Bagian 17
Sepasang alis Tan Ki mengerut beberapa kali. Tiba-tiba hatinya tergerak, dia merasa curiga sekali. Begitu Kiau Hun selesai berbicara, dia langsung mengajukan pertanyaan yang mengganjal di hatinya.
“Tampaknya kau jelas sekali mengenai seluk-beluk tempat ini? Malah tidak pernah tersesat sekalipun.”
Dari sinar mata Kiau Hun terpancar kasih yang berkobar-kobar. Dia melirik Tan Ki sekilas dan tersenyum penuh rahasia. Tetapi dia belum memberikan jawaban. Perlahan- lahan dia melangkahkan kakinya dan dengan nyali yang besar masuk ke dalam gedung besar tersebut.
Hati Tan Ki sedang diliputi kecurigaan. Saat ini dia malah tidak mengikuti Kiau Hun, tetapi berdiri di depan dengan termangu-mangu. Dia terus merasa senyuman gadis itu tadi mengandung kemisteriusan yang tidak terkatakan. Mungkin juga menyimpan rencana yang keji. Kalau Kiau Hun memang murid Ciu Cang Po, mengapa dalam beberapa hari yang singkat saja ilmunya sudah melampui nenek tua itu? Hal ini benar-benar perlu direnungkan baik-baik. Selain itu pengetahuannya tentang seluk beluk Pek Hun Ceng juga jelas sekali. Memangnya siapa Oey Kang itu, mana mungkin dia membiarkan orang luar keluar masuk seenaknya menyelidiki tempat tinggalnya itu. Kalau dipikirkan kembali, seandainya dia mengkhawatirkan keselamatan bekas suhunya yang disandera orang, maka dia menyusul ke mari, dalam waktu yang demikian singkat, dia juga tidak mungkin berhasil menyelediki sampai sedemikian mendetail. Apalagi bukti sudah menyatakan bahwa dia sampai hati melukai Ciu Cang Po, berarti kedatangannya bukan karena nenek itu. Namun suatu masalah yang perlu dicari jawabannya…
Otaknya terus tidak habis pikir, semakin direnungkan, kemungkinannya semakin banyak. Hatinya juga makin curiga. Setelah berdiri dengan diam-diam sekian lama, dia
mendongakkan wajahnya memandang, tampak gedung itu dibangun dengan bentuk pat kua. Ibarat pagoda yang bersusun tinggi. Setingkat lebih mewah dari tingkat lainnya.
Jendelanya terbuat dari kaca. Namun semuanya tertutup rapat. Bagian yang paling dasar dikelilingi oleh rotan yang dijadikan sebagai pagar. Di balik rotan tersebut terdapat berbagai pot bunga yang ditanami tumbuhan yang indah. Se-juk dan segar rasanya. Di tengah-tengahnya terdapat lantai yang didasari batu kumala putih.
Hati Tan Ki terasa nyaman. Seakan-akan kegagahannya terbangkit karena mencium harum bunga tersebut. Oleh karena itu, dia menarik nafas dalam-dalam. Kakinya pun melangkah lebar-lebar dan berjalan terus ke dalam gedung. Diam-diam dia menghimpun tenaganya dan berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan.
Saat itu, matahari bersinar dengan terik. Tetapi rupanya cara pembuatan bangunan ini sangat istimewa. Baru saja dia melangkahkan kakinya ke bawah atap gedung dan berjalan masuk, dari dalam sudah terpancar hawa yang sejuk bahkan agak lembab sehingga tanpa sadar bulu kudukpun jadi merinding.
Begitu Tan Ki memusatkan perhatiannya, Kiau Hun sedang menempelkan telinganya ke dinding. Tangannya berulang kali mengetuk-ketuk. Setelah mendengarkan beberapa saat, dia berjalan maju beberapa langkah kemudian melakukan hal yang sama. Entah apa yang sedang dicarinya.
Tan Ki jadi tertegun. Perlahan-lahan dia berjalan menghampiri dan baru saja bermaksud mengajukan pertanyaan, tiba-tiba dia melihat wajah Kiau Hun kelam sekali.
“Coba kau perhatikan, di mana letak kejanggalan tempat ini?” tanyanya dengan suara lirih.
Sepasang mata Tan Ki segera mengedar memperhatikan dengan seksama. Dia hanya merasa bahwa ruangan itu tidak terlalu besar namun ukurannya juga tidak kecil. Hampir tidak berbeda dengan kamar di rumah-rumah lainnya. Tetapi di dalamnya justru kosong melompong. Hatinya sedang merasa heran, tiba-tiba dia mendengar suara ketukan Kiau Hun pada dinding agak berat dan dalam, tanpa dapat tertahan lagi, Tan Ki terkesiap.
“Jangan-jangan dinding ini dilapisi logam sejenis besi?” Kiau Hun tersenyum simpul.
“Kalau dibayangkan, si raja iblis Oey Kang itu, mana mungkin mempunyai tempat tinggal yang biasa seperti orang lainnya. Tembok di sekeliling ini bukan terlapis bahan besi, tetapi mempunyai jalan rahasia yang menembus ke tempat lain.”
Hati Tan Ki langsung tergetar.
“Sejak semula aku sudah mengatakan bahwa Pek Hun San-ceng ini penuh dengan jebakan dan di mana-mana terdapat alat rahasia…
Kiau Hun tampaknya tidak puas dengan ucapan ini. Wajahnya segera dipalingkan dan tertawa dingin.
“Sebuah gedung yang begini kecil, paling-paling hanya dipasangi beberapa permainan anak kecil. Apanya yang perlu diherankan?” tangannya terulur dan menekan pada celah dinding. Dengan kecepatan kilat dia langsung mencelat ke belakang.
Tampaknya gadis itu sendiri takut kalau dugaannya salah. Oleh karena itu dia menekan dinding itu lalu mencelat mundur. Tampaknya dia berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan. Meskipun perbuatannya merupakan hal yang biasa dilakukan oleh para tokoh Bulim, tetapi mengingat gadis itu tadinya hanya seorang pelayan yang tidak pernah menginjak dunia ramai dan tidak berpengalaman sama sekali, tetap saja terlihat janggal. Kecuali dia mendapat petunjuk dari seorang tokoh sakti, tidak mungkin dalam waktu tiga atau lima hari, pengetahuannya bisa bertambah luas dengan sendirinya.
Tiba-tiba terdengar suara berderak-derak yang memekakkan telinga. Sumbernya berasal dari bawah tanah. Dan dinding yang berlapis besi itu pun memperlihatkan sebuah lubang besar. Suara derakannya begitu keras. Seluruh gedung sampai bergetar dibuatnya. Seakan setiap waktu bisa ambruk ke bawah..
