wajah mereka masih tersirat sisa kecekaman dan ketakutan akan peristiwa hebat yang baru mereka lalui. Entah orang yang mana, tiba-tiba menarik nafas panjang dan berkata, “Kali ini kepergian kita ke Pek Hun Ceng untuk menolong orang. Tidak tahunya nyawa sendiri hampir melayang dan untung saja masih sempat keluar dalam keadaan hidup.”
“Si raja iblis Oey Kang itu ternyata benar-benar lihai…” tukas yang lainnya. Kiau Hun tertawa datar.
“Biar bagaimana hebatnya, tetap saja tidak dapat mengalahkan orang banyak.
Meskipun Oey Kang sangat lihai, tetapi bagaimanapun ia tidak dapat mengalahkan kita yang jumlahnya lebih banyak.” katanya.
Mendengar ucapannya, seBagian pendekar itu tidak mengerti apa yang dimaksudkan, merekapun jadi termangu-mangu. Terdengar salah satu dari Ciong San Suang-siu, yakni si tinggi Yi Siu berdehem satu kali.
“Apa maksud ucapan Kouwnio ini?”
Meskipun dia tahu Kiau Hun tadinya hanya seorang pelayan dalam keluarga Liu, tetapi karena ilmu silatnya tinggi, apalagi ia sudah menanam budi kepada para pendekar, maka panggilannya pun jadi menaruh rasa hormat.
Kiau Hun mengangkat lengannya dan perlahan-lahan merapikan rambutnya yang acak- acakan. Gayanya sungguh memikat. SeBagian pendekar langsung memalingkan wajahnya. Hati mereka agak tergetar. Hanya telinga mereka yang mendengar suara gadis itu yang merdu sekali.
“Meskipun ilmu silat serta tenaga dalam si raja iblis Oey Kang sudah mencapai taraf ter- tinggi, mampukah dia mengalahkan para pendekar di seluruh Bulim yang menggabungkan diri menghadapinya?”
Yi Siu mengeluarkan suara terkejut. Pikirannya jadi tersentak.
“Maksud Kouwnio, para pendekar di seluruh Bulim harus bergabung di bawah pimpinan seorang dan mencari jalan untuk menghadapi Oey Kang?”
“Tidak salah.” sahut Kiau Hun.
Yi Siu merenung sejenak.
“Kata-kata ini memang beralasan, tetapi…” dia merasa mengumpulkan para pendekar di seluruh Bulim dan memilih seorang Bengcu memang mudah mengatakannya, tetapi pelaksanaannya justru sulit sekali. Oleh karena itu, dia langsung menundukkan kepala merenung, kata-katanya tidak dapat diteruskan lagi.
Tiba-tiba terdengar Liu Seng tertawa panjang sambil bangkit berdiri.
“Urusan ini serahkan saja kepada Hengte. Dalam waktu setengah bulan, para sahabat yang tersebar di sekitar sungai telaga utara maupun selatan, pasti sudah berkumpul untuk menghadapi si raja iblis Oey Kang.”
Mendengar kata-katanya, tubuh Yi Siu malah jadi gemetar!
Dia tahu, sejak putrinya diculik, Liu Seng sudah mengumpulkan beberapa sahabat untuk menempuh bahaya menyelinap ke dalam Pek Hun Ceng. Kebenciannya terhadap Oey Kang sudah merasuk ke dalam tulang sumsum. Maka dari itu, tanpa berpikir panjang lagi dia langsung menawarkan diri menjalankan tugas yang berat ini.
Tetapi, hati Yi Siu menjadi semakin khawatir. Mungkinkah pemilihan Bengcu kali ini merupakan permulaan munculnya badai di dunia Kangouw seperti yang dikatakan oleh Yibun Siu San?
Kembali hatinya tergetar. Berbagai macam pikiran yang menggelayut di dadanya membuat perasaan orang ini bertambah kalut. Sebetulnya, orang lain yang ada di sana juga mempunyai tekanan dalam hati mereka masing-masing. Memilih Bengcu harus orang yang sudah mempunyai nama serta kewibawaan yang besar. Memangnya hal itu semudah diucapkan? Tetapi, tampaknya untuk menghadapi Oey Kang, memang hanya ini satu- satunya jalan yang dapat dipilih.