Kira-kira sepeminum teh kemudian, suara yang membuat jantung berdebar-debar itu pun mulai mereda. Lubang itupun sudah terbuka seluruhnya. Ukurannya cukup untuk tubuh seseorang menyelinap ke dalam.
Tan Ki melihat dinding itu memperlihatkan sebuah celah, tetapi tidak ada perkembangan apa-apa, hatinya yang tertekan jadi agak mengendur dan diapun menghembuskan nafas panjang. Tetapi celah yang terlihat di dalamnya gelap gulita. Entah seberapa dalam dan jauhnya. Dia mempertajam penglihatannya serta mengawasi dengan seksama. Namun yang dapat tertangkap oleh pandangannya hanya beberapa undakan batu yang menurun ke bawah. Tampaknya seperti sebuah tangga rahasia yang menuju ke bawah dan dapat menembus ke tempat lain.
Tanpa terasa mulutnya mengeluarkan suara keluhan.
“Tadi ketika hendak masuk ke mari, aku sudah memperhatikan pagoda bersegi delapan ini. Keseluruhannya bertingkat delapan. Tetapi cara membuat bangunan ini tampaknya sangat istimewa. Dekorasinya juga janggal. Pertama, tidak ada sebuahpun lukisan atau gambar yang tergantung pada dindingnya. Kedua, tidak ada perabotan satupun. Bahkan jendelapun tidak ada. Kecuali pintu masuk, yang lainnya merupakan dinding kokoh. Begitu rapatnya seolah angin pun tidak dapat menembusnya, juga tidak ada tangga yang dapat naik ke atas maupun turun ke bawah, kecuali ruang rahasia ini. Tapi kalau dibilang sarananya terletak di sini, undakan batu yang terlihat hanya menuju ke bawah. Bagaimana
orang bisa naik ke atas?”
Seperti bergumam seorang diri, dia mengoceh panjang lebar. Tetapi sebetulnya dia sedang memperingatkan Kiau Hun, bahwa tempat ini penuh dengan perangkap, alat rahasia dan dia tidak boleh bertindak ceroboh.
Pada dasarnya Kiau Hun juga seorang gadis yang cerdas, memangnya dia tidak mengerti isi hati yang terkandung dalam ucapan Tan Ki. Matanya menatap pemuda itu dengan perasaan sayang. Bibirnya tersenyum lembut.
“Aku juga tahu kalau bangunan ini telah dipasang berbagai perangkap dan tidak boleh dianggap ringan. Tetapi sebelum aku datang ke mari, aku telah mendapat beberapa
petunjuk dari seorang Cianpwe. Meskipun penuh bahaya, tetapi aku sudah mempunyai pegangan untuk meloloskan diri di saat genting.”
“Apakah ada seseorang yang melindungimu secara diam-diam?” tanya Tan Ki.
Tampaknya Kiau Hun tidak bersedia mengemukakan identitas orang itu. Bibirnya hanya tersenyum sedikit dan sengaja mengalihkan pokok pembicaraan.
“Yang penting, kau harus mengikuti di belakangku dan tidak boleh sembarangan berkeliaran. Biar menghadapi urusan yang bagaimana gawatnya, kau harus tenang. Aku jamin tidak akan terjadi apa-apa.”
Meskipun ucapannya dicetuskan dengan santai, tetapi di dalamnya terkandung rasa percaya diri dan keangkuhan yang dalam. Seperti menunjukkan, bahwa meskipun dunia ini luas sekali, tetapi hanya ada aku seorang yang paling hebat.
Tepat pada saat itu, keadaan di depan pintu masuk menjadi remang- remang seperti tertutup bayangan seseorang. Hati Kiau Hun terkejut sekali. Dia sadar telah kedatangan seorang musuh. Oleh karena itu dia segera memperdengarkan suara tawa yang dingin. Lengannya bergerak dan tiga macam senjata rahasia dilontarkan sekaligus.
Ilmu silat Kiau Hun sudah mencapai tahap di mana mendengar suara angin saja dia sudah dapat menentukan arah. Meskipun dia tidak menolehkan kepalanya, namun senjata rahasia yang dilontarkan mempunyai daya lempar yang tepat. Kelebatannya membawa kilasan cahaya yang dingin, kecepatannya bagai kilat, bahkan timbul segulungan suara suitan yang lirih.
Tan Ki melihat lengan Kiau Hun bergerak dan melemparkan senjata rahasia. Kecepatan gerakannya hanya berlangsung dalam sekedi-pan mata. Diam-diam dia membayangkan, serangan yang mendadak ini apabila ditujukan kepadanya, mungkin dia tidak sempat lagi menghindar.
Ketika masih merenungkan kepandaian gadis itu, tiba-tiba telinganya menangkap suara tawa yang panjang. Ketiga senjata rahasia tadi seakan tenggelam ke dasar lautan, tidak terdengar suara sedikitpun.
Kiau Hun menjungkitkan sepasang alisnya ke atas. Mulutnya tertawa dingin. “Gerakan saudara yang menggunakan jurus Po Hong Cut-hun (Menambal Angin
Menangkal Bayangan) ternyata boleh juga!”
Orang itu tertawa terbahak-bahak.
“Terima kasih, terima kasih. Sambitan ketiga jarum perak ini juga kuat sekali!”
Kata-kata yang diucapkannya sebagai sindiran membuat hati Kiau Hun jengkel setengah mati. Wajahnya yang cantik sampai memutih. Begitu mata memandang, dia melihat usia lawannya paling banter dua puluh tahunan. Dia mengenakan jubah berwarna putih, alisnya bagus, hidungnya mancung. Penampilannya gagah. Ketampanan maupun gayanya tidak kalah dengan Tan Ki. Tanpa dapat ditahan lagi, dia jadi memandangnya dengan termangu-mangu.
Meskipun dia tidak mengenal orang ini, tetapi Tan Ki sendiri sudah mengenalinya. Anak muda itu tidak lain adalah putra angkat Oey Kang yang menyebut dirinya sendiri Pendekar Baju Putih Oey Ku Kiong. Dia segera maju dua langkah dan bermaksud mengucapkan terima kasih atas pemberian obatnya, tiba-tiba anak muda itu telah mendahuluinya.
“Ayah menunggu di ruangan pendopo, harap mendapat kunjungan dari Saudara berdua.”
“Bagaimana kau bisa tahu bahwa kami telah masuk ke dalam bangunan ini?” tanya Tan
Ki.
“Kalau menilik dari ucapanmu, tampaknya kau menganggap Pek Hun Ceng sebagai
tempat umum yang orang-orang bisa keluar masuk seenak perutnya sendiri.” sahut pemuda itu.
Tanpa menunggu jawaban dari kedua orang tersebut, dia langsung membalikkan tubuhnya dan berjalan keluar.
Tan Ki memandangi bayangan tubuh orang itu yang kekar dan menyiratkan keangkuhan.
‘Tampaknya orang ini mempunyai watak yang terbuka, tetapi kemarahan dan kegembiraan cepat sekali berubah-ubah. Benar-benar membuat orang sulit mendekatinya…’
Oey Ku Kiong seakan sengaja ingin menjajal kedua orang itu. Begitu mereka menyusul di belakangnya, setelah jarak diantara mereka kurang lebih empat lima mistar, tiba-tiba dia menghimpun hawa murninya dan melesat ke depan.
‘Bagus, rupanya kau hendak menjajal ilmu ginkang kami!’ maki Kiau Hun dalam hati.
Gadis itu segera menarik nafas dalam-dalam dan menambah kecepatannya. Tubuhnya berkelebat bagai kilat yang menyambar. Dia terus mengejar di belakang pemuda tersebut. Angin yang berhembus membuat perhiasan di seluruh tubuhnya memperdengarkan suara gemirincingan yang tidak putus-putus.
Di bawah sorotan cahaya matahari, tampak tiga sosok bayangan yang membentuk titik hitam seakan melayang di udara. Kecepatannya bagai hembusan angin yang meniup kumpulan asap. Baru terlihat sudah membuyar. Diiringi dengan suara kerincingan yang timbul dari perhiasan di tubuh Kiau Hun, bak irama di pulau dewata.
Setelah melintasi tiga buah halaman, Oey Ku Kiong juga tidak dapat menarik dirinya lebih jauh. Sedangkan Kiau Hun dan Tan Ki juga tidak sanggup lebih mendekat.
Tampaknya ilmu ginkang ketiga orang itu memang hampir seimbang.
Tiba-tiba terdengar Oey Ku Kiong mengeluarkan suara siulan yang panjang. Lengannya merentang, tubuhnya mencelat dan tahu-tahu sudah berada di tengah udara. Dengan gerakan yang indah dia mencelat ke atas tembok pekarangan kemudian menghilang dari pandangan.
Tampaknya tanpa berpikir panjang lagi Kiau Hun juga ikut mencelat ke atas tembok. Kemudian terlihat dia menggapaikan tangannya ke arah Tan Ki lalu meloncat ke bawah.
Tan Ki takut di balik tembok itu terdapat perangkap. Dia menghimpun hawa murninya kemudian mencelat ke atas tembok, dia mengedarkan pandangannya sejenak, baru kemudian meloncat turun. Dia mendarat tepat di samping Kiau Hun. Begitu mata memandang, Oey Ku Kiong sendiri lenyap entah ke mana. Halaman berhias rumput kosong melompong. Di sana hanya terdapat mereka berdua.
Mata Kiau Hun yang indah mengedar ke sekeliling. Dia memperhatikan keadaan di se- kitarnya. Kemudian terlihat jari telunjuknya menuding.
“Coba lihat, apa itu?”
Tan Ki mengalihkan pandangannya ke arah yang ditunjuk Kiau Hun. Dia melihat rumpun bambu yang tersusun rapi membentuk pagar sebuah pondok. Hatinya jadi tergerak.
“Pemuda tadi membawa kita ke tempat ini. Mungkin itulah pendopo yang dimaksud oleh-nya.”
Tepat pada saat itu, kebetulan angin berhembus dari arah Kiau Hun ke tempat dirinya berdiri. Jarak diantara mereka sangat dekat. Ketika Tan Ki sedang berbicara, hidungnya dapat mengendus segulungan bau harum yang terpancar dari tubuh seorang gadis. Bau harum itu samar sekali, namun sanggup membuat perasaan Tan Ki menjadi aneh. Dia bagai terlena untuk beberapa saat. Seakan sedang menikmati suasana itu.
Justru ketika dia sedang terbuai, tidak terdengar olehnya sahutan Kiau Hun. Rupanya gadis itu telah melangkah maju setindak demi setindak.
Tan Ki melihat dia berjalan menuju pondok tersebut, dia juga tidak enak berkata apa- apa lagi. Kakinya bergerak, tidak cepat dan tidak lambat, namun dengan tenang dan jarak yang tetap, dia mengikutinya dari belakang.
Tampak wajah Kiau Hun memperlihatkan mimik yang aneh. Seperti ada suatu masalah rumit di dalam hatinya. Sepasang alisnya berkerut-kerut. Jalannya seperti merayap. Jarak dari tempat mereka ke pondokan itu hanya sekitar dua belas depaan. Dia malah memerlukan waktu yang cukup lama untuk mencapainya.
Di dalam hati Kiau Hun ada persoalan, dia sendiri malah tidak merasa bagaimana.
Justru Tan Ki melihat tampangnya yang termangu-mangu, tiba-tiba merasa tidak tenang. Diam-diam dia menghimpun tenaga dalamnya dan berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan. Matanya segera beralih, dia melihat pintu rumah pondok itu tertutup rapat. Tidak dapat diketahui keadaan di dalamnya. Delapan orang gadis yang cantik jelita dengan pinggang masing-masing terselip sebilah pedang pendek. Mereka terbagi menjadi dua kelompok yang menjaga di kiri kanan pintu pendopo tersebut. Penampilan mereka keren, mereka tidak bergerak sedikitpun. Mungkin mereka bertugas sebagai penyambut tamu Oey Kang.
Ketika kedua orang itu sudah dekat, kedelapan orang gadis itu segera membungkukkan tubuhnya dengan penuh hormat. Tangannya direntangkan sebagai tanda mempersilahkan. Gerakannya kompak tidak ada yang salah sedikitpun.
Pada saat itu, Tan Ki baru sempat melihat, meskipun usia gadis-gadis itu baru sekitar dua puluh tiga atau dua puluh empat tahunan, tetapi mata mereka masing-masing menyorotkan sinar yang tajam menusuk.
‘Sinar mata mereka begitu tajam. Tampaknya tenaga dalam perempuan-perempuan ini tidak lemah juga. Apabila kita sudah terlanjur masuk ke dalam dan mereka menutupi depan pintu, pada saat itu, apabila ingin meloloskan diri juga sulitnya bukan main. Lebih baik tingkatkan kewaspadaan.’ pikirnya dalam hati.
Dengan membawa pikiran seperti itu, cepat-cepat dia menjawil ujung lengan Kiau Hun.
Tiba-tiba terdengar gadis itu tertawa lepas.
“Aku kira biasanya dia menerima tamu di Bagian paling bawah pagoda bertingkat delapan itu. Mengapa waktu kita pergi, bayangan hantupun tidak kelihatan. Rupanya tempat itu kurang sesuai. Di sini lebih leluasa untuk merencanakan berbagai jebakan.”