Tambah lagi di hadapan mereka sekarang masih ada lagi seorang Cian bin mo-ong yang mengacaukan dunia Bulim dengan serentetan pembunuhan? Kalau dunia Kangouw ingin menikmati kembali hari-hari yang tenang, memang ini juga jalan satu-satunya yang ada.
Dalam waktu yang bersamaan, para pendekar mempunyai pemikiran yang tidak berbeda. Hati mereka bagai terhimpit beban yang berat. Tidak ada satupun yang bersemangat untuk membuka mulut. Masing-masing memikirkan persoalan yang menggelayuti hati mereka.
Untuk sesaat, suasana terasa semakin mencekam. Keheningan semakin merayap!
Tidak lama kemudian, entah siapa yang mengajak terlebih dahulu. Satu persatu mulai menggerakkan langkahnya dan berlari ke arah gedung keluarga Liu.
Angin bertiup sepoi-sepoi, seolah menarik nafas panjang demi gejolak yang akan melanda dunia Kangouw dalam waktu yang dekat…
Tiba-tiba terdengar suara kibaran baju, tahu-tahu di tempat Kiau Hun berdiri sudah melayang turun dua sosok manusia. Mereka tentu saja Tan Ki serta si pengemis sakti Cian Cong. Tampak wajah orangtua itu berubah menjadi kelam. Seakan ada persoalan berat
yang memenuhi pikirannya. Tubuhnya tidak bergerak sedikitpun. Matanya dengan termangu-mangu menerawang di kejauhan.
Melihat tampangnya, Tan Ki sampai tertegun. Kemudian dia bertanya dengan suara lirih.
“Apa yang Locianpwe pikirkan?”
“Apakah kau sudah mendengar dengan jelas kata-kata yang mereka ucapkan tadi?” Tan Ki menganggukkan kepalanya.
“Memangnya ada hubungan apa dengan diri Locianpwe sehingga kau orangtua jadi kebi-ngungan serta gelisah seperti ini. Dalam dunia Bulim, keadilan dikesampingkan dan muncul yang sesat sehingga terjadi badai gelombang adalah hal yang sering didengar maupun ditemui…”
Cian Cong menarik nafas panjang.
“Betul. Bila perbuatan seseorang sudah keterlaluan, tentu mendapat hambatan dari para pendekar di seluruh Bulim. Hal ini sama sekali tidak aneh. Tetapi apabila mengumpulkan seluruh sahabat yang tersebar di seluruh dunia, ini bukan hal yang main- main lagi. Perlu diketahui, seorang yang selalu memandang diri sendiri sangat terkenal, pasti merasa harga dirinya tinggi sekali. Dalam pandangannya tidak ada orang lain, sementara itu orang yang ilmu silatnya masih tanggung-tanggung, jumlahnya bagai pasir di dalam sungai. Dihitung pun susah. Coba bayangkan. Dalam sebuah pertemuan besar berkumpul begitu banyak orang dari segala penjuru, mungkinkah dapat dipastikan bahwa mereka semua akan mendengar perintah Liu Seng?”
Hati Tan Ki jadi tercekat. Diam-diam dia mulai sadar gawatnya masalah yang dibicarakan tadi.
“Benar juga. Kalau diantara mereka ada satu dua orang saja yang merasa dirinya paling hebat, tentu dia tak akan sudi menerima perintah orang lain. Pada saat itu keadaan pasti jadi kacau, malah kemungkinan bisa terjadi pertumpahan darah. Bukannya pertemuan, malah mengundang kesulitan yang tidak kecil.”
Cian Cong menghembuskan nafas yang panjang agar beban hatinya agak berkurang. “Si pengemis tua lihat, untuk urusan ini pasti akan dipilih seorang Bulim Bengcu yang
dapat memimpin gerakan ini. Tetapi belum terpilih Bulim Bengcunya, mungkin sudah banyak orang yang jatuh jadi korban.”
“Bukan hal yang tidak mungkin. Apabila jatuh korban beberapa orang tetapi bisa meng- hentikan kekacauan yang terjadi diantara para pendekar, boleh dihitung suatu keberuntungan juga.” sahut Tan Ki dengan penuh perhatian.