Mendengar Kiau Hun seperti berguman seorang diri, diam-diam hati Tan Ki jadi tergetar. Tadinya dia curiga, Kiau Hun sudah diterima sebagai murid oleh Oey Kang dalam beberapa hari ini, kemudian dia berpura-pura memainkan sandiwara dan memancing dirinya dengan berbagai cara. Maksudnya ingin menyelidiki gerak-gerik yang akan dilakukan oleh golongan putih dalam menghadapi Oey Kang. Tetapi mendengar nada suaranya yang mengandung rasa permusuhan. Diam-diam dia memaki dirinya sendiri yang terlalu banyak curiga. Perlahan-lahan dia menepuk batok kepalanya sendiri. Rasa curiga dalam hatipun lenyap dalam seketika.
Dalam waktu yang singkat itu, keduanya memikirkan persoalan masing-masing. Siapa pun tidak menyadari bahwa mimik wajah rekannya agak janggal. Sekejap mata kemudian, keduanya sudah sampai di depan pintu pendopo tersebut.
Pintu pendopo ini juga digerakkan dengan alat mereka. Ada orang yang menekannya secara diam-diam. Ketika mereka baru menginjak di depannya, otomatis kedua belah pintu pun bergeser kedua arah.
Di depan mata mereka tiba-tiba terlihat cahaya yang menyilaukan mata. Cahaya api berkibar-kibar. Rupanya ruangan di dalam itu agak gelap. Meskipun belum mencapai tengah hari namun di dalamnya terpasang lilin-lilin dalam jumlah yang banyak. Puluhan meja tersusun rapi. Semuanya hampir dipenuhi tokoh-tokoh Bulim. Meskipun jumlah orangnya cukup banyak, tetapi di wajah setiap orang tersirat hawa pembunuhan yang tebal. Semuanya membungkam seribu bahasa. Begitu mencekamnya suasana di dalam, mungkin sebatang jarum yang terjatuh di atas lantaipun dapat terdengar dengan jelas.
Tan Ki dan Kiau Hun saling pandang sejenak, kemudian bibir mereka mengembangkan seulas senyuman, perlahan-lahan mereka melangkah masuk. Tetapi senyuman yang terlihat di bibir Tan Ki seakan dipaksakan. Seakan membalas senyuman yang dikembangkan oleh Kiau Hun.
Usia mereka hampir sebaya. Langkah kaki mereka tidak menimbulkan suara sedikitpun.
Yang satu tampan dan gagah, wajahnya tenang. Sedangkan yang satunya lagi, cantik namun mengandung kesan agak binal. Tanpa terasa, kehadiran kedua orang itu membangkitkan perhatian para hadirin. Puluhan pasang mata terpusat pada diri kedua orang itu. Wajah mereka memperlihatkan rasa terkejut. Seakan kehadiran mereka yang
tiba-tiba itu benar-benar di luar dugaan mereka semua. Mereka juga merasa kagum melihat gerakan keduanya yang begitu ringan.
Dalam beberapa hari yang singkat, Kiau Hun dari seorang pelayan tiba-tiba menjadi tokoh kelas tinggi dunia Bulim. Pengetahuannya pun menjadi luas. Di dalam hal ini, meskipun disebabkan oleh penemuan yang langka seperti yang diakuinya sendiri, namun tidak ada seorangpun yang tahu sampai di mana sebetulnya ketinggian ilmu silat gadis itu sekarang. Jangan cuma dilihat bibirnya terus mengembangkan senyuman, dan lagaknya lemah gemulai, tapi sebetulnya dia juga sedang memperhatikan orang-orang yang ada di dalam ruangan tersebut.
Matanya tajam sekali, satu per satu orang yang hadir di dalam ruangan diperhatikannya dengan seksama. Dia sudah melihat bahwa sebuah meja yang terdapat di tengah-tengah ruangan duduk seorang laki-laki setengah baya. Usianya kurang lebih empat puluhan ke atas. Wajahnya putih bersih. Tidak memelihara kumis maupun jenggot. Kepalanya diikat dengan sebuah pita. Pada meja sampingnya, duduk Liu Seng, Kok Hua-hong, Yi Siu dan Cu Mei. Dia segera menunjukkan senyum yang lebar. Setelah mengitari tiga buah meja, dia sampai di belakang Liu Seng. Dengan santai dia mengulurkan tangannya dan menyentuh pundak orang itu.
“Loya Cu, apakah kau masih mengenali aku?” tanyanya sambil mengembangkan seulas senyuman.
Mata Liu Seng langsung mendelik lebar-lebar.
“Lepaskan tanganmu. Di hadapan orang banyak, tidak boleh berlaku kurang ajar.”
Kiau Hun tampaknya memang sengaja ingin mencari gara-gara. Dia memalingkan wajahnya sambil tertawa dingin.
“Aku bukan lagi budak keluarga Lu. Loya Cu juga tidak perlu menasehati aku.” perlahan-lahan dia mengangkat tangannya ke atas dan mengambil sesuatu dari mahkota
di kepalanya. Setelah itu dia melanjutkan lagi kata-katanya yang terhenti. “Tusuk konde ini terbuat dari emas murni. Meskipun harganya tidak seberapa, tapi rasanya cukup untuk menebus kebebasanku.”
Dia meletakkan tusuk konde berbentuk burung hong itu di atas meja, kemudian terdengar suara tawanya yang terkekeh-kekeh. Tanpa menunggu jawaban dari Liu Seng, dia segera menarik tangan Tan Ki dan mengajaknya ke tempat Oey Kang duduk.
Karena putrinya diculik orang, hati Liu Seng sedang gelisah bukan main. Meskipun dia berhasil menemui Oey Kang untuk membahas masalah ini, tetapi rasanya sulit diselesaikan tanpa gerakan ujung pedang. Suasana dalam ruangan itu seakan dipenuhi bahan peledak. Hal ini membuat perasaan mereka menjadi tidak tenang. Siapa sangka malah muncul seorang Kiau Hun yang seakan sengaja mengolok-oloknya di hadapan orang banyak.
Untuk sesaat dia merasa hawa amarah dalam dadanya meluap-luap. Tapi bagaimana pun Liu Seng adalah tokoh angkatan tua yang namanya sudah menggetarkan dunia persilatan. Dia merasa malu berdebat dengan seorang gadis. Oleh karena itu, terpaksa dia menelan dalam-dalam kejengkelan hatinya dan hanya mendengus dingin satu kali.
Kiau Hun berjalan menghampiri Oey Kang, tampaknya di sini dia juga bermaksud mencari perkara. Dia tidak menyapanya sama sekali. Dengan tenang dia duduk di Bagian
bawah Oey Kang. Dia menghentakkan tangannya dan menarik Tan Ki dengan setengah memaksa untuk duduk di sampingnya.
Perlu diketahui, peradatan di zaman itu sangat kolot. Diantara laki-laki dan perempuan mempunyai batas yang tidak boleh dilanggar. Kedudukan kaum pria selalu dianggap lebih tinggi, tidak seperti zaman emansipasi sekarang ini. Kiau Hun adalah seorang gadis yang sudah dewasa. Sebetulnya Oey Kang bisa menurunkan perintah secepatnya dan mempersilahkan dia duduk di tempat yang lain. Apalagi di sana masih ada beberapa tempat duduk yang kosong.
Tetapi Kiau Hun sudah menghampiri dengan gaya bebas dan duduk di dekatnya. Sama sekali tidak memperdulikan peradatan yang kukuh di zaman itu. Seperti perbuatannya tadi yang menepuk pundak bekas majikannya. Itu saja sudah kelewatan. Sekarang di depan umum dia menarik seorang pemuda dengan terang-terangan dan mengajaknya duduk bersama. Hal ini bukan saja menimbulkan perhatian yang besar dari para hadirin.
Perasaan mereka pun terkejut sekali melihat keberaniannya.
Mendapat perhatian dari para hadirin, entah mengapa di dalam hati Tan Ki timbul semacam perasaan yang tidak enak. Perlahan-lahan dia mendongakkan wajahnya melirik sekilas ke arah Kiau Hun. Mata gadis itu memandang ke arah lain. Seakan tidak perduli pandangan orang-orang terhadap dirinya. Sinar matanya berbinar-binar, sebentar- sebentar dia mengerling ke arah makanan serta hidangan yang tersedia di atas meja.
Seakan dia berselera sekali. Tangannya segera menyambar sepasang sumpit. Dengan santai dia mencomot sepotong ayam panggang dan di-endus-endusnya di depan hidung.
“Harum sekali, harum sekali!”
Gerak-geriknya maupun tingkah lakunya terlalu dibuat-buat. Sehingga ada beberapa orang yang mengeluarkan suara tawa yang mengandung ejekan. Meskipun Oey Kang bertindak sebagai tuan rumah, namun dia menatap dengan pandangan datar. Wajahnya tidak menunjukkan perasaan apa-apa. Dia berusaha setenang mungkin.
Terdengar suara dengusan dari hidung Kiau Hun. Sepasang alisnya berkerut. Ujung bibirnya tertawa dingin.
“Meskipun daging ini memang harum sekali, tetapi takutnya mengandung racun. Kalau karena kerakusan sesaat, malah diracuni orang sampai mati, maka kejadian ini merupakan kejadian yang paling mengenaskan yang pernah kutemui.” tenaga dalamnya segera disalurkan. Sembari berbicara, tangannya yang menggenggam sepasang sumpit bergerak perlahan. Potongan ayam panggang tadipun mencelat ke tengah udara kemudian melesat keluar sampai sejarak tujuh langkah dan menancap di tubuh sebatang pohon.
Terdengar suara desiran yang lirih. Batang pohon itu pasti sangat keras, tetapi potongan ayam panggang yang lembut itu dapat menancap ke dalamnya sehingga amblas!
Kekuatan tenaga dalamnya sudah mencapai tingkat yang tinggi sekali. Hal ini membuat para hadirin yang melihatnya menjadi terpana. Wajah mereka berubah hebat. Sampai Oey Kang sendiri juga terkejut bukan kepalang. Dua gurat alis yang menjuntai ke bawah tampak bergerak-gerak. Wajahnya agak berubah, namun dalam sekejap mata sudah pulih seperti sedia kala.
Bibirnya malah menyunggingkan seulas senyuman.
“Entah dari pegunungan terkenal yang mana Nona ini berasal? Harap maafkan pandangan orang she Oey yang dangkal sehingga tidak mengenali dalam sesaat.” sapanya ramah.
Kiau Hun tertawa lebar.
“Aku datang dari asalku.” sahut gadis itu seenaknya. Oey Kang tersenyum lembut.
“Nona ini sungguh lucu. Orang she Oey ini meskipun tidak becus, juga tidak berani berlaku kurang ajar pada kelima partai besar apalagi dengan menyebarkan racun.” orang ini memang tidak malu disebut sebagai raja iblis nomor satu di zaman ini. Hatinya licik, pengalamannya luas. Meskipun kebencian dalam dadanya berkobar-kobar, tetapi penampilannya masih tenang, cara bicaranya pun santai dan wajar.
Kiau Hun mencibirkan bibirnya dan tersenyum mengejek. Baru saja dia ingin mengucapkan sesuatu, tampak Liu Seng bangkit dari tempat duduknya dan menjura dalam-dalam.
“Tadi Oey Cengcu telah mengabulkan untuk melepaskan putriku. Entah bagaimana ke- lanjutannya sekarang?” tanya orang itu dengan suara lantang.
Oey Kang merenung sejenak.
“Tanpa memperdulikan perjalanan yang jauh, Liu heng datang untuk menolong putrimu. Kasih sayang yang besar ini sungguh membuat orang kagum. Kalau orang she Oey tidak menuruti permintaan yang kau ajukan, tampaknya seperti orang yang tidak punya rasa kemanusiaan sama sekali. Kalian hampir tidak pernah mengunjungi rumahku yang jelek ini, tetapi sekali datang sampai berbondong-bondong, benar-benar merupakan kebanggaan orang she Oey. Pepatah kuno me-ngatakan: ‘Penghormatan harus dibalas dengan baik! Sebelum berpisah, sebagai tuan rumah yang baik, orang she Oey harus memberikan kenangan yang manis untuk kalian semua.” selesai berkata, dia segera berdiri dan menjura tiga kali berturut-turut.
Meskipun kata-katanya sangat masuk di akal dan seakan mengandung ketulusan yang dalam, namun para tokoh yang datang hari ini merupakan orang yang rata-rata sudah mempunyai nama besar di dunia Kangouw. Pengalaman mereka sangat luas. Mana mungkin mereka tidak mengerti kalau ucapan Oey Kang tadi mengandung makna yang dalam. Setelah mendengar kata-katanya, wajah mereka satu per satu menjadi berubah. Tanpa dapat ditahan lagi, mereka segera menegakkan badannya. Wajah masing-masing menunjukkan semacam ketegangan yang tidak teruraikan dengan kata-kata.
Kiau Hun malah memalingkan wajahnya dan mengerling Tan Ki berulang kali. Bibirnya terus mengembangkan senyuman. Sebelum masuk ke dalam Pek Hun Ceng ini dia sudah merencanakan apa yang akan dilakukannya. Tampaknya dia mempunyai keyakinan diri yang dalam. Biar menghadapi bahaya yang bagaimanapun, dia masih bisa meloloskan diri. Oleh karena itu, menghadapi suasana yang tegang seperti saat itu, dia tidak ambil perduli sama sekali. Wajahnya tidak menyiratkan perasaan gentar sedikitpun.