Perlahan-lahan Cian Cong mendongakkan wajahnya. Dipandangnya langit biru lekat- lekat.
“Kalau menurut pandanganmu, siapa kiranya yang cocok untuk menjadi Bulim Bengcu yang bakal memimpin seluruh pendekar ini?” hatinya saat ini sedang memikirkan masalah
yang besar sekali. Berbagai pikiran terus melintas di benaknya. Meskipun sedang berbicara, tetapi dia tidak, melirik Tan Ki sekilaspun. Matanya yang bersinar tajam bagai mata harimau kadangkala menyiratkan cahaya kebimbangan.
Tan Ki maklum sekali bahwa orangtua ini mempunyai jiwa yang terbuka. Orangnya ramah dan sering tersenyum. Hatinya juga mulia sekali. Apabila bukan urusan yang maha besar yang tidak dapat dipecahkannya, dia tidak akan memperlihatkan mimik wajah seperti itu. Oleh karena itu dia berdiri di samping dan tidak berani mengeluarkan suara sedikit-pun yang dapat menganggu pikiran orangtua itu.
Tiba-tiba terlihat Cian Cong menundukkan kepalanya sambil menarik nafas. Sepasang ta-ngannya terlipat ke belakang kemudian berjalan mengelilingi tempat itu. Tan Ki melihat orangtua itu memejamkan sepasang matanya.
Tetapi cara jalannya semakin lama semakin cepat. Dia mengitari padang rumput yang kosong itu sebanyak dua lingkaran. Mendadak langkah kakinya terhenti. Matanya terbuka dan ia tersenyum simpul. “Sudah ketemu.”
“Apanya yang sudah ketemu?” tanya Tan Ki tanpa dapat menahan rasa ingin tahu dalam hatinya.
Karena berhasil memecahkan sebuah masalah yang besar, Cian Cong tampaknya girang sekali. Tangannya terulur dan dilepaskannya hiolo yang terikat di pinggang, kemudian dia meminum araknya beberapa tegukan. Wajahnya berseri-seri.
“Bocah cilik, ayo ikut aku!” dia segera membalikkan tubuhnya dan berlari ke arah jalan semula.
Hati Tan Ki terus menduga-duga, tetapi dia merasa tidak enak hati banyak bertanya. Dengan menahan rasa ingin tahunya, dia langsung berlari di belakang orangtua tersebut.
Kedatangan maupun kepergian kedua orang itu selalu dilakukan dengan kecepatan tinggi. Namun waktu yang diperlukan juga kurang lebih satu kentungan perjalanan.
Matahari sudah mulai bergeser. Tengah hari sudah berlalu.
Cian Cong menghentikan langkah kakinya. Tetapi dia tidak langsung masuk ke dalam rumah. Dengan berdiri di luar dia berteriak dengan suara keras, “Tua bangka, sudah selesai belum?”
Baru suaranya sirap, dari dalam rumah berjalan keluar Yibun Siu San sambil mendorong pintu yang terbuat dari kayu. Langkahnya tergesa-gesa. Wajahnya masih ditutupi kerudung hitam, sehingga tidak dapat terlihat bagaimana mimik perasaannya.
“Bagaimana?” tanya Cian Cong sekali lagi.
“Lumayan, kalau beristirahat beberapa hari lagi pasti akan pulih seperti sediakala.” sahut Yibun Siu San sambil memperdengarkan suara tawa yang ringan.
“Sekarang kita tinggalkan kedua bocah ingusan ini biar membuka isi hati. Kau dan aku sama-sama bujang lapuk, kita tidak perlu ikut campur urusan ini. Mari kita naik lagi ke puncak bukit.” tangannya langsung mencekal pergelangan Yibun Siu San, mulutnya
kembali berkata, “Tua bangka, tadi kami menemui sua-tu masalah yang besar sekali. Nanti kita rundingkan bagaimana menanggulanginya. Cepat jalan!”
Yibun Siu San tertawa terkekeh-kekeh.
“Kau sebagai kepala kaum pengemis, berjiwa gagah dan berhati mulia. Bumi dan langitpun kau tidak takut. Kalau mampu membuat kepalamu pusing tujuh keliling, pasti urusannya besar bukan kepalang. Buat apa kau cari aku untuk berunding?”