Sebaliknya, hati Tan Ki semakin lama semakin tidak tenang. Dia bagai duduk di atas puluhan jarum. Ingin rasanya cepat-cepat meninggalkan tempat tersebut dan semakin jauh semakin baik.
Dia takut Oey Kang akan membongkar rahasia dirinya. Apabila orang-orang yang hadir dalam ruangan ini tahu bahwa dialah Cian bin mo-ong yang telah menggemparkan dunia Kangouw selama setengah tahun ini, bagaimana akibatnya, dia sendiri tidak berani membayangkan.
Untuk sesaat berbagai macam pikiran melintas di benaknya. Semakin dipikir semakin menakutkan. Dia benar-benar tidak berani berpikir lebih jauh, tetapi situasi yang dihadapinya saat ini, membuat Tan Ki mau tidak mau memikirkan dari segi buruknya dulu.
Justru ketika hatinya semakin tidak tenang, tiba-tiba telinganya mendengar suara irama musik yang mengalun-alun. Hatinya jadi tergetar. Perasaannya menjadi tegang. Mendadak dia merasa irama musik itu seperti mengiringi jantungnya yang berdegup kencang. Seakan hari cerah sebelum badai topan melanda.
Pendengarannya dipertajam, dia merasa irama musik itu lembut sekali. Seperti jauh tetapi dekat. Membuat orang bingung menentukan dari mana asal alunan irama tersebut. Dalam waktu yang singkat, udara seperti terasa pengap. Suasana di dalam ruangan bagai diselimuti ketegangan yang tidak terkirakan.
Ketika irama musik itu baru terdengar, wajah para hadirin bagai diselimuti keangkeran serta keseriusan yang aneh. Mata mereka serentak beralih ke arah musuh tangguh yang ada di hadapan mereka. Mereka memandang dengan mata terbelalak dan mulut membungkam.
Irama musik itu terus mengalun. Kurang lebih sepeminum teh kemudian, dua pintu sebelah dalam perlahan-lahan terbuka. Seorang gadis yang cantik jelita berjalan keluar.
Begitu dia melangkah masuk, serentak pandangan mata para hadirin langsung beralih.
Dalam waktu yang bersamaan, mata mereka terbelalak, hati mereka berdebar-debar. Mereka melihat wajah gadis itu begitu rupawan. ‘Alisnya berbentuk indah. Di balik kecantikannya terselip kesucian dan keanggunan yang sulit diuraikan dengan kata-kata. Seakan seluruh syair indah yang terdapat dalam dunia ini tergabung dalam dirinya. Tetapi yang lebih mengejutkan, adalah tubuhnya yang tidak di-tutupi oleh selembar benangpun. Hanya tangannya yang mengibarkan sehelai selendang yang tipis dan pada dasarnya tidak berarti sama sekali.
Benar-benar merupakan sebuah pemandangan erotis yang di luar dugaan semua orang. Pemandangan ini juga membawa daya pikat serta rangsangan yang sulit diuraikan dengan kata-kata. Meskipun orang-orang yang hadir dalam ruangan itu rata sudah berusia setengah baya, namun tanpa dapat ditahan lagi, mereka juga memandang dengan terpana dan hati tegang.
Sinar mata Tan Ki bertemu pandang dengan tatapan gadis yang telanjang itu. Selembar wajahnya yang tampan jadi merah padam seketika. Cepat-cepat dia memalingkan wajahnya dan tidak berani melihat lagi.
Rupanya gadis ini bukan orang lain. Dia adalah gadis yang selama ini dirindukan oleh Tan Ki. Liu Mei Ling. Juga merupakan putri kesayangan Bu Ti Sin-kiam Liu Seng.
SeBagian besar dari orang-orang yang hadir juga mengenalnya. Sampai Kiau Hun juga me-ngeluarkan suara seruan terkejut. Kemudian terlihat bibirnya bergerak-gerak seakan sedang bergumam seorang diri.
“Kenapa Siocia bisa berubah menjadi seperti ini? Aneh!” hubungannya dengan Mei Ling sudah seperti saudara sendiri. Tetapi karena selama ini dia sudah terbiasa memanggilnya dengan sebutan ‘Siocia’, meskipun sekarang dia bukan lagi pelayan dalam keluarga Liu, namun kebiasaan itu sudah sulit dirubah.
Begitu selesai mengucapkan kata-kata itu, wajahnya sendiri jadi merah jengah. Dia menarik nafas panjang-panjang kemudian menundukkan kepalanya.
Tiba-tiba terdengar suara gebrakan meja yang keras. Sesosok tubuh berkelebat dan meraung marah…
Rupanya Liu Seng baru melihat bahwa anak gadis yang sedang menari dengan tubuh telanjang, dia segera sadar bahwa di balik semua ini pasti ada sesuatu yang tidak wajar. Tetapi hawa amarah dalam dadanya sudah terlanjur meluap. Tanpa berpikir panjang lagi, dia menggebrak meja sekeras-kerasnya sambil meraung murka dan menerjang ke depan.
Justru dalam waktu yang bersamaan, tiba-tiba terdengar suara kliningan yang tidak putus-putus disusul dengan serangkum bau harum yang tebal menerpa hidung. Dua belas orang gadis yang juga tidak memakai selembar benangpun masuk ke dalam ruangan untuk menyanyi sambil menari.
Tangan dan kaki mereka semuanya dipasangi kliningan yang bunyinya terus terdengar. Tampaknya kedua belas gadis itu sudah mendapat latihan yang profesional. Gerakannya amat teratur, barisan mereka terlihat rapi. Dalam sekejap mata mereka sudah mengelilingi Mei Ling, bagai dayang-dayang yang mengelilingi putri raja. Tubuh Mei Ling diangkat beramai-ramai, namun dendang lagu maupun tarian tidak terhenti sama sekali. Gerakan mereka semakin erotis.
Tadinya Liu Seng ingin maju dan menghibur hati putrinya. Tetapi kemunculan gadis- gadis lainnya terlalu mendadak. Dalam sekejap mata tahu-tahu mereka sudah di depan mata. Dengan panik dia mengempos nafasnya serta menahan dirinya yang sedang menerjang ke depan. Begitu perhatiannya dipusatkan, dia melihat gadis-gadis bugil itu sudah mengerumuninya dari kiri kanan. Tetapi dia tidak dapat melihat dengan jelas wajah mereka. Hatinya jadi terkejut sekali.
Tarian mereka cepat sekali, pikirnya diam-diam.
Rupanya, baru saja langkah kaki Liu Seng berhenti, tahu-tahu dirinya telah dikelilingi dua belas orang gadis. Tepat pada saat itu juga, dia mencium aroma harum yang agak aneh. Bau itu membuat orang terlena sedemikian rupa, seolah-olah tubuh gadis itu memancarkan bau harum yang berbeda-beda yang terpancar seiring dengan gerakan tubuh mereka sewaktu menari-nari.
Orang yang menciumnya seperti terlena bahkan terselip sedikit rasa iba di hati. Pikiranpun tidak dapat dipusatkan dengan baik, seluruh hawa amarah yang tadinya berkobar-kobar di dada lenyap entah ke mana.
Tapi, biar bagaimanapun Liu Seng adalah seorang tokoh tua yang sudah banyak pengalaman. Melihat gadis-gadis bugil yang mengelilinginya dari depan belakang bahkan kiri kanan, dia segera menyadari bahwa keadaan tersebut tidak wajar. Bau harum yang terpancar dari tubuh para gadis ini begitu tajam menusuk, sanggup membuat perasaan orang menjadi lengah dan sulit menggunakan akal sehat. Dengan demikian, rasa permusuhan di dalam hati pun jadi hilang. Apabila mereka menggunakan kesempatan ini untuk…
Pikiran itu bagai sambaran kilat yang melintas di benaknya. Tanpa terasa hawa amarahnya jadi meluap-luap. Dia mendongakkan wajahnya serta menarik nafas dalam- dalam. Mulutnya mengeluarkan raungan sekeras-kerasnya. Dia mengangkat tangannya ke atas dan tiba-tiba dia mencengkeram ke arah gadis yang terdekat dengannya.
Serangan itu dilancarkan dalam keadaan gusar. Tenaga yang terpancar demikian kuat sampai menimbulkan suara seperti suitan panjang. Siapa sangka, menghadapi serangannya yang begitu hebat, gadis itu seakan tidak memandang sebelah mata. Dia masih terus mendendangkan lagu serta menari-nari. Tampaknya dia tidak perduli sama sekali.
Cengkeraman Liu Seng begitu tajam bagai sebilah pedang. Sejenak lagi dada gadis itu pasti tercengkeram olehnya. Melihat gadis itu tetap tidak perduli, hati Liu Seng jadi tidak tega.
Aku dengan dia tidak ada permusuhan apapun, mengapa aku harus membunuhnya?
Kata laki-laki itu dalam hati.
Biar bagaimanapun Liu Seng adalah seorang pendekar yang mulia. Begitu pikirannya tergerak, tanpa sadar dia menarik kembali tenaga dalamnya beberapa Bagian. Tepat pada saat itu juga, tiba-tiba langkah gadis itu bergeser, dengan perlahan-lahan tubuhnya berputar. Dengan demikian, cengkeraman tangan Liu Seng pun luput dari sasarannya.
Liu Seng jadi tertegun. Cengkeramannya mengandung kecepatan dan gerakan yang aneh. Meskipun di tengah jalan dia sempat menarik kembali beberapa Bagian tenaga dalamnya, namun jurus yang dilancarkan tetap hebat. Tubuh gadis itu berputar seakan merupakan gerakan dari tariannya, tahu-tahu dia sudah berhasil menghindarkan diri dari cengkeraman tokoh tersebut.
Hati Liu Seng hampir tidak percaya dengan penglihatannya. Cengkeramannya segera ber-ubah menjadi tepukan dan diarahkannya kepada gadis yang ada di sebelah kiri.
Tampak tubuh yang putih mulus itu berkelebat, bau harum kembali menerpa hidung Liu Seng. Entah bagaimana, tahu-tahu serangannya yang kali ini luput pula. Akhirnya hawa amarah dalam dada laki-laki itu jadi meluap. Mulutnya mengeluarkan suara raungan yang keras. Seluruh tenaga dalamnya dikerahkan dan dia langsung melancarkan dua buah pukulan.
Angin yang timbul dari pukulannya terpancar keluar, terdengar suara yang menderu- deru. Kehebatannya tak perlu dikatakan lagi. Tetapi kedua rangkum tenaga yang terpancar dari pukulannya bagai tenggelam ke dasar lautan. Yang dihantamnya justru tempat kosong. Tenaga dalam yang hebat itu tidak sempat menyentuh apapun.
Rupanya gerak lagu dan tarian yang dilakukan para gadis itu merupakan semacam ilmu silat yang aneh. Di dalamnya terkandung kehebatan yang luar biasa. Dalam tiap gerakannya terselip perubahan yang tidak terduga-duga. Sekalipun Liu Seng sudah berusaha menyerang dengan gencar, justru sembari bernyanyi dan menari, tahu-tahu semua serangannya dapat dihindarkan dengan mudah.
Liu Seng sudah terjun ke dalam dunia Kangouw sejak tiga puluhan tahun yang lalu.
Baik barisan besar maupun keroyokan musuh atau keadaan yang bagaimana bahayapun sudah pernah ditemuinya. Tetapi dia justru belum pernah mengalami kejadian yang begitu aneh seperti sekarang ini. Untuk sesaat, hatinya menjadi terkejut juga takut. Di mimik wajahnya tersirat perasaannya yang penasaran. Tanpa sadar dia memandang para gadis itu dengan termangu-mangu.
Tampak para gadis itu bergerak dengan lemah gemulai, mereka menerobos ke mari palu menyelinap ke sebelah sana. Kadang-kadang kaki mereka terangkat ke atas, kadang- kadang tubuh mereka membungkuk ke permukaan lantai. Gayanya sungguh indah namun erotis sekali. Suasana di dalam ruangan itu ibarat ajang pembangkit birahi. Orang-orang yang hadir ada beberapa yang mema-lingkan wajahnya tidak berani melihat. Sedangkan seBagian diantara mereka masih tetap memandang, namun wajah mereka sudah berubah merah padam dan hati mereka terasa berdebar-debar. Cepat- cepat mereka mengerahkan tenaga dalam dan mempertahankan diri sekuat kemampuan.
Suasana semakin tegang. Di balik nyanyian dan tarian tersebut terselip bahaya yang mengintai. Setiap waktu dan setiap saat dapat terjadi bencana yang mengerikan.
Tiba-tiba terdengar Kiau Hun mendengus dingin.
“Sungguh barisan pemikat sukma yang hebat!” sejak awal hingga akhir, matanya tidak dialihkan dari wajah Mei Ling. Mula-mula dia juga memandang dengan terkesima, sehingga wajahnya merah padam dan hatinya berdegup dengan keras. Tetapi dia masih sanggup mem-pertahankan ketenangannya sehingga tidak seberapa terpengaruh.