Sembari bercakap-cakap, kedua orang itu segera mengerahkan ginkangnya dan berlari ke puncak bukit. Dalam waktu sekejapan mata saja, keduanya sudah menghilang di kejauhan.
Mendengar nada pembicaraan kedua orang itu, tampaknya mereka ingin merundingkan masalah pemilihan Bulim Bengcu. Dia juga mendengar bahwa Mei Ling bukan saja tidak mati, malah penyakitnya sudah disembuhkan oleh Yibun Siu San. Hatinya menjadi terkejut sekaligus gembira.
Untuk sesaat, saking girangnya, dia jadi berdiri termangu-mangu. Kemudian seperti orang yang baru tersentak dari lamunan dia menghambur ke dalam rumah peristirahatan.
Begitu matanya memandang, sekali lagi dia jadi terpana!
Dia melihat meja dan kursi serta tempat tidur masih tetap seperti semula ketika dia meninggalkannya, tetapi di dalam ruangan itu tidak terdapat seorangpun. Ke mana perginya Mei Ling?
Setelah tertegun beberapa saat, hatinya menjadi tercekat. Di benaknya melintas berbagai bayangan buruk. Diam-diam tubuhnya menggigil dan bulu kuduknya jadi meremang!
Tanpa dapat ditahan lagi, dia berteriak sekeras-kerasnya. .. “Mei Ling! Mei Ling! Di mana engkau? Mei Ling!!!”
Setelah memanggil beberapa saat, tetap saja tidak terdengar jawaban. Hatinya semakin terkejut juga takut. Pada saat itu juga, keringat dingin mengucur membasahi keningnya.
Hidungnya terasa…
Dia menjadi kalap, tubuhnya membalik dan menerjang keluar rumah. Perubahan yang benar-benar di luar dugaan, membuat Tan Ki kehilangan akal sehat. Pikirannya tidak dapat bekerja secara rasional. Dalam keadaan beban penderitaan yang mengganduli hati, dia menerjang keluar seperti orang yang tiba-tiba tidak waras. Suara teriakannya sampai berkumandang ke mana-mana…
“Mei Ling!!! Mei Ling!!!”
Tetap saja tidak ada jawaban dari seorangpun. Angin bertiup semilir, rerumputan maupun dedaunan melambai-lambai. Seakan mewakili keresahan dalam hati anak muda itu. Dia jadi bingung. Hatinya terasa hancur lebur. Dia merasa ada segulungan rasa pedih yang meluap dalam dadanya. Tanpa dapat ditahan lagi dua baris air mata mengalir dengan deras membasahi pipinya.
Dalam beberapa hari ini, ada beberapa perempuan yang mengisi kehidupannya, seperti Liang Fu Yong, Kiau Hun, Lok Ing, tetapi yang dapat membuatnya gelisah serta rindu bukan kepalang hanya Mei Ling seorang.
Dia menggertakkan giginya erat-erat. Dia mulai mencaci maki Yang Kuasa karena mem- permainkan nasib manusia. Siapa yang menculik kekasihnya?
Siapa?
Dia merasa kepedihan dalam hatinya tidak terkirakan lagi. Seakan ada sekumpulan bom yang siap meledak setiap saat. Kalau tidak dilampiaskan, pikirannya pasti bisa jadi gila.
Oleh karena itu dia meraung sekeras-kerasnya
dan sepasang tangannya pun meluncur seketika.
Pukulan ini dilancarkan dalam keadaan gusar. Tenaga yang terkandung di dalamnya hebat bukan main. Boleh dibilang dia sudah mengerahkan seluruh kekuatannya. Timbul suara menderu yang memecahkan keheningan. Malah lebih kuat satu kali lipat daripada di saat dia bergebrak melawan musuh yang tangguh.
Terdengar suara yang memekakkan telinga. Dua batang pohon besar yang jaraknya kurang lebih satu depaan tumbang dalam waktu yang hampir bersamaan, tanah yang tenang tampak debu-debu beterbangan karena hempasan tenaga yang kuat itu.
Pandangan matapun menjadi samar-samar.
****