Setelah memperhatikan sejenak, tiba-tiba dia merasa bahwa arena yang dijadikan ajang nyanyian dan tarian para gadis itu sebetulnya cukup luas. Setelah Liu Seng terperangkap dalam barisan tersebut, gerakan kaki mereka menjadi agak kacau. Tetapi apabila laki-laki itu ingin bergerak satu langkah saja, rasanya tidak ada tempat lagi untuk berpijak. Setelah berhasil melihat keadaan itu, tanpa sadar dia mengeluarkan seruan terkejut, tetapi mimik wajahnya masih tetap tenang seperti sebelumnya.
Oey Kang tertawa datar.
“Mata Nona sungguh tajam. Ternyata keampuhan barisan ini sanggup terlihat olehmu.
Benar-benar membuat orang jadi kagum!”
“Kepandaian tidak berarti, yang diperlukan hanya keawasan mata saja.” sahut Kiau Hun. Dengan gaya santai dia mengambil sumpit giok yang ada di atas meja.
Dikerahkannya tenaga dalam secara diam-diam dipatahkannya sumpit yang keras itu menjadi dua Bagian. Dia menggenggamnya dalam telapak tangan kemudian mengedarkan matanya. Dia melihat Mei Ling sudah diturunkan kembali oleh kedua belas gadis yang sedang menari-nari tadi. Posisinya terkurung di tengah-tengah. Dia berdiri tegak seperti sebuah patung yang indah. Tubuhnya tidak bergerak sedikitpun. Kiau Hun tersenyum simpul. Lengannya digerakkan, tampak dua titik sinar putih yang halus sekali melesat ke
depan bagai kilat. Rupanya dia menggunakan patahan sumpit itu sebagai pengganti senjata rahasia. Sasarannya dua urat nadi yang berbahaya di Bagian dada dan tenggorokan Mei Ling.
Hati Tan Ki tercekat sekali melihatnya. “Apa yang kau lakukan?” bentaknya marah.
Meskipun demikian, tidak ada peluang lagi baginya untuk mencegah. Hatinya panik sekali. Dia tidak perduli atau menyempatkan diri untuk bertanya kepada Kiau Hun.
Kepalanya dipalingkan, mungkin Kiau Hun memang berniat membunuh gadis itu. Serangannya ini menggunakan tenaga yang sepenuhnya. Melesatnya pun demikian cepat. Dalam keadaan yang hanya sekejap mata saja, dua patahan sumpit tadi sudah sampai di hadapan Mei Ling.
Kalau diceritakan memang rasanya panjang, kejadiannya sendiri hanya beberapa detik saja. Justru pada saat yang bahaya dan menegangkan itu, tiba-tiba terlihat salah seorang gadis yang sedang menari itu menggeser kakinya beberapa langkah. Dia menghadang di depan Mei Ling. Gerakannya seperti tidak sengaja, seakan memang termasuk gerakan dari tariannya itu. Lengan kirinya bergerak dua kali berturut-turut. Ternyata dia berhasil mementalkan kembali dua batang patahan sumpit yang melesat dengan kekuatan dahsyat itu. Kemudian tampak pinggangnya melenggok-lenggok mengikuti irama lagu, langkahnya kembali ke tempat semula. Wajahnya tidak menunjukkan perasaan apa-apa. Seakan tidak pernah terjadi sesuatupun.
Gayanya yang luwes dan indah serta gerakan yang tidak terduga-duga, mana pernah Tan Ki melihatnya. Tanpa dapat ditahan lagi dia jadi termangu-mangu. Matanya tanpa sadar beralih pada diri gadis yang satu itu.
Setelah memperhatikan sejenak, dia merasa gerakan tari yang dilakukan gadis itu tidak terselip perasaan malu sedikitpun. Malah ketika sepasang buah dadanya berayun-ayun, dalam gerakannya terselip rangsangan serta sanggup mempesona siapapun yang melihatnya. Tiba-tiba jantungnya jadi berdebar-debar. Dadanya seakan dipenuhi udara sehingga terasa sesak. Kalau dihembuskan, rasanya mengganjal di hati. Wajahnya jadi merah padam. Perasaannya sendiri sulit dijelaskan. Pikirannya terasa buntu.
Tan Ki adalah seorang pemuda yang luar biasa cerdasnya. Begitu merasa keadaan dirinya tidak wajar, dia segera sadar bahwa dirinya telah terpengaruh tarian bugil gadis itu. Gairah birahi di dalam hatinya jadi berkobar-kobar. Dia terperanjat sekali. Tetapi dia belum pernah mempelajari ilmu Lwekang. Apalagi pikirannya agak terganggu. Untuk sesaat dia tidak bisa mengerahkan hawa murninya untuk menolak pengaruh tersebut.
Tangannya menekan di depan dada, matanya cepat-cepat dipejamkan rapat-rapat dan tidak berani melihat lebih lama.
Tiba-tiba terdengar suara yang keras, seakan ada suatu benda berat yang terjatuh dari atas. Tadinya dia tidak ingin melihat, tetapi dia tidak dapat menahan rasa ingin tahunya.
Diam-diam dia mengintip, wajahnya langsung berubah hebat. Entah apa sebabnya, tahu-tahu Liu Seng sudah jatuh tidak sadarkan diri.
Perubahan yang mendadak ini, seakan memang sudah dalam dugaan para pendekar.
Begitu dia terjatuh, terdengar beberapa orang menarik nafas panjang.
Saat itu, irama musik maupun bunyi gendang yang berkumandang dari luar masih tidak putus-putusnya berbunyi. Orang-orang yang hadir saling melirik pada waktu yang bersamaan, bibir mereka menyunggingkan tawa yang sumbang. Perasaan mereka sedang berada di puncak ketegangan. Hati mereka mengerti, irama musik itu merupakan sumber perintah para gadis yang sedang menari-nari itu. Kalau irama itu tidak berhenti dan tetap diteruskan, orang-orang itupun terus diancam bahaya.
Orang-orang yang hadir dalam ruangan itu, kalau bukan pendekar setempat, pasti tokoh-tokoh yang sudah punya nama. Pengalaman mereka banyak sekali. Pengetahuan merekapun sangat luas. Setelah menyadari adanya bahaya yang mengancam, tanpa diperintah mereka segera menundukkan kepala merenung. Bagaimana caranya menghadapi situasi seperti ini? Bahkan ada beberapa orang yang memejamkan matanya rapat-rapat agar pikirannya dapat terpusat penuh. Tiba-tiba…
Terdengar lagi suara Trang! Trang! Sebanyak beberapa kali. Setelah didengarkan dengan seksama, rupanya suara tadi merupakan bunyi genta yang ditabuh sebanyak tiga kali.
Tabuhan yang berjumlah tiga kali itu seakan merupakan isyarat untuk kedua belas gadis yang sedang menari dengan tubuh bugil itu. Gerakan mereka mendadak berubah serentak. Perlahan-lahan mendekat ke arah tempat duduk para pendekar